• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA (Studi Kasus di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA (Studi Kasus di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat)

PURNAMA INTAN MEGALINA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

RINGKASAN

Hutan rakyat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah lahan kritis dan meningkatkan pendapatan masyarakat, dalam pengelolaannya masih dilakukan secara sederhana dan belum memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi yang menguntungkan sehingga manfaat yang diperoleh belum optimal karena lebih mengandalkan faktor alam dengan teknik budidaya yang minim serta kurang memperhatikan kelestarian hasil. Hutan rakyat dianggap sebagai tabungan untuk kebutuhan yang mendesak dan merupakan usaha sampingan mereka. Sehubungan dengan hal diatas maka perlu dicari sistem pengelolaan hutan rakyat yang memberi manfaat yang optimal, yang mampu memberikan produksi kayu yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan petani dengan tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi hutan tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik petani hutan rakyat, mengetahui sistem pengelolaan hutan rakyat yang diterapkan saat ini, besarnya kontribusi hutan rakyat terhadap pendapatan petani, kelayakan usaha dimasa depan, sehingga akan memberikan alternatif sistem pengelolaan hutan rakyat yang memberikan manfaat optimal, khususnya terhadap kelestarian hasil dan kesejahteraan petani hutan rakyat.

Penelitian dilakukan di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur dengan obyek petani hutan rakyat dan areal hutan rakyat yang diusahakannya.

Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi langsung, pencatatan data dan wawancara baik terstruktur maupun bebas terhadap 30 responden (petani hutan rakyat). Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Pengambilan contoh dilakukan dengan secara acak tersrtatifikasi. Strata yang digunakan adalah strata I, II dan III, dimana pembagian strata tersebut berdasarkan pada luas pemilikan lahan hutan rakyat. Pembagian strata berdasarkan luas lahan hutan rakyat karena faktor luas lahan merupakan faktor yang menentukan bagi pendapatan petani dimana lahan menjadi modal penting dalam usaha tani. Dari data yang diperoleh dilakukan perhitungan secara matematis dan dianalisa secara deskriptif dengan tabulasi dan gambar.

Karakteristik petani hutan rakyat dari wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat banyak dilakukan oleh petani berumur 31-40 tahun, tingkat pendidikan petani hutan rakyat sebagian besar SD, sebagian besar memiliki pekerjaan lain selain usaha hutan rakyat, pengalaman usaha hutan rakyat yang cukup lama dan luas kepemilikan yang relatif kecil.

Pengelolaan hutan rakyat sebagian besar dikelola bersama dengan tanaman pertanian dengan bentuk tumpangsari, karena kepemilikan lahan petani relatif sempit dengan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan.

Kegiatan pembangunan hutan rakyat terdiri dari beberapa kegiatan antara lain persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan. Kegiatan persiapan lahan untuk penanaman tidak dilakukan secara khusus oleh petani tetapi dilakukan bersamaan dengan kegiatan untuk tanaman pertanian (semusim). Pemeliharaan dilakukan pada tahun-tahun awal tanaman (1-3 tahun) meliputi kegiatan pemeliharaan tegakan gulma (penyiangan) dan pengurangan jumlah trubusan. Masih banyak kegiatan pemeliharaan yang tidak dilakukan seperti penjarangan dan pembuatan teras.

Penjualan kayu dilakukan sesuai kebutuhan petani hutan rakyat yang cenderung menjual kayu apabila ada kebutuhan yang mendesak. Kayu yang ditebang umunya berdiameter >16 cm. Pemanfaatan kayu rakyat yaitu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dijual. Petani hanya menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri sehingga harga jualnya jauh lebih rendah. Peran kelompok tani masih sedikit terhadap usaha hutan rakyat, terbatas apabila ada program Penghijauan.

Pengusahaan hutan rakyat layak secara finansial untuk di usahakan khususnya di lokasi penelitian. Pengelolaan hutan rakyat di Desa Wangunjaya masih dilakukan secara sederhana dan bukan merupakan pendapatan utama untuk petani hutan rakyat, hutan rakyat digunakan hanya sebagai tabungan.

(3)

Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh

Purnama Intan Megalina S

E14103057

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(4)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 05 Juni 1985 dari pasangan Bapak Muhammad Panglima Saul Siahaan dan Ibu Karti. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara.

Penulis memulai pendidikan di TK Mekar Sari lulus tahun 1991 dan memasuki SD Negeri Kayu Putih 08 Pagi Jakarta hingga lulus tahun 1997. Penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 92 Jakarta dan lulus tahun 2000, kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 36 Jakarta dan lulus tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Institut Pertanian Bogor dan mengambil Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan.

Selama menempuh studi di Fakultas Kehutanan penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, antara lain Asean Forestry Student Association (AFSA), Forest Management Student Club (FMSC) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan (BEM Fahutan) Institut Pertanian Bogor.

Beberapa praktek kehutanan yang diikuti penulis antara lain Praktek Pengenalan Kehutanan di Kamojang-Sancang dan Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada Tahun 2007. Praktek Kerja Lapang (PKL) dilakukan di KPH Cianjur Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten pada tahun 2008.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul ”PERAN

HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA (Studi Kasus di Desa Wangunjaya, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat)” dibimbing oleh Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat,

(5)

Judul Skripsi : PERAN HUTAN RAKYAT DALAM

PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA (Studi Kasus di Desa Wangunjaya, Kecamatan

Cugenang, Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat)

Nama Mahasiswa : Purnama Intan Megalina S

NRP : E14103057

Departemen : Manajemen Hutan

Fakultas : Kehutanan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc F.Trop

NIP. 132 130 468

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr

NIP 131 578 788

(6)

Banyak pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini selesai dibuat oleh penulis. Untuk itu penulis mengucapakan terima kasih kepada :

1. Allah SWT atas Rahmat dan Hidayahnya sehingga Penulis bisa menyelesaikan kuliah ini hingga selesai..

2. Orang tua tercinta Bpk.Moch Panglima Saul Siahaan dan Ibu tercinta Ny. Karti Siahaan atas dorongan, semangat dan doa yang tiada hentinya kepada penulis.

3. Dr. Ir. H. Dodik R Nurrochmat M.Sc.F.Trop selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 4. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Si dan Ir. Rita Kartika Sari, M.Sc selaku

dosen penguji dari KSH dan THH.

5. Keluarga tercinta Nona, Mas Eko, Ncit, Ucok, Anggi dan si kecilku Yasmin yang selalu mendoakan penulis dan memeberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikann kuliah ini.

6. Dinas PKT Kabupaten Cianjur serta Kecamatan Cugenang atas ijin sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

7. Pak Ruri dan Bu Nurul beserta keluarga atas tumpangannya selama penulis melakukan penelitian.

8. Teman-teman di MNH 40 (Dede, Zae) atas bantuannya selama ini dan MNH 41 (Wati, Nyoti, Priyo, Yunus, Cristina, Clara, Eris, Lastri dll) atas kebersamaannya selama ini.

9. Atu Badariah, Agus dan Dodi July Irawan yang setia memberikan semangat kepada penulis.

10. Ibu Kartinah budeku tercinta yang memeberikan penulis dukungan sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah di IPB ini.

11. Terakhir kepada Tri Distiyar, Jarot Erlangga dan Alfian Lutfhi yang selama ini selalu memberikan semangat kepada penulis biarpun jauh tak akan terlupakan apa yang selama ini sudah diberikan kepada penulis.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul ” PERAN

HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN MASYARAKAT DESA (Studi Kasus di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat)”.

Dengan diperoleh data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan dan pengembangan hutan rakyat khususnya kawasan hutan rakyat yang berada di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Mei 2009 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Hutan Rakyat ... 5

2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat ... 5

2.1.2 Ciri Hutan Rakyat ... 5

2.1.3 Pembangunan Hutan Rakyat ... 6

2.1.4 Biaya Pengusahaan Hutan Rakyat ... 7

2.1.5 Manfaat Hutan Rakyat ... 7

2.1.6 Analisis Finansial Pengusahaan Hutan Rakyat ... 8

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat ... 9

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 10

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 10

3.2 Batasan-batasan Operasional ... 10

3.3 Jenis Data yang Diperlukan ... 11

3.4 Asumsi-asumsi ... 12

3.5 Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data ... 12

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 13

3.6.1 Analisis Finansial Pengelolaan Hutan Rakyat ... 13

3.6.2 Analisis Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 15

IV. KEADAAN UMUM LOKASI... 16

(9)

4.2 Topografi, Tanah dan Iklim ... 16

4.3 Sosial Ekonomi ... 16

4.3.1 Tata Guna Lahan ... 16

4.3.2 Kependudukan... 17

4.3.3 Tingkat Pendidikan ... 17

4.3.4 Mata Pencaharian ... 17

4.4 Sarana dan Prasarana... 17

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

5.1 Karakteristik Petani Hutan Rakyat... 19

5.1.1 Umur Petani Hutan Rakyat ... 19

5.1.2 Tingkat Pendidikan Petani Hutan Rakyat ... 20

5.1.3 Jenis Pekerjaan ... 20

5.1.4 Pengalaman Hutan Rakyat ... 21

5.1.5 Pendapatan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat... 21

5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 22

5.2.1 Pola Tanam dan Jenis Tanaman ... 22

5.2.2 Tahapan Kegiatan Pembangunan Hutan Rakyat... 23

5.2.3 Penjualan Kayu Rakyat ... 26

5.2.4 Lembaga dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ... 28

5.3 Analisis Finansial Hutan Rakyat ... 29

5.3.1 Analisis Sensitifitas... 32

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

6.1 Kesimpulan ... 34

6.2 Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Umur Petani Hutan Rakyat ... 19

