• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN. Pada pembahasan kali ini akan diuraikan langkah-langkah dalam melakukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMBAHASAN. Pada pembahasan kali ini akan diuraikan langkah-langkah dalam melakukan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

25

BAB III PEMBAHASAN

Pada pembahasan kali ini akan diuraikan langkah-langkah dalam melakukan pemodelan menggunakan Spatial Autoregressive Model dan Matriks pembobot spasial Rook Contiguity. Langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu dengan melakukan analisis regresi linear berganda terlebih dahulu, kemudian dilakukan pengujian pada analisis regresi linear berganda tersebut. Jika pada pengujian terdapat autokorelasi spasial maka pemodelan harus dilanjutkan dengan analisis regresi spasial. Sebelum melakukan analisis regresi spasial dibentuk matriks pembobot spasial terlebih dahulu untuk mengetahui hubungan antar wilayah amatan. Setelah terbentuk matriks pembobot spasial, selanjutnya dilakukan uj Lagrange Multiplier untuk mengetahui efek ketergantungan spasial yang terjadi, jika terjadi ketergantungan spasial pada variabel terikat maka pemodelan menggunakan Spatial Autoregressive Model.

A. Matriks Pembobot Spasial

Matriks pembobot spasial merupakan matriks yang menyatakan hubungan

dari wilayah pengamatan yang berukuran 𝑛 × 𝑛 dan disimbolkan dengan 𝑾. Matriks tersebut menyatakan bahwa interaksi spasial terjadi antar wilayah yang memiliki persentuhan batas wilayah (contiguity) atau interaksi terjadi pada wilayah yang bertetangga. Matriks pembobot spasial merupakan matriks simetris yang diagonal utamanya selalu bernilai nol (Lesage, 1999: 13). Adapun bentuk umum dari matriks pembobot spasial (𝑾) adalah:

𝑾 = [ 𝑤11 𝑤12 … 𝑤1𝑛 𝑤21 𝑤22 … 𝑤2𝑛 ⋮ 𝑤𝑛1 ⋮ 𝑤𝑛2 ⋱ … ⋮ 𝑤𝑛𝑛 ].

(2)

26

Elemen-elemen dari 𝑾 diatas adalah 𝑤𝑖𝑗 dengan 𝑖 adalah baris pada elemen 𝑾 dan 𝑗 adalah kolom pada elemen 𝑾 dan merupakan wilayah di sekitar lokasi pengamatan 𝑖. elemen 𝑾 diatas dapat memiliki dua nilai yaitu nol dan satu. Dimana nilai 𝑤𝑖𝑗= 1 untuk wilayah yang berdekatan dengan lokasi pengamatan, sedangkan nilai 𝑤𝑖𝑗= 0 untuk wilayah yang tidak berdekatan dengan lokasi pengamatan.

Secara umum terdapat beberapa tipe interaksi atau persinggungan batas wilayah (Lesage, 1999: 11), yaitu:

1. Linear Contiguity

Linear Contiguity ialah persentuhan di tepi baik kiri maupun kanan wilayah yang saling bertetanggaan. Adapun nilai dari tiap elemennya yaitu jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 bersentuhan di tepi kiri maupun kanan maka 𝑤𝑖𝑗= 1. Namun, jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 tidak bersentuhan di tepi kiri maupun kanan maka 𝑤𝑖𝑗= 0. 2. Rook Contiguity

Rook contiguity ialah persentuhan sisi wilayah satu dengan sisi wilayah yang lain yang bertetangga. Adapun nilai dari tiap elemennya yaitu jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 bersentuhan sisi maka 𝑤𝑖𝑗= 1. Namun, jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 tidak bersentuhan sisi maka 𝑤𝑖𝑗 = 0.

3. Bishop Contiguity

Bishop contiguity ialah persentuhan titik sudut wilayah satu dengan wilayah lain yang bertetangga. Adapun nilai dari tiap elemennya yaitu jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 bersentuhan titik sudut maka 𝑤𝑖𝑗= 1. Namun, jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 tidak bersentuhan titik sudut maka 𝑤𝑖𝑗= 0.

(3)

27 4. Double Linear Contiguity

Double Linear Contiguity ialah persentuhan wilayah amatan dengan dua wilayah lain di kiri ataupun kanan wilayah amatan. Adapun nilai dari tiap elemennya yaitu jika lokasi 𝑖 bersentuhan dengan dua wilayah di tepi kiri maupun kanan maka 𝑤𝑖𝑗 = 1. Namun, jika lokasi 𝑖 tidak bersentuhan dengan dua wilayah di tepi kiri maupun kanan maka 𝑤𝑖𝑗= 0.

5. Double Rook Contiguity

Double Rook Contiguity ialah persentuhan wilayah amatan dengan dua wilayah lain di kiri, kanan, utara maupun selatan dari wilayah amatan. Adapun nilai dari tiap elemennya yaitu jika lokasi 𝑖 bersentuhan dengan dua wilayah di kiri, kanan, utara maupun selatan dari wilayah amatan maka 𝑤𝑖𝑗 = 1. Namun, jika lokasi 𝑖 tidak bersentuhan dengan dengan dua wilayah di kiri, kanan, utara maupun selatan dari wilayah amatan maka 𝑤𝑖𝑗= 0.

6. Queen Contiguity

Queen contiguity ialah persentuhan sisi maupun titik sudut wilayah satu dengan wilayah yang lain yaitu gabungan rook contiguity dan bishop contiguity. Adapun nilai dari tiap elemennya yaitu jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 bersentuhan sisi atau titik sudut maka 𝑤𝑖𝑗= 1. Namun, jika lokasi 𝑖 dan 𝑗 tidak bersentuhan sisi ataupun titik sudut maka 𝑤𝑖𝑗 = 0.

Berikut akan diberikan ilustrasi untuk ketiga tipe persinggungan batas wilayah pada sebuah peta.

(4)

28

Gambar 3. 1 Ilustrasi persinggungan wilayah pada peta.

Matriks 𝑾 yang merefleksikan Rook Contiguity dari Gambar 3.1 adalah:

𝑾𝒓𝒐𝒐𝒌= [ 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0] .

Matriks Rook contiguity yang telah diperoleh dibentuk ke dalam bentuk matriks normalitas dan menjadi matriks pembobot spasial. Rumus yang digunakan untuk membentuk matriks normalitas adalah sebagai berikut:

𝑤𝑖𝑗∗= 𝑤𝑖𝑗

∑𝑛𝑗=1𝑤𝑖𝑗

( 3.1 )

Sehingga berdasarkan matriks persinggungan wilayah 𝑾𝒓𝒐𝒐𝒌 yang telah terbentuk, diperoleh matriks pembobot spasial 𝑾𝒓𝒐𝒐𝒌 tersebut, yaitu:

𝑾 = [ 0 1/2 1/3 0 0 1/3 0 0 1/3 0 0 1/3 0 0 1/2 0 0 1/3 0 1/3 0 0 0 1/3 0 1/3 1/3 0 0 0 0 0 1/4 1/4 0 1/3 1/4 1/4 0 0 0 1/3 1/3 1/4 0 1/4 1/4 1/4 0 ] .

6

3

2

1

3

4

3

5

3

7

3

(5)

29

B. Uji Efek Dependensi Spasial

Uji yang dapat digunakan untuk mengetahui dependensi atau ketergantungan spasial di dalam error maupun lag pada suatu model adalah dengan menggunakan uji Moran’s I dan Lagrange Multiplier (Anselin, 1988).

1. Moran’s I

Uji Moran’s I merupakan uji dependensi spasial yang dilakukan untuk mengidentifikasi apakah ada hubungan antarlokasi terhadap masing-masing variabel (autokorelasi spasial). Nilai Moran’s I dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Lesage, 1999: 71):

𝐼 =

𝑒′𝑊𝑒

𝑒′𝑒

.

