• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA MEMPENGARUHI KEMAMPUAN ORANG TUA DALAM MELATIH PERAWATAN DIRI ANAK TUNANETRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA MEMPENGARUHI KEMAMPUAN ORANG TUA DALAM MELATIH PERAWATAN DIRI ANAK TUNANETRA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ORANG TUA DALAM MELATIH PERAWATAN DIRI ANAK TUNANETRA

Arie Puji Lestari1, Tuti Nuraini2

1Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2Dosen Departemen Dasar Keperawatan dan Keperawatan Dasar

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Kampus FIK UI, Depok, Jawa Barat – 16424, Indonesia

Telepon: 085694403700. E-mail: arie.puji91@ui.ac.id Abstrak

Kemampuan orang tua secara kognitif, afektif, dan psikomotor terhadap keterbatasan fisik anak tunanetra mempengaruhi cara mereka merawat dan berdampak pada tingkat perkembangan dan kemandirian perawatan diri pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri anak dengan tunanetra. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan melibatkan 100 orang tua yang memiliki anak tunanetra yang diambil menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan 51,0% orang tua memiliki kemampuan melatih perawatan diri yang baik. Penelitian memberikan implikasi supaya hasil penelitian dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan institusi pendidikan dalam memaksimalkan peran orang tua pada perkembangan kemampuan anak tunanetra.

Kata kunci: kemampuan orang tua, perawatan diri, tunanetra

Abstract

The ability of parents in cognitive, affective, and psychomotor towards physical limitations of children with visual impairments affects the way they care, it impacts to the level of development and self-care independence in children. The purpose of this research was to identify parents ability in self-care training with visual impairments children. This research used descriptive design, involved 100 parents of visual impairments children that were taken using purposive sampling technique. The result showed that 51.0% of parents have a good ability to train self care of visual impairments children. This study has implications for improve the quality of nursing care and educational institusions in maximizing the role of parents in visual impairments child development.

Keywords: parents ability, self care, visual impairments

Pendahuluan

Istilah tunanetra merujuk pada suatu kondisi dimana seseorang yang diidentifikasi tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata (low vision). Sehingga, dalam tugas

perkembangannya seorang tunanetra

memerlukan bantuan atau layanan bimbingan secara spesifik. Hal ini dapat dipahami, karena kondisi anak tunanetra memiliki beberapa karakteristik yang memerlukan perhatian lebih.

Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik (2009 dalam Irwanto, 2010) jumlah penyandang tunanetra merupakan kedua terbesar setelah tunadaksa, yaitu sebesar 15,93%. Dari jumlah tersebut sebanyak

(2)

13.302 tunanetra berada di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data Pendidikan Luar Biasa (PLB) Tahun 2009/2010, jumlah siswa tunanetra yang bersekolah di SLB negeri dan swasta di Indonesia berjumlah 1063 orang. Seratus sembilan belas (119) anak diantaranya berada di Provinsi DKI Jakarta (Kemdiknas, 2010).

Anak berkebutuhan khusus, termasuk tunanetra menjadi jumlah terbesar pada anak yang masih tergantung untuk melakukan perawatan diri (Ulfatulsholihat, 2010). Oleh karena itu, seorang anak tunanetra dituntut untuk memperkecil ketergantungan terhadap bantuan orang lain, termasuk orang tuanya sendiri. Tingginya tingkat ketergantungan anak dalam melakukan kegiatan harian menjadi beban yang amat besar bagi orang tua, pengasuh, dan pemberi layanan kesehatan, termasuk tenaga keperawatan (Tork et al., 2007).

Kemandirian pada anak tunanetra dapat dilatih dari hal yang paling kecil, seperti daily

activities dan self care (perawatan diri). Anak

yang telah mandiri sejak dini, maka akan terbiasa mandiri ketika dewasa. Bagi seorang anak, tidak ada sumber kekuatan (resource) yang lebih penting selain orang tua. Orang tua bertanggung jawab untuk membantu anak mempelajari berbagai keterampilan agar terbentuknya kemandirian. Ketika guru hanya bersifat sementara, orang tua merupakan figur utama dan tetap bagi kehidupan anak.

