• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. PROFIL OSEANOGRAFI BERDASARKAN WARNA MUKA LAUT DAN KAITANNYA DENGAN SEBARAN CETACEA DI SELAT OMBAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. PROFIL OSEANOGRAFI BERDASARKAN WARNA MUKA LAUT DAN KAITANNYA DENGAN SEBARAN CETACEA DI SELAT OMBAI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

8

2. PROFIL OSEANOGRAFI BERDASARKAN WARNA

MUKA LAUT DAN KAITANNYA DENGAN SEBARAN

CETACEA DI SELAT OMBAI

2.1. Pendahuluan

Cetacea, secara umum, memiliki relung ekologi sebagai predator, sehingga keberadaannya di suatu perairan sangat terkait dengan fitur oseanografi yang memungkinkan ketersediaan biomassa mangsa yang tinggi sebagai sumber energinya (ca. Doniol-Valcroze et al. 2007, Embling et al. 2005, Tynan et al. 2005, Yen et al. 2003, Kaltenberg 2004, Davis et al. 2002). Merujuk pada struktur piramida makanan, apex predator cetacea membutuhkan energi yang sumbernya berasal dari biomassa masif biota pada tingkat trofik lebih rendah, seperti ikan pelagis dan beberapa jenis nekton lainnya, yang berpangkal pada produksi bahan organik oleh fitoplankton. Dengan demikian, seringkali apex predator cetacea dijumpai di perairan yang memiliki produktivitas primer tinggi, seperti di Southern Ocean pada musim panas (Bost et al. 2009, Arrigo et al. 1998, Moore and Abbott 2000), perairan California Current System (Tynan et al. 2005, Burtenshaw et al. 2004, Yen et al. 2003), dan Teluk Mexico (Kaltenberg 2004; Davis et al. 2002, Davis et al. 1998). Umumnya, perairan laut dengan produk-tivitas primer tinggi akan memiliki biomassa fitoplankton yang tinggi pula (Nontji 2006), yang kemudian menjadi landasan pembentukan jejaring dan piramida makanan di ekosistem tersebut.

Viale (1985) mengatakan bahwa sebaran cetacea di perairan laut sangat terkait dengan profil oseanografi perairan tersebut. Dengan demikian korelasi antara sejumlah parameter lingkungan dengan data perjumpaan cetacea dapat meningkatkan pemahaman ekologi cetacea, dan jika memungkinkan menetapkan variasi parameter lingkungan tertentu yang bisa menentukan sebaran cetacea di suatu perairan. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan mengaitkan faktor lingkungan perairan dengan sebaran cetacea, terutama jika faktor-faktor tersebut mengarah pada peningkatan produktivitas perairan. Karakteristik lingkungan perairan dapat ditelusuri melalui warna muka laut, karena warna tersebut

(2)

9 dihasilkan oleh sebaran sinar tampak yang dipengaruhi oleh substansi terlarut maupun tersuspensi. Nontji (2006) menuliskan bahwa warna biru di laut hanya muncul bila di perairan tersebut tidak dijumpai material humus, fitoplankton, dan umumnya miskin produksi organik; sedangkan warna cyan sampai kuning

menunjukkan perairan tersebut kaya akan plankton. Terkait dengan kajian habitat pelagis, maka pemahaman lingkungan perairan sebaiknya diawali dengan awal mata rantai produksi primer yaitu fitoplankton. Saat ini kemajuan di bidang penginderaan jauh kelautan telah memungkinkan penyediaan data lingkungan fisik berdasarkan tampilan warna muka laut hasil interpretasi data inderaja satelit.

Dalam lingkup kajian habitat cetacea di Selat Ombai, bab ini memaparkan profil habitat berdasarkan interpretasi tampilan warna muka laut yang datanya diperoleh sensor SeaWiFS. Data warna muka laut SeaWiFS digunakan untuk menyajikan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a, yang selanjutnya dikaitkan dengan lokasi spesifik dijumpainya komunitas cetacea.

2.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas cetacea 2.2.1. Suhu permukaan laut

Pengaruh suhu permukaan laut terhadap keberadaan cetacea bersifat tidak langsung, terutama dalam kaitannya mempengaruhi struktur hidrologi dan produktivitas primer (Viale 1985). Berbeda halnya bila hubungan keberadaan cetacea dikaitkan dengan profil thermal front, yang menunjukkan area sempit tempat terbentuknya gradien suhu yang tinggi baik secara vertikal maupun horizontal. Lalli and Parsons (2000) serta Mann and Lazier (2006) menuliskan bahwa thermal front umumnya dibentuk oleh mekanisme konvergensi/divergensi dari dua massa air yang sangat berbeda karakteristik suhunya, yang kemudian diikuti oleh pengadukan massa air, pemusatan nutrien dan komunitas plankton di badan air tertentu, yang pada akhirnya menciptakan suatu wilayah perairan dengan produktivitas tinggi.

