• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. proyek-proyek produktif karena apabila hanya mengharapkan permodalan dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. proyek-proyek produktif karena apabila hanya mengharapkan permodalan dari"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Percepatan pembangunan ekonomi ke arah stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, perlu didukung dengan permodalan terutama permodalan yang berasal dari proyek-proyek produktif karena apabila hanya mengharapkan permodalan dari bantuan luar negeri, hal tersebut sangatlah terbatas dan sangat bersifat hati-hati. Hal ini dikarenakan politik luar negeri negara Indonesia tidaklah sama dengan politik luar negeri negara lainnya karena kepentingan suatu negara tentulah berbeda dengan negara lainnya. Faktor yang membedakan adalah letak geografis, kekayaan sumber-sumber alam, jumlah penduduk, sejarah perjuangan kemerdekaan, kepentingan nasional untuk suatu masa tertentu, dan situasi politik internasional.1

Salah satu faktor untuk meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia, yaitu dengan investasi. Investasi yang penting untuk pembangunan ekonomi yaitu investasi yang memberikan manfaat ekonomi, sosial dan manfaat lainnya. Investasi ini dikelola oleh pemerintah karena menyangkut kepentingan masyarakat luas. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945:

“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”2

1

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 5-6.

2

(2)

Dalam melakukan investasi di Indonesia, pemerintah sendiri tidak mempunyai modal yang cukup untuk melakukan investasi. Oleh karena itu pemerintah melakukan kerjasama dengan pihak swasta maupun luar negeri. Dalam melakukan kerjasama dengan pihak swasta dan pihak luar negeri, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan diantaranya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing ditujukan untuk mengundang para investor asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Hal ini disebabkan pada saat itu terjadi keterbatasan kemampuan negara mengelola Sumber Daya Alam. Sementara itu, potensi sumber ekonomi yang dimiliki oleh Indonesia belum dapat diolah dengan baik karena keterbatasan modal dan teknologi yang tidak memadai. Untuk itu, investasi asing sangat dibutuhkan dalam melanjutkan pembangunan ekonomi nasional.

Investasi asing memberikan manfaat dan keuntungan bagi Indonesia, yaitu:3 1. Penyediaan lapangan kerja;

2. Mengembangkan industri substitusi impor untuk menghemat devisa;

3. Mendorong berkembangnya industri barang-barang ekspor non-migas untuk mendapatkan devisa;

4. Pembangunan daerah-daerah tertinggal; 5. Alih Teknologi4

3

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 407.

(3)

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, iklim investasi di Indonesia relatif berkembang pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa insentif yang terkandung di dalam Undang-Undang tersebut, yaitu meliputi perlindungan dan jaminan investasi, terbukanya lapangan kerja bagi tenaga kerja asing, dan adanya insentif di bidang perpajakan dan yang tak kalah penting, situasi politik dan keamanan pada saat itu relatif lebih stabil yang mendorong investasi semakin bergairah dan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bahkan pada awal tahun 70-an sampai akhir 80-an, Jepang melakukan investasi besar-besaran di Indonesia. Perusahaan-peusahaan tambang besar seperti Freeport Mc Morant, Shell, Mobil Oil mulai menanamkan sahamnya secara besar-besaran di Indonesia.5

Dalam perjalanan waktu penanaman modal asing yang terjadi di Indonesia, tidak seperti apa yang diharapkan, dalam arti kata target yang ditentukan tidak tercapai, sehingga pemerintah mengkaji hambatan-hambatan yang menjadi penyebab kurang berminatnya investor, mulai dari segi politik, hukum dan hubungannya dengan perangkat undang-undang dan organisasi birokrasi. Pada tahun 1992 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 diizinkan bagi perusahaan penanaman modal asing mendirikan perusahaan dengan modal saham yang seluruhnya dimiliki oleh peserta asing, dan peraturan ini dicabut dan digantikan dengan Peraturan

4

Budiman Ginting, Hukum Investasi: Perlindungan Pemegang Saham Minoritas dalam Perusahaan Penanam Modal Asing, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007), hal. 207.

