• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cacing tanah termasuk hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cacing tanah termasuk hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata),"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cacing Tanah

Cacing tanah termasuk hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata),

filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Clitellata yang hidup dalam tanah, berukuran beberapa cm hingga panjang >2 m. Oligochaeta yang hidup di daratan (terrestrial) ada 10 famili dan berukuran lebih besar, disebut Megadrila, sedangkan yang hidup di dalam air, ada tujuh famili dan berukuran lebih kecil, disebut Micodrila. Kelompok Megadrila inilah yang biasanya dikenal sebagai cacing tanah yang diseluruh dunia tersebar sekitar 1.800 spesies, tetapi yang paling banyak dijumpai di Eropa, Asia Barat, dan sebagian besar Amerika Utara adalah yang termasuk famili Lumbricidae. (Hanafiah, dkk.2003).

Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH), (b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2,

(e) bahan organik, (f) jenis, dan (g) suplai nutrisi (Hanafiah, dkk.2003). 2.1.1. Anatomis dan Morfologis

Secara sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan secara integral, diselaputi oleh epidermis berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan setae (lapisan daging semu bawah kulit), kecuali pada dua segmen pertama (bagian mulut); bersifat hemaprodit (berkelamin ganda) dengan peranti kelamin seadanya pada

(2)

segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk klitelum (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin (kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing dewasa.

Secara struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang mengandung coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan sistem vaskuler tertutup. Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran dikeluarkan lewat anus atau peranti khusus yang disebut nephridia. Respirasi (pernapasan) terjadi melalui kutikuler (Anas, 1990).

2.1.2. Manfaat Cacing Tanah

Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” (intestines of the earth) (Hanafiah, dkk.2003). 2.1.2.1.Bidang Farmasi

Di RRC, Korea, Vietnam, dan banyak tempat lain di Asia Tenggara, cacing tahah terutama dari jenis Lumbricus spp, bisa digunakan sebagai obat sejak ribuan tahun yang lalu. Cacing tanah telah dicantumkan dalam "Ben Cao Gang Mu", buku bahan obat standar (farmakope) pengobatan tradisional China. Di China, cacing tanah akrab disebut 'naga tanah'. Nama pasaran cacing tanah kering di kalangan pedagang obat-obatan tradisional China adalah ti lung kam.

(3)

Hasil penelitian terhadao cacing tanah menyebutkan bahwa senyawa aktifnya mampu melumpuhkan bakteri patogen, khususnya Eschericia coli penyebab diare. Bisik-bisik pengalaman nyata lain juga santer menyebutkan cacing bermanfaat untuk menyembuhkan rematik, batu ginjal, dan cacar air. Di beberapa negara Asia dan Afrika, cacing tanah yang telah dibersihkan dan dibelah kemudian dijemur hingga kering, lazim dijadikan makanan obat (healing foods). Biasanya disangrai atau digoreng kering, disantap sebagai keripik cacing. Diduga kebiasaan menyantap cacing ini dapat membantu menekan angka kematian akibat diare di negara-negara miskin Asia-Afrika.

Dalam dunia moderen sekarang ini, senyawa aktif cacing tanah digunakan sebagai bahan obat. Bahkan, tak sedikit produk kosmetik yang memanfaatkan bahan aktif tersebut sebagai substrat pelembut kulit, pelembab wajah, dan antiinfeksi. Sebagai produk herbal, telah banyak merek tonikum yang menggunakan ekstrak cacing tanah sebagai campuran bahan aktif.

Ba Hoang, MD, PhD, di Vietnam, yang berpraktek pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional China, telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk mengobati pasien-pasiennya yang mengidap stroke, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah (arterosklerosis), kejang ayan (epilepsi), dan berbagai penyakit infeksi. Resep-resepnya telah banyak dijadikan obat paten untuk pengobatan alergi, radang usus, dan stroke.

Kegunaan cacing tanah sebagai penghancur gumpalan darah (fibrimolysis) telah dilaporkan oleh Fredericq dan Krunkenberg pada tahun 1920-an. Sayangnya, laporan tersebut tidak mendapat tanggapan memadai dari para ahli saat itu. Sesudah

(4)

masa tersebut, Mihara Hisahi, peneliti dari Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari Lumbricus (cacing tanah), maka enzim tersebut kemudian dinamakan lumbrokinase.

Canada RNA Biochemical, Inc. kemudian mengembangkan penelitian tersebut dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang " Boluoke". Lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung (ischemic) yang berisiko mengundang penyakit jantung koroner (PJK), tekanan darah tinggi (hipertensi), dan stroke.