( 3.2 )

Dimana:

𝐼 : nilai Moran’s I

𝑒 : error pada regresi dengan OLS . 𝑊 : matriks pembobot spasial.

𝑒′ : transpose dari error pada regresi dengan OLS.

Sedangkan untuk melakukan uji Moran’s I langkah-langkah yang dilakukan adalah: a. Menentukan Hipotesis yang digunakan, yaitu:

𝐻0: 𝐼 = 0 (Tidak ada autokorelasi spasial). 𝐻1: 𝐼 ≠ 0 (Terdapat Autokorelasi spasial). b. Menentukan Taraf Nyata

Taraf nyata yang digunakan 𝛼 dengan 𝑍𝛼 2 . c. Statistik Uji

Statistik uji yang digunakan adalah (Lesage, 1999: 72): 𝑍(𝐼) =[𝐼−𝐸(𝐼)]

(6)

30 Dengan: 𝐸(𝐼) =𝑡𝑟(𝑴𝑾) 𝑛−𝑘 . 𝑉𝑎𝑟 (𝐼) =𝑡𝑟(𝑴𝑾𝑴𝑾′)+𝑡𝑟(𝑴𝑾)2+(𝑡𝑟(𝑴𝑾))2 𝑑−𝐸(𝐼)2 . 𝑑 = (𝑛 − 𝑘)(𝑛 − 𝑘 + 2). 𝑴 = (𝑰 − 𝑿(𝑿′𝑿)−𝟏𝑿′). Dimana:

𝑍(𝐼) : nilai statistik uji Moran’s I 𝐼 : nilai Moran’s I

𝐸(𝐼) : nilai ekspektasi atau harapan Moran’s I 𝑉𝑎𝑟 (𝐼) : nilai ragam Moran’s I

d. Kriteria keputusan 𝐻0 ditolak jika 𝑍(𝐼) > 𝑍𝛼

2

atau 𝑝𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒< 𝛼. e. Keputusan

Jika 𝐻0 ditolak maka terdapat autokorelasi spasial positif atau autokorelasi negatif.

2. Lagrange Multiplier

Uji Lagrange Multiplier digunakan untuk menguji apakah ada ketergantung spasial pada variabel terikat maupun pada error model yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar penentuan model regresi spasial yang digunakan.

a. Uji Lagrange Multiplier untuk Spatial Autoregressive Model. 1) Menentukan Hipotesis

𝐻0: 𝜌 = 0 (tidak ada ketergantungan spasial lag pada variabel terikat). 𝐻0: 𝜌 ≠ 0 (ada ketergantungan spasial lag pada variabel terikat).

(7)

31 2) Taraf Nyata

Taraf nyata yang digunakan adalah 𝛼 dan 𝜒(1)2 . 3) Statistik Uji

Statistik uji pada Lagrange Multiplier untuk Spatial Autoregressive Model adalah (Anselin, 1988: 324): 𝐿𝑀𝜌= [𝜺′𝑾𝒚𝜺′𝜺 𝑛 ⁄ ] 2 𝐷 . ( 3.4 ) Dengan: 𝐷 = [(𝑾𝑿𝜷)′[𝑰 − 𝑿(𝑿′𝑿)−𝟏𝑿′](𝑾𝑿𝜷)/𝝈𝟐] + 𝑡𝑟(𝑾2+𝑾′𝑾). Dimana:

𝜺 : vektor error dari regresi linear berukuran 𝑛 × 1. 𝑾 : matriks pembobot spasial.

𝑿 : matriks variabel bebas. 𝜷 : parameter dari regresi linear.

𝝈𝟐 : kuadrat tengah galat dari model regresi. 𝑛 : banyak data observasi.