(3)

10 Dalam kaitannya dengan sebaran cetacea, Tynan et al. (2005) berhasil mengaitkan keberadaan 44.5% sebaran perjumpaan Lagenorhynchus obliquidens (pacific white-sided dolphin) terhadap fitur thermal front yang nampak jelas pada awal musim panas di perairan California. Hal yang sama juga membuat rentang spasial cetacea yang identik dengan perairan pesisir hangat, Phocoena phocoena (harbor porpoise), menjadi lebih melebar ke arah lepas pantai Kalifornia

mendekati thermal front (Tynan et al. 2005). Masih dari perairan Pasifik, terdapat asosiasi yang erat antara thermal front sepanjang musim semi hingga gugur di barat laut Pasifik dengan kehadiran Balaenoptera musculus (Moore et al. 2002) dan untuk Eubalaena glacialis di perairan Great South Channel (Brown and Winn 1989). Profil yang serupa juga dijumpai di perairan Atlantik, tepatnya di selatan Irish Sea, yang menampakkan konsistensi perjumpaan Phocoena phocoena dengan thermal front musiman di perairan tersebut (Weir and O’Brien 2000).

2.2.2. Kandungan klorofil-a dan produktivitas primer

Mekanisme produksi primer di lingkungan laut didominasi oleh proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton, mengonversi nutrien dengan bantuan energi matahari menjadi karbohidrat, dan merupakan proses fundamental dalam jejaring makanan di laut (Nontji 2006; Mann and Lazier 2006; Lalli and Parsons 2000). Konsentrasi fitoplankton di suatu wilayah perairan selanjutnya digunakan untuk mengukur laju produktivitas primer di laut, sedangkan klorofil-a merupakan pigmen yang paling utama dalam menyerap spektrum radiasi

matahari, terutama pada kisaran panjang gelombang 650-700 nm dan 450 nm (Nontji 2006). Sebagai konsekuensi dari mekanisme tersebut, spektrum radiansi yang dipantulkan oleh permukaan laut berada pada kisaran cahaya tampak (400-700 nm) dan sangat bergantung pada konsentrasi kloforil-a yang terkandung di dalam perairan tersebut (Mann and Lazier 2006; Lalli and Parsons 2000). Dengan memanfaatkan kemampuan sinoptik inderaja satelit dalam memindai zat warna yang dominan di suatu perairan (ocean color remote sensing), profil produktivitas primer yang diwakili oleh kandungan klorofil-a dapat dilakukan secara efisien.

(4)

11 Sebagai biota yang berada di jenjang trofik tertinggi, cetacea membutuhkan wilayah laut yang di dalamnya terdapat konsentrasi klorofil-a tinggi secara berkesinambungan (persistent high chlorophyll-a concentration). Hal tersebut mudah dipahami untuk kelompok rorquals yang merupakan filter feeder, namun tidak demikian dengan kelompok Odontoceti karena adanya beda fase (time lag) antara produksi fitoplankton dengan produksi mangsa cetacea yang berupa ikan pelagis. Hal tersebut dicontohkan oleh Burtenshaw et al. (2004) yang mendapati hubungan erat antara pergerakan paus biru (Balaenoptera musculus) di wilayah perairan dengan konsentrasi klorofil-a tinggi, mulai dari perairan lepas pantai selatan California pada akhir musim panas hingga perairan pantai Vancouver di akhir musim gugur. Berbeda dengan hasil kajian Davis et al. (2002) yang mengaitkan sebaran 19 jenis cetacea di Teluk Mexico tidak hanya dengan produktivitas primer tinggi, tetapi juga dengan fitur hidrografi seperti pusaran (eddies) dan tebing paparan benua (continental shelf slope) yang merupakan area terpusatnya komunitas zooplankton. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh

preferensi tiga jenis Odontoceti di habitat pelagis continental shelf slope di lepas pantai barat Skotlandia, karena di wilayah tersebut mereka mudah memangsa ikan herring (Clupea harengus) yang berasosiasi erat dengan zooplankton yang

terperangkap di sepanjang continental shelf slope tersebut (Embling et al. 2005).

Ditinjau secara vertikal, dari permukaan ke dasar, perairan laut memiliki stratifikasi berdasarkan perbedaan konsentrasi sejumlah parameter biofisik, seperti suhu dan klorofil-a. Di luar zona front, produktivitas primer di bawah lapisan termoklin dapat diabaikan, namun tidak demikian halnya di wilayah terjadinya front, yang ternyata memiliki produktivitas primer di lapisan kolom perairan 6.5 kali lebih tinggi dengan konsentrasi klorofil-a 40 kali lebih banyak dibandingkan di lapisan permukaan (Mann and Lazier 2006). Hal tersebut bisa terjadi karena adanya lapisan piknoklin yang dangkal terdapat di zona front, yang di dalamnya secara persisten memerangkap komunitas fitoplankton. Di lapisan ini, fitoplankton dapat melakukan aktivitas fotosintesis secara lebih aktif karena mendapat

pencahayaan yang cukup dari permukaan laut dan asupan nutrien yang secara terus-menerus terdifusi dari lapisan bawah (Lalli and Parsons 2000; Mann and Lazier 2006). Umumnya kondisi lapisan perairan yang mendukung terjadinya

(5)

12 upwelling adalah adanya lapisan termoklin yang dangkal (Mann and Lazier 2006). Kondisi yang demikian telah digambarkan oleh Wyrtki (1962) dan Purba et al. (1994) di perairan selatan Jawa, khususnya pada saat berlangsungnya upwelling musiman di bulan Agustus.

2.3. Bahan dan metode

Data penginderaan jauh ocean colour yang digunakan untuk memetakan sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Selat Ombai adalah data dari sensor SeaWiFS dibawa oleh satelit ORBVIEW-2 yang telah beroperasi selama 6 tahun. Sensor SeaWiFS ini menghasilkan dua tipe data yaitu LAC (Local Area Coverage), dengan resolusi spasial 1.13 km, dan GAC (Global Area Coverage), dengan resolusi 4.5 km. Dalam penelitian ini digunakan data LAC Level 2 dalam format HDF (Hierarchical Data Format) yang langsung diunduh dari Goddard Space Flight Center - National Aeronautics and Space

Administration (GSFC – NASA, http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/). Data tersebut selanjutnya diolah mengunakan software SeaDAS versi 4, yang di dalamnya terdapat algoritma khusus untuk diaplikasikan secara spesifik di perairan Indonesia (Hendiarti 2003), sehingga mampu menampilkan profil sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut.

Data LAC Level 2 hanya digunakan untuk menampilkan profil biofisik perairan Selat Ombai yang bersamaan dengan waktu pengamatan komunitas cetacea pada pelayaran INSTANT (28 Desember 2003 – 4 Januari 2004 dan 29 Juni – 4 Juli 2005). Untuk menampilkan profil muka laut secara time series tiap bulan, digunakan data yang telah diproses, fasilitas dari The Goddard Earth Sciences Data and Information Services Center (GES DISC) yang tersedia pada laman http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/giovanni. Peta sebaran klorofil-a bulanan dari Giovanni ditampilkan langsung di situs tersebut dengan resolusi spasial 0.1° x 0.1°, selain itu format ASCII data klorofil-a untuk masing-masing bulan kajian juga disimpan.

(6)

13 Analisis data

Data klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Selat Ombai memiliki resolusi spasial 0.2° x 0.2° dan disajikan dalam format ASCII. Data ASCII tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk gambar sebaran klorofil-a dengan bantuan software Surfer versi 8. Berdasarkan gambar sebaran parameter klorofil-a dan suhu permukaan laut tersebut, selanjutnya dikaji pola perubahan nilai masing-masing parameter untuk mengetahui keberadaan fitur oseanografi khusus seperti eddies dan front, serta nilai maksimum, minimum, dan rata-rata di tiap periode akuisisi data citra.

2.4. Hasil

2.4.1. Sebaran cetacea berdasarkan profil suhu permukaan laut

Selain menampilkan informasi mengenai sebaran klorofil-a, data SeaWiFS juga dapat memberikan informasi mengenai sebaran suhu permukaan laut. Ekstraksi data SeaWiFS untuk tampilan sebaran suhu permukaan laut hanya berhasil untuk akuisisi tanggal 30 Juni dan 4 Juli 2005. Dengan demikian, profil habitat cetacea yang ditinjau dari sebaran suhu permukaan laut hanya diperoleh untuk data pengamatan cetacea hasil Survei INSTANT-Cetacea II. Profil habitat pelagis di perairan Selat Ombai berdasarkan sebaran suhu permukaan laut ditampilkan pada Gambar 2-1 dan 2-2.

Dari Gambar 2-1 dapat diketahui bahwa suhu permukaan laut (SPL) di Selat Ombai pada tanggal 30 Juni 2005 memiliki kisaran 27–30 °C. Terlihat adanya thermal front berbentuk meander di bagian barat Selat Ombai, tepatnya di timur Pulau Alor dan selatan Pulau Timor, dengan gradien SPL mencapai 2.5 °C. Plot titik perjumpaan cetacea menunjukkan bahwa komunitas cetacea berada perairan dengan suhu permukaan 28–28.5 °C, yang termasuk umum di perairan laut tropis nusantara (Nontji 1993).

(7)

14 Gambar 2-1. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 30 Juni 2005

(8)

15 Pada tanggal 30 Juni 2005 (Gambar 2-1), terjadi empat perjumpaan dengan komunitas cetacea dengan dua spesies yang teridentifikasi positif dan satu

unidentified cetacea (Plot A). Dua spesies cetacea yang teridentifikasi adalah Physeter macrocephalus (Plot B, C, D) dan Stenella longirostris (Plot C). Khusus untuk Stenella longirostris, cetacea jenis ini teramati dalam populasi besar dan melakukan aktivitas bowriding, yaitu berenang mengikuti pergerakan kapal Baruna Jaya VIII. Secara umum, plot perjumpaan cetacea memiliki preferensi terhadap keberadaan thermal front di perairan Selat Ombai.

Gambar 2-2 menunjukkan sebaran SPL pada tanggal 4 Juli 2005, dengan kisaran 27–29 °C. Sama halnya dengan profil sebaran SPL pada 30 Juni 2005 (Gambar 2-1), pada hari ini juga dijumpai fitur thermal front dengan posisi dan pola yang sama. Perbedaan fitur thermal front dari kedua periode adalah gradien SPL maksimal yang terbentuk pada 4 Juli 2005 bernilai lebih rendah, 1.5 °C, dan gradasi perubahan nilai SPL terlihat lebih lebar. Jenis cetacea yang diamati pada hari tersebut adalah Stenella longirostris, yang juga tengah melakukan aktivitas foraging dan makan di sekitar wilayah front.