Selama ini obat penghancur gumpalan darah uang banyak digunakan adalah aktivator jaringan plasminogen (tissue-plasminogen activator, tPA) dan stretokinase. Padahal, kedua jenis obat tersebut daya kerjanya lambat. Selain itu, aspirin-pun sering digunakan untuk mencegah penggumpalan darah, sayangnya reaksinya terlalu asam bagi tubuh, sehingga banyak pengguna tidak tahan dan beresiko mengakibatkan tukak lambung.

Penelitian terhadap khasiat cacing tanah sudah pernah dilakukan juga secara besar-besaran di China sejak tahun 1990, melibatkan tiga lembaga besar. Yakni Xuanwu Hospital of Capital Medical College, Xiangzi Provicial People's Hospital, dan Xiangxi Medical College. Uji coba klinis serbuk enzim cacing tanah ini dikalukan terhadap 453 pasien pengderita gangguan pembuluh darah (ischemic cerebrovascular disease) dengan 73% kesembuhan total (Anonim. 2008).

(5)

2.1.2.2.Bidang Pertanian

Tanah yang terkontaminasi logam berat dapat dimonitor oleh cacing tanah. Hasil penelitian Fang et al. (1999) dalam Paoletti (1999) menunjukkan bahwa di sub tropik, China adanya korelasi negatif antara konsentrasi arsenic di tanah dengan populasi cacing tanah

Megascolecidae. Selain itu cacing tanah sangat dipengaruhi oleh produk terkontaminasi Cu.

Tanah dengan konsentrasi 100-150 ppm Cu umumnya merusak populasi cacing tanah, sebab hanya sedikit spesies yang bertahan pada kondisi ini. Banyak spesies endogeis tidak ditemukan pada tanah terkontaminasi Cu dan jumlah spesies lubang besar drastis seperti

Lumbricus terrestris.

Jumlah cacing tanah bermanfaat untuk memonitoring sistem pertanian yang berbeda-beda, serta untuk mengevaluasi tanah terkontaminasi dan manajemen praktis seperti efek residu pestisida, pengolahan tanah, pemadatan, dan bahan organik. Hasil penelitian di Alto Adige, Italia menunjukkan bahwa populasi cacing tanah pada kebun apel yang dikelola secara konvensional lebih rendah dibandingkan dengan kebun apel yang dikelola secara organik (Paoletti et al., 1995).

2.1.2.3.Bidang Peternakan

Dari hasil penelitian menunjukkan cacing tanah mempunyai kandungan protein cukup tinggi, yaitu sekitar 72%, yang dapat dikategorikan sebagai protein murni. Kalau dibandingkan dengan jenis bahan makanan asal hewan lainnya, misalnya ikan teri yang biasanya dipakai dalam campuran ransum unggas, mempunyai kandungan protein protein kasar berkisar antara 58-67% dan bekicot dengan kandungan protein 60,90%, masih jauh lebih rendah dibanding dengan cacing tanah. Apalagi kalau dibandingkan dengan sumber protein dari bahan tanaman, seperti bungkil kedele, bungkil kelapa dan lain-lain, rata-rata kandungan proteinnya

(6)

jauh lebih rendah dibanding cacing tanah. Demikian pula susunan asam amino yang sangat penting bagi unggas, seperti arginin, tryptophan dan tyrosin yang sangat kurang dalam bahan pakan yang lain, pada cacing tanah kandungannya cukup tinggi. Kandungan arginin cacing tanah berkisar 10,7% tryptophan, 4,4% tyrosin, 2,25%.

Oleh karena itu cacing tanah mempunyai potensi yang cukup baik untuk mengganti tepung ikan dalam ransum unggas dan dapat menghemat pemakaian bahan dari biji-bijian sampai 70%.Walaupun demikian, penggunaan cacing tanah dalam ransum unggas disarankan tidak lebih dari 20% total ransum. Hal ini sudah sangat menguntungkan mengingat cacing tanah yang banyak tersebar di dataran nusantara kita dan potensinya cukup baik, serta sangat mudah untuk dibudidayakan sehingga dapat menekan biaya makanan unggas yang sangat tinggi dipasaran, sehingga keuntungan yang akan diraih lebih tinggi (Anonime, 2009).

2.2. Spesies Cacing Tanah 2.2.1. Drawida Sp.

Warna tubuh bagian dorsal kuning kecoklatan, bagian ventral kuning kekuningan (pucat), panjang tubuh 65-160 mm, diameter 2,5-5,5 mm, jumlah segmen 135 – 160 (Arlen, 2010). Kingdom Animalia Filum Annelida Kelas Clitellata Subkelas Oligochaeta Order Moniligastrida Family Moniligastridae

(7)

Marga Drawida Spesies ----

2.2.2. Mogascolex Sp.

Warna tubuh bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral kuning kekuningan (pucat), panjang tubuh 65-105 mm, diameter 1,5-3,5 mm, jumlah segmen 160 – 180 (Arlen, 2010).