4) Kriteria Keputusan

𝐻0 ditolak jika 𝐿𝑀𝜌> 𝜒(1)2 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. 5) Keputusan

Jika 𝐻0 ditolak maka model tersebut mengandung ketergantungan spasial lag dan pemodelan harus dilanjutkan dengan Spatial Autoregressive Model.

b. Uji Lagrange Multiplier untuk Spatial Error Model. 1) Menentukan Hipotesis

(8)

32

𝐻1: 𝜆 ≠ 0 (ada ketergantungan spasial pada error). 2) Taraf Nyata

Taraf nyata yang digunakan yaitu 𝛼 dan 𝜒(1)2 . 3) Statistik Uji

Statistik uji pada Lagrange Multiplier untuk Spatial Error Model adalah (Anselin, 1988: 324): 𝐿𝑀𝜆 = [𝜺′𝑾𝜺𝜺′𝜺 𝒏 ⁄ ] 2 𝑡𝑟(𝑾𝟐+𝑾𝑾). ( 3.5 ) Dimana

𝐿𝑀𝜆 : Statistik uji Lagrange Multtiplier untuk Spatial Error Model.

𝜺 : vektor error dari regresi linear berukuran 𝑛 × 1. 𝑾 : matriks pembobot spasial berukuran.

𝑾′ : transpose dari matriks pembobot spasial. 𝑛 : banyak data observasi.

𝑡𝑟 : trase dari suatu matriks. 4) Kriteria Keputusan

𝐻0 ditolak jika 𝐿𝑀𝜆 > 𝜒(1)2 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. 5) Keputusan

Jika 𝐻0 ditolak maka model tersebut mengandung keterngantungan spasial error dan pemodelan harus dilanjutkan dengan Spatial Error Model.

C. Regresi Spasial

Regresi spasial merupakan metode statistika yang digunakan untuk melakukan pemodelan pada data yang memiliki unsur spasial. Model umum

(9)

33

regresi spasial biasa disebut dengan Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) dan berikut merupakan model umum dari regresi spasial (Lesage, 1999: 43):

𝒚 = 𝜌𝑾𝒚 + 𝑿𝜷 + 𝒖, ( 3.6 ) 𝒖 = 𝜆𝑾𝒖 + 𝜺. ( 3.7 ) Dari Persamaan (3.5) dan Persamaan (3.6) diperoleh persamaan baru:

𝒚 = 𝜌𝑾𝒚 + 𝑿𝜷 + 𝜆𝑾𝒖 + 𝜺. ( 3.8 ) 𝜺~𝑵(𝟎, 𝝈𝟐𝑰).

Dimana

𝒚 : vektor variabel terikat berukuran 𝑛 × 1.

𝜌 : koefisien autokorelasi spasial pada variabel terikat. 𝑾 : matriks pembobot spasial berukuran 𝑛 × 𝑛.

𝑿 : matriks variabel bebas berukuran 𝑛 × (𝑝 + 1). 𝜷 : vektor koefisien parameter regresi berukuran 𝑝 × 1. 𝜆 : koefisien autokorelasi spasial pada error.

𝒖 : vektor error yang mengandung autokorelasi berukuran 𝑛 × 1. 𝜺 : vektor error yang bebas autokorelasi berukuran 𝑛 × 1.

1. Spatial Autoregressive Model (SAR)

Spatial Autoregressive Model juga sering disebut dengan Spatial Lag Model. Model spasial autoregressive terbentuk apabila pada Persamaan (3.7) memiliki nilai 𝜌 ≠ 0 dan 𝜆 = 0. Sehingga model ini mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel variabel terikat. Atau dengan kata lain, Spatial Autoregressive Model (SAR) adalah model regresi spasial yang terdapat pengaruh spasial pada variabel terikat.

(10)

34 [ 𝑦1 𝑦2 ⋮ 𝑦𝑛 ] = 𝜌 [ 𝑤11 𝑤12 … 𝑤1𝑛 𝑤21 ⋮ 𝑤𝑛1 𝑤22 ⋮ 𝑤𝑛2 … ⋱ … 𝑤2𝑛 ⋮ 𝑤𝑛𝑛 ] [ 𝑦1 𝑦2 ⋮ 𝑦𝑛 ] + [ 1 𝑥11 … 𝑥1𝑝 1 ⋮ 1 𝑥21 ⋮ 𝑥𝑛1 … ⋮ … 𝑥2𝑝 ⋮ 𝑥𝑛𝑝 ] [ 𝛽0 𝛽1 ⋮ 𝛽𝑝 ] + [ 𝜀1 𝜀2 ⋮ 𝜀𝑛 ].

Sehingga persamaan umum pada Spatial Autoregressive Model tersebut menjadi (Lesage, 1999: 63):

𝒚 = 𝜌𝑾𝒚 + 𝑿𝜷 + 𝜺. ( 3.9 )

𝜺~𝑵(𝟎, 𝝈𝟐𝑰). Dimana:

𝒚 : vektor variabel terikat berukuran 𝑛 × 1.

𝜌 : koefisien autokorelasi spasial pada variabel terikat. 𝑾 : matriks pembobot spasial berukuran 𝑛 × 𝑛.

𝑿 : matriks variabel bebas berukuran 𝑛 × (𝑝 + 1). 𝜷 : vektor koefisien parameter regresi berukuran 𝑝 × 1. 𝜀 : vektor error yang bebas autokorelasi berukuran 𝑛 × 1.

Berdasarkan Persamaan 3.9 diperoleh error (𝜺) sebagai berikut: 𝒚 = 𝜌𝑾𝒚 + 𝑿𝜷 + 𝜺

𝒚 − 𝜌𝑾𝒚 = 𝑿𝜷 + 𝜺 (𝑰 − 𝜌𝑾)𝒚 = 𝑿𝜷 + 𝜺

𝜺 = (𝑰 − 𝜌𝑾)𝒚 − 𝑿𝜷. ( 3. 10 )

Estimasi dari parameter 𝜷 pada Spatial Autoregressive Model diperoleh dengan menggunakan metode maksimum likelihood. Dari Persamaan (3.9) diketahui bahwa error pada pada model berdistribusi normal. Sehingga fungsi densitas peluang dari 𝜀𝑖 adalah:

𝑓(𝜀

𝑖

) =

1 𝜎√2𝜋

𝑒

−12(𝜀𝑖𝜎)2

=

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀𝑖2 2𝜎2)

; 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑛 ; −∞ < 𝜀

𝑖

< ∞.

(11)

35

𝑓(𝜀

) = 𝑓(𝜀

1

). 𝑓(𝜀

2

). 𝑓(𝜀

3

) … 𝑓(𝜀

𝑛

)

= [(

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀12 2𝜎2)

) . (

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀22 2𝜎2)

) . (

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀32 2𝜎2)

) … (

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀𝑛2 2𝜎2)

)]

=

1 𝜎𝑛(√2𝜋)𝑛

𝑒

(−∑ 𝜀𝑖2 2𝜎2)

=

1 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−𝜀′𝜀 2𝜎2)

.

Fungsi densitas peluang dari variabel terikat adalah:

𝑓(𝑦) = 𝑓(𝜀

). |𝐽|

= [

1 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−𝜀′𝜀 2𝜎2)

] |

𝜕𝜀 𝜕𝑦

|

=

1 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−𝜀′𝜀 2𝜎2)

|𝐼 − 𝜌𝑾|.

Sehingga, fungsi likelihood dari dari variabel terikat tersebut adalah:

𝐿 =

|𝐼−𝜌𝑾| 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−2𝜎2𝜀′𝜀)

=

|𝐼−𝜌𝑾| 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−(𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷)′((𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 )

.

Fungsi log likelihood dari fungsi likelihood di atas adalah (Anselin, 1988:320): 𝑙𝑛 𝐿 = 𝑙𝑛 [ |𝐼−𝜌𝑾| 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2𝑒 (−(𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷)′((𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 )] = 𝑙𝑛 [ |𝐼−𝜌𝑾| (𝜎2)𝑛/2(2𝜋)𝑛/2𝑒 (−(𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷)′((𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 )] = 𝑙𝑛|𝐼 − 𝜌𝑾| −𝑛 2𝑙𝑛(𝜎 2) −𝑛 2𝑙𝑛(2π) − ((𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷)′((𝑰−𝜌𝑾)𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 = 𝑙𝑛|𝐼 − 𝜌𝑾| −𝑛 2𝑙𝑛(𝜎 2) −𝑛 2𝑙𝑛(2π) − (𝒚−𝜌𝑾𝒚−𝑿𝜷)′(𝒚−𝜌𝑾𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 .

Kemudian, fungsi log likelihood di atas diturunkan secara parsial terhadap 𝜷′ untuk mendapatkan estimasi dari parameter 𝜷.

(12)

36 𝜕(ln 𝐿) 𝜕𝜷′

= 0

𝝏((𝒚−𝝆𝑾𝒚−𝑿𝜷)′(𝒚−𝝆𝑾𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 ) 𝝏𝜷′

= 0

𝝏((𝒚′−(𝝆𝑾𝒚)′−𝜷′𝑿′)(𝒚−𝝆𝑾𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 ) 𝝏𝜷′

= 0

𝝏(𝒚′𝒚−𝒚′𝝆𝑾𝒚−𝒚′𝑿𝜷−(𝝆𝑾𝒚)′𝒚+(𝝆𝑾𝒚)′(𝝆𝑾𝒚)+(𝝆𝑾𝒚)′𝑿𝜷−𝜷′𝑿′𝒚+𝑿′𝜷′(𝝆𝑾𝒚)+𝜷′𝑿′𝑿𝜷 2𝜎2 ) 𝝏𝜷′

= 0

−𝑿′𝒚+𝑿′𝜌𝑾𝒚+𝑿′𝑿𝜷 2𝜎2 = 0 −𝑿′𝒚 +

𝜌𝑾𝒚

+ 𝑿𝑿𝜷 = 0 −𝑿′(𝒚 − 𝜌𝑾𝒚) + 𝑿′𝑿𝜷 = 0 𝑿′𝑿𝜷 = 𝑿′(𝒚 − 𝜌𝑾𝒚) 𝜷̂ = (𝑿′𝑿)−𝟏𝑿(𝒚 − 𝜌𝑾𝒚). (3.11) Dimana:

𝜷̂ : vektor parameter regresi yang diestimasi berukuran 𝑝 × 1. 𝑿 : matriks variabel bebas berukuran 𝑛 × (𝑝 + 1).

𝑿′ : transpose dari matriks variabel bebas berukuran (𝑝 + 1) × 𝑛. 𝑰 : matriks identitas.

𝜌 : koefisien autokorelasi spasial pada variabel terikat. 𝑾 : matriks pembobot spasial berukuran 𝑛 × 𝑛.

𝒚 : vektor variabel terikat berukuran 𝑛 × 1.

2. Spatial Error Model (SEM)

Spatial Error Model merupakan model spasial dimana pada error terdapat autokorelasi spasial, model ini dikembangkan oleh Anselin pada tahun 1988. Model spasial error terbentuk apabila pada Persamaan (3.7) memiliki nilai 𝜌 = 0 dan 𝜆 ≠ 0, sehingga model ini mengasumsikan bahwa proses autoregressive

(13)

37

hanya pada error model. Model umum Spatial Error Model dalam bentuk matriks adalah: [ 𝑦1 𝑦2 ⋮ 𝑦𝑛 ] = [ 1 𝑥11 … 𝑥1𝑝 1 ⋮ 1 𝑥21 ⋮ 𝑥𝑛1 … ⋮ … 𝑥2𝑝 ⋮ 𝑥𝑛𝑝 ] [ 𝛽0 𝛽1 ⋮ 𝛽𝑝 ] + 𝜆 [ 𝑤11 𝑤12 … 𝑤1𝑛 𝑤21 ⋮ 𝑤𝑛1 𝑤22 ⋮ 𝑤𝑛2 … ⋱ … 𝑤2𝑛 ⋮ 𝑤𝑛𝑛 ] [ 𝑢1 𝑢2 ⋮ 𝑢𝑛 ] + [ 𝜀1 𝜀2 ⋮ 𝜀𝑛 ].