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Petani Hutan Rakyat ... 20

Tabel 3. Jenis Mata Pencaharian Petani Hutan Rakyat... 20

Tabel 4. Pengalaman Usaha Hutan Rakyat Petani ... 21

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rantai Pemasaran Kayu Rakyat Desa Cugenang ... 27

Gambar 2. Peta Wilayah Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur... 51

Gambar 3. Tegakan Mahoni Umur 5 Th... 52

Gambar 4. Kegiatan Bertani... 52

Gambar 5. Tanaman Mahoni... 52

Gambar 6. Sawah Petani Hutan Rakyat ... 52

Gambar 7. Hasil Kayu Rakyat Siap Jual ... 52

Gambar 8. Pemantauan Pihak Dinas ... 52

Gambar 9. Tegakan Hutan Rakyat ... 53

Gambar 10. Usaha Lain Petani... 53

Gambar 11. Tanaman Sengon ... 53

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Karakteristik Responden... 37

Lampiran 2. Komponen Pendapatan Pengelolaan Hutan Rakyat ... 38

Lampiran 3. Komponen Biaya Dalam Pengusahaan Hutan Rakyat ... 39

Lampiran 4. Komponen Biaya dan Pendapatan Lain Petani Hutan Rakyat .... 41

Lampiran 5. Sumber Pendapatan Petani Hutan Rakyat ... 42

Lampiran 6. Perhitungan NPV Usaha Pengelolaan Hutan Rakyat ... 43

Lampiran 7. Perhitungan BCR... 44

Lampiran 8. Perhitungan IRR ... 45

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan rakyat sudah berkembang sejak lama di kalangan masyarakat dan dilakukan secara tradisional oleh masyarakat di lahan-lahan miliknya. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah, baik berupa tanaman sejenis maupun dengan pola tanaman campuran melalui sistem agroforestry. Bentuk hutan rakyat ini dapat berupa pekarangan, talun maupun kebun campuran.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk khususnya di pulau Jawa, tuntutan terhadap manfaat sumberdaya hutan semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi akibat semakin tingginya permintaan terhadap komoditas agroforestry, kayu bakar, lapangan pekerjaan, permukiman, bahan baku industri dan jasa lingkungan hidup. Pengelolaan sumberdaya hutan tidak hanya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan akan kayu saja, tetapi masih banyak manfaat lain dari hutan yang tetap harus dijaga. Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah maupun masyarakat untuk menjaga keberadaan hutan, salah satunya adalah dengan mengembangkan hutan rakyat. Hutan rakyat merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan untuk menjamin kelestarian dan fungsi hutan.

Pasal 70 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan bahwa pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Pembangunan hutan rakyat merupakan wujud aktif partisipasi masyarakat dalam kegiatan di bidang kehutanan. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban untuk memberikan bantuan-bantuan yang mendukung baik teknis maupun non-teknis dalam pengembangan hutan rakyat. Pada era otonomi daerah sekarang ini, di samping bantuan dari pemerintah pusat, maka pemerintah daerah juga mempunyai peranan yang penting untuk mengembangkan hutan rakyat.

(14)

Hutan rakyat sebagai suatu pendekatan pembangunan kehutanan juga berdimensi pada kelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga perlu dikembangkan dengan lebih baik. Waluyo (2003) menyatakan alasan-alasan lain yang dapat mendukung kegiatan pengembangan hutan rakyat antara lain:

1. Hutan rakyat ternyata mampu mendukung pasokan bahan baku kayu bagi industri perkayuan.

2. Pembangunan hutan rakyat memberikan manfaat yang sangat banyak, baik manfaat sosial ekonomi maupun perlindungan lingkungan (konservasi tanah dan air).

3. Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal bentuk-bentuk hutan rakyat, tetapi petani hutan rakyat pada umumnya masih mempunyai hambatan-hambatan, baik dari segi produksi, pengelolaan maupun pengolahan dan pemasaran hasil-hasilnya, sehingga pemanfaatannya belum optimal.

4. Hak kepemilikan atas lahan hutan rakyat yang jelas akan mendorong petani untuk memanfaatkan, mengelola dan menjaganya dengan lebih baik (terutama di Jawa).

5. Banyak lahan-lahan pertanian yang sebenarnya tidak cocok untuk usaha pertanian intensif. Di Jawa, lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris hanya kurang dari seperempat hektar (Talkurputra dan Amien, 1998). Pemerintah menganjurkan agar lahan-lahan yang tidak layak untuk pertanian agar dikembangkan menjadi untuk hutan rakyat. Hutan rakyat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah lahan kritis dan meningkatkan pendapatan masyarakat, dalam pengelolaannya masih dilakukan secara sederhana dan belum memperhatikan prinsip ekonomi sehingga manfaat yang diperoleh belum optimal, karena lebih mengandalkan faktor alam dengan teknik budidaya yang minim serta kurang memperhatikan kelestarian hasil. Hutan rakyat dianggap sebagai tabungan untuk kebutuhan yang mendesak dan

(15)

merupakan usaha sampingan mereka. Sehubungan dengan hal diatas maka perlu dicari sistem pengelolaan hutan rakyat yang memberi manfaat optimal, yang mampu memberikan produksi kayu yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan petani, dengan tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi hutan.

1.2 Rumusan Masalah

Lembaga Penelitian IPB (1990) menyatakan bahwa berbagai masalah dalam pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 sub-sistem yaitu sub-sub-sistem produksi, pengelolaan hasil dan pemasaran. Sistem pengelolaan hutan rakyat pada umumnya masih sederhana dan belum menggunakan teknik silvikultur yang baik. Kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan adalah penanaman, pemeliharaan yang belum teratur serta upaya perlindungan dan pengamanan hutan yang masih sederhana. Selama ini sistem produksi hutan rakyat yang ada belum berpedoman pada pengaturan hasil yang konsisten. Hal ini disebabkan karena prinsip-prinsip tebangan bagi masyarakat yang ada sementara ini hanya didasarkan pada kebutuhan. Ketika masyarakat membutuhkan uang maka penebangan dilakukan. Dalam usaha hutan rakyat kebanyakan penebangan belum didasarkan pada sistem pengaturan hasil yang menjamin produksi yang kontinyu dan konsisten.

Sub-sistem pengelolaan hasil hutan rakyat merupakan proses sampai menghasilkan produk akhir yang dijual oleh petani hutan rakyat atau dipakai sendiri. Petani hutan rakyat memakai produk akhir hutan rakyat untuk dipakai sendiri maupun dijual. Petani hutan rakyat sebagian besar menjual produknya berupa pohon berdiri, dijual dalam bentuk kayu bakar atau dijual dalam bentuk kayu gelondongan dan kayu gergajian. Sampai saat ini, pengelolaan hasil lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambah masih jarang dilakukan oleh petani karena minimnya pengetahuan dan keterampilan petani hutan rakyat.

Menyikapi masalah yang ada dalam pengelolaan hutan rakyat, maka perlu dilakukan penelitian yang mengarah pada usaha perbaikan sistem pengelolaan hutan rakyat di wilayah Cianjur melalui analisa sub-sistem produksi yakni sistem pengaturan hasil yang menjamin produksi yang kontinyu dan konsisten agar hutan

(16)

rakyat dapat memberikan manfaat yang optimal bagi pemiliknya dan tersedianya produksi kayu yang berkualitas dalam jumlah yang cukup untuk menjamin kontinuitas hasil dan usaha yang didukung oleh teknik budidaya yang baik serta terjaminnya kelestarian hutan rakyat. Selain itu perlu diketahui juga potensi hutan rakyat dan kontribusi hutan rakyat terhadap peningkatan penghasilan petani serta analisa finansial pengelolaan hutan rakyat di Cianjur.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui sistem pengelolaan hutan rakyat khususnya sub-sistem produksi dan pengelolaan hasil di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur.

2. Mengetahui kelayakan usaha secara finansial pengusahaan hutan rakyat. Manfaat dari penelitian ini berupa :

1. Masukan bagi petani dalam melakukan pengelolaan hutan rakyat di masa yang akan datang guna memperoleh hasil dan manfaat yang lebih optimal.

2. Memberikan informasi bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pengusahaan hutan rakyat di wilayah Cianjur khususnya di Desa Wangunjaya.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat

Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan milik adalah hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah milik yang juga dikenal sebagai “Hutan Rakyat”. Hutan rakyat dapat dimiliki oleh setiap orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum. Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1996) hutan rakyat merupakan hutan buatan, melalui penanaman tanaman tahunan (tanaman keras) di lahan milik baik secara perseorangan, marga maupun kelompok. Ketentuan luas lahan minimal untuk dapat disebut hutan rakyat menurut Departemen Kehutanan (1995) dalam Prabowo (1999) adalah 0,25 ha dengan penutupan oleh tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau pada tahun pertama sebanyak 500 tanaman setiap hektarnya.