Kedekatan dengan orang tua memberikan

sumbangan yang paling bermakna

dibandingkan kedekatan dengan teman dan guru (Udaranti, 2005).

Orang tua dari anak berkebutuhan khusus, termasuk dalam hal ini tunanetra, memiliki berbagai peran diantaranya mengajarkan anak, memberi konseling kepada anak, mengatur tingkah laku untuk menjalin hubungan dengan anak, mengasuh saudara kandung yang tidak berkebutuhan khusus, menjaga hubungan orang tua dengan orang tua, mendidik orang-orang terdekat (significant others) dan menjalin hubungan dengan sekolah dan masyarakat (Heward, 1996). Setelah anak tunanetra mendapatkan pelatihan bina diri dari sekolahnya, tentunya orang tua juga harus membiasakan anak untuk mandiri ketika di rumah sesuai dengan peran-peran diatas. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan anak tunanetra dapat maksimal tanpa banyak meminta bantuan dari orang lain, sehingga kemandiriannya pun dapat tercapai.

Kemampuan orang tua baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam melatih kemandirian perawatan diri anak tunanetra sangatlah penting untuk dilakukan, agar senantiasa anak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri tanpa harus tergantung dengan orang lain. Adanya bimbingan dan latihan yang tepat baik di rumah maupun sekolah, dapat menjadikan mereka mandiri

(3)

dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.

Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif untuk melihat tingkat kemampuan (kognitif, afektif, psikomotor) orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode kuesioner.

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh orang tua yang mempunyai anak tunanetra di Jakarta. Sampel penelitian ini berjumlah 100 orang tua dari anak tunanetra yang berusia 3-18 tahun. Rentang anak usia preschool sampai remaja dipilih karena pada usia ini adalah waktu yang tepat bagi orang tua untuk mulai mengajarkan keterampilan perawatan diri pada anak dalam kehidupan sehari-hari dan mempersiapkan anak untuk dapat mandiri pada rentang usia selanjutnya.

Pengambilan sampel menggunakan metode

purposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari Hellen Keller International Indonesia dan Hilton Perkins International Program 2006 dalam The Oregon Project For

Visually Impaired and Blind mengenai peran

orang tua dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, yang juga pernah dipakai sebelumnya pada penelitian Widiastuti (2010). Kuesioner terdiri dari 4 bagian yaitu kuesioner data

demografi, kuesioner kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra. Kemampuan kognitif dan psikomotorik diukur menggunakan skala Guttman dengan pilihan jawaban Benar/Salah dan Ya/Tidak. Kemampuan afektif diukur menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju.

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat untuk mendeskripsikan karakteristik orang tua, karakteristik anak tunanetra, dan kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra. Analisis bivariat merupakan data tambahan untuk melihat hubungan antara kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra dengan karakteristik orang tua dan karakteristik anak.

Hasil

Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari 2013 sampai bulan Juni 2013. Hasil penelitian ini menguraikan karakteristik orang tua, karakteristik anak tunanetra, dan kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra dengan karakteristik orang tua dan karakteristik anak tunanetra. Selain itu, juga dilihat hubungan antara kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra dengan karakteristik orang tua dan karakteristik anak tunanetra.

(4)

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Orang Tua, Karakteristik Anak, Kemampuan Orang Tua Dalam Melatih Perawatan Diri Anak Tunanetra di Jakarta Tahun 2013 (n=100)

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%) Karakteristik Orang Tua 1. Usia Dewasa Muda Dewasa Madya 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 3. Pendidikan Rendah Menengah Tinggi 4. Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja 5. Pendapatan Di bawah UMR Di atas UMR Karakteristik Anak 1. Usia Preschool Sekolah Remaja 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 3. Riwayat Tunanetra Sejak lahir Tidak sejak lahir

