• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN DARI PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LAUT BERBASIS MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBELAJARAN DARI PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LAUT BERBASIS MASYARAKAT"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

iii

PEMBELAJARAN

DARI PROGRAM PENGELOLAAN

SUMBERDAYA ALAM LAUT

BERBASIS MASYARAKAT

Kerjasama :

Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam SATKER REHABILITASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG (COREMAP II)

TAHUN 2006

Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

TAHUN 2006

PT. BINA MARINA NUSANTARA (Konsultan Kelautan dan Perikanan) Kantor: Gedung Sarana Pengembangan Usaha Lt.8, Jl. Angkasa Blok B-9 Kav 6 Kota Baru, Bandar Kemayoran, Jakarta 10720

Telp. (021) 6546630, Fax. (021) 6546631, E-mail: binamarina@cbn.net.id

(3)

iv

Buku ini dibuat merupakan salah satu seri dari sepuluh buku panduan pembelanjaran mandiri dalam pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat yang diterbitkan oleh COREMAP II. Memang penerapan pengelolaan berbasis masyarakat menjadi pendekatan yang dirintis sejak akhir tahun 1990-an dan menjadi penting salahsatunya diterapkan pada pengelolaan terumbu karang. Penerapan pengelolaan pada terumbu karang ini membutuhkan pengenalan, pemahaman dan pendalaman terumbu karang itu sendiri terutama manfaat dan fungsi ekosistem terumbu karang itu sendiri termasuk ekosistem yang terkait dengannya.

Sudah banyak yang menyebutkan bahwa dari ekosistem terumbu karang bisa menjadikan tulang punggung ekonomi di wilayah pesisir. Nilai ekonomi langsung dari ikan hias laut di Indonesia yang berasal dari terumbu karang bisa mencapai US$ 32 juta/tahun. Selain itu nilai ekonomi dari terumbu karang yang non konsumtif bisa berupa kegiatan pariwisata, pelindung pantai, dan keragaman hayati. Ada yang memperkirakan bahwa nilai keragaman hayati terumbu karang Indonesia mencapai US$ 7,8 juta, sedangkan total nilai ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar US$ 466 juta (nilai bersih) sampai dengan US$ 567 juta (nilai kotor). Namun demikian, ancaman terhadap sumberdaya terumbu karang juga selalu menghadang di hadapan kita yang bisa menyebabkan

menurunnya kualitas sumberdaya tersebut.

Keberhasilan penerapan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat tergantung pada tingkat partisipasi masyarakat dan yang tiada lain juga tergantung pada kemampuan para penggerak, fasilitator di daerah dalam upaya meningkatkan partisipasi tersebut. Pembuatan buku ini ditujukan untuk memberikan bahan yang menjadikan pengguna terutama para

fasilitator di daerah agar bisa lebih mudah mengenali dan manfaat ekosistem

(4)

v

terumbu karang dan sekaligus semoga menjadi bahan pembelajaran selanjutnya secara mandiri yang bermanfaat bagi motivasi penggerak partisipasi masyarakat di daerahnya.

Buku ini berisi terutama terkait dengan pendalaman pemahaman ekosistem terumbu karang terutama pengenalan manfaat dan fungsi ekositem dan strategi pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. Konsep, kajian, teknik rehabilitasi dan langkah-langkah dalam pengelolaan ini menjadi hal-hal yang dicoba diangkat dalam buku ini. Disadari bahwa panduan pengenalan manfaat dan fungsi ekosistem termasuk langkah-langkahnya agar tujuan menjadi tercapai, bukan satu-satunya cara dalam upaya meningkatkan tingkat pengetahuan, kesadaran, pemahaman terhadap ekosistem terumbu karang. Demikian juga penerapan buku ini akan tergantung sekali pada kondisi lokal yang ada.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak sehingga buku ini bisa diterbitkan pada waktunya, terutama kepada para fasilitator dan pertugas yang ada di garis terdepan di daerah yang telah memberikan pengkayaan pada langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengenalkan ekosistem terumbu karang ini.

Jakarta, Desember 2006.

(5)

vi

Pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan menuntut kesinambungan upaya dan konsistensi sistem kebijakan, serta mensyaratkan kemampuan sumberdaya manusia sebagai pengelola dan ketersediaan informasi yang memadai sebagai dasar pengambilan keputusan. Peran manusia, terutama masyarakat pesisir sebagai pengguna dan pengelola sumberdaya alam pesisir dan laut, menjadi sentral dalam proses pengelolaan sumberdaya terumbu karang. Namun, pada kenyataannya, pemangku kepentingan pengelolaan sumberdaya terumbu karang selain memiliki beragam kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam tersebut memiliki kapasitas yang sangat bervariasi. Ada ketidakseimbangan kemampuan dalam pengetahuan secara formal yang memadai di antara pemangku

kepentingan. Rendahnya sebagian besar kapasitas pemangku kepentingan sumberdaya terumbu karang, memicu ketidakseimbangan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dengan demikian, pembelajaran yang terus menerus bagi mereka merupakan hal yang sangat diperlukan dalam meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan sumberdaya terumbu karang.

Namun demikian, tingginya kebutuhan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan terbatasnya dana yang ada menyebabkan proses pembelajaran yang sangat diperlukan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut timpang. Sehubungan dengan itu, maka dirasakan penting untuk menyusun Paket Buku Panduan (Self Learning Material Pack) untuk pembelajaran mandiri pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (Community-Based Management CBM). Hal ini karena salah satu pendekatan bagi pembelajaran masyarakat yang paling efektif dan menjangkau lokasi terpencil adalah melalui media buku. Media buku dapat membawa pesan jauh lebih banyak dan luas dibandingkan media lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan informasi untuk seluruh tingkatan para pemangku kepentingan dengan menyediakan berbagai pilihan. Selain itu, kegiatan pengembangan Buku Panduan ini ditujukan untuk memberikan informasi mengenai berbagai strategi pengelolaan sumberdaya terumbu karang dari

(6)

vii

sudut pandang masyarakat nelayan, para manajer sumberdaya dan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang lingkungan.

Materi Paket Buku Panduan merupakan pembelajaran dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan program-program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berbasis masyarakat di Indonesia maupun di luar negeri. Paket Buku Panduan terdiri atas 11(sebelas) judul sebagai berikut:

(1) Panduan penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) (2) Pengenalan Manfaat dan Fungsi Ekosistem Terumbu Karang dan

Ekosistem Terkait, serta Kondisi Terumbu Karang di Indonesia (3) Pembelajaran dari Program Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut

Berbasis Masyarakat

(4) Panduan Pengambilan Data dengan Metode RRA dan PRA.

(5) Panduan Penyusunan Peraturan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut

(6) Panduan Pengorganisasian Masyarakat (7) Panduan Mata Pencaharian Alternatif

(8) Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (9) Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat

(10)Panduan Pembuatan Daerah Perlindungan Laut, dan (11)Panduan Pengelolaan Pondok Informasi (Info Center).

Seluruh Paket Buku Panduan tersebut diharapkan dapat memberi manfaat bagi seluruh pihak, terutama masyarakat pesisir, para Terakhir, kami mengu-capkan terima kasih kepada ketua dan seluruh anggota Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga seluruh paket buku panduan dapat diselesaikan dengan baik. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan dalam penyusunan paket buku panduan ini.

Jakarta, Nopember 2006

(7)

viii

Sekapur Sirih

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada semua pihak yang telah menyumbangkan pikiran dan tenaga sehingga penyusunan Paket Buku Panduan (Self Learning Material Pack) untuk pembelajaran mandiri pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (Community-Based Man-agement CBM) dapat diselesaikan dengan baik.

Paket Buku Panduan ini dapat diselesaikan karena kerja keras Tim

Penyusun dan berkat kontribusi yang diberikan oleh Tim COREMAP II di Jakarta serta Tim COREMAP Daerah dan para fasilitator dan motivator desa di lokasi-lokasi CORMAP II di 7 (tujuh) kabupaten, yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Buton, Kabupaten Selayar, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Sikka, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Biak. Kontribusi yang sangat berharga berupa dukungan kesekretariatan dan logistik disediakan oleh PT Bina Marina Nusantara.

(8)

ix

BPD : Badan Perwakilan Desa

DTA : daerah tangkapan air

degaradasi sumberdaya : menurunnya kualitas/mutu sumberdaya alam deplisi sumberdaya alam: menurunnya jumlah sumberdaya alam

DPL-BM : Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Desa : Tingkat pemerintahan yang paling bawah yang

dikepalai oleh Kepala Desa; di Papua disebut Kampung dan dikepalai oleh Kepala Kampung eksploitasi : pengambilan sumberdaya alam untuk

dimanfaatkan

eksplorasi :

Info Center : Information Center atau Pusat Informasi legal baseline : landasan hukum

Kecamatan : Administrasi pemerintahan di atas tingkat desa, dikepalai oleh Camat; di Papua disebut Distrik dan dikepalai oleh Kepala Distrik

KPTK : Kelompok Pengawasan Terumbu Karang

konservasi : pengawetan

MCS : Monitoring, Controlling, and Survaillance atau Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian MPA : Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau dalam

Bahasa Inggris Marine Protected Area

over-fishing : penangkapan ikan secara berlebih yang dapat berakibat pada kepunahkan sumberdaya ikan

Perdes : Peraturan Desa

Pokmas : Kelompok Masyarakat

PokWasMas : Kelompok Pengawasan Masyarakat

stakeholders : pemangku kepentingan, (para) pihak-pihak terkait

(9)

x

Daftar Isi

PENGANTAR ...

