• Tidak ada hasil yang ditemukan

16 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "16 Universitas Kristen Petra"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1 The Excellence of Public Relations

The excellence theory merupakan teori umum yang dimulai dari sebuah premis tentang nilai dari public relations untuk organisasi dan masyarakat. Premis tersebut digunakan untuk mengintegrasikan sejumlah teori “middle-range” tentang fungsi public relations dari sebuah organisasi, pelaksanaan program public relations, serta konteks lingkungan dan organisasi dari public relations yang prima (Botan & Hazleton, 2006, p. 54). Teori ini menjelaskan mengenai bagaimana, mengapa, dan sejauh manakah komunikasi mempengaruhi pencapaian dari tujuan organisasi (Botan & Hazleton, 2006, p. 24). Lebih jauh lagi, teori ini jugalah yang menunjukkan bahwa public relations merupakan fungsi manajemen unik yang membantu organisasi untuk berinteraksi dengan komponen sosial dan politik dari lingkungannya. Lingkungan kelembagaan ini terdiri dari publik-publik yang mempengaruhi kemampuan organisasi untuk mencapai tujuan mereka (Botan & Hazleton, 2006, p. 55).

Melalui teori ini, terlihat bahwa nilai dan tujuan dari seorang public relations timbul dari hubungan yang dibangun dan dipertahankan organisasi dengan publiknya (Botan & Hazleton, 2006, p. 55; Yang, 2005, p. 42). Relasi ini pun juga bukan sembarang relasi yang ditujukan bagi siapa saja. Namun, public relations harus mampu mengidentifikasi publik-publik kunci dari organisasi tersebut, entah itu publik internal maupun eksternal. Setelah menentukan publik kunci dari suatu organisasi, public relations dapat mengembangkan program-program yang dapat membangun hubungan berkualitas tinggi (Botan & Hazleton, 2006, p. 33). Bagaimanapun, dengan adanya hubungan atau relasi yang baik, akan ada kebebasan atau kemandirian lebih yang dapat diperoleh organisasi untuk mencapai misi mereka. Dengan begitu, keefektifan organisasi dapat tercapai (Grunig, 1992, p. 69). Hal ini tidak lain terjadi karena publik memberikan dukungannya kepada perusahaan. Bahkan Grunig and Grunig (2001) juga menyatakan bahwa agar suatu organisasi bisa memperoleh

(2)

keefektivitasannya, mereka harus berperilaku secara etis dan bertanggung jawab secara sosial. Dalam arti bahwa organisasi harus terlibat dalam manajemen hubungan yang berkualitas dengan publiknya (dalam Yang, 2005, p. 26). Satu yang pasti bahwa komunikasi memainkan peranan vital (Botan & Hazleton, 2006, p. 33). Kalimat ini didukung oleh pernyataan dari France, Monge, dan Russell (1977) bahwa sistem komunikasi dari organisasi merupakan penentu yang sangat kuat dari keseluruhan efektivitas organisasi, yang pada saatnya juga dapat mempengaruhi kemampuan organisasi untuk bertumbuh, berfungsi secara efisien, dan bertahan hidup (dalam Grunig, 1992, p. 70). Namun dalam hal ini, organisasi juga tidak boleh lengah, hanya dengan mengandalkan pesan yang disampaikan kepada publiknya, melainkan juga harus diimbangi dengan perilaku organisasi yang ada (Grunig, Grunig, & Dozier dalam Yang, 2005, p. 4 - 5).

Kemudian, sebuah hubungan kualitas tinggi hanya dapat terjadi ketika organisasi mengakui legitimasi publik, mendengarkan persoalan mereka, dan berurusan dengan segala konsekuensi negatif yang mungkin muncul dari publik-publik tersebut (Botan & Hazleton, 2006, p. 37). Tidak hanya itu saja, organisasi juga diharap untuk dapat membangun suatu relasi yang tidak hanya dibentuk untuk menguntungkan organisasi saja, melainkan untuk memberi keuntungan bagi tiap pihak dalam relasi tersebut (Grunig & Hon dalam Yang, 2005, p. 65). Dengan kata lain, komunikasi yang dibangun merupakan komunikasi yang didasarkan pada model two-way symmetrical. Komunikasi two-way symmetrical menghasilkan hubungan jangka panjang yang lebih baik dengan publiknya, dibanding model komunikasi lain (Botan & Hazleton, 2006, p. 47). Pada akhirnya, dengan melakukan segala upaya komunikasi dan membangun hubungan baik dengan publiknya, organisasi dapat mencapai tujuannya, yang telah ditetapkan di awal. Misalnya saja dalam hal ini terkait dengan hubungan organisasi dengan karyawannya. Dalam teori ini disebutkan bahwa karyawan yang diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan tergabung dalam komunikasi simetrikal akan lebih cenderung mendukung tujuan dari organisasi (Botan & Hazleton, 2006, p. 53). Kemudian, melihat dari sisi lain, selain mampu membantu organisasi dalam mencapai tujuannya, the excellence of

(3)

public relations juga mampu memberi keuntungan bagi organisasi, yakni dalam mengurangi biaya regulasi, tekanan, dan litigasi, serta tercapainya kepuasan kerja yang tinggi di antara karyawan (Grunig, Grunig, & Dozier dalam Yang, 2005, p. 28).

Lebih lanjut lagi, dalam teori excellence of public relations ini, model two-way symmetrical merupakan model yang dipandang ideal, karena model ini mengutamakan dialog secara penuh dengan publiknya dan lebih berfokus pada upaya untuk membangun hubungan atau pemahaman bersama. Berdasar pada Kriyantono, dalam model ini, organisasi bukan hanya memandang publik sebagai ‘penerima’ yang pasif, tetapi juga sebagai ‘sumber’. Dengan kata lain, ada pertukaran peran secara dialogis antara organisasi dengan publiknya. Melalui dialog yang dilakukan, organisasi dan publik dapat berupaya untuk saling mengadaptasi diri mereka untuk kepentingan bersama. Kemudian, perlu ditekankan juga bahwa dalam model ini, organisasi tidak hanya menerima umpan balik dari publiknya, namun juga merespons secara positif dengan mengupayakan kebersamaan. Dalam arti bahwa, komunikasi menjadi sarana bagi kedua belah pihak sebagai alat negosiasi dan kompromi dalam mewujudkan solusi untuk suatu permasalahan. Dapat dikatakan pula bahwa dalam model ini, organisasi dan publik berupaya untuk mencapai konsensus dan kolaborasi. Sehingga dalam model ini, seorang public relations diharap untuk dapat memfasilitasi penyebaran informasi ke publik secara langsung dan memperjuangkan aspirasi publik ke pihak manajemen. Memang dalam pelaksanaannya, keputusan akhir berada di tangan organisasi, namun tetap melalui proses mendengarkan masukan dari pihak lain. Komunikasi berfungsi sebagai alat negosiasi dan kompromi dalam memecahkan masalah yang “win-win solutions” (Kriyantono, 2014, p. 96 - 98).

2.1.1 Outcomes of Relationships

Berdasar pada Stacks dan Michaelson, outcomes dapat dimaknakan sebagai perubahan terukur dalam tingkat kesadaran, pengetahuan, sikap, pendapat, dan perilaku yang terjadi sebagai akibat dari program atau aktivitas public relations. Selain itu, outcomes juga dapat dimaknai sebagai efek, konsekuensi,

(4)

atau dampak dari serangkaian atau program dari produk maupun aktivitas komunikasi, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang (Stacks & Michaelson, 2010, p. 197 - 198). Secara spesifik, outcomes digunakan untuk mengukur pengaruh dari pesan atau materi yang telah dikomunikasikan, entah itu terhadap perubahan opini, sikap, maupun perilaku dari penerima pesan (Grunig & Hon, 1999, p. 2). Kemudian berdasar pada Grunig dan Hon, relationships merupakan suatu hal yang dapat terbentuk karena satu pihak memiliki konsekuensi terhadap pihak lain (1999, p. 12). Sehingga di sini, dapat dikatakan bahwa dalam outcomes of relationships, seorang public relations dapat mengukur relasi jangka panjang yang selama ini dibangun oleh organisasi dengan publik kuncinya.