2.1.2 Ciri Hutan Rakyat

Menurut BRLKT Wilayah VI (1997) dalam Waskito (1999) ciri dari hutan rakyat adalah :

a. Bukan merupakan kawasan yang kompak tetapi terpencar-pencar di antara lahan-lahan untuk penggunaan lainnya.

b. Pertanamannya tidak selalu murni kayu-kayuan, tetapi terpadu atau dikombinasikan dengan berbagai tanaman, misalnya dikombinasikan dengan tanaman perkebunan, buah-buahan, rumput pakan ternak dan tanaman semusim lainya (sistem agroforestry).

c. Komposisi tanaman kayu-kayuan jika dikombinasikan dengan tanaman buah-buahan atau perdagangan adalah minimal 51% merupakan tanaman kayu-kayuan.

(18)

d. Biasanya terdiri dari tanaman cepat tumbuh dan cepat memberikan hasil bagi pemiliknya.

e. Biasanya jumlah tanamannya 1.650 pohon per hektar.

Ciri pengusahaan hutan rakyat di Jawa antara lain yaitu bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya tanaman campuran, yang diusahakan dengan cara-cara tradisional dan pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total (Hardjanto, 2000 dalam Muhammad, 2004).

2.1.3 Pembangunan Hutan Rakyat

Bentuk hutan rakyat yang dikenal dan dibangun di Indonesia menurut Balai Informasi Pertanian (1982), yaitu :

a. Hutan rakyat murni, yaitu merupakan hutan murni dengan jenis kayu tertentu karena hanya ditanami satu jenis tanaman kayu-kayuan, contohnya ditanami pinus saja atau sengon saja.

b. Hutan rakyat campuran, yaitu merupakan hutan campuran yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan.

c. Hutan rakyat sistem agroforestry, yang merupakan hutan dengan tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan, tanaman keras, hijauan pakan dan pemeliharaan ternak.

Sistem yang paling cocok untuk hutan rakyat adalah sistem agroforestry dengan tumpang sari. Pada sistem tumpang sari, lahan ini ditanami bersama-sama tanaman keras dan tanaman pertanian.

Sasaran utama pembangunan hutan rakyat menurut Departemen Kehutanan (1996) adalah :

a. Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang, bertebing dan kemiringan lebih dari 50%.

(19)

b. Areal kritis yang ditelantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman semusim.

c. Areal kritis yang karena pertimbangan khusus, seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan, perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan.

d. Lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bisa dijadikan hutan rakyat.

2.1.4 Biaya Pengusahaan Hutan Rakyat

Biaya secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan. Jadi biaya pengusahaan hutan rakyat adalah segala bentuk korbanan ekonomi yang dikeluarkan atau akan dikeluarkan untuk mencapai tujuan pembangunan hutan rakyat. Pada prinsipnya biaya yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu biaya produksi tetap (fixed cost) dan biaya produksi variabel (variable cost). Biaya produksi tetap adalah semua jenis biaya yang seolah-olah tidak berubah besarnya walaupun jumlah barang yang dihasilkan berubah, misalnya sewa tanah. Sedangkan biaya produksi variabel adalah biaya produksi yang besarnya tergantung dari jumlah barang yang dihasilkan, misalnya biaya membeli pupuk, upah tenaga kerja dan bibit(Sumarta, 1963 dalam Hayono, 1998).

Biasanya petani menjual kayunya kepada pedagang/tengkulak dalam bentuk pohon berdiri, sehingga biaya pemanenan, pengolahan dan pemasaran ditanggung oleh pedagang/tengkulak. Dengan demikian, biaya produksi yang ditanggung petani terbatas pada biaya pengelolaan yaitu mulai dari biaya sewa lahan, pembelian bibit, upah buruh, pembelian barang modal (peralatan penanaman dan pemeliharaan), pupuk dan pajak.

2.1.5 Manfaat Hutan Rakyat

Manfaat pembangunan hutan rakyat menurut Dirjen RRL (1995) adalah : a. Memperbaiki penutupan tanah sehingga akan mencegah erosi percikan.

(20)

b. Memperbaiki peresapan air ke dalam tanah.

c. Menciptakan iklim mikro, perbaikan lingkungan dan perlindungan sumber air.

d. Meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil dari tanaman hutan rakyat berupa kayu-kayuan.

e. Meningkatkan pendapatan masyarakat.

f. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan kebutuhan kayu rakyat.

2.1.6 Analisis Finansial Pengusahaan Hutan Rakyat

Menurut Muhammad (2004) analissi finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek. Aspek finansial dipergunakan terutama untuk melihat perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan proyek.

Menurut Gittinger (1986) cara menilai suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penelitian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan

Discounted Cash Flow (DCF) atau analisis aliran kas yang didiskonto. DCF

menunjukkan cara bagaimana biasanya analisis finansial dilaksanakan dan elemen-elemen apa yang termasuk dalam analisis biaya dan manfaat, serta memungkinkan kita mengestimasi hasil dari modal yang ditanamkan oleh masing-masing partisipan proyek, masyarakat atau individu.

Analisis finansial pengelolaan hutan rakyat dapat dipakai sebagai ukuran keberhasilan dalam pengelolaan hutan rakyat lebih lanjut bagi masyarakat maupun pemerintah, serta untuk menentukan langkah-langkah perbaikan dan peningkatan manfaat di masa yang akan datang, sehingga penggunaan dan alokasi sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dan efektif.

Menurut Gittinger (1986) dalam menilai suatu proyek yang menggunakan DCF berdasarkan pada 3 kriteria, yaitu :

(21)

a. Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value / NPV), yaitu nilai dari suatu proyek setelah dikurangi dengan seluruh biaya pada suatu tahun tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat bunga yang berlaku. NPV layak bila nilainya lebih besar dari nol (NPV > 0).

b. Rasio Keuntungan dan Biaya (Benefit Cost Ratio / BCR), yaitu suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh proyek dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek. BCR layak bila nilainya lebih besar dari satu (BCR > 1).

c. Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate Return / IRR), yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur proyek. IRR layak apabila nilainya lebih besar dari suku bunga yang berlaku.

2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat

Lembaga Penelitian IPB (1990) menyatakan bahwa kerangka dasar subsistem pengelolaan hutan rakyat melibatkan beberapa subsistem, yaitu subsistem produksi, subsistem pengelolaan hasil, dan subsistem pemasaran hasil. Subsistem produksi mengatur agar tercapai keseimbangan produksi dalam jumlah, jenis, dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat. Sedangkan subsistem pemasaran hasil mengatur tingkat penjualan yang optimal yaitu keadaan dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual di pasaran. Dalam pengelolaan hutan rakyat, pada umumnya sistem silvikultur yang baik, seperti: penggunaan bibit unggul, pengaturan jarak tanam dan pemeliharaan belum sepenuhnya diterapkan, sehingga pertumbuhan pohon dan mutu yang dihasilkan kurang baik.

Lembaga Penelitian IPB (1990) menyatakan ada perbedaan dalam pengelolaan hutan negara dan hutan rakyat. Pengelolaan hutan negara dilakukan dengan metode manajemen kawasan sedangkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan dengan metode manajemen pohon.

(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama satu bulan antara bulan Juni sampai Juli 2008.

3.2 Batasan-batasan Operasional

Untuk memberikan pengertian dan persepsi yang seragam tentang pengelolaan hutan rakyat, maka diberikan batasan-batasan sebagai berikut :

a. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik yang terdiri dari pohon-pohon berkayu yang dimiliki dan dikelola oleh petani, baik yang ditanam atas usaha sendiri maupun dengan bantuan pemerintah.

b. Kayu rakyat adalah komoditas utama yang berasal dari hutan rakyat yang berupa pohon berkayu yang ditanam oleh pemiliknya dan atau tumbuh secara alami.

c. Pengelolaan hutan rakyat adalah kegiatan mengelola hutan rakyat dari pemilihan jenis, pengadaan benih, persiapan lahan, penanaman, sampai dengan pemanenan kayu rakyat.

d. Petani hutan rakyat adalah petani yang memiliki dan menggarap lahan hutan rakyat.

e. Potensi hutan rakyat adalah volume tegakan yang berdiri saat ini dibagi dengan luas lahan hutan rakyat yang dimiliki petani hutan rakyat.

f. Pendapatan dari hutan rakyat adalah seluruh pendapatan yang diperoleh petani selama satu tahun dari penjualan kayu rakyat.

(23)

g. Biaya pengusahaan hutan rakyat adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk penanaman, pemeliharaan sampai umur daur tanaman.

3.3 Jenis Data yang Diperlukan

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan dari petani hutan rakyat diantaranya adalah:

a. Karakteristik responden : nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan, mata pencaharian/pekerjaan lainnya dan pengalaman dalam pengusahaan hutan rakyat.

b. Informasi lahan : luas kepemilikan lahan, status lahan, potensi (jumlah dan jenis pohon serta sebaran diameter) per hektar, umur, diameter, tinggi pohon, struktur tegakan, cara atau pola tanam.

c. Data tentang pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan : pengadaan benih, pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pemanenan.

d. Data pendapatan petani baik dari hutan rakyat (penjulan kayu rakyat) maupun usaha non hutan rakyat (gaji/upah kerja, berdagang, ternak, sawah dan lain-lain).

e. Data biaya pengusahaan hutan rakyat : biaya investasi (sewa tanah dan peralatan penanaman), biaya pengelolaan (upah, pembelian bibit dan pupuk), pajak tanah dan biaya lainya.

Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait, diantaranya adalah data tentang keadaan umum lokasi penelitian yang meliputi letak dan keadaan geografis, iklim, sarana prasarana yang ada serta keadaan sosial ekonomi masyarakat, data sosial ekonomi lain yang terkait.

(24)

3.4 Asumsi-asumsi

a. Penjualan kayu yang berasal dari hutan rakyat oleh para petani berupa pohon berdiri.

b. Biaya pembuatan tanaman, pemeliharaan dan pajak tanah ditanggung oleh petani hutan rakyat.

c. Biaya pemanenan dan angkutan ditanggung oleh pembeli.

d. Daur yang digunakan adalah daur yang berlaku di masyarakat yaitu sebesar 10 tahun.

e. Harga yang digunakan adalah harga pasar yang berlaku pada saat penelitian dan tidak mengalami perubahan.

3.5 Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data

Lokasi penelitian di Desa Wangunjaya, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur dipilih secara sengaja berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai pengelolaan hutan rakyat. Pengambilan sampel (responden) dari desa tersebut dilakukan secara acak terstratifikasi. Strata yang digunakan adalah strata I, II dan III, dimana pembagian strata tersebut berdasarkan pada luas pemilikan lahan hutan rakyat. Pembagian strata berdasarkan luas lahan hutan rakyat karena faktor luas lahan merupakan faktor yang menentukan bagi pendapatan petani dimana lahan menjadi modal penting dalam usaha tani. Strata luas lahan yang digunakan adalah:

a. Strata I : luas lahan hutan rakyat lebih dari 1 hektar b. Strata II : luas lahan hutan rakyat 0,5 sampai 1 hektar c. Strata III : luas lahan hutan rakyat kurang dari 0,5 hektar

Jumlah responden diambil adalah 30 orang. Responden tersebut diambil secara acak dari populasi responden di tiga strata yang terbagi menjadi : 5 orang petani termasuk dalam strata I, 15 orang petani masuk dalam strata II dan 10 orang petani termasuk dalam strata III. Untuk analisis finansial, setiap strata

(25)

diambil nilai rata-ratanya. Hal ini dilakukan untuk melihat strata mana yang berhasil dalam pengelolaan hutan rakyat.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara observasi lapangan, wawancara dengan para responden terpilih dan instansi yang terkait dengan pengelolaan hutan rakyat. Sedangkan data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari instansi terkait, publikasi dan laporan hasil-hasil penelitian tentang pengelolaan hutan rakyat.

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara matematis dan deskriptif dalam bentuk tabulasi untuk mengetahui hubungan atau keterkaitan antara variabel yang satu dengan yang lain untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Pada dasarnya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai adalah mengetahui keadaan hutan rakyat dan proses pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan serta prospek pengembangan hutan rakyat di masa depan.

3.6.1 Analisis finansial pengelolaan hutan rakyat

Analisis dilakukan untuk menentukan layak atau tidaknya pengelolaan hutan rakyat dengan menggunakan analisis aliran kas yang didiskonto (DCF) berdasarkan 3 kriteria yaitu NPV, IRR dan BCR. Pengelolaan hutan rakyat layak apabila BCR > 1, NPV > 0 (positif) dan IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku.

a. Menghitung NPV

NPV merupakan selisih antara pendapatan dengan biaya yang telah didiskonto. Dalam evaluasi proyek, tanda “go” dinyatakan oleh nilai NPV>0. Jika NPV=0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar “social opportunity cost of capital”. Jika NPV<0, maka proyek supaya ditolak, artinya ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek. Rumus NPV adalah sebagai berikut :

(26)

NPV = Keterangan :

Bt = Pendapatan kotor dari hutan rakyat Ct = Biaya kotor pengusahaan hutan rakyat n = Umur proyek

i = Tingkat suku bunga yang berlaku t = Jangka waktu (i = 1,2,3,...,n) b. Menghitung BCR

BCR merupakan besarnya nilai hasil perbandingan antara total pendapatan yang telah didiskonto. Rumus yang digunakan untuk perhitungan adalah sebagai berikut :

BCR = Keterangan :

Bt = Pendapatan kotor dari hutan rakyat Ct = Biaya kotor pengusahaan hutan rakyat n = Umur proyek

i = Tingkat suku bunga yang berlaku t = Jangka waktu (i = 1,2,3,...,n) c. Menghitung IRR

IRR yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Suatu proyek dengan IRR lebih besar dari suku bunga yang telah ditetapkan akan diterima dan apabila sebaliknya proyek itu akan ditolak. Rumus IRR adalah sebagai berikut :

(27)

Keterangan :

i’ = Discount rate yang menghasilkan NPV positif terkecil i’’ = Discount rate yang menghasilkan NPV negatif terkecil NPV’ = Nilai NPV yang bernilai positif terkecil

NPV’’ = Nilai NPV yang bernilai negatif terkecil

3.6.2 Analisis sistem pengelolaan hutan rakyat

Analisis sistem pengelolaan hutan rakyat dimaksudkan untuk mengetahui pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani hutan rakyat di Desa Wangunjaya mulai dari pengadaan benih sampai dengan kegiatan pemanenan. Dari data yang dikumpulkan, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui sistem pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian.

(28)

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI

4.1 Luas dan Batas Wilayah

Desa Wangunjaya memiliki luas keseluruhan sebesar 7.195 Ha yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat.

Batas Desa Wangunjaya secara administratif adalah sebagai berikut : Utara : Kabupaten Bogor

Selatan : Desa Cijedil Barat : Desa Cibeurem Timur : Kecamatan Mande

4.2 Topografi, Tanah dan Iklim

Desa Wangunjaya terletak pada ketinggian antara 750 mdpl, dengan topgrafi datar 30%, bergelombang 50%, berbukit/bergunung 20% dan kemiringan lahan 15-35%. Pada lahan tersebut terdapat sisa lahan kritis sebesar 200 Ha, diantaranya disebabkan oleh penggunaan lahan yang kurang optimal, rendahnya pengetahuan petani dan kurang jelasnya status pemilikan lahan.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidft dan Ferguson Desa Wangunjaya termasuk dalam tipe iklim B1, dengan curah hujan 1.500-2.500 mm/th. Adapun jumlah hari hujan rata-rata yakni 20 hari/bulan dengan bulan basah sekitar 9 bulan dan bulan kering sekitar 3 bulan(Dinas PKT Cianjur, 2001).

4.3 Sosial Ekonomi 4.3.1 Tata Guna Lahan

Berdasarkan data pada Dinas PKT tahun 2007, Desa Wangunjaya memiliki luas lahan sawah 114.530 Ha, sedangkan lahan kering sebesar 592.665 Ha. Lahan negara yang berada di Desa Wangunjaya sebesar 300 Ha sedangkan lahan milik sebesar 239.365. Penggunaan lahan kering sebagai berikut :

1. Pemukiman : 21.220 Ha 2. Tegal/Ladang : 26.099 Ha

(29)

4.3.2 Kependudukan

Desa Wangunjaya didiami oleh 1.523 rumah tangga dengan jumlah penduduk 5.454 jiwa. Terdiri dari 2.751 laki-laki dan 2.723 perempuan(Dinas PKT Cianjur, 2001).

1. Jarak dari lokasi ke Kantor Desa : 2 km 2. Waktu tempuh dari lokasi ke Kantor Desa : 2 menit 3. Jarak ke Ibukota Kecamatan : 5 km 4. Waktu tempuh ke Ibukota Kecamatan : 0,5 jam 5. Jarak ke Ibukota Kabupaten : 7 km 6. Waktu tempuh ke Ibukota Kabupaten : 0,75 jam

4.3.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Desa Wangunjaya tergolong rendah. Dari jumlah penduduk 5.454 jiwa, hanya 10 jiwa yang mempunyai tingkat pendidikan perguruan tinggi/akademi. Sedangkan penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan SLTA berjumlah 73 orang dan penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan SLTP berjumlah 207 jiwa(Dinas PKT Cinajur, 2001).

Sebagian besar penduduk Desa Wangunjaya mempunyai tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 2.229 jiwa. Sebanyak 395 jiwa penduduk Desa Wangunjaya tidak lulus SD, sedangkan penduduk belum taman SD sebanyak 395 jiwa. Di Desa Wangunjaya masih terdapat penduduk yang buta huruf yaitu sebanyak 112 jiwa(Dinas PKT Cianjur, 2001).

4.3.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Desa Wangunjaya beragam, tetapi sebagian besar adalah petani, hal ini terlihat dari banyaknya penduduk yang mempunyai mata pencaharian bertani, yaitu sebesar 1.064 jiwa dan buruh tani sebanyak 1.059 jiwa(Dinas PKT Cianuur, 2001).

4.4 Sarana dan Prasarana

Aksesibilitas Desa Wangunjaya termasuk sulit, dikarenakan Desa Wangunjaya terletak tidak di sepanjang jalan raya Cianjur sehingga sarana transportasi harus dengan bantuan ojek atau sepeda motor.

