UnizarLawReview
Volume 4 Issue 1, June 2021 E-ISSN: 2620-3839
Nationally Accredited Journal (Sinta 5), Decree No. 200/M/KPT/2020 Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.php/ulr/index
PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM
PERJANJIAN MENURUT KUHPERDATA
THE INCLUSION OF THE EXONERATION CLAUSE IN THE
AGREEMENT ACCORDING TO THE CRIMINAL CODE
Muhammad Ikhsan Kamil Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar
e-mail: [email protected]
Jauhari D. Kusuma
Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar e-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimanakah akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang mencantumkan klausula eksonerasi. Karena praktiknya penggunaan perjanjian baku diikuti dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi yang berisi pengalihan tanggungjawab, pembebanan tanggungjawab atau pembebasan tanggungjawab kreditur pada debitur. Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normative, yang menggunakan pendekatan perundang - undangan dan pendekatan konsep. Berdasarkan kajian, penulis menyimpulkan bahwa adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian baku jika dilihat dari syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat kesepakatan yang disebabkan karena adanya cacat kehendak yaitu penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak yang menentukan isi perjanjian.
Kata kunci: Perjanjian Baku; Klausula Eksonerasi Abstract
This study aims to examine how the legal consequences of credit agreements that include an exoneration clause. Because in practice the use of standard agreements is followed by the inclusion of an exoneration clause which contains the transfer of responsibility, the assignment of responsibility or the release of creditor responsibility to the debtor. The type of research in this paper is normative legal research, which uses a statutory approach and a conceptual approach. Based on the study, the authors conclude that the existence of an exoneration clause in the standard agreement when viewed from the legal requirements of the agreement as stipulated in Article 1320 BW will result in the agreement being canceled because it does not meet the terms of the agreement due to a defect of will, namely abuse of circumstances from one of the parties involved. determine the contents of the agreement.
A. PenDAhuluAn
Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan salah satunya yaitu, dalam bentuk kredit, mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya atau mencukupi kebutuhan lainnya1.
Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan baik dari salah satunya dalam bentuk kredit mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi
dalam mendukung peningkatan usahanya.2 Dalam perkembangannya kredit telah memberikan
berbagai kemudahan dalam lalu lintas ekonomi baik di desa maupun di kota, dalam bidang perdagangan, perhubungan, pengembangan usaha, pembangunan perumahan dan pemukiman dan dalam lalu lintas pasar modal3.
Lembaga keungan perbankan mempunyai peranan yang strategis dalam pembangunan nasional terutama dalam kegiatan perekonomian, karena fungsi utama bank adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat4. Hal tersebut selaras dengan tujuan pemberian kredit di
Indonesia adalah untuk mensukseskan pembangunan, Meningkatkan aktivitas perusahaan, memperoleh laba agar kelangsungan hidup perusahaan terjamin dan dapat memperluas usahanya5.
Kata kredit berasal dari bahasa Latin creditus yang merupakan bentuk past participle dari kata credere yang berarti to trust atau faith6. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan7. Dengan
kata lain kepercayaan atau kebenaran. Bahasa belanda menyebut kredit dengan ventrouwen dan bahasa inggris dengan belive, trust confident8. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata
kredit mempunyai arti kepercayaan, jadi seorang memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan9. Walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya sekedar kepercayaan. Dalam arti
yang lebih luas kredit diartikan sebagai kepercayaan. Begitu pula dalam makna latin berarti credere artinya percaya10. Maksudnya percaya bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada
si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai dengan
1 Mohammad Wisno Hamin, 2017, “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank Sebagai Konsumen Pengguna
Jasa Bank Terhadap Resiko Dalam Perjanjian Kredit Bank”, Jurnal Lex Crimen, Volume VI, No.1, hlm. 46
2 Subekti, 1982, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 41 3 Thomas Suyatno dkk, 1989, Kelembagaan Perbankan, PT. Gramedia, Jakarta, hlm. 25
4 Kamsir, 2000, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Baru, PT. Grafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 23
5 Rudyanti Dorotea Tobing, 2014, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang Berasaskan
Demokrasi Ekonomi, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm. 14
6 Jhon M. Echols Dan Hassan Shadily, 2000, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia Dictionary, PT. Gramedia,
Jakarta
7 Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Komporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5 8 Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 23 9 Kasir Ibrahim, 1993, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, Pustaka Tinta Emas, surabaya
pejanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit menyatakan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayarnya sesuai jangka waktu11.
Maksud dari kata kepercayaan bahwa si pemberi kredit (kreditur) percaya kepada si penerima kredit (debitur) bahwa kredit yang disalurkannya akan dikembalikan sesuai perjanjian dan syarat-syarat yang telah disetujui bersama. Sedangkan bagi si penerima kredit (debitur) sebagai penerima kepercayaan mempunyai kewajiban untuk mengembalikan (membayar kembali) kredit yang bersangkutan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Dengan demikian kredit merupakan usaha pemberian bantuan permodalan atau keuangan berupa barang, jasa atau uang. Dalam kredit para pihak yaitu kreditur dan debitur membuat perjanjian kredit yang mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus dilaksanakan selama kredit tersebut berlangsung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan12.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perbankan merumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, pengertian kredit tersebut menunjukan bahwa telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak yang didasarkan pada perjanjian. Sehingga disebutlah perjanjian kredit, dan perjanjian kredit berbentuk perjanjian baku (standard contract) dimana perjanjiannya yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pihak kreditur dalam bentuk formulir sehingga debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak13.
Salah satu bidang usaha dari lembaga pembiayaan yang berkembang pesat saat ini adalah usaha pembiayaan konsumen. Didalam usaha ini perusahaan pembiayaan melakukan usaha-usaha dalam pembiayaan kredit barang konsumsi. Hal utama yang dilakukan oleh perusaha-usahaan pembiayaan tersebut adalah mengikat konsumen yang akan mengajukan kredit konsumsi dengan suatu perjanjian.
Penjualan secara kredit dalam pembiayaan konsumen disini mengandung arti bahwa pihak konsumen mengajukan permohonan kredit pada pihak perusahaan pembiayaan konsumen untuk memberikan sejumlah uang kepada penyedia barang (supplier) guna pembelian barang, sementara itu penerima barang (konsumen) berkewajiban untuk mengembalikan uang tersebut kepada perusahaan pembiayaan konsumen secara berkala atau angsuran14.
Perjanjian dalam sejarahnya diawali dengan perjanjian yang dibuat secara lisan, dimana begitu tercapai kesepakatan diantara para pihak sudah lahir sebuah perjanjian dan menimbulkan
11 Kasmir, 2001, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Hal 104 12 Ibid, hlm. 178
13 H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan Di Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 34 14 Sunaryo, 2008, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2
perikatan yaitu hak dan kewajiban diantara para pihak15. Perjanjian yang dibuat secara lisan
ini didasarkan pada asas konsensualitas yang menyatakan perjanjian lahir sejak tercapainya kata sepakat, jadi asalkan diantara para pihak tercapai kesepakatan maka sejak detik tersebut lahirlah perjanjian16.
Dalam perkembangan selanjutnya, perjanjian tidak dibuat hanya secara lisan, tetapi juga dibuat secara tertulis, dimana sebelum para pihak menuangkan perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis, para pihak lebih dahulu merundingkan hal-hal apa saja yang akan mereka tuangkan dalam perjanjian tersebut, dalam mencapai kesepakatan para pihak melakukan negosiasi (tawar menawar) sampai tercapai kesepakatan dalam hal-hal yang mereka sepakati tersebut baru dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
Salah satu bentuk dalam perjanjian tertulis adalah adanya perjanjian baku, yaitu perjanjian yang sudah dibuat dalam bentuk baku, dan sudah disiapkan dalam bentuk formulir.
Dalam perjanjian baku sering ditemukan pencantuman klausula-klausula yang antara lain mengatur cara, penyelesaian sengketa, dan klausula eksonerasi, yaitu klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak pelaku usaha17.
Klausula eksonerasi adalah “suatu klausula dalam suatu perjanjian, dimana ditetapkan adanya pembebasan atau pembatasan dari tanggung jawab tertentu, yang secara normal menurut hukum seharusnya menjadi tanggung jawabnya”18. Klausula eksonerasi dimungkinkan karena
adanya asas kebebasan berkontrak. Dapat dibayangkan dengan memungkinkannya orang memperjanjikan suatu klausula eksonerasi dapat membawa akibat, bahwa hak dan kewajiban dari para pihak menjadi jauh tidak berimbang19.
Klausula eksonerasi (exoneration clause) adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen klausula eksonerasi sebagai klausula yang berisi pembatasan pertanggung jawaban dari pelaku usaha, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya20.
Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang umumnya
15 J.H. Niewenhuis, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Terjemahan Djasadin Saragih, UNAIR-FH, Surabaya, Hal 69 16 M. Yahya Harahap, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, hlm. 9
17 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 120
18 Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Keabsahan Berkontrak Dan Perlindungan Hukum Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Da-lam Perjanjian Kredit Di Bank Indonesia, Insitut Bankir Indonesia, Jakarta, hlm. 75
19 J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm.120
memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.
Adanya klausula eksonerasi ini tentunya sangat merugikan debitur, karena debitur yang menginginkan perjanjian tersebut hanya dihadapkan pada 2 (Dua) pilihan yaitu menandatangani atau menolak perjanjian yang disodorkan kepadanya tanpa bisa menundingkan apa yang diinginkannya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut bagaimanakah akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang mencantumkan klausula eksonerasi?
B. MetoDe PenelItIAn
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dilakukan dengan cara mengkaji bahan - bahan hukum yang berkaitan dengan perjanjian baku yang memuat klausula eksonerasi yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek. Dengan mendasarkan pada pendekatan perundang - undangan dan pendekatan konsep. Pengumpulan bahan - bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi yaitu menggambarkan akibat hukum dari perjanjian kredit yang mencantumkan klausula eksonerasi, selanjutnya dianalisa secara kualitatif.
C. PeMBAhAsAn
Sutan Remy Sjahdeini mengartikan Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya
tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.21 Pitlo mengatakan
kalau perjanjian baku merupakan perjanjian paksa, adapun Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa perjanjian baku sebenarnya adalah perjanjian yang isinya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam bentuk formulir22.
Adapun ciri-ciri dari sebuah perjanjian baku23:
1. Bentuk perjanjiannya tertulis; 2. Format perjanjian sudah dibakukan;
3. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pegusaha;
4. Konsumen hanya mempunyai dua pilihan yaitu menerima atau menolak;
21 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bank Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 66
22 David M. L. Tobing, Perlindungan Hukum Konsumen, PT. Timpani Agung, Jakarta, 2007, hlm. 36.
23 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
5. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah/Peradilan; 6. Perjanjian baku menguntungkan pengusaha
Perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pelaku usaha tentunya akan menguntungkan pengusaha, setidaknya dalam hal24:
1. Efesiensi biaya, waktu, dan tenaga;
2. Praktis karena sudah tersedia dalam sebuah naskah yang sudah dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani;
3. Penyelesaian perjanjian cepat, karena konsumen hanya bisa menyetujui dan atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;
4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak
Menurut Ahmad Miru perjanjian baku adalah perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi permasalahan dalam perjanjian baku adalah bukan pada perjanjian baku, malainkan terdapatnya perjanjian baku (standard contract) yang bersifat eksonerasi (klausula eksonerasi).
Pencantuman klausula eksonerasi ini terjadi karena posisi para pihak dalam perjanjian berada dalam posisi yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak yang lebih kuat yang menentukan syarat-syarat dalam perjanjian, sementara dipihak lainnya dalam posisi terjepit dan sangat memerlukan perjanjian tersebut. Kondisi seperti inilah yang rentan menimbulkan adanya penyalahgunaan keadaan dari pihak yang menentukan syarat-syarat dalam perjanjian terhadap pihak lainnya.
Penyalahgunaan keadaan memang tidak dikenal di dalam BW namun perkembangannya penyalahgunaan keadaan dijadikan sebagai salah satu bentuk cacat kehendak berdasarkan putuskan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1904K/Sip/1982 tanggal 28 Januari 1984 dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3431K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 198725.
Adapun faktor-faktor yang merupakan ciri dari penyalahgunaan keadaan yaitu pada waktu menutup perjanjian salah satu pihak ada dalam keadaan yang terjepit, yang disebabkan26:
24 Ibid, hlm. 7-8.
25 J.M.van Dunne dan Gr van der Brught, Hukum Perjanjian (Bahan Kursus Hukum Perikatan Bagian 1a), Dewan
Kerjasa-ma Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Yogyakarta, 1987, hlm. 30.
1. Adanya keadaan ekonomis yang menekan seperti keadaan kesulitan keuangan yang mendesak; 2. Adanya hubungan atasan-bawahan. Keunggulan ekonomis pada salah satu pihak, hubungan
buruh majikan, orang tua/wali anak yang belum dewasa;
3. Adanya keadaan yang tidak menguntungkan, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli;
4. Perjanjian tersebut mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal balik antara para pihak (prestasi tidak seimbang), seperti pembebasan majikan dari menanggung resiko dan menggesernya menjadi tanggung jawab si buruh (klausula exonerasi);
5. Adanya kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak.
Secara garis besar penyalahgunaan keadaan dibagi dalam dua kelompok yaitu penyalahgunaan karena keunggulan ekonomi (economic advantage) dari satu pihak terhadap pihak lainnya, dan penyalahgunaan keadaan karena keunggulan psikologis (geestelijke ocerwicht) dari satu pihak terhadap pihak lainnya27 Oleh karena itu dalam melakukan perjanjian kredit berpedoman pada
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memuat asas kebebasan berkontrak. Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sifatnya universal dan relevan hingga dewasa ini serta dikenal hampir dalam semua sistem hukum di setiap negara. Di dalam asas kebebasan berkontrak terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang ingin diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Sekalipun asas kebebasan berkontrak diakui oleh KUH Perdata hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang sama . Perjanjian kredit yang salah satu asasnya berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan bagi debitur.
Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bahwa para pihak dapat membuat perjanjian apa saja mengenai bentuk dan isinya, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Namun, seringkali substansi perjanjian tersebut lebih menonjolkan hak-hak dari pihak-hak kreditur yang cenderung menguntungkan kreditur sehingga melemahkan pihak-hak debitur. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam perjanjian kredit seringkali mencantumkan perjanjian
baku (standard contract) yang didalamnya terdapat klausula yang banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya.
Dalam praktiknya penggunaan perjanjian baku diikuti dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi biasanya berisi pengalihan tanggungjawab, pembebanan tanggungjawab atau pembebasan tanggungjawab kreditur pada debitur. Klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausul tersebut meyebabkan hubungan hukum antar para pihak seringkali melemahkan posisi debitur karena secara sepihak kreditur sudah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh pihak kreditur.
Klausula eksonerasi ini sesungguhnya diatur pula dalam KUH Perdata, yaitu pada Pasal 1493 dan Pasal 1494 KUH Perdata . Di dalam Pasal 1493 menyatakan bahwa: “Kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa, boleh memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh Undang undang ini, bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjualtidak wajib menanggung apapun”. Pasal 1494 KUH Perdata kemudian memberikan pembatasan, yaitu bahwa: “Meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apa pun, ia tetap bertanggungjawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya, segala persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal”.
Berdasarkan ketentuan Pasal-pasal dalam KUH Perdata tersebut jelas bahwa dalam KUH Perdata pun klausula yang isinya berupa pelepasan tanggungjawab atau pengalihan tanggungjawab tidak boleh dibuat dan dianggap batal. Masalah perjanjian baku yang disertai dengan pencantuman klausula eksonerasi memang mendapat perhatian yang cukup luas baik dari pemerintah maupun masyarakat. Hal ini dikarenakan posisi para pihak yang tidak seimbang. Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh pihak kreditur untuk membuat klausul yang memberatkan konsumen.
D. KesIMPulAn
Dalam praktiknya penggunaan perjanjian baku diikuti dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi biasanya berisi pengalihan tanggungjawab, pembebanan tanggungjawab atau pembebasan tanggungjawab kreditur pada debitur. Klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausul tersebut meyebabkan hubungan hukum antar para pihak seringkali melemahkan posisi debitur karena secara sepihak kreditur sudah
menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh pihak kreditur.
Daftar Pustaka A. Buku
Abdulkadir Muhammad, 1992. Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
David M. L. Tobing, 2007. Perlindungan Hukum Konsumen, PT. Timpani Agung, Jakarta.
H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan Di Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta. J.M.van Dunne dan Gr van der Brught, 1987. Hukum Perjanjian (Bahan Kursus
Hukum Perikatan Bagian 1a), Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Yogyakarta.
J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kamsir, 2000, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Baru, PT. Grafindo Perkasa, Jakarta.
Kamsir, 2011, Analisis Laporan Keuangan, Edisi I, Cetakan 4, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.Kasmir, 2001, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada.
M. Yahya Harahap, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung. Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti. Munir Fuady, 1996, Hukum Perkreditan Komporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Rudyanti Dorotea Tobing, 2014, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit
Sindikasi Yang Berasaskan Demokrasi Ekonomi, Laksbang Grafika, Yogyakarta. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta. Subekti, 1982, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
Alumni, Bandung.
Sunaryo, 2008, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Keabsahan Berkontrak Dan Perlindungan Hukum Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Di Bank Indonesia, Insitut Bankir Indonesia, Jakarta.
Thomas Suyatno dkk, 1989, Kelembagaan Perbankan, PT. Gramedia, Jakarta. B. Jurnal
Mohammad Wisno Hamin, 2017, Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Bank Terhadap Resiko Dalam Perjanjian Kredit Bank”, Jurnal Lex Crimen, Volume VI, No.1, Hal 46
C. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1904K/Sip/1982 tanggal 28 Januari 1984
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3431K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perbankan