Hanya tercatat dua perjumpaan dengan komunitas cetacea pada tanggal 4 Juli 2005, yaitu dengan pod Stenella longirostris (Gambar 2-2) yang melakukan foraging dan makan di sepanjang aliran front yang terbentuk. Aktivitas foraging dan makan Stenella longirostris ditandai dengan pergerakan simultan pasangan-pasangan cetacea berkecepatan tinggi, diikuti aktivitas menyelam singkat yang repetitif, manuver gerak yang memusat di permukaan dengan diselingi aksi aerials dan melontarkan mangsa ke atas permukaan air (Bearzi 1994, Allen and Read 2000, pers. obs.). Satu perjumpaan lagi adalah dengan pod Kogia simus, yang terlihat berenang ke arah timur pada pada larut senja, pukul 17:50 WITA. Sama halnya dengan Gambar 2-1, plot perjumpaan cetacea pada Gambar 2-2 juga menunjukkan preferensi habitat cetacea, khususnya Stenella longirostris, terhadap keberadaan thermal front di perairan Selat Ombai.

(9)

16 2.4.2. Sebaran cetacea berdasarkan profil klorofil-a permukaan

Sebaran klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai ditunjukkan pada Gambar 2-3, 2-4, dan 2-5. Terlihat bahwa sebaran produktivitas primer, yang diwakili oleh kandungan klorofil-a permukaan, memiliki variasi spasial. Perairan Selat Ombai yang memiliki produktivitas primer tinggi ditunjukkan dengan warna merah dan umumnya terdapat di timur Selat Ombai atau di tenggara Pulau Alor.

Gambar 2-3. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Januari 2004.

Gambar 2-3 menunjukkan sebaran klorofil-a di perairan Selat Ombai pada Musim Barat. Sebaran klorofil-a permukaan berkisar antara 0.01–0.06 mg/L, dan di beberapa lokasi terdeteksi fitur eddies yang di bagian tengahnya memiliki kandungan klorofil-a permukaan paling tinggi. Tercatat ada 4 perjumpaan, yang 75% menunjukkan aktivitas foraging dan makan. Tiga spesies cetacea, Stenella longirostris, Orcinus orca, dan Pseudorca crassidens, dijumpai di perairan shelf break yang dekat ke arah pantai, sedangkan Physeter macroce-phalus lebih umum dijumpai di bagian perairan jeluk Selat Ombai.

(10)

17 Gambar 2-4. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 30 Juni 2005.

(11)

18 Sebaran klorofil-a permukaan untuk Musim Timur ditunjukkan pada

Gambar 2-4 dan 2-5, yang merupakan akuisi 30 Juni 2005 dan 4 Juli 2005. Apabila sekilas dibandingkan, maka rentang nilai klorofil-a permukaan untuk musim barat lebih rendah dibandingkan pada musim tenggara. Pada musim tenggara, kisaran klorofil-a permukaan adalah 0.01 – 0.08 mg/L; kemudian profil front klorofil-a permukaan dan eddies yang dibentuk juga lebih majemuk dan terdeteksi di beberapa lokasi di perairan Selat Ombai. Hal tersebut menunjukkan adanya fenomena localized upwelling. Bila dikaitkan dengan komunitas cetacea yang teramati, maka plot perjumpaan cetacea umumnya berdekatan dengan lokasi terbentuknya front atau di zona transisi klorofil-a dan tidak terfokus pada wilayah berkonsentrasi klorofil-a tinggi.

Secara umum, pendeteksian sebaran klorofil-a permukaan pada tanggal tersebut tidak optimal disebabkan oleh tebalnya tutupan awan yang menghalangi kinerja sensor SeaWiFS. Awan merupakan faktor kendala utama dalam

pendeteksian parameter oseanografi permukaan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Kendala serupa dialami oleh Cresswell et al. (1997) yang mengkaji variabilitas upwelling secara musiman dan tahunan di perairan Nusa Tenggara dan selatan Jawa menggunakan data inderaja NOAA-AVHRR, dan mendapati bahwa penutupan awan pada musim barat berlangsung ekstensif. Moore and Marra (2003), yang menggunakan data SeaWiFS, mendapati bahwa perairan selatan Alor merupakan wilayah dengan fenomena upwelling yang berlangsung secara permanen (persistent upwelling).

2.4.3. Profil bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai Untuk melihat konsistensi keberadaan zona transisi klorofil-a yang tinggi di perairan Selat Ombai, digunakan data klorofil-a permukaan serial bulanan,

dimulai dari Desember 2003 sampai dengan Juli 2005. Profil sebaran klorofil-a permukaan tiap bulan disajikan pada Gambar 2-6, sedangkan data ASCII hasil pengukuran sensor SeaWiFS digunakan untuk melihat nilai rerata dan maksimum dari parameter klorofil-a permukaan Selat Ombai yang disajikan di Lampiran 4.