Kingdom Animalia -- Animal, animals, animaux Filum Annelida Kelas Clitellata Subkelas Oligochaeta Order Haplotaxida Suborder Lumbricina Family Megascolecidae Marga Megascolex Spesies ---- 2.2.3. Pontoscolex corethaurus Sp.

Warna tubuh bagian dorsal keputih-putihan dengan sedikit kecoklatan, panjang tubuh 55-110 mm, diameter 1,5-4 mm, jumlah segmen 190 – 205 (Arlen, 2010). Klassifkasi spesies ini sebagai berikut :

Kingdom Animalia Filum Annelida Kelas Clitellata

(8)

Subkelas Oligochaeta

Order Haplotaxida

Suborder Lumbricina

Family Glossoscolecidae

Marga Pontoscolex Schmarda, 1861 Spesies Pontoscolex corethrurus (Mueller)

2.3. Logam Berat

Logam berat umumnya berbahaya karena memiliki rapat massa tinggi dan dalam jumlah konsentrasi kecil dapat bersifat racun dan berbahaya. Beberapa dari logam ini merupakan logam bahan berbahaya dan beracun (logam B3) yang pada

umumnya secara alami merupakan komponen tanah. Logam ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau melalui udara (Martaningtyas, 2005).

Arsen (As), Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), adalah jenis logam yang termasuk dalam kelompok logam yang berbahaya dan beracun bagi kehidupan makhluk hidup. Beberapa logam lain yang juga cukup berbahaya antara lain aluminium (Al), kromium (Cr), dan ada juga beberapa jenis logam yang termasuk kelompok logam esensial yang dibutuhkan oleh tubuh untuk membantu kinerja metabolisme misalnya, seng (Zn) dan tembaga (Cu). Logam berat yang nonesensial dapat bersenyawa dengan protein jaringan dan tertimbun serta berikatan dengan protein, sehingga senyawanya disebut metalotionein yang dapat menyebabkan toksik (Darmono, 1995).

(9)

2.3.1. Kadmium (Cd)

Kadmium adalah logam keperakan, yang dapat ditempa dan liat. Logam ini melebur pada 3210C dan larut dengan lambat dalam asam encer dengan melepaskan hidrogen (disebabkan potensial elektrodanya yang negatif) (Vogel,1990).

Kasus toksisitas Kadmium dilaporkan sejak pertengahan tahun 1980-an dan kasus tersebut semakin meningkat sejalan dengan perkembangan ilmu kimia di akhir abad 20-an. Sampai sekarang diketahui bahwa kadmium merupakan logam berat yang paling banyak menimbulkan toksisisitas pada makhluk hidup (Darmono, 2001).

Kadmium dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan ginjal terutama terikat sebagai metalotionin. Metalotionin mengandung unsur sistein, dimana kadmium terikat dalam gugus sulfhidril (-SH) dalam enzim. Kemungkinan besar pengaruh toksisisitas kadmium disebabkan oleh interaksi antara kadmium dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh (Darmono, 2001).

2.3.2. Timbal (Pb)

Timbal adalah sejenis logam abu-abu kebiruan, mempunyai kerapatan yang tinggi, sangat lembut dan mudah meleleh. Larut dalam HNO3 pekat, sedikit larut

dalam HCl dan H2SO4 encer ( Vogel, 1990).

Toksisitas timbal dibedakan menurut beberapa organ yang dipengaruhinya yaitu sistem hemopoietik, sistem saraf pusat dan tepi, sistem ginjal, sistem gastrointestinal, sistem kardiovaskular, sistem reproduksi, sistem endokrin. Timbal dalam tubuh terutama terikat pada gugus –SH dalam molekul protein dan menyebabkan terjadinya hambatan pada aktivitas kerja sistem enzim. Timbal

(10)

bersirkulasi dalam darah setelah diabsorpsi dari usus, terutama hubungannya dengan sel darah merah (eritrosit). Selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan lunak seperti tubulus ginjal dan sel hati, lalu disimpan dalam tulang, rambut, dan gigi, dimana 90% deposit terjadi dalam tulang dan hanya sebagian kecil tersimpan dalam otak (Darmono, 2001).