5

(4)

Pemerintah Nomor 50 Tahun 1993, setelah itu dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Pemilikan Saham dalam Perusahan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1993 Tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1993 Tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 Tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, mengizinkan kepemilikan saham asing sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari seluruh nilai modal saham perusahaan pada waktu pendirian perusahaan patungan, dan ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 51% (lima puluh satu persen) dalam jangka waktu 20 tahun sejak perusahaan berproduksi secara komersial.6

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, mengizinkan kepemilikan saham asing paling banyak 95% (sembilan puluh lima persen) dan jangka waktunya selama 30 tahun harus didivestasi.7

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, banyak menimbulkan polemik baik yang kontra maupun yang setuju, padahal sasaran pemerintah pada waktu itu ingin memenuhi perkembangan ekonomi dunia, agar

6

Pasal 2, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 Tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

7

Pasal 3 Ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing.

(5)

deregulasi di berbagai bidang dilanjutkan, sebab peraturan ini sebagai suatu jawaban dalam upaya menyederhanakan persyaratan tentang pemilikan modal asing.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 mengenai pemilikan saham dan lainnya secara keseluruhan memberikan kepastian hukum, dan mendorong pelaksanaan dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 ini juga bertujuan merangsang pengusaha Indonesia untuk mau menanamkan modalnya dalam penanaman modal asing walaupun modal tersebut hanya berkisar 5% (lima persen) akan tetapi membawa pengaruh yang cukup banyak terhadap perkembangan perekonomian nasional sebab diharapkan nantinya perusahaan tersebut didivestasikan dalam bentuk saham yang menjadi saham warga negara Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 mengatur penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Mengenai jumlah modalnya ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya. Penjualan saham melalui pemilikan langsung ditentukan sesuai dengan kesepakatan para pihak dan/atau pasar modal dalam negeri.

Salah satu alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 adalah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur investasi dengan mengizinkan pihak asing berinvestasi pada sektor usaha-usaha yang penting bagi negara seperti pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk

(6)

umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media.

Sejalan dengan perkembangan penanaman modal di Indonesia, harus dilakukan pembaharuan hukum karena peraturan yang lama dirasakan tidak sesuai lagi dengan iklim investasi di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Pemerintah menetapkan ketentuan bagi perusahaan modal asing yang melakukan investasi di Indonesia, divestasi dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama para pihak yang diatur secara tegas dalam joint venture agreement, mengenai waktu dan besarnya saham yang harus didivestasikan oleh pihak asing juga diserahkan kepada para pihak, namun tetap perlu diingat bahwa pada akhirnya kepemilikan saham PMA 49% (empat puluh sembilan persen) dan 51% (lima puluh satu persen) saham dikuasai domestik.

Ketentuan baru ini memiliki perbedaan dengan ketentuan lama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Pemilikan Saham dalam Perusahan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing, dalam hal divestasi ketentuan lama sudah mengatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan mengenai jangka waktu divestasi saham asing yakni 30 tahun setelah produksi komersial, setelah itu perusahaan asing tersebut harus dinasionalisasikan. Dalam ketentuan baru mengenai jangka waktu divestasi ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam kontrak karya.

(7)

Khusus berkenaan dengan divestasi di bidang pertambangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Latar belakang dikeluarkannya PP ini adalah untuk meningkatkan penguasaan nasional atas industri tambang sesuai dengan amanat Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Dalam PP ini, yang pada awalnya bentuk kerjasama KK dalam pertambangan mineral dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memposisikan negara dan perusahaan secara sejajar dirubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Melalui paradigma perizinan dalam IUP ini, negara berada di posisi superior atas investor tambang.

Filosofi divestasi saham asing berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 disebutkan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas kemandirian, dengan demikian bahwa adalah keberadaan modal asing sebagai unsur pelengkap dalam pembiayaan pembangunan nasional. Pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip kemandirian yaitu penanaman modal dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi. Sumber dana dari luar negeri yang masih diperlukan merupakan pelengkap dengan prinsip peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan nasional dan mencegah keterikatan dan campur tangan pihak asing.

