Diterbitkan oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
MAJALAH ILMIAH
HUKUM
DAN
MASYARAKAT
Echwan Iriyanto,S.H.,M.H. : Pemberian Kompensasi Terhadap KorbanTindak Pidana Terorisme
Edy Wahjuni, SH.,M.Hum. : Kegiatan Usaha Perusahaan Modal Ventura Dalam Perusahaan Pasangan Usaha
Warah Atikah, S.H.,M.Hum. : Penguasaan Tanah Untuk Kepentingan Kepemilikan Lahan Makam Modern
Halif, S.H.,M.H. : Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
Ratih Listyana Chandra, S.H., M.H
: Peranan Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Budaya Asli Bangsa (Folklore) Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Siti Sudarmi, S.H., M.H. : Pemenuhan Hak Anak Korban Kejahatan Dan Implementasinya Sebagai Bentuk Perlindungan Anak
Multazaam Muntahaa, S.H., M.Hum.
: Pemeriksaan Terhadap Pengendara Sepeda Motor Yang Melanggar Peraturan Lalu Lintas Jalan
Diterbitkan oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
MAJALAH ILMIAH
HUKUM
DAN
MASYARAKAT
Echwan Iriyanto,S.H.,M.H. : Pemberian Kompensasi Terhadap Korban Tindak Pidana Terorisme
Edy Wahjuni, SH.,M.Hum. : Kegiatan Usaha Perusahaan Modal Ventura Dalam Perusahaan Pasangan Usaha
Warah Atikah, S.H.,M.Hum. : Penguasaan Tanah Untuk Kepentingan Kepemilikan Lahan Makam Modern
Halif, S.H.,M.H. : Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
Ratih Listyana Chandra, S.H., M.H
: Peranan Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Budaya Asli Bangsa (Folklore) Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Siti Sudarmi, S.H., M.H. : Pemenuhan Hak Anak Korban Kejahatan Dan Implementasinya Sebagai Bentuk Perlindungan Anak
Multazaam Muntahaa, S.H., M.Hum.
: Pemeriksaan Terhadap Pengendara Sepeda Motor Yang Melanggar Peraturan Lalu Lintas Jalan
HUKUM DAN MASYARAKAT
Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jember
Terbit 4 Bulan sekali pada bulan April, Agustus dan Desember
Penanggung Jawab : Prof. Dr.M.Arief Amrullah, S.H.,M.Hum Ketua Penyunting : I Wayan Yasa, S.H.,M.H.
Dewan Penyunting : 1. Dwi Endah Nurhayati, S.H.,M.Hum 2. Iswi Hariyani, S.H.,M.H.
3. Warah Atikah, S.H.,M.Hum Penyunting Pelaksana : 1. Dra. Tutik Patmiati
2. Dodik Prihatin AN, S.H.,M.H. 3. Aan Effendi, S.H.,M.H. Pelaksana Administrasi : 1. Asnan, S.H.
2. Bambang Joko Lelono
HUKUM DAN MASYARAKAT adalah majalah ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Jember. Majalah ini sebagai media penuangan pelbagai pemikiran masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum dan masyarakat, di samping sebagai media komunikasi antara Fakultas Hukum Universitas Jember dengan para alumninya.
Pemuatan tulisan dalam majalah ini bukan berarti sebagai pandangan dari Redaksi atau fakultas, tetapi merupakan pendapat pribadi penulisnya. Redaksi menerima naskah karangan, terutama dari warga Sivitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jember. Naskah yang dikirim kepada Redaksi maksimal 15 halaman kuarto diketik 1,5 spasi.
Alamat Redaksi: Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Kalimantan Nomor 37 Jember Telp. (0331) 335462,322808, 322809 Fax : (0331) 330482
http://www.fh.unej.ac.id
i
ukum sebagai salah satu bidang ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi, pada akhirnya diharapkan mampu memberikan bekal pengetahuan kepada siapa saja yang membutuhkan. Oleh karena itu, perguruan tinggi melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan harapan tersebut. Salah satu di antaranya adalah penerbitan Majalah Hukum dan Masyarakat secara berkala oleh Fakultas Hukum Universitas Jember, juga dimaksudkan untuk membantu memberikan pencerahan kepada siapa saja yang berminat mempelajari bidang ilmu hukum.
Pada edisi II/TH.XXXVI/2011 ini Majalah Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Jember menampilkan berbagai tulisan dari para dosen. Adapun tulisan-tulisan tersebut, adalah :
Pemberian Kompensasi Terhadap Korban Tindak Pidana Terorisme; Kegiatan Usaha Perusahaan Modal Ventura Dalam Perusahaan Pasangan Usaha; Penguasaan Tanah Untuk Kepentingan Kepemilikan Lahan Makam Modern; Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa; Peranan Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Budaya Asli Bangsa (Folklore) Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta; Pemenuhan Hak Anak Korban Kejahatan Dan Implementasinya Sebagai Bentuk Perlindungan Anak; dan Pemeriksaan Terhadap Pengendara Sepeda Motor Yang Melanggar Peraturan Lalu Lintas Jalan.
Semoga berbagai tulisan tersebut mampu memberikan tambahan pengetahuan berupa informasi baru yang berkaitan dengan bidang ilmu hukum. Semoga!
Dewan Redaksi,
ii
D A F T A R I S I
Halaman
PengantarRedaksi ………..………... i
Daftar Isi ………... ii
Echwan Iriyanto,S.H.,M.H. : Pemberian Kompensasi Terhadap Korban Tindak Pidana Terorisme
1
Edy Wahjuni, SH.,M.Hum. : Kegiatan Usaha Perusahaan Modal Ventura Dalam Perusahaan Pasangan Usaha
19
Warah Atikah, S.H.,M.Hum : Penguasaan Tanah Untuk Kepentingan Kepemilikan Lahan Makam Modern
33
Halif, S.H.,M.H. : Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
53
Ratih Listyana Chandra, S.H., M.H
: Peranan Pemerintah Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Budaya Asli Bangsa (Folklore) Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
73
Siti Sudarmi, S.H., M.H. : Pemenuhan Hak Anak Korban Kejahatan Dan Implementasinya Sebagai Bentuk Perlindungan Anak
85
Multazaam Muntahaa, S.H., M.Hum.
: Pemeriksaan Terhadap Pengendara Sepeda Motor Yang Melanggar Peraturan Lalu Lintas Jalan
103
33
PENGUASAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN KEPEMILIKAN LAHAN MAKAM MODERN
Oleh: Warah Atikah, SH., M.Hum.
ABSTRAKSI
ada masa sekarang ini kebutuhan manusia akan tanah makin terasa sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan kegiatan sektor ekonomi yang semakin pesat, sedangkan tanah hampir tidak pernah mengalami perubahan atau relatif tetap. Hal ini telah menimbulkan perubahan fungsi tanah menjadi barang komoditas ekonomi, yakni tanah dianggap sebagai obyek investasi semata-mata dengan tujuan memanfaatkan atau mengamankan modal. Salah satunya adalah maraknya kepemilikan tanah makam modern. Munculnya bisnis usaha penyediaan lahan makam (funeral estate atau memorial park) terutama bagi kalangan menengah-atas perkotaan, sebagai jawaban untuk memenuhi permintaan tempat pemakaman yang nyaman dan memadai bagi masyarakat.
Kata kunci: Penguasaan tanah, kepemilikan lahan, makam moder
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tanah mempunyai arti
penting dalam kehidupan
manusia, sebab aktifitas yang dilakukan oleh manusia tidak dapat lepas dari tanah. Tanah diperlukan manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Dalam kehidupan manusia, tanah pada awalnya berfungsi sebagai faktor produksi, yaitu di atas tanah
didirikan bangunan rumah untuk tempat tinggal atau tempat hunian. Namun, dalam perkem-bangannya tanah menjadi komo-ditas ekonomi, yaitu seseorang memiliki atau menguasai tanah berorientasi untuk mendapatkan keuntungan.
Peningkatan jumlah pen-duduk yang diikuti oleh gencarnya pembangunan fisik di perkotaan, membuat konsumsi lahan terus bertambah. Selain itu,
34
lahan untuk orang yang masih
hidup makin hari makin
mendesak lahan untuk orang mati. Oleh karena itu lahan makam kini menjadi ‘barang’ langka, yang kemudian men-ciptakan peluang bagi kemun-culan usaha penyediaan lahan makam (funeral estate atau
memorial park). Hal itu terjadi
terutama bagi kalangan
menengah-atas, yang mengingin-kan lahan makam nyaman dan memadai di tengah kondisi tempat pemakaman umum (TPU) milik Pemda yang sudah sangat padat, angker, suram, dan seram serta terkesan semrawut.
Di Jawa Timur, funeral
estate ‘kelas atas’ antara lain Asri
Abadi di Lawang, Kabupaten Malang, yang berdiri November 2008, dan Puncak Nirwana Memorial Park di Pasuruan yang diresmikan pada Juli 2011. Sebelumnya juga sudah ada taman makam Sentong Baru, juga di Lawang. Paling baru, terdengar kabar bahwa Grup Lippo juga akan mendirikan taman makam di Jawa Timur. Taman makam milik Grup Lippo ini merupakan ekspansi dari taman makam San Diego Hills
yang mereka dirikan di
Karawang, Jawa Barat pada 2007 yang menjadi pioner bisnis taman makam modern dan berskala luas di Indonesia.1 Perluasan taman makam tersebut sebagai jawaban untuk memenuhi permintaan tempat pemakaman yang nyaman dan memadai bagi masyarakat.
Disebut modern, lantaran taman-taman makam itu tidak sekedar menyediakan lahan semata. Ada perhitungan-per-hitungan tertentu dari sisi lanskap (termasuk feng-shui) sehingga taman makam terlihat tidak seperti Tempat Pemakaman Umum (TPU) tradisional, namun benar-benar taman (park), hanya saja di dalamnya ada kuburan-kuburan. Pembeli taman makam dapat memesan lahan (kavling) dalam luasan yang berbeda, tidak dibatasi hanya satu ukuran. Di Asri Abadi, misalnya, lahan terkecil yang ditawarkan adalah seluas 4 x 6 meter, sedangkan yang terluas seukuran 500 meter persegi. Sudah tentu, harga lahan di taman makam tidak dapat dibandingkan dengan harga lahan
1
Surya, 29 Februari 2012. Hlm.12.
35 di TPU yang spiritnya lebih
sebagai fasilitas sosial.
Pada umumnya, TPU-TPU milik pemda atau desa sudah membatasi peruntukan lahan yang tersedia untuk kuburan. Misalnya, satu kavling ukuran 1 x 2 meter adalah untuk satu jenazah. Pembelian lebih dari satu kavling memang dimungkinkan namun hanya untuk beberapa orang yang masih satu keluarga. Hal ini disebabkan karena makin terbatasnya lahan di TPU-TPU di Surabaya. Berdasarkan data yang ada, dari 13 TPU yang dikelola Pemkot Surabaya, 11 diantaranya sudah penuh. Kalaupun masih ada jenazah baru yang dimakamkan disitu, pola pemakamannya adalah penumpukan atau tum-pangan. Maksudnya, jenazah baru dikuburkan di liang sama yang sudah ditempati oleh jenazah lama yang berusia setidaknya tiga tahun. Itu pun
tidak sembarang jenazah
diizinkan ditumpuk.
Gambaran itulah yang dianggap sebagai pembatasan oleh para konsumen yang menginginkan kavling lebih luas kendati hanya untuk lahan
makam bagi satu orang.
Misalnya, kavling seluas 30 meter persegi, karena ahli waris ingin membuat makam yang bagus dengan taman-taman atau pancuran air di sekelilingnya. Kebutuhan-kebutuhan seperti itulah yang disambut oleh pengembang lahan pemakaman modern.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar bela-kang di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana perubahan alih fungsi lahan menjadi tanah makam modern ?
2. Apa yang menjadi faktor penyebab munculnya bisnis lahan makam modern?
3. Bagaimana ketimpangan pola penguasaan tanah yang ada di masyarakat ?
II. PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Alih Fungsi Lahan Menjadi Tanah Makam Modern
Sebagaimana dikemukaan oleh Tjondronegoro2, tanah yang
2
Tjondronegoro, MPS. Gejala
36
menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk
bercocok tanam. Namun
demikian, keberpihakan peme-rintah cenderung kepada kelom-pok tertentu, misalnya para pemilik modal dalam hal penguasaan dan pemanfaatan lahan, mendorong terjadinya pengalihfungsian lahan produktif menjadi sektor-sektor non pertanian. Hal ini menyebabkan kepemilikan aset masyarakat petani pada khususnya semakin berkurang dan hal tersebut dapat
menjadi potensi konflik
pertanahan.
Bab Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No.16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah menjelaskan bahwa pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Namun, perkembangan kota-kota dewasa ini, selalu ditandai dengan proses restruktur internal, baik secara sosio ekonomi maupun fisik. Secara fisik, proses restrukturisasi ditandai dengan perubahan penggunaan tanah, Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2000, Hlm.10.
baik di kota inti maupun di pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan peng-gunaan tanah yang sangat intensif dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan bisnis, per-kantoran, perhotelan dan sebagainya. Di lain pihak, di kawasan pinggir kota terjadi alih fungsi (konversi) penggunaan tanah secara besar-besaran dari tanah pertanian subur ke kawasan
industri dan permukiman
berskala besar (kota-kota baru). Barlowe dalam Afianto3, membagi pemanfaatan lahan ke dalam beberapa bagian yaitu: 1. Pemukiman dan industri,
meliputi sebagian besar peng-gunaan lahan di perkotaan, tetapi hanya sebagian kecil
dari penggunaan lahan
seluruhnya;
2. Pertanian, meliputi areal tanaman pertanian, yaitu pangan dan perkebunan yang merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya;
3
Afianto, ED. 2002,
Perubahan Struktur Agraria Di Pedesaan. Bogor: Fakultas Pertanian,
37
3. Padang rumput dan
gembalaan, meliputi peng-gunaan lahan untuk peter-nakan termasuk komplek peternakan (range);
4. Perhutanan, meliputi
peng-gunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan belukar. Klasifikasi ini berde-katan dengan peng-gunaan lahan untuk pertanian;
5. Lain-lain, meliputi peng-gunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya, pertam-bangan, pembuangan sampah dan lain-lain.
Pada masa sekarang ini kebutuhan manusia akan tanah makin terasa sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan ke-giatan sektor ekonomi yang semakin pesat, sedangkan tanah hampir tidak pernah mengalami perubahan atau relatif tetap. Sebagai akibat dari hubungan yang tidak seimbang antara pertumbuhan penduduk yang semakin besar dengan jumlah tanah yang relatif tetap tidak bertambah telah menimbulkan pada fungsi tanah menjadi barang komoditas ekonomi, yakni tanah dianggap sebagai objek investasi semata-mata dengan tujuan
memanfaatkan atau
meng-amankan modal.
Hal tersebut tentu saja hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang yang berstatus ekonomi kuat sementara mereka yang berasal dari strata/kelas bawah tidak memiliki akses memadai untuk memiliki tanah. Akibatnya, pemilikan dan pengu-asaan tanah terkonsentrasi pada segelintir orang dan mem-buat rakyat kecil semakin terdesak. Banyak lahan-lahan pertanian yang dimiliki oleh orang-orang kota berubah fungsi menjadi lahan non pertanian. Salah satunya adalah maraknya kepe-milikan tanah makam modern.
Meskipun pasarnya tidak sebesar di Jakarta, bisnis pe-nyediaan lahan makam (funeral
estate atau memorial park)
mewah dan modern dinilai prospektif di Jawa Timur. Hal itu disebabkan sangat terbatasnya lahan di tempat pemakaman umum (TPU) tradisional di Jawa Timur, sehingga membuat TPU kini tampak padat dan semrawut sehingga kurang diminati kalang-an kelas atas ykalang-ang menghendaki kenyamanan untuk tempat pengu-buran sanak-keluarganya,
ter-38
masuk kenyamanan ketika
mereka berziarah. Usaha penye-diaan lahan makam mewah di Jawa Timur (khususnya Surabaya dan sekitarnya) kini makin semarak dengan rencana Grup Lippo untuk membuat lahan makam modern seluas 300 hektar. Memorial park itu akan menjadi perluasan bisnis dari usaha serupa yang sudah sukses digarap Lippo di Jakarta, yakni taman makam San Diego Hills.
Alih fungsi tanah pro-duktif dan non propro-duktif untuk kepentingan kepemilikan tanah makam modern sudah mulai muncul pada tahun 2003. Pada Juli 2003, PT Alam Hijau Lestari mengubah lahan tidak produktif seluas 35 hektar di kawasan Karawang Barat menjadi taman pemakaman elit. Lahan dengan daya tampung mencapai 10 ribu unit makam tersebut kemudian diberi nama Lestari Memorial Park atau Taman Kenangan Lestari. Kemudian, menjelang akhir tahun 2003, tak seberapa jauh dari lokasi Taman Kenangan Lestari, PT Permata Bumi
Kencana mulai membangun
taman pemakaman sejenis, dengan nama Taman Memorial
Graha Sentosa dengan luas 200 hektar, di Kampung Kaligandu, Teluk Jambe, Karawang4.
Sebelumnya, taman makam
modern juga berdiri di Sukorejo, Pasuruan, yakni Puncak Nirwana Memorial Park (PNMK) pada Juli 2011, serta taman makam
Asri Abadi di Lawang,
Kabupaten Malang, yang
diresmikan pada November 2008, juga ada yang lebih dulu, yakni taman makam Sentong Baru.
Tahun 2007, munculah
pemain baru yaitu Grup Lippo
dengan taman makam modernnya San Diego Hills dengan luas 500 hektar, kemudian pada Juli 2011 diresmikan Puncak Nirwana Memorial Park seluas 60 hektar di Sukerejo, Pasuruan. Perlu diketahui bahwa penghuni
pertama Puncak Nirwana
Memorial Park adalah salah satu pendiri perusahaan PT HM Sampoerna Tbk, yaitu Boedi Sampoerna atau Liem Seng Thee. Tak ketinggalan di Semarang, beroperasi juga Mount Carmel dengan luas 100 hektar yang merupakan taman pemakaman modern pertama dan terbesar di
4
Berita Bisnis, 8 Desember 2011. Hlm.14.
39 Jawa Tengah yang dikembangkan
oleh PT Pagoda Karya Abadi. Sementara itu, PT Ungaran Sumber Berkat Jaya mengem-bangkan Heaven Hill Memorial Park seluas 10 hektar di Kawengen, Ungaran Timur.5
2.2 Faktor Penyebab Munculnya Bisnis Lahan Makam Modern
Peningkatan jumlah pen-duduk yang diikuti oleh gen-carnya pembangunan fisik di perkotaan, membuat konsumsi lahan terus bertambah. Dan, lahan untuk orang yang masih hidup makin hari makin men-desak lahan untuk orang mati. Oleh karena itu, lahan makam kini menjadi ‘barang’ langka, yang kemudian menciptakan peluang bagi kemunculan usaha
penyediaan lahan makam
(funeral estate atau memorial
park). Terutama bagi kalangan
menengah-atas, yang mengingin-kan lahan makam nyaman dan memadai di tengah kondisi tempat pemakaman umum (TPU) milik Pemda yang sudah sangat padat, angker, suram dan seram serta terkesan semrawut.
5
Ibid. Hlm.15.
Sekarang ini, berbisnis lahan makam bukanlah hal tabu. Bisnis lahan makam bukanlah komersialisasi kematian. Usaha itu muncul karena memang ada permintaan. Terjaminnya kebu-tuhan keluarga dari awal sampai akhir hidupnya, adalah keinginan setiap manusia. Namun ada kalanya tidak sesuai dengan ke-nyataan. Pada saat berduka kepa-nikan sering terjadi, sehingga hal-hal yang penting seperti menen-tukan tempat pemakaman missal-nya, tidak dapat diputuskan dengan baik karena terburu oleh waktu.
Ada beberapa alasan mengapa seseorang membeli lahan pekuburan sekarang, se-belum “kepanikan” itu datang.
Pertama, sebagai upaya
meng-hindari kepanikan pada saat berduka, untuk memutuskan yang terbaik. Dengan perencanaan yang matang, dalam hal ini “kebutuhan” terakhir dalam hidup, dapat terjamin. Kedua, investasi di bidang areal lahan pemakaman atau pekuburan, tidak akan rugi, karena dileng-kapi dengan “sertifikat kepe-milikan”. Sertifikat ini dapat diper-jualbelikan, dan harganya
40
dari tahun ke tahun tidak turun, malah cenderung naik sehingga ideal untuk investasi. Ketiga, karena area pemakaman yang semakin terbatas, banyak ke-luarga tidak dapat disemayamkan bersama. Oleh karena itu, mem-beli lahan dengan diprogram lebih dahulu, dapat menjawab kebutuhan itu. Keempat, adanya tradisi masyarakat Tionghoa yang percaya bahwa memiliki lokasi makam lebih dini, justru malah dapat memperpanjang umur dan menambah kemakmuran.
Banyak pelaku bisnis yang mulai menyadari bahwa pemakaman merupakan sebuah peluang bisnis yang juga meng-gairahkan. Tidak sedikit keun-tungan yang dapat diperoleh dari usaha kepemilikan lahan pema-kaman modern. Apalagi, jika tanah yang menjadi lahan pemakaman sudah dikuasai ber-tahun-tahun sebelumnya. Pastilah
margin keuntungannya
melam-bung tinggi, jauh melebihi dari yang diperkirakan semula. Hal itu dapat dibenarkan, karena ketika proses pembebasan lahan di-lakukan, kuat dugaan, harganya sangat murah. Namun pada saat
dijual, sudah pasti dikemas dalam paket yang "telah disesuaikan". Dalam hal ini, Rudiansyah, Wakil Ketua Regional di DPP REI Jawa Timur, menjelaskan lebih jauh. Menurut Rudi, meskipun rata-rata harga lahan di tempat pema-kaman modern itu lebih mahal daripada harga lahan di perumahan pada umumnya, namun calon pembelinya tidak surut. Hal itu disebabkan,
terutama bagi kalangan
Tionghoa, jika suatu lahan pema-kaman sudah diwasiatkan oleh anggota keluarga yang meninggal (misalnya orang tua), berbiaya mahal pun pantang untuk ditawar atau dihindari. Hal itu semacam kepercayaan saja. Namun demi-kian, sebetulnya ada alasan yang lebih logis. Pada umumnya, TPU-TPU milik pemda atau desa sudah membatasi peruntukan lahan yang tersedia untuk kuburan. Misalnya, satu kavling ukuran 1 x 2 meter adalah untuk satu jenazah. Pembelian lebih dari satu kavling memang memung-kinkan namun hanya untuk beberapa orang yang masih satu keluarga.
Batasan seperti itu di-anggap sebagai penghalang oleh
41 para konsumen yang
meng-inginkan kavling lebih luas kendati hanya untuk lahan
makam bagi satu orang.
Misalnya, kavling seluas 30 meter persegi, karena ahli waris ingin membuat makam yang bagus dengan taman-taman atau pancuran air di sekelilingnya. Kebutuhan-kebutuhan seperti inilah yang disambut oleh para pengembang lahan pemakaman
modern. Di taman makam
Sentong Baru, misalnya, ada satu kavling makam hingga seluas 500 m2. Jika harga rata-rata lahan di sana Rp 700.000/m2,
untuk lahan saja sudah
dihabiskan Rp 350 juta. Di Puncak Nirwana Memorial Park, juga demikian. Tersedia kavling-kavling besar seperti tipe The Grand berukuran 600 m2, tipe Royal 400 m2 dan tipe Family 200 m2.
Konsep yang ditawarkan oleh pelaku bisnis pemakaman adalah one stop service. Selain
menghadirkan pemakaman
(Burial), juga menyediakan jasa kremasi (Krematorium) dan tempat penitipan abu jenazah (Columbarium). Untuk urusan
marketing, mereka
mengem-bangkan tiga channel, yaitu
agency, direct selling serta kerja
sama dengan rumah duka. Ketiga bagian pemasaran itu dibekali dua cara penjualan: At Need dan
Pre Need. Sistem At Need sering
secara populer disebut dengan on
the spot, yang mengarah kepada
kondisi ketika keluarga orang yang sudah wafat sedang mencari
tempat pemakaman untuk
memakamkan jenazah dalam waktu segera. Sistem Pre Need adalah seseorang yang ingin membeli tanah makam (kavling) jika ia atau keluarganya meninggal suatu hari nanti. Sebagai contoh, dengan jurus
marketing seperti itu, dalam
rentang waktu 8 tahun sejak pertama kali dibuka, PT. Alam Hijau Lestari dengan taman makam modernnya yang bernama Taman Kenangan Lestari, yang
memiliki Sertifikat ISO
9001:2000 (Penerapan Sistem Manajemen Mutu) sudah dapat menjual 60 persen lebih dari 11 zona tanah pemakaman yang dikembangkan. Adapun kavling yang terjual mencakup berbagai ukuran dengan paket-paket seperti Single Lot, Double Lot,
42
Double Lot. Termasuk paket Family Lot, Super Family Lot,
dan Royal Family Lot.
2.3 Ketimpangan Pola Penguasaan Tanah
Untuk melihat ketim-pangan pola penguasaan tanah ada baiknya kalau kita mem-baginya dalam beberapa masa.
A. Penguasaan Tanah Masa Tradisional
Landasan pikir awal untuk memahami pola pengu-asaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah yang kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham6 yakni menurut tradisi
6
Ong Hok Ham. 1984
“Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah”. Dalam Sediono M.P.Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua
Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia., Hlm43.
mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti secara teoritis ialah yang berkuasa atasnya. Dalam penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional, yakni tanah narawita dan tanah lungguh/ bengkok/apanage7. Berkaitan dengan adanya tanah lungguh, ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seseorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaan-nya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bêkêl sebagai pengelola tanah lungguh. Bêkêl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional.
Di dalam perkembangan-nya, bêkêl kemudian berkembang menjadi penguasa tunggal di suatu desa. Dialah yang bertindak sebagai penghubung antara
7
Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan
Penguasa: Sejarah Pemilikan dan
PenguasaanTanah di Pedesaan Jawa.. Semarang: Unnes Press. Hlm.32.
43 masyarakat petani dan penguasa.
Dalam pelaksanaan tugasnya, bêkêl bertindak pula sebagai kepala desa atau kepala dukuh yang bertanggung jawab dalam bidang ketertiban dan keamanan desa. Sebagai pemimpin masya-rakat desa mereka dibantu oleh tua-tua desa, mancapat-manca-lima, serta mancakaki desa. Bêkêl berhak mendapat 1/5 (seperlima) bagian dari hasil sawah, sementara itu 2/5 untuk raja dan 2/5 untuk patuh. Seperlima bagian inilah yang
menurut Suroyo (2000)
berkembang menjadi tanah
bengkok.8
Selain terdapat struktur patuh dan bêkêl, di kalangan petani muncul pula penggo-longan-penggolongan berkaitan
dengan sistem apanage.
Golongan pertama disebut sikêp
atau kuli
kenceng. Kulikenceng merupaka n orang-orang pertama yang memiliki hak untuk mengerjakan hak atas tanah yang ditempati bangunan rumahnya. Para petani ini memiliki hak penuh sebagai penduduk desa, dan sebagai konsekuensinya mereka harus
8
Ibid. Hlm.32.
melakukan tugas-tugas yang berat. Selain itu, ada pula yang disebut dengan numpang atau bujang. Para numpang inilah yang nantinya menggarap tanah desa atau tanah persekutuan (tanah lanyah).
Apabila ditinjau dari perspektif petani ada beberapa
penguasaan tanah. Tanah
tersebut adalah tanah pusaka yakni tanah yang digarap secara turun temurun, dan tanah yasa yakni tanah baru yang dibuka oleh sikêp. Tanah yasa inilah yang kemudian berkembang menjadi tanah milik perorangan. Selain itu, ada tanah ketiga yaitu tanah lanyah atau tanah desa, yakni tanah yang dikelola secara komunal.
B. Penguasaan Tanah Masa Kolonial
Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuknya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari berkembangnya Verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC),
Pemerintahan Rafless, tanam
paksa, sampai keluarnya
Agrarische Wet pada 1870
44
pola penguasaan tanah pertanian. Penguasaan tanah oleh raja mulai bergeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan penguasaan pribadi. Awal mula terjadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai berkembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan meng-alami pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC. Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara,
Negara Agung , dan
Mancanegara saja.9
Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Indonesia, yakni dengan berdirinya peme-rintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria peme-rintahan Belanda mulai berubah semenjak Deandels berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-per-ubahan administrasi pertanahan
9
Ibid Hlm.19.
untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk
memecah-kan kesulitan keuangan
pemerintah.
Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia (1811-1816) di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi per-ubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama Land Rent
System (Sistem Sewa Tanah). Ide
perubahan ini banyak
dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel
hu-bungan tanah feodal
sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC. Pada masa pemerintahan Inggris daerah kekuasaan kerajaan di Jawa mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Kedu yang pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris melalui perjanjian dengan Hamengku Buwono II yang kalah dalam pertempuran.10 Daerah
10
Suroyo, A.M. Djulianti.
45
Kedu berkembang menjadi
kawasan eksploitasi kolonial.
Pada tahun 1830 mulai
diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hukum dari keduanya.
Pada masa ini negara
mendominasi dua faktor
produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa eksploitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik negara.11
Pengaruh tanam paksa memberikan perubahan dalam pola penguasaan tanah. Berda-sarkan survei yang dilakukan pada tahun 1868-1869 yang dibukukan dalam Eindresumé (resume akhir) yang disunting
oleh W.B. Bergsma, ada
beberapa pola penguasaan tanah
pertanian di kalangan
masyarakat, yakni milik
Wajib Di Karesidenan Kedu 1800-1890
. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. 2000. Hlm.46
11 Warsino,.Op cit. Hlm.45.
perorangan turun-temurun
(erfelijk individueel bezit), milik komunal (gemeen bezit), dan tanah bengkok untuk pamong desa (ambtsvelden).12
Sistem tanam paksa mulai dihentikan pada tahun 1870. Setelah tahun ini sistem liberal mulai berkembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme nampak dengan dikeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang ini memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. Disini dimungkinkan untuk memiliki hak mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakan
12
Kano, Hiroyoshi. 1984.
Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa PadaAbad XIX”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.).1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke
Masa . Jakata: Yayasan Obor
46
ke pihak lain. Akan tetapi, kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing.
Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan tentang penguasaan tanah di
Jawa. Pada tahun 1885
dikeluarkan Staatsblad (Lem-baran Negara) No. 102 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Pada tahun 1930, dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17 Oktober 1930. Dalam ketentuan ini, pemerintah mengakui hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya mem-peroleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Pada masa ini ribuan konflik pertanahan terjadi tiap tahun atas pemanfaatan hasil hutan, antara masyarakat yang merasa berhak
dengan pemerintah yang
menganggap sebagai hutan negara.
C. Penguasaan Tanah Masa Kemerdekaan
Setelah proklamasi ke-merdekaan, pola penguasaan tanah kembali mengalami per-ubahan. Landasan hukum awal tentang tanah seperti tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menjelaskan bahwa seluruh sumberdaya alam, termasuk tanah, dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemak-muran rakyat. Pelaksanaan
landreform di Jawa telah dimulai
sejak awal kemerdekaan.
Pelaksanaan perubahan penguasaan atas tanah mengalami fase klimaks dengan dikeluar-kannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). UUPA mencakup
prinsip-prinsip dasar: (1) tanah pertanian adalah untuk petani penggarap; (2) hukum utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi adalah khusus untuk warga Negara Indonesia, tetapi warga asing dapat memperoleh hak tambahan untuk menyewa atau memakai tanah dalam jangka waktu dan luas tertentu yang
47 diatur oleh undang-undang; (3)
pemakaian guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam hal penge-cualian lain; (4) petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat.13 Dengan adanya UUPA, dimulai-lah landreform secara formal di Indonesia. Landreform di Indonesia bertujuan untuk mem-perkuat hak atas tanah, yaitu menjadi hak milik, serta meningkatkan taraf hidup petani pada umumnya.14 Berkaitan dengan hal tersebut, dikeluar-kanlah Undang-undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pedoman pelak-sanaannya adalah Inpres No. 3 tahun 1980. Undang-undang ini merupakan pelengkap dari UUPA, namun hampir tidak pernah ada wilayah yang menerapkannya. Selain itu ada pula Undang-Undang Nomor 56 tahun 1960. tentang Penetapan
13
Ibid.Hlm.106
14
Padmo, Soegijanto.. 2000,
Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965 . Yogyakarta:
Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria.Poesponegoro. Hhlm.76.
Luas Tanah Pertanian, atau
dikenal dengan “UU
landreform”. Di dalamnya
dite-tapkan batas minimal dan maksimal luas tanah yang dapat dikuasai perorangan, khusus untuk usaha pertanian. UU No. 56 tahun 1960 merupakan pedoman dalam pelaksanaan
landreform di zaman Orde Lama
sampai tahun 1965, meskipun kurang sukses. Banyak kritik terhadap peraturan ini, misalnya bahwa batas minimal yang 2 ha per keluarga, dianggap tidak realistis untuk di Jawa. Sampai sekarang banyak keluar undang-undang dan peraturan yang berkaitan atas tanah, sebagai pelengkap dari UUPA.
Namun demikian, sekali-pun instrumen pelaksanaan ke-agrariaan telah diatur dalam UUPA, kenyataannya UU ter-sebut tidak menjadi rujukan dan faktor penentu dalam mengatasi berbagai problem agraria dan pertanahan. Ini disebabkan politik hukum yang sering bertentangan dengan makna dan semangat yang terkandung dalam UUPA.
Konsep “kepemilikan”
48
“penguasaan”. “Kepemilikan” menunjuk pada penguasaan formal sedangkan “penguasaan” menunjukkan suatu penguasaan efektif. Dalam Bab Ketentuan
Umum pasal 1 Peraturan
Pemerintah RI Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah, dijelaskan bahwa
penguasaan tanah adalah
hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Salah satu contoh pola penguasaan tanah yang timpang
yang dikemukakan oleh
Tjondronegoro15 adalah pola menyakap. Pola
sakap-menyakap menggambarkan
kondisi masyarakat lapisan atas yang lebih menguasai tanah memeras petani miskin yang tidak mandiri, yang cenderung bergantung pada tuan tanah atau masyarakat lapisan atas. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah petani yang menggan-tungkan hidupnya pada hasil
15
Tjondronegoro, MPS. 2000.
Op.cit. Hlm36.
pertanian dengan tanah merupa-kan faktor produksi utamanya.
Bagi masyarakat agraris, distribusi penguasaan tanah pertanian berkaitan dengan distribusi pendapatan, kekayaan, kesempatan ekonomi dan politik. Siapa yang menguasai tanah, maka dia akan menguasai ekonomi dan politik. Sebagian kecil masyarakat mempunyai tanah luas dan sebagian besar masyarakat mempunyai tanah sempit atau tidak mempunyai sama sekali. Dari petani pemilik tanah menjadi buruh serta merebaknya usaha tani yang berskala gurem, merupakan gambaran yang terjadi sekarang di Indonesia.
III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan
1. Alih fungsi tanah produktif dan nonproduktif untuk kepentingan kepemilikan tanah makam modern sudah mulai muncul pada tahun 2003 sampai sekarang. Seperti contoh pada Juli 2003, PT Alam Hijau Lestari mengubah lahan tidak produktif seluas 35 hektar di kawasan Karawang
49
Barat menjadi taman
pemakaman elit dengan nama Lestari Memorial Park atau Taman Kenangan Lestari. Tahun 2008 Taman makam Asri Abadi di Lawang, Kabupaten Malang, dan Grup Lippo dengan taman makam modernnya San Diego Hills dengan luas 500 hektar, kemudian pada Juli 2011 diresmikan Puncak Nirwana Memorial Park seluas 60 hektar di Sukorejo, Pasuruan. 2. Berbisnis lahan makam
bukanlah hal tabu. Bisnis
lahan makam bukanlah
komersialisasi kematian. Usaha itu muncul karena memang ada permintaan. Para kalangan menengah-atas, menginginkan lahan makam yang nyaman dan memadai di tengah kondisi tempat pema-kaman umum (TPU) milik Pemda yang sudah sangat padat, angker, suram dan
seram serta terkesan
semrawut.
3. Bagi masyarakat agraris, distribusi penguasaan tanah pertanian berkaitan dengan distribusi pendapatan, keka-yaan, kesempatan ekonomi
dan politik. Siapa yang menguasai tanah, maka dia akan menguasai ekonomi dan politik. Sebagian kecil ma-syarakat mempunyai tanah luas tetapi sebagian besar masyarakat mempunyai tanah sempit atau tidak mempunyai sama sekali. Dari petani pemilik tanah menjadi buruh serta merebaknya usaha tani
yang berskala gurem
merupakan gambaran yang terjadi sekarang di Indonesia.
3.2 Saran
1. Hendaknya pemerintah mulai memikirkan langkah untuk mengatasi maraknya alih fungsi lahan terutama lahan pertanian menjadi lahan makam modern dengan cara membatasi lahan-lahan pro-duktif untuk tidak diberikan izin dalam usaha kepemilikan lahan makam modern.
2. Pemerintah harus mulai memperbaiki sistem penge-lolaan tempat pemakaman umum (TPU) yang ada di tiap daerah, terutama daerah yang padat penduduknya.
50
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Afianto, ED. 2002. Perubahan
Struktur Agraria Di Pedesaan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem
Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa PadaAbad XIX”.
Dalam Sediono M.P.
Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi
(Peny.).1984. Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa . Jakata:
Yayasan Obor Indonesia
Ong Hok Ham. 1984.
“Perubahan Sosial di
Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah”.
Dalam Sediono
M.P.Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.).
1984. Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Padmo, Soegijanto. 2000.
Landreform dan Gerakan
Protes Petani Klaten
1959-1965 . Yogyakarta:
Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria.Poesponegoro, Soemardjan, Selo. 1984. Land
Reform di Indonesia.
Dalam Sediono
M.P.Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi
(Peny.). 1984. Dua Abad
PenguasaanTanah: Pola
Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa .Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia Suroyo, A.M. Djulianti. 2000.
Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib Di Karesidenan Kedu 1800-1890 . Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. Tjondronegoro, MPS. 2000. Gejala Konflik Pertanahan Di Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan
Penguasa: Sejarah Pemilikan dan PenguasaanTanah di Pedesaan Jawa..
51
B. Peraturan perundang- undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman. C. Koran Surya, 29 Februari 2012