(12)

19

DES-03 JAN 04 FEB-04

MAR-04 APR 04 MEI-04

JUN-04 JUL 04 AGU-04

SEP-04 OKT 04 NOP-04

Musim Barat

Musim Peralihan I

Musim Timur

(13)

20 Gambar 2-6. Profil serial bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai, Desember 2003-Juli 2005.

DES-04 JAN 05 FEB-05

MAR-05 APR 05 MEI-05

JUN-05 JUL 05

Musim Barat

Musim Peralihan I

(14)

21 Gambar 2-6 menunjukkan bahwa sebaran klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai bervariasi secara spasial dan temporal, dengan fitur upwelling yang terdeteksi secara konsisten, walau masing-masing bulan menunjukkan bentang wilayah dan intensitas upwelling yang berbeda satu sama lain. Rerata nilai klorofil-a permukaan dihitung untuk nilai yang terekam di sekitar titik penenggelaman mooring Ombai 1, yaitu 8° 24.098' LS dan 125° 0.163' BT. Kisaran nilai rerata klorofil-a permukaan adalah 0.13–0.38 mg/m3, sedangkan nilai maksimum parameter klorofil-a permukaan terletak di titik yang bervariasi antar musim dengan kisaran 0.46–2.50 mg/m3

Variasi antar musim sebaran dan nilai klorofil-a permukaan di Selat Ombai terlihat jelas dari Gambar 2-6. Pada periode pertama pengamatan cetacea,

Desember 2003-Januari 2004, nilai rerata dan maksimum klorofil-a adalah 0.26 mg/m

(Lampiran 4).

3

dan 0.74 mg/m3, serta 0.16 mg/m3 dan 0.67 mg/m3. Terjadi peningkatan nilai maksimum klorofil-a pada periode kedua pengamatan cetacea, Juni-Juli 2005, yaitu 1.02 mg/m3 dan 0.96 mg/m3

Umumnya fitur upwelling di perairan Selat Ombai terdeteksi di selatan Pulau Alor, dengan kondisi upwelling berintensitas tinggi berlangsung pada Musim Timur dan Musim Peralihan II (Gambar 2-6). Musim utama perburuan paus oleh nelayan Lamalera, yang bermukim di barat Pulau Alor, berlangsung pada bulan-bulan tersebut (Barnes 1996), mengindikasikan bahwa ada kelimpahan cetacea yang tinggi yang secara tidak langsung terkait dengan tingginya

produktivitas primer di perairan Selat Ombai yang juga merupakan wilayah perburuan paus. Bentang wilayah yang memiliki konsentrasi klorofil-a permukaan tinggi pada Musim Timur dan Musim Peralihan II juga lebih luas, menyebar hingga ke barat daya Selat Ombai atau memasuki perairan Laut Sawu. Hal serupa juga diperoleh Creswell et al. (1997) dan Moore and Marra (2002).

, walaupun nilai rerata klorofil-a di lokasi mooring tergolong homogen. Variasi tahunan sebaran klorofil-a permukaan ditunjukkan secara jelas pada profil bulan Mei, yaitu terjadinya fitur upwelling intensif yang lebih awal pada akhir Musim Peralihan I di tahun 2005, sedangkan pada Mei 2004 fitur tersebut tidak nampak.

(15)

22 2.5. Pembahasan

Perairan Selat Ombai memiliki keunikan spesifik dalam kaitannya dengan sejumlah fenomena oseanografi dan komunitas apex predator cetacea. Data inderaja satelit hasil pemindaian sensor SeaWiFS dapat digunakan untuk

mendeteksi sejumlah fitur oseanografi penting yang dapat menjelaskan mengapa komunitas cetacea memanfaatkan beberapa lokasi di perairan Selat Ombai sebagai habitat makannya. Siegel et al. (2004) menjelaskan bahwa pencitraan muka laut hasil interpretasi data SeaWiFS memiliki sejumlah kelebihan, yang di antaranya adalah menampilkan nilai parameter klorofil-a permukaan dan fitur proses oseanografi penting, seperti upwelling, downwelling, dan eddies, yang dapat disesuaikan skala ruang dan waktunya, serta tersedia secara konsisten sejak 1 Agustus 1997. Pada penelitian ini digunakan 25 peta citra SeaWiFS, yang lima di antaranya merupakan data real time yang selaras waktu perekamannya dengan pengambilan data lapangan komunitas cetacea di Selat Ombai.

Gambar 2-1 dan 2-2 menunjukkan pencitraan muka laut berdasarkan parameter suhu permukaan laut, yang secara rinci menunjukkan keberadaan fitur thermal front, terutama di timur Pulau Alor dan di barat laut Pulau Timor. Gambar 2-3, 2-4, 2-5, dan 2-6 menunjukkan profil muka laut hasil pencitraan SeaWiFS berdasarkan parameter klorofil-a permukaan, yang masing-masing menunjukkan adanya fenomena peningkatan konsentrasi klorofil-a permukaan (upwelling) secara permanen di perairan Selat Ombai. Resolusi spasial data LAC Level 2 SeaWiFS dapat menunjukkan secara detail lokasi dan bentang wilayah terbentuknya fitur eddies di Selat Ombai (Gambar 2-3 s/d 2-5).

Hasil kajian Sangra et al. (2001) di perairan Gran Canaria menunjukkan adanya fitur mesoscale eddies berdasarkan konsentrasi klorofil-a permukaan di daerah leeward Pulau Canari yang dipengaruhi oleh internal wave. Fitur eddies tersebut mengakibatkan peningkatan biomassa fitoplankton serta menyokong peningkatan biomassa zooplankton sepuluh kali lipat dibandingkan di daerah windward Pulau Canari. Mekanisme serupa juga terdapat di Selat Ombai, karena memang terdapat fitur internal wave di perairan tersebut (Moore and Marra 2002), yang intensitasnya bervariasi terhadap penjalaran gelombang pasut, sehingga

(16)

23 memiliki frekuensi yang lebih tinggi dan berkontribusi terhadap eskalasi

produktivitas primer setempat (Robertson and Ffield 2005, 2008).