(30)

Desa Wangunjaya mempunyai jumlah sarana ibadah masjid sebanyak 11 buah, jumlah langgar sebanyak 15 buah. Penduduk Desa Wangunjaya umumnya beragama Islam(Dinas PKT Cianjur, 2001).

Untuk sarana pendidikan yang berupa sekolah Desa Wangunjaya mempunyai gedung sekolah dasar ( SD ) sebanyak 3 buah dengan jumlah guru sebanyak 24 orang, dan jumlah murid sebanyak 600 orang. Desa Wangunjaya juga memiliki gedung sekolah SLTA yakni 1 buah dengan jumlah guru sebanyak 12 orang serta jumlah murid sebanyak 344 orang. Selain sarana pendidikan, Desa Wangunjaya juga mempunyai sarana kesehatan yaitu berupa balai pengobatan (posyandu) dengan jumlah 7 buah. Sarana kesehatan di Desa Wangunjaya termasuk kurang karena hanya memiliki tenaga medis yaitu bidan desa 2 orang dan dukun terlatih sebanyak 7 orang. Bahkan untuk seorang dokter pun tidak ada di Desa Wangunjaya(Dinas PKT Cianjur, 2001).

Di Desa Wangunjaya hanya terdapat tengkulak atau pedagang pengumpul sebanyak 21 orang, sehingga banyak para penduduk biasanya lebih memilih memasarkan produk mereka ke pasar kabupaten yang jaraknya tidak jauh dari Desa Wangunjaya sendiri(Dinas PKT Cianjur, 2001).

(31)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Petani Hutan Rakyat

Untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik petani hutan rakyat dilakukan wawancara terhadap 30 orang responden terpilih dari desa contoh yang meliputi identitas, umur, tingkat pendidikan, jumlah yang bekerja & tanggungan, jenis pekerjaan dan pengalaman berusaha hutan rakyat. Berikut ini hasil rekapitulasi data karakteristik petani hutan rakyat.

5.1.1 Umur Petani Hutan Rakyat

Umur petani mempengaruhi curahan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Data umur petani hutan rakyat disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Umur Petani Hutan Rakyat

Indikator Umur Responden (Tahun)

21-30 31-40 41-50 51-60

Jumlah (orang) 8 11 8 3

Persentase (%) 26,67 36,67 26,67 10

Sumber : Data Primer Diolah

Dari Tabel 1 terlihat bahwa pengusahaan hutan rakyat di lokasi penelitian paling banyak dilakukan oleh petani berusia 31-40 tahun (36,67%). Untuk petani berusia di bawah 21-30 tahun dan 41-50 tahun sudah cukup banyak yang melakukan usaha hutan rakyat sejumlah 26,67%, sedangkan petani berusia di atas 51 tahun sudah mulai berkurang curahan tenaganya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan rakyat, sehingga yang mengelola hutan rakyat hanya 10%.

Untuk menguji keterkaitan antara umur petani dengan pengalaman hutan rakyat, maka dilakukan uji korelasi dengan rumus sebagai berikut :

r

Korelasi antara umur petani dengan pengalaman hutan rakyat dapat dilihat bahwa r = 0,73 dan = 3,87 > (28) = 1,70, maka ditolak, berarti ada hubungan yg positif antara umur petani dengan pengalaman hutan rakyat, yang

(32)

berarti semakin tinggi umur petani maka pengalamannya dalam mengelola hutan rakyat semakin banyak.

5.1.2 Tingkat Pendidikan Petani Hutan Rakyat

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi sikap petani dalam menerima hal baru dari luar yang diharapkan dapat meningkatkan usaha mereka. Berikut ini tabel tingkat pendidikan petani hutan rakyat.

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Petani Hutan Rakyat

Indikator Tingkat Pendidikan

Tidak Tamat SD SD SMP

Jumlah (orang) 1 28 1

Persentase (%) 3,33 93,33 3,33

Sumber : Data Primer Diolah

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh petani dengan tingkat pendidikan SD (93,33%). Hal ini merupakan akibat dari sulitnya mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, karena biaya dan jarak yang cukup jauh.

5.1.3 Jenis Pekerjaan

Pekerjaan petani hutan rakyat bervariasi tergantung pada keahlian dan kesempatan yang dimiliki. Berikut ini jenis mata pencaharian petani hutan rakyat Tabel 3. Jenis Mata Pencaharian Petani Hutan Rakyat

Indikator Jenis Mata Pencaharian

Buruh/Kuli Wiraswasta Perangkat Desa Lain-lain

Jumlah (orang) 10 14 2 4

Persentase (%) 33 46,67 6,67 13,33

Sumber : Data Primer Diolah

Dari Tabel 3 berikut ini terlihat bahwa semua petani memiliki mata pencaharian selain hutan rakyat. Sebagian besar petani memiliki mata pencaharian sebagai wiraswasta/pedagang yakni sebesar (46,67%), sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka selain bertani hutan.

(33)

Pengalaman usaha hutan rakyat sangat diperlukan untuk mengelola hutan rakyat secara baik. Data pengalaman petani dalam mengelola hutan rakyat disajikan dalam Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Pengalaman Usaha Hutan Rakyat Petani

Indikator Pengalaman Usaha Hutan Rakyat (tahun)

5 10 15 20 >20

Jumlah (orang) 1 4 9 4 12

Persentase (%) 3,33 13,33 30 13,33 40

Sumber : Data Primer Diolah

Sebagian besar petani memiliki pengalaman mengelola usaha hutan rakyat di atas 20 tahun (40%). Petani memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup luas mengenai pengelolaan hutan rakyat yang mereka dapat sejak muda dari orang tua mereka. Pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki pada umumnya mengenai pengelolaan hutan rakyat, sedangkan untuk sistem penjualan dan pemasaran pada umumnya tidak terlalu dikusasai. Dengan pengalaman petani yang cukup banyak dan lama, diharapkan dapat meningkatkan usaha hutan rakyat yang dilakukanya.

5.1.5 Pendapatan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat

Perbedaan sumber mata pencaharian petani hutan rakyat akan berpengaruh langsung terhadap jumlah pendapatan petani hutan rakyat. Pendapatan petani hutan rakyat selama setahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Sumber Pendapatan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat

No Sumber

Pendapatan

Strata I Strata II Strata III

Rp/th % Rp/th % Rp/th %

1 Pertanian 4.600.000 43,51 4.666.600 72,75 3.000.000 63,93 2 Hutan Rakyat 1.612.000 15,25 824.000 12,85 527.500 11,24 3 Lain-lain 4.360.000 41,24 923.300 14,40 1.165.000 24,83 Jumlah 10.572.000 100 6.413.900 100 4.692.500 100

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa pendapatan petani terbesar diperoleh bukan dari hutan rakyat melainkan dari sumber lain yaitu sebesar Rp. 4.600.000

(34)

per tahun (43,51%) sedangkan hutan rakyat memberikan kontribusi pendapatan keluarga petani sebesar 15,25% pada strata I. Pada strata II hutan rakyat memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani sebesar 12,85%, begitu juga pada strata III yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani sebesar 11,24%. Dapat dilihat bahwa keberadaan hutan rakyat dianggap penting bagi petani, dari segi ekonomi memberikan tambahan penghasilan bagi petani, karena bias memenuhi kebutuhan pokok dari rumah tangga petani hutan rakyat.

5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat 5.2.1 Pola Tanam dan Jenis Tanaman

Pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian sebagian besar dikelola bersama tanaman pertanian dengan sistem tumpangsari, karena kepemilikan lahan petani relatif sempit dengan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan. Bentuk tumpangsari merupakan alternatif yang mampu menampung berbagai kepentingan tersebut. Dengan pola tumpangsari, diharapkan produktivitas lahan meningkat dan petani dapat memperoleh pendapatan hasil panen secara berurutan dan berkesinambungan sepanjang tahun dari jenis-jenis tanaman yang diusahakan. Tanaman kehutanan biasanya ditanam pada batas kepemilikan lahan, dan tepi teras, serta tanaman rumput-rumputan, tanaman semusim seperti cengkeh, kacang tanah, cabai, singkong, pisang, petai, padi huma dan lain-lain ditanam pada lahan.

Kegiatan pengelolaan tanaman kehutanan dan tanaman semusim dilakukan secara bersamaan atau berurutan sesuai dengan tata waktu yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut dilakukan oleh petani memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama bertahun-tahun dalam mengolah lahannya. Pada umumnya kegiatan pengelolaan tanaman kehutanan dilakukan setelah kegiatan pengelolan tanaman semusim selesai, sehingga petani dapat mempergunakan waktu luangnya untuk mengelola dan memelihara kayu milik mereka.

Hutan rakyat dikelola tanpa tanaman pertanian dengan bentuk hutan alam sekunder dengan tanaman pengayaan, jarang ditemukan karena luas kepemilikan petani yang relatif sempit dan adanya serangan hama. Biasanya bentuk hutan alam

(35)

sekunder dengan tanaman pengayaan lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi yakni keuntungan yang lebih besar.

5.2.2 Tahapan Kegiatan Pembangunan Hutan Rakyat

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat terdiri dari beberapa kegiatan antara lain pengadaan bibit, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.

a. Pengadaan Bibit dan Benih

Bibit tanaman hutan rakyat berasal dari dua sumber, yaitu permudaan alami dan permudaan buatan. Permudaan alami menggunakan anakan alami dan trubusan (tunas), sedangkan permudaan buatan menggunakan bibit yang disemaikan dari benih yang dibeli.