Timbal (Pb) mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan bukan karena penggunaan terapinya, melainkan lebih disebabkan karena sifat toksisitasnya. Absobsi timbal di dalam tubuh sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi dan menjadi dasar keracunan yang progresif. Keracunan timbal ini menyebabkan kadar timbal yang tinggi dalam aorta, hati, ginjal, pankreas, paru-paru, tulang, limpa, testis, jantung dan otak (Supriyanto, dkk. 2007)

2.4. Pencemaran Logam Berat pada Tanah

Secara ekologis tanah tersusun oleh tiga kelompok material, yaitu material hidup (faktor biotik) berupa biota (jasad-jasad hayati), faktor abiotik berupa bahan organik, dan faktor abiotik berupa pasir, debu dan liat. Umumnya sekitar 5% penyusun tanah merupakan biomass biotik dan abiotik (Hanafiah, dkk.2003).

Pembuangan limbah ke tanah apabila melebihi kemampuan tanah dalam mencerna limbah akan mengakibatkan pencemaran tanah. Jenis limbah yang potensial merusak lingkungan hidup adalah limbah yang termasuk dalam Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang di dalamnya terdapat logam-logam berat. Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai massa jenis lebih besar dari 5 g/cm3, antara lain Cd, Hg, Pb, Zn dan Ni. Logam berat Cd, Hg dan Pb dinamakan sebagai

(11)

logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam beracun bagi makhluk hidup (Arnold (1990 dalam Subowo et al. 1995)

Logam dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada makhluk hidup. Hal ini terjadi jika sejumlah logam mencemari linbgkungan. Logam logam tertentu sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan (dalam air, tanah dan udara), karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh makhluk hidup. Pencemaran lingkungan oleh logam-logam berbahaya (Cd, Pb, Hg) dapat terjadi jika orang atau pabrik yang menggunakan logam tersebut untuk proses produksinya tidka memerhatikan keselamatan lingkungan (Darmono, 1995).

Komunitas organisme tanah selain berperan penting dalam proses ekologi seperti siklus hara juga respon terhadap gangguan pada lingkungan tanah seperti kontaminasi dari logam berat dan pestisida. Sistem biologi sangat sensitif terhadap degradasi yang baru terjadi sekalipun, sehingga perubahan status biologi dari sistem tersebut dapat menjadi peringatan dini atas kemunduran lingkungan (Ansyori. 2004)

Pencemaran logam berat pada tanah daratan sangat erat hubungannya dengan pencemaran udara dan air. Partikel logam berat yang berterbangan di udara akan terbawa oleh air hujan yang membasahi tanah shingga timbul pencemaran tanah. Kandungan logam berat di dalam tanah secara alamiah sangat rendah, kecuali tanah tersebut sudah tercemar. Tabel di bawah ini menunjukkan kandungan kadar logam berat dalam tanah secara alamiah (Darmono. 1995).

(12)

Tabel 1. Kandungan logam berat dalam tanah secara alamiah (µg/g) Logam Kandungan (Rata-rata) Kisaran Non Populasi

As 100 5 – 3000 Co 8 1 – 40 Cu 20 2 – 300 Pb 10 2 – 200 Zn 50 10 – 300 Cd 0,06 0,05 – 0,07 Hg 0,03 0,01 – 0,03

Sumber : Peterson dan Alloway (1979) dalam Darmono (1995) 2.5. Spektrofotometri Serapan Atom

2.5.1. Teori Spektrofotometri Serapan Atom

Prinsip dasar Spektrofotometri serapan atom adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom. Spektrofotometri serapan atom merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah (Khopkar, 1990). Teknik ini adalah teknik yang paling umum dipakai untuk analisis unsur.

Cara kerja Spektroskopi Serapan Atom ini adalah berdasarkan atas penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengapsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Darmono,1995).

(13)

Jika radiasi elektromagnetik dikenakan kepada suatu atom, maka akan terjadi eksitasi elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Setiap panjang gelombang memiliki energi yang spesifik untuk dapat tereksitasi ke tingkat yang lebih tingggi. Besarnya energi dari tiap panjang gelombang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

E = h . λC ...(1) Dimana E = Energi (Joule)

h = Tetapan Planck ( 6,63 . 10 -34 J.s) C = Kecepatan Cahaya ( 3. 10 8 m/s), dan

λ = Panjang gelombang (nm)

Larutan sampel disemprotkan ke suatu nyala dalam bentuk aerosol dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang terbuat oleh unsur-unsur yang bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala.

Absorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala. Kedua variabel ini sulit untuk ditentukan tetapi panjang nyala dapat dibuat konstan sehingga absorbansi hanya berbanding langsung dengan konsentrasi analit dalam

(14)

larutan sampel. Teknik-teknik analisisnya yaitu kurva kalibrasi, standar tunggal dan kurva standar adisi (Azis, 2007).