SEKAPUR SIRIH ...

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ...

DAFTAR ISI ...

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. Mengapa Perlu Buku Pembelajaran dari Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat? ... 1

2. Mengapa Perlu Buku Panduan? ... 1

3. Buku Panduan untuk Siapa? ... 3

4. Bagaimana Menggunakan Buku Panduan? ... 3

BAB 2. DASAR TEORI... 5

1. Konsep Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya dalam Pembangunan ... 5

2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat ... 9

a. Definisi Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut BM ... 9

b. Proses Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut BM ... 10

c. Lingkup Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut BM ... 11

3. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Melalui Pengelolaan Bersama (Co-Management) ... 12

a. Arti pengelolaan bersama ? ... 12

b. Dimana pengelolaan bersama perlu dikembangkan? ... 12

c. Strategi Kelembagaan (siapa sebaiknya yang mengelola dan bagaimana caranya?) ... 13

(10)

xi

d. Strategi Teknis (cara pengelolaan yang bagaimana yang

sebaiknya digunakan?) ... 17

e. Strategi Adaptif (monitoring dan perbaikan sumberdaya alam) .. 18

BAB 3. PENERAPAN PENGELOLAAN BERBASIS MASYARAKAT DAN PENGELOLAAN BERSAMA ... 23

1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat di Desa Blongko, Talise, dan Bentenan-Tumbak ... 23

2. Sasi di Pulau Saparua ... 25

3. Revitalisasi Hak Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Lombok Timur ... 29

BAB 4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LAUT ... 35

a. Proses Perencanaan dan Pengambilan Keputusan yang Inklusif, Transparan, dan Didukung oleh Pengetahuan Ilmiah ... 35

b. Kerangka Hukum yang Memadai ... 38

c. Kesejahteraan Komunitas Pesisir ... 39

d. Penutupan Proyek Secara Tepat ... 40

(11)

Pendahuluan

1

B A B

1. Mengapa Perlu Buku Pembelajaran dari

Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut

Berbasis Masyarakat?

Di Indonesia saat ini, sangat diperlukan kehadiran buku pembelajaran dari pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Mengapa? Selama sekitar dua dasawarsa terakhir, telah dilakukan beberapa upaya untuk mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di beberapa lokasi di Indonesia.

Pada saat ini, penerapan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat sedang diperluas di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Agar perluasan penerapan sistem

pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat ini berjalan lebih efektif dan efisien, maka maka kehadiran buku pembelajaran dari pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat akan sangat dirasakan manfaatnya. Dengan

kehadiran buku pembelajaran ini diharapkan kesalahan-kesalahan yang dibuat di tempat lama tidak akan terulang di tempat-tempat yang baru.

2. Mengapa Perlu Buku Panduan?

Tujuan penyusunan paket panduan pembelajaran mandiri (self learning material pack) mengenai Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat (Commu-nity-Based Management – CBM) ini adalah:

(12)

a. Menyediakan konsep buku panduan (handbook) pembelajaran mandiri masyarakat untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat;

b. Membuat buku panduan (handbook) sebagai bahan pembelajaran mandiri masyarakat tentang CBM yang mudah dipelajari dan dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat di lokasi COREMAP;

c. Memberikan materi sebagai bekal pengetahuan dan informasi yang benar tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya alam laut secara lestari, khususnya terumbu karang dan ekositem terkait

Sasaran yang diinginkan dari penyusunan konsep pembuatan paket panduan pembelajaran mandiri (self learning material pack) mengenai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat (Community-Based Management – CBM) ini adalah tersedianya buku panduan bagi pembelajaran mandiri pengelolaan berbasis masyarakat yang terdiri dan tema-tema di bawah ini:

1). Pengenalan Manfaat dan Fungsi Ekosistem Terumbu Karang dan ekosistem terkait, serta kondisi terumbu karang di Indonesia 2). Pembelajaran dan program-program pengelolaan sumberdaya laut

berbasis masyarakat

3). Panduan Pengambilan Data dengan metode Rural Rapid Appraisal dan Participatory Rural Appraisal

4). Panduan Penyusunan Regulasi Tingkat Desa 5). Panduan Pengorganisasian Masyarakat 6). Panduan Mata Pencaharian Alternatif

7). Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan yang Ramah dan Tidak Ramah Lingkungan

(13)

8). Panduan Monitoring Berbasis Masyarakat 9). Panduan Penyusunan Daerah Perlindungan Laut 10). Panduan Pengelolaan Info Center, dan lain lain

3. Buku Panduan untuk Siapa?

Target utama Seri Buku Pembelajaran Mandiri adalah para Fasilitator COREMAP II yang berada di tingkat kabupaten dan desa, yang kebanyakan adalah lulusan perguruan tinggi (Diploma 3) dan para Motivator Desa yang berasal dari desa-desa lokasi, yang kebanyakan lulusan SMP dan SMA. Motivator Desa merupakan kader pengelola terumbu karang di desa-desa di 7 (tujuh) Kabupaten COREMAP II di Indonesia Timur.

4. Bagaimana Menggunakan Buku Panduan?

Buku ini ditulis secara khusus bagi pembaca target utama sebagai acuan dalam penyuluhan dan pelatihan mengenai sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Karenanya, informasi yang tersaji dalam buku

(14)

ini bersifat ringkas dan dasar. Pihak-pihak yang memerlukan informasi dan pengetahuan yang lebih dalam dapat membaca buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat.

Buku pembelajaran dari pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat ini dibagi menjadi tiga komponen utama. Yang pertama adalah teori dasar mengenai pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis

masyarakat dan pengelolaan secara bersama. Yang kedua adalah contoh-contoh penerapan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat dan sistem pengelolaan secara bersama di Indonesia. Yang terakhir adalah kunci utama yang menentukan keberhasilan pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat dan sistem pengelolaan secara bersama.

Diharapkan Buku Panduan ini akan memberi manfaat kepada semua fasilitator dan motivator desa serta masyarkat desa pada umumnya dalam upaya membuat Perdes tentang DPL.

(15)

Kiranya perlu dijelaskan di sini mengapa Buku ini memuat dua sistem pengelolaan sekaligus, padahal secara teoritis keduanya merupakan dua sistem yang berbeda, yakni: sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat dan sistem

pengelolaan bersama. Memang, kedua sistem ini secara teoritis merupakan dua sistem pengelolaan yang berbeda. Pada sistem pengelolaan berbasis masyarakat, masyarakat memiliki

kewenangan dan tanggung-jawab penuh. Pada sistem

pengelolaan bersama, kewenangan dan tanggung-jawab dibagi secara besama. Namun, pada kenyataan di lapangan kedua sistem pengelolaan ini lebih banyak memiliki kesamaan daripada perbedaan. Perbedaan yang mencolok antara keduanya justru hanya berada pada proses yang dilaluinya. Proses pembentukan pengelolaan berbasis masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada masyarat, sedangkan proses pembentukan pengelolaan bersama difasilitasi oleh pemerintah. Dengan alasan-alasan tersebut di atas, dan kenyataan bahwa telah banyak dikembangkan di Indonesia system pengelolaan berbasis masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah, maka pemuatan dua sistem pengelolaan dalam Buku ini dipandang masuk akal dan memberi manfaat yang banyak.

1. Konsep Pendekatan Pengelolaan

Sumberdaya dalam Pembangunan

Sumberdaya Alam Laut:

Salah satu sumberdaya alam laut yang terkenal paling produktif yaitu wilayah pesisir. Rakyat Indonesia yang menggantungkan hidupnya terhadap wilayah pesisir ada sekitar 140 juta orang atau sekitar 60% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.

2

(16)

Wilayah Pesisir yaitu wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan instrusi laut, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-propses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan

Beberapa ekosistem utama wilayah pesisir sebagai sumberdaya alam laut

antara lain: (i) terumbu karang, (ii) hutan mangrove, (iii) padang lamun, (iv) estuaria, (v) pantai berpasir dan berbatu, (vi) pulau-pulau kecil.

Agar sumberdaya alam pesisir tersebut terhindar dari ancaman

kerusakan dan penurunan kualitas sumberdaya maka diperlukan suatu pengelolaan yang salah satunya membuat suatu kebijakan dan

seperangkat aturan. Suatu pendekatan tertentu diperlukan agar aturan-aturan tersebut disepakati untuk dijalankan.

Pengelolaan sumberdaya alam pada pembangunan terpusat (sentralisrik).

Pada waktu sebelum tahun 1999, strategi pengelolaan sumberdaya alam masih dilakukan secara top-down dimana alokasi tanggung jawab terhadap sumberdaya alam dibebankan pada dinas-dinas terkait secara sektoral yang merupakan kepanjangan wewenang dari pemerintah sentralistik.

Sistem pengelolaan yang sentralistik tidaklah efektif dalam pengelolaan sumberdaya pada suatu tatanan yang berkelanjutan sehingga banyak aturan-aturan yang dibuat sering tidak dijalankan dan bila dijalankan banyak anggota masyarakat yang tidak memperdulikan aturan tersebut yang dicirikan dengan terjadinya pemanfaatan sumberdaya yang tidak bertanggung jawab atau pencurian yang akhirnya mengancam

penurunan kualitas sumberdaya. Hal ini dianggap suatu kegagalan dalam menjalankan strategi pengelolaan yang terpusat dan yang hanya

mengandalkan pada pemerintah saja dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut.