Dalam rangka meningkatkan pembangunan nasional di Indonesia, Pemerintah Indonesia mengelola investasi yang berkaitan dengan kepentingan warga negara

(8)

secara luas, investasi ini selanjutnya disebut investasi pemerintah. Ruang lingkup investasi pemerintah meliputi investasi jangka panjang yang terdiri dari pembelian surat berharga meliputi saham dan surat utang, dan investasi langsung meliputi penyertaan modal dan pemberian pinjaman yang dilaksanakan oleh Badan Investasi Pemerintah.8

Bagi usaha-usaha yang dirasa dapat memberikan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya haruslah dikelola oleh pemerintah karena usaha tersebut menyangkut kepentingan masyarakat luas. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara mengamanatkan pemerintah untuk melakukan investasi. Investasi tersebut merupakan wujud dari peran pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9

Terhadap perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia dalam usaha-usaha yang menyangkut kepentingan masyarakat Indonesia secara luas, Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan divestasi terhadap saham asing minimal 51% (lima puluh satu persen).

10

8

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah.

9

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.

10

Runtung Sitepu, Kewenangan Menteri Keuangan untuk Membeli Divestasi 7% Saham PT. Newmot NTT Ditinjau dari Aspek Akademis, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Divestasi Saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh Pemerintah Indonesia, Fakultas Hukum USU, tanggal 22 Nopember 2011, Dalam Pasal 24 Angka 3 Kontrak Karya diatur bahwa saham PT. Newmont Nusa Tenggara yang dimiliki pihak asing harus ditawarkan untuk dijual atau diterbitkan, pertama kepada pemerintah, dan kedua jika pemerintah tidak menerima atau menyetujui penewaran dalam 30 hari sejak tanggal penawaran, kepada WNI atau perusahaan Indonesia yang dikendalikan oleh WNI,

(9)

Pemerintah Indonesia selain dapat melakukan investasi melalui pembelian saham divestasi modal asing, juga dapat melakukan divestasi terhadap aset pemerintah. Mengenai wewenang dalam hal divestasi modal asing maupun divestasi terhadap investasi pemerintah, Pada prinsipnya sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) Huruf h Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi.11

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan investasi melalui pembelian saham divestasi, dimana dalam penyelenggaraan kewenangan operasionalnya Menteri Keuangan berwenang membentuk Badan Investasi Pemerintah, yang dalam hal ini Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.05/2008 Tentang Pelaksanaan Investasi Pemerintah. Pusat Investasi Pemerintah merupakan unit organisasi non eselon di bidang pengelolaan investasi pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan melalui Sekretaris Jenderal.12

Untuk menelusuri dasar hukum terkait dengan kewenangan Pusat Investasi Pemerintah membeli saham divestasi dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah. Dalam Pasal 11 Ayat (4) Huruf

sehingga kepemilikan peserta Indonesia pada PT. Newmont Nusa Tenggara minimal 51% pada tahun 2010.

11

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah.

12

Pasal Ayat (1), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah.

(10)

l, dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional Menteri Keuangan berwenang dan bertanggung jawab melaksanakan investasi pemerintah dan divestasinya. Pasal 12 Ayat (12) Menteri Keuangan membentuk Badan Investasi Pemerintah (PIP) untuk menyelenggarakan kewenangan operasional.

Dalam melakukan pembelian saham divestasi terhadap modal asing, Menteri Keuangan menggunakan uang negara untuk melakukan pembelian saham. Penggunaan uang negara ini haruslah melalui prosedur yang telah ditentukan dalam undang-undang, hal ini yang menjadi kisruh tentang pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara, dimana terjadi pertentangan pendapat antara Menteri Keuangan dengan DPR RI dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Terkait kisruh pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara adalah bermula dari hasil audit dan pendapat BPK yang mengatakan bahwa investasi yang dilakukan Menteri Keuangan melalui PIP yang berencana membeli 7% (tujuh persen) saham PT. Newmont Nusa Tenggara tersebut, telah terjadi kesalahan prosedur yang dilakukan oleh PIP tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR, karena pembelian saham tersebut merupakan bentuk penyertaan modal negara sehingga harus mendapat persetujuan dari DPR.13

Pandangan BPK ini didasarkan pada ketentuan Pasal 24 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang menyebutkan

13

Faisal Akbar Nasution, Kisruh BPK vs Kemenkeu Terkait PT. Newmont Nusa Tenggara Apakah Berujung Ke Pengadilan, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Divestasi Saham PT. Newmont Nusa Tenggara oleh Pemerintah Indonesia, Fakultas Hukum USU, tanggal 22 Nopember 2011.

