• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORETIS

Ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai masalah ini. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah hasil kajian Dempwolff (1934, 1937, 1938). Dalam bukunya, Dempwolff membagi rumpun bahasa Austronesia menjadi 3 bagian, yaitu bagian Indonesia, bagian Melanesia, dan bagian Polynesia. Bahasa yang diambil sebagai contoh dari bagian Indonesia adalah Tagalok, Toba-Batak, Jawa, Melayu, Ngaju-Dayak, dan Hova (malagasi). Bahasa yang diambil sebagai contoh dari bagian Melanesia ialah bahasa Fiji, dan bahasa Sa’a, sedangkan bahasa yang dipakai sebagai contoh dari bagian Polynesia ialah bahasa Tonga, Futuna dan bahasa Samoa. Alasan diambilnya bahasa tersebut adalah bahasa yang diperbandingkan haruslah diambil dari bahasa-bahasa yang berbeda, letaknya berjauhan, dan dari anggota sub-sub rumpun yang berlainan agar rekonstruksinya betul-betul mewakili semua bahasa-bahasa yang tergabung dalam rumpun itu.

Dalam penelitian Dempwolff yang diterbitkan pada tahun 1934 sampai dengan 1938, diterapkan metode perbandingan vertikal. Unsur kebahasaan yang ia periksa hanyalah kata-kata saja. Bentuk kata-kata itu diperbandingkan dalam kesebelas bahasa tersebut di atas. Berdasarkan kajiannya ini, Dempwolff berhasil menunjukkan bentuk-bentuk bunyi yang kiranya dipakai oleh nenek moyang zaman Proto Austronesia dan menampilkan kata-kata yang kiranya juga terpakai pada zaman

(2)

itu. Kata-kata yang direkonstruksi oleh Dempwolff ini dikenal sebagai Kamus Proto

Austronesia dengan jumlah halaman 164, dengan judul English Finder List of Proto

Austronesia.

Cendikiawan yang paling banyak memberikan tambahan atas karya Dempwolff adalah Isidore Dyen dan Blust. Kedua linguis ini membuat tambahan revisi hasil karya Dempwolf berupa daftar-daftar fonem yang direvisi. Mereka membuat revisi ejaan bahasa proto yang diberi judul Proto Austronesia Adenda, ini merupakan ejaan standar yang digunakan oleh para linguis hingga saat ini. Selain menambah inventori fonem bahasa Proto Austronesia, Dyen (1965) juga telah membuat klasifikasi baru dari bahasa-bahasa Austronesia dengan menggunakan metode leksikostatistik.

Menurut Dyen bahasa-bahasa Austronesia berjumlah sekitar 500 bahasa. Dari jumlah itu Dyen mengambil 303 bahasa yang ada kamus atau daftar kata yang cukup lengkap yang betul-betul diklasifikasi. Dari daftar sebanyak itu ternyata 58 dapat digolongkan sebagai dialek-dialek saja sehingga bahasa yang diklasifikasi adalah sejumlah 245 buah.

Dyen (1965) mengelompokkan rumpun Austronesia berdasarkan hasil penelitiannya terhadap 245 bahasa yang bertujuan untuk mengelompokkan bahasa-bahasa Austronesia. Dyen memilah bahasa-bahasa-bahasa-bahasa Austronesia pertama-tama menjadi dua kelompok, yaitu kelompok utama Melayu-Polinesia dan kelompok Irian Timur-Melanesia. Selanjutnya, Dyen memilah kelompok Melayu-Polinesia kedalam tiga bagian yakni bahasa-bahasa Hesperonia, Moluccan Linkage (kelompok besar

(3)

Maluku), dan Heonesia. Kelompok besar Maluku dipilah lagi menjadi kelompok Sula Bacan, Ambon Timur dan Halmahera Selatan-Irian Barat. Menurut Dyen wilayah bahasa-bahasa Austronesia meliputi Filipina, Formosa, Madagaskar dan Indonesia Barat termasuk kedalam kelompok besar Hesperonesia. Kelompok Indonesia Barat meliputi bahasa-bahasa di Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Bagan 1. Wilayah Bahasa-bahasa Austronesia

(Sumber : Dyen, 1965)

Sementara itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood, berbagai proto-bahasa yang pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan Bismarck, boleh dikatakan satu bahasa, namun dengan sedikit perbedaan variasi dialek. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahasa daerah yang berkembang di kepulauan

Proto-Austronesia Filipina

Melayu-Polinesia Irian Timur-Melanesia Madagaskar Formosa Heonesia Hesperonesia Maluku Indonesia Barat

Sula Bacan Ambon Timur Halmahera selatan-Irian Barat

(4)

Indonesia ini berasal dari rumpun yang sama yaitu bahasa Austronesia, seperti yang digambarkan pada bagan berikut :

Bagan 2. Rumpun Bahasa Austronesia

(Sumber: Wapedia, 2009)

Bahasa Austronesia juga merupakan bagian dari bahasa Austris. Selain itu, bahasa Austro-Asia dan bahasa Tibet-Cina juga termasuk rumpun bahasa Austris. Rumpun bahasa Austronesia ini terbagi lagi kedalam empat kelompok yaitu:

1. Bahasa-bahasa Kepulauan Melayu atau Bahasa Nusantara.

Contoh : bahasa Melayu, Aceh, Jawa, Sunda, Dayak, Tagalog, Solo, Roto, Sika dan lain-lain. Bahasa-Bahasa Nusantara Bahasa-bahasa Polinesia Bahasa-Bahasa Melanesia Bahasa-Bahasa Mikronesia BAHASA –BAHASA AUSTRIS BAHASA-BAHASA AUSTRO-ASIA BAHASA-BAHASA TIBET-CINA BAHASA-BAHASA AUSTRONESIA

(5)

2. Bahasa-bahasa Polinesia

Contoh : bahasa Hawaii, Tonga, Maori, Haiti 3. Bahasa-bahasa Melanesia

Contoh : bahasa-bahasa di Kepulauan Fiji, Irian and Kepulaun Caledonia 4. Bahasa-bahasa Mikronesia

Contoh : bahasa-bahasa di Kepulauan Marianna, Marshall, Carolina dan Gilbert Berdasarkan hasil rekonstruksi, yang kemudian ditemukan pula sejumlah kata dasar, bahasa Austronesia Purba memiliki sistem fonem vokal sebagai berikut (Mbete 1981 : 24-26). Fonem vokal sebanyak empat buah yaitu /i, ə, a, u/. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Bagan 3. Fonem Vokal Bahasa Austronesia

(Sumber : Mbete, 1981) 2.1 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Ada beberapa penelitian Linguistik Historis Komparatif yang relevan untuk mendukung penelitian ini. Misalnya, “Pertalian Bunyi Bahasa Austronesia dengan

i u

a

ə

(6)

Bahasa Lio dan Bahasa Ngada di Flores Tengah” oleh Mbete (1981). Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa:

a. sebagian besar bunyi bahasa Austronesia Purba tetap terwaris dalam bahasa Lio dan Ngada;

b. selain tetap terwaris, beberapa fonem bahasa Austronesia Purba mengalami perubahan bunyi dalam bahasa Lio dan Ngada;

c. perubahan bunyi bahasa Austronesia dalam Bahasa Lio dan Ngada, dapat digolongkan dalam beberapa jenis yaitu penggantian (subtitusi), penyatuan (merger), pemekaran (Split), dan penghilangan.

Tahun 1981 Basuki kembali meneliti tentang “Refleksi Fonem Proto Austronesia pada Bahasa Sasak dan Sumbawa”. Penelitian ini dilakukan untuk Penataran Linguistik Konstrastif dan Historis Komparatif tahap II Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Disimpulkan bahwa:

a. bahasa Sasak dan Sumbawa pada masa lalu pernah mengalami sejarah perkembangan bersama, pada suatu masa yang lebih muda dari masa perkembangan bahasa Austronesia.

b. di dalam pohon keluarga bahasa Austronesia, tempat bahasa meso (bahasa proto) adalah lebih rendah dari Proto-Melayu Polinesia.

Kemudian, Mbete (1990) meneliti Bahasa Bali-Sasak-Sumbawa dengan judul “Rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa”. Kesimpulan penelitian dari

(7)

“Rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa” untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Sastra pada Universitas Indonesia” ini adalah:

1. Bahasa Bali di Pulau Bali, bahasa Sasak di Pulau Lombok, bahasa Sumbawa di Pulau Sumbawa memiliki hubungan kekerabatan erat sebagai suatu kelompok tersendiri. Kelompok bahasa ini disebut bahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Berdasarkan fakta-fakta kebahasaan yang membuktikan tingkat keeratan hubungan kekerabatan, ternyata bahwa kelompok bahasa Bali-Sasak-Sumbawa terpilah dua yaitu bahasa bali dan subkelompok bahasa Sasak-Sumbawa. Subkelompok bahasa Sasak-Sumbawa, yang memiliki hubungan keseasalan yang sejajar dengan bahasa Bali, terdiri atas bahasa Sasak-dan bahasa Sumbawa. Susunan kekerabatan bahasa itu tampak pada bagan di bawah ini:

Bagan 4. Susunan Kekerabatan Bahasa

(Sumber : Mbete, 1990)

2. Pengelompokan bahasa dan pensubkelompokan bahasa Bali, bahasa Sasak, dan Sumbawa, didasarkan pada bukti-bukti kuantitatif dan kualitatif.

3. Penempatan ketiga bahasa itu ke dalam kelompok Bali-Sasak-Sumbawa, sesuai pila dengan pengelompokan Dyen yang berdasarkan bukti-bukti kuantitatif.

(8)

4. Hubungan keseasalan antara bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa sumbawa dengan protobahasa Austronesia (PAN), ditemukan pula dalam penelitian ini. Hubungan keseasalan itu tampak pada pantulan fonem dan perangkat kata Proto-Austronesia pada protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa.

5. Penamaan protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa menyuratkan adanya hubungan keseasalan antara bahasa bali, Sasak, dan Sumbawa.

6. Pembuktian hubungan kekelompokan dan kesubkelompokan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa tidak hanya dilakukan dari bawah ke atas, melainkan juga dari atas ke bawah.

7. Kelompok bahasa Bali-Sasak-Sumbawa memiliki pertalian kata-kata seasal (kognat) dengan persentase kesamaan rata-rata antara bahasa Bali dan subkelompok Sasak-Sumbawa 50% yang merupakan bukti kuantitatif.kemudian ada inovasi bersama yang merupakan bukti kualitatif.

8. Melalui rekonstruksi fonologi, dapat ditemukan dan dirumuskan kaidah-kaidah perubahan fonem. Namun terjadi pula penyimpangan-penyimpangan dari kaidah yang memang memerlukan penjelasan dan penelaaahan khusus.

Pada tahun 2001, Widayati melakukan penelitian yang sejenis dengan judul ”Refleksi Fonem Vokal Bahasa Melayu Purba dalam bahasa Melayu Asahan”, disimpulkan bahwa fonem-fonem turunan dalam Bahasa Melayu Asahan (BMA) ada yang merupakan refleksi langsung dari PM (Melayu Purba) dn tetap sebagai retensi dan ada pula yang telah mengalami inovasi bentuk.

(9)

2.2 Kerangka Konseptual

2.2.1. Model Perkembangan Bahasa

Penelitian mengenai fonem-fonem dalam bahasa Austronesia mengacu kepada ilmu Lnguistik Historis Komparatif (LHK). Banyak teori yang berhubungan dengan sejarah perkembangan dan perubahan bahasa. Bila diselusuri lebih dalam, maka ditemukanlah proses dan faktor (mekanisme) perubahan itu. Penelaahan atas bahasa-bahasa yang diduga memiliki kesamaan-kesamaan tertentu oleh para ahli disimpulkan bahwa bahasa itu berkerabat dan berasal dari satu bahasa. Bahasa asal itu lazim disebut bahasa induk atau bahasa purba (proto).

Bahasa purba yang hidup pada beribu-ribu tahun yang lalu berkembang dan pecah menjadi beberapa bahasa baru. Kemudian mereka membandingkan dan merumuskan keteraturan-keteraturan perubahan yang kemudian disebut hukum bunyi. Di samping itu ditemukan pula analogi sebagai sebab lain adanya perubahan. Hukum bunyi menimbulkan perubahan pada tataran bunyi (fonem) sedangkan analogi adalah penyebab segi-segi ketatabahasaan (Bynon, 1979:24 dalam Mbete 1981).

Dibalik perubahan-perubahan yang terjadi itu, ada pula unsur-unsur terusan yang terwaris (retensi) yang meliputi: fonem, kata dasar dengan semantiknya,serta unsur-unsur ketatabahasaan baik morfologi maupun sintaksisnya. Di antara perubahan-perubahan itu, perubahan bunyi merupakan salah satu penanda perubahan unsur terkecil dalam bahasa tetapi cukup menarik untuk diteliti dan ditelaah. Perubahan bunyi ini yang kemudian menggambarkan refleksi-refleksi atau pertalian-pertalian bunyi diantar bahasa-bahasa berkerabat, bukanlah suatu peristiwa yang

(10)

kebetulan. Pada dasarnya perubahan itu diatur dan ditentukan oleh suatu prinsip keteraturan, dalam arti bunyi itu berubah secara teratur melalui proses-proses tertentu dan berlangsung dalam suatu periode yang lama (Bynon, 1979:25 dalam Mbete 1981).

Bynon juga menguraikan adanya tiga model daripada perkembangan bahasa yaitu, model kaum neogramarrian, model kaum strukturalis, dan model kaum transformasional-generatif.

2.2.1.1.Model Kaum neogramarrian

Kaum neogramarrian adalah sekelompok sarjana Indo-Eropa yang bekerja dan mempunyai hubungan dengan Universitas Leipzig pada akhir abad 19. Untuk ilmu bahasa historis mereka memberikan dasar yang kokoh dengan membuat formulasi tentang prinsip-prinsip metodologis dan postulat teoritis yang membimbing mereka didalam pekerjaan mereka serta sekaligus mencobakan prinsip-prinsip ini didalam kerja praktek. Kaum neogramarrian membuat postulat tentang prinsip dasar didalam perkembangan bahasa, yaitu hukum bunyi dan analogi.

Mereka menyatakan bahwa perubahan bahasa didasari oleh prinsip hukum bunyi tanpa kekecualian (Bynon, 1977:25). Dengan hukum bunyi tanpa kekecualian ini dapat diartikan bahwa arah dari perubahan bunyi adalah sama pada semua masyarakat bahasa yang mengalami perubahan tersebut dan semua kata dimana ada bunyi yang mengalami perubahan yang terjadi pada lingkungan fonetik yang sama juga dipengaruhi oleh lingkungan dengan cara yang sama. Karena kaum ini berpendapat bahwa kaidah-kaidah fonologis dapat diformulasikan tanpa mengacu

(11)

kepada morfologi, sintaksis, dan semantik. Prinsip yang kedua adalah analogi. Lain daripada kaidah-kaidah fonologis yang bebas tadi, perubahan analogis sepenuhnya tergantung pada struktur gramatikal.

2.2.1.2.Model Kaum Strukturalis

Kaum strukturalis adalah para ahli bahasa aliran praha di Eropa seperti Ferdinand de Saussare dan para pengikut Bloomfield. Kaum ini menerangkan perubahan fonologis dengan memakai fonem. Adapun aspek-aspek perubahan fonologis bagi kaum strukturalis adalah:

1. Perubahan fonologis dapat mempengaruhi inventori fonem, yakni dapat menyebabkan bertambah dan berkurangnya jumlah fonem.

2. Perubahan fonologis mungkin saja tidak mempengaruhi inventori fonem,tetapi dapat mengubah distribusi fonem-fonem tertentu

3. Perubahan yang sama dapat mengganti ‘incidence’ dari /a/ dan /e/, yani distribusinya pada item-item leksikal dan gramatikal pada bahasa tersebut. 2.2.1.3.Model Kaum Transformasional-Generatif untuk Evolusi Bahasa

Kaum ini mengenal dua macam perubahan, yaitu perubahan fonologis dan perubahan sintaktik. Didalam perubahan fonologis mereka membedakan antara inovasi dan penyusunan kembali secara sistematik. Sedangkan dalam perubahan secara sintaktik mereka mengenal perubahan-perubahan didalam sintaksis dari frasa benda (noun phrase), frasa kerja (verb phrase) dan item leksikal.

(12)

2.3. Kerangka Teori

Penelitian refleksi fonem proto austronesia dalam bahasa Aceh dan bahasa Melayu ini mengacu pada teori ilmu Linguistik Histori Komparatif dan Linguistik

Bandingan Historis. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa penelitian mengenai

fonem-fonem bahasa Austronesia mengacu pada Ilmu Sejarah Perbandingan Bahasa atau Linguistik Historis Komparatif (Mbete, 1981)

2.3.1. Teori Migrasi Bahasa

Menurut Keraf (1984:172) terdapat dua istilah penting dalam teori migrasi ini, yaitu istilah wilayah (area) dan daerah (region). Wilayah suatu bahasa adalah tempat-tempat dimana terdapat pemakai-pemakai suatu bahasa. Dalam kenyataan suatu bahasa dapat terdiri dari suatu tempat yang secara geografis bersinambungan, atau dapat pula terdiri dari sejumlah tempat yang secara geografis terpisah satu dari yang lain. Tiap satuan tempat yang secara geografis terpisah dari yang lain tetapi dihuni oleh penutur-penutur bahasa yang sama disebut daerah bahasa (region). Perpindahan penduduk atau penutur bahasa dari satu daerah ke daerah lain dapat mengakibatkan terjadinya daerah-daerah bahasa. Hal ini menyebabkan daerah yang didatangi terjadi perbedaan bahasa atau dialek. Teori ini didasarkan pada dua dalil, yaitu:

1. Wilayah asal bahasa-bahasa sekerabat merupakan suatu daerah yang bersinambung;

2. Jumlah migrasi yang mungkin direkonstruksi akan berbanding terbalik dengan jumlah gerak perpindahan dari tiap bahasa.

(13)

Dalil yang pertama memberi suatu dasar untuk menemukan suatu daerah asal yang merupakan daerah kesatuan bagi bahasa-bahasa yang terpisah letaknya dewasa ini, daripada mengambil semua daerah secara bersama-sama sebagai wilayah asal. Dalil kedua dapat dianggap sebagai kaidah “gerak yang paling minimal”. Ini berarti, bila jumlah gerak dalam dua buah peluang migrasi yang direkonstruksikan itu berbeda, maka migrasi dengan jumlah gerak yang paling kecil mempunyai peluang yang paling besar sebagai migrasi yang sesungguhnya pernah terjadi (Keraf, 1984:173).

2.3.2. Teori Hukum Bunyi – Korespondensi Bunyi

Hukum bunyi yang kemudian diganti dengan istilah korespondensi bunyi pada abad XX, pada hakekatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa (Keraf,1984:40). Teknik penetapan korespondensi bunyi antarbahasa akan menjadi dasar untuk menyusun hipotesa mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat.

Penetapan sebuah fonem proto dilakukan melalui rekonstruksi atau pemulihan, yang bisa dilakukan berulang-ulang untuk menemukan fonem-fonem proto dari tingkat-tingkat perkembangan sebelumnya. Karena penetapan fonem proto harus dilakukan melalui unsur-unsur bentuk (morfem atau kata dasar), rekonstruksi fonem-fonem proto itu akan menghasilkan pula morfem proto yang dianggap pernah ada dalam bahasa proto dari sejumlah bahasa kerabat. Itulah sebabnya mengapa dalam Linguistik Historis Komparatf dipersoalkan pula kata kerabat, yaitu

(14)

kata-kata yang dianggap dimiliki bersama oleh bahasa-bahasa kerabat karena diwariskan bersama dari bahasa protonya (Keraf, 1984).

Referensi

Dokumen terkait

Menurut ulama Hanafiyah hadis terse- but dijadikan pelarangan ijbar (pemaksaan) bagi ayah maupun wali terhadap anak perem- puan atau janda yang sudah dewasa, karena

Supervision and assessment conducted by the principle of free and fair is a learning management for school personnel and school institutions, as well as the hidden curriculum

dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan tingkat Rasio Modal Sendiri terhadap Total Asset pada BUMN sebelum dan sesudah privatisasi. Dengan kata lain, privatisasi

Indonesia juga kerap disebut sebagai pemimpin ASEAN (Smith, 1999, p. Posisi ini tentu menunjukan.. 56 kedekatan antara Indonesia dan ASEAN. Kedekatan Indonesia dan ASEAN juga

Pada tabel pernyataan responden mengenai kesesuaian insentif yang diberikan kepada pegawai telah sesuai dengan masa kerja pegawai, yang menyatakan sangat setuju 11

Jalur hijau pada segmen I berada pada tingkatan sedang (44,4% kriteria terpenuhi) untuk fungsi pereduksi polusi; tingkatan buruk hingga sedang (35,0-45,0% kriteria terpenuhi)

Pada bab II dijelaskan mengenai definisi graf, incident dan adjacent, derajat titik dari graf, subgraf, graf beraturan- r, graf komplit, graf bipartisi, graf bipartisi komplit,

Tidak signifikannya pengaruh motivasi berprestasi kepala sekolah terhadap tingkat produktivitas guru penjas di SD lebih disebabkan karena kepala sekolah lebih menekankan pada