(17)

Kegagalan pendekatan pengelolaan ini diakibatkan oleh tidak

dilibatkannya masyarakat secara langsung yang sangat bergantung pada sumberdaya tersebut.

Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Era Otonomi Daerah (Bottom Up, Terpadu, Pengelolaan Secara Tradisional, Berbasis Masyarakat)

Pada akhir tahun 1999 pemerintah mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu UU No 22/1999 yang membawa pada sistem pemerintahan dari terpusat ke otonomi daerah. Wewenang dan kekuasaan pemerintah dengan rakyat sudah berada di tangan pemerintah daerah. Dengan demikian, Indonesia mempunyai lingkungan hukum dan adat kebiasaan untuk melakukan pengelolaan berbasis masyarakat. Hal ini didukung pula oleh keterlibatan Indonesia dalam Agenda 21 hasil konperensi tingkat tinggi bumi pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro yang merekomendasikan desentralisasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya dengan melibatkan masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebagai pengelolaan yang bottom-up, terpadu, desentralistik dan partisipatif dilakukan untuk menangani isu-isu yang mempengaruhi lingkungan sumberdaya melalui partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat. Berbasis masyarakat berarti pengguna sumberdaya utama (masyarakat) haruslah menjadi pengelola sumberdaya mereka, sehingga rasa kepemilikan dan tangung jawab mereka terhadap sumberdaya mereka sendiri menjadi dikembangkan.

Dalam pendekatan pengelolaan ini, masyarakat mempertegas haknya dan

memperoleh akses yang benar dan kontrol dalam pengelolaan

sumberdaya mereka sendiri. Dalam menjalankan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat ini berarti juga dilakukan pengelolaan bersama antara pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dan masing-masing mempunyai peran dalam proses pengelolaan

(18)

diidentifikasi dan dikembangkan untuk dipadukan ke dalam perencanaan pengelolaan ini.

Contoh pengelolaan berbasis masyarakat yang berhasil dikenal di beberapa daerah di Indonesia seperti di beberapa desa pesisir di Minahasa, dan pengelolaan Mangrove di Sinjai Sulawesi Selatan.

Pengelolaan sumberdaya tradisional yang murni dari masyarakat sudah berlangsung secara turun temurun seperti Sassi di Maluku, Mane’e di Talaud dan Labuang di Talise, Minahasa.

Pengelolaan Sumberdaya Secara Terpadu

• Pengelolaan sumberdaya terpadu yaitu suatu proses dinamis dan berkelanjutan yang menyatukan pemerintah dan masyarakat, ilmu pengetahuan dan pengelolaan, serta kepentingan sektoral dan

masyarakat umum dalam menyiapkan dan melaksanakan suatu rencana terpadu untuk perlindungan dan pengembangan sumberdaya dan ekosistem alam laut. Terpadu dalam pengelolaan sumberdaya alam laut berarti pula terpadu antarsektor, terpadu antar pemerintahan, terpadu ruang, terpadu pengetahuan-ilmu dan terpadu internasional.

Tujuan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut terpadu yaitu untuk pencapaian suatu tingkat pembangunan yang berkesinam-bungan wilayah laut dan pesisir, mengurangi ancaman kerusakan sumberdaya dari bencana alam, menjaga kelangsungan proses ekologis utama, sistem pendukung mahluk hidup dan keanekaragaman biologis di dalamnya. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya ini bertujuan pula untuk pengembangan ekonomi dan ketahanan pangan, perlindungan kesehatan masyarakat, pencegahan konflik, demokrasi partisipatoris, dan perlindungan kelestarian lingkungan melalui pengelolaan pesisir dan air.

Program pengelolaan terpadu yang berhasil dilakukan yaitu program

yang menggunakan pendekatan strategis dan perlahan-lahan memadukan isu dan lembaga, dan yang mempertimbangkan keseimbangan antara kapasitas kemampuan lembaga serta sumberdaya yang ada dan kompleks atauysulitnya program pengelolaan terapadu. Program dimulai dengan

(19)

memilih sejumlah isu prioritas yang kecil, praktis, dan dapat dicapai dalam waktu singkat. Isu lain yang lebih kompleks astau sulit ditangani

kemudian setelah tertimba berbagai pengalaman pelaksanaannya.

Tahapan Siklus Pengelolaan Sumberdaya Terpadu

Proses pengelolaan sumberdaya mengikuti serangkaian tahap atau langkah yang berbentuk siklus kebijakan, yang dimulai dengan: (i) identifikasi isu, (2) persiapan program, (3) penerimaan atau persetujuan program dan pendanaannya, (4) pelaksanaan dan (5) pemantauan dan evaluasi.. (GAMBAR SIKLUS KEBIJAKAN PENGELOLAAN)

Masing-masing langkah dalam proses ini saling terkait dan mendukung, namun mekanisme proses dari suatu lokasi dengan lokasi lainnya tergantung pada kebutuhan dan kondisi setempat.

Satu siklus pengelolaan ini, yakni sampai pada tahapan pemantauan dan evaluasi disebut sebagai satu generasi pengelolaan sumberdaya yang dapat berlangsung selama 2 – 6 tahun.

2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis

Masyarakat

a. Definisi Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat

Di dalam konteks penata-kelolaan sumber-daya alam (SDA) pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau Community-Based Management (CBM) dapat didefinsikan sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam di mana masyarakat memegang wewenang dan tanggung-jawab untuk mengelola sumberdaya alam di kawasan tertentu. Pengelolaan sumberdaya alam berbasi masyarakat atau CBM menganut premis atau keyakinan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan tertentu akan menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila dilakukan sendiri oleh masyarakat yang berada paling dekat jaraknya dari sumberdaya alam tersebut dan yang kelansungan hajat hidupnya tergantung pada kelestarian sumberdaya alam tersebut.

(20)

Masyarakat dalam definisi CBM seperti di atas adalah komunitas atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan atau tujuan yang sama, sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang berada di kawasan tertentu. Kelompok masyarakat ini pada kenyataannya saling bekerjasama dalam memanfaatkan sumberdaya alam di sekitar mereka. Mereka hidup bersama di lokasi yang sama dan saling membantu. Namun, pada dasarnya mereka sebenarnya saling berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya alam, walaupun boleh jadi mereka tidak menyadari bahwa mereka saling berkompetisi. Mereka dikatakan pada dasarnya berkompetisi karena pemanfaatan sumberdaya alam, katakanlah ikan, oleh seseorang secara berlebihan akan mengganggu atau merugikan anggota kelompok yang lain, dan sebaliknya.

Saling berkompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ala mini

mengakibatkan terjadinya kegagalan pengelolaan sumberdaya alam berupa deplesi dan degradasi (berkurang dan rusaknya) sumberdaya alam yang pada akhirnya akan berujung pada kemiskinan masyarakat. Oleh karena itu, agar kompetisi berjalan secara lebih berkeadilan, maka perlu diciptakan aturan-aturan main yang memastikan kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut secara lebih merata atau adil. Walaupun berkompetisi, masyarakat juga bekerjasama dalam memanfaatkan sumberdaya alam karena mereka memiliki kepentingan bersama dalam memenuhi hajat dihup secara berkomunitas atau berkelompok. Oleh karena itu, mereka pasti memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan sumbedaya alam secara berhasil guna dan berdaya guna.

Keinginan masyarakat yang kadangkala saling bertentangan, dan berkompetisi mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah merupakan salah satu sifat alamiah masyarakat. Hal demikian justru menguatkan alasan perlunya dikembangkan suatu bentuk atau mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang dapat mengatasi konflik secara adil di

(21)

antara mereka. Kelompok masyarkat hendaknya diberi keleluasaan dan difasilitasi dalam upaya mereka mengembangkan suatu mekanisme sumberdaya alam yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan oleh mereka sindiri.

b. Proses Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat

Oleh karena selama Pembangunan Jangka Panjang Indonesia di masa lalu pengelolaan sumberdaya alam banyak diambil alih oleh Negara, maka

penerapan konsep CBM pada saat ini meliputi pula pemberian kewenangan dan tanggung jawab oleh Negara kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengabil keputusan untuk menentukan aturan-aturan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut dan menjaga tingkat kesejahteraan hidup mereka dan generasi berikutnya.

Dari sisi kehadirannya, proses pembentukan atau pelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut berbasis Masyarakat dapat ditempuh melalui tiga cara, sebagai berikut (Nikujuluw 2002).

Pemerintah beserta masyarakat mengakui parktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam laut yang selama ini dilakukan masyarakat secara turun-temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selama ini.

Pemerintah dan masyarakat menghidupkan kembali atau merevitalisasi

adat dan budaya masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam laut. Adat dan budaya tersebut barangkali telah hilang atau tidak digunakan lagi karena berubahnya zaman dan waktu. Meski demikian, masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa adat dan budaya itu perlu dihidupkan lagi karena ternyata hilangnya adat dan budaya tersebut tidak membuat masyarakat makin sejahtera dan bahagia.

Pemerintah memberikan sepenuhnya tanggung jawab dan wewenang pengelolaan sumberdaya alam laut kepada masyarakat.