Aspek kuantitatif dari metode spektrofotometri diterangkan oleh hukum Lambert-Beer, yaitu:

A = ε . b . c atau A = a . b . c ...(2) Dimana :

A = Absorbansi

ε = Absorptivitas molar (mol/L) a = Absorptivitas (gr/L)

b = Tebal nyala (nm) c = Konsentrasi (ppm)

Absorpsivitas molar (ε) dan absorpsivitas (a) adalah suatu konstanta dan nilainya spesifik untuk jenis zat dan panjang gelombang tertentu, sedangkan tebal media (sel) dalam prakteknya tetap. Dengan demikian absorbansi suatu zat akan merupakan fungsi linier dari konsentrasi, sehingga dengan mengukur absorbansi suatu zat konsentrasinya dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan konsentrasi larutan standar.

2.5.2. Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom

Alat spektrofotometer serapan atom terdiri dari rangkaian dalam diagram skematik berikut:

(15)

Gambar 1. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Haris, 1982).

Komponen-komponen Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) 1. Sumber Sinar

Sumber radiasi SSA adalah Hallow Cathode Lamp (HCL). Setiap pengukuran dengan SSA kita harus menggunakan Hallow Cathode Lamp khusus misalnya akan menentukan konsentrasi tembaga dari suatu cuplikan. Maka kita harus menggunakan Hallow Cathode Cu. Hallow Cathode Cu akan memancarkan energi radiasi yang sesuai dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom.

Hallow Cathode Lamp terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari unsur yang sama dengan yang akan dianalisis dan anoda yang terbuat dari tungsten. Dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan dan atom-atom logam katodanya akan teruapkan dengan pemercikan. Atom akan tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang tertentu (Khopkar, 1990).

(16)

2. Sumber atomisasi

Sumber atomisasi dibagi menjadi dua yaitu sistem nyala dan sistem tanpa nyala. Kebanyakan instrumen sumber atomisasinya adalah nyala dan sampel diintroduksikan dalam bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk aerosol. Aerosol biasa dihasilkan oleh nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray). Jenis nyala yang digunakan secara luas untuk pengukuran analitik adalah campuran gas udara-asetilen dan nitrous oksida-asetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis yang sesuai untuk kebanyakan analit dapat ditentukan dengan menggunakan metode-metode emisi, absorbsi dan juga fluorosensi.

3. Monokromator

Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh Hallow Cathode Lamp.

4. Detektor

Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka.

5. Sistem pengolah

Sistem pengolah berfungsi untuk mengolah kuat arus dari detektor menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi data dalam sistem pembacaan.

(17)

Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau gambar yang dapat dibaca oleh mata.

2.5.3. Gangguan dalam Spektrofotometri Serapan Atom

Berbagai faktor dapat mempengaruhi pancaran nyala suatu unsur tertentu dan menyebabkan gangguan pada penetapan konsentrasi unsur.

1. Gangguan akibat pembentukan senyawa refraktori

Gangguan ini dapat diakibatkan oleh reaksi antara analit dengan senyawa kimia, biasanya anion, yang ada dalam larutan sampel sehingga terbentuk senyawa yang tahan panas (refractory). Sebagai contoh fospat akan bereaksi dengan kalsium dalam nyala menghasilkan pirofospat (Ca2P2O7). Hal ini menyebabkan absorpsi

ataupun emisi atom kalsium dalam nyala menjadi berkurang. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan stronsium klorida atau lanthanum nitrat ke dalam larutan. Gangguan ini dapat juga dihindari dengan menambahkan EDTA berlebih. EDTA akan membentuk kompleks kelat dengan kalsium, sehingga pembentukan senyawa refraktori dengan fospat dapat dihindarkan. Selanjutnya kompleks Ca-EDTA akan terdisosiasi dalam nyala menjadi atom netral Ca yang menyerap sinar. Gangguan yang lebih serius terjadi apabila unsur-unsur seperti: Al, Ti, Mo, V dan lain-lain bereaksi dengan O dan OH dalam nyala menghasilkan logam oksida dan hidroksida yang tahan panas. Gangguan ini hanya dapat diatasi dengan menaikkan temperatur nyala, sehingga nyala yang umum digunakan dalam kasus semacam ini adalah nitrous oksida-asetilen.

(18)

Gangguan ionisasi ini biasa terjadi pada unsur-unsur alkali tanah dan beberapa unsur yang lain. Unsur-unsur tersebut mudah terionisasi dalam nyala. Dalam analisis dengan SSA yang diukur adalah emisi dan serapan atom yang tak terionisasi. Oleh sebab itu dengan adanya atom-atom yang terionisasi dalam nyala akan mengakibatkan sinyal yang ditangkap detektor menjadi berkurang. Namun demikian gangguan ini bukan gangguan yang sifatnya serius, karena hanya sensitivitas dan linearitasnya saja yang terganggu. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan unsur-unsur yang mudah terionisasi ke dalam sampel sehingga akan menahan proses ionisasi dari unsur yang dianalisis.

3. Gangguan fisik alat

Gangguan fisik adalah semua parameter yang dapat mempengaruhi kecepatan sampel sampai ke nyala dan sempurnanya atomisasi. Parameter-parameter tersebut adalah kecepatan alir gas, berubahnya viskositas sampel akibat temperatur nyala. Gangguan ini biasanya dikompensasi dengan lebih sering membuat kalibrasi atau standarisasi (Syahputra, 2004).

2.6. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode analisis diuraikan dan didefenisikan sebagaimana cara penentuannya (WHO, 2004).

(19)

2.6.1. Kecermatan (accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai perses perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Perolehan kembali dapat ditentukan dengan cara membuat sampel plasebo (eksipien obat, cairan biologis) kemudian ditambahkan analit dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi (Harmita, 2004).

Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo, maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisa dengan metode tersebut (Harmita, 2004).

2.6.2. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi dapat didefenisikan sebagai konsentasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi dan batas kuantifikasi didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007; Harmita, 2004).

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan tujuan utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang kandungan logam berat dalam tiga jenis cacing tanah yang hidup bebas di tempat sampah yang berbeda.

3.1 Lokasi / Waktu Penelitian

Penyiapan sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif Fakultas Farmasi USU dan pengukuran kadar dilakukan di salah satu perusahaan swasta di Kawasan Industri Medan (KIM) yang dilakukan dari bulan April-Juli 2010.

3.2 Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro analisa keluaran E. Merck antara lain larutan standar Timbal 1000 ppm , larutan standar Kadmium 1000 ppm, Ammonium Hidroksida 25% v/v, dithizon 98% b/b, Asam Nitrat 65% v/v, Kloroform dan Akuabides.

3.3 Alat-Alat

Alat-alat yang digunakan yaitu AAS GBC Avanta G-GF 3000 (AAS-Graphite Furnace), Neraca Listrik (AND GF-200), lampu katoda Timbal, dan Kadmium (GBC), hot plate (Lab. Compagnion), pH indikator universal (E.Merck), spatula, botol kaca dan alat-alat gelas (Pyrex).

(21)

3.4 Pembuatan Pereaksi 3.4.1 Larutan HNO3 1% v/v

Larutan HNO3 65% v/v sebanyak 15,4 ml diencerkan dengan air suling

hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1979). 3.4.2 Larutan Dithizon 0,005% b/v

Dithizon sebanyak 5 mg dilarutkan dalam 100 ml kloroform (Vogel, 1990). 3.4.3 Larutan NH4OH 1 N

Ammonium hidroksida 25% v/v sebanyak 7,4 ml diencerkan dalam 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5 Sampel

3.5.1 Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel di lakukan oleh Bagian Taksonomi dan Ekologi Hewan Fakultas MIPA Biologi Universitas Sumatera Utara, Medan. Hasil identifikasi sampel, yaitu :

1. Megascolex sp 2. Drawida sp

3. Pontoscolex corethrurus

(hasil identifikasi dapat dilihat di Lampiran 1, hal. 28). 3.5.2 Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling seadanya yang berdasarkan kemudahan mendapatkan data tanpa perhitungan mengenai derajat kerepresentatifannya. Dari beberapa lokasi yang di survei, maka spesies cacing tanah diambil dari tanah tumpukan sampah organik di Tempat Pembuangan Sampah

(22)

Sementara (TPS) Kecamatan Medan Sunggal untuk Drawida sp, Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Marelan untuk Megascolex sp dan Lahan Pertanian di Kawasan Fakultas Pertanian USU Pontoscolex corethrurus.