Kemampuan Orang Tua 1. Total Kemampuan Cukup Baik 2. Kemampuan Kognitif Cukup Baik 3. Kemampuan Afektif Cukup Baik 4. Kemampuan Psikomotorik Cukup Baik 51 49 22 78 6 59 35 42 58 51 49 13 55 32 58 42 73 27 49 51 33 67 45 55 45 55 51,0 49,0 22,0 78,0 6,0 59,0 35,0 42,0 58,0 51,0 49,0 13,0 55,0 32,0 58,0 42,0 73,0 27,0 49,0 51,0 33,0 67,0 45,0 55,0 45,0 55,0

Pembahasan

Kemampuan orang tua yang baik dalam melatih anak tunanetra merupakan modal utama dalam membentuk keterampilan dan kemandirian anak sehari-hari. Hal ini disebabkan karena orang tua merupakan guru pertama bagi anak, orang yang selalu memberi dukungan, dorongan, pujian dan umpan balik yang baik (Heward, 1996). Semakin dini dilakukan diagnosis dan intervensi, maka akan semakin besar pula tingkat kemajuan perkembangan anak.

Beberapa orang tua tidak dapat mengajarkan keterampilan langsung kepada anaknya karena sebab ketidaktahuan, ketidakmauan atau ketidakmampuan dalam mendidik anak

tunanetra. Kebanyakan orang tua

menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dalam mendidik anak kepada pengasuh di rumah, sekolah, ataupun tenaga professional. Tidak mudah memang bagi orang tua untuk melakukan intervensi atau latihan kepada anak jika orang tua sejatinya masih kurang akan informasi mengenai hal ini. Perlunya diadakan penyuluhan atau program edukasi secara rutin kepada orang tua anak tunanetra, karena di Indonesia hal ini masih jarang dilakukan. Adanya parent support group juga tentunya dapat membantu orang tua untuk

berbagi pengalaman dan memperoleh

(5)

Tabel 2. Hubungan Karakteristik Orang Tua dengan Total Kemampuan Orang Tua Dalam Melatih Perawatan Diri Anak Tunanetra di Jakarta Tahun 2013 (n=100)

Karakteristik Orang Tua

Total Kemampuan Orang Tua Cukup Baik OR (95% CI) X2 p value n % n % 1. Usia

Dewasa Muda (< 40 tahun) Dewasa Madya (≥.40 tahun)

22 27 43,1 55,1 29 22 56,9 44,9 0,618 (0,281-1,462) 0,993 0,319 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 12 37 54,5 47,4 10 41 45,5 52,6 1,330 (0,514-3,437) 0,121 0,728 3. Pendidikan Pendidikan Rendah Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi 5 32 12 83,3 54,2 34,3 1 27 23 16,7 45,8 65,7 - 6,510 0,039* 4. Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja 22 27 52,4 46,6 20 31 47,6 53,4 1,263 (0,570-2,798) 0,139 0,709 5. Pendapatan Keluarga Di bawah UMR Di atas UMR 28 21 54,9 42,9 23 28 45,1 57,1 1,623 (0,737-3,577) 1,009 0,315

Tabel 3. Hubungan Karakteristik Orang Tua dengan Kemampuan Kognitif Orang Tua Dalam Melatih Perawatan Diri Anak Tunanetra di Jakarta Tahun 2013 (n=100)

Karakteristik Orang Tua

Kemampuan Kognitif Orang Tua Cukup Baik OR (95% CI) X2 p value n % n % 1. Usia

Dewasa Muda (< 40 tahun) Dewasa Madya (≥.40 tahun)

13 20 25,5 40,8 38 29 74,5 59,2 0,496 (0,212-1,160) 2,007 0,157 2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 9 24 40,9 30,8 13 54 59,1 69,2 1,558 (0,587-4,136) 0,405 0,524 3. Pendidikan Pendidikan Rendah Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi 5 23 5 83,3 39,0 14,3 1 36 30 16,7 61,0 85,7 - 13,37 0,001* 4. Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja 16 17 38,1 29,3 26 41 61,9 70,7 1,484 (0,640-3,442) 0,499 0,480 5. Pendapatan Keluarga Di bawah UMR Di atas UMR 22 11 43,1 22,4 29 38 56,9 77,6 2,621 (1,098-6,257) 3,947 0,047*