(22)

c. Lingkup Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat

Seberapa luas lingkup atau cakupan geografis pengelolaan sumberdaya alam alut berbasis masyarakat? Luasan cakupan geografis pengelolaan

sumberdaya alam laut berbasis masyarakat tentunya tergantung pada cakupan dari batasan “masyarakat” itu sendiri. Masyarakat dapat

didefinisikan berdasarkan pada kesamaan adapt-istiadat (masyarakat Bajo, dll.), status social atau mata pencaharian (petani, nelayan, dst.), wilayah adamintratif (dusun, desa, kecamatan, dst.), atau wilayah geografis tertentu (Teluk Bintuni, Teluk Balikpapan, dst.). Besar kecilnya lingkup atau cakupan suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya alam laut tentunya akan mempengaruhi tingkat kesulitannya.

3. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Melalui

Pengelolaan Bersama (Co-Management)

a. Arti pengelolaan bersama ?

• Pendekatan “pengelolaan bersama” semakin sering digunakan untuk pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan bersama merupakan suatu pengaturan kemitraan antara pelaku kunci dalam pengelolaan

sumberdaya alam yaitu masyarakat lokal dan pemerintah. Selain itu berbagai LSM, proyek-proyek pengembangan atau badan-badan lain bisa saja berperan dalam pengelolaan. Bantuan teknis dan pendanaan dapat ditopang/dianggarkan oleh lembaga/instansi pemerintah, perguruan tinggi, swasta, ataupun lewat swadaya dan usaha masyarakat/desa. Pengelolaan bersama menggunakan kemampuan dan minat nelayan, pembudidaya lokal, dan masyarakatnya yang dikombinasikan dengan kemampuan pemerintah dalam menyediakan perangkat hukum yang memungkinkan atau bantuan lainnya. Hubungan ideal kemitraan tersebut tergantung pada kapasitas berbagai pelaku lokal dan sifat alami sumberdaya alam yang dikelola.

(23)

Pengelolaan bersama yang efektif akan selalu membutuhkan kelompok pengelola yang lebih luas cakupan wilayahnya di luar wilayah lokal. Misalnya pada tingkat kecamatan, kabupaten bahkan lintas kabupaten. Pengelolan wilayah pesisir yang terintegrasi merupakan pengelolaan yang

membutuhkan kelembagaan yang lebih kompleks.

b. Dimana pengelolaan bersama perlu dikembangkan?

Pengelolaan bersama diterapkan bila secara hukum diakui oleh

pemerintah dan masyarakat lokal.

Bila ada hak kepemilikan desa terhadap areal sumberdaya alam yang dikelola.

Pengelolaan bersama mudah dilakukan di areal yang sumberdayanya terletak dalam batas wilayah administratif satu desa.

Pada wilayah yang lebih dari satu desa bahkan areal yang lebih luas dari itu, diperlukan upaya yang lebih besar padahal strategi serta pelaksanaan pengelolaan harus dilakukan secara sederhana.

Di tempat-tempat yang masyarakat lokalnya menyetujui adanya masalah-masalah dalam sumberdaya alam mereka, dan di tempat yang masyarakat atau kelompok penggunanya sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut.

Di tempat yang masyarakatnya memiliki organisasi yang kuat (misalnya kelompok pengelola tingkat desa) atau pemimpin yang terampil dan dihormati.

Lebih mudah dilaksanakan di desa yang lebih kecil dibanding desa yang lebih besar. Selain itu pengelolaaan bersama lebih mungkin berhasil di desa yang memiliki adat kebiasaan, pandangan dan/atau agama yang sama. Pengelolaan bersama akan lebih sulit dilaksanakan di desa yang

mempunyai banyak perselisihan dan masyarakat yang selalu saling bersitegang.

(24)

c. Strategi Kelembagaan (siapa sebaiknya yang mengelola dan bagaimana caranya?)

Strategi kelembagaan menentukan siapa yang harus terlibat dalam proses pengelolaan, dan bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dan bertindak. Lembaga diartikan sebagai aturan main. praktek pelaksanaan dasar, kegiatan rutin, cara-cara sederhana atau kebiasaaan atau cara yang biasa dipakai selama ini. Proses pengelolaan bersama hendaknya meliputi semua pelaku yang (i) bergantung pada sumberdaya, (ii) yang dapat mempengaruhi keberhasilan prakarsa pengelolaan bersama.

Pengelolaan bersama yang efektif mungkin membutuhkan partisipasi wakil-wakil, sebagian atau seluruh kelompok utama baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten bahkan propinsi. (misal: nelayan, pembudidaya dan keluarganya, pengolah, pedagang, operator perahu, petani dan buruh tani, dinas perikanan, peneliti dan ilmuwan, adminstrator pemerintah lokal, organisasi kepemimpinan desa tradisional, LSM, Dinas penyuluhan dan instansi terkait lainnya, lembaga penegak hukum)

Tidak semua pelaku pemanfaat sumberdaya harus terlibat penuh dalam pengelolaan bersama. Mitra kunci perlu mengetahui siapa pelaku pemanfaat sumberdaya lain dan bagaimana mereka dapat dipengaruhi oleh cara-cara pengelolaan.

Begitu potensi pelaku pemanfaat sumberdaya diketahui, maka tingkat partisipasi yang paling layak bisa ditangani. Empat keterlibatan yang potensial yang bisa digunakan yaitu: (i) Pemberitahuan: mereka yang tidak langsung dipengaruhi cara pengelolaan tetapi mempunyai minat walau sedikit terhadap sumberdaya perlu diberi informasi setiap perubahan dalam pengelolaan. (ii) Konsultasi: Mereka yang dapat dipengaruhi oleh pengelolaan walau tak terlibat langsung dalam

pengelolaan harus dikonsultasi agar mereka peduli sepenuhnya apa yang terjadi dan merasakan kepentingannya diperhatikan.(iii) Mitra: Mereka yang kerjasamanya penting bagi keberhasilan pengelolaan bersama dalam konsultasi, kerjasama dengan pelaku pemanfaat sumberdaya dalam melaksanakan dan memonitor proses pengelolaan bersama.(iv) Pemilik:

(25)

mereka yang mengawasi proses pengelolaan bersama. Tergantung pada keadaan mereka bisa badan pemerintah yang mempromosikan

pengelolaan bersama, atau kelompok pelaku pemanfaat sumberdaya yang secara langsung memperoleh manfaat dari proses pengelolaan.

Struktur kelembagaan bisa bersifat hirarhi atau terpisah. Struktur bersifat hirarhi memungkinkan anggota masyarakat berperanserta di tingkat lokal, sedangkan aparat pemerintah atau pelaku lainnya di tingkat regional yang lebih tinggi atau di tingkat nasional sekalipun. Struktur terpisah memungkinkan areal sumberdaya alam dibagi dalam unit-unit pengelolaan, masing-masing dengan daerah pemanfaatan sumberdaya dan anggota masyarakat yang terkait.

Dibuat beberapa sub unit pengelolaan sebagai satuan terkecil di suatu desa dengan sejumlah area pemanfaatan sumberdaya dalam wilayah kewenangannya. Desa ini dipilih berdasarkan penaksiran peranserta desanya dan tidak dipilih secara langsung oleh ahli dari luar.

Di tiap sub unit pengelolaan harus diketahui pelaku langsung dan tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya. Dengan demikian diketahui keterlibatan terhadap pengelolaan dari berbagai kelembagaan,

perorangan, masyarakat lokal, serta biaya dan manfaat dari masing-masing keterlibatan tersebut.

Berdasarkan masalah, isu, kemungkinan pemecahannya harus dimusyawarahkan dengan tokoh kunci pelaku sehingga dapat diwujudkan struktur kelembagaan yang efektif untuk pengeloalan bersama. Hal ini akan tergantung dari kapasitas pelaku (manusia dan dana, kemampuan dan motivasi yang dibutuhkan untuk berperanserta). Bila masyarakat lokal kurang mampu dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan, dukungan dan bantuan terhadap hal ini diperlukan!

Struktur kelembagaan bisa mencakup kelompok pengelola di tingkat

desa dan kelompok pengelolaan bersama di tingkat kecamatan atau kabupaten. Anggota kelompok penghelola perlu ditentukan dengan jelas dan dapat diganti bila ada pelaku baru. Peran dan hubungan antar kelompok harus jelas dan disetujui.

(26)

• Pemimpin dipilih yang tinggi komitmennya terhadap pengelolaan

bersama. Dia harus mampu dan kuat bernegosiasi, memecahkan masalah dan tampil baik di masyarakat. Dia mewakili kepentingan pelaku dan dipercaya oleh kelompok yang diwakilinya.

Tiap kelompok pengelola harus dilengkapi kekuatan hukum (pemda kabupaten/propinsi) atau perundang-undangan yang diakui dalam (i) memilih tujuan pengelolaan, (ii) membatasi akses ke wilayah pengelolaan, (iii) melaksanakan teknis pengelolaan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Kelompok pengelola tingkat desa harus berpartisipasi dalam memilih cara pengelolaan lokal, menegakkan pelaksanaan dan sanksi bagi setiap pelanggar, serta memonitor dampak dari strategi pengelolaan dan membimbing penerapannya.

Kelompok pengelola yang lebih luas (kecamatan/kabupaten) harus berpartisipasi dalam perencanaan pengelolaan, misal mengontrol pencegahan pencemaran, mendorong cara pengelolaan,

menginformasikan ke kelompok pengelola tingkat desa tentang dampak sektor lain terhadap pemanfaatan sumberdaya yang ada, mengalih-tukarkan pengalaman antar berbagai kelompok pengelolaa desa.