Grunig dan Hon (1999) menuliskan bahwa pada dasarnya, kebanyakan dari public relations telah mengukur berbagai hal, misalnya saja output dari suatu program atau event. Namun seringkali, hal yang diukur merupakan sesuatu yang kasat mata dan hanya terbatas pada program atau event terkait. Padahal sebenarnya ada hal lain yang lebih signifikan untuk diteliti oleh public relations, yakni hubungan atau relasi yang telah dibangun oleh organisasi/perusahaan. Relasi ini juga bukan sekadar relasi biasa, namun hubungan jangka panjang yang telah dibangun perusahaan dengan publik kuncinya. Hal ini berlangsung karena sejatinya tujuan fundamental dari seorang public relations adalah membangun dan meningkatkan hubungan jangka panjang dengan publik kunci perusahaan/organisasi. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan/organisasi untuk mengukur outcomes dari hubungan jangka panjang yang telah dibangun oleh perusahaan/organisasi dengan publik kunci (Grunig & Hon, 1999, p. 2).

Dalam penelitian yang dilakukan, Grunig dan Hon (1999) menyebutkan bahwa outcomes relasi jangka panjang yang dibangun organisasi dengan publik kuncinya dapat diukur dengan berfokus pada 6 (enam) elemen dari hubungan (p. 2). Enam elemen tersebut adalah :

(5)

1. Control Mutuality

Grunig dan Hon (1999) mendefinisikan control mutuality sebagai tingkat di mana pihak tersebut sepakat terkait dengan siapa yang memiliki kekuatan sah untuk saling mempengaruhi satu dengan yang lain (p. 3). Sedangkan Ferguson (1984) menyebutkan bahwa control mutuality merupakan variabel hubungan terkait dengan seberapa besar kontrol yang dimiliki tiap pihak dalam relasi, bagaimana kekuasaan didistribusikan dalam relasi, apakah pihak-pihak di dalam hubungan percaya bahwa mereka berbagi tujuan, dan apakah ada kesalingpahaman, kesepakatan, dan konsensus dalam hubungan tersebut (dalam Yang, 2005, p. 71 - 72). Ki dan Hon menambahkan bahwa “Research in public relations has found that control mutuality is predicted by relational maintenance strategies of access, positivity, shared tasks and assurances” (dalam Ki, Kim, & Ledingham, 2015, p. 147). Dari ketiga pengertian tersebut, terlihat bahwa sebenarnya control mutuality terkait dengan pelibatan publik, terkhusus dalam penelitian ini adalah karyawan, di dalam organisasi. Lebih spesifik pada pelibatan karyawan dalam organisasi, Robbins (2007) menyebutkan bahwa dengan melibatkan karyawan ke dalam keputusan-keputusan mengenai mereka dan dengan meningkatkan otonomi serta kendali mengenai kehidupan kerja mereka, maka karyawan akan lebih termotivasi, berkomitmen, produktif, dan puas dengan pekerjaan mereka (p. 268). Tidak hanya itu, elemen control mutuality di antara organisasi dengan publiknya ini penting, untuk bisa membentuk suatu relasi yang stabil dan berkualitas, menjadi pengingat bahwa ketidakseimbangan kekuasaan sering terjadi dalam hubungan organisasi dengan publiknya, dan membantu organisasi untuk bisa mencapai kepuasan dalam relasi dengan publiknya (Yang, 2005, p. 73; Canary & Stafford dalam Ki, Kim, & Ledingham, 2015, p. 147).

Kemudian, langkah paling awal yang dapat ditempuh organisasi/perusahaan, agar dapat melibatkan karyawannya adalah dengan memperhatikan dan mendengarkan opini, masukan, ataupun pendapat yang mereka sampaikan. Dalam memperhatikan, organisasi atau pihak di dalam

(6)

organisasi/perusahaan diharap untuk benar-benar memusatkan pikirannya pada apa yang sedang terjadi. Apabila menyesuaikan dengan penelitian ini, maka makna dari ‘apa yang sedang terjadi’ ini adalah ketika karyawan menyampaikan opini, pandangan, atau pendapatnya. Sedangkan mendengar merupakan “proses aktif yang komplek mencakup penuh perhatian, menerima pesan secara fisik, memilih dan mengatur informasi, menginterpretasikan komunikasi, merespons, dan mengingat” (Sari, 2017, p. 50). Konsep dari mendengar opini yang disampaikan oleh karyawan ini juga ditegaskan oleh Jonathan McDaniel, selaku manajer KFC di Houstan. Ia mengungkapkan bahwa hal terpenting yang harus dipastikan ketika karyawan mengungkapkan opininya adalah bagaimana suara mereka selaku karyawan ini didengarkan. Opini yang disampaikan oleh karyawan ini bisa menjadi patokan bagi organisasi untuk lebih mengembangkan organisasi mereka (dalam Robbins &Judge , 2013, p. 86).

2. Trust

Berdasar pada Robbins dan Judge, trust merupakan harapan positif bahwa orang lain tidak akan bertindak oportunis (2013, p. 421). Definisi ini pun juga turut ditekankan oleh Douglas McGregor, selaku manajer profesional yang mengungkapkan bahwa kepercayaan adalah bagaimana seseorang percaya bahwa orang lain, baik itu secara sadar ataupun tidak, sengaja atau tidak, tidak akan mengambil keuntungan dari orang tersebut (dalam Rogers & Riddle, n.d., p. 3). Sedangkan berdasar pada Grunig dan Hon, trust merupakan tingkat kepercayaan dari suatu pihak untuk mau membuka diri bagi pihak lain (1999, p. 3). Berdasar pada Gillespie, kepercayaan dapat dilakukan dengan manajer memberi kendali atas sumber daya dan keputusan yang berharga kepada bawahan, dengan sengaja mengurangi kontrol atas bawahan, serta memaparkan strategi yang telah disusun oleh organisasi untuk kelangsungan organisasi (dalam Dietz & Hartog, 2006, p. 559 - 560). Ketiadaan elemen trust atau trust yang diingkari dapat memberikan pengaruh pada kinerja organisasi. Sebaliknya, dengan adanya trust dari karyawan kepada organisasi, kinerja organisasi

(7)

dapat meningkat dan pada gilirannya mereka dapat menerima serta menjalankan visi, misi, dan tujuan organisasi (Robbins & Judge, 2015, p. 313, 385 - 386). Kemudian, kepercayaan juga diperlukan, agar organisasi tersebut dapat bekerja secara sinergis dan menghasilkan kinerja yang tinggi (Robbins dalam Raharso, 2011, p. 50). Elemen trust ini pun juga dapat mempengaruhi elemen commitment dalam outcomes of relationships dari organisasi dengan publiknya (Ki, Kim, & Ledingham, 2015, p. 148). Tiga dimensi yang terdapat dalam trust adalah :

a. Integrity

Robbins dan Judge mengartikan bahwa integrity mengacu pada kebenaran dan kejujuran. Dalam beberapa hal integritas juga diartikan sebagai memiliki konsistensi antara apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan (2013, p. 423). Sedangkan berdasar Grunig dan Hon (1999), integrity adalah keyakinan akan adil dan layaknya sebuah organisasi. Dalam hal ini, adil dan layaknya sebuah organisasi dapat tercermin melalui adilnya organisasi dalam memperlakukan publiknya, prinsip baik yang dianut oleh organisasi, dan bagaimana organisasi memberikan arahan yang benar kepada publiknya (Grunig & Hon, 1999, p. 28). Pernyataan ini pun mampu diperkuat dengan pernyataan yang diungkapkan Rogers dan Riddle (n.d.), bahwa beberapa hal yang dapat mempengaruhi kepercayaan adalah visi dan misi organisasi, kejujuran dan konsistensi dari organisasi dalam mengungkap informasi penting, kesediaan untuk berurusan dengan masalah-masalah sulit, serta keterbukaan organisasi terhadap tujuan dan motifnya (p. 2 - 3). b. Dependability

Suatu keyakinan bahwa organisasi memiliki sinkronisasi antara apa yang diucapkan dan dilakukan (Grunig & Hon, 1999, p. 3). Kemudian, didasarkan pada Lewicki dan Bunker (1996), mereka membagi kepercayaan berdasar pada isu reliabilitas dan prediktabilitas. Isu pertama berkaitan dengan kepercayaan kita bahwa orang lain akan menepati janjinya. Sedangkan isu kedua merangkum kepercayaan kita

(8)

bahwa kita mampu mengantisipasi perilaku orang lain, sebagai resiko dari kepercayaan (dalam Raharso, 2011, p. 49). Dalam hal ini, terlihat adanya penekanan yang diberikan Lewicki dan Bunker, bahwa kepercayaan berkaitan erat dengan bagaimana orang lain, dalam hal ini organisasi mampu menepati janji atau kata-katanya.

c. Competence

Keyakinan bahwa suatu organisasi memiliki kemampuan untuk melakukan atau memenuhi janji atau kata-kata dari organisasi tersebut (Grunig & Hon, 1999, p. 3). Robbins (2007) mengungkap bahwa seseorang tidak mungkin mendengar atau mengandalkan seseorang, dalam hal ini organisasi yang kemampuannya tidak orang tersebut hormati. Setidaknya, seseorang akan lebih percaya kepada orang yang mempunyai keterampilan dan kemampuan untuk menjalankan perkataannya (p. 463).