Pada umumnya anakan alami diambil dari bibit cabutan yang digunakan untuk menambah jumlah tanaman yang ditanam sebagai pengganti tanaman yang ditebang dan untuk menyulam tanaman yang mati. Selain itu permudaan alami juga berasal dari trubusan (tunas) pohon yang telah ditebang yang digunakan untuk mengganti pohon yang telah ditebang, misalnya pada pohon mahoni dan kayu afrika.

Untuk strata I yang didominasi oleh tanaman sengon dan mahoni, bibit yang digunakan pada umumnya berasal dari bibit yang disemai. Strata II yang didominasi oleh seluruh jenis yaitu tanaman sengon, mahoni dan kayu afrika bibitnya juga berasal dari bibit yang disemai. Sebagaimana pada strata I dan II, strata III yang didominasi oleh jenis sengon dan kayu afrika juga didapat dari benih yang disemai sehingga hampir seluruh strata cara memperoleh bibit adalah dengan cara disemai.

b. Persiapan Lahan

Kegiatan persiapan lahan merupakan usaha petani dalam menyiapkan lokasi untuk kegiatan penanaman. Kegiatan persiapan lahan ini tidak dilakukan secara khusus oleh petani tetapi dilakukan bersamaan dengan kegiatan untuk tanaman pertanian (semusim), yang biasanya dilaksanakan sebelum musim hujan. Lamanya kegiatan persiapan lahan

(36)

tergantung pada kondisi masing-masing petani berdasarkan luas kepemilikan lahan dan ketersedian tenaga kerja.

Kegiatan persiapan lahan terdiri atas kegiatan pengolahan lahan, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanaman dan pemberian pupuk. Pengolahan tanah dilakukan dengan membersihkan semak dan menggemburkan tanah dalam rangka mempersiapkan lahan untuk tanaman semusim. Untuk tanaman kehutanan dilakukan pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam dan pemberian pupuk. Pembuatan lubang tanam dilakukan dengan jarak tanam bervariasi sesuai dengan jumlah tanaman semusim yang ada di lahan. Pemasangan ajir dilakukan dengan menggunakan ajir dari ranting atau bambu. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 20x30x30 cm³ lalu diberikan pupuk kandang secukupnya. Setelah semua kegiatan selesai, lahan dibiarkan sampai turun hujan baru lahan mulai ditanami.

Kegiatan persiapan lahan untuk ke-3 tipe hampir sama, hanya jarak tanamnya yang berbeda dimana untuk strata I dan strata II dengan dominasi tanaman sengon jarak tanamnya lebih rapat, sedangkan strata III dengan tanaman kayu afrika jarak tanamnya lebih lebar.

c. Penanaman

Kegiatan penanaman tanaman kehutanan dan pertanian biasanya dilakukan bersamaan, yaitu pada saat turun hujan pertama kali. Lama kegiatan ini tergantung dari volume pekerjaan (luas) dan biasanya petani menanam secara tidak teratur tanpa menggunakan jarak tanam. Untuk jenis kayu afrika biasanya penanaman tidak dilakukan secara khusus, tetapi tumbuh sendiri hasil permudaan alami (ketersedian bibit dan daya tumbuh di lapangan cukup baik). Pada umumnya curahan tenaga kerja lebih tersita untuk kegiatan penanaman untuk tanaman pertanian, sehingga penanaman untuk tanaman keras dilakukan pada penghujung musim hujan dimana curah hujan mulai sedikit yang dapat menyebabkan kematian pada bibit tanaman kayu.

(37)

d. Pemeliharaan

Pemeliharaan merupakan salah satu unsur penting dalam pengelolaan hutan rakyat yang dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup tanaman dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman sampai masa panen (daur). Seperti kegiatan persiapan lahan, pemeliharaan tanaman untuk tanaman semusim pada umumnya dilakukan pada tahun-tahun awal tanaman (1-3 tahun) atau pada masa penanaman tanaman semusim yang membutuhkan pemeliharaan yang lebih intensif untuk meningkatkan hasil produksi.

Pada strata I dan strata II yang didominasi tanaman sengon dan mahoni, pemeliharaan dititikberatkan untuk mengatasi gulma yang dapat mematikan bibit tanaman. Sedangkan pada strata III pemeliharaan lebih pada pengurangan jumlah trubusan pada tunggak bekas pohon yang ditebang untuk mendapatkan trubusan yang baik.

Kondisi fisik lahan sebagian besar curam topografinya, sehingga lahan memerlukan bangunan teras. Perbaikan dan pembuatan teras yang dilakukan sebelum curah hujan terlalu tinggi sebagai antisipasi datangnya curah hujan yang lebih tinggi. Dengan adanya bangunan teras dapat mengurangi degradasi lahan akibat terjadinya erosi sehingga kualitas lahan dapat terjaga.

Kegiatan pemangkasan dimaksudkan untuk mengurangi naungan pada tanaman yang berada pada strata bawah dan untuk meningkatkan pertumbuhan vertikal pohon tersebut. Pemangkasan dilakukan hanya pada pohon yang berusia 2-3 tahun, karena pada umur 2-3 tahun di strata bawah masih ditanami dengan tanaman semusim yang tidak tahan naungan. Strata I, II dan III kegiatan pemangkasan dilakukan secara terlalu intensif.

Penjarangan yang dilakukan petani hutan rakyat bukan untuk mengatur jarak tanam melainkan untuk menghindari serangan hama agar tidak menular pada pohon lain. Penjarangan sesungguhnya dimaksudkan untuk mengatur jarak tanam sehingga dapat memberikan ruang tumbuh

(38)

yang lebih baik bagi tegakan tinggal sehingga pertumbuhannya dapat optimal.

5.2.3 Penjualan Kayu Rakyat

Pemanfaatan kayu rakyat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan untuk dijual. Dari hasil yang didapat sebagian besar petani hutan rakyat (90%) memanfaatkan pohon untuk dijual dan sebagian kecil (10%) pohon dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri baik kayu bakar maupun untuk kayu pertukangan.

Petani tidak hanya menjual dalam bentuk pohon berdiri tetapi juga telah menebang sendiri dan diolah sehingga harga jualnya menjadi lebih meningkat. Petani hampir seluruhnya menjual dalam bentuk pohon berdiri, dikarenakan petani tinggal menerima hasil bersih penjualan kayu.

Mekanisme penjualan tegakan pada dasarnya ada dua cara, yaitu petani mendatangi pedagang untuk menawarkan pohon atau sebaliknya pedagang yang mendatangi petani untuk membeli pohon. Dalam mekanisme penjualan tersebut ada satu hal yang belum sepenuhnya dipahami oleh para petani yaitu tentang informasi harga. Akibatnya, dalam proses penetapan harga pedagang lebih dominan daripada petani. Dari hasil yang didapat di lapangan 68% responden (petani hutan rakyat) tidak pernah mengikuti perkembangan harga jual, sehingga petani tidak dapat menentukan harga jual kayu dan tidak memiliki posisi tawar. Pada umumnya petani menjual karena adanya kebutuhan yang mendesak.

Waktu penjualan kayu rakyat juga belum didasarkan pada prinsip optimalisasi hasil yaitu pada saat pohon memberikan nilai (keuntungan) yang paling besar. Dari wawancara didapati bahwa 44% penjualan dilakukan petani hutan rakyat karena mereka membutuhkan uang dan 56% apabila sudah berukuran besar sehingga harganya lebih tinggi. Petani cenderung akan menjual pohon, apabila ada kebutuhan yang mendesak walaupun harga jualnya rendah. Tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan petani tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga pohon akan dijual untuk menutupi kekurangan tersebut.

Pemanenan dalam bentuk pohon berdiri dilakukan oleh pedagang dengan menggunakan gergaji tangan atau chainsaw. Komponen kegiatan pemanenan

(39)

antara lain perebahan pohon, pembersihan cabang, pembagian batang, penyaradan dan pengangkutan. Penebangan biasanya dilakukan oleh regu tebang yang terdiri dari beberapa orang (3-5 orang), antara lain chainsawman dan buruh sarad. Biaya yang dikeluarkan yaitu untuk sewa chainsaw yaitu Rp 5.000/pohon, sedangkan untuk kegiatan pembagian batang sampai penyaradan ke pinggir jalan yang dapat dilalui mobil besarnya tergantung jarak tempuh berkisar Rp 20.000-50.000. Untuk pengangkutan ke tempat pengumpulan yaitu Rp 50.000/mobil. Setelah selesai kegiatan penebangan, kayu kemudian dibawa ke tempat penumpukan kayu. Tempat ini dapat terletak di pinggir jalan atau di area khusus seperti di halaman pekarangan milik pedagang kayu.

Peranan Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) dan perangkat desa dalam kegiatan pemanenan yaitu mengontrol pemanenan kayu karena setiap penebangan harus diketahui/ mendapat ijin dari perangkat desa dan Dinas PKT. Dengan demikian lembaga-lembaga tersebut dapat berfungsi sebagai pengawas dalam kegiatan penebangan agar asas kelestarian tetap terjamin.