(11)

“Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR”.14

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 BPK beranggapan bahwa pembelian saham PT. Newmont Nusa Tenggara sebanyak 7% (tujuh persen) yang dilakukan oleh PIP termasuk dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional.15

Alasan yang sama kemudian juga didasarkan pada ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, yang menyebutkan “Penyertaan modal ke dalam perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Huruf b (Penyertaan modal negara pada perseroan terbatas yang didalamnya belum terdapat saham milik negara), dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional”.16

Dalam penjelasan Pasal 24 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tidak ditemukan tentang kriteria bagaimanakah suatu keadaan tertentu itu dan demikian pula dengan kriteria penyelamatan perekonomian nasional. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan penafsiran dan selanjutnya dapat menimbulkan sengketa.17

14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 Ibid.

(12)

Berdasarkan uraian di atas, penting kiranya mengetahui kewenangan Menteri Keuangan dalam melakukan divestasi saham asing maupun divestasi terhadap investasi pemerintah. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai hal tersebut, yang akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “kewenangan pemerintah terhadap pengelolaan investasi pemerintah”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi titik tolak pembahasan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Bagaimana ketentuan tentang divestasi saham asing pada perusahaan penanaman modal di Indonesia ?

b. Bagaimana kewenangan Pemerintah (Menteri Keuangan) dalam melakukan investasi pemerintah melalui pembelian saham divestasi modal asing ?

c. Bagaimana ketentuan dalam hal pemerintah melakukan divestasi terhadap saham pemerintah ?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini antara lain:

a. Untuk menganalisis dan menjelaskan ketentuan tentang divestasi saham asing pada perusahaan penanaman modal di Indonesia.

(13)

b. Untuk menganalisis dan menjelaskan kewenangan pemerintah (Menteri Keuangan) dalam melakukan investasi pemerintah melalui pembelian saham divestasi modal asing.

c. Untuk menganalisis dan menjelaskan ketentuan divestasi saham yang dilakukan oleh pemerintah terhadap investasi pemerintah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis yang akan memperkaya khasanah ilmu hukum guna membangun argumentasi ilmiah sebagai lampu pencari (search light) untuk menemukan kekurangan-kekurangan dalam pendekatan penelitian normatif terhadap peraturan hukum yang terkait dengan rumusan masalah yang dibahas.

Selain itu, penelitian ini mempunyai manfaat sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika pengelolaan saham dan perkembangan hukum divestasi serta seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah “kewenangan pemerintah terhadap pengelolaan investasi pemerintah”.

(14)

b. Secara Praktis

a) Sebagai bahan masukan bagi perusahan-perusahaan PMA di Indonesia, agar lebih memahami tentang ketentuan divestasi saham asing.

b) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah terhadap pengelolaan investasi pemerintah dalam melakukan divestasi, terutama agar tidak terjadi masalah mengenai kewenangan pembelian saham divestasi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan data dan informasi serta penelusuran yang dilakukan di Perpustakaan Hukum Universitas Sumatera Utara maupun Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “kewenangan pemerintah terhadap pengelolaan investasi pemerintah” belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya.

Dengan demikian penelitian ini adalah benar keasliannya baik materi, permasalahan, tujuan penelitian dan kajiannya karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan saran yang membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.

(15)

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, oleh karena itu teori ini diarahkan secara khas ilmu hukum. Keberadaan teori ini adalah untuk memberikan landasan yang mantap, pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.18

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang menunjukkan ketidakbenarannya.19

Teori-teori yang menganalisis tentang divestasi yaitu teori utilitas, teori kewenangan, teori momentum terjadinya kontrak, yang diperinci di bawah ini:

Teori utilitas dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Teori utilitas sangat menekankan pentingnya konsekwensi perbuatan dalam menilai baik buruknya suatu hal. Teori utilitas digunakan untuk menganalisa manfaat divestasi, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada pihak lainnya maupun yang dilakukan oleh badan hukum asing kepada pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, warga negara Indonesia, ataupun badan hukum Indonesia.20

18

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 37.

19

DJJ. M. Wuisman, Penelitian ilmu-ilmu sosial jilid I, Penyunting M. Hisyam, (Jakarta: UI Press, 1996), hal. 203.

20

(16)

Alasan mengapa menempuh langkah divestasi:21

a. Aset yang dijual lebih tinggi nilainya bagi pembeli, dalam arti pembeli bisa menggunakan secara lebih efisien;

b. Divestasi bukan didorong oleh nilai aset, tetapi lebih ditekankan pada kemunculan kebutuhan mendesak atas dana tunai oleh perusahaan yang melakukan divestasi. Hasil divestasi itu biasanya digunakan untuk melunasi kewajibannya;

c. Alasan bahwa aset-aset yang dijual tidak ada hubungannya dengan bisnis utama perusahaan yang bersangkutan.

Untuk kondisi di Indonesia maka alasan kedualah dipilih oleh pemerintah. Dalam konteks, pemerintah memang membutuhkan dana tunai untuk menambal defisit APBN. Dengan demikian divestasi saham milik pemerintah paling tidak akan memberikan dua manfaat penting sekaligus.22

Divestasi modal asing memberikan manfaat terhadap penguasaan modal dimana dengan penguasaan modal dominan oleh Pemerintah Indonesia akan memberikan dampak terhadap posisi pemegang saham. Dengan demikian dapat mengahasilkan keputusan yang lebih pro kepada kepentingan pembangunan nasional. Divestasi terhadap investasi pemerintah misalnya divestasi Indosat memberikan manfaat yaitu meningkatkan nilai pajak dari BUMN yang telah didivestasi karena badan hukum privat yang membeli saham BUMN akan membayar pajak yang lebih besar dibadingkan BUMN yang dikelola oleh negara.

21

http://perjuanganindonesiabaru.wordpress.com/2009/06/07/divestasi/, diakses tanggal 3 Maret 2012.

22

(17)

Jeff Madura, sebagaimana dikutip di dalam Wikipedia, mengemukakan empat motif divestasi. Keempat motif itu meliputi sebagai berikut:23

a. Sebuah perusahaan akan melakukan divestasi (menjual bisnis) yang bukan merupakan bagian dari bidang operasional utamanya sehingga perusahaan tersebut dapat berfokus pada area bisnis terbaik yang dapat dilakukannya. Sebagai contoh: Eastman Kodak, Ford Motor Company, dan banyak perusahaan lainnya telah menjual beragam bisnis yang tidak berkolerasi dengan bisnis utamanya.

b. Untuk memperoleh keuntungan. Divestasi menghasilkan keuntungan yang lebih baik bagi perusahaan karena divestasi merupakan usaha untuk menjual bisnis agar dapat memperoleh uang. Sebagai contoh: CSX Corporation melakukan divestasi untuk berfokus pada bisnis utamanya, yaitu pembangunan rel kereta api serta bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga dapat membayar utangnya pada saat ini.

c. Nilai perusahaan yang telah melakukan divestasi lebih tinggi dari pada nilai perusahaan sebelum melakukan divestasi. Dengan kata lain, jumlah nilai aset likuidasi pribadi perusahaan melebihi nilai pasar bila dibandingkan dengan perusahaan pada saat sebelum melakukan divestasi. Hal ini memperkuat keinginan perusahaan untuk menjual apa yang seharusnya bernilai berharga dari pada terlikuidasi pada saat sebelum divestasi.

d. Menciptakan stabilitas.

Selain teori di atas penelitian ini juga menggunakan teori kewenangan. Istilah teori kewenangan berasal dari bahasa inggris, yaitu authority of theory, sedangkan istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda, yaitu theorie bevoegdheid. Teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan kewenangan. Menurut H.D. Stoud, seperti dikutip Ridwan HR, pengertian kewenangan adalah:24

“Keseluruhan aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.”