3. Satisfaction

Berdasar pada Locke, kepuasan, khususnya dalam pekerjaan merupakan keadaan emosi yang menyenangkan atau positif, yang terjalin selama bekerja dalam organisasi tersebut (dalam Luthans, 2008, p. 141). Sedangkan berdasar pada Grunig dan Hon (1999), kepuasan terkait dengan sejauh mana suatu pihak merasa senang dengan pihak lainnya, karena hubungan yang dijalin juga didorong oleh harapan yang positif. Hubungan yang memuaskan ini juga terjadi apabila manfaat yang diperoleh melebihi usaha yang dikeluarkan. Selain itu, satisfaction juga bisa timbul ketika suatu pihak percaya bahwa perilaku pemeliharaan hubungan dari pihak tersebut positif (p. 3, 20). Kreitner dan Kinicki mengungkap bahwa dalam hal kepuasan karyawan dengan organisasinya, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, yakni ketika kemampuan yang dimilikinya itu berguna bagi organisasi dan pelibatan kerja karyawan (dalam Kamaroellah, 2014, p. 4; Kumorojati, 2011, p. 22). Sedangkan dalam Grunig dan Hon (1999), kepuasan dapat diukur melalui beberapa hal. Misalnya saja terkait dengan perasaan senang dan nyaman dalam menjalin

(9)

hubungan ataupun interaksi; manfaat yang diperoleh dari hubungan yang ada; kemampuan organisasi untuk memenuhi kebutuhan publik; dan perasaan publik bahwa dirinya penting untuk organisasi (Grunig & Hon, 1999, p. 29).

Apabila dikaji berdasar pada kebutuhan seseorang, Abraham Maslow menggagas adanya hierarchy of needs atau tingkatan kebutuhan manusia. Dimulai dari yang paling bawah, tingkatan-tingkatan tersebut antara lain adalah fisiologis, rasa aman, kebutuhan sosial, self-esteem, dan aktualisasi diri. Berdasar pada Abraham Maslow, seseorang akan dapat mencapai kebutuhan pada tingkat tertinggi, apabila kebutuhan pada tingkat paling rendah telah terpenuhi (Kriyantono, 2014, p. 243). Sedangkan apabila dikaji dari segi hubungan ataupun interaksi yang berlangsung antara organisasi dengan publiknya, dalam hal ini karyawan, George et. al., mengungkap bahwa kepuasan kerja berkaitan dengan bagaimana sikap orang tersebut terhadap berbagai aspek dalam pekerjaannya, entah itu terkait dengan jenis pekerjaan yang dilakukan, rekan kerja dan atasan, maupun gaji yang diperolehnya (dalam AZIRI, 2011, p. 78).

Tingginya indikator kepuasan dapat berdampak bagi sikap karyawan terhadap pekerjaannya serta meningkatkan rasa kepemilikan atau sense of belonging dan rasa partisipasi karyawan, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan produktivitas organisasi. Secara keseluruhan, kepuasan karyawan terhadap organisasi dapat mempengaruhi kinerja karyawan tersebut. Bahkan ada pula ungkapan yang menyatakan bahwa organisasi tidak dapat mencapai tujuan dan misinya, tanpa adanya kepuasan dari karyawan (Anonim, 2009, p. 119 - 120). Kemudian, dalam literatur public relations, disebutkan bahwa elemen satisfaction dalam hubungan organisasi dengan publiknya ini dapat memprediksi persepsi publik terkait dengan trust. Elemen ini merupakan prediktor yang cukup kuat bagi elemen trust dan bagi kualitas keseluruhan relasi (Ki, Kim, & Ledingham, 2015, p. 147). Kepuasan seseorang terhadap organisasi tidak hanya ditentukan oleh kondisi dari pekerjaan, melainkan juga kepribadian dari

(10)

orang tersebut. Seseorang yang memiliki evaluasi diri yang positif, cenderung lebih puas dengan pekerjaannya, dibanding mereka yang memiliki evaluasi diri negatif. Dalam hal ini, evaluasi diri positif berkaitan dengan seseorang yang percaya kepada nilai dan kompetensinya (Robbins & Judge, 2015, p. 102, 109).

4. Commitment

Berdasar pada Luthans (2008), komitmen adalah kemauan kuat yang dimiliki oleh individu, untuk tetap menjadi anggota dalam suatu organisasi. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa komitmen merupakan sikap yang mencerminkan kesetiaan karyawan kepada organisasinya dan dalam hal ini, peserta organisasi mengungkapkan kepeduliannya terhadap organisasi, baik itu terhadap kelanjutan, kesuksesan, dan kesejahteraan organisasi, dengan tetap bekerjasama dengan organisasi (p. 147). Berbeda dengan Luthans, Coopey dan Harley (1991) menyebutkan bahwa komitmen merupakan suatu ikatan psikologis individu pada organisasi (dalam Utaminingsih, 2014, p. 144). Sedangkan berdasar pada Grunig dan Hon (1999), komitmen adalah sejauh mana setiap pihak percaya dan merasa bahwa hubungan tersebut layak untuk dibangun dan dijaga (p. 3). Kemudian, Lincoln mengungkapkan bahwa komitmen dalam organisasi mencakup tiga hal, yakni kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, dan kemauan anggota pada organisasi (dalam Utaminingsih, 2014, p. 144). Komitmen memiliki kaitan yang erat dengan kinerja karyawan. Hal ini terutama terlihat dari bagaimana karyawan yang berkomitmen, walau mungkin mereka tidak menyukai pekerjaan tersebut, akan tetap bersedia berkorban untuk organisasi (Robbins & Judge, 2015, p. 103). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kepuasan seseorang terhadap hubungannya dengan organisasi dapat memprediksi trust, yang pada gilirannya juga dapat memprediksi commitment terhadap organisasi (Ki, Kim, & Ledingham, 2015, p. 148).

Kemudian, beberapa cara yang dapat digunakan untuk menambah komitmen karyawan terhadap organisasi adalah menepati janji-janji yang

(11)

ada; selalu menerangkan dan mengkomunikasikan misi organisasi; menjamin keadilan di dalam organisasi, yang dapat dilakukan dengan menyediakan komunikasi dua arah; memperkuat sense of belonging dan team work di antara karyawan; dan mendukung pengembangan karyawan (Luthans, 2008, p. 149). Lantas, semakin seseorang memiliki komitmen terhadap organisasi, maka kecil kemungkinan bagi orang tersebut untuk mengundurkan diri dan tidak masuk selama masa kerja. Lalu, komitmen yang tinggi membuat karyawan memiliki keinginan yang lebih besar untuk berbagi dan berkorban bagi perkembangan organisasi (Greenberg & Baron, 2003, p. 163).

5. Exchange Relationships

Dalam hubungan ini, suatu pihak memberikan keuntungan bagi pihak lainnya, karena pihak tersebut telah terlebih dahulu memberikan manfaat positif di waktu lampau. Namun kondisi ini juga berlaku apabila pihak yang memberikan keuntungan tersebut berharap apabila pihak tersebut mampu memberikannya manfaat di masa mendatang (Grunig & Hon, 1999, p. 3). Kemudian, menurut Syahri (2014) dalam exchange relationships, organisasi hanya memperhatikan mereka yang mampu memberikan keuntungan bagi organisasi. Suatu pihak, entah itu individu maupun organisasi hanya melakukan interaksi kepada pihak lain yang dirasa mampu memberikan manfaat atau keuntungan kepada pihak tersebut. Dengan kata lain, dalam hubungan ini, organisasi atau pihak tersebut akan berusaha untuk menjalin hubungan dengan mereka yang mampu memperbesar keuntungan dan memperkecil biaya dari organisasi atau pihak tersebut (Syahri, 2014, p. 2 - 3).