Komunikasi antar berbagai pelaku menjadi prioritas utama. Informasi

yang penting diantaranya setiap perubahan strategi pengelolaan,

antisipasi dampak pengelolaan terhadap manfaat bagi masyarakat, dampak nyata yang akan terjadi.

Mekanisme pelaksanaan peraturan dan penyelesaian konflik harus ditetapkan untuk mendorong diterimanya aturan-aturan pengelolaan yang diusulkan.

Sanksi terhadap pelanggar aturan tergantung pada berat dan jumlahnya pelanggaran. Aturan harus dilaksanakan, dan sanksi diterapkan.

Bila pengelolaan mencakup masalah dana, suatu sistem swadana perlu diciptakan.

· Rencana Pengelolaan harus disiapkan setelah berkonsultasi dengan pada pelaku dan disosialisasikan secara luas. Rencana mencakup tujuan

(27)

pengelolaan, cara-cara yang akan dilakukan, mekanisme umpan balik untuk memonitor kinerja dan tanggung jawab masing-masing mitra pengelolaan bersama.

d. Strategi Teknis (cara pengelolaan yang bagaimana yang sebaiknya digunakan?)

Cara-cara pengelolaan yang bisa dilakukan bisa berdasarkan (i) pewilayahan (zonasi), (ii) penutupan pemanfaatan sumberdaya secara periodik, (iii) pembatasan hasil pemanfaatan, (iv) pembatasan alat yang digunakan dalam memanfaatan sumberdaya, (v) pembatasan dampak yang bisa terjadi dari cara pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan

Pemilihan aturan pengelolaan yang akan digunakan harus berdasarkan kajian sederhana karakteristik sumberdaya alam lokal yang ada. Kajian ini menggabungkan pengetahuan masyarakat lokal dan pengetahuan ilmiah instansi pemerintah. Kajian harus menghasilkan pemahaman tentang lingkungan, sumberdaya alam yang ada, dan praktek pemanfaatan sumberdaya alam sehingga bisa menentukan cara pengelolaan yang dipilih. Pertimbangkan kesulitan yang akan dihadapi masyarakat lokal dalam menjalankan atura pengelolaan.

Ide-ide awal untuk pengaturan pengelolaan secara teknis bisa dibuat dari hasil diskusi misalnya sebagai berikut:

- Apakah stok sumberdaya alam relatif stabil atau menurun (berkurang stoknya atau terasa lebih sulit didapatkan, atau bahkan akan habis/ punah?). Pengelolaan bisa bermanfaat bila jelas masalah yang dihadapi untuk ditanggulangi.

- Stok sumberdaya yang mana yang menurun? Dimana terjadinya? Bagaimana dampaknya bisa dikurangi?

- Bagaimana stok sumberdaya yang sudah dilindungi? Di bagian badan air mana stok sumberdaya bisa bertahan hidup? Bagian badan air ini biasanya baik untuk dijadikan kawasan suaka.

- Bagaimana alat-alat yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya saling berinteraksi atau bersaing satu sama lain? Alat mana yang

(28)

dilakukan bersamaan baik dalam waktu dan musim yang sama? - Dapatkan suatu cara pengelolaan yang bisa dimonitor dan

dilaksanakan secara efektif dengan sumberdaya dan keterampilan yang ada? Pengelolaan lokal harus memilih cara pengelolaan yang paling sederhana, dan menangguhkan rencana pengelolaan yang lebih ambisius untuk dilaksanakan di masa datang.

e. Strategi Adaptif (monitoring dan perbaikan sumberdaya alam)

Peraturan pengelolaan secara awal dibuat berdasarkan strategi teknik

dasar sebagai hasil musyawarah pelaku pemanfaat dan hasil pengkajian sumberdaya alam sebelumnya. Pengelolaan adaptif digunakan untuk memeriksa apakah keseluruhan strategi (teknis dan kelembagaan) mencapai manfaat yang sesuai dengan yang diinginkan? Sehubungan dengan itu peraturan awal perlu dibuat secara luwes, disesuaikan dengan berjalannya waktu dan tergantung pada dampak yang dicapai.

Pengelolaan adaptif dilakukan dengan tetap selalu menerima

pendapat-pendapat baru tentang pengelolaan dan memodifikasi aturan-aturan berdasarkan pengamatan dan pengalaman tentang pemanfaatan

sumberdaya alam lokal dan di desa-desa sekitarnya. Dalam jangka panjang, pengelolaan adaptif analitik dengan pengumpulan data dan analisis yang lebih dalam bisa diwujudkan. Namun demikian, apakah pendekatan ini akan menghasilkan pengetahuan yang lebih baik mengenai sistem dan pengelolaan sumberdaya alam itu?

Proses belajar secara adaptif bisa dilakukan dalam dua tingkat

pengelolaan. Pertama, di tingkat desa dapat dipelajari pengalaman sesuai waktu pengelolaan diterapkan, dengan membandingkan hasil-hasil cara pengelolaan setiap tahun. Pengelola tradisional biasanya sudah

melakukan hal seperti ini. Kedua, di tingkat kecamatan bisa membandingkan dampak pengelolaan antar desa.

Pengelolaan adaptif yang efektif bisa dicapai dengan kerjasama yang erat antar komite lokal (desa) dan di tingkat kecamatan atau bahkan tingkat kabupaten. Dalam kemitraan ini, kelompok pengelola lokal bisa lebih

(29)

memahami situasi lokal, sedangkan kelompok pengelola kecamatan atau kabupaten mampu membuat perbandingan antar strategi di berbagai desa dan memahami efek dampak eksternal terhadap sumberdaya alam.

Pengelolaan adaptif analitik formal dapat dilakukan dengan cara-cara

berikut:

- Pelaku kuci pemanfaat sumberdaya alam harus bersama-sama memilih dan menentukan tujuan pengelolaan. Target harus ditetapkan dengan jelas apa yang ingin dicapai dan dituangkan dalam Rencana Pengelolaan. - Keberhasilan pengelolaan harus dapat diukur dengan beberapa cara.

Sistem monitoring yang sederhana harus dibuat untuk membuat indikator dampak pemanfaatan yang ada.

- Pelaku pemanfaatan sumberdaya lokal harus didorong untuk berpartisipasi dalam sistem monitoring. Mereka akan aktif

berpartisipasi bila dilibatkan pula dalam perencanaan pengelolaan. - Baik input maupuin output pemanfaatan sumberdaya harus

dimonitor. Input perlu diukur untuk menjelaskan dampak yang terjadi. Output yang akan dimonitor yang mencerminkan tujuan pembangunan secara lokal harus diwujudkan dengan metoda partisipasi.

- Input yang dimonitor bisa mencakup cara pengelolaan (misal suaka, pembatasan waktu atau alat, pengaturan dampak), jumlah aktifitas pemanfaatan, adanya masalah lingkungan dan kefektifan kelembagaan pengelola. Di tingkat output, keberhasilan strategi dan cara

pengelolaan sebaiknya dikaji setiap tahun.

- Cara pengelolaan adaptif sebaiknya secara awal diterapkan pada satu atau sejumlah kecil subunit pemanfaatan sumbedaya di tingkat lokal (desa), untuk memperoleh pengalaman dari proses-proses partisipasi dan pengelolaan bersama. Tergantung hasilnya, pengelolaan bersama ini bisa diintroduksikan ke unit pemanfaatan yang lebih luas.

(30)

Langkah-Langkah Membangun Pengelolaan Bersama:

a Pemilihan unit pengelolaan bersama tingkat desa

Suatu unit pengelolaan bersama tingkat desa harus memiliki: (i) bagian kawasan yang jelas yang akan dikelola, dan (ii) anggota kelompok masyarakat lokal dan pelaku pemanfaat lainnya terhadap sumberdaya alam yang mampu dan mau berpartisipasi.. Proses pemilihan dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:

Identifikasi kawasan dimana bila dilakukan pengelolaan akan menghasilkan manfaat yang paling besar. Kawasan ini selayaknya

mencakup sumberdaya alam yang penting, yang diperkirakan kualitasnya menurun akibat pemanfaatan yang berlebih atau yang merugikan.

Berdasarkan peta yang ada dan wawancara dengan penduduk,

identifikasi desa-desa yang memiliki kawasan pemanfaatan sumberdaya alam sendiri yang seluruhnya berada dalam wilayah adminitrasi desa tersebut. Pengelolaan akan lebih mudah di desa dengan anggota

masyarakat yang homogen dan kesepakatan pengelolaan mudah dicapai.

Adakan diskusi dengan penduduk desa terpilih guna menentukan desa

mana yang mampu dan/atau mau mengelola sumberdaya alamnya sendiri dengan ciri-ciri berikut:

- Apakah penduduk desa percaya bahwa ada masalah pemanfataan sumberdaya alam yang dapat dipecahkan melalui peningkatan pengelolaan lokal?

- Apakah desa secara aktif telah mengelola sumberdaya alamnya? Bila ya, bagaimana caranya? Bila pengelolaan dianggap berhasil, pengakuan hukum oleh pemerintah diperlukan.

- Apakah mata pencaharian penduduk sangat tergantung pada sumberdaya alam termaksud (pendapatan, kesempatan kerja)? Mata pencaharian lain dari penduduk dan berapa jumlahnya?