Peningkatan kandungan klorofil-a di Selat Ombai secara langsung menunjukkan bahwa komunitas fitoplankton, yang menjadi landasan piramida makanan di ekosistem laut, tersedia dalam jumlah yang melimpah secara kontinu atau bahwa perairan Selat Ombai memiliki mekanisme percampuran massa air yang intensif. Walaupun tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan keberadaan komunitas cetacea yang dijumpai di perairan tersebut, adanya sejumlah lokasi dengan kandungan klorofil-a tinggi menyokong ketersediaan mangsa cetacea dari jenis Stenella longirostris dan Pseudorca crassidens, karena apex predator cetacea dari spesies tersebut seringkali dijumpai tengah melakukan aktivitas foraging dan makan di perairan Selat Ombai.

Selain upwelling, fitur oseanografi lain yang tak kalah penting yang terdeteksi oleh data SeaWiFS adalah thermal front, yang umumnya terbentuk di tepian Pulau Alor dan Timor, tempat Arlindo memasuki perairan Selat Ombai menuju Laut Sawu. Spesies cetacea yang memiliki kecenderungan terhadap thermal front di Selat Ombai adalah Stenella longirostris. Ballance et al. (2006) menuliskan bahwa spesies tersebut juga selalu dijumpai di perbatasan massa air hangat Peru Current dan Equatorial Front di timur Pulau Galapagos. Selain Stenella longirostris, terbentuknya fitur thermal front secara musiman juga mempengaruhi sebaran sejumlah spesies cetacea yang lain, seperti rorquals di Gulf of St. Lawrence, Kanada (Doniol-Valcroze et al. 2007), pesut Phocoena phocoena di lepas pantai Barat Skotlandia (Embling et al. 2004), serta banyak jenis cetacea di perairan California Current System (Tynan et al. 2005,

Burtenshaw et al. 2004).

Apabila Viale (1985) menyatakan bahwa hubungan antara suhu perairan dengan sebaran cetacea bersifat tidak langsung, maka hal yang berbeda

dikemukaan oleh Bost et al. (2009) yang menuliskan bahwa front merupakan fitur oseanografi yang sangat penting bagi apex predator cetacea di perairan Southern Ocean. Ballance et al. (2006) mengkaji pengaruh oseanografi dan karakteristik massa air di perairan tropis Pasifik Timur dan mendapati bahwa

(17)

24 Equatorial Front merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi sebaran dan densitas cetacea di perairan tersebut.

Martin (2003) menyarikan bahwa fitur front dan eddies di laut merupakan faktor utama yang memacu peningkatan produktivitas primer dan biomassa fitoplankton. Hal ini disebabkan oleh terperangkapnya komunitas fitoplankton di bagian-bagian perairan tertentu dan eskalasi proses fotosintesis terjadi akibat mekanisme pengadukan (mixing and stirring) yang menyuplai nutrien secara terus-menerus dari perairan dalam. Keberadaan proses vertical mixing di perairan Selat Ombai telah dibuktikan oleh Atmadipoera et al. (2009), sehingga diduga proses tersebut merupakan salah satu mekanisme utama yang menyebabkan kondisi persistent upwelling dapat dijumpai di perairan ini (Gambar 2-6).

Selain memacu produktivitas primer, front dan eddies juga dapat dikaitkan dengan sebaran spasial apex predator cetacea di laut, karena merupakan faktor fisiografi utama yang memungkinkan terjadinya interaksi predator-mangsa antara penghuni jenjang trofik tertinggi dan terendah, khususnya Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Orcinus orca yang dijumpai memangsa schooling ikan pelagis permukaan (Gambar 2-1 s/d 2-5). Keberadaan ikan pelagis sebagai salah satu predator utama di wilayah perbatasan front dan eddies sangat terkait dengan retensi agregasi zooplankton, larva ikan, dan komunitas grazers lain, sehingga komunitas apex predator cetacea juga mendatangi wilayah perairan ini untuk memangsa schooling ikan pelagis tersebut. Namun demikian, fitur lapisan

permukaan tersebut tidak dapat dikaitkan dengan konsistensi perjumpaan dengan Physeter macrocephalus yang mangsanya merupakan biota penghuni laut dalam, terutama cephalopoda.

Palacios et al. (2006), Hastie et al. (2004) dan Worm et al. (2003)

mengenalkan istilah biological hot spots, yang menunjukkan wilayah tertentu di perairan laut, bila dibandingkan wilayah perairan lain di dekatnya, yang memiliki kandungan kloforil-a permukaan yang tinggi disertai kelimpahan predator yang tinggi pula, terutama biota pelagis besar, seperti ikan, penyu, burung laut, dan cetacea. Burtenshaw et al. (2004) mendapati preferensi Balaenoptera musculus terhadap beberapa titik biological hot spots di perairan California Current System.

(18)

25 Dengan demikian, Selat Ombai juga merupakan biological hot spots di perairan nusantara karena merupakan lokasi yang secara konsisten memiliki kandungan klorofil-a tinggi dan keberadaan populasi apex predator tinggi, terutama untuk spesies Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter macrocephalus yang dijumpai secara konsisten di perairan tersebut.

2.6. Simpulan

Pencitraan warna muka laut menggunakan data SeaWiFS dapat digunakan untuk menunjukkan karakteristik lingkungan fisik habitat cetacea di Selat Ombai, khususnya untuk parameter suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a permukaan. Profil warna muka laut yang diperoleh dari 25 peta citra SeaWiFS dapat mengidentifikasi lokasi spesifik keberadaan fitur oseanografi khusus, seperti thermal front dan eddies, yang melengkapi hasil pengamatan visual komunitas cetacea serta memberikan indikasi lanjutan terhadap kemungkinan keberadaan habitat kritis cetacea di perairan Selat Ombai, karena mayoritas titik pengamatan cetacea berada dekat dengan fitur tersebut. Konsistensi perjumpaan apex predator cetacea, keberadaan thermal front, eddies dan persistensi kondisi produktivitas primer yang tinggi (berdasarkan pencitraan kandungan klorofil-a permukaan) menjadikan Selat Ombai sebagai perairan biological hot spots yang penting untuk dikaji lebih lanjut.

Daftar Pustaka

Allen MC and A Read. 2000. Habitat selection of foraging bottlenose dolphins in relation to boat density near Clearwater, Florida. Marine Mammal Science 16:815-824.

Arrigo KR, D Worthen, A Schnell, and MP Lizotte. 1998. Primary production in Southern Ocean waters. Journal of Geophysical Research 103: 587-600. Atmadipoera AS, R Molcard, G Mardec, S Wijffels, J Sprintall, A Koch-Larrouy,

I Jaya, and A Supangat. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep-Sea Research I 56(2009)1942–1954. doi:10.1016/j.dsr.2009.06.004

(19)

26 Balance LT, RL Pitman, and PC Fiedler. 2006. Oceanographic influences on

seabirds and cetaceans of the eastern tropical Pacific: A review. Progress in Oceanography 69 (2006) 360–390. doi:10.1016/j.pocean.2006.03.013 Bearzi G. 1994. Behavioural states: terminology and definitions. Proceedings of

the workshop “Methods for the study of bottlenose dolphins in the wild”. Eds: GN di Sciara, PGH Evans, and E Politi. 8th

Bost CA, C Cotte, F Bailleul, Y Cherel, JB Charrassin, C Guinet, DG Ainley, and H Weimerskirch. 2009. The importance of oceanographic fronts to marine birds and mammals. Journal of Marine Systems 78 (2009): 363-376. doi:10.1016/j.jmarsys.2008.11.022

Annual Meeting of the European Cetacean Society. Montpellier, 3 March 1994.

Brown CW and HE Winn. 1989. Relationship between the distribution pattern of right whales, Eubalaena glacialis, and satellite-derived sea surface thermal structure in the Great South Channel. Continental Shelf Research 9 (3): 247-260.

Burtenshaw JC, EM Oleson, JA Hildebrand, MA McDonald, RK Andrew, BM Howe, and JA Mercer. 2004. Acoustic and satellite remote sensing of blue whale seasonality and habitat in the Northeast Pacific. Deep-Sea Research II 51 (2004) 967–986. doi:10.1016/j.dsr2.2004.06.020

Cresswell G, M Purba, and SI Sachoemar. 1997. Application of remote sensing and oceanographic assessment in fisheries development. Report on short program of collaborative research. CSIRO, BPPT, and IPB.

Davis RW, GS Fargon, N May, TD Leming, M Baumgartner, WE Evans, LJ Hansen, and K Mullin. 1998. Physical habitat of cetaceas along the continental slope in the north-central and western gulf of Mexico. Marine Mammal Science 14 (3): 490-507.

Davis RW, JG Ortega-Ortiza, CA Ribic, WE Evans, DC Biggs, PH Ressler, RB Cady, RR Lebend, KD Mullin, B Wursig. 2002. Cetacean habitat in the northern oceanic Gulf of Mexico. Deep-Sea Research I 49 (2002) 121–142. Doniol-Valcroze T., D. Berteaux, P. Larouche, and R. Sears. 2007. Influence of

thermal fronts on habitat selection by four rorqual whale species in the Gulf of St. Lawrence. Mar Ecol Prog Ser Vol 335: 207-216.

Embling CB, PG Hernandes, PS Hammond, E Armstrong, and J Gordon. 2005 Investigations into the relationship between pelagic fish and dolphin distributions off the west coast of Scotland. ICES CM2005; 15 pp. Hastie GD, B Wilson, LJ Wilson, KM Parsons, and PM Thompson. 2004.

Functional mechanisms underlying cetacean distribution patterns: hotspots for bottlenose dolphins are linked to foraging. Marine Biology (2004) 144: 397–403. DOI 10.1007/s00227-003-1195-4

Hendiarti N. 2003: Investigations of remote sensing ocean color in Indonesian Waters. A thesis of Doctor of Philosophy, University of Rostock, Germany.

(20)

27 Kaltenberg AM. 2004. 38-kHZ ADCP Investigation of Deep Scattering Layers in

Sperm Whale Habitat in the Northern Gulf of Mexico. M.Sc Thesis under supervision of DC Biggs and SF DiMarco. Major: Oceanography. Texas A&M University.