23

H. Salim HS, Op. Cit., hal. 34.

24

(18)

Teori kewenangan, digunakan untuk menganalisis kewenangan dari Menteri Keuangan yang kemudian membentuk Badan Investasi Pemerintah dalam mengadakan transaksi dengan pihak lainya dan mengadakan transaksi divestasi dengan badan hukum asing.25 Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum publik maupun hukum privat. Dalam berbagai literatur, sumber kewenangan yang utama berasal dari undang-undang. Sumber kewenangan yang berasal dari peraturan perundang-undangan meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.26

Menteri Keuangan dalam hal pengelolaan investasi pemerintah meliputi kewenangan regulasi, supervisi dan operasional:27

a. Kewenangan regulasi

Kewenangan regulasi dilaksanakan oleh Ditjen Perbendaharaan (Up. Direktorat Sistem Manajemen Investasi).

b. Kewenangan supervisi

Kewenangan Supervisi dilaksanakan oleh Komite Investasi Pemerintah Pusat (KIPP)

c. Kewenangan operasional

Kewenangan operasional dilaksanakan oleh Badan Investasi Pemerintah berbentuk Badan Layanan Umum (BLU), yaitu Pusat Investasi Pemerintah. Dalam rangka melaksanakan kewenangan operasional, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah.

25

H. Salim HS, Op. Cit., hal. 58-60.

26

Ibid, hal. 61.

27

ftp://ftp1.perbendaharaan.go.id/berita/2010/investasi_pemerintah.pdf, diakses tanggal 4 Januari 2012.

(19)

Dalam pengelolaan investasi pemerintah, Menteri Keuangan mempunyai kewenangan supervisi dan pelaksanaan kewenangan tersebut dibantu oleh Komite Investasi Pemerintah.28

Dalam pelaksanaan pengelolaan investasi pemerintah diperlukan juga Badan Investasi Pemerintah yang menjalankan kewenangan sebagai operator. Untuk pengawasan internal dalam Badan Investasi Pemerintah yang berbentuk satuan kerja, Menteri Keuangan dapat membentuk Dewan Pengawas apabila diperlukan sesuai dengan kebutuhan rentang pengendalian internal dalam pelaksanaan investasi pemerintah. Kelembagaan yang terkait dengan penanganan pengelolaan investasi pemerintah ini mempunyai pemisahan fungsi yang jelas antara fungsi regulasi, supervisi, dan operasional.29

Badan Investasi Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan divestasi. Kewenangan Badan Investasi Pemerintah tidak mutlak karena dalam melakukan divestasi lembaga ini harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.30

Divestasi yang dilakukan Badan Investasi Pemerintah yang memerlukan persetujuan dari Menteri Keuangan, yaitu divestasi terhadap kepemilikan investasi langsung, sedangkan untuk divestasi surat berharga sesuai dengan masa waktu yang

28

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah.

29

Ibid.

30

(20)

telah ditentukan tidak memerlukan persetujuan Menteri Keuangan.31

Teori momentum terjadinya divestasi, apabila dikaji dari proses divestasi saham, yang dimulai dari penawaran sampai penerimaan oleh pembeli, teori yang relavan untuk diterapkan dalam divestasi saham adalah teori tentang momentum terjadinya perjanjian. Ada empat teori yang menganalisis tentang momentum terjadinya kontrak, yaitu:

Kedudukan, tugas, dan fungsi PIP diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah.

32

a. Teori pernyataan; b. Teori pengiriman; c. Teori pengetahuan; dan d. Teori penerimaan

Teori pernyataan berpendapat bahwa kesepakatan (toesterming) terjadinya pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah teori ini sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

Teori pengiriman berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini adalah hal itu

31

Ibid, hal. 89.

32

(21)

bias saja diketahui, karena bisa saja walau telegram sudah dikirim, hal tersebut tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

Teori pengetahuan (vernemingstheorie) berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini adalah bagaimana mengetahui isi penerimaan itu apabila belum menerimanya. Teori penerimaan (ontvangstheorie) berpendapat bahwa

toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban

dari pihak lawan.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori momentum terjadinya kontrak digunakan untuk menganalisis tentang saat terjadinya kontrak antara penjual saham dengan pembeli saham yang didivestasikan. Momentum terjadinya kontrak, tidak cukup dengan adanya kesepakatan para pihak, tetapi harus dituangkan dalam sebuah kontrak jual beli saham yang ditandatangani oleh para pihak.