- Apakah desa memiliki kepemimpinan yang kuat dan menghargai aparat yang berwenang? Apakah telah ada badan pengelola atau pemimpin yang terampil yang mampu berperan dalam pengelolaan bersama?

(31)

- Apakah desa berukuran besar atau kecil? (berapa rumahtangganya?) Desa yang kecil mungkin lebih mudah mengelola sumberdayanya. - Apakah penduduk desa memiliki adat, kepercayaan atau agama yang

sama? Di desa yang penduduknya sering konflik akan sulit menerima cara pengelolaan yang baru.

Pelajari bila ada LSM yang berorientasi pada pembangunan desa yang beroperasi di desa bersangkutan. Organisasi ini bisa membantu memimpin pertemuan, membentuk konsensus dan memecahkan konflik. Pelajari pula kemungkinan keberadaan pemangku kepentingan lainnya seperti

Pemerintah Desa, Badan Perwakilan Desa, Kelompok Pengelola, Kelompok Swadaya Masyarakat, Tokoh Masyarakat, Swasta, Lembaga/Institusi

Pemerintah unatk mendapatkan kesepakatan mekanisme pengelolaan.

Tanyakan kepada penduduk apakah mereka bersedia bekerjasama dalam

melaksanakan pengelolaan bersama sumberdaya alam?

b. Pembentukan Kemampuan Untuk Pengelolaan Bersama

Adakan pelatihan kepada kelompok atau anggota institusi lokal yang

terbentuk pada aspek-aspek pengelolaan bersama, landasan hukum, pelaku pemanfaat sumberdaya, siapa yang harus terlibat dalam pengelolaan, identifikasi ketrampilan dan kemampuan pelaku, dlsb.

Perkaya pengetahuan melalui pendidikan tentang lingkungan hidup,

keberlanjutan lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan, ekologi sumberdaya, cara pengelolaan teknis, dan adaptif.

c. Kegiatan kelompok pengelola di tiap unit pengelolaan bersama di tingkat desa

Mengidentifikasi pelaku pemanfaat sumberdaya alam laut, masalah yang dihadapi dan tujuan pengelolaan (Identifikasi isu pengelolaan)

Mengkaji pemanfaatan sumberdaya alam laut secara lokal

Membuat rencana pengelolaan termasuk persetujuan dan pendanaan

Melaksanakan rencana pengelolaan (tahap implementasi)

(32)

d. Pengelolaan di tingkat Kecamatan, Kabupaten, dalam Pengelolaan Terintegrasi Wilayah Pesisir

Mempromosikan dan mengkoordinasikan cara pengelolaan di unit-unit desa

Mewakili kepentingan sumberdaya yang dikelola dengan sektor lain dalam rangka interaksinya.

Memberikan kontribusi pada proses belajar yang adaptif dan menyebarluaskan hasil pembelajaran ke berbagai kelompok sasaran dengan program penjangkauan (outreach)

Membangun Komitmen Kemandirian dan Keberlanjutan

Secara ringkas, langkah-langkah dalam membangun pengelolaan bersama tersebut di atas seperti dimuat dalam tabel berikut:

Langkah-langkah

(1) Pemilihan unit pengelolaan bersama tingkat desa

(2) Pembentukan kemampuan untuk pengelolaan bersama

(3) Melakukan kegiatan di tiap unit pengelolaan bersama di tingkat desa

(4) Pengelolaan di tingkat Kecamatan, Kabupaten, dalam Pengelolaan

Terintegrasi Wilayah Pesisir

Hasil

• Desa yang terpilih berdasarkan keberadaan dan isu sumberdaya alam, wilayah administrasi, penduduknya mampu dan mau terlibat dalam pengelolaan • Kelompok atau anggota institusi

lokal yang memahami dan trampil dalam pengelolaan bersama • Teridentifikasi isu pengelolaan,

pelaku pemanfaat, terbentuk rencana dan terlaksananya hingga monitoring pengelolaan

• Pengelolaan yang sinergis antar unit dan peningkatan pengetahuan serta ketrampilan pengelolaan

(33)

Sebagai ilustrasi penerapan nyata di Indonesia dari konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat, di bawah disajikan 3 (tiga) contoh kasus di lokasi yang

berbeda-beda. Contoh pertama adalah pengelolaan 3 (tiga) buah Daerah Perlindungan Laut (DPL) di 4 (empat) desa di Provinsi Sulawesi Utara. Penembangan ketiga DPL tersebut difasilitasi oleh Proyek Pesisir. Pemilihan contoh ini

didasarkan pada kenyataan bahwa ketiga DPL tersebut merupakan DPL pertama yang dikembangkan di Indonesia dengan fasilitasi pemerintah dan menghasilkan capaian yang memuaskan. Hal ini terbukti bahwa berdasarkan pengalaman di 4 (empat) desa tersebut telah dikembangkan puluhan DPL baru di desa-desa lain di Provinsi Sulawesi Utara, bahkan di provinsi-provinsi lain, dan telah disusun dan disebarluaskan panduan pembuatan DPL yang pertama di Indonesia.

Contoh kedua adalah penyelenggaraan Sasi di Pulau Saparua, Maluku, yang diambil dari Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Nikijuluw 2002) dengan penyesuaian seperlunya. Contoh ini dipilih karena merupakan contoh yang sangat sesuai dengan konsep pengelolaan berbasis masyarakat secara murni, tanpa fasilitasi dari pihak pemerintah Contoh ketiga adalah revitalisasi hak tradisional yang merupakan adat-istiadat di Pulau Lombok (Awig-Awig) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Lombok Timur yang diambil dari Buku Narasi Menuju Harmonisasi

3

B A B

Penerapan Pengelolaan berbasis

Masyarakat dan Pengelolaan

Bersama

(34)

Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia (Patlis at. all., eds., 2005). Contoh ini dipilih karena sangat sesuai untuk

menggambarkan proses pengembangan sistem pengelolaan bersama, yang sekaligus mengadopsi memformakan nilai-nilai adat yang terkandung dalam Awig-Awig. Sebenarnya telah dikembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut di tempat-tempat lain di Indonesia, namun karena keterbatasan tempat, maka tidak dapat ditampilkan pada buku ini.

1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis

Masyarakat di Desa Blongko, Talise, dan

Bentenan-Tumbak

Latar Belakang

Pengembangan system pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di Desa-desa Blongko, Talise, Bentenan dan Tumbak di Provinsi Sulawesi Utara berawal pada tahun 1997. Pada tahun tersebut, Proyek Pesisir (Coastal Re-sources management Project CRMP), yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan United States Agency for International Develop-ment (USAID) memulai upaya untuk mengembangkan system pengelolaan sumberdaya alam laut di desa-desa tersebut di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dengan mengadaptasi model-model pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat (Community-Based Coastal Resources Management CB-CRM) dari Filipina dan kawasan-kawasan dunia lainnya.

Proses

Pengenalkan sistem pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di empat lokasi tersebut (Blongko, Tilise, Bentenan dan Tumbak) didahului dengan melakukan studi awal mengenai kondisi ekologis dan sosio-ekonomi di desa-desa di Kabupaten Minahasa. Kemudian, para fasilitator lapangan yang sudah terlatih bekerja di desa-desa lokasi untuk mensosialisasikan permasalahan-permasalahan ekosistem wilayah pesisir dan menyeleng-garakan pelatihan-pelatihan ketrampilan.

(35)

Pelatihan ketrampilan yang diadakan meliputi pelatihan fasilitasi (untuk memperkenalkan konsep partisipasi publik dalam pengambilan keputusan), penilaian (assessment) dan pemantauan (monitoring) sumberdaya alam laut, serta pengembangan kapasitas kelembagaan di tingkat desa. Para Fasilitator lapangan juga memfasilitasi koordinasi pengelolaan sumberdaya alam laut antara masyakat desa dengan aparat terkait di tingkat kabupaten dan provinsi.

Salah satu kunci sukses pengembangan system pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di desa-desa tersebut adalah

dikembangkannya komunikasi dan pertukaran informasi antar para pemangku kepentingan (stakeholders), baik secara horizontal maupun vertikal secara intensif.

Hal demikian sangat penting dalam menyatukan visi dan misi dalam pengelolaan sumberdaya alam laut yang menjadi milik mereka sindiri. Kegiatan lain yang dilakukan di desa-desa tersebut termasuk memberikan bantuan dana (block grants) kepada masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti menyusun profil sumberdaya wilayah pesisir desa, menyusun rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir desa dan membuat daerah perlindungan laut desa serta penyusunan peraturan desa yang mengaturnya.

Hasil

Penerapan system pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat di desa-desa Blongko, Tilise, Bentenan dan Tumbak telah menghasilkan sejumlah produk berharga yang meliputi: profil desa, rencana pengelolaan, keputusan dan atau peraturan desa, contoh-contoh praktek pengelolaan terbaik (best management practices), dan beberapa buku panduan (panduan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berbasis masyarakat, panduan pembentukan dan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, panduan pembersihan bintan laut berduri).

(36)

Sebagai tindak lanjut dari percontohan di desa-desa tersebut, maka konsep pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat diperluas

penerapannya di banyak desa di Provinsi Sulawesi Utara. Sampai saat ini, konsep pengelolaan sumberdaya alam laut sudah diadopsi oleh sekitar 30 (tiga puluh) desa di Provinsi Selawesi Utara.