Hasil analisis didapatkan bahwa pendidikan orang tua mempunyai hubungan yang bermakna dengan total kemampuan dan kemampuan kognitif orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra (p = 0,039 dan p = 0,001; α = 0,05). Hasil ini diperkuat oleh pernyataan Siagian (1995 dalam Widiastuti,

2010), yang mengatakan semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar untuk

memanfaatkan pengetahuan dan

keterampilan. Penelitian Smith et al. (2001) juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan orang tua dengan stres dalam mengurus anak

(6)

berkebutuhan khusus. Orang tua dengan latar pendidikan tinggi lebih mampu mengatasi anaknya yang berkebutuhan khusus dengan lebih efektif dibanding orang tua dengan latar pendidikan yang lebih rendah (Barber et al., 1988 dalam Li-Tsang, 2001).

Hasil penelitian tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian Ramawati (2011) yang menyatakan tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara pendidikan orang tua dengan kemampuan perawatan diri anak tunagrahita (p = 0,062; α = 0,05). Resch, Elliott, dan Benz (2012) juga tidak memperoleh hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan orang tua dengan risiko depresi memiliki anak berkebutuhan khusus (p = 0,82; α = 0,05). Hasil penelitian berbeda disebabkan karena mayoritas responden pada penelitian Ramawati (2011) dan Resch et al. (2012) mempunyai tingkat pendidikan minimal SMA dan 95% pernah memasuki dunia perkuliahan, sehingga termasuk responden dengan pendidikan yang tinggi. Latar pendidikan orang tua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan pribadi anak. Orang tua yang mempunyai latar pendidikan yang tinggi akan lebih memperhatikan segala perubahan dan memberikan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua akan berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait dengan kebutuhan dan masalah yang mungkin dialami oleh anak tunanetra.

Pendidikan rendah dari orang tua berakibat kurangnya kualitas orang tua dalam memberikan pengasuhan kepada anak sesuai dengan tahapan perkembangan anak, sehingga anak akan cenderung tidak mandiri dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri mereka. Pendidikan yang rendah pada keluarga juga akan berdampak pada kurangnya pengetahuan orang tua bagaimana mengasuh anak sesuai dengan tahapan tumbuh kembangnya.

Tidak menutup kemungkinan bagi orang tua yang memiliki latar pendidikan rendah

ataupun menengah untuk mempunyai

kemampuan melatih perawatan diri yang baik pada anak, karena untuk memperoleh pengetahuan tidak hanya melalui pendidikan formal saja, bisa juga melalui pendidikan non formal seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan lain-lain. Hal tersebut tentunya akan menambah wawasan bagi orang tua terkait mendidik anak tunanetra dengan baik dan benar sesuai tahap perkembangannya.

Pendidikan juga dapat mempengaruhi perilaku individu. Individu dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih mudah menerima informasi, mudah mengerti dan mudah menyelesaikan masalah. Semakin baik tingkat pendidikan orang tua, maka semakin sedikit jumlah anak yang mengalami keterlambatan

baik secara fisik atau kemampuan

komunikasi, serta memperlihatkan

kemampuan untuk melakukan aktivitas dengan normal (Ramawati, 2011).

(7)

Pendidikan yang tinggi membuat pola pikir seseorang menjadi lebih terbuka, kritis, dan rasional sehingga dapat mempengaruhi keinginan orang tua untuk mencari tahu,

belajar, memberikan latihan, juga

mengarahkan secara tepat dalam melatih anak tunanetra melakukan keterampilan perawatan diri. Dapat dikatakan bahwa orang tua dengan

pendidikan yang tinggi mempunyai

pengetahuan dan kemampuan yang lebih baik dalam membimbing anak-anaknya melakukan tindakan perawatan diri dengan lebih baik. Pendapatan keluarga juga mempunyai

hubungan yang signifikan dengan

kemampuan kognitif orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra (p = 0,047; α = 0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Harvey (2004 dalam Ramawati, 2011) yang mendapatkan bahwa masalah keuangan menjadi masalah sosial yang luas dampaknya bagi orang tua dengan anak berkebutuhan khusus. Smith et al. (2001) juga menambahkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan orang tua dengan stres dalam mengurus anak berkebutuhan khusus.

Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi proses tumbuh kembang anak dalam hal pengasuhan anak. Gunarsa (2004 dalam Herlina, 2013) menyatakan bahwa keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan

orang tua kurang memperhatikan anak untuk berbuat baik dan mengikuti peraturan, kurangnya latihan dan penanaman nilai-nilai dan norma dalam masyarakat, sehingga akan berakibat anak akan mengalami masalah pada proses tumbuh kembangnya. Pendapatan keluarga yang relatif lebih rendah pada akhirnya mengakibatkan keluarga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan anak atau mempersiapkan masa depan yang baik bagi anak berkebutuhan khusus.

Keluarga dengan status sosio-ekonomi yang tinggi menandakan suatu keadaan keuangan yang baik untuk memenuhi perawatan ekstra dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari anak berkebutuhan khusus (Yau & Li-Tsang, 1999). Keluarga dengan status sosial yang tinggi akan berupaya untuk memenuhi segala kebutuhan anak mereka, dari kebutuhan dasar, pendidikan, dan kebutuhan finansial lainnya dapat terpenuhi. Selain itu pada ekonomi keluarga yang tinggi orang tua memiliki waktu lebih cukup untuk membimbing anak mereka, karena orang tua tidak dipusingkan dengan keadaan ekonomi keluarga.

Hasil analisis lebih lanjut terhadap kemampuan afektif dan psikomotorik menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara karakteristik orang tua dan karakteristik anak terhadap kemampuan afektif dan psikomotorik orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra (p > 0,05; α = 0,05). Menurut asumsi peneliti,

(8)

tidak adanya hubungan tersebut dikarenakan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap dan keterampilan seseorang seperti pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media massa dan lembaga pendidikan (Azwar, 1995 dalam Chahyani, 2012). Keyakinan dan perasaan seseorang terhadap objek yang bersangkutan juga dapat mempengaruhi sikap seseorang.

Kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra dapat meningkat seiring dengan bertambahnya pengetahuan. Pengetahuan dapat berasal dari

pendidikan formal dan non-formal,

pengalaman pribadi dan jumlah informasi yang diakses oleh orang tua. Hal ini dapat dijadikan acuan atau panduan bagi para perawat anak yang ada di masyarakat dalam penatalaksanaan keluarga dengan anak tunanetra, seperti dengan meningkatkan pengetahuan orang tua melalui pemberian penyuluhan atau pendidikan kesehatan terkait cara melatih kemandirian perawatan diri anak tunanetra. Bagi pihak institusi pendidikan dan lembaga pelayanan tunanetra, penelitian ini dapat menggambarkan kebutuhan orang tua untuk berbagi pengalaman, pengetahuan dan berlatih merawat anak tunanetra yaitu dengan membentuk parent support group.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri anak tunanetra sebagian besar memiliki total kemampuan yang baik, dengan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor juga berada pada kategori baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik orang tua yaitu tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga perbulan terhadap kemampuan orang tua dalam melatih perawatan diri pada anak tunanetra.

Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk penelitian yang berkaitan dan mampu memperluas area penelitian dengan metode yang berbeda, seperti menggunakan studi perbandingan maupun studi korelasi dengan menambahkan dan mengidentifikasi variabel tambahan terkait karakteristik demografi seperti pola asuh orang tua dan jenis tunanetra anak.

Referensi

Chahyani, I. (2012). Hubungan tingkat

pengetahuan dengan sikap mahasiswa reguler FIK UI terhadap RUU Keperawatan. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Herlina. (2013). Hubungan pola asuh

keluarga dengan kemandirian perawatan diri anak usia sekolah di Kelurahan

(9)

Cisalak Pasar Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Tesis. Depok: Universitas

Indonesia.

Heward, W. (1996). Exceptional children: An

introduction to special education (5th

ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Irwanto., Kasim, E., Fransiska, A., Yusli, M., & Okta, S. (2010). Analisis situasi

penyandang disabilitas di Indonesia: Sebuah desk-review. Depok; Pusat

Kajian Disabilitas FISIP UI.