3.5.3 Penyiapan Sampel

Cacing segar jenis Drawida sp sebanyak 71,08 gr, Megascolex sp sebanyak 165,15 gr, dan Pontoscolex corethrurus sebanyak 111,15 gr, dibersihkan dari kotoran dengan cara dicuci dengan air mengalir hingga air cucian bersih dari kotoran, kemudian dibilas dengan akuabides. Lalu cacing yang telah dicuci dikeringkan di oven pada suhu 100°C sampai cukup kering untuk dapat digerus, lalu dihaluskan sampai homogen. Diperoleh bubuk cacing Drawida sp sebanyak 12,68 gr, Megascolex sp sebanyak 26,37 gr, dan Pontoscolex corethrurus sebanyak 17,8 gr. 3.6 Prosedur Destruksi dan Pembuatan Larutan Sampel

Timbang ±1 gram bubuk cacing, tambahkan 5 ml asam nitrat 65% v/v, kemudian dipanaskan di atas hotplate pada temperatur sekitar 100°C selama setengah jam atau sampai mengering. Tambahkan 10 ml asam nitrat 65% v/v hingga residu larut, disaring ke dalam labu tentukur 25ml menggunakan kertas saring Whatman No.42 sebanyak 2 kali dengan membuang 2 ml filtrat pertama. Kemudian diencerkan dengan akuabides sampai garis tanda (Chapple:1991).

Kemudian larutan ini digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dengan Spektrofotometer Serapan Atom

(23)

3.7 Pemeriksaan Kualitatif

3.7.1 Pemeriksaan Kualitatif untuk Timbal

Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 2 ml larutan sampel hasil destruksi, diatur pH-nya 7 dengan penambahan ammonium hidroksida 1N, dimasukkan kristal kalium sianida, ditambahkan 2 ml dithizon 0,005% b/v kocok kuat, dibiarkan lapisan memisah dan terbentuk warna merah tua (Fries, 1977).

3.7.2 Pemeriksaan Kualitatif untuk Kadmium

Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 2 ml larutan sampel, diatur pH-nya 12 dengan penambahan ammonium hidroksida 1N, dimasukkan kristal kalium sianida, ditambahkan 2 ml dithizon 0,005% b/v kocok kuat, dibiarkan larutan memisah dan terbentuk warna merah muda (Fries, 1977).

3.8 Pemeriksaan Kuantitatif

3.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi 3.8.1.1 Kurva Kalibrasi Timbal

Larutan baku timbal (1000 ppm) dipipet sebanyak 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan

ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 100 ppm). Larutan baku 100 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga

garis tanda (konsentrasi 10 ppm).

Dari larutan tersebut dipipet 0,5 ml; 1 ml; 2 ml ; 3 ml dan 4 ml ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan

(24)

HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda, diperoleh larutan

dengan konsentrasi 0,05 ppm; 0,1 ppm; 0,2 ppm ; 0,3 ppm dan 0,4 ppm lalu diukur pada panjang gelombang 217 nm menggunakan lampu katoda 6 mA.

3.8.1.2 Kurva Kalibrasi Kadmium

Larutan baku kadmium (1000 ppm) dipipet sebanyak 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan

ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 100 ppm). Larutan baku 100 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga

garis tanda (konsentrasi 10 ppm).

Larutan kadmium 10 ppm ini dipipet 0,1 ml; 0,25 ml; 0,5 ml ; 0,75 ml dan 1 ml, masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda diperoleh

larutan dengan konsentrasi 0,01 ppm; 0,025 ppm; 0,05 ppm; 0,075 ppm dan 0,1 ppm lalu diukur pada panjang gelombang 228,8 nm menggunakan lampu katoda 4 mA. 3.8.2 Penetapan Kadar Timbal dan Kadmium dalam Sampel

Dari grafik kurva standar masing-masing logam terdapat hubungan antara Konsentrasi (C) dengan Absorbansi (A) maka dapat diketahui nilai slope dan intersep. Konsentrasi logam dalam sampel dapat diketahui dengan memasukkan nilai tersebut ke dalam persamaan regresi linear menggunakan hukum Lambert-Beer yaitu:

Y = Bx + A

(25)

X = Konsentrasi sampel B = Slope

Dari perhitungan regresi linear, maka dapat diketahui kadar dari sampel dengan menggunakan rumus : C Sebenarnya (ppm) = (g) Sampel Berat n pengencera Faktor x (ml) preparat Volume x ) / ( pembacaan C mcg ml

3.9 Validasi Metode Analisis

3.9.1 Penentuan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) Batas deteksi atau Limit of Detection (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi. Batas kuantitasi atau Limit of Quantitation (LOQ) merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel.

Batas deteksi dapat dihitung berdasarkan pada Standar Deviasi (SD) dari kurva antara respon dan kemiringan (slope) dengan rumus :

SD = 2 ) ( 2 − −

n Yi Y LOD = slope SD x 3

Sedangkan untuk penentuan batas kuantitasi dapat digunakan rumus :

LOQ = slope SD x 10 (Harmita, 2004)

(26)

3.9.2 Uji Perolehan Kembali 3.9.2.1 Pembuatan Larutan Baku

Larutan baku timbal (1000 ppm) dipipet sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan

ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 10 ppm). Larutan baku timbal 10 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga

garis tanda (konsentrasi 1 ppm).