Menambahkan materi di atas, Clark dan Mills (1993) mengungkapkan bahwa sebuah relasi pertukaran dapat muncul apabila mereka yang berada dalam relasi tersebut memahami bahwa manfaat atau keuntungan yang mereka peroleh tersebut diberikan sebagai ganti dari manfaat atau keuntungan lain (p. 687). Lebih lanjut lagi, exchange relationships lebih memiliki dampak negatif bagi organisasi non-profit atau nirlaba, dibanding

(12)

untuk organisasi yang memang didirikan dengan tujuan memperoleh laba atau keuntungan (Yang, 2005, p. 247). Contoh nyata dari exchange relationships adalah hubungan dalam bisnis. Relasi ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan cukup penting bagi pihak yang tergabung di dalamnya (Clark & Mills, 1993, p. 686).

6. Communal Relationships

Menurut Clark dan Mills (1993), norma dalam communal relationships adalah untuk memberikan manfaat sebagai respon dari kebutuhan atau mendemonstrasikan kepedulian kita terhadap orang tersebut. Dalam relasi ini, penerima manfaat tersebut tidak diwajibkan untuk kembali memperhatikan kebutuhan dari mereka yang memberi manfaat. Dengan kata lain, mereka yang memberi manfaat tidak meminta imbalan (p. 684). Lebih lanjut lagi, dalam communal relationships, tiap pihak dalam relasi menganggap bahwa tiap pihak memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Mereka memiliki sikap yang positif dalam memenuhi kebutuhan orang lain (Clark & Mills, 1979, p. 13). Kemudian, dalam hubungan exchange relationships, pihak-pihak yang ada di dalam hubungan berusaha untuk memperbesar keuntungan dan memperkecil biaya, maka dalam jenis communal relationships, pihak-pihak tersebut tidak memikirkan mengenai besar kecilnya keuntungan maupun biaya yang dikeluarkannya (Syahri, 2014, p. 3). Jadi, dalam communal relationships, seseorang murni bertindak karena mereka peduli kepada kesejahteraan orang lain (Batson, 1993, p. 678). Dalam hal ini, kesejahteraan itu berkaitan dengan kebutuhan, keinginan, dan tujuan yang ingin dicapai oleh orang tersebut (Clark & Aragon, 2013, p. 2).

Seirama dengan penjabaran di atas Grunig dan Hon menyebutkan bahwa dalam hubungan komunal ini, tiap pihak menyediakan keuntungan satu dengan yang lain karena mereka memikirkan kesejahteraan dari pihak tersebut, walau pada akhirnya mereka tidak memperoleh imbalan. Bagi kebanyakan public relations, membangun communal relationships dengan publik kunci merupakan hal yang penting untuk dicapai, dibanding dengan

(13)

exchange relationships. Hubungan yang dibangun dengan communal relationships bisa membawa organisasi mencapai level yang lebih baik dalam keempat indikator relasi (commitment, control mutuality, trust, dan satisfaction), dibanding dengan exchange relationships (Grunig & Hon, 1999, p. 3; Grunig & Hon dalam Yang, 2005, p. 81).

2.2. Public Relations

2.2.1 Definisi Public Relations

Berbagai ahli mengutarakan pendapatnya terkait dengan makna atau definisi dari public relations. Tiap ahli memiliki pengertiannya sendiri-sendiri, dengan gaya bahasa yang berbeda-beda. Namun sebenarnya, ada beberapa pengertian yang memiliki titik berat yang sama.

Dalam buku Dasar-Dasar Public Relations, Frank Jefkins mendefinisikan public relations sebagai “keseluruhan bentuk komunikasi yang terencana, baik itu ke luar maupun ke dalam, yakni antara suatu organisasi dengan publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang spesifik atas dasar adanya saling pengertian”. Pengertian yang disebutkan oleh Frank Jefkins ini menekankan bahwa salah satu kegiatan yang penting untuk dilakukan oleh public relations adalah komunikasi, entah itu dengan pihak yang berada di dalam maupun di luar organisasi/perusahaan tersebut. Dengan berkomunikasi, public relations dapat membangun hubungan dan saling pengertian dengan publiknya. Hal inilah yang kemudian diharapkan mampu menggiring organisasi menuju keberhasilan dalam pencapaian tujuan organisasi (dalam Yulianita, 2007, p. 33).

Definisi public relations kedua merupakan definisi yang dicetuskan oleh Cutlip, Center, dan Broom. Dalam definisi ini, mereka menyebutkan bahwa public relations merupakan “fungsi manajemen yang menyatakan, membentuk, dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dengan berbagai macam publik, dimana hal tersebut dapat menentukan sukses atau gagalnya organisasi”. Cutlip, Center, and Broom dalam definisi ini memang menekankan adanya fungsi manajemen. Hal ini merujuk kepada peran public relations untuk mengkomunikasikan kebijakan perusahaan kepada publik.

(14)

Kembali lagi, kegiatan ini dilakukan untuk memelihara hubungan perusahaan/organisasi dengan publik, dan mencapai kesuksesan dalam organisasi (dalam Yulianita, 2007, p. 34).

Terakhir, merupakan pengertian public relations yang terdapat dalam buku Lattimore, Baskin, Heiman, dan Toth. “Public relations adalah sebuah fungsi kepemimpinan dan manajemen yang membantu pencapaian tujuan sebuah organisasi, membantu mendefinisikan filosofi, serta memfasilitasi perubahan organisasi. Para praktisi public relations berkomunikasi dengan semua masyarakat internal dan eksternal yang relevan untuk mengembangkan hubungan yang positif serta menciptakan konsistensi antara tujuan organisasi dengan harapan masyarakat. Mereka juga mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi program organisasi yang mempromosikan pertukaran pengaruh serta pemahaman antara konstituen organisasi dan masyarakat” (2010, p. 4).

Melalui tiga definisi di atas, dapat terlihat bahwa peran signifikan public relations yang hendak ditekankan adalah membangun komunikasi, entah itu dengan pihak eksternal maupun internal perusahaan. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa organisasi/perusahaan tersebut dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan di awal. Dengan demikian, hal tersebut juga akan mempengaruhi kesuksesan suatu organisasi/perusahaan.

2.2.2 Fungsi Public Relations

Buklet PRSA Careers in Public Relations mempublikasikan beberapa fungsi public relations, antara lain sebagai berikut (Lattimore, Baskin, Heiman, & Toth, 2010, p. 10 - 12) :

1. Pemrograman (programming)

Dalam poin ini, seorang public relations memiliki tugas untuk “menganalisis masalah dan peluang, mendefinisikan tujuan dan publik (atau kelompok orang yang dukungan dan pengertiannya dibutuhkan), serta merekomendasikan dan merencanakan kegiatan”.

(15)

2. Hubungan (relationships)

Public relations juga diharapkan mampu membangun relasi atau hubungan yang kuat dengan mereka yang berada di dalam maupun di luar organisasi/perusahaan. Beberapa contoh dari kelompok yang berada di luar perusahaan/organisasi adalah media, pemimpin komunitas, pengambil kebijakan di pemerintahan, serta para pembuat aturan, analisis keuangan, institusi pendidikan, kelompok aktivis, dan lain sebagainya. Sedangkan mereka yang termasuk dalam internal perusahaan adalah karyawan.

3. Penulisan dan Pengeditan (writing and editing)

Sebagai seorang public relations, gaya penulisan yang jelas menjadi salah satu hal yang harus dimiliki. Hal ini dilakukan mengingat bahwa public relations merupakan pihak yang akan sering berhadapan dan berhubungan dengan berbagai pihak, entah itu pihak eksternal maupun internal. Sehingga, bahasa tulis menjadi alat yang penting dan harus disampaikan secara baik agar pesan dapat tersampaikan dengan baik.

4. Informasi (information)

“Sebuah tugas penting dari public relations adalah berbagi informasi dengan surat kabar yang sesuai, siaran radio, dan editor penerbitan perdagangan untuk memasukkan kepentingan mereka dalam publikasi sebuah berita atau fitur dari sebuah organisasi”. Dengan kata lain, public relations diharapkan untuk dapat memperoleh publikasi bagi perusahaan/organisasi tempat mereka bekerja.

5. Produksi (production)

Praktisi public relations diharap untuk dapat memiliki pengetahuan teknis agar mereka dapat merencanakan dan menyupervisi kegunaan dari berbagai media komunikasi.

6. Kegiatan Spesial (special events)

Public relations juga dapat menyelenggarakan beberapa special events untuk memperoleh perhatian dan penerimaan publik. Dalam hal ini, public relations juga berperan dalam persiapan, koordinasi, publisitas, dan lain sebagainya.

(16)

7. Berbicara (speaking)

Setiap pekerjaan public relations akan sering menghadapi bentuk komunikasi tatap muka, misalnya dalam menyampaikan pidato atau mempersiapkan pidato untuk orang lain.