Lalli C and TR Parsons. 2000. Biological oceanography - an introduction. 2nd

Mann KH and JRN Lazier. 2006. Dynamics of marine ecosystems: biological-physical interactions in the oceans. 3

edition. Butterworth-Heinemann: 314 pp.

rd

Martin AP. 2003. Phytoplankton patchiness: the role of lateral stirring and mixing. Progress in Oceanography 57 (2003) 125–174.

doi:10.1016/S0079-6611(03)00085-5.

ed. Blackwell Publishing: 496 pp.

Moore K and M Abbott 2000. Phytoplankton chlorophyll distributions and primary production in the Southern Ocean. Journal of Geophysical Research, 105 (28): 709-722.

Moore TS and J Marra. 2002. Satellite observations of bloom events in the Strait of Ombai: Relationships to monsoons and ENSO. Geochem Geophys Geosyst 3 (2). doi: 10.1029/2001GC00174.

Moore SE, WA Watkins, MA Daher, JR Davies, and ME Dalheim. 2000. Blue whale habitat associations in the northwest Pacific: analyses of remotely-sensed data using Geographic Information System. Oceanography 15 (3), 20-25.

Nonti, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 368 hal.

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. P2O-LIPI. Jakarta. iii + 240 h.

Palacios DM,SJ Bograd, DG Foley, and FB Schwing. 2006. Oceanographic characteristics of biological hot spots in the North Pacific: A remote sensing perspective. Deep-Sea Research II 53 (2006) 250–269.

doi:10.1016/j.dsr2.2006.03.004

Purba M, INMN Natih, dan AS Atmadipoera. 1994. Keterkaitan sifat-sifat oseanografi dengan sifat-sifat biologis sebagai akibat proses upwelling di perairan selatan Jawa Barat. Laporan penelitian. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Robertson R and A Ffield. 2005. M2 Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.

Robertson R and A Ffield 2008: Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Part 2: Interactions between tidal constituents, energy fluxes, and tidal mixing with a focus on Ombai Strait, doi:10.1029/2007JC004677.

Sangra P, G Basterretxea, JL Pelegri, and J Aristegui. 2001. Chlorophyll increase due to internal waves on the shelf break of Gran Canaria (Canary Islands). Sci. Mar. (Suppl. 1): 89-97

(21)

28 Siegel DA, AC Thomas, and J Marra. 2004. Views of ocean processes from the

Sea-viewing Wide Field-of view Sensor mission: introduction to the first special issue. Journal of Deep-Sea Research II 51 (2004) 1-3.

doi:10.1016/j.dsr2.2003.12.001

Taylor L, M Carwardine, and E Hoyt (Eds). 2002. The nature companions sharks and whales. Fog city press.

Tynan CT, DG Ainley, JA Barth, TJ Cowles, SD Pierce, and LB Spear. 2005. Cetacean distribution relative to ocean processes in the northern California Current System. Deep-Sea Research II: 145-167.

Viale D. 1985. Cetacea in the Northwestern Mediterranean: their place in ecosystem. In: Oceanography and Marine Biology: an annual review - volume 23. M Barnes (Ed). Aberdeen University Press. 491-571pp. Weir CR and SH O'Brien. 2000. Association of the harbour porpoise (Phocoena

phocoena) with the western Irish Sea front. European Research on Cetaceas - 14. Proceedings on the 14th conference of European cetacea society. Cork, Ireland, 2-5 April 2000: 61-65.

Worm B, HK Lotze, and RA Myers. 2003. Predator diversity hotspots in the blue ocean. PNAS 2003;100;9884-9888. doi:10.1073/pnas.1333941100

Wyrtki K. 1962. The upwelling in the region between Java and Australia during the south east monsoon. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 13 (3): 217-225.

Yen PPW, WJ Sydeman, and KD Hyrenbach. 2003. Marine bird and cetacea associations with bathymetric habitats and shallow water topographies: implications for trophic transfer and conservation. Journal of Marine Systems 50: 79-99.

Gambar

Gambar 2-2.  Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 4 Juli 2005
Gambar 2-3. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Januari 2004.
Gambar 2-5. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Juli 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan Sistem Informasi Geografis Hutan Kota Propinsi DKI Jakarta berbasis web online yang menggunakan pengembangan basis data

Patrilineal yang ditunjukkan dalam novel ini melalui perkawinan sekasta, karena sudah menjadi hukum adat Bali seorang perempuan Brahmana harus menikah dengan

Untuk dapat mengerjakan latihan ini, gunakan konsep-konsep yang telah diuraikan dalam Kegiatan Belajar 1. Telitilah konsep-konsep tersebut dengan cermat. Etika merupakan pokok

Selesainya penyusunan tugas akhir ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dorongan, nasehat serta bimbingan kepada penulis.. Pada

Hasil analisis efisiensi penggunaan input usahatani padi sawah di Subak Guama, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan pada satu musim tanam dari bulan Maret- Juni 2011 menunjukkan

Pada implementasinya, aplikasi MBA yang dirancang telah memberikan output yang diinginkan oleh user , yaitu memberikan informasi hubungan antar barang dari data

Terjadinya kredit macet pada BPR Berkah Pakto dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor yang berasal dari nasabah, faktor yang berasal dari bank (BPR Berkah

Ibn Qutaibah, Al-Imamah wa Al-Siyasah (Mesir: al-Muassasah al-halabi, tt), hal.. Umar tidak sependapat bahkan menentang keras. Suasana semakin lebih panas. Dia berpendapat