• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan umum sungai dan rawa adalah perairan umum air tawar yang memiliki ciri spesifik, yang berbeda dengan perairan umum air tawar lainnya. Perairan umum sungai dan rawa merupakan habitat perairan tawar yang berupa sungai dan daerah banjirannya yang membentuk satu kesatuan fungsi dan terdiri dari beberapa tipe ekologi yang dapat dibedakan secara jelas antara musim kemarau dan musim penghujan (Welcomme, 1979).

Di Sumatera Selatan (Sumsel), secara umum perairan umum sungai dan rawa dikenal dengan nama perairan umum lebak lebung (PULL). Arifin dan Ondara (1982) mengemukakan bahwa berdasarkan perbedaan kondisi ekologinya, PULL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe ekologi, yaitu tipe sungai utama, lebak kumpai, talang dan rawang. Keempat tipe ekologi tersebut secara keseluruhan di Indonesia luasnya mencapai 12,0 juta ha (Sukadi and Kartamihardja, 1994), dan 65% dari luas totalnya berada di Kalimantan, 23% di Sumatera, 7,8% di Papua, 3,5% di Sulawesi, dan 0,7% di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Sarnita, 1986).

Perairan Umum Lebak Lebung (PULL) di Sumsel merupakan penghasil ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat. Tipe perairan ini terluas terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab. OKI), yaitu sekitar 65% wilayahnya berupa rawa, payau, lebak, dan sungai. Hak usaha penangkapan ikan di PULL ini diatur dengan sistem pelelangan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan telah berlangsung sejak lama, dan dikenal dengan nama ”lelang lebak lebung”. Kelembagaan ”lelang lebak lebung” ini menjadi penting terutama bertujuan agar tidak terjadi konflik diantara nelayan yang akan melaksanakan usaha penangkapan ikan (Nasution, 1990), sehingga menjadi wadah pengaturan alokasi hak usaha penangkapan ikan. Disamping itu, juga berfungsi sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Terkait dengan ”lelang lebak lebung”, seorang antropolog Inggris yang bernama Julia Clare Hall mengemukakan bahwa kelembagaan ”lelang lebak lebung” dapat menjadi suatu landasan sosial yang tepat guna dan dapat lebih

(2)

berkembang menjadi suatu strategi pengelolaan perikanan yang lebih rasional bagi sumberdaya perikanan PULL (Hall, 1995). Namun demikian pada saat ini kelembagaan tersebut lebih diarahkan untuk meningkatkan PAD daripada untuk kepentingan masyarakat nelayan. Sebagai contoh pada tahun 2003 lelang lebak lebung memberikan kontribusi sebesar Rp.3.526.272.500.- atau sebesar 38,75% dari total pemasukan PAD Kab. OKI dan ini merupakan sumber PAD terbesar (Nizar, 2005), dan pada tahun 2006 meningkat menjadi sebesar Rp. 4.623.560.500.- (Diskan Kab. OKI, 2007). Padahal, di lain pihak, usaha penangkapan ikan di PULL tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat nelayan.

Pengelolaan sumberdaya perikanan”lelang lebak lebung” pada awalnya hingga tahun 1982, dilaksanakan dan diatur oleh pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga (Pasirah), yang sekaligus merupakan pimpinan administrasi pemerintahan. Setelah tahun 1982, dengan cara lelang yang sama kewenangannya beralih kepada pemerintahan kabupaten. Hal ini sebagai akibat diberlakukannya pembentukan desa-desa di seluruh wilayah Indonesia dengan dasar UU RI No. 5 Tahun 1979, yang di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan selesai penataannya pada tahun 1982. Tujuan undang-undang ini adalah menghapuskan pengertian dan nama satuan pemerintahan terkecil di wilayah Republik Indonesia yang beraneka ragam, seperti marga (di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi), nagari (di Sumatera Barat), gampong dan mukim (di Nanggroe Aceh Darussalam) (Soemardjan and Breazeale, 1993).

Pelimpahan kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” kepada pemerintahan kabupaten di wilayah Propinsi Sumatera Selatan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No.705/KPTS/II/1982 tgl 5 Nopember 1982 (Pemda Tk I Prop. Sumsel, 1982). Surat Keputusan ini hampir sama isinya dengan Perda No.8/Perdass/1973/1974 (Pemda Tk I Prop. Sumsel, 1974), kecuali yang berkaitan dengan penjelasan tentang pembagian hasil lelang, dimana 70% nilai hasil lelang perairan umum lebak lebung menjadi penerimaan pembangunan dalam APBD Tingkat II, yaitu sebagai Pendapatan Asli Daerah Tingkat II dari sub

(3)

Disamping itu panitia lelang bukan lagi Pasirah, tetapi diganti dengan Camat Kepala Wilayah Kecamatan, sedangkan panitia pengawas adalah Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten, bukan Pasirah (Kepala Marga).

Sebagai tindak lanjut perubahan kewenangan tersebut, Pemerintah Kab. OKI menetapkan Peraturan Daerah Tingkat II OKI Nomor 3 Tahun 1984 yang mengatur tentang lelang lebak lebung di wilayah Kab. OKI (Pemda Tk II Kab. OKI, 1984). Dalam hal ini tidak ada lagi peranan Pasirah karena sistem pemerintahan Marga diganti Pemerintahan Kecamatan dan Desa. Perda ini telah mengalami perubahan yaitu diganti dengan Perda No. 28 Tahun 1987 yang pada prinsipnya terjadi perubahan terkait dengan peruntukan kas Pemda Tingkat II menjadi Kas Desa namun nilainya sebesar 60%, dimana sebelumnya hanya 15% (Utomo dan Nasution, 1996). Salah satu implikasi penting adalah diberlakukannya standar harga objek lelang PULL (dan meningkat 10% tiap tahun) yang dilelangkan pada setiap tahunnya. Perda ini disempurnakan menjadi Perda No. 16 tahun 2003 (Pemerintah Kab. OKI, 2003), dan Perda No. 9 Tahun 2005 (Pemerintah Kab. OKI, 2005). Terakhir terjadi perubahan lagi menjadi Perda No. 9 Tahun 2008 Tentang tentang Pengelolaan Lebak, Lebung, dan Sungai dalam Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) (Pemerintah Kab.OKI, 2008), yang berlaku hingga saat dilakukannya penelitian ini.

Di lain pihak, dari peran pemanfaat atau pengguna (user) terlihat bahwa sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) kelompok pemanfaat yang berbeda terkait dengan sumberdaya perikanan PULL yang pengelolaannya diatur melalui kelembagaan “lelang lebak lebung”. Pemanfaat pertama adalah masyarakat nelayan, yang memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL sebagai sumber mata pencahariannya. Pemanfaat kedua, adalah pemerintah kabupaten yang menentukan sumberdaya perikanan PULL (melalui kelembagaan “lelang lebak lebung”) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dan, kelompok pemanfaat ketiga adalah masyarakat swasta (pedagang) yang juga mengharapkan sumberdaya perikanan PULL sebagai sumber perputaran modal yang diharapkan lebih menguntungkan dari pada bunga bank, jika modal tersebut hanya disimpan di bank.

(4)

Lebih lanjut, hasil interaksi ketiga kelompok pemanfaat tersebut diatas terhadap sumberdaya perikanan PULL akan berkaitan dengan kondisi sumberdaya perikanan PULL dan juga akan berkaitan dengan kemiskinan masyarakat nelayan. Hal ini terlihat antara lain dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dengan diizinkannya warga yang bukan nelayan (pedagang atau pemilik modal) ikut serta dalam pelelangan, maka hak usaha penangkapan ikan pada sebagian besar objek lelang di Kab. OKI diperoleh oleh pedagang yang sama sekali tidak berprofesi sebagai nelayan (Arifin, 1972; Nasution et al, 1992; Sripo, 2002). Selanjutnya, masyarakat nelayan memperoleh hak usaha penangkapan ikan dari pedagang yang memenangkan pelelangan sumberdaya perikanan PULL. Hak usaha penangkapan ikan yang berasal dari pedagang harus dibayar nelayan menggunakan ikan hasil tangkapannya hingga lunas. Pada kondisi demikian, ternyata, walaupun nilai ikan hasil tangkapan yang diperoleh masyarakat nelayan cukup tinggi, namun masyarakat nelayan menjadi miskin dengan rendahnya pendapatan mereka yang berasal dari ikan hasil tangkapan (Nasution dan Dharyati, 1999; Sripo, 2002).

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka beberapa pertanyaan penelitian yang utama adalah “bagaimana efektifitas kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” yang ada di masa pemerintahan Marga dan masa pemerintahan kabupaten, serta bagaimana dampaknya pada akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung?. Kemudian, apakah perubahan kelembagaan tersebut mengakibatkan terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung dan mengakibatkan pula terjadinya kemiskinan masyarakat nelayan”?. Dengan dasar pertanyaan tersebut, maka kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” menjadi penting untuk diteliti dan dikaji dalam rangka mencari alternatif kelembagaan adaptif dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL yang dapat mendukung upaya kelestarian sumber daya perikanan dan kesejahteraan masyarakat nelayan.

(5)

1.2 Perumusan Masalah

Dalam rangka memudahkan pengelolaan perairan umum air tawar untuk pembangunan perikanan, perairan mengalir dapat dibagi menjadi perairan sungai, rawa, lebak, kanal, estuaria, danau dan waduk (Ilyas et al., 1990). Perairan umum tersebut dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, antara lain berupa kegiatan pertanian, perkebunan dan lain-lain; penebangan kayu dan pengusahaan hutan; bercocok tanam dan pemukiman. Termasuk pula pengaruh kegiatan penangkapan ikan itu sendiri yang dilakukan menggunakan berbagai macam alat dan cara penangkapan (Saanin, 1982). Untuk itu, pemanfaatan perairan umum untuk keperluan di luar perikanan, seharusnya mempertimbangkan kepentingan perikanan, karena meskipun perikanan tidak mengkonsumsi air, tetapi memerlukan kualitas dan kuantitas air tertentu (Ilyas et al., 1990) untuk mendukung kehidupan ikan, organisme akuatik lainnya, dan tumbuhan tingkat tinggi di PULL (Welcomme, 1983).

Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan umum memerlukan beberapa tindakan ke arah pengelolaan mulai dari pengelolaan lingkungan perairan, pengelolaan langsung perikanan dan pengelolaan tak langsung (Welcomme, 1985). Namun kesemuanya ini tergantung kepada kemauan politik pemerintah, karena “politics is the science and art of the government” (Dingell, 1972), yang menjadi dasar penetapan prioritas dan penerapannya. Padahal, pemanfaatan perairan umum (termasuk sumberdaya perikanan PULL) secara bersama harus menguntungkan semua pengguna, sehingga memerlukan suatu usaha yang terpadu (integral) yang bertujuan mempertahankan dan/atau memperbaiki agar struktur dan fungsi ekosistem secara menyeluruh tetap dapat dipertahankan (NRC, 1992). Tambahan pula, dengan pengelolaan yang ada, secara implisit harus telah memasukkan prinsip adanya manfaat sosial dan ekonomi sumberdaya perikanan perairan umum tersebut (Pitcher and Hart, 1982). Oleh karena itu, diharapkan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” dapat mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan secara optimal bagi semua pengguna, dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya perikanan PULL itu sendiri.

(6)

Pada perkembangannya, kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” menerapkan sistem lelang yang diadakan setiap tahun oleh pemerintah kabupaten, sistem ini memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain adalah diizinkannya warga yang bukan nelayan ikut serta dalam pelelangan (Arifin, 1972; Zain, 1982; Nasution et al., 1992). Hal ini menyebabkan hak usaha penangkapan ikan pada sebagian besar perairan di Kab. OKI diperoleh pedagang (bukan nelayan) (Arifin, 1972; Nasution et al, 1992; Sripo, 2002). Selanjutnya, masyarakat nelayan memperoleh hak usaha penangkapan ikan dari pedagang yang memenangkan pelelangan hak usaha penangkapan ikan atau hak untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL.

Pada prakteknya, hak usaha penangkapan ikan yang berasal dari pedagang harus dibayar nelayan menggunakan ikan hasil tangkapannya hingga lunas. Pada kondisi tersebut, ternyata, walaupun nilai ikan hasil tangkapan yang diperoleh masyarakat nelayan cukup tinggi, namun pendapatan mereka masih tetap saja rendah (Nasution dan Dharyati, 1999; Sripo, 2002). Hal ini antara lain sebagai akibat tingginya harga hak usaha penangkapan ikan yang harus dibayar oleh nelayan terhadap pedagang. Padahal, menangkap ikan atau menjadi nelayan dengan memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL di wilayah Kab. OKI ini, merupakan pekerjaan sebagian terbesar masyarakat yang sudah berlangsung sejak lama, sehingga menjadi ”way of life” bagi mereka. Oleh karena itu, perubahan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” diduga mengakibatkan terjadinya degradasi sumberdaya perikanan, dan mengakibatkan kemiskinan masyarakat nelayan.

Sebagai contoh, keberadaan kelembagaan lelang lebak lebung saat ini mengakibatkan masyarakat nelayan harus membayar biaya hak usaha penangkapan ikan secara tunai pada awal tahun menjadi semakin meningkat dari tahun ke tahun (Nasution et al, 1995). Pemerintah dalam hal ini, dapat saja menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan semaksimum mungkin, yang dalam pelaksanaannya banyak mengakibatkan kerusakan sumberdaya dan permasalahan lingkungan (Woodhouse, 1972; Little, 2000). Oleh karena itu, berdasarkan

(7)

rumusan masalah pokok yang terkait dengan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” yaitu;

a) Perubahan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dari masa pemerintahan Marga ke masa pemerintahan Kabupaten, diduga tidak efektif dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung, sehingga diduga mengakibatkan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL.

b) Perubahan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung”, dari masa pemerintahan Marga ke masa pemerintahan Kabupaten, di duga mengakibatkan terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL dan mengakibatkan terjadinya kemiskinan masyarakat nelayan.

c) Perlu dirumuskan alternatif kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa yang pro rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah, serta mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang1 lebak lebung” dan keterkaitannya terhadap akses

masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL, degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah;

a) Mengidentifikasi dan menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga dan masa pemerintahan kabupaten dalam kaitannya dengan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL.

1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, lelang berarti “penjualan dihadapan orang banyak yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan tawaran yang atas-mengatasi”. Secara umum, lelang adalah suatu rangkaian proses penjualan suatu barang dan jasa yang terbuka untuk umum (dengan persyaratan tertentu) dengan cara ditawarkan kepada umum dan peminat barang yang dilelang dapat mengajukan penawaran harga. Berdasarkan penawaran harga yang diajukan kepadanya, juru lelang dapat menentukan pembeli barang yang ditawarkan”

(8)

b) Memahami dan menganalisis terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan dalam kaitannya dengan perubahan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga dan Kabupaten.

c) Mencari alternatif kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa yang pro rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah, serta mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL.

1.4 Manfaat Penelitian

Pengetahuan berbagai aspek kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan kaitannya dengan akses masyarakat nelayan, kondisi sumberdaya perikanan PULL, kemiskinan masyarakat nelayan, diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung”. Rumusan tersebut diharapkan telah sesuai terhadap kondisi sumberdaya perikanan PULL dan kondisi masyarakat nelayan saat ini. Rumusan tersebut telah pula didasarkan pada kajian ilmiah dalam suatu kerangka teoritis dan empiris di lapangan. Dalam hal ini, manfaat utama adalah menyediakan hak penangkapan ikan bagi masyarakat nelayan, sehingga nelayan memperoleh pendapatan yang layak dari penangkapan ikan yang mereka lakukan terhadap sumberdaya perikanan PULL.

Bagi pemerintah daerah Kab. OKI Propinsi Sumatera Selatan, diharapkan bermanfaat dalam penyediaan rumusan alternatif perbaikan atau penguatan kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” yang diharapkan dapat mendukung keberlanjutan sumberdaya perikanan PULL dan keberlanjutan usaha masyarakat nelayan. Bagi pemerintah, diharapkan dapat bermanfaat sebagai pertimbangan yang mendasar dalam pembuatan pedoman umum yang terkait dengan penguatan kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL di wilayah lainnya di Indonesia, yang memiliki tipe ekosistem yang sama dengan wilayah penelitian. Dalam hal ini, pedoman umum tersebut telah mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya

(9)

perikanan itu sendiri, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat nelayan maupun sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah.

1.5 Kebaruan Penelitian (Novelty)

Pada penelitian ini diperlihatkan bagaimana akses dan kontrol masyarakat nelayan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL, hingga saat ini di Indonesia belum pernah diungkapkan bagaimana kaitan hal tersebut dengan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung”, yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan faktor utama yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” mengakibatkan terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL dan secara bersamaan juga mengakibatkan terjadinya kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Pada akhirnya ditunjukkan bahwa dalam kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa yang pro rakyat, sehingga masyarakat nelayan dapat mengakses sumberdaya perikanan dengan mudah dan murah, serta kelembagaan tersebut juga diharapkan mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL.

1.6 Ikhtisar

Perairan umum lebak lebung (PULL) di Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan penghasil ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat, khususnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab. OKI), dengan 65% wilayahnya berupa sungai, rawa, dan lebak. Hak usaha penangkapan ikan di PULL ini diatur dengan sistem pelelangan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan telah berlangsung sejak lama, dan dikenal dengan nama ”lelang lebak lebung”. Pada saat ini kelembagaan tersebut lebih diarahkan untuk meningkatkan PAD daripada untuk kepentingan masyarakat nelayan. Padahal, di lain pihak, usaha penangkapan ikan di PULL tersebut merupakan sumber pencaharian utama bagi masyarakat nelayan.

Pelimpahan kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan lelang lebak lebung kepada pemerintahan kabupaten di wilayah Propinsi Sumatera Selatan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera

(10)

Selatan No.705/KPTS/II/1982 tgl 5 Nopember 1982. Untuk menindaklanjuti perubahan kewenangan tersebut, Pemerintah Kab. OKI menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten OKI yang mengatur tentang ”lelang lebak lebung” di wilayah Kab. OKI.

Penelitian ini bertujuan menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan kaitannya terhadap akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL, kondisi sumberdaya perikanan PULL, dan kemiskinan masyarakat nelayan. Akhirnya mencari alternatif kelembagaan yang adaptif, sehingga mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL. Dengan pengetahuan berbagai aspek kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan kaitannya dengan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL, degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL, serta kemiskinan masyarakat nelayan, diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung”.

Referensi

Dokumen terkait

Pada sebaran kasus di wilayah dengan riwayat banjir terdapat banyak kasus Leptospirosis yang terjadi seperti di wilayah Desa Mangunjiwan Kecamatan Demak yang

Studi penanggulangan leptospirosis ini merupakan kerjasama antara B2P2VRP dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, D.I. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih

Adapun peralatan yang digunakan oleh peneliti untuk melakukan percobaan adalah 12-bit capacitance to digital integrated circuit yang digunakan sebagai ADC converter dari

Tetapi kalau kita melihat orang menderita, orang sakit parah, orang mati; tanpa perasaan simpati atau empati apa pun, ini adalah kebiasaan yang sangat buruk; ini akan membuat

Penelitian ini hanya mengambil responden yang mempunyai bayi baru lahir sampai dengan usia 6 bulan, sehingga perlu diberikan pengetahuan untuk tahap selanjutnya

Penelitian pra-klinis dan penelitian klinis yang sudah ada menunjukkan bahwa pemberian FMT dari donor sehat kepada subjek yang mengalami sindroma metabolik dan

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi komposisi vitamin dan konsentrasi gula medium, serta jenis dan konsentrasi sitokinin terbaik dalam menginduksi pertumbuhan

Pengaruh Media Visual Poster dan Leaflet Makanan Sehat terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Jajanan Pelajar Kelas Khusus SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun