• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dan Pertentangannya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

Pelaksanaan kewenangan pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis untuk mengeksekusi benda jaminan dari debitor yang telah dijatuhi putusan pailit memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda dengan proses eksekusi atas benda jaminan debitor yang tidak dijatuhi putusan pailit, hal ini dikarenakan benda tidak bergerak yang dijadikan jaminan tersebut termasuk juga sebagai harta pailit (boedel pailit), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”. Ini berarti dalam hal debitor dinyatakan pailit, maka kebendaan tersebut tetap merupakan harta pailit bagi kreditor secara umum, dengan ketentuan bahwa kreditor pemegang jaminan kebendaan tetap diberikan hak untuk menjual sendiri dan memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut (Pasal 55 UU Kepailitan dan PKPU), dan kreditor pemegang hak istimewa (yang disebutkan dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata) memiliki hak untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta pailit secara umum dan kebendaan tertentu dalam harta pailit1.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka seluruh harta kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada dan dimiliki oleh debitor pailit menjadi

boedel pailit tanpa memperdulikan telah dibebani jaminan maupun tidak

dibebani jaminan, yang kemudian akan menjadi jaminan pelunasan seluruh utang kreditor baik yang berkedudukan sebagai kreditor separatis maupun

1

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 28

(2)

kreditor biasa (konkuren), serta kreditor pemegang privilege (kreditor preferen). Sikap UU Kepailitan yang tidak menempatkan harta Debitor yang telah dibebani dengan Hak Jaminan di luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendi-sendi sistem hukum Hak Jaminan. Hal itu lebih lanjut telah membuat tidak ada artinya penciptaan lembaga Hak Jaminan di dalam hukum perdata dan membuat kaburnya konsep dan tujuan Hak Jaminan itu2. Kaburnya konsep hukum jaminan ini apabila tidak dihentikan akan membuat berkurangnya minat pelaku usaha untuk menggunakan pranata hak tanggungan untuk menjamin pelunasan piutang kreditor.

Ketentun eksekusi UUHT, sebagaimana tercantum pada Pasal 6, Pasal 20 ayat (1) dan (2) serta Pasal 21 UUHT. Pasal 6 UUHT berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Pasal 20 ayat (1) UUHT berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT berbunyi: “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Terkait dengan terjadinya kepailitan Pasal 21 UUHT menentukan bahwa:

2

(3)

“Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini”.

Eksistensi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi secara langsung benda jaminan guna memperoleh pemenuhan piutang yang dimilikinya sesuai titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan tetap diakui keberadaannya oleh UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 55 ayat (1) yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini penting dan tepat untuk melindungi hak kreditor pemegang hak tanggungan, akan tetapi menjadi sia-sia karena terdapatnya ketentuan di dalam UU Kepailitan dan PKPU yang menangguhkan dan membatasi hak pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan debitor pailit tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Ketentuan kedua pasal tersebut membatasi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi benda jaminan secara langsung karena adanya penangguhan selama 90 (Sembilan puluh) hari dan pembatasan eksekusi

(4)

selama 2 (dua) bulan dan hal ini sangat kontradiktif dengan Pasal 21 UUHT yang memberikan perlakuan yang sama bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi meskipun terjadi kepailitan pada diri debitor.

Menurut pendapat Sutan Remy Syahdeini, ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) memasung hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum jaminan bahwa hak separatis dari seorang Kreditor pemegang Hak Jaminan ialah bahwa benda-benda yang dibebani dengan Hak Jaminan (Hak Agunan) tidak termasuk dan berada di luar harta pailit3. Ketentuan penangguhan eksekusi (stay) merupakan ketentuan yang merugikan hak kreditor pemegang hak tanggungan dan mengakibatkan hak eksekusi harus menunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Terkait dengan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan juga merugikan hak kreditor pemegang hak tanggungan karena hanya dapat melaksanakan haknya dengan tenggat waktu yang sangat terbatas dan bila tidak dilaksanakan sesuai jangka waktu tersebut kewenangan eksekusi beralih ke kurator, beralihnya kewenangan ini sangat merugikan kepentingan dari kreditor pemegang hak tanggungan, karena tidak hanya hilang hak eksekusinya tetapi juga harus tunduk juga dengan prosedur pembagian pembayaran sesuai UU Kepailitan dan PKPU yang menempatkan kreditor pemegang hak tanggungan sebagai kreditor separatis yang memiliki posisi dibawah kreditor preferen, yaitu kewajiban perpajakan dan biaya kepailitan. Akibat inkonsistensinya UU Kepailitan dan PKPU menimbulkan persoalan yaitu pertentangan UU Kepailitan dan PKPU dengan UUHT terkait prosedur eksekusi pemegang hak tanggungan pada saat terjadi kepailitan, diantaranya sebagai berikut:

1. Pertentangan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan Pasal 21 UUHT

3Sutan Remy Syahdeini,

Hukum Kepailitan : Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta , 2002, hlm. 285

(5)

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”.Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Kedua pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 UUHT yang menentukan bahwa: “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini”. Pertentangan yang terjadi anatara kedua peraturan perundang-undangan tersebut terkait dengan prosedur eksekusi yang berlaku bagi pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis apabila terjadi kepailitan. Kelebihan yang dimiliki oleh pranata hukum hak tanggungan adalah terkait dengam kemudahan eksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi, eksekusi benda jaminnan diatur oleh Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

(6)

Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut eksekusi benda jaminan melalui pranata hukum hak tanggungan menjamin kemudahan bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi benda jaminan yaitu melalui: parate executie, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, atau penjualan dibawah tangan. Akan tetapi ketentuan ini mengalami kendala yang cukup pelik apabila debitor yang bersangkutan pada saat yang bersamaan telah dinyatakan pailit, karena ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) yang memberikan penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan diberlakukan.

Pemberlakuan penangguhan (stay) akan memberikan konsekuensi bagi pemegang hak tanggungan yaitu hanya dapat melakukan haknya untuk mengeksekusi benda jaminan setelah lewatnya jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya insolvensi, sedangkan pemberlakuan ketentuan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan memberikan konsekuensi bagi kreditor pemegang hak tanggungan, yaitu harus segera mengeksekusi benda jaminan selama jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut jika terlewati jangka waktu tersebut, maka kewenangan eksekusi akan beralih kepada kurator selaku pengurus dan pemberes

boedel pailit, hal ini tentu tidak diinginkan oleh kreditor pemegang hak

tanggungan karena haknya untuk mengeksekusi benda jaminan menjadi hilang. Hilangnya kewenangan ini bertentangan dengan teori keadilan aristoteles yang mengenal adanya keadilan distributif, yang menentukan bagian masing-masing pihak berdasarkan haknya, terkait hal ini, maka

(7)

sudah selayakna pemegang hak tanggungan memperoleh keadilan atas pengakuan dan penjaminan hak eksekusi yang dimilikinya.

2. Benturan Kepentingan Para Kreditor

Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai hak eksekusi pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi secara langsung atas benda jaminan sebagaimana diatur pada UUHT menjadi kontradiktif, karena dengan adanya penangguhan dan pembatasan tersebut akan mengekang hak pemegang hak tanggungan yang notabene dilindungi oleh UUHT bahkan jikalau terjadi pada debitor yang telah dinyatakan pailit, sebagaimana diatur pada Pasal 6, Pasal 20 ayat (1) dan (2), serta Pasal 21 UUHT. Berdasarkan UUHT, pemegang hak tanggungan tetap memiliki kewenangan untuk mengeksekusi benda jaminan pada saat debitor wanprestasi meskipun debitor yang bersangkutan telah dinyatakan pailit, akan tetapi hal tersebut meskipun diakui eksistensinya oleh UU Kepailitan dan PKPU akan tetapi keberadaannya mendapatkan pembatasan sehingga akan menyebabkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan konflik bagi para pihak yang berkepentingan di dalamnya karena tidak adanya perlindungan hukum atas hak-hak yang dimilikinya. Terkait dengan hal tersebut maka sudah seharusnya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi dihilangkan dari UU Kepailitan dan PKPU karena merugikan kepentingan hak kreditor pemegang hak tanggungan dan dapat memicu adanya konflik antara kreditor pemegang hak tanggungan dengan kreditor-kreditor lainnya.

Benturan kepentingan ini karena adanya perlakuan yang tidak adil sebagai akibat adanya pembatasan hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan berupa penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terkait pengakuan dan penjaminan terhadap hak eksekusi kreditor pemegang

(8)

hak tanggungan dapat menimbulkan berbagai persoalan sehingga benturan kepentingan para kreditor tidak dapat dihindari.

3. Tercapainya Tujuan Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT Hukum sebagai suatu sistem memiliki tujuan yang hendak dicapai, adapun tujuan hukum tersebut terjelma di dalam materi muatan pada peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk selanjutnya tercantum di dalam pasal-pasalnya. Tujuan hukum merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum tersebut sehingga menjadi penyebab terbentuknya hukum yang pada dasarnya hukum bertujuan untuk memberikan keadilan bagi para pihak dengan memberikan pengaturan yang jelas dan tegas terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga masing-masing pihak memperoleh bagian yang merupakan haknya. Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan dapat terlihat dengan tercapai tidaknya tujuan peraturan perundang-undangan tersebut, peraturan perundang-undangan yang baik akan berisi materi muatan yang aplikatif sehingga tujuan dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat terlaksana dengan baik.

Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan4. Ketertiban dan keseimbangan merupakan tatanan yang dikehendaki oleh hukum, karena dengan terciptanya ketertiban dan keseimbangan maka hak-hak para pihak yang terkait di dalamnya akan terlindungi sehingga menciptakan keadilan bagi semua pihak dan mencegah terjadinya konflik. Ketertiban merupakan tatanan ideal di dalam masyarakat, karena dengan adanya ketertiban akan terjadi keseimbangan diantara hak dan kewajiban sehingga hak dan kewajiban tersebut dapat diakui dan dijamin eksistensinya oleh hukum.

Tujuan pembentukan UUHT secara tegas tidak terdapat di dalam UUHT, akan tetapi tersirat dari pertimbangan dan penjelasan

4

(9)

umum UUHT yaitu untuk memberikan landasan hukum bagi lembaga jaminan di Indonesia terkait pembebanan jaminan dengan menggunakan jaminan benda tidak bergerak berupa tanah sebagaimana dimaksud UUPA, yang sebelumnya hanya diatur dengan produk hukum zaman kolonial Belanda yaitu Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Sementara itu tujuan dari UU Kepailitan dan PKPU tercantum di dalam Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU, yang berbunyi: “Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaankewajiban pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.

Berdasarkan penjelasan umum UU Kepaiitan dan PKPU tersebut tujuan utama dari pembentukan UU Kepailitan dan PKPU adalah memberikan keadilan bagi semua pihak di dalamnya dengan cara melindungi boedel pailit sehingga nilai boedel pailit dapat maksimal guna membayar utang debitor pailit kepada para kreditornya. Bentuk keadilan tersebut adalah terjaminnya pembagian boedel pailit kepada seluruh kreditor secara seimbang berdasarkan prosentase besar

(10)

kecilnya piutang masing-masing dengan tetap memperhatikan kekhususan bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (termasuk hak tanggungan di dalamnya) sehingga merealisasikan asas pari passu dan pro rata menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.

Poin kedua tujuan UU Kepailitan dan PKPU secara tegas menyebutkan pembentukan UU Kepailitan dan PKPU untuk menghindari adanya kreditor separatis (termasuk kreditor pemegang hak tanggungan) yang melakukan eksekusi hak yang dimilikinya tanpa memperhatikan kepentingan debitor pailit dan kreditor konkuren, hal ini berarti sebelum dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU seringkali terjadi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan selaku kreditor separatis melakukan eksekusi benda jaminan tanpa memperdulikan kepentingan debitor pailit dan para kreditor lainnya khususnya kreditor konkuren, misalnya eksekusi dilakukan sesuai kehendaknya sendiri sehingga tidak ada kepastian waktu dilakukannya eksekusi tersebut ataupun melakukan eksekusi melalui lelang dengan nilai limit yang rendah sekedar untuk pelunasan piutangnya saja meskipun ini diperbolehkan oleh hukum, akan tetapi hal ini dapat mendatangkan kerugian pihak lain, karena.Terkait dengan adanya penangguhan eksekusi yang diatur Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU memilki tujuan sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal tersebut, yang berbunyi: “Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini bertujuan, antaralain:

a. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau b. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau c. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara

optimal.

Hukum kepailitan merupakan jawaban atas kesulitan keuangan, yang bukan hanya sebagai masalah ekonomi tetapi juga merupakan masalah moral, politik, personal dan masalah sosial yang berakibat pada

(11)

partisipannya5. Lebih lanjut pada hukum kepailitan terdapat “circle of

responbility”, yang meliputi tiga elemen.Pertama, tanggung jawab

sosial debitor dalam kepailitan. Kedua, tanggung jawab para kreditor terhadap para kreditor lainnya. Ketiga, tanggung jawab para debitor dan kreditor terhadap masyarakat6. Berdasarkan hal tersebut tujuan dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU adalah melindungi dan menyeimbangan kepentingan para pihak yang terkait di dalamnya serta kepentingan masyarakat luas yang dapat terkena imbas dari putusan kepailitan tersebut. Benturan kedua peraturan perundang-undangan terkait dengan tujuan masing-masing undang-undang yaitu adanya penangguhan eksekusi (stay) bagi pemegang hak tanggungan pada saat debitor pailit dengan tujuan pembentukan UUHT yang bertujuan memberikan landasan hukum bagi pemegang hak tanggungan untuk dapat mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi sebagaimana dijamin oleh UUHT.

4. Terlaksananya Asas-Asas Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT

Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum7. Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo, merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum. penyebutan demikian karena pertama merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada

5

Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan

di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 30 6

Ibid 7

(12)

akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut8. Asas hukum memegang peranan penting karena merupakan roh atau jiwa dari peraturan perundang-undangan tersebut sehingga apabila adanya ketentuan-ketentuan yang tidak tercantum ataupun adanya ketentuan yang menimbulkan multitafsir yang terdapat di dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut maka dapat dipahami dengan cara memahami asas-asas yang terdapat di dalamnya.

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa asas atau prinsip hukum bukanlah peraturan konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umumsifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat didiketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut9. Terkadang asas atau prinsip hukum tersebut tidak tertulis secara konkret di dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi asas atau prinsip hukum tersebut “hidup” karena terjelma pada landasan dasar tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dan merupakan roh dari suatu peraturan perundang-undangan sehingga setiap pasal yang ada di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari asas atau prinsip hukum tersebut.

Asas hukum mengandung tuntutan etis, sehingga asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis10. Tatanan etis merupakan nilai-nilai keadilan yang merupakan tujuan dari hukum itu sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam

8

Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm. 31 9

M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan:Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2008, hlm. 26

10

(13)

masyarakat sehingga hukum tersebut dapat dipertahankan dan ditaati eksistensinya oleh semua pihak.Asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, akan tetapi asas hukum dapat digunakan untuk memahami peraturan perundang-undangan karena di dalam asas-asas hukum tersebut terkandung nilai-nilai etis.

Asas-asas hukum kepailitan tercantum di dalam Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah : a. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

c. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.

(14)

Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional”.

Sedangkan asas-asas hukum yang terdapat pada hak tanggungan dapat dipahami dari beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UUHT, yaitu:

a. Asas Kedudukan yang Diutamakan Bagi Pemegang Hak Tanggungan

Pemegang hak tanggungan merupakan kreditor separatis, kata separatis secara bahasa berarti terpisah, dikatakan terpisah karena pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang dipisahkan dari kreditor biasa dan diutamakan (droit de preference) sebab haknya untuk mendapatkan pelunasan pembayaran utang debitor didahulukan dari kreditor lainnya melalui benda yang dijadikan jaminan kepadanya. Ketentuan yang mengatur mengenai kedudukan yang diutamakan bagi pemegang hak tanggungan terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 dan Penjelasan Umum UUHT, yang berbunyi: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnyadisebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentuterhadap kreditor-kreditor lain”. Selanjutnya pada Penjelasan Umum UUHT, menyatakan bahwa: “Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak

(15)

Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

b. Asas Kemudahan Eksekusi

Kreditor pemegang hak tanggungan memiliki kemudahan untuk menjual sendiri benda jaminan apabila debitor wanprestasi guna pelunasan piutang yang dimilikinya, hal inilah yang merupakan kelebihan dari hak tanggungan sehingga menjadi pilihan bagi pihak kreditor guna memperoleh perlindungan atas pelunasan piutangnya. Eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang hak tanggungan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: parate eksekusi, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, serta eksekusi penjualan di bawah tangan.

Ketentuan terkait eksekusi ini diatur di dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT, yang berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan

sebagaimana dimaksud dalamPasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yangditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang HakTanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapatdilaksanakan di bawah

(16)

tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yangmenguntungkan semua pihak”.

c. Asas Tidak Dapat Dibagi-bagi

Asas tidak dibagi-bagi yaitu bahwa pembayaran atas sebagian utang tidak menyebabkan hapusnya sebagian benda yang dijadikan benda jaminan, benda jaminan baru bebas apabila seluruh utang telah dibayar lunas seluruhnya oleh debitor, ketentuan ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam AktaPemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam AktaPemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukandengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakanbagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehinggakemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utangyang belum dilunasi”.

d. Asas Accesoir

Perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan dan bukan merupakan perjanjian pokok, sehingga perjanjian hak tanggungan itu ada jikalau perjanjian pokoknya ada, perjanjian pokok tersebut yaitu perjanjian utang-piutang. Sifat accesoir hak tanggungan diatur pada Penjelasan Umum UUHT yang berbunyi: “Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatupiutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, makakelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”

(17)

e. Asas Publisitas

Tujuan dari publisitas adalah supaya perjanjian yang dibuat oleh pihak debitor dan kreditor tersebut diketahui oleh seluruh pihak yang berkepentingan sehingga mejamin kepastian hukum terkait perbuatan hukum yang dilakukan tersebut karena telah terdaftar. Ketentuan terkait asas publisitas ini tercantum pada Pasal 13 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”, selanjutnya Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT berbunyi: “Salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian HakTanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya HakTanggungan terhadap pihak ketiga”.

f. Asas Spesialitas

Merupakan asas yang menghendai kejelasan keterangan terkait subyek dan obyek atas hak tanggungan tersebut sehingga menghindarkan kerancuan akibat ketidak jelasan keterangan terkait subyek dan/atau obyek hak tanggungan. Ketentuan asas spesialitas tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan

apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;

c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal3 dan Pasal 10 ayat (1);

d. Nilai tanggungan;

(18)

Kedudukan asas-asas hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sebagai jantung hukum memegang peranan penting untuk menjaga dan mengawal terlaksananya cita-cita hukum yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut, karena asas hukum ini merupakan roh yang menjiwai isi dari pasal-pasal yang terdapat pada UUHT dan UU Kepailitan dan PKPU. Akan tetapi terdapat asas hukum yang kontradiktif diantara kedua peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu adanya asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU dan asas kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT. Asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU menghendaki kreditor memperhatikan kepentingan kreditor lain pada saat menuntut haknya dengan tidak bersikap sewenang-wenang, meskipun tidak dinyatakan secara tegas kreditor yang dimaksud oleh asas tersebut, akan tetapi ketentuan tersebut merujuk kepada kreditor separatis yang termasuk di dalamnya kreditor pemegang hak tanggungan yang memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas benda jaminan, di sisi menurut asas kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT, kreditor pemegang hak tanggungan memiliki hak berupa kemudahan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan apabila debitor wanprestasi, yaitu dengan cara parate eksekusi, eksekusi berdasarkan titel ekskutorial atau dengan penjualan di bawah tangan, sehingga adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang merupakan penjelmaan asas Asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU menjadi bertentangan dengan asas kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT. Benturan asas hukum tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus sehingga kedua asas-asas hukum peraturan perundang-undangan tersebut dapat terlaksana.

Penggolongan kreditor yang dilakukan oleh UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang membagi kreditor menjadi tiga yaitu: kreditor preferen (kreditor pemegang hak istimewa), kreditor separatis (kreditor

(19)

pemegang hak jaminan kebendaan), serta kreditor konkuren (kreditor biasa). Tujuan dari keadilan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait kepailitan yang menimpa debitor, sehingga masing-masing kreditor terlindungiakan hak-haknya untuk mendapatkan pembayaran piutang yang dimilikinya dari boedel pailit. Keadilan yang dianut oleh Pancasila sebagaimana tercantum pada Sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga keadilan bagi orang banyak harus lebih diutamakan dengan tetap memperhatikan keadilan bagi setiap individu. Berdasarkan hal tersebut, maka meskipun penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang ditetapkan oleh UU Kepailitan dan PKPU merupakan ketentuan yang diciptakan untuk memenuhi keadilan bagi masyarakat, akan tetapi tidak dapat dibenarkan karena merugikan hak individu yang pokok yaitu hak eksekusi yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak tanggungan.

Pengaturan tentang kepailitan dalam undang-undang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan yang adil dan seimbang terhadap pihak kreditor maupun pihak debitor dalam menyelesaikan permasalahan utang piutangnya11. Keadilan bagi semua pihak merupakan hal yang ingin dicapai oleh UU Kepailitan dan PKPU, karena keadilan merupakan salah satu asas yang dianut dan akan direalisasikan oleh UU Kepailitan dan PKPU. Menurut Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenanganpihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya. Keadilan yang ingin dicapai oleh UUHT adalah keadilan bagi pemegang hak tanggungan untuk dapat melakukan eksekusi atas benda jaminan apabila debitor melakukan wanprestasi. Keberadaan UUHT yang

11

(20)

memberikan hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi merupakan hal yang harus diperhatikan dan dijamin kepastiannya, sehingga ketentuan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tidak tepat, mekanisme pertanggungjawaban laporan hasil penjualan benda jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan sudah cukup untuk memberikan keadilan bagi seluruh pihak.

Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan legislator dengan dilakukannya revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU khususnya ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi, sehingga akan terhindarkannya benturan kepentingan antara para kreditor akibat adanya pertentangan antara Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan Pasal 21 UUHT, terwujudnya asas-asas dan tujuan hukum yang dianut dan tercantum di dalam UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT, serta terciptanya undang-undang yang memberikan keadilan bagi kreditor pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi terhadap benda jaminan pada saat debitor dijatuhi putusan pailit .

B. Upaya Mengatasi Inkonsistensi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

Pranata hukum kepailitan dan hak tanggungan merupakan pranata hukum yang diciptakan untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditor dan debitor terkait adanya perjanjian utang-piutang yang dibuat oleh kedua belah pihak. Pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis memiliki hak untuk didahulukan dan diutamakan atas pembayaran piutang yang dimilikinya terhadap kreditor-kreditor lainnya yang berkedudukan sebagai kreditor konkuren. UU Kepailitan dan PKPU yang merupakan produk hukum yang lebih baru dibandingkan UUHT

(21)

tetap mengakomodir kedudukan yang didahulukan (droit de preference) dan diutamakan bagi kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Selanjutnnya Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda yangmerupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang menurutketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendirioleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya”.

Hak didahulukan kreditor pemegang hak tanggungan tersebut meskipun diakui oleh UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi pelaksanaan hak tersebut diberikan pembatasan guna memberikan perlindungan hukum kepada boedel pailit, yaitu dengan cara penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi, sebagaimana diatur Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yangberada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Selanjutnya Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Ketentuan yg inkonsisten UU Kepailitan dan PKPU terkait hak eksekusi atas benda jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan tersbut

(22)

menimbulkan kejanggalan karena pengakuan yang dilakukan oleh UU Kepailitan dan PKPU langsung diamputasi dengan adanya ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang merugikan kepentingan kreditor pemegang hak tanggungan.

Berdasarkan kedua pasal tersebut adanya putusan pailit atas debitor memberikan konsekuensi yuridis bagi kreditor pemegang hak tanggungan terkait pelaksanaan hak mendahului yang dimilikinya, mekanisme yang harus dilalui oleh pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan adalah setelah lewatnya masa penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya keadaan insolvensi yaitu suatu keadaan apabila jumlah utang debitor lebih banyak daripada nilai boedel pailit, setelah dimulainya masa eksekusi tersebut kreditor pemegang hak tanggungan harus melaksanakan eksekusi selambat-lambatnya selama jangka waktu 2 (dua) bulan.

Tujuan dari diberlakukannya penangguhan (stay) tersebut sebagai berikut12:

1. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; 2. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; 3. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.

Jika dilihat dari tujuan pemberlakuan penangguhan (stay) tersebut tampak bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak realistis menempatkan tujuan hukum kepailitan untuk memperbesar kemungkinan terciptanya perdamaian, seharusnya upaya kepailitan merupakan upaya terakhir dan sudah dimungkinkan lagi upaya perdamian, sehingga tidak diperlukannya upaya hukum penangguhan (stay) tersebut. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan13. Ketentuan ini secara

12

Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 13

(23)

tegas melarang segala bentuk upaya hukum yang terkait atas boedel pailit, tak dikecualikan atas kreditor apapun sehingga kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis dikekang haknya karena tidak dimungkinkan melakukan upaya hukum apapun atas benda jaminan yang telah dinyatakan pailit tersebut

Keberlakuan hak eksekusi atas benda jaminan bagi kreditor pemegang hak tanggungan sebagaimana diatur pada UUHT dapat ditinjau dari teori yang terkait dengan benda jaminan, yaitu teori antara (intermediate theory) dan teori executie. Teori antara (intermediate theory) memberikan hak untuk memiliki, menguasai dan menikmati hasil kepada pihak debitor, tetapi hak tersebut segera beralih ke pihak kreditor pemegang jaminan ketika terjadi wanprestasi terhadap utang debitor14. Keberadaan hak tanggungan sebenarnya merupakan solusi yang menguntungkan bagi pihak debitor dan kreditor, debitor masih memiliki hak dan kesempatan untuk mengusahakan benda jaminan selama tidak mengalihkan kepemilikannya dan kreditor terlindungi haknya untuk memperoleh pembayaran piutang yang dimilikinya dengan cara mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi sebagaimana dianut oleh teori executie. Pada teori ini hak kreditor untuk menjual benda-benda obyek jaminan utang adalah berdiri sendiri (zelfstanding) dari pihak pemegang jaminan utang15. Adanya hak eksekusi ini memberikan kebebasan bagi kreditor untuk menjual sendiri benda jaminan apabila debitor wanprestasi atas pembayaran utangnya.

Ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang memberlakukan masa penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi benda jaminan bagi kreditor pemegang hak tanggungan merupakan inkonsisten terhadap sikap UU Kepailitan dan PKPU yang mengakui adanya hak eksekusi bagi pemegang hak tanggungan, ketentuan yang inkonsisten ini mengakibatkan membatasi dan membelenggu hak kreditor

14

Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Jakarta, 2014, hlm 5 15

(24)

pemegang hak tanggungan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki ketentuan UU Kepailitan dan PKPU sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada kreditor pemegang hak tanggungan dengan cara-cara sebagai berikut:

1) Penerapan Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum menunjukkan fungsi hukum sebagai sarana perlindungan kepentingan manusia sekaligus menunjukkan tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, sehingga di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Perlindungan hukum erat kaitannya dengan jaminan kepastian hukum, karena dengan adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait akan memberikan kepastian hukum atas pemenuhan hak-hak masing-masing pihak. Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini. Terkait kepailitan, setiap kreditor tentunya ingin memperoleh kepastian hukum terkait pembayaran piutang yang dimilikinya, terlebih pada saat terjadinya kepailitan yang tentunya melibatkan banyak kreditor, sehingga dengan adanya kepastian hukum ini akan melindungi hak-hak tiap kreditor, begitu pula halnya dengan kreditor pemegang hak tanggungan yang harus mendapatkan perlindungan hukum atas hak eksekusi yang dimilikinya atas benda jaminan milik debitor termasuk apabila debitor dinyatakan pailit.

Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum

(25)

undang-undang tersebut . Berdasarkan hal tersebut, maka sudah seharusnya materi muatan di dalam suatu produk hukum berupa peraturan perundang-undangan memiliki pasal-pasal yang konsisten sehingga pasal-pasal tersebut saling mendukung satu sama lain untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terdapat di dalamnya, sehingga UU Kepailitan dan PKPU seharusnya juga konsisten terhadap setiap pasal di dalamnya termasuk terkait pengakuan atas hak eksekusi pemegang hak tanggungan yang diakui oleh Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi kemudian oleh Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU ditangguhkan dan dibatasi pelaksanaannya. Inkonsistensi ini menyebabkan tidak terlindunginya hak pemegang hak tanggungan untuk melakukan hak eksekusinya.

Apabila dikaitkan dengan teori perlindungan hukum, peraturan perundang-undangan diciptakan untuk memberikan perlindungan hukum bagi seluruh kreditor yang memiliki piutang kepada debitor dengan cara memberikan jaminan kepastian bagi kreditor untuk memperoleh pembayaran piutang dari boedel pailit . Berdasarkan teori perlindungan hukum sudah semestinya UU Kepailitan dan PKPU konsisten terhadap pengakuan dan penjaminan hak pemegang hak tanggungan dan tidak melakukan penangguhan (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi. Suatu produk hukum berupa peraturan perundang-undangan haruslah konsisten pasal demi pasal sehingga menciptakan aturan hukum yang aplikatif untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak di dalam kepailitan.

Menurut pendapat Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, secara teoritis perlindungan hukum dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum

(26)

suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk definitif16. Sedangkan perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa17. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila dan seyogyanya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila18. Kedudukan yang diutamakan dan didahulukan bagi kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis merupakan hak mutlak yang harus diakui dan dijamin eksistensinya karena menjadi ciri khas dari jaminan kebendaan untuk memperoleh jaminan kemudahan eksekusi apabila debitor wanprestasi, sehingga dengan adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tidak memberikan perlindungan hukum bagi kreditor pemegang tanggungan.

2) Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis

Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali sini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum19. Berdasarkan asas ini harus ditentukan terlebih dahulu ketentuan hukum yang bersifat Lex Specialis dan ketentuan hukum yang bersifat Legi Generalis. Menurut pendapat penulis, ketentuan UUHT merupakan Lex Specialis, karena UUHT merupakan ketentuan yang secara khusus diciptakan untuk mengatur

16

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis

dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 264 17

Ibid 18

Philipus M. Hadjon, Op.cit, hlm. 20 19

Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 102

(27)

perjanjian yang dilakukan oleh pihak debitor dan kreditor terkait pemberian benda jaminan atas utang-piutang yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan tersebut apabila debitor melakukan wanprestasi. Kemudahan melakukan eksekusi atas benda jaminan tersebut merupakan upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditor sekaligus untuk mengembangkan perekonomian negara dengan menciptakan lembaga jaminan untuk menstimulus pihak perbankan memberikan kredit kepada masyarakat, sedangkan UU Kepailitan dan PKPU merupakan Legi Generalis karena merupakan ketentuan yang berlaku umum untuk memberikan perlindungan kepada kreditor-kreditor untuk memperoleh pelunasan pembayaran piutang dari debitor, yang umumnya merupakan kreditor konkuren yang tidak memiliki jaminan kebendaan, sehingga terkait pengaturan mengenai hak kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis untuk mengeksekusi benda jaminan harus tunduk pada ketentuan yang terdapat pada UUHT.

Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis). Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin, dengan asas ini maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus20. Terkait dengan hal tersebut apabila terjadi kepailitan, maka ketentuan hukum yang berlaku bagi kreditor pemegang hak tanggungan adalah tetap UUHT dan ketentuan yang diatur UU Kepailitan dan PKPU sebatas ketentuan tersebut tidak diatur oleh UUHT. Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang

20

Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Aturan Yang

Bersifat Umum, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21165-aturan-yang-bersifat -khusus-mengesampingkan-http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21165-aturan-yang-bersifat-umum, diakses tangggal 21 Maret 2016 pukul 19:00 WIB

(28)

harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu21:

a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang); c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan

hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.

Penerapan asas Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis perlu dilakukan demi terciptanya perlindungan hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi benda jaminan yang dimilikinya, sehingga tidak perlu adanya ketentuan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang menghambat dan menghalangi pelaksanaan hak pemegang hak tanggungan.

3) Penyempurnaan Pengaturan dengan Melakukan Revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU

Upaya hukum yang harus dilakukan untuk menjadikan konsisten UU Kepailitan dan PKPU adalah dengan melakukan penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU, karena Kepailitan dan PKPU inkonsisten dengan mengakui kedudukan hak kreditor pemegang hak tanggungan akan tetapi kemudian menerapkan ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang merugikan bagi kreditor

21

Hukumonline, Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis, diakses tangggal 10 Desember 2015 pukul 19:00 WIB

(29)

pemegang hak tanggungan, berikut ini adalah alasan-alasan perlu dilakukannya revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU:

a) Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU atas Pengakuan Hak Eksekusi bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

UU Kepailitan dan PKPU yang tetap mengakomodir kedudukan yang didahulukan (droit de preference) dan diutamakan bagi kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 55 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Selanjutnnya Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda yang merupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang menurutketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendirioleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya”. Akan tetapi, terdapat ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Ketentuan kedua pasal tersebut

(30)

membatasi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi benda jaminan secara langsung karena adanya penangguhan selama 90 (Sembilan puluh) hari dan pembatasan eksekusi selama 2 (dua) bulan dan hal ini merupakan bentuk inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU yang memberikan pengakuan akan tetapi membatasi dan ketentuan ini juga sangat kontradiktif dengan Pasal 21 UUHT yang memberikan perlakuan yang sama bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi meskipun terjadi kepailitan pada diri debitor.

Pasal 21 UUHT menentukan bahwa: “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini”, selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut ditentukan bahwa: “Ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut menjelaskan mengenai adanya kepailitan tidak berpengaruh terhadap pelaskanaan hak kreditor pemegang hak tanggungan, akan tetapi ketentuan ini tidak sepenuhnya dapat diberlakukan karena adanya putusan pailit mengakibatkan status benda jaminan menjadi boedel pailit, termasuk benda milik debitor yang telah dibebani benda jaminan, sehingga segala perikatan berupa kewajiban pembayaran yang harus dilakukan debitor pailit menyesuaikan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang mengenal adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi sebagaimana diatur Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU.

Terjadinya kepailitan pada debitor memberikan konsekuensi yuridis bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila tidak melakukan eksekusi dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, yaitu

(31)

beralihnya hak eksekusi tersebut demi hukum kepada kurator, sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut”. Berdasarkan ketentuan pasal ini proses eksekusi beralih menjadi hak kurator dengan tetap memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang hak tanggungan tersebut, akan tetapi terdapat perbedaan prioritas bagian yang diterima oleh kreditor pemegang hak tanggungan apabila eksekusi dilakukan kurator, yaitu kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis memperoleh bagian hasil penjualan setelah sebelumnya digunakan untuk pembayaran bagi kreditor preferen selaku pemegang hak istimewa yaitu pajak dan biaya kepailitan, hal ini tidak akan diberlakukan apabila eksekusi dilakukan sendiri oleh kreditor pemegang hak tanggungan.

b) Pemberlakuan dan Penerapan Penangguhan Eksekusi (Stay) dan Pembatasan Jangka Waktu Eksekusi Merugikan Kepentingan Kreditor Pemegang Hak Tanggungan.

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur mengenai mekanisme penangguhan eksekusi (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan merupakan mekanisme yang merugikan kepentingan kreditor pemegang hak tanggungan dan tidak memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis, karena pemberlakuan dan penerapan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tersebut disertai ketentuan

(32)

yang kurang memberikan perlindungan hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan, yaitu:

(1) Perlindungan Hukum atas Benda Jaminan yang Ditangguhkan Tidak Memberikan Keadilan bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

Penangguhan ekesekusi benda jaminan (stay) yang dilakukan oleh kurator akan sangat berpengaruh pada nilai jual benda jaminan tersebut kedepannya, sehingga oleh karena itu sudah seharusnya benda jaminan mendapatkan perlindungan yang memadai supaya tidak terjadi penurunan nilai benda jaminan tersebut. Pada saat penangguhan berlangsung, kurator dapat menggunakan benda jaminan tersebut guna menjalankan usaha debitor yang dianggap masih memilik prospek yang bagus untuk meningkatkan nilai boedel pailit, dan atas penangguhan tersebut disertai dengan perlindungan yang wajar atas benda jaminan, hal ini sebagaimana tercantum pada Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Selanjutnya Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Yang dimaksud dengan "perlindungan yang wajar" adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan, hak kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum. Perlindungan dimaksud, antara lain, dapat berupa:

(33)

(a) Ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit; (b) Hasil penjualan bersih;

(c) Hak kebendaan pengganti; atau

(d) Imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya.

Meskipun ditangguhkan eksekusinya hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindahtangakan oleh kurator. Harta pailit yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya pada barang persedian (invetory) dan atau barang bergerak (current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak tanggungan atas kebendaan22. Ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dapat berakibat menurunkan nilai jual benda jaminan yang dapat berakibat kerugian bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk memperoleh pembayaran piutang yang dimilikinya tersebut dari hasil penjualan benda jaminan, ketentuan yang memberikan kemungkinan bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk memperoleh ganti rugi atas penurunan benda jaminan tersebut menjadi tidak realistis apabila boedel pailit yang tersedia lebih sedikit dari kerugian yang diakibatkan penurunan nilai benda jaminan, mengingat boedel pailit tersebut telah digunakan oleh kurator sehubungan dengan kegiatan pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukan kurator.

Hak tersebut di atas sengaja diberikan kepada Kurator agar Kurator dapat menggunakan atau menjual harta pailit yang berada dalam pengawasan Kurator terlebih dahulu, untuk memenuhi kewajibannya, ini berarti tidak hanya kepentingan kreditor yang diutamakan melainkan juga agar kepentingan

22

(34)

kelangsungan usaha debitor tetap terjaga23. Urgensi pengaturan terkait hal ini tidak tepat, meskipun usaha debitor masih prospektif dijalankan akan tetapi debitor telah melakukan wanprestasi, dan sudah selayaknya atas dasar wanprestasi tersebut pemegang hak tanggungan melakukan hak eksekusi yang dimilikinya sebagaimana telah diperjanjikan dalam APHT terkait hak bagi kreditor pemeng hak tanggungan untuk melakukan eksekusi apabila debitor wanprestasi dan hal ini juga telah ditentukan di dalam Pasal 20 UUHT.

(2) Pemberian Hak bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan untuk Melakukan Perlawanan atas Penangguhan Eksekusi (Stay) Tidak Cukup untuk Melindungi Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan

Penangguhan eksekusi (stay) yang diberlakukan atas benda jaminan tentunya akan membatasi ruang gerak bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi sendiri atas benda jaminan tersebut, sehingga apabila dilakukan tanpa dasar yang tepat penangguhan eksekusi tersebut akan merugikan kreditor pemegang hak tanggungan. Berakhirnya jangka waktu eksekusi demi hukum terjadi saat kepailitan diakhiri lebih awal atau setelah terjadinya insolvensi sebagaimana diatur pada Pasal 57 ayat (1) yang berbunyi: “Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Pasal 178 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima,atau pengesahan

23

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis:Kepailitan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 58

(35)

perdamaian ditolak berdasarkan putusan yangtelah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi”.

Berdasarakan kedua pasal tersebut berakhirnya jangka waktu penangguhan eksekusi (stay) dapat terjadi karena berakhirnya kepailitan lebih cepat atau terjadinya insolvensi, yaitu suatu keadaan yang terjadi jika jumlah boedel pailit lebih kecil daripada jumlah tagihan utang yang harus dibayar sehingga mengakibatkan tidak dapat terbayar lunasnya seluruh tagihan utang, sehingga pembagian dilakukan secara seimbang berdasarkan presentase utang masing-masing kreditor, dikecualikan bagi kreditor pemegang hak tanggungan yang memiliki kedudukan yang lebih diutamakan dari kreditor konkuren.

Berhentinya penangguhan eksekusi (stay) selain berdasarkan kedua alasan tersebut dapat juga diakhiri dengan dikabulkannya upaya hukum pengangkatan penangguhan yang diajukan kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana diatur pada Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 57 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkatpenangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut”. Pasal 57 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana dimaksudpada ayat (1), Kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukanpermohonan tersebut kepada Hakim Pengawas”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut kreditor pemegang hak tanggungan dapat mengajukan permohonan pengangkatan penangguhan eksekusi apabila penangguhan eksekusi tersebut dilakukan tanpa adanya perlindungan kepada benda jaminan

(36)

yang berakibat akan merugikan hak kreditor pemegang hak tanggungan, adapun upaya hukum permohonan pengangkatan penangguhan eksekusi tersebut dapat diajukan kepada kurator dan apabila ditolak oleh kurator maka kemudian dapat diajukan kepada hakim pengawas.

Prosedur untuk mengajukan upaya hukum pengangkatan penangguhan eksekusi, adalah sebagai berikut:

(a) Kreditor pemegang hak tanggungan mengajukan permohonan pengangkatan penanguhan eksekusi kepada kurator24.

(b) Apabila permohonan ditolak oleh kurator, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat mengajukan kepada hakim pengawas25.

(c) Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan diterima,wajib memerintahkan kurator untuk segera memanggil dengansurat tercatat atau melalui kurir, kreditor pemegang hak tanggungan untuk didengar pada siding pemeriksaan atas permohonan tersebut26.

(d) Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari27. (e) Penetapan Hakim Pengawas dapat berupa diangkatnya

penangguhan untuk satu atau lebih Kreditor, dan/atau menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu penangguhan, dan/atau tentang satu atau beberapa agunan yang dapatdieksekusi oleh Kreditor28.

24

Pasal 57 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. 25

Pasal 57 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU 26

Pasal 57 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU 27

Pasal 57 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU 28

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jumlah sudu berpengaruh terhadap putaran, koefisien torsi, koefisien daya dan efisiensi turbin pelton dengan tekanan

Ma ucok dilakukan oleh orang tua, mamak, dan sumando mempelai dengan berkunjung ke rumah orang yang diundang untuk menghadiri upacara perkawinan dengan membawa

Bahwa berdasarkan pasal 225 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari

Abstrak: Kajian ini dijalankan untuk mengenal pasti corak kadar denyutan jantung dan membuat perbandingan ke atas kadar denyutan jantung atlet bola jaring

Saiful Mahdi, M.Sc Munawar, M.AppStats MMT-205 Aljabar Linier Elementer 4(4-0) Diseminasi M / III Mahyus Ihsan, M.Si. MMT-305 Praktikum Pengantar Optimasi

Secara garis besar alasan yang mendasari persepsi keluarga sakinah menurut tenaga kerja wanita di desa Gerit meliputi empat hal yang berada di seputar kehidupan mereka

Kurator sendiri pada Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU disebutkan dalam kedudukannya harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau

Berdasarkan beberapa masalah diatas, Tim DMD membuat sebuah Web Builder yang dikemas dalam plugin WordPress yang bertujuan untuk menekan biaya pembuatan Landing Page