DPL di Desa Blongko, Sulawesi Utara

DPL di Desa Talise, Sulawesi Utara

2. Sasi di Pulau Saparua

Di pedesaan Pulau Saparua, Maluku, pemanfaatan sumberdaya laut pesisir dan hutan umumnya dikelola dengan sistem yang disebut sasi. Kata sasi sebenarnya berasal dari kata saksi yang mengandung makna menyaksikan seseorang berbuat salah, yaitu melanggar kesepakatan adat tentang

(37)

Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat di Blongko, Talise, dan Bentenan-Tumbak

Variabel Desa Blongko Desa Talise Desa Bentenan-Tumbak

Tujuan • Melindungi sumberdaya alam laut, terutama terumbu karang dan mangrove

• Melestarikan ketersediaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat desa

• Melindungi

sumberdaya alam laut, terutama terumbu karang

• Melestarikan ketersediaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat desa

• Melindungi sumberdaya alam laut, terutama terumbu karang dan pantai

• Melestarikan ketersediaan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk kesejahteraan masyarakat desa Kaedah • Peraturan Desa

mengatur apa yang diperbolehkan dan dilarang di kawasan DPL

• Peraturan Desa mengatur apa yang diperbolehkan dan dilarang di kawasan DPL

• Peraturan Desa mengatur apa yang diperbolehkan dan dilarang di wilayah peisir dan laut, termasuk DPL, kawasan wisata bahari, jalur transportasi laut, dan daerah

perlindungan pantai Pelakasanaan • Kelompok Pengelola

melakukan perencanaan, mengatur dan menjaga pelestarian serta pemanfaatan DPL, dan melakukan pengawasan • Kelompok Pengelola melakukan perencanaan, mengatur dan menjaga pelestarian serta pemanfaatan DPL, dan melakukan pengawasan • Kelompok Pengelola melakukan perencanaan, pengawasan, monitoring, kegiatan pelestarian dan pemeliharaan tanda batas dan papan informasi, pengusahaan dan pengelolaan dana Superstruktur

Organisasi • Aturan pengelolaan kawasan Daerah Perlindungan Laut disusun secara tertulis dengan dalam Peraturan Desa

• Pemerintah Desa bertanggung jawab dan berfungsi sebagai pembina pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

• Kelompok Pengelola memegang tugas dan wewenang sebagai pelaksana harian

• Aturan pengelolaan kawasan Perlindungan Laut disusun secara tertulis dengan dalam Peraturan Desa • Pemerintah Desa

bertanggung jawab dan berfungsi sebagai pembina pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

• Kelompok Pengelola memegang tugas dan wewenang sebagai pelaksana harian

• Aturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut disusun secara tertulis dengan dalam Peraturan Desa

• Pemerintah Desa bertanggung jawab dan berfungsi sebagai pembina pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

• Kelompok Pengelola memegang tugas dan wewenang sebagai pelaksana harian

(38)

pemanfaatan sumberdaya laut dan hutan. Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis sasi adalah suatu sistem atau kelembagaan yang mengatur masyarakat desa untuk tidak menangkap ikan di daerah dan waktu tertentu. Tujuan adanya larangan ini supaya ikan dapat berkembang biak, tumbuh mencapai ukuran tertentu, tetap tersedia hingga dapat ditangkap dan dikonsumsi pada waktu yang lama. Selain itu, tujuan lainnya adalah agar sumberdaya ikan tetap lestari dan tetap dapat dimanfaatkan di kemudan hari oleh generasi yang akan datang.

Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu, masyarakat desa tidak diizinkan menangkap ikan selama periode waktu tertentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan pengankapan ika ini dikenal dengan nama tutup sasi. Sementara itu, periode musim pengkapan ikan ini dikenal dengan nama buka sasi. Uraian tentang pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat sasi di tiga desa, yaitu Nolloth, Peperu, dan Sirisori di Pulau Saparua dapat dilihat pada tabel di bawah.

Selain bekaitan dengan penutupan musim dan daerah penangkapan ikan, sasi juga menyangkut hak eksklusif penangkapan ikan oleh masyarakat desa. Dengan adanya hak eksklusif ini, orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk menangkap ikan. Di beberapa desa, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang desa sejauh mereka mau menggunakan alat tangkap ikan yang serupa dengan yang digunakan masyarakat setempat, menggunakan alat tanggkap ikan yang tidak merusak lingkungan dan sumberdaya ikan, serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan. Kawasan hak eksklusif ini dikenal dengan nama petuanang desa, suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritoral desa, biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk, atau selat.

Uang yang harus dibayar orang luar untuk mendapatkan hak penangkapan ikan di daerah petuanang sering disebut ngase. Jumlah ngase sangat

(39)

Variabel Desa Nolloth Desa Paperu Desa Sirisori

Tujuan • Melindungi tradisi • Meningkatkan pendapatan desa • Melindungi tradisi • Meningkatkan pendapatan desa • Melindungi lingkungan • Meningkatkan pendapatan desa • Mencegah sumberdaya dimanfaatkan orang lain Kaedah • Dilarang mengambil lola, batulaga, tiram, akar bahar • Penangkapan

ikan pada saat musim buka sasi • Daerah sasi adalah perairan depan desa hingga kedalaman air 25 m • Dilarang menangkap semua jenis ikan pada musim tutup

sasi

• Alat tangkap ikan pada saat musim

buka sasi adalah

jala, bagan tancap, dan pancing tangan • Daerah sasi adalah perairan depan desa • Dilarang mengambil lola, teripang, dan caping-caping • Penangkapan

diizinkan jika buka

sasi

• Daerah sasi adalah perairan sepanjang desa

Pelakasanaan • Buka sasi dilaksanakan Pemerintah Desa • Buka sasi dilaksanakan Pemerintah Desa • Hak memanfaatkan ada pada pemenang lelang • Buka sasi dilaksanakan Pemerintah Desa • Hak memanfaatkan ada pada pemenang lelang Superstruktur

Organisasi • Aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa • Aturan dilaksanakan Pemerintah Desa • Pengawasan pelaksanaan aturan oleh polisi desa (kewang)

• Aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa • Aturan dilaksanakan Pemerintah Desa • Pengawasan pelaksanaan aturan oleh polisi desa (kewang)

• Aturan sasi diatur secara tertulis dengan keputusan desa • Aturan dilaksanakan Pemerintah Desa • Pengawasan pelaksanaan aturan oleh polisi desa (kewang)

Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat Sasi di Tiga Desa di Saparua

bervariasi menurut desa. Umumnya, sekitar 10% dari nilai ikan yang ditangkap. Ngase dikumpulkan Pemerintah Desa sebagai bagian dari

pendapatan desa. Selain ngase, orang luar desa diwajibkan membagi sebagian ikannya kepada pemimpin desa dan masyarakat lainnya yang kebetulan ada di sekitar petuanang.

(40)

Pemimpin dan masyarakat desa bersama-sama menentukan jenis alat tangkap ikan yang boleh digunakan. Penggunaan dinamit, bom, dan racun untuk menangkap ikan dilarang. Hal ini disebabkan masyarakat desa benar-benar telah memahami bahwa pengakapan ikan dengan cara ini dapat merusak lingkungan dan membunuh semua jenis dan ukuran ikan. Selain itu, penggunaan bom dan dinamit juga sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa nelayan.

3. Revitalisasi Hak Tradisional dalam Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir di Kabupaten Lombok Timur

Latar Belakang

Proses revitalisasi hak tradisional dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di kabupaten Lombok Timur dipicu oleh terjadinya konflik anatara nelayan tradisional dengan nelayan modern yang menggunakan alat tangkap mini purse seine.

Penggunakan alat tangkap mini purse seine di tahun 1979 terus-menerus meninbulkan perselisihan, karena alat tangkap mini purse seine beroperasi di jalur I yang diperuntukkan beroperasinya alat tangkap tradisional. Konflik tersebut memuncak pada bulan Maret 1993 karena kapal purse seine baru yang lebih besar ukurannya memasuki daerah penangkapan nelayan tradiseonal, sehingga nelayan tradisional menggelar demonstrasi dan merusak Balai Desa Tanjung Luar. Karena masalah ini belum diselesaikan dengan tuntas, maka pada tahun 1994 nelayan tradisional dari desa Tanjung Luar melakukan demonstrasi ke DPRD Kabupaten Lombok Timur. Dalam masalah ini Dinas Perikanan kabupaten Lombok Timur ditugaskanl untuk dapat menyelesaikan masah tersebut.

Melalui proses dialog antara nelayan tradisional dan nelayan mini purse seine yang difasiliatsi Dinas Perikanan Kabuupaten Lombok Timur, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa petikaian ini agar diselesaikan melalui pembuatan “awig-awig” dalam bentuk hukum adat yang memuat

(41)

larangan-larangan bagi nelayan mini purse seine untuk beroperasi pada Jalur I beserta sanksi-sanksinya, selanjutnya ketentuan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis dan merupakan Peraturan Desa (Perdes) yang ditetapkan pada tanggal 14 Nopember 1994. Kebijakan dan kelembagaan tersebut

berkembang dengan baik sampai saat ini. Selaku pengawal dalam penegakan “awig-awig” pada tahun 1999 dibentuk Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) yang merupakan wadah kelembagaan masyarakat dengan model pendekatan baru, yaitu suatu bentuk kelembagaan ko-manajemen yang dikelola oleh masyarakat pesisir sendiri.

Legalisasi Awig-Awig

Proses revitalisai awig-awig pengelolaan sumberdaya perikaan dilakukan melalui empat tahapan, yaitu: (1) sosialisasi rencana penyusunan awig-awig dilakukan baik secara lisan maupun tulisan; (2) proses penyusunan awig-awig, yang merupakan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan, dikelola oleh Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) tingkat kawasan dengan mengadakan rapat-rapat umum, dan mensosialisasikan keputusan hasil rapat kepada anggota masyarakat meliputi pemasangan poster di tempat-tempat umum; (3) legalisasi rancangan awig yang telah disepakati sebagai awig-awig kawasan melalui penandantangan awig-awig-awig-awig tersebut oleh semua ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) terkait, dalam rapat pleno kawasan yang dihadiri oleh Kepala Desa, serta perwakilan dari desa-desa yang terlibat; dan (4) sosialisasi awig-awig yang telah disahkan dilakukan secara tertulis dengan pembuatan dan pemasanan poster-poster di papan-papan pengumuman.

Penguatan Kelembagaan Hak Tradisional

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pemegang mandat pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di dalam wilayah sepertiga dari 12 mil laut berkewajiban untuk membuat kebijakan pengelolaan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan semua kelompok kepentingan (stakeholders).

(42)

Dalam pembuatan kebijakan tersebut, peran serta semua kelompok masyarakat dalam semua proses perencanaan dan pelaksanaan rencana pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan hal yang esensial. Untuk mengakomodasi peran serta masyarakat, maka telah

dikembangkan kelembagaan di Kabupaten Lombok Timur berupa 5 KPPL di tingkat kawasan dan 21 KPPL di tingkat desa. KPPL merupakan lembaga masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penyusunan rencana dan pelaksaan rencana pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Selain itu, telah pula dibentuk lembaga partisipasi di tingkat kabupaten berupa Komite Kelautan dan Perikanan Kabupten (KKPK), yang berperan sebagai fasilitator untuk semua stakeholders perikanan, dan untuk memberikan saran dan rekomnedasi kepada Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten.

Pada awalnya, strategi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis pada KPPL di tingkat desa, namun dalam prkembangannya berubah menjadi strategi pengelolaan berbasis pada KPPL di tingkat kawasan. KPPL desa berfungsi untuk menjembatani antara KPPL kawasan dengan Kantor Desa. KPPL kawasan mendapat mandat dari Dinas Kelautan dan Perikanan untuk membuat rencana pengelolaan dan melaksanakannya, termsuk memberikan sanksi bagai pelanggarnya. Baik pengurus KPPL desa maupun KPPL kawasan keduanya ditetapkan dalam surat keputusan Kepala Dinas Kealutan dan Perikanan Kabupten Lombok Timur.

Perencanaan dan Implementasi Awig-Awig Kawasan Perikanan

Proses pembentukan suaka perikanan dilakukan dengan cara partisipatif. Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai pemegang mandat pengelolaan wilayah laut hingga 4 mil laut, mendelegasikan sebagian kewenangannya dalam pembentukan kawasan suaka perikanan kepada kelompok masyarakat melalui Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) pada kawasan tertentu. Dengan pendelegasian kewenangann ini, KPPL dan masyarakat menentukan

(43)

sendiri lokasi yang akan dijadikan kawasan suaka perikanan dan menjalin kerjasama dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan suaka perikanan.

Dinas Kelautan dan Perikanan lebih banyak perperan dalam memberikan arahan kebijakan dan rekomendasi teknis dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana pengelolaan kawasan suaka perikanan.

Dengan melalui proses partisipatif tersebut di atas, pada tahun 2001 di Kabupaten Lombok Timur terbentuk tiga kawasan suaka perikanan, yaitu: (1) Suaka perikanan Sapak Kokok di Teluk Ekas;

(2) Suaka perikanan Gili Rango di Teluk Serewe; dan (3) Suaka perikanan Gusoh Sandak di Teluk Jukung.

Kawasan suaka perikanan Sapak Kokok dan Gusoh Sundak meliputi ekosistem mangrove dan padang lamun. Setiap kawasan suaka perikanan dibagi menjadi zona inti dan zona penyangga. Baik di dalam zona inti maupun zona penyangaga, semua kegiatan eksploitasi dilarang. Di zona inti juga dilarang kegiatan non-eksploitatif serperti bersampan dan budidaya – kegiatan tersebut diperbolehkan hanya di zona penyangga.

Penetapan ketiga lokasi tersebut sebagai kawasan suaka perikanan dan penetapan aturan-aturan pengelolaannya dibuat dalam bentuk kesepakatan masyarakat (awig-awig) di semua kawasan. Karena itu, dokumen rencana pengelolaan kawasn suaka perikanan disahkan secara tertulis yang ditandatangani oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) dari semua desa yang terlibat. KPPL kawasan bertanggung jawab atas pelaksanaan rencana pengelolaan. Evaluasi setelah setahun pembentukan menunjukkan hasil posisif seperti di bawah. Untuk dapat melihat manfaat utama suaka perikanan secara nyata, tentunya memerlukan waktu yang relatif lama.

Produktivitas kerja dan pendapatan masyarakat meningkat, walaupun

peningkatan ini belum tentu merupakan dampak langsung dari pembetukan suaka perikanan;

(44)

Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 Teluk Ekas 30 – 40 20 – 25 15 – 20 0,08 0 Teluk Serewe 30 – 40 20 – 30 20 – 30 0 0 Teluk Jukung 30 – 40 30 – 40 30 – 40 0 – 6 0 - 6

Hampir semua responden mempunyai sikap mendukung dibentuknya kawasan suaka perikanan, namun mereka mengharapkan agar kawasn suaka perikanan tidak mencakup kawasan terlalu luas, sehingga masih cukup kawasan laut untuk budidaya dan penangkapan ikan;

Tidak ada laporan pelanggaran awig-awig kawasan suaka perikanan. Hal ini menunjukkan adanya ketaatan yang tinggi dari masyarakat terhadap larangan eksploitsi di kawasan suaka;

Perubahan kelimpahan sumberdaya ikan belum tampak di dalam kawasan suaka perikanan, kecuali kepiting bakau yang menunjukkan jumlah dan ukurannya lebih besar di dalam kawasan suaka prikanan dibandingkan dengan di luar kawasan suaka, khususnya pada kawasan suaka perikanan Gili Rango.

Sedangkan dari seri data berurutan dari tahun 1998 s/d 2002 mengenai frekuensi pengeboman ikan seperti terihat pada tabel berikut, dapat diarik kesimpulan bahwa frekuensi pengeboman ikan menurun sangat signifikan. Hal demikian menunjukkan adanya kesadaran masyarakat terhadadap perlindungan sumberdaya pesisir dan laut di tiga kawasan teluk tersebut.

(45)

1. Faktor Penentu Keberhasilan PBM

Oleh karena tumbuh dan berkembang dari tingkat komunitas, maka Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) atau Community-Based Management (CBM) sangat

dipengaruhi sifat-sifat lokal yang spesifik terdapat pada suatu kumunitas, yang mungkin tidak terdapat pada komunitas lain. Dapat dikatakan bahwa PBM di suatu tempat memiliki keunikan yang tidak ditemukan sama persis pada tempat yang berbeda. Oleh karena itu, faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan PBM sulit untuk

digeneralisasikan. Keberhasilan atau kegagalan penerapan PBM di suatu tempat atau komunitas tidak musti akan terjadi pada tempat atau komunitas yang lain. Dari berbagai studi dari pengalaman empiris tentang PBM, hanya dapat ditarik pembelajaran mengenai beberapa faktor saja yang

diperkirakan memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan atau kegagalan PBM, di antaranya adalah sebagai berikut (Nikijuluw 2002).

a. Tertulisnya Aturan

Tertulisnya aturan hukum yang mengatur tentang

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam laut sangat menentukan keberhasilan PBM, termasuk pengelolaan sumberdaya alam laut berbasis masyarakat. Tertulisnya aturan hukum mendatangkan beberapa keuntungan. Pertama, penegakan aturan akan lebih mudah dilakukan. Kedua, sosialisasi aturan hukum kepada seluruh masyarakat di desa,

4

B A B

Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Keberhasilan dan Keberlanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan senyawa rosela seperti flavonoid, saponin dan tanin mampu menghambat pertumbuhan bakteri salah satunya bakteri Escherichia coli sebagai penyebab

Usaha kerajinan sulaman dan bordir di Sumatera Barat umumnya dan Bukittinggi khususnya, bermula dari usaha rumahan (industri rumah tangga), dilakukan pada

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Desa Ranggang diperoleh dari hasil analisis SEM menggunakan program SmartPls 2.0

Berdasarkan nilai indeks keragaman dan jumlah total keragaman spesies Thiaridae di danau Sentani dan sungai-sungai yang disekitarnya terbukti bahwa daerah tanpa

Manajer efektif adalah seorang yang memiliki tim atau unit kerja atau keseluruhan organisasi yang secara terus menerus melakukan kegiatannya untuk mencapai tujuan

Hubungan kebudayaan antara bangsa Cina dan Melayu semakin berkembang pada zaman Dinasti Shui (581-610 M) dan zaman Dinasti Tang (618-907 M) dengan Empayar Srivijaya. Catatan

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pembangunan Bersatu (Lembaran.. Daerah Kabupaten

Pada saat ibu menyusui bayi, sebaiknya payudara yang masuk adalah bagian…c. Puting dan bagian hitam