Larutan baku kadmium (1000 ppm) dipipet sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan

ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 10 ppm). Larutan baku kadmium 10 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling

hingga garis tanda (konsentrasi 1 ppm). 3.9.2.2 Prosedur Uji Perolehan Kembali

Sampel ditimbang seksama lebih kurang 1 gram. Larutan standar yang ditambahkan yaitu, 1 ml larutan standar timbal (konsentrasi 1 ppm) untuk uji perolehan kembali timbal dan 1 ml larutan standar kadmium (konsentrasi 1 ppm) untuk uji perolehan kembali kadmium. Dilakukan pengulangan sebanyak 6 (enam) kali.

(27)

Kadar larutan baku yang ditambahkan dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 19 hal. , selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama seperti 3.6; lalu dihitung persentase uji perolehan kembali dengan rumus :

Uji perolehan kembali (%) =

Kadar zat setelah ditambahkan standar - kadar zat dalam sampel

X 100 % Jumlah standar yang ditambahkan dalam sampel

Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2. Rentang kesalahan yang diijinkan pada uji perolehan kembali Analit pada matriks

sampel Rata-rata yang diperoleh (%) 100 >10 >1 >0,1 0,01 0,001 0,000.1 (1 ppm) 0,000.01 (100 ppb) 0,000.001 (10 ppb) 0,000.000.1 (1 ppb) 98-102 98-102 97-103 95-105 90-107 90-107 80-110 80-110 60-115 40-120 Sumber : Harmita, (2004)

(28)

3.10 Analisis Statistik

3.10.1 Penolakan Hasil Pengamatan

Kadar Timbal dan Kadmium yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing 6 larutan sampel, diuji secara statistik dengan uji t. Data diterima jika t hitung <

t tabel. t hitung = n SD X X / −

Tabel 3. Harga Koefisien Penolakan t

Jumlah pengamatan ttabel (nilai tkritis)

2 12,706

3 4,3027

4 3,1824

5 2,7765

6 2,5706

Sumber: Gandjar dan Rohman (2007).

3.10.2 Rata – Rata Kadar Timbal dan Kadmium

Kadar Timbal dan Kadmium yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing 6 larutan sampel, ditentukan rata-ratanya secara statistik dengan taraf kepercayaan 95% dengan rumus sebagai berikut (Wibisono, 2005) :

n s t(12 ,df )

X α

µ = ±

3.10.3 Uji Beda Rata – Rata Kadar Timbal dan Kadmium

Uji beda rata-rata sampel diuji dengan uji F menggunakan software SPSS. Data berbeda secara signifikan jika F hitung > F tabel.

Gambar

Tabel 1. Kandungan logam  berat dalam tanah secara alamiah (µg/g)  Logam  Kandungan (Rata-rata)  Kisaran Non Populasi
Gambar 1. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Haris, 1982).
Tabel 2. Rentang kesalahan yang diijinkan pada uji perolehan kembali   Analit pada matriks
Tabel 3. Harga Koefisien Penolakan t

Referensi

Dokumen terkait

• Proses pengambilan data suhu permukaan trafo dengan kamera termal dan data kualitas minyak berdasarkan tes DGA dilakukan pada trafo yang masih bekerja untuk mensuplai daya

Kurang terampil jika sama sekali tidak dapat menentukan jawaban dari model matematika berupa SPLDV dari situasi nyata dan matematika. Terampil jika menunjukkan mulai ada

Prospek 19 wilayah hukum adat dengan sistem kekerabatan patrilinial, matrilinial dan parentalnya akan tetap bertahan namun perlahan-lahan akan mengalami perubahan

Hasil penelitian ini terdapat pengaruh positif yang signifikan kelekatan orangtua terhadap kecerdasan adversitas pada remaja korban perceraian, semakin tinggi

Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP) adalah metode biaya yang mengasumsikan bahwa unit persediaan yang pertama dibeli akan digunakan terlebih dahulu sehingga

Hasil pengolahan data gempa bumi dari jaringan Mini Regional Palu dalam kurun waktu Januari 2012 - Maret 2013 dengan (Gambar 4 dan 5) menunjukkan bahwa sebaran gempa bumi

Pada penelitian ini didapatkan bahwa media quenching air adalah media quenching yang optimum pada proses interrupted quenching, dengan peningkatan kekerasan sebesar 195%

Tradisi lisan mengisahkan bahwa Diponegoro memang telah tertangkap dan diasingkan ke luar pulau Jawa. Selanjutnya, muncullah cerita baru tentang pasukan Diponegoro yang