Dalam ijin tebang juga tercantum perjanjian agar petani menanam kembali untuk setiap pohon yang ditebang. Namun tidak semua petani melakukan penanaman kembali. Hanya 52% dari petani hutan rakyat yang menanami langsung setelah penebangan, selain itu mereka pada umumnya tidak menanami kembali tanaman yang mereka tebang karena keterbatasan lahan dan waktu.

Setelah penebangan dilakukan maka pedagang harus mengurus surat jalan agar mendapat ijin angkut ke tempat tujuan. Mekanisme ini tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Cianjur No. 5 Tahun 2001.

Alur pemasaran kayu rakyat di Desa Wangunjaya dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Rantai Pemasaran Kayu Rakyat Desa Wangunjaya Toko Bangunan Perorangan Bandar Tengkulak Industri Penggergajian Petani Hutan Rakyat

(40)

5.2.4 Lembaga Pengelolaan Hutan Rakyat

Lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) sebagai lembaga formal, sedangkan kelembagaan non formal berupa organisasi kelompok tani. Kelembagaan formal dalam praktiknya lebih berperan dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada petani melalui kelompok tani secara individual, sedangkan lembaga non formal lebih berperan dalam operasional pengelolaan hutan rakyat.

Untuk mengembangkan hutan rakyat perlu memperhatikan faktor-faktor pendukung sebagai berikut :

a. Lembaga Internal Petani Hutan Rakyat

Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden petani hutan rakyat tidak ditemukan adanya koperasi sebagai lembaga usaha bersama yang mengatur usaha hutan rakyat. Selama ini usaha hutan rakyat dilakukan oleh masing-masing petani hutan rakyat. Petani hutan rakyat mengharapkan keberadaan kelompok tani yang bisa memberikan bantuan untuk sarana meningkatkan usaha kecil dibidang hutan rakyat, sehingga pengelolaan hutan rakyat dapat diusahakan secara lestari melalui pemanfaatan lahan yang optimal.

b. Lembaga Pemerintah

Sampai saat ini belum ada piranti berupa kebijakan seperti peraturan daerah (PERDA) yang mengatur usaha hutan rakyat, bahkan masyarakat tidak/belum menyadari perlunya kebijakan untuk pengembangan usaha hutan rakyat. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah daerah. Selain itu, keberadaan petugas informasi kehutanan lapangan yang merupakan ujung tombak penyuluh kepada petani hutan rakyat masih bersifat insidentil dan belum terimplementasikan secara baik dan teratur.

c. Lembaga Keuangan/Perkreditan

Di tingkat kecamatan tidak ditemukan adanya lembaga keuangan/perkreditan yang membantu dalam pengusahaan hutan rakyat, melainkan dari pihak pemerintah yang langsung memberikan modal untuk pengusahaan hutan rakyat, melalui Kepala Desa yang

(41)

mengkoordinir pemberian pinjaman modal tersebut kepada petani. Namun hal tersebut belum sepenuhnya membantu pengusahaan hutan rakyat. Hal ini dikarenakan para petani hutan rakyat tidak ingin mengambil resiko yang lebih besar terhadap jaminan yang dipersyaratkan. Harapan mereka, ada lembaga keuangan/perkreditan yang dapat membantu dan memberikan pinjaman serta jaminan terhadap petani hutan rakyat dengan bunga atau jaminan yang lunak.

Dari hasil wawancara terhadap 30 petani hutan rakyat, sebanyak 60 % beranggapan peran kelompok tani baru ada apabila ada program penghijauan, yang terbatas pada pemberian bantuan bibit. Hal ini terjadi karena kurangnya minat petani dan kekurangpahaman petani mengenai pentingnya peran kelembagaan kelompok tani itu sendiri.

Walaupun dirasa masih kurang perannya, namun 80% petani hutan rakyat menyatakan masih memerlukan kelompok tani terutama apabila ada program dari Dinas PKT. Sedangkan 20 % lainnya merasa tidak perlu karena mereka sudah dapat mandiri untuk melakukan usaha hutan rakyat. Kedepannya kelompok tani diharapkan juga berperan dalam penentuan harga jual kayu serta menambah wawasan dan pengetahuan dalam rangka meningkatkan hasil produksinya maupun usaha konservasi tanah.

5.3 Analisis Finansial Hutan Rakyat

Analisis finansial merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu investasi yang dilakukan. Di dalam analisis finansial terhadap pengelolaan usaha hutan rakyat ini digunakan tiga kriteria yang umum digunakan yaitu Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan

Internal Rate of Return (IRR).

Untuk mengetahui kelayakan pengusahaan hutan rakyat dilakukan analisis finansial dengan menggunakan metode analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto. Besarnya suku bunga yang digunakan adalah 10% yaitu suku bunga yang berlaku pada saat dilakukan penelitian ini.

(42)

Jangka waktu pengusahaan (daur) untuk sengon 5 tahun sedangkan kayu afrika dan mahoni 10 tahun. Perhitungan biaya dan pendapatan didasarkan pada standar harga dan upah yang berlaku di lokasi penelitian.

Biaya pengusahaan hutan rakyat terdiri dari biaya investasi dan biaya pengelolaan yang meliputi pengadaan benih, persiapan lahan, penanaman, pemupukan dan pemeliharaan, serta pajak tanah. Biaya pemanenan tidak dimasukkan dalam komponen dan perhitungan biaya karena pemanenan pada umumnya dilakukan oleh pedagang.

Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada saat memulai usaha hutan rakyat, komponen biaya investasi yaitu biaya sewa lahan yang diasumsikan sebesar Rp 300.000/ Ha per tahun.

Biaya pengelolaan terdiri dari beberapa komponen biaya, dimana biaya dihitung dari curahan kerja yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan tersebut, dengan upah kerja sebesar Rp 10.000 per hari. Untuk pengadaan benih dan bibit hanya diperhitungkan untuk benih yang dibeli, sedangkan benih yang diambil atau dari anakan alami tidak diperhitungkan. Untuk kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemupukan dan pengadaan benih, biaya yang dikeluarkan hanya untuk tahun pertama, sedangkan untuk biaya pemeliharaan dikeluarkan setiap tahun sampai tanaman berumur 10 tahun. Untuk pajak tanah yang dikeluarkan besarnya tergantung luas lahan yang dimiliki yakni sebesar Rp 11.500 per hektar per tahun.

Pendapatan usaha hutan rakyat didapat dengan memperhitungkan volume dari pohon yang ditebang/dijual dengan harga jual kayu pada saat penelitian berlangsung. Harga jual tersebut besarnya bervariasi tergantung ukuran diameter pohon. Selain ukuran diameter pohon, jarak tempuh juga mempengaruhi biaya harga jual kayu rakyat. Semakin jauh dan sulit jalan yang dilalui dari tempat penebangan ke tempat pengumpulan kayu, maka harga jual kayu semakin rendah.

Pendapatan usaha hutan rakyat hanya berasal dari tebangan kayu atau kayu yang dijual, sedangkan pendapatan dari kayu bakar tidak diperhitungkan karena di lokasi penelitian tidak dilakukan penjualan kayu bakar.

Dari hasil perhitungan analisis finansial pada ketiga tipe strata diperoleh hasil sebagai berikut.

(43)

Tabel 5. Hasil Perhitungan Analisis Finansial Indikator Strata I II III NPV 7.288.992 475.042 278.923 BCR 4,65 2,06 2,07 IRR 36,53% 13,06% 12,86%

Sumber : Data Primer Diolah

Keterangan : Strata I = 2,3 Ha Strata II = 0,8 Ha Strata III = 0,35 Ha

Dari Tabel 6 terlihat bahwa pengusahaan hutan rakyat layak secara finansial untuk diusahakan khususnya di lokasi penelitian. Dari data di atas, pengusahaan hutan rakyat layak untuk dilaksanakan untuk semua strata dimana strata I yakni luas lahan lebih dari 1 hektar yang memiliki nilai NPV sebesar 7,288,992, strata II memiliki nilai NPV sebesar 475.042 dan strata III sebsar 278.923 berarti pada tingkat suku bunga 10% akan memberikan keuntungan sebesar nilai NPV di atas. Angka-angka tersebut menunjukkan besarnya nilai sekarang dari penerimaan bersih yang akan diterima petani hutan rakyat selama 10 tahun mendatang.

Apabila dipandang dari kriteria kelayakan usaha yang ada pada tingkat suku bunga 10%, maka pengelolaan hutan rakyat dapat dikatakan layak diusahakan untuk semua strata karena nilai NPV yang diperoleh bernilai positif (NPV>0)

Berdasarkan hasil perhitungan pada tingkat suku bunga 10% untuk nilai BCR pada strata I sebesar 4,65 yang berarti lebih besar dari 1. Hal ini berarti dengan melakukan investasi sebesar Rp 1,00 (nilai sekarang) akan menghasilkan penerimaan bersih sebesar Rp 4,65 (nilai sekarang) sehingga pengusahaan hutan rakyat layak di laksanakan

Pada strata II nilai BCR yang diperoleh adalah sebesar 2,06 dan berarti bahwa dengan melakukan investasi sebesar Rp 1,00 (nilai sekarang) akan menghasilkan penerimaan bersih sebesar Rp 2,06. Sedangkan pada strata III nilai BCR yang didapat sebesar 2,07.

IRR merupakan tingkat suku bunga yang dapat membuat nilai bersih sekarang (NPV) dari suatu investasi sama dengan nol. Jika nilai NPV = 0, hal

(44)

tersebut menunjukan bahwa tingkat pendapatan dan pengeluaran suatu kegiatan investasi secara matematis besarnya sama

Untuk nilai IRR pada strata I sebesar 36,53%, strata II sebesar 13,06% dan strata II sebesar 12,86% yaitu berarti nilai IRR lebih besar dari nilai suku bunga yang didiskonto.

Kelayakan usaha finasial dipengaruhi oleh bebrapa hal, antara lain luas lahan, produk yang dihasilkan dan tingkat suku bunga. Produk hasil hutan yang dihasilkan juga berpengaruh terhadap pendapatan finansial. Tingkat suku bunga yang lebih tinggi dari suku bunga riil akan meningkatkan minat untuk berinvestasi pada usaha hutan rakyat.

5.3.1 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas tujuannya ialah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit.

Dalam analisis sensitivitas setiap kemungkinan itu harus dicoba, yang berarti bahwa tiap kali harus diadakan analisis kembali. Hal ini diperlukan karena analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang.

Analisis sensitivitas dalam pengelolaan hutan rakyat ini adalah : 1. Terjadi penurunan harga kayu rakyat sebesar 10 % 2. Terjadi kenaikan biaya sebesar 10 %

Pada Tabel 7 di bawah ini adalah hasil analisis sensitivitas dari pengusahaan hutan rakyat.

Tabel 6. Hasil Analisis Sensitivitas Apabila Terjadi Peningkatan Biaya Produksi Sebesar 10% Indikator Strata I II III NPV 6.725.100 278.200 202.900 BCR 2,90 1,66 1,78 IRR 33,34% 11,83% 12,08%

(45)

Tabel 7. Hasil Analisis Sensitivitas Apabila Penurunan Harga Kayu Sebesar 10% Indikator Strata I II III NPV 5.996.200 213.900 162.200 BCR 2,87 1,64 1,76 IRR 32,97% 11,57% 11,85%

Sumber : Data Primer Diolah

Dari tabel perhitungan analisis sensitivitas untuk semua strata mengalami penurunan namun masih dalam batas layak untuk dilaksanakan dimana strata I memperoleh nilai NPV sebesar 5.996.200, BCR sebesar 2,87 dan IRR sebesar 32,97% apabila terjadi penurunan harga kayu sebesar 10%.

Untuk hasil analisis sensitivitas apabila terjadi peningkatan biaya produksi sebesar 10% diperoleh nilai NPV sebesar 6.725.100, nilai BCR sebesar 2,90 dan nilai IRR sebesar 33,34%.

(46)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

a. Pengusahaan hutan rakyat umumnya dilakukan oleh petani berusia 31-40 tahun, sebagian besar tingkat pendidikannya SD, memiliki pekerjaan lain di luar usaha hutan rakyat dan pengalaman usaha hutan rakyat yang cukup lama.

b. Pengelolaan hutan rakyat di Desa Wangun Jaya sebagian besar dilakukan bersama dengan tanaman pertanian dalam bentuk tumpangsari.

c. Sistem pengelolaan hutan rakyat masih dilakukan dengan teknik budidaya yang sederhana, karena masih tingginya ketergantungan pada alam dan banyak kegiatan pengelolaan yang tidak dilakukan.

d. Petani cenderung menjual kayu apabila ada kebutuhan yang sangat mendesak.

e. Hutan rakyat bukan merupakan sumber pendapatan utama petani karena hanya memberikan kontribusi sebesar 35,44% dari total pendapatan petani untuk strata I, strata II sebesar 9,87% dan strata II sebesar 4,65%, sehingga hutan rakyat digunakan sebagai tabungan keperluan mendesak. f. Secara finansial pengusahaan hutan rakyat layak dilakukan oleh petani

untuk semua strata karena bisa manambah penghasilan pendapatan dari petani itu sendiri.

6.2 Saran

a. Untuk meningkatkan kekuatan tawar petani perlu ditingkatkan peran kelompok tani sebagai pengatur produksi dan pemasaran kayu.

b. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat seperti penjarangan dan pembuatan teras harus lebih diintensifkan.

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Informasi Pertanian. 1982. Usahatani Hutan Rakyat Ciawi. Bogor.

Departemen Kehutanan. 1996. Materi Penyuluhan Kehutanan I. Departemen Kehutanan Pusat Penyuluh. Jakarta.

Dinas PKT Cianjur. 2001. Laporan Inventarisasi Potensi dan Pemetaan Hutan Rakyat Kabupaten Cianjur. Cianjur.

Dirjen RRL. 1995. Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat Sebagai Upaya Rehabilitasi Lahan Kritis dan peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.

Proceeding Seminar Pengembangan Hutan Rakyat di Bangkinang. Riau.

Gittinger, J. P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Terjemahan oleh: S. Sutomo dan K. Mangiri. Universitas Indonesia-Press. Jakarta. Hayono, J. 1998. Analisis Pengembangan Pengusahaan Hutan Rakyat di

Kabupaten Wonosobo. Tesis Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Lembaga Penelitian IPB. 1990. Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat. Lembaga penelitian IPB. Bogor.

Muhammad, R. 2004. Sistem Pengelolaan dan Manfat Ekonomi hutan Rakyat di Cianjur Selatan (Studi Kasus di Kecamatan Cibinong dan Sindang Barang). Skripsi Jurusan MNH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Prabowo, S. A. 1999. Sistem Pengelolaan dan Manfaat Ekonomis Hutan Rakyat. Skripsi Jurusan MNH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Suharjito, D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Talkurputra, N. D dan Amien, I. 1998. Alokasi Penggunaan Tanah Dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia. Prros. No. 14/Pen-Tanah/1998: 1-11. Waluyo, H. 2003. Strategi Pengembangan Usaha Hutan Rakyat di Kabupaten

Sukbumi, Propinsi Jawa Barat. Skripsi Jurusan MNH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Waskito, B. 1999. Hutan Rakyat: Studi Kemungkinan Pengembangan (Kasus di Desa Gunungsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah). Skripsi Jurusan MNH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

(48)

Lampiran 1. Karakteristik Responden

Strata Responden Pendidikan

Jml Anggota Keluarga Pekerjaan Luas Lahan Umur I 1 sd 2 petani 3 ha 50 10 sd 4 petani 2 ha 48 11 sd 4 petani 2 ha 57 13 sd 5 petani 2 ha 35 15 smp 3 petani 2,5 ha 27 II 2 sd 2 petani 0,5 ha 25 3 sd 7 petani 0,5 ha 40 4 sd 4 petani 0,8 ha 30

8 tidak sekolah 4 petani 1 ha 32

12 sd 5 petani 1 ha 35 16 sd 3 petani 0,75 ha 40 19 sd 5 petani 1 ha 53 20 sd 3 petani 0.75 ha 43 21 sd 3 petani 1 ha 47 22 sd 4 petani 0,75 ha 56 24 sd 2 petani 1 ha 30 26 sd 3 petani 0,75 ha 30 27 sd 4 petani 0,75 ha 45 29 sd 2 petani 0,75 ha 41 30 sd 7 petani 0,75 ha 35 III 5 sd 4 petani 0,2 ha 32 6 sd 3 petani 0,25 ha 40 7 sd 6 petani 0,25 ha 40 9 sd 4 petani 0,25 ha 30 14 sd 5 petani 0,25 ha 40 17 sd 3 petani 0,25 ha 30 18 sd 6 petani 0,5 ha 40 23 sd 3 petani 0,5 ha 45 25 sd 2 petani 0,5 ha 30 28 sd 3 petani 0,5 ha 45

Gambar

Tabel 1. Umur Petani Hutan Rakyat
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Petani Hutan Rakyat
Tabel 4. Pengalaman Usaha Hutan Rakyat Petani
Tabel 5. Hasil Perhitungan Analisis Finansial Indikator Strata I II III NPV 7.288.992 475.042 278.923 BCR 4,65 2,06 2,07 IRR 36,53% 13,06% 12,86%
+4

Referensi

Dokumen terkait

mengurangkan masalah dalam hubungan manusia dan untuk memperbaiki kehidupan melalui interaksi manusia yang lebih baik.Selain itu,terdapat ramai pekerja dalam profesion bantuan

[r]

Jumlah dan jenis jamur yang diperoleh hasil isolasi rizosfer tanaman kentang sehat dari lahan pertanian kentang organik di Dusun Sembungan Desa Gondangsari Kecamatan

Permasalahan teknis komputer yang digunakan pada saat mengoperasikan SPAMKODOK (penyedia), sehingga proses tidak bekerja sebagaimana mestinya, antara lain gangguan

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Kramat melalui wawancara dengan petugas kesehatan menunjukkan dari ke lima desa wilayah kerja Puskesmas

Dakwah kelas bayangan, perkuliahan gabung dengan kelas Filsafat Islam (BP-A2).. 11 KPI-11027 Metodologi Penelitian Komunikasi 2

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan konsep rancangan combination tool yang merupakan alat bantu pembuatan produk menggunakan bahan dasar lembaran pelat

Pembangunan manusia Indonesia di bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik jika Indonesia bisa mewujudkan target sustainable development goals (SDG’s) seperti