Kementrian Pendidikan Nasional. (2010).

Daftar tabel data pendidikan luar biasa (PLB) tahun 2009/2010. Diakses pada November 2012.

http://www.psp.kemdiknas.go.id/upload s/Statistik%20Pendidikan/0910/index_p lb_0910.pdf

Li-Tsang, C., Yau, M., & Yuen, H. (2001). Success in parenting children with developmental disabilities: Some characteristics, attitudes and adaptive coping skills. The British Journal of

Developmental Disabilities, 47 (93):

61-71.

Ramawati, D. (2011). Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kemampuan perawatan diri anak tunanetra di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah.

Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Resch, J., Elliot, T., & Benz, M. (2012).

Depression among parents of children with disabilities. American Psychological

Association, 30 (4): 291-301. doi:

10.1037/a0030366

Smith, T., Oliver, M., & Innocenti, M. (2001). Parenting stress in families of children with disabilities. American Journal of

Orthopsychiatric, 71 (2): 257-261. doi:

http://dx.doi.org/10.1037/0002-9432.71.2.257

Tork, H., Lohrmann, C., & Dassen, T. (2007). Care dependency among school-aged children: Literature review. Nursing and

Health Sciences, 9: 142-149.

Udaranti, W. (2005). Sumbangan kelekatan

dengan orangtua, guru, dan teman, terhadap keterlibatan akademis remaja tuna netra (Studi di Sekolah Menengah SLB-A di Kota Jakarta, Bekasi, Bandung). Tesis. Depok: Universitas

Indonesia.

Ulfatulsholihat, R. (2010). Peran orangtua dalam penyesuaian diri anak tuna grahita.

Jurnal Universitas Gunadarma, Jakarta.

Widiastuti, S. H. (2010). Pengaruh terapi

kelompok suportif terhadap kemampuan keluarga dalam melatih “self care” anak tunanetra ganda di SLB G Rawinala di Jakarta. Tesis. Depok: Universitas

Indonesia.

Yau, M., & Li-Tsang, C. (1999). Adjusment and adaptation in parents children with developmental disability in two-parent families: A review of the characteristics and attributes. The British Journal of

Gambar

Tabel  1.  Distribusi  Karakteristik  Orang  Tua,   Karakteristik  Anak,  Kemampuan  Orang  Tua  Dalam  Melatih  Perawatan  Diri  Anak  Tunanetra di Jakarta Tahun 2013 (n=100)
Tabel 3. Hubungan Karakteristik Orang Tua dengan Kemampuan Kognitif Orang Tua Dalam  Melatih Perawatan Diri Anak Tunanetra di Jakarta Tahun 2013 (n=100)

Referensi

Dokumen terkait

Media pembelajaran interaktif sangat berperan penting di dalam pendidikan karena dengan media pembelajaran interaktif yang tepat materi dan sesuai dengan tujuan

Alhamdulillahirobbil ‘Alamiin penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi

Gerakan tutup insang ke samping dan selaput tutup insang tetap menempel pada tubuh mengakibatkan rongga mulut bertambah besar, sebaliknya celah belakang insang tertutup.

Apabila tidak terdapat wakil penawar yang hadir pada saat pembukaan, panitia menunda pembukaan kotak/tempat pemasukan dokumen penawaran sampai dengan batas

Menurut Emile Durkheimı pokok bahasa n sosiologi adalah fakta sosial yakni pola atau sistem yang memengaruhi cara manusia dalam bertindak, berpikir dan merasa.. Fakta sosial

Berdasarkan hasil kadar abu tepung dari tiga varietas labu kuning, dapat dilihat bahwa varietas kabocha memiliki perbedaan nyata dengan butternut dan labu parang,

a. Norbert Hanold’s Repression and Neurosis ……….. Norbert Hanold’s Mental Problem in Wilhelm Jensen’s Gradiva: A Pompeiian Fancy. Yogyakarta: Jurusan Sastra Inggris,

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008