8. Riset dan Evaluasi (research and evaluation)

Riset merupakan satu hal yang sangat penting dan dapat memberikan pengaruh pada tujuan dan strategi program public relations. Kemudian, hal ini juga dapat menjadi dasar bagi evaluasi perencanaan, implementasi, dan efektivitas program.

2.3 Publik

Menurut Grunig dan Hunt (1984), publik merupakan sekelompok orang yang memiliki perhatian pada suatu isu, mendiskusikan isu tersebut, dan berupaya untuk mencari solusi bagi isu yang ada (dalam Yang, 2005, p. 32). Sedangkan menurut Jefkins (2004), khalayak atau publik adalah “kelompok atau orang-orang yang berkomunikasi dengan suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal” (p. 80).

Publik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu publik internal dan eksternal. Publik internal merupakan mereka yang berada di dalam organisasi/perusahaan, misalnya saja karyawan. Relasi dan hubungan yang di bangun dalam internal perusahaan ini diperlukan untuk memupuk adanya suasana yang menyenangkan di antara karyawan, komunikasi antara bawahan dan pimpinan atau atasan terjalin dengan akrab dan tidak kaku, serta meyakini rasa tanggung jawab akan kewajibannya terhadap perusahaan. Dengan terjalinnya hubungan dan komunikasi yang baik, maka kehidupan yang terjalin dalam perusahaan/organisasi tersebut dapat menjadi lebih baik dan mendukung suasana kerja yang lebih harmonis (Suhandang, 2004, p. 73 – 74). Sedangkan publik eksternal adalah mereka yang berada di luar organisasi/perusahaan, yang dipandang perlu diberikan penerangan atau informasi untuk dapat membina hubungan baik. Beberapa pihak yang dipandang sebagai publik eksternal adalah

(17)

media, pemerintah, komunitas, supplier, konsumen, pihak pendidikan, dan masyarakat umum (Yulianita, 2007, p. 69, 71).

Dalam organisasi nirlaba, Wymer, Knowles, dan Gomes menyebutkan bahwa publik mereka terbagi menjadi 4 (empat) kategori. Pertama, input public, seperti donatur, suppliers, dan regulatory officials, yang memasok sumber daya untuk organisasi. Kedua, internal public, termasuk manajemen, board of directors, staf, dan sukarelawan, yang mengubah masukan menjadi barang dan layanan yang berguna, serta menentukan dan melaksanakan strategi organisasi. Ketiga, partner atau intermediary public, seperti pedagang, agen, fasilitator, dan perusahaan pemasaran, yang membawa, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa. Keempat, consuming public, klien, publik lokal, publik aktivis, publik umum, dan publik media, misalnya mereka yang menggunakan barang dan jasa yang diberikan organisasi dan memiliki ketertarikan terhadap output dari organisasi (Wymer, Knowles, & Gomes, 2006, p. 61). Sedangkan menurut Reddy, Reddy, Sharma, Rahim, Madhavan, dan Sharma, publik dari organisasi nirlaba dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni publik internal dan eksternal. Publik internal terdiri dari board of directors, staf, sukarelawan, dan penerima manfaat dari pelayanan yang diberikan oleh organisasi. Sedangkan publik eskternal terdiri dari donatur, komunitas, opinion leaders, organisasi komunitas, organisasi terkait, media, dan pemerintah (2017, p. 80 - 81)

2.4 Komunikasi Internal

Komunikasi internal merupakan “spesialisasi public relations yang berhubungan dengan ‘bagaimana para profesional public relations di korporasi, perusahaan konsultan, dan organisasi nirlaba membantu mewujudkan komunikasi yang efektif antarkaryawan dan antara karyawan dengan manajemen puncak’” (Lattimore, Baskin, Heiman, & Toth, 2010, p. 233). Sedangkan menurut Orsini, komunikasi internal merupakan “strategi yang digunakan karyawan dalam suatu organisasi untuk berkomunikasi satu sama lain” (dalam Angeline, 2013, p. 139).

Komunikasi internal atau yang disebut juga sebagai komunikasi karyawan atau employee relations digunakan untuk menciptakan dan memelihara

(18)

sistem komunikasi internal antara pemilik perusahaan dengan karyawannya. Garis komunikasi yang harus dibangun dengan karyawan pun merupakan garis komunikasi dua arah. Dalam arti bahwa semua karyawan dapat berpartisipasi secara bebas dalam sebuah pertukaran informasi. Perlu diingat pula bahwa komunikasi internal merupakan salah satu hal yang mampu mempengaruhi keberhasilan perusahaan/organisasi. Komunikasi internal dapat dikatakan mampu mempengaruhi keberhasilan organisasi/perusahaan karena adanya 4 (empat) faktor. Pertama, karyawan menginginkan organisasi yang mampu memberinya informasi, serta pimpinan yang mau membangun komunikasi dengan mereka. Kedua, adanya koneksi antara keterbukaan dalam komunikasi dengan kepuasan manajer terhadap peran mereka. Ketiga, komunikasi dua arah yang efektif merupakan kunci bagi organisasi untuk menuju kepada tantangan baru dalam dunia bisnis, karena adanya kepercayaan diri karyawan bahwa mereka mampu berkontribusi bagi kemajuan bisnis perusahaan. Terakhir, komunikasi internal bisa menjadi poin penting untuk bisa menjaga pengalaman yang baik dalam diri pelanggan (Lattimore, Baskin, Heiman, & Toth, 2010, p. 234, 236).

Lantas, beberapa maksud dan tujuan dibangunnya relasi dengan internal perusahaan adalah (Ruslan dalam Ningsih, Lestari, & Arif, 2009, p. 165) :

1. Sebagai sarana komunikasi internal secara timbal balik dalam perusahaan/organisasi.

2. Untuk menghilangkan kesalahpahaman atau hambatan dalam komunikasi, yang mungkin dapat terjadi antara perusahaan dengan karyawannya.

3. Sebagai sarana saluran atau alat komunikasi dalam upaya untuk menjelaskan tentang kebijaksanaan, peraturan, dan ketatakerjaan dalam suatu perusahaan/organisasi.

4. Sebagai media komunikasi internal bagi pihak karyawan untuk menyampaikan keinginan-keinginan atau sumbang saran, informasi, serta laporan pihak manajemen perusahaan (pimpinan).

(19)

Apabila komunikasi dalam perusahaan terjalin secara efektif, maka karyawan dapat memberi makna bagi pekerjaan dan profesi, membuat karyawan merasa terhubung, serta dapat meningkatkan produktivitas (Angeline, 2013, p. 139). Hal ini dapat terjadi karena bagaimanapun, perhatian perusahaan yang diberikan kepada karyawan ini dapat mengubah sikap dan perilaku karyawan. Moral dan produktivitas dapat meningkat apabila karyawan memiliki kesempatan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Berbeda dengan apabila komunikasi internal tidak mampu dijalankan dengan baik, hal ini dapat menuntun pada berbagai permasalahan di dalam organisasi (Ningsih, Lestari, & Arif, 2009, p. 165). Menurut Hewitt, komunikasi internal yang tidak diatur dengan baik dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti kurangnya efektivitas dan efisien kerja, ketidakpuasan yang terjadi antar pegawai, hingga kekacauan internal di dalam tubuh organisasi (dalam Angeline, 2013, p. 138). Sedangkan berdasar pada jurnal yang ditulis oleh Ningsih, Lestari, dan Arif, kegagalan dalam komunikasi internal dapat menciptakan kelambanan pegawai, ketidakefisienan, penurunan hasil, penurunan semangat kerja, pemogokan yang merugikan, kepailitan, dan masalah lain yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi penjualan, keuntungan, dan citra publik (2009, p. 165).

2.5 Organisasi Nirlaba

Organisasi nirlaba atau organisasi non-profit merupakan suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter) (Pontoh, 2013, p. 131). Sedangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990, tertulis bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM atau NGO merupakan :

“Organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan

(20)

masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya”.

Berdasar pada Pontoh (2013), organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal perundang-undangan, organisasi jasa sukarelawan, serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum, dan beberapa petugas pemerintah (p. 131). Organisasi nirlaba memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Hasana dalam Pontoh, 2013, p. 131) :

a. Sumber daya entitas. Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan.

b. Menghasilkan barang/jasa tanpa bertujuan menumpuk laba, kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para atau pemilik entitas tersebut.

c. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan atau ditebus kembali atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada suatu likuidasi atau pembubaran entitas.

2.5.1 Public Relationsdalam Organisasi Nirlaba

Dalam organisasi nirlaba atau non-profit, seorang public relations seringkali ditambahkan, diperluas, dan ditinggikan ketika organisasi tersebut dihadapkan pada berbagai hal. Misalnya saja, ketika organisasi dihadapkan pada tantangan atau kekuatan yang ada di luar organisasi, memperoleh ancaman terkait dengan pemotongan dana atau penghapusan langsung, atau memperoleh paksaan untuk berubah atau melakukan reformasi. Seiring dengan berjalannya waktu, krisis inilah yang dihadapi oleh organisasi nirlaba, mengingat bahwa ada banyak kompetisi yang terjadi, entah itu untuk memperoleh donasi, mengurangi subsidi pemerintah, dan untuk meningkatkan permintaan akan layanan (Cutlip, Center, & Broom, 2006, p. 449).

(21)

Namun secara keseluruhan, public relations dalam organisasi nirlaba berperan untuk (Cutlip, Center, & Broom, 2006, p. 449) :

1. Mendefinisikan atau mem-branding organisasi, memperoleh penerimaan terhadap misi organisasi, dan melindungi reputasinya.

2. Mengembangkan media komunikasi dari organisasi tersebut.

3. Menciptakan dan memelihara iklim yang menguntungkan bagi organisasi untuk melakukan penggalangan dana.

4. Mendukung pengembangan dan pemeliharaan dari kebijakan publik yang menguntungkan bagi misi organisasi.

5. Menginformasikan dan memotivasi publik utama organisasi (karyawan, sukarelawan, maupun pengawas) untuk mendedikasikan dirinya dan bekerja secara produktif, demi mendukung misi, tujuan, dan pencapaian organisasi.

Namun apabila dikaitkan secara spesifik pada bidang dari organisasi nirlaba tersebut, misal dalam hal ini organisasi bergerak di bidang aktivitas sosial, public relations memiliki peran yang lebih kompleks. Beberapa diantaranya adalah memberikan konseling pada direktur eksekutif maupun jajaran direktur lain terkait dengan peran dari komunikasi dan pentingnya mengembangkan perencanaan program untuk menekankan isu serta pencapaian tujuan yang telah ditetapkan organisasi di awal. Kemudian, public relations dalam organisasi nirlaba yang bergerak di bidang aktivitas sosial juga dapat berperan untuk merekrut sukarelawan dan mengusahakan penggalangan dana. Namun satu yang menjadi kunci dari peranan public relations dalam organisasi nirlaba ini adalah mengedukasi publik terkait dengan situasi yang saat ini sedang dihadapi, serta membangun kepercayaan bahwa organisasi tersebut dapat membantu mereka untuk membangun sebuah komunitas yang sehat (Cutlip, Center, & Broom, 2006, p. 453).

Kemudian, mengkaji peran public relations dalam organisasi nirlaba, salah satu peran public relations adalah untuk menginformasikan dan memotivasi publik utama organisasi (karyawan, sukarelawan, maupun pengawas) untuk

(22)

mendedikasikan dirinya dan bekerja secara produktif, demi mendukung misi, tujuan, dan pencapaian organisasi (Cutlip, Center, & Broom, 2006, p. 449). Menekankan pada karyawan, relasi dengan karyawan dalam organisasi nirlaba merupakan salah satu kasus yang menarik untuk dipelajari. Dalam beberapa kasus, karyawan mau bekerja dalam sebuah organisasi nirlaba karena setuju kepada misi yang dibawa organisasi, keinginan orang tersebut untuk menolong orang lain, perasaan bahwa ia mampu memberikan kontribusi dalam organisasi tersebut, serta keinginan untuk bisa maju dan mengembangkan keterampilannya (Opportunity Knocks, n.d., p. 3, 4; Armstrong, Bluitt-Fisher, Lopez-Newman, Paul, & Paul, 2009, p. 2). Dengan kata lain, ada motivasi atau tujuan yang hendak dicapai karyawan, pada saat ia memutuskan untuk bergabung dalam suatu organisasi nirlaba. Konsep di atas pun diperkuat dengan teori yang digagas oleh Abraham Maslow bahwa tiap orang memiliki tujuannya sendiri-sendiri. Seringkali, segala sesuatu yang dilakukan tersebut merupakan langkah untuk dapat mencapai tujuan tersebut (dalam Thiagaraj & Thangaswamy, 2017, p. 466). Namun diluar motivasi ini, karyawan juga menginginkan lingkungan organisasi yang terbuka dan terorganisir, organisasi dimana karyawan mampu mengambil peran dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan mereka, serta organisasi dimana ekspektasi dan ukuran keberhasilannya jelas dan didefinisikan dengan baik (Opportunity Knocks, n.d., p. 3).

Terlepas dari motivasi yang ada ini, ada pula berbagai tantangan yang dihadapi oleh karyawan organisasi non-profit, yang seringkali juga menjadi salah satu faktor bagi keluarnya mereka dari organisasi tersebut. Beberapa di antaranya adalah tuntunan untuk memanajemen emosi di depan pihak yang dilayani, lingkungan kerja yang buruk, lingkungan ekonomi yang sulit, kondisi stres karena banyaknya tuntutan kerja dan gaji yang dapat dikatakan rendah, pelatihan yang rendah, terlalu banyaknya pelaporan yang dibuat, serta tidak dihargainya waktu dan pekerjaannya (Opportunity Knocks, n.d., p. 4, 5; Armstrong, Bluitt-Fisher, Lopez-Newman, Paul, & Paul, 2009, p. 4, 10).

(23)

Lantas, cara yang dapat digunakan organisasi untuk mempertahankan karyawan adalah dengan memberikan fleksibilitas; menciptakan atmosfer kekeluargaan; membuka diskusi di dalam rapat; mengadakan program apresiasi, pemberian pemahaman yang baik, terkait dengan visi misi organisasi, sehingga mereka mampu mendukung pencapaian visi dan misi tersebut; adanya ukuran yang jelas dari pencapaian suatu posisi; pemberian kegiatan yang bisa digunakan untuk career development, seperti training; pemberian penghargaan non monetary, seperti manfaat dan kebijakan yang memungkinkan karyawan menyeimbangkan kehidupan kerja dan rumah tangga; keuntungan lain, seperti berlibur, perawatan kesehatan, jadwal alternatif, subsidi transportasi, waktu cuti keluarga, jenjang karir, perawatan anak, dan subsidi lansia; hubungan yang baik dengan pihak manajemen; dan lain sebagainya (Opportunity Knocks, n.d., p. 11 -17; Armstrong, Bluitt-Fisher, Lopez-Newman, Paul, & Paul, 2009, p. 4, 20).

Walau begitu, tetap ada pula beberapa karyawan yang walau memperoleh tantangan seberat apapun, tetap mampu bertahan dalam sebuah organisasi nirlaba. Hal ini pun dijelaskan Dilts, Hallbom, dan Smith (1991), bahwa ada kategori dalam kepercayaan seseorang, yang dinamakan kriteria dan nilai. Kategori ini merupakan kepercayaan yang dipegang seseorang, terkait dengan mengapa sesuatu itu penting bagi diri orang tersebut. Hal ini merupakan sesuatu yang kuat dan sifatnya individual. Setiap orang menyusun kriteria yang dia miliki secara hierarki. Misalnya saja, bagaimana beberapa orang memandang bahwa mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari merupakan hal yang lebih penting dibanding dengan bersenang-senang (p. 127 - 128).

2.6 Teori Pendukung Organisasi

2.6.1 Manajemen

Berdasar pada Robbins (2007), manajer merupakan individu yang mencapai sasarannya melalui orang lain (p. 4). Dalam praktiknya, manajer bertugas untuk menjalankan peran manajemen. Peran tersebut antara lain adalah (Robbins, 2007, p. 4 - 5) :

(24)

a. Peran interpersonal, dimana dalam hal ini “manajer dituntut untuk menjalankan tugas-tugas yang sifatnya seremonial dan simbolik”. Selain itu, seorang manajer juga mengemban tugas untuk merekrut, memberi pelatihan, memberi motivasi, dan mendisiplinkan karyawannya.

b. Peran informasional. Dalam hal ini, seorang manajer diharap untuk dapat mengumpulkan informasi-informasi yang dipandang penting untuk organisasi, meneruskan informasi tersebut kepada anggota organisasi, dan menjadi juru bicara ketika berhadapan dengan pihak di luar organisasi. c. Peran pengambilan keputusan, termasuk di dalamnya mengawasi kegiatan

organisasi, menjalankan tindakan korektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak terduga, mengalokasikan sumber daya manusia, fisik, maupun moneter, serta membahas berbagai isu dan melakukan tawar-menawar dengan unit lain demi keuntungan unitnya.

Sehingga untuk bisa menjalankan peran manajemen ini, seorang manajer diharap untuk memiliki keterampilan manajemen, yang antara lain terdiri dari kemampuan untuk menerapkan pengetahuan atau keahlian khusus, kemampuan bekerja sama, memahami, dan memotivasi orang lain, serta kemampuan mental untuk menganalisis dan mendiagnosa situasi yang rumit (Robbins, 2007, p. 6 - 7).

Kemudian, disamping peran manajemen di atas, dalam artikel yang ditulis oleh Sunarta, disebutkan bahwa manajer juga diharap untuk bisa melakukan perencanaan sumber daya manusia (SDM). Perencanaan SDM dalam hal ini terkait dengan proses untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja saat ini dan masa mendatang dari sebuah organisasi. Dalam arti bahwa, manajer berusaha untuk mengisi kekurangan tenaga kerja yang ada, baik itu secara kuantitas maupun kualitas dan memikirkan ketersediaan tenaga kerja, berdasar pada kebutuhan dan perencanaan bisnis di masa mendatang. Kurangnya SDM, baik secara kualitas maupun kuantitas dapat menghambat organisasi dalam mencapai tujuannya (Sunarta, n.d., p. 5).

(25)

2.6.2 Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2007), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota, dimana sistem ini yang nantinya dapat membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain (p. 721). Lebih lanjut lagi, budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota dari organisasi tersebut. Dalam budaya organisasi ini, terdapat istilah budaya dominan dan sub-budaya. Budaya dominan terkait dengan nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi tersebut. Sedangkan sub-budaya erat kaitannya dengan “budaya kecil di dalam organisasi yang didefinisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis”. Namun biasanya, sub-budaya ini cenderung berkembang dalam organisasi besar (Robbins, 2007, p. 729).

Budaya dapat diciptakan melalui 3 (tiga) cara, yakni pendiri organisasi hanya mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang berpikir dan merasakan cara yang mereka tempuh, mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan dengan cara berpikir dan cara berperasaan mereka, dan terakhir bagaimana pimpinan organisasi menjadi model peran yang mendorong karyawan untuk memiliki visi, keyakinan, dan asumsi pimpinan (Robbins, 2007, p. 729).

2.6.3 Dasar-Dasar Perilaku Individu berdasar Karakter Biografis 2.6.3.1 Usia

Dalam bukunya, Robbins (2007) mengungkap bahwa para pemilik perusahaan memiliki perasaan yang campur aduk terhadap pekerja yang sudah tua. Hal ini disebabkan karena di satu sisi, mereka melihat sejumlah kualitas positif yang dibawa orang yang telah tua usianya ke dalam pekerjaan mereka. Beberapa di antaranya adalah pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Namun di sisi lain, pekerja yang telah berumur dipandang kurang luwes dan menolak teknologi baru (p. 48).

Tapi apabila dikaji dari sisi lain, disebutkan bahwa semakin tua seseorang, maka akan semakin kecil kemungkinan bagi orang tersebut untuk

(26)

berhenti dari pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena semakin tua seseorang, maka semakin sedikit peluang pekerjaan alternatif bagi mereka. Sedangkan apabila dikaji berdasar pada kepuasan, maka terdapat hubungan yang positif antara kepuasan dan usia, sekurangnya sampai usia 60 tahun. Namun ada pula penelitian yang menyebutkan bahwa usia dan kepuasan memiliki hubungan yang berbentuk-U. Dalam arti bahwa apabila karyawan tersebut merupakan karyawan yang profesional, maka seiring dengan bertambahnya usia, kepuasan mereka cenderung terus-menerus meningkat. Sedangkan bagi non-profesional, kepuasan tersebut merosot selama usia setengah baya dan akan naik kembali pada tahun-tahun berikutnya (Robbins, 2007, p. 49).

Apabila dalam pembahasan tersebut lebih mengarah kepada pengaruh usia terhadap komitmen dan kepuasan, maka berikutnya, peneliti akan memfokuskan pada karakteristik dari usia, berdasar pada generasinya. Berdasar pada Oktariani, Hubeis, dan Sukandar (2017), generasi X atau angkatan yang lahir pada tahun 1961 hingga 1980 memiliki ciri-ciri (p. 16 - 17) :

- Etika kerjanya sangat kuat dan memiliki keyakinan bahwa kerja keras merupakan kunci dari kesuksesan.

- Banyak menghabiskan waktu di tempat kerja.

- Tidak memiliki sifat individualis dan memiliki kemampuan untuk bekerja dalam tim.

- Cenderung akan saling mendengarkan satu sama lain karena memiliki rasa profit sharing dengan rekan kerja.

- Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, berkomitmen, dan loyal terhadap perusahaan dimana mereka bekerja.

- Bagi mereka, bekerja merupakan hal yang sangat penting dan tidak membosankan, sehingga dibutuhkan sifat yang telaten juga sabar dalam menghadapi semua rutinitas pekerjaan yang diperolehnya.

- Cenderung lebih memilih pekerjaan dan mengorbankan kepentingan yang bersifat pribadi.

(27)

Berbeda dengan generasi X, generasi Y atau generasi yang lahir pada tahun 1980 hingga akhir tahun 2000 memiliki ciri-ciri (Oktariani, Hubeis, dan Sukandar, 2017, p. 17 - 18) :

- Peduli terhadap teknologi baru, aktif mencoba hal-hal baru dalam bekerja, dan tidak takut pada perubahan-perubahan.

- Menginginkan organisasi yang dapat memberi wadah bagi mereka untuk menuangkan ide-ide kreatif dan out of the box.

- Cenderung individualis, memiliki sifat egosentris, tidak peduli, cepat bosan, tidak sabaran, dan tidak mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan mereka.

- Rendah terhadap komitmen dan loyalitas dalam bekerja, karena memiliki sifat yang kurang serius dan cenderung menyepelekan pekerjaan.

- Cenderung tidak fokus dalam bekerja serta emosi tidak stabil.

2.6.3.2 Jenis Kelamin

Menurut Robbins (2007), terdapat hanya sedikit perbedaan penting antara laki-laki dan perempuan yang akan mempengaruhi kinerja mereka. Misalnya saja terkait dengan bagaimana perempuan dipandang lebih bersedia untuk mematuhi wewenang, sedangkan laki-laki lebih agresif dan berkemungkinan lebih besar dari perempuan untuk memiliki harapan atas keberhasilan. Namun memang perbedaan tersebut tidak besar. Sedangkan apabila dilihat dari segi kepuasan, tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja seseorang. Sama halnya dengan kepuasan, tidak terdapat pula bukti yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam hal pengunduran diri yang terjadi antara laki-laki dan perempuan (p. 50).

Namun, ada pula fakta yang mengungkap bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, terutama dari segi komunikasi. Berdasar pada Kompas.com, hal ini dapat terlihat dari pola pikir laki-laki yang cenderung berdasar pada fakta, sementara perempuan lebih fokus pada konsep dan jalinan hubungan. Kedua, laki-laki cenderung lebih tegas dalam memerintah, sedangkan

(28)

perempuan lebih halus, tetapi menggunakan penekanan di akhir kalimat. Ketiga, laki-laki dapat bekerjasama dengan orang yang tidak disukainya, sedangkan perempuan cenderung sulit melakukannya. Keempat, laki-laki hanya mampu mengekspresikan perasaannya kepada orang terdekat, sedangkan perempuan dapat mengutarakannya kepada siapa saja. Kelima, saat menghadapi masalah, laki-laki cenderung berpikir untuk mencari jawabannya, sedangkan perempuan cenderung mencari tempat untuk dapat mengungkapkan keluhan terkait dengan masalah tersebut. Keenam, laki-laki cenderung fokus pada hasil akhir dan cara pencapaian usaha, sedangkan perempuan cenderung fokus pada pencapaian sasaran dan cenderung mempertimbangkan penilaian orang lain. Ketujuh, laki-laki dapat memberikan komentar secara terus terang dan memotong pembicaraan orang lain bila ingin berkomentar, sementara perempuan cenderung lebih peka dan berhati-hati. Kedelapan, laki-laki mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi, sedangkan perempuan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi dan menjaga hubungan. Kesembilan, laki-laki cenderung bicara seadanya, sedangkan perempuan senang berbicara (Kompas.com, 2008). Juliano (2015) juga menyebutkan bahwa pengalaman yang ada menunjukkan betapa rumitnya komunikasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan (p. 20). Perbedaan susunan otak, struktur, organ emosional, dan proses sosialisasi yang ditanamkan keluarga antara laki-laki dan perempuan memiliki pengaruh terhadap cara atau proses penyampaian informasi, sehingga pada hasilnya persepsi, prioritas, dan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan menjadi berbeda (Juliano, 2015, p. 23, 25). Berdasar jurnal ini, kaum perempuan lebih menonjolkan relasi yang dibangun, sedangkan kaum laki-laki lebih menonjolkan penyelesaian tugas, menyatakan diri, dan mendapatkan kekuasaan. Dengan kata lain, fokus pembicaraan dari laki-laki dan perempuan cenderung berbeda. Laki-laki cenderung berfokus pada kemandirian dan statusnya, sedangkan perempuan lebih mengarah pada koneksitas (Juliano, 2015, p. 21, 22, 28). Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus memahami cara berhubungan satu dengan yang lain dan menanggapi dengan tepat pembicaraan yang berlangsung. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pihak-pihak yang ada

(29)

dalam komunikasi dapat meningkatkan hubungan menjadi lebih baik dan membantu mengurangi kesalahpahaman serta konflik berkelanjutan (Juliano, 2015, p. 21). Sehingga di sini, penekanan yang hendak diberikan adalah memang ada perbedaan gaya komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Di satu sisi, hal ini dapat mempengaruhi keefektifan komunikasi, dan di sisi lain, ada kalanya perbedaan gaya ini dapat saling mengisi, sehingga terjalin kerja sama yang lebih baik antara kedua belah pihak (Kompas.com, 2008; Corrie, 2017, para. 17).

2.6.3.3 Masa Kerja

Berdasar pada Robbins (2007), semakin lama seseorang bekerja dalam sebuah organisasi atau perusahaan, maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut untuk mengundurkan diri. Selain itu, masa kerja juga berbanding lurus dengan kepuasan. Dalam arti bahwa, semakin lama orang tersebut bekerja dalam sebuah organisasi, maka akan semakin puas juga orang tersebut (p. 51). Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Hadiyani, Karmiyati, Ingarianti (2012) bahwa masa kerja berbanding lurus dengan komitmen. Dengan kata lain, semakin lama masa kerja karyawan, komitmen organisasi yang dimiliki akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin pendek masa kerja karyawan, komitmen yang dimiliki juga semakin lemah (p. 170).

2.7 Nisbah Antar Konsep

Ada banyak pihak atau ahli yang telah memberikan sumbang sarannya terkait dengan makna atau pengertian dari public relations. Tiap pihak mengutarakan pendapatnya masing-masing, dan tentunya dikemas dengan bahasanya sendiri-sendiri. Namun apabila diteliti lebih lanjut, terdapat satu pesan yang sebenarnya hendak disampaikan dan dicerminkan melalui definisi tersebut. Hal ini berkaitan dengan peran signifikan public relations untuk membangun hubungan dan komunikasi dengan publik dari perusahaan/organisasi. Pesan ini semakin dikukuhkan dengan teori fungsi public relations. Disebutkan bahwa salah satu fungsi public relations adalah untuk membangun relasi atau hubungan dengan publik dari organisasi, entah itu publik internal maupun eksternal. Namun

(30)

dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus pada publik internal, khususnya karyawan dari sebuah organisasi nirlaba.

Sama halnya dengan perusahaan profit, organisasi nirlaba juga memerlukan peranan seorang public relations. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya organisasi-organisasi nirlaba. Dimana setiap pihak sama-sama berusaha untuk memperoleh donasi dan kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Maka, peran dan kehadiran public relations menjadi sangat diperlukan dalam hal ini. Misalnya saja untuk mem-branding organisasi mereka, mengembangkan media komunikasi, menciptakan iklim yang baik untuk penggalangan dana, mendukung pengembangan dan pemeliharaan kebijakan publik yang menguntungkan misi organisasi, dan menginformasi serta memotivasi publik utama organisasi.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa semua hal tersebut dapat tercapai ketika hubungan internal organisasi telah solid. Hubungan yang solid ini dapat diperoleh melalui komunikasi yang intens. Dimana tidak hanya organisasi saja yang mengkomunikasikan sesuatu kepada karyawan, namun karyawan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbang saran kepada atasan atau perusahaan. Dengan begitu, karyawan akan merasa dilibatkan dan mampu memberikan pengaruh bagi organisasi. Kemudian, dengan komunikasi, khususnya komunikasi yang efektif, karyawan akan lebih memahami tujuan, misi, dan pencapaian dari organisasi. Dengan begitu, tujuan organisasi dapat tercapai.

Ketika akhirnya organisasi mampu menjalin dan mempertahankan hubungan jangka panjang dengan publik kuncinya, maka disanalah nilai public relations akan terlihat. Lantas, cara yang dapat ditempuh untuk menentukan sejauh mana outcomes of relationships jangka panjang dari organisasi dapat dilakukan dengan menggunakan 6 (enam) elemen dari hubungan. Elemen-elemen tersebut antara lain adalah control mutuality, trust, communal relationships, exchange relationships, commitment, dan satisfaction.

Terkhusus dalam penelitian ini, peneliti mengukur outcomes of relationships organisasi dengan karyawannya. Maka dari itu, untuk bisa menganalisis lebih dalam, peneliti juga menambahkan teori terkait dengan

(31)

manajemen, budaya organisasi, dan dasar perilaku individu berdasar pada karakteristik biografis.

(32)

2.8 Kerangka Pemikiran

Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber : Olahan Peneliti, 2018

Relationships Measurement Tinggi

Relationships Measurement Rendah Excellence theory menjelaskan bahwa nilai public relations akan tampak dari

kemampuannya untuk membangun dan mempertahankan hubungan dengan publik kunci (Botan & Hazleton, 2006). Sedangkan outcomes of relationships dapat digunakan oleh

public relations untuk mengukur relasi jangka panjang yang selama ini telah dibangun

organisasi dengan publik kuncinya (Grunig dan Hon, 1999, p. 12). Salah satu publik utama dari organisasi nirlaba adalah karyawan. Publik ini dapat dicapai melalui komunikasi internal. Komunikasi internal, khususnya komunikasi yang

efektif, penting untuk tercipta karena bagaimanapun keberhasilan perusahaan dalam mencapai visi, misi, serta tujuan organisasi dipengaruhi oleh faktor internal.

Pengukuran kualitas relasi dengan karyawan tetap di organisasi nirlaba X, sebagai upaya untuk meningkatkan relasi menjadi lebih baik lagi dan mencegah hilangnya tenaga

karyawan. Dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey. Organisasi nirlaba X merupakan salah satu organisasi nirlaba yang memiliki banyak cakupan bidang dan aktivitas di dalamnya. Walau begitu, karyawan tetap menikmati setiap aktivitas yang ada. Pasang surut yang dialami karyawan pun telah ditanggapi dengan baik, melalui berbagai aktivitas untuk karyawan serta atmosfer kekeluargaan.

Outcomes of Relationships dari Organisasi Nirlaba X dengan Karyawannya. Control

Mutuality

Trust (Integrity, Dependability,

competence)

Satisfaction Commitment Exchange Relationships

Communal Relationships

Referensi

Dokumen terkait

Tidak terdapatnya perbedaan kecerdasan emosional antara siswa SMA dengan siswa MA pada penelitian ini juga dapat disebabkan karena banyaknya responden dari siswa SMA yang

Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebut Pengawasan adalah proses kegiatan pemeriksaan, reviu, pemantauan, evaluasi, dan konsultasi serta

Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan akhir tahun yang meliputi UKK dan Ujian Sekolah pada kondisi pandemi COVID-19 harus disertai dengan prinsip kehati-hatian dan

Dengan demikian sangat dibutuhkan cara atau media yang harus diinformasikan kepada para siswa tentang teknik pembuatan presentasi yang interaktif dan lebih menarik salah satunya

Infeksi Ascaris limbricoides akan menimbulkan penyakit Ascariasis, penyakit ini mengakibatkan gejala yang disebabkan oleh stadium larva dan stadium dewasa.. a)

Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena tahun 2012 ini Balai Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dapat

• #da juga orang batak sakit karena tarhirim +is $ seorang bapak menjanjikan akan memberi mainan buat anaknya, tetapi janji tersebut tidak ditepati. arena janji tersebut

profil peserta dan point akan bertambah secara otomatis 5 Tampilan halaman transaksi lelang Menguji untuk dapat mengikuti transaksi lelang dengan menggunakan point