2. Kerangka Konsep

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk definisi operasional sebagai berikut:

a. Kewenangan pemerintah adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada organ lain dan haruslah jelas diatur secara jelas dan ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku;

(22)

b. Pengelolaan investasi pemerintah adalah proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan yang berkaitan dengan investasi yang dimiliki oleh pemerintah;

c. Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan investasi langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya;33

d. Divestasi adalah penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan dari pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak asing maupun dari pihak asing baik sebagian atau keseluruhan kepada pemerintah;

e. Pusat Investasi Pemerintah, yang selanjutnya disingkat PIP adalah Badan Investasi Pemerintah yang berbentuk satuan kerja yang mempunyai tugas dan tanggung jawab melaksanakan Investasi Pemerintah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;34

f. Bendahara Umum Negara adalah Menteri Keuangan yaitu pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi Bendahara Umum Negara;

g. Perusahaan penanaman modal asing dalam studi penelitian ini adalah PT. Newmont Nusa tenggara;

33

Pasal 1 Angka 1, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah.

34

Pasal 1 Angka 1, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah.

(23)

h. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh Negara asing, perseorangan WNA, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing;35

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.36 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.37

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang hanya menggambarkan fakta-fakta tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yuridis, dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.38

35

Pasal 1 Angka 8, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing.

36

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1.

37

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

38

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 116-117.

(24)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, maka penelitian ini menekankan pada sumber-sumber data sekunder, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun teori-teori hukum, sehingga ditemukan suatu asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang akan menjawab pertanyaan sesuai permasalahan hukum dalam penulisan tesis ini, yaitu tentang kewenangan pemerintah dalam investasi dan divestasi saham.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber data yang digunakan dalam penelitian tesis ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yakni dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan tesis ini. Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data kepustakaan yang sumber datanya terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap pengelolaan saham dalam ketentuan divestasi, diantaranya adalah UUD RI Tahun 1945, Undang Nomor 1 Tahun 1967 sebagaimana diubah dengan Undang Nomor 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang-Undang-Undang

(25)

Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 sebagaimana telah mengalami perubahan yaitu diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1993 kemudian diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.05/2008 Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pengelolaan Dana dalam Rekening Induk Dana Investasi, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.05/2008 Tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Investasi Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.05/2008 Tentang

(26)

Pelaksanaan Investasi Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.05/2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 Tentang Tata dan Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, makalah-makalah, dan media internet.39

c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.40

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan

perundang-39

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.

40

(27)

undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, yang berkaitan dengan penelitian ini.41

Studi pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh bahan hukum yang dipandang relavan dalam penelitian ini, antara lain mengenai divestasi, investasi pemerintah, dan penanaman modal asing. Perpustakaan yang digunakan adalah perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Analisis data dilakukan dengan pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui rehabilitasi data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban, kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada42

a. Menemukan konsep-konsep hukum yang terkandung dalam bahan-bahan hukum yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

, yaitu dengan:

b. Mengelompokkan konsep atau peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah sehubungan dengan judul tesis ini;

41

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hal. 97.

42

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996), hal. 10.

(28)

c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan yang kemudian diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

5. Metode Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif yaitu teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrument untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah kewenangan pemerintah dan investasi pemerintah. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian. Maka, deduktif-induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mempercepat perkembangan ekowisata harus dilakukan suatu kajian yang mendalam, karena metoda dan pendekatan ekowisata di setiap daerah akan berbeda-beda; proses

4.2 Apa yang menjadi penyebab kerusakan pesisir pantai desa Galala. Terdapat berbagai macam kondisi dan permasalahan yang ada yang menurut

Hubungan Peran Guru terhadap Pengetahuan Remaja tentang Seks Bebas... Strategi Layanan Bimbingan dan

Kriptografi visual skema ((n-1,1),n) merupakan skema kriptografi dimana (n-1) natural image digunakan sebagai input untuk menghasilkan n buah shares, angka 1

4) Cara penyampaian dokumen penawaran : metode 1 (satu) sampul.. 5) Metode evaluasi :

“ Analisis Sifat Fisik Dan Mekanik Poros Berulir (Screw) Untuk Pengupas Kulit Ari Kedelai Berbahan Dasar. Aluminium Bekas Dan Piston

Untuk tujuan atau tugas dengan tingkat kesulitan yang tinggi, untuk meningkatkan tingkat kinerja karyawan maka karyawan sebaiknya bekerja dengan memperhatikan spesifik

3) Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan