• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, khususnya Jawa Barat ternak domba dikenal sebagai salah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, khususnya Jawa Barat ternak domba dikenal sebagai salah"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perkembangan Peternakan Domba dam Bioteknologi Peternakan d i Indonesia

1.1. Keadaan d a n Potensi Pengembangan Peternakan Domba d i Indonesia Di Indonesia, khususnya Jawa Barat ternak domba dikenal sebagai salah satu ternak penghasil daging, disamping penghasil bahan baku industri kulit Jan serat (wool). Populasi domba pada tahun 1999 adalah sebanyak 7 502 437 ekor dan sebagian besar tersebar di Jawa Barat (3 464 710 ekor), Jawa Tengah (1 838 214 ekor) dan Jawa Timur (1 355 518 ekor). Kontribusi daging domba terhadap kebutuhan konsurnsi daging national yaitu 1 334 200 ton, hanya sekitar 2,76% (Anonimouq 1999). Dibandingkan dengan produksi daging unggas serta kerbau dan sapi, produksi dan kontribusi daging domba terhadap kebutuhan nasional masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatan populasi ternak domba berikut kontribusi daging domba untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging nasional masih sangat besar. Beberapa keuntungan dari ternak domba dibandingkan sapi dan kerbau adalah mudah beradaptasi, cepat berkembang biak, mudah dipasarkan dan tidak memerlukan modal yang terlalu besar. Di samping itu, berbeda dengan domba dari daerah sub-tropis, domba lokal Indonesia (tennasuk domba ekor gemuk) tidak memiliki aktivitas reproduksi musiman dan pada ternak domba ekor gemuk adalah sifatnya sebagai ternak prolifik (Sutama, 1992).

Namun demikian, kendala yang dihadapi dalam upaya meningkatkan populasi domba adalah sifat pemeliharaan domba di Indonesia umumnya masih

(2)

berpola tradional dan harnpir 97% dipelihara di pedesaan dalam skala kecil secara sarnbilan. Untuk rneningkatkan kontribusi daging domba dalam memenuhi kebutuhan konsumsi daging nasional perlu diupayakan pengembangan peternakan domba dari pola tradional menjadi suatu pola usaha komersiaI. Dan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitasnya adalah rnelalui

penerapan bioteknologi reproduksi.

1.2. Perkembangan Bioteknologi Peternakan

Bioteknologi Peternakan dapat diartikan sebagai produk biologis atau proses biologis untuk menghasilkan suatu produk petemakan dalam skala besar dan berwrak industri yang antara lain rneliputi pemanfaatan proses rekayasa embrio dan garnet serta rekayasa genetika dalam upaya meningkatkan mutu dan jumlah produksi. Dalam ha1 produksi ternak, penarapan teknologi tepat guna di bidang reproduksi telah dilaksanakan sejak 35-40 tahun yang lalu dimulai dengan Inseminasi Buatan (IB). Dengan menggunakan teknik IB seekor pejantan unggul dapat rnengawini Iebih dari tiga ribu betina setiap tahunnya, sedangkan dengan perkawinan alamiah seekor pejantan hanya mampu mengawini sekitar tujuh puluh sapi betina per tahun. Narnun demikian teknik IB hanya mendayagunakan secara optimal sifat-sifat genetik dari seekor pejantan unggul. Sekitar 20-25 tahun yang lalu telah diernbangkan teknologi tepat guna untuk mendayagunakan sifat-sifat genetik tidak saja dari pejantan unggul tetapi juga induk yang unggul. Dengan teknologi transfer embrio (TE) seekor betina unggul dapat menghasilkan lebih dari tiga puluh ekor keturunan dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan

(3)

teknik IB -pun perkawinan alamiah seekor betina unggul hanya menghasilkan seekor keturunan per tahun.

Sejalan dengan perkembangan teknologi TE, berkembang pula teknologi yang melibatkan perekayasaan proses biologis. Perkembangan teknik-teknik lainnya yang terkait dengan TE antara lain adalah produksi embrio in vitro, kloning dan kriopreservasi. Karena embrio merupakan salah satu tahap perkembangan yang banyak dipakai didalam penelitian maupun penerapan teknik transfer embrio serta teknik terkait lainnya, penelitian yang berkait erat dengan proses perkembangan embrio berikut faktor-faktor pembentuknya, yaitu oosit dan sperrna menjadi sangat penting.

2. Pertumbuhan d a n Perkembangan Folikel

Domba memiliki siklus estrus sekitar 14-17 hari, dengan lamanya estrus sekitar dua sampai tiga hari. Pada hari pertama betina menunjukkan gejala berahi merupakan hari ke-0 (HO) dari siklus berahi, sehingga dari satu gejala estrus ke gejala estrus berikutnya dikatakan sebagai satu periode siklus estrus.

Proses pertumbuhan dan perkembangan oosit t e j a d i bersamaan dengan sel-sel gramlosa yang mengelilinginya di dalam suatu folikel, sehingga dikenal dengan proses perkembangan folikel atau folikulogenesis. Serdasarkan keadaan stmktur dan morfologinya, perkembangan folikel dapat dibedakan atas folikel pre- antral dan folikel antral. Folikel pre-antral merupakan folikel sebelum terbentuknya rongga, sedangkan folikel antral merupakan folikel yang telah memiliki rongga. Folikel pre-antral berasal dari folikel primordial, yaitu foliiel yang mengandung oosit yang diselubungi oleh selapis set-sel somatis berbentuk

(4)

pipih (sebagai prelcursor dari sel-sel lcumulus atau sel-sel granulosa). Folikel primordial akan mengalami pertumbuhan dan pematangan menjadi folikel preantral (folikel primer dan sekunder), antral, dan ovulatori atau mengalami atretik (Findlay et al., 1996). Pada folikel primer dan sekunder, sel-sel pipih telah merubah menjadi sel-sel yang berbentuk kuboid masing-masing terdiri dari satu dan lebih dari dua lapis sel. Pada folikel tertier mulai tarnpak adanya pertumbuhan intrum (rongga) dan mencapai diameter dua milimeter pada saat mencapai folikel antral. Pada tahap ini pertumbuhan folikel berjalan sangat lambat dan sangat berkait erat dengan proliferasi dari sel-sel granulosa. Pertumbuhan folikel antral selanjutnya adalah ditandai dengan terjadinya pembesaran antrum, dan pada tahap ini pertumbuhan sangat tergantung kepada suplai gonadotropin (Momiaux ef al.,

1996).

Pertumbuhan dan perkembangan folikel ovulatori terdiri dari atas beberapa tahap yaitu rekruitmen, seleksi dan ovulasi. Tahap rekruitmen terjadi pada saat corpus luteurn (CL) mengalami regresi dan pertumbuhan folikel telah menjadi sangat tergantung pada gonadotropin. Pada masa tersebut dua sampai lima folikel berdiameter lebih dari dua milimeter akan direkruit, namun memasuki tahap seleksi hanya satu atau lebih folikel (yaitu folikel yang berdiameter di atas empat milimeter) yang &an tetap tumbuh (tergantung species) menjadi folikel dominan (yang berdiameter enam sampai delapan milimeter), sedangkan folikel lainnya yang berdiameter kurang dari empat milimeter akan mengalami atresia atau regresi.

Kriteria untuk menentukan folikel ovulatori adalah (a) ukuran folikel, (b) kemampuan sel teka dan lapisan sel granulosa untuk mengikat LH (kehadiian

(5)

reseptor

LH)

serta jumlah estradiol yang dihasilkan dan ( c ) perubahan yang berhubungan dengan populasi folikel kecil subordinat (Driancourt, 199 1).

Pada domba dalam satu periode siklus estrus terdapat sekitar dua sampai tiga gelombang pertumbuhan folikel. Dengan demikian, proses rekruitmen dan seleksi folikel dorninan tidak terbatas hanya pa& awal masa fase folikuler, namun juga pada fase luteal. Gelombang pertama terjadi pada fase folikuler, dari hari ke- 12 sampai hari ke-0, biasanya &an merekruit dua folikel besar yang akan tumbuh secara cepat sampai hari ke 15, setelah terjadi luteolisis pada hari ke-14. Folikel yang berdiameter besar atau folikel pre-ovulatori (berdiameter enam sampai delapan rnilimeter dengan jumlah sel granutosa sekitar 3 x lo6), terlihat pada awal estrus, dan diikuti dengan atresia dari folikel yang berdiameter medium yaitu dua sampai empat milimeter.

Gelombang kedua terjadi pada fase luteal, dari hari pertama sampai hari ke-12, puncaknya pada folikel tertier yaitu pada hari ke-tujuh dan rnenjadi atretik pada hari ke-sembilan. Pada fase f o l i i l e r kehadiran folikel yang berdiameter besar akan diakhiri dengan proses ovulasi, sedangkan pada fase luteal kehadiuan folikel berdiameter besar akan bertahan sampai mendekati fase folikuler, kemudian mengalami atresia. Namun demikian, kehadiran dari folikel berdiameter kurang dari dua milimeter terjadi secara konstan sepanjang siklus estrus. Pada dornba semua folikel sehat yang berdiameter kurang dari dua milimeter rnemiliki kesempatan untuk owlasi pada saat CL mengalami regresi (Driancourt, 1991).

Pada sapi tejadinya gelombang pestumbuhan folikuler diawali dengan peningkatan konsentrasi FSH plasma Konsentrasi FSH akan menurun b e m a a n

(6)

dengan disekresikannya inhibin dan estradiol oleh folikel dominan yang berhubungan dengan regresi cepat dari folikel-folikel non dominan (Kaneko el al.,

1996). Pada fhse folikuler, terjadi pengeluaran LH yang tajam yang berhubungan dengan peningkatan yang tajam dari reseptor LH pada sel-sel granulosa dari folikel dominan, dan merangsang perkembangan akhir mencapai tahap pre- ovulatori.

Sebaliknya, pada fase luteal, fiekuensi pulsa LH yang rendah tidak dapat memelihara pematangan akhir dari folikel dominan, yang kemudian regresi dan sekresi estradiol serta inhibin menurun, sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan konsentrasi FSH dan dimuiainya gelombang folikular baru (Taya et al., 1996). Corpus luteum memberikan pengaruh lokal terhadap perkembangan folikel, yaitu pada fase luteal terdapat lebih banyak folikel yang berdiameter lebih dari empat rnilimeter pada ovarium yang mengadung CL dibanding ovarium pasangannya.

Pada domba semua folikel berdiameter lebih dari dua rnilimeter (foiikel sehat) memiliki kesempatan untuk ovulasi pada saat CL mengalami regresi. Persentase folikel yang sensitif terhadap LH sangat tinggi (di atas 80%) pada ovarium tanpa melihat fisiologis ovarium, yang menunjukkan bahwa gelombang pertumbuhan folikel pada domba berlangsung secara kontinyu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap LH dari folikel luteal tidak menunjukkan perbedaan dengan pada folikel ovulatori, kecuali terhadap konsentrasi estradiol yang dihasilkan. Konsentrasi estradiol pada folikel fase luted sangat tertekan. Setelah terjadi pelepasan FSH (pada HO) akan diikuti dengan peningkatan FSH pada H1 dan H2. Peningkatan FSH seringkali terjadi

(7)

baik pada fase folikuler maupun fase luteal setiap dua jam walaupun tanpa ritmik yang tetap. Sebaliknya peningkatan LH terjadi setiap dua setengah jam pada fase luteat, dan terus meningkat setiap satu jam pada h e folikuler. Puncak pelepasan estradiol tejadi pada saat level LH dan FSH tinggi.

3. Keadaan Morfologi dan Fungsi Biologis Oosit

Oosit mamalia merupakan sel tunggal dan dibandingkan dengan sel tubuh lainnya, &ran oosit relatif sangat besar (120 pm) serta memiliki karakteristik morfologik dan fingsional yang unik. Keadaan ukuran, serta struktur dan morfologi sangat berkait erat dengan fungsi biologis oosit, sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Oosit memiliki fingsi biologis utama yaitu (1) sebagai pembawa unsur genetis dari maternal melalui proses penggabungan dua unsur genetis yang berasal dari paternal dan maternal, yang dikenal dengan proses fertilisasi; serta (2) sebagai tempat atau media yang memungkinkan sigot yang dihasilkan melalui proses fertilisasi untuk menjalani proses perkembangan embrio.

U& itu oosit hams merniliki kapasitas untuk mendukung proses fertilisasi dam perkembangan embrio (Bevers et al., 1997). Oosit akan memiliki kapasitas tersebut setelah menjalani proses pertumbuhan serta pematangan baik inti maupun sitoplasma sehingga oosit tersebut memiliki keadaan inti yang haploid serta kandungan sitoplasma yang siap mendukung proses fertilisasi dan perkembangan embrio. Selarna menjalani proses pertumbuhan keadaan morfologi oosit secanr terus menerus mengalami perubahan, yaitu peningkatan ukuran

(8)

diameter, aktivitas transkripsi dan kandungan sitoplasma, serta perpindahan inti dari pusat ke tepi.

Pada folikel primordial dan primer, komunikasi antara oosit dengan sel-sel granulosa diperantarai melalui jalur endositotik yang ditandai dengan banyaknya vesikel serta celah-celah pada oosit. Dan setelah pertumbuhan memasuki folikel sekunder jalur komunikasi mengalami perubahan yaitu berlangsung melalui gap junction (hubungan berupa celah) yang terbentuk diantara oosit dan sel-sel

granulosa (Hyttel ef ai., 1997).

Berdasarkan tahap perkembangannya, inti oosit dapat dibedakan atas tahap Germinal Vesicle (GV), Germinal Vesicle Break Down (GVBD), Metafase-I (Mt- I) dan Metake-I1 (Mt-11). Oosit pada folikel primordial dan primer berukuran sekitar 30-50 prn dengan inti berada pada tahap germinal vesicle. Dengan berlangsungnya proses perkembangan oosit, inti yang semula berada pada tahap GV dan kromosom dalam keadaan istirahat (tahap profase dari pembelahan meiosis I), berturut-turut akan mengalami perubahan dimulai dengan pecahnya membran inti atau germinal vesicle break down, kemudian mencapai Mt-I dan dilanjutkan ke Mt-I1 yang siap untuk difertilisasi oleh sperma. Pada saat tersebut ukuran oosit telah mencapai 120 pm.

Pada pematangan sitoplasma te qadi perubahan molekuler dan struktural yaitu tejadinya peningkatan yang pesat terhadap jumlah maupun ukuran organel seperti ribosom, butir-butir lernak, badan golgi dan mitokondria serta butir-butir korteks, sehingga oosit memiliki kapasitas untuk mendukung fertilisasi dan perkembangan embrio (Bevers et al., 1997). Disarnping itu butir-butir korteks

(9)

yang semula berada di bagian dalam ooplasrna kemudian menyusun diri di bagian perifer di bawah membran plasma. Pembahan kandungan sitoplasma mulai tampak pada folikel sekunder dan meningkat pada folikel tertier.

Pada sapi ukuran serta keadaan struktur dan morfologi dari oosit matang (Mt-II) adalab diameter zona pelucida sekitar 110-120 ~ u n , granulasi ooplasma homogen clan diielilingi oleh sel-sel kumulus yang fonggar. Dengan mikroskop cahaya fase kontras dapat dilihat bahwa inti yang berada pada metafase-I1 mengandung aparatus kumparan anastral di perifer, dengan mikrotubulin yang memanjang dari masing-masing kutub ke kinetokhors kromosom bivalen. Sedangkan dengan mikroskop elektron transmisi tampak bahwa butir-butir korteks berada tepat di bawah membran plasma dimana mereka akan dipacu untuk menjalani eksositosis pada waktu proses fertilisasi. Keluarnya kandungan butir- butir korteks mengakibatkan perubahan pada zona pelucida (reaksi butit-butir korteks), rnenciptakan hambatan terhadap polisperma. Membran plasma oosit mamalia ditutupi oleh sejumlah mikrovili yang mengandung filament aktin inti (core). Komposisi biokimia dari membran lapis ganda (bilayer) pada oosit mamalia belum banyak diketahui, namun amat mudah mengalami destabilisasi. Susunan dari mikrofilamen yang mengandung aktim ditemukan di dalam perinuklear dan korteks sitoplasma yang terlibat didalam distribusi organel pada masa pematangan oosit, deformasi pemukaan yang berhubungan dengan pengelurnan badan kutub (polm boby) (Hyttel et al., 1997).

Baik mikrotubulin maupun mikrofilamen merupakan bagian dari skeleton sel yang berperanan di dalam pergerakan kromosom pada proses mitosis dan

(10)

meiosis, fertilisasi, serta kompaksi (compaction) dan kavitasi embrio pada proses pembentukan biastosis (Kim ei al., 1993). Skeleton sel bersifat dinamis dan mengalami perubahan susunan pada masa pembelahan sel. Pada masa pertumbuhan dan pembelahan sel, mikrotubulus akan mengalami perubahan dan pada saat metafase mikrotubulin tampak sebagai kumparan meiotik yang memegang kromosom di ekuator.

4. Potensi Koleksi Oosit d a n Produksi Embrio Secara In M t r o

Penggunaan teknik in vitro sudah menjadi suatu prosedur yang rutin di banyak laboratorium baik untuk tujuan penelitian maupun untuk memproduksi embrio skala besar yang berkaitan dengan peningkatan kuantitas dan kualitas ternak (Gordon dan Lu, 1990). Koleksi oosit maupun produksi embrio secara in vitro erat kaitan dengan teknologi transfer embrio. Keuntungan lain dari sistern in vitro, adalah untuk mempelajari perkembangan embrio, mengetahui penyebab kematian embrio, sintesa protein pada perkembangan transisi antara maternal- embrionik, transfer inti dan produksi hewan transgenik (Wilmut et al., 2000).

Telcnologi produksi embrio secara in vitro (in vitro produced; IVP) merupakan serangkaian sistem kultur in vitro yang meliputi maturasi in vitro (in vifro maturation; IVM), fertilisasi in vitro (in vitro fertilization; IVF) dan kultur embrio in vitro sampai tahap morula atau blastosis (in vitro culture; IVC). Sarnpai saat ini metode-metode tersebut telah dipergunakan secara ekstensif pada beberapa hewan ternak antara lain sapi (Schellander et al., 1990; Utsumi et al.. 1991; Bavister et al., 1992; Lonergan et al., 1992; Boediono et al., 1995; Djuwita et al., 1998), domba (Slavik et al.. 1992, Walker et al., 1992; Djuwita e f al., 1998;

(11)

Czlonkowska ef al., 1999; Wani ef al., 1999; Rusyiyantono et al., 2000) dan kambing Q3oediono et al., 2000).

4.1. Maturasi In Viiro (IVM)

Maturasi (pematangan) oosit yang meliputi pematangan inti dan sitoplasma merupakan suatu tahapan yang sangat penting didalam mendukung keberhasilan Fertilisasi serta perkembangan embrio selanjutnya (Bevers et af., 1997; Hyttel, et al., 1997). Perubahan yang berhubungan dengan proses pematangan akhir in vivo dapat ditiru secara in vifro di dalam medium kultur. Hal ini telah dibuktikan melalui beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa oosit mamalia setelah dilepaskan dari folikel ovari dapat melanjutkan proses pematangan inti secara spontan di dalam medium kultur in vifro (Edwards, 1 9 6 5 ) dan fertilisasi in vifro (Iritani dan Niwa, 1977). Namun demikian perkembangan embrio hasil pematangan dan fertilisasi in vifro menunjukkan tingkat yang lebih rendah dibandingan hasiI pematangan in vivo (Leibfried-Rutledge et at., 1987). Salah satu penyebab kegagalan fertilisasi adalah oosit yang diperoleh berasal dari populasi folikel yang kondisinya heterogen, disamping pematangan sitoplasma yang tidak sempurna atau oosit telah mengalami aging (penuaan) (Pevlok et al.,

1988, Hyttel et al., 1997).

Pemataugan oosit in viiro dimaksudkan agar oosit primer dapat berkembang menjadi oosit sekunder yang a k a melakukan proses pembelahan meiosis dengan normal dan sempurna sehingga dihasilkan oosit yang siap dibuahi oleh spermatozoa dan akhimya mampu berkembang menjadi embrio yang berkualitas.

(12)

Oosit dapat diperoleh dari hewan hidup ataupun ovaria dari rumah potong hewan. Oosit yang dipergunakan diperoleh dari ovaria hewan betina tanpa memperhatikan fase siMus berahinya (Djuwita et a / . , 1995; Wani et ai., 1999). Oosit diambil langsung dari foiikel yang berukuran dua sarnpai fima milimeter dan disimpan di dalam medium yang s e d untuk kemudian dirangsang proses pematangannya.

Di luar tubuh, proses pematangan dapat dilakukan di dalam medium kultur antara lain Tissue Culture Medium (TCM) 199 (Moor dan Trounson, 1977). Untuk membantu proses pematangan, umumnya medium diberi tambahan protein seperti fetal calf serum (FCS), newborn calf serum (NCS), bovine serum albumine (SSA) ataupun serum induk (Schellander et al., 1990). serta foIIicIe stirnuloring hormone ( F S H ) , luteinizing hormone ( L H ) dan estradiol- 17-

B (Schellander et al., 1989). Namun peranan hormon seperti LH dan hormon steroid diketahui masih bersifat kontroversial (Fukui dan Ono, 1989, Zuelke dan Brackett, 1990; Keefer et al., 1991). Beberapa fakior pertumbuhan lainnya seperti Epidermal Growth Factor (EGF), Transfrming Growth Factor (TGF)-a, TGF-p dan Insulin Growth Factor (1GF)-I diketahui dapat mempengaruhi tingkat pematangan in vitro (Bevers et al., 1997). Epidemal growth factor diketahui memiliki pengaruh mitotik terhadap sel-sel granulosa serta memberikan kontribusi pula terhadap tetjadinya germinal vesicle break down dan pembentukan badan kutub @as el d . 1991).

Hasil penelitian Critser et al., (1986) menunjukkan bahwa interaksi antara sel-sel granulosa dengan kompleks oosit-sel lcumulus pada masa pematangan in

(13)

vifro sangat berpengaruh terhadap kompentensi perkembangan dan pematangan oosit. Interaksi ini sangat diperiukan untuk membantu komunikasi dan metabolisme oosit dengan lingkungannya melalui gap junction (Staigmiller dan Moor, 1984; Larsen et al., 1987; Goto et a/., 1988).

4.2. Fertilisasi In Etro (IVF)

Fertilisasi atau fertilisasi merupakan rangkaian proses kompleks yang dimulai dengan (1) terjadinya kontak antara garnet jantan (spermatozoa) dengan gamet betina (oosit), (2) penetrasi sperma ke dalam zona pelucida, (3) hsi antara membran sperma dan membran msit, dan diakhiri dengan (4) synkaryosis, yaitu bersatunya kedua pro-inti (pro-nukleus) sperma dan oosit. Sarat mutlak bagi sperma untuk mampu melakukan penetrasi ke dalam oosit adalah terlebih dahulu mengalami kapasitasi (capacifation), yaitu suatu perubahan fisiologik dan biokimia . Perubahan ini terjadi akibat adanya ion-ion kalsium bebas sehingga

te qadi perubahan pada membran plasma sperma serta reaksi akrosom. Pada saat terjadi reaksi akrosom terjadi pelepasan suatu~~~komponen dari permukaan akrosom sehingga sperma yang juga dibantu dengan pergerakan ekornya mampu menembus barier oosit yang berupa sel-sel kumulus, zona pelucida serta membran vitelin @landau, 1980).

Secara in vitro, proses kapasitasi dapat dilakukan dalam medium BO (Bracken dan Oliphant, 1975) atau CRlaa (Rorenkrans dan First, 1994) yang telah diberi tambahan kafein (5,0mM), heparin (10,O ug/ml) dan B S A (1,0%) (Niwa dan Ohgoda, 1988). Dari hasil penelitian Niwa et al. (1992) pada sapi didapatkan bahwa penarnbahan kafein k e dalam medium fertilisasi dapat

(14)

meningkatkan motilitas sperma sehingga merangsang penetrasi sperma terhadap w s i t .

4.3. Perkembangan Embrio In Yilro (IVCJ

Sigot yang dihasilkan melalui proses pematangan dan fertiiisasi in vitro telah berhasil dikembangkan secara in vitro di dalam medium kultur seperti TCM 199, C r l a a (Rosenkrans dan First, 1994), Sjmthetic oviductfCuid (SOF) (Tervit et al., 1974; Walker et al., 1989), ataupun medium dengan komposisi bahan kimia tertentu (chemically defined medium) (Gardner et al., 1994). Namun demikian, w s i t yang telah mengalami pematangan di dalam media kultur, setelah dibuahi dan ditransfer ke resipien mempunyai kemampuan berkembang yang sangat rendah (Trounson el al., 1977). Hal ini menunjukkan masih belum memadainya kondisi in vifro bagi sistem perkembangan embrio selanjutnya. Hambatan yang paling besar adalah terjadinya fenomena cell-block pada pertumbuhan embrio rnamalia secara in viwo (Barbehenn et al.

m:

Thompson, 2000). Pada kambing dan domba, embrio umumnya mengalami hambatan pertumbuhan pada tingkat 4-8 sel. Diduga ada faktor-faktor pertumbuhan yang dapat dihasilkan oleh sel-sel somatis alat reproduksi betina yang sangat penting untuk perkembangan dan pertumbuhan embrio.

Usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan perkembangan embrio antara lain adalah ( I ) penggunaan ko-kultur sel-sel somatis seperti mo~mlayer sel granulosa (Jiang er al.. 1991; Waiker et al., 1992), sel-sei kumulus (Kajihara et al., 1987; Fukui ef al., 1988, 1989, Goto, et al., 1988), sel- sel oviduk (Gandolfii dan Moor, 1987; Czlonkowska et al, 1991; Holm et al..

(15)

1991; Watson et al., 1994) atau sel-sel uterin, penggunaan chemically defined medium (Gardner et al., 1994) atau penambahan bahan-bahan growth factor (Fry et al., 1992).

5. Kriopreservasi

Secara umum teknik kriopreservasi rnerupakan suatu cara untuk menyimpan sarnpel populasi hewan, tanaman atau sumber genetik lainnya dalam bentuk beku. Tujuan kriopreservasi adalah untuk penyimpanan, pemeliharaan, menjamin dan mempertahankan kelangsungan hidup sel, serta memperbaiki lingkungan alamiah. Dengan teknik kriopreservasi yang efektif, viabilitas sel dapat dipertahankan dengan cara mereduksi fingsi-fungsi dan aktivitas metabolik sel tanpa terjadinya kerusakan membran maupun organel sel sehingga fungsi imunologis, biologis dan fisiologis sel tetap ada.

Didalam bidang reproduksi penerapan teknik kriopreservasi embrio maupun oosit dipakai sebagai alat untuk melakukan intervensi dan pengaturan terhadap siklus reproduksi (Rall, 1992). Kini teknik kriopreservasi telah menjadi bagian dalarn (1) industri transfer embrio yang dapat mengatasi kendala waktu maupun ternpat; karena embrio beku (terutama ras yang mempunyai genetik superior) lebih mudah diperdagangkan dalam skala national maupun international serta dapat ditransfer setiap waktu disesuaikan dengan keadaan siklus reproduksi hewan resipien. (2) penanggulangan infertilitas, d i i a n a perlakuan kriopreservasi dipakai sebagai usaha untuk dapat menyesuaikan terhadap waktu pelaksanaan fertilisasi in vilro serta teknik konsepsi yang terkait lainnya, dan (3) menunjang program konservasi satwa-satwa yang hampir punah.

(16)

Berdasmkan fenornena fisik ada dua metode kriopreservasi yakni rnetode pembekuan (freezing) yang disertai dengan pernbentukan kristal e s dan metode tanpa pembentukan kristal e s yang dikenal dengan istilah vitrzfikasi (Rall dan Fahy, 1985; Nakagata, 1989; Arav et a/., 1993). Namun demikian, prinsip dasar kerja dari kedua metode tersebut di atas adalah serupa yakni pengaturan yang seksama terhadap volume osmotik sel pada masing-masing tahapan proses pembekuan (Rall, 1992).

Demikian pula dengan faktor-faktor yang berperanan didalam keberhasilan kriopreservasi pada kedua metode tersebut di atas adalah serupa yakni: (1) jenis dan konsentrasi krioprotektan yang dipergunakan (Fahy, 1986; Fahy et a/., 1990); (2) proses pendinginan dan pernbekuan (Farrant dan Moms, 1973; McGrath dan Walterson, 1985); (3) proses rehidrasi dan perubahan osrnotik (Meryman, 1985), serta (4) karakteristik sel (oosit atau embrio) seperti morfologi (bentuk dan ukuran) dan tahap pernatangan atau perkembangan, serta kuditas dan sumber garnet (in vivo atau in vitro) (Rall, 1992; Han e t a/., 1994; Takagi et a/., 1994, Saha cf a/., 1996b).

5.1. Metodc Pembekuan dengan Pembentukan Kristal Es

Kedalam katagori ini termasuk metode pembekuan konventional atau lambat (slow peezing) serta pembekuan cepat maupun sangat cepat (rapid a n d ultra rapid freezing). Dari fenomena fisik, rnetode ini merupakan proses pernbekuan air melalui pembentukan kristal e s jika didinginkan di bawah 0°C. Pembentulcan kristal es senantiasa diawali dlbagian cairan ekstraseluler sampai kemudian menjdar ke bagian intraseluier dan mengakibatkan peningkatan

(17)

tekanan o s ~ m t i k dari cairan ekstraseluler yang tersisa. Konsekuensinya teijadi ekstraksi air dari dalam sel (intraseluler) secara berlebihan dapat rnengakibatkan kekeringan sel (dehidrasi) yang sangat berat serta distorsi organel-organel intraseluler (Rail, 1992).

Dengan demikian, pembekuan lambat merupakan suatu usaha untuk mempertahankan keseimbangan diantara berbagai sumber kerusakan fisik (injury) dengan konsentrasi krioprotektan yang relatif rendah (akan meminimumkan kerusakan akibat osmotik serta toksisitas) dan mengatur pembentukan kristal es, yang mengakibatkan larutan kriopreservasi yang terkonsentrasi masuk ke dalam sel.

Metode pernbekuan oosit telah dilaporkan pada mencit (Van der Elst ef al.. 1993; Rayos et al., 1994), sapi (Niemann, 1991; Parks dan Ruffing, 1992) dan kambing (Le Gal, 1996) umumnya rnengacu pada metode pernbekuan yang telah diterapkan pada embrio. Sejauh ini telah dilaporkan bahwa proses pembekuan oosit dapat mengakibatkan kerusakan morfologi dan struktur serta menurunkan bahkan menghilangkan fingsi biologis oosit, yaitu menurunnya tingkat fertilisasi dan perkembangan embrio mencit (Van der Elst ei al.. 1993; Rayos et al., 1994) dan sapi (Otoi et al., 1992; Lim ef al, 1992; Schmidt et al., 1993; Martino et al., 1996: Kubota et al., 1998). Kerusakan morfologi yang te jadi addah pecahnya w n a pelucida, dis-integrasi membran plasma, kerusakan bahan serta organel sitoplasma sepmti skeleton sel dan kromosom, butir-butir korteks dan butir-butir lemak (Didion et al., 1990, Richardson dan Parks, 1992; Schmidt et al., 1993; Van der Elst, et al.. 1993; Aman dan Park, 1994; Fulcui ef al., 1995; Zhu et al.,

(18)

Beberapa -or yang diduga dapat mengakibatkan perubahan morfologi dan fingsi biologis oosit adalah pemaparan terhadap krioprotektan (Taha d m Schellander, 1992), proses pendinginan (Pickering dan Johnson, 1987; Richardson dan Parks, 1992; Stoffregen, et a/, 1992; Arnan dan Park, 1994; Wu et

at.,

1999) serta kristal es yang terbentuk (Aman d m Parks, 1994; Fukui et

at.,

1995; Vajta et al., 1997).

5.2. Metode Vitifikasi

Alternatif lain untuk metode kriopreservasi adalah vitrifikasi (Rall dan Fahy, 1985; Nakagata, 1989). Pada proses vitrifikasi, pernadatan cairan terjadi melalui peningkatan viskositas yang ekstrim pada masa pendinginan cepat tanpa disertai pembentukan kristal-kristal es (Rall, 1987). Bagian padat ini tampak bening sehingga disebut vitreus yang berarti kaca, serta merniliki distribusi molekuler clan ionik dalam keadaan cair, d m dengan demikian dapat menghidari efek yang merusak dari kristal es ekstra dan intraseluler.

Metode vitrifikasi bersifat radikal karena pada dasarnya adalah menghindari terbentuknya kristal es secara total. Hal ini dapat dilakukan dengan cara peningkatan viskositas larutan serta melalui proses pendinginan dan penghangatan dengan kecepatan tinggi namun dalam batas-batas tertentu (Rall, 1987). Semakin tinggi kecepatan perubahan suhu, viskositas yang dibutuhkan akan semalcin rendah dan vice versa. Pembentukan kristal es dapat dihindari melalui penggunaan konsentrasi krioprotektan yang tinggi. Secara intraseluler pengaruh masuknya sebagian krioprotelrtan berhubungan dengan konsentrasi ion d m makromoIekul intra sitoplasmik akibat pengerutan sel. Resiko penggunaan

(19)

krioprotektan dengan konsentrasi tinggi adalah peningkatan osmotik dan toksisitas. Namun dernikian, kelebihan dari pendinginan dan penghangatan (warming) dengan kecepatan tinggi menghasilkan penerobosan secara cepat rnelalui fase suhu yang berbahaya (yaitu sekitar O°C), sehingga dapat meminimumkan kerusakan fisik (injury) akibat pendinginan (Vajta, 1997). Sedangkan kerusakan berupa retak pada w n a pelucida maupun membran embrio biasa tarnpak pada kedua metode tersebut di atas.

Keberhasilan prosedur vitrifikasi dapat ditunjukkan dalam tiga sifat yang berbeda, yaitu: (1) Tidak terbentuknya kristal es didalam suspensi embrio ataupun oosit semasa pendinginan, penyimpanan maupun penghangatan; (2) sel secara osmotis mengalami dehidrasi menjelang pendinginan dengan keseimbangan yang diatur didalarn larutan krioprotektan yang sangat konsentrat (minimal 6,O M); dan (3) urutan perubahan yang teijadi di dalam volume osmotik embrio semasa proses kriopreservasi sangat spesifik.

Metode vitrifikasi telah dilaporkan berhasil pada embrio mencit (Rall, 1987), kefinci (Smorag et ai., 1989), tikus (Kono et al., 19881, sapi (Massip et al, 1989) dan domba (Schiewe et al., 1990). Mengacu pada metode vitrifikasi embrio, vimfikasi oosit cukup banyak dilaporkan pada hewan mencit (Nakagata et al., 1989; Shaw et al., 1991 ; Shaw ei al., 1992; O'Neil el al., 1998; Bautista e f al.. 1998) dan sapi (Otoi et al., 1998; Vajta et ai.. 1999; Hyttel e f ai., 2000),

sangat terbatas pada babi (Isachenko et al., 1998) dan kuda (Hochi et al., 1996). Namun demikian, sejauh ini keberhasilan yang telah dilaporkan masih sangat terbatas dan variatif.

(20)

Seperti halnya pada metode pembekuan oosit, vitrifikasi oosit dilaporkan mengakibatkan menurunnya tingkat fertilisasi dan perkembangan embrio. Hal ini diakibatkan oleh t e j a d i n ~ a kerusakan pada morfologi d m stmktur, serta menurunnya bahkan hilangnya viabilitas oosit (Arav et al., 1993; Fuku et a/.,

1995a,b; Hyttel, e f a/., 2000). Vitrifikasi oosit dapat mengakibatkan kemsakan pada zona pelucida, membran plasma, dan organel sitoplasma seperti skeleton sel (Richardson dan Parks, 1992; Arav ef al., 1993; Overstrom ef al., 1993; Hochi et a/., 1996; Vajta et al., 1997) dan butir-butir korteks (Fukui et al., 1995; Hyttel et al., 2000).

Kriopreservasi oosit dan embrio telah diupayakan melalui metode vitrifikasi (Rall dan Fahy, 1985; Nakagata et a/., 1989), yaitu solidifikasi cairan melalui peningkatan yang ekstrim (tinggi) dari viskositas pada saat pendinginan yang sangat cepat (Fahy e f a/., 1984). Karena vitrifikasi memerlukan krioprotektan dengan konsentrasi yang tinggi, amatiah penting untuk meminimumkan kerusakan sel akibat tekanan osmotik atau toksisitas kimia yang diakibatkan oleh konsentrasi krioprotektan yang tinggi. Berdasarkan laporan Rail (1987), Fahy et a[. (1984) dan Massip et al. (1986), beberapa ha1 telah dilakukan untuk mengurangi pengaruh larutan vitrifikasi antara lain adalah: (1) Penggunaan krioprotektan dengan toksisitas rendah atau campuran diantaranya, serta pengurangan konsentrasi krioprotektan; (2) Pemaparan krioprotektan dalam waktu yang singkat; (3) Penambahan krioprotektan non-permeabel; dan (4) Pemaparan

(21)

5.3. Faktor-Faktor y a n g Berperanan didalam Proses Vitrifikasi

Keberhasilan vitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan yaitu (1) Jenis dan konsentrasi krioprotektan, (2) proses pendinginan, (3) perubahan tekanan osrnotik pada proses dehidrasi dan rehidrasi, serta (4) karakteristik sel.

(1) Jenis d a n Konsentrasi Krioprotektan

Krioprotektan merupakan zat kirnia yang berfbngsi untuk rnelindungi sel dari pengaruh buruk atau letal yang ditimbulkan pada saat proses pendinginan rnaupun pernbekuan. Untuk rnelindungi sel terhadap kerusakan akibat pembentukan kristal es, serta meningkatkan daya hidup sel pasca kriopreservasi, sel dilindungi oleh bahan-bahan yang bersifat krioprotektif. Namun demikian, krioprotektan selain bersifat dapat melindungi sel, juga dapat rnenimbulkan kerusakan pa& sel akibat pengaruh toksisitasnya (Fahy, 1986; Fahy et al., 1990). Derajat proteksi dari bahan krioprotektan terhadap proses kristalisasi pada masa pembekuan tergantung dari jenis dan konsentrasi krioprotektan yang dipakai. Pada dasarnya semua krioprotektan dapat menginduksi t e jadinya perubahan struktural, osmotik dan fisiologis sel dengan derajat yang berbeda-beda. Dengan demikian, dalarn menentukan larutan vitrifikasi perlu diperhatikan komposisi dan konsentrasi krioprotektan; kondisi suhu dan waktu pemaparan serta sifat-sifat perrneabilitas sel yang akan dibekukan.

Berdasarkan sifat fisika-kimia krioprotektan dengan sifat terhadap permeabilitas membran, krioprotektan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) krioprotektan intraseluler dan (2) ekstraseluler. Krioprotektan intraseluler dapat

(22)

k e t a r masuk melalui membran karena memiliki ukuran molekul yang relatif kecil sehingga bersifat permeatif. Sedangkan krioprotektan ekstraseluler tidak dapat menembus membran sel karena rnemiliki ukuran molekul yang besar sehingga bersifat non-permeatif

Krioprotektan intraseluler (permeatif) dapat dibedakan berdasarkan berat molekulnya yaitu berturut-turut adalah etilen glikol ((CH2)2(0H)z; BM. 62,67), propanediol (BM: 76,l O), dimetilsulfoksida (DMSO) ((CH3)2S04, BM. 78,13) dan gliserol ((C3H5(OH)3; BM: 9 2 , l O ) . Krioprotektan ini dapat pula dibedakan atas dasar derajat toksisitas, yaitu bertumt-tumt dari yang paling rendah adalah etilen glikol (EG), gliserol (GLI), propanodiol (PROH) serta DMSO. Diantara krioprotektan intraseluler, etilen glikol merupakan yang paling banyak dipergunakan didalam proses pembekuan maupun vitrifikasi. Dibandingkan dengan gliserol dan propilen glikol, etilen glikol memiliki toksisitas yang lebih rendah. Etilen glikol dapat ber-difusi secara langsung keluar sel embrio tanpa banyak menyebabkan kerusakan seluler (Saha et al., 1995).

Krioprotektan ekstraseluler (non-permeatif) adalah polyvinylpyrolidone (PVP), protein (susu, kuning telur, albumin, serum), karbohidrat seperti guIa (glukosa, sakarosa, sukrosa, trehalosa, manosa) dan hydroxyethyl starch (HES), serta kelompok polyol yaitu eritritol, adonitol d m sorbitol (Utsumi, el al., 1992).

Didalam kegiatan kriopreservasi umumnya dipergunakan kombinasi dua atau lebih krioprotektan intra d m ekstraseluler. Hal ini ditujukan untuk menghindari atau mengurangi sifat toksisitas karena krioprotektan non-permeatif akan mengurangi permeasi dari krioprotektan intraseluler (Kasai et a/., 1990; Szel dan Shelton, 1986). Penambahan krioprotektan ekstra-seluler dengan berat

(23)

molekul tinggi akan membantu pengeluaran air (dehidrasi) dari dalam sel sehingga mengurangi kemampuan molekul air untuk berpartisipasi dalam pembentukan kristal es (Rall, 1987). Pada saat terjadi penarikan air dari dalarn sel, sejumlah krioprotektan akan memasuki sel. Disamping itu juga bertindak sebagai bufer osmotik untuk menghindari pembengkakan (sweeling) dari sel pada saat pengeluaran krioprotektan dari dalam sel (Saha ef al., 1996a). Karbohidrat sebagai krioprotektan non-permeabel juga memiliki pengaruh stabiiisasi terhadap membran (Massip et al., 1995).

Selain dapat melindungi sel pada proses kriopreservasi, beberapa penelitian rnenunjukkan bahwa krioprotektan dapat berpengaruh terhadap organel-organel sel di dalarn sitoplasma. Beberapa krioprotektan seperti DMSO (1,5M) dan propilen glikol (PG) dapat mengakibatkan perubahan skeleton sel seperti depolimerisasi tubulin yang mengakibatkan pembentukan aster yang abnormal pada kumparan kutub sehingga terjadi dispersi kromosorn (Johnson dan Pickering, 1987) dan hilangnya tubulin serta depolimerisasi filamen alctin yang reversibel. Namun demikian, kejadian aneuploidy sebagai konsekuensi dari perubahan kumparan meiotik, tidak meningkat setelah kriopreserrvasi. Krioprotektan dapat mengakibatkan perubahan pada zona pelucida sehingga mengakibatkan keluarnya butir-butir korteks and menurunkan tingkat fertilisasi. Propilen glikol diketahui pula mempunyai hubungan dengan alctivasi partenogenesis pada oosit mencit (Shaw dan Trounson, 1989).

(24)

(2) Proses Pendinginan

Proses pendinginan berlangsung pada saat pemaparan krioprotektan dan pembekuan atau vitrifikasi. Pemakaian suhu dingin ( 4 ' ~ ) umum dilakukan pada saat pemaparan krioprotektan untuk menghidari toksisitas dari krioprotektan. Perubahan s u b yang menyolok dan mendadak dapat mengakibatkan cold shock. Untuk menghindari ha1 ini biasanya dilakukan penurunan suhu secara bertahap seperti yang dilakukan pada proses pembekuan.

Pengaruh pendinginan terhadap oosit dapat mengakibatkan kerusakan pada mikrotubulus dari kumparan meiotik kedua sehingga terjadi depolirnerisasi tubulin dan tercerai berainya kromosom (Pickering dan Johnson, 1987). Sebanyak 8 - 14% dari oosit mencit yang dipaparkan pada suhu 25OC atau 4°C selama 10 menit, rnenunjukkan abnormalitas atau menghilangnya kumparan serta penyebaran kromosom. Kumparan dapat kembali ke bentuk normal setelah penghangatan kembali pada suhu 37°C selama 60 menit. Hal yang sama telah pula dilaporkan pada oosit sapi yang telah mengalami pematangan. Sebanyak lebih dari 50% oosit yang telah dipaparkan suhu 25°C selama satu menit mengalami pengurangan atau kehilangan kumparan. Sedangkan pemaparan pada suhu 4°C selama kurang dari 20 menit menunjukkan hilangnya kumparan pada semua oosit.

Pendinginan dapat pula mengakibatkan reaksi butir korteks dini (prematur) yaitu keluarnya butir-butir korteks yang mengakibatkan menurunnya tingkat fertilisasi. Pendinginan sendiri tidak banyak mengakibatkan pengaruh terhadap intergritas membran plasma, namun perubahan struktur dan k n g s i membran dapat tejadi pada waktu pendinginan (Didion et al., 1990; Hunter et a[., 1990) akibat

(25)

terjadinya

fase

transisi termotropik dari kutub lipid, dan berikutnya terjadi fase pemisahan kornponen membran. Perubahan distribusi lipid dan protein dapat mengakibatkan destabilisasi membran pada saat thawing (pencairan kembali).

Pada hewan-hewan dornestik sensitifitas oosit terhadap pendinginan tampaknya lebih nyata. Oosit babi yang belum matang tidak mampu bertahan terhadap pendinginan (Didion ef al., 1990). Sedangkan pada oosit domba yang telah mengaiami pendinginan pada suhu 20-30°C tingkat pematangan dan fertilisasi in vitro menurun empat kali. Pada sapi tingkat pematangan dan fertilisasi in vitro menurun sebesar 13% pada oosit yang telah mengalami pemaparan pada suhu 0°C selarna dua menit dan rnenurun 28% setelah pemaparan 30 menit.

Pada oosit sapi sensitivitas terhadap suhu rendah dapat menimbulkan perubahan atau kerusakan pada sejumlah butir-butir lemak (lipid droplet) dan membran sel (Didion et al., 1990) serta ~Sz%knya kumparan meiotik (Aman dan Parks, 1994; Martino et al., 1996). Gambaran sitologis khusus dari oosit matang seperti kumparan meiotik, butir-butir korteks dan skeleton sel diperkirakan peka terhadap kerusakan akibat pendinginan dan pemapaparan di dalam krioprotektan. Proses p e n d i n a n terhadap oosit dornba (h4oor dan Crosby, 1985) dan sapi (Richardson dan Parks, 1992) pada suhu 20 atau 4°C mengakibatkan depolimerisasi rnikrotubulus kumparan. Walaupun kumparan mampu terakit kembali (reversible) jika oosit mencit diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit, potensi terjadinya anomali genetik akibat kesalahan dalam pergerakan kromosom masih mempakan perhatian utama.

(26)

(3) Perubahan Tekanan Osmotik pada Proses Dehidrasi dan Rehidrasi Prinsip k e j a dari metode kriopreservasi adalah pengaturan yang seksama terhadap volume osmotik sel pada masing-masing tahapan proses pembekuan (Rall, 1992). Dan yang terpenting adalah pengeluaran sebagian besar air intraseluler (debidrasi) sebelum pembekuan untuk meminimumkan terbentuknya kristal-kristal es yang dapt memsak sel. Namun disisi lain pengeluaran air yang terlalu banyak juga akan merusak bahkan letal terhadap sel (Supriatna dan Pasaribu, 1992).

Secara teoritis, konsentrasi krioprotektan yang tinggi didalam larutan vitrifikasi akan membutuhkan beberapa tahap pengenceran, volume pengencer yang besar serta konsentrasi sukrosa yang tinggi untuk mengimbangi keseimbangan tekanan osmotik. Pada waktu pengeluaran krioprotektan dan rehidrasi, penambahan krioprotektan non-pennatif di dalam medium akan membatasi pergerakan air melalui membran sehingga mencegah lisis sel pada masa d i k s i krioprotektan keluar dari sel (Massip et a[.,- 1987). Penambahan makromolekul PVP bersifat melindungi atau melapisi sel segera setelah pencairan, sehingga memberikan proteksi serta stabilitas terhadap stress osmotik; d m kemungkinan menghindari kemsakan pada masa pengeluaran air dari dalam sel secara cepat.

Oosit yang belum matang memiliki permebilitas yang rendah terhadap krioprotektan. Oleh karena itu ekuilibrasi di dalam larutan pembekuan menjadi sangat penting untuk meningkatkan daya tahan w s i t sebelum dilakukan pembekuan cepat (Szell dan Shelton, 1986; Takahashi dan Kanagawa, 1990).

(27)

Ekuilibrasi embrio sebelum pembekuan di dalam larutan yang mengandung sukrosa diketahui dapat memperbaiki tingkat viabilitas pasca thawing serta tingkat pembelahan embrio (Szell dan Shelton, 1986) seperti yang telah dilaporkan pada oosit rnencit (Tada e t al., 1994). Larutan sukrosa terbukti me~pEikan krioprotektan yang baik untuk pembekuan embrio maupun oosit, dan rnemfasilitasi pengeluaran krioprotektan intra-seluler pada rnasa pasca-thawing. Penggunaan larutan sukrosa untuk proses dehidrasi oosit pada masa ekuilibrasi diharapkan untuk menghindari penggunaan larutan sukrosa yang ditambah krioprotektan intraselular yang dapat bersifat toksik bagi oosit (Tada el al., 1994).

Park dan Ruffing ( 1 9 9 2 ) melaporkan bahwa oosit sapi yang telah rnatang (Mt-11) dipaparkan terhadap 1,5M PG pada suhu 35°C selama 10 rnenit (untuk mencapai kesetimbangan osmotik) menunjukkan tingkat fertilisasi sebesar 75- 78%, setelah pengeluaran PG secara bertahap dalam 1,OM dan 0 , 5 M lamtan PG ataupun satu tahap dengan larutan 0 , 7 5 M sukrosa. Tingkat fertilisasi yang tinggi (95%) ditunjukkan oleh oosit matang yang diekuilibrasi dengan 1,SM GLY diikuti dengan pengeluaran GLY dengan satu tahap dalam larutan sukrosa.

(4) Karmkteristik Garnet

Kadcteristik oosit seperti morfologi (bentuk dan ukuran) dan tahap pematangan serta b a l i t a s dan sumber gamet ( i n vivo atau i n vitro) (Han e t al., 1994; Takagi e t al., 1994; Saha e t al., 1996b) sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kriopreservasi. Adapun perubahan karakteristik oosit yang berhubungan dengan kriopreservasi rneliputi perubahan struktur dari skeleton sel, kumparan meiotik, membran plasma dan zona pelusida serta distribusi dari butir-

(28)

butir korteks. Berdasarkan perkembangan dan keadaan intinya, m s i t dapat diklasifikasi ke dalam tahap G V yaitu oosit yang belum matang, tahap GVBD dan Mt-I addah oosit yang sedang mengalami pematangan dan tahap Mt-1I adalah oosit yang telah mengalami pematangan.

Pembekuan oosit tahap G V telah dilaporkan pada mencit (Van Blerkom, 1989); tikus (Kasai et al., 1979), kambing (L,e Gal., 1996) d m sapi (Lim el ai., 1992). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa viabilitas oosit yang belum matang setelah pembekuan atau vitrifikasi lebih rendah dibandingkan yang telah mengalami pematangan. Tingkat pematangan, fertilisasi dan perkembangan embrio dari oosit G V setelah pembekuan masih sangat rendah (Le Gal., 1 9 9 6 ) . Hal ini disebabkan proses pemaparan terhadap krioprotektan dan proses pembekuan ataupun vitrifikasi dapat mengakibatkan (1) teqadinya kerusakan pada susunan mikro-organel serta materi yang berhubungan dengan sintesis protein di dalam sitoplasma oosit &e Gal, 1996); dan (2) kematian sel-sel kumulus sehingga berpengaruh terhadap proses pematangan selanjutnya (Herrler et al, 1991; Lim e f a/., 1992; L e Gal, 1996).

Susunan mikro-organel &I dalam sitoplasma oosit tahap GV sensitif terhadap krioprotektan dan proses pembekuan (Herrler et al , 1991). Pembekuan oosit tahap GV dapat merusak hubungan gap junction antara membran plasma oosit dengan sel-sel kumulus sehingga akan mempengaruhi aktivitas sintesis protein (Le Gal, 1996). Akibatnya dapat rnenyebabkan terhentinya proses pematangan oosit dan menurunnya tingkat fertilisasi in vitro (Behalova dan Greve, 1993; Chian et al., 1995; Huang dan Holtz, 1997). Pada sapi, pemaparan oosit t h a p G V terhadap 1% (vlv) DMSO, EG, GLY ataupun P G s e l m a lima

(29)

menit menurunkan kemampuan oosit tersebut untuk berkembang mencapai tahap Mt-I1 yaitu 43-7496 (Depiesse et al., 1991). Tingkat pematangan (h4t-II) dari oosit kambing yang belum mengalami pematangan yang dibekukan dengan cara pembekuan iambat (slow freezing) menggunakan 1,5M propanodiol adalah 23,7%; dibandingkan kontrol 82,1%. Sedangkan pemaparan terhadap larutan krioprotektan menunjukkan tingkat pematangan in vitro sebesar 71% (F. Le Gal.,

1996).

Beberapa kajian terhadap oosit matang sapi ataupun mencit menunjukkan bahwa struktur spesifik seperti kumparan meiotik sangat sensitif terhadap pemaparan krioprotektan (Van der Elst et a/., 1993; Shaw and Trounson, 1989; Richardson and Parks, 1992) atau terhadap suhu dan mengakibatkan terjadinya depolimerisasi tubulin rendah (Pickering and Johnson, 1987; Aman dan Park, 1994). Sedangkan proses pembekuan mengakibatkan tejadinya disorganisasi kumparan meiotik, hilangnya atau rnenggumpalnya mikrotubulus sehingga kromosom berserakan (Le Gal, 1996); meningkatnya poliploidi pada proses fertilisasi d m mengakibatkan menurunnya tingkat fertilisasi (Van der Elst, et al.,

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen Peserta Didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus

Kecerdasan Adversitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesiapan belajar, bahwa dengan kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk menghadapi berbagai

memerintahkan kepada Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan, Badan Usaha Angkutan Udara yang pesawat udaranya menjadi objek tindakan melawan hukum dan bandar udara

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

Hasil penelitian ini dapat memberi referensi penelitian menggunakan metode semiotik yaitu heuristik dan hermeneutik serta analisis simbol kepada mahasiswa Jurusan

Hipotesis dimaksud adalah asumsi atau kesimpulan sementara yang sudah dirumuskan pada Bab 2 Teori Umum mengenai hipotesis penelitian, yaitu: ” Terdapat hubungan positif

Dalam kalimat bahasa Jerman Konjunktiv II seperti yang dikatakan Engel (1991: 422-426) memiliki lima makna, yaitu: (1) irrealer Wunschsatz ‘kalimat pengandaian

Selanjutnya semua data pressure gradient hasil eksperimen dibandingkan dengan data hasil prediksi yang dihitung dengan menggunakan model homogen (homogeneous model)