Sehingga persamaan umum dari model regresi Spatial Error Model menjadi (Lesage, 1999: 71):

𝒚 = 𝑿𝜷 + 𝒖, ( 3.12 )

𝒖 = 𝜆𝑾𝒖 + 𝜺. ( 3. 13)

𝜺~𝑵(𝟎, 𝝈𝟐𝑰). Dimana:

𝒚 : vektor variabel terikat berukuran 𝑛 × 1. 𝑾 : matriks pembobot spasial berukuran 𝑛 × 𝑛.

𝑿 : matriks variabel bebas berukuran 𝑛 × (𝑝 + 1). 𝜷 : vektor koefisien parameter regresi berukuran 𝑝 × 1. 𝜆 : koefisien autokorelasi spasial pada error.

𝒖 : vektor error yang mengandung autokorelasi berukuran 𝑛 × 1. 𝜺 : vektor error yang bebas autokorelasi berukuran 𝑛 × 1. Berdasarkan Persamaan 3.13 diperoleh:

𝒖 = 𝜆𝑾𝒖 + 𝜺 𝒖 − 𝜆𝑾𝒖 = 𝜺 (𝑰 − 𝜆𝑾)𝒖 = 𝜺

𝒖 = (𝑰 − 𝜆𝑾)−𝟏𝜺. ( 3. 14 )

Persamaan (3.14) disubstitusi ke Persamaan (3.12) sehingga mendapatkan error (𝜺) sebagai berikut:

(14)

38 𝒚 = 𝑿𝜷 + (𝑰 − 𝜆𝑾)−𝟏𝜺

𝒚 − 𝑿𝜷 = (𝑰 − 𝜆𝑾)−𝟏𝜺

𝜺 = (𝑰 − 𝜆𝑾)(𝒚 − 𝑿𝜷). ( 3. 15 )

Estimasi dari parameter 𝜷 pada Spatial Error Model diperoleh dengan menggunakan metode maksimum likelihood. Dari Persamaan (3.13) diketahui bahwa error pada pada model berdistribusi normal. Sehingga fungsi densitas peluang dari 𝜀𝑖 adalah:

𝑓(𝜀

𝑖

) =

1 𝜎√2𝜋

𝑒

−1 2( 𝜀𝑖 𝜎) 2

=

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀𝑖 2 2𝜎2)

; 𝑖 = 1,2,3, … , 𝑛 ; −∞ < 𝜀

𝑖

< ∞.

Kemudian, fungsi peluang bersama dari 𝑛 peubah acak 𝜀1, 𝜀2, 𝜀3, … , 𝜀𝑛 adalah:

𝑓(𝜀

) = 𝑓(𝜀

1

). 𝑓(𝜀

2

). 𝑓(𝜀

3

) … 𝑓(𝜀

𝑛

)

= [(

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀12 2𝜎2)

) . (

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀22 2𝜎2)

) . (

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀32 2𝜎2)

) … (

1 𝜎√2𝜋

𝑒

(−𝜀𝑛2 2𝜎2)

)]

=

1 𝜎𝑛(√2𝜋)𝑛

𝑒

(−∑ 𝜀𝑖 2 2𝜎2)

=

1 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−𝜀′𝜀 2𝜎2)

.

Fungsi densitas peluang dari variabel terikat adalah:

𝑓(𝑦) = 𝑓(𝜀

). |𝐽|

= [

1 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−𝜀′𝜀 2𝜎2)

] |

𝜕𝜀 𝜕𝑦

|

=

1 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−𝜀′𝜀 2𝜎2)

|𝐼 −

𝜆

𝑾|

Sehingga, fungsi likelihood dari dari variabel terikat tersebut adalah:

𝐿 =

|𝐼−𝜆𝑾| 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−𝜀′𝜀 2𝜎2)

(15)

39

=

|𝐼−𝜆𝑾| 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2

𝑒

(−[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)]′[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)] 2𝜎2 )

.

Fungsi log likelihood dari fungsi likelihood di atas adalah (Anselin, 1988: 320):

𝑙𝑛 𝐿 = 𝑙𝑛 [ |𝐼−𝜆𝑾| 𝜎𝑛(2𝜋)𝑛/2𝑒 (−[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)]′[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)] 2𝜎2 )] = 𝑙𝑛 [ |𝐼−𝜆𝑾| (𝜎2)𝑛/2(2𝜋)𝑛/2𝑒 (−[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)]′[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)] 2𝜎2 )] = 𝑙𝑛|𝐼 − 𝜆𝑾| −𝑛 2𝑙𝑛(𝜎 2) −𝑛 2𝑙𝑛(2π)

[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)]′[(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷)] 2𝜎2

= 𝑙𝑛|𝐼 − 𝜆𝑾| −𝑛 2𝑙𝑛(𝜎 2) −𝑛 2𝑙𝑛(2π)

(𝒚−𝑿𝜷)′(𝑰−𝜆𝑾)′(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2

.

Kemudian, fungsi log likelihood di atas diturunkan secara parsial terhadap 𝜷′ untuk mendapatkan estimasi dari parameter 𝜷.

𝜕(ln 𝐿) 𝜕𝜷′

= 0

𝝏((𝒚−𝑿𝜷)′(𝑰−𝜆𝑾)′(𝑰−𝜆𝑾)(𝒚−𝑿𝜷) 2𝜎2 ) 𝝏𝜷′

= 0

𝝏([(−𝑿𝜷)′(𝑰−𝜆𝑾)′][(𝑰−𝜆𝑾)𝒚]+[(−𝑿𝜷)′(𝑰−𝜆𝑾)′][(𝑰−𝜆𝑾) (−𝑿𝜷) ] 2𝜎2 ) 𝝏𝜷′

= 0

𝝏([−(𝑿𝜷)′(𝒚−𝜆𝑾𝒚)]+[(𝜆𝑾𝑿𝜷)′(𝒚−𝜆𝑾𝒚)]+[(𝑿𝜷)′(𝑿𝜷)(𝑰−𝜆𝑾)]−(𝜆𝑾𝑿𝜷)′(𝑿𝜷)[(𝑰−𝜆𝑾) ] 2𝜎2 ) 𝝏𝜷′

= 0

[−𝑿′(𝒚−𝜆𝑾𝒚)]+[(𝜆𝑾𝑿)′(𝒚−𝜆𝑾𝒚)]+[𝑿′𝑿𝜷(𝑰−𝜆𝑾)]−(𝜆𝑾𝑿)′𝑿𝜷(𝑰−𝜆𝑾) 2𝜎2

= 0

[−𝑿′(𝒚 − 𝜆𝑾𝒚)] + [(𝜆𝑾𝑿)(𝒚 − 𝜆𝑾𝒚)] + [𝑿𝑿𝜷(𝑰 − 𝜆𝑾)] − (𝜆𝑾𝑿)𝑿𝜷(𝑰 − 𝜆𝑾) = 0 [𝑿′𝑿𝜷(𝑰 − 𝜆𝑾)] − (𝜆𝑾𝑿)𝑿𝜷(𝑰 − 𝜆𝑾) = [𝑿(𝒚 − 𝜆𝑾𝒚)] − [(𝜆𝑾𝑿)(𝒚 − 𝜆𝑾𝒚)] (𝑿′− (𝜆𝑾𝑿))𝑿𝜷(𝑰 − 𝜆𝑾) = (𝑿− (𝜆𝑾𝑿))(𝒚 − 𝜆𝑾𝒚) (𝑿 − 𝜆𝑾𝑿)′(𝑿 − 𝜆𝑾𝑿)𝜷 = (𝑿 − 𝜆𝑾𝑿)(𝒚 − 𝜆𝑾𝒚)

(16)

40

𝜷̂ = [(𝑿 − 𝜆𝑾𝑿)′(𝑿 − 𝜆𝑾𝑿)]−1(𝑿 − 𝜆𝑾𝑿)′(𝒚 − 𝜆𝑾𝒚). (3.16)

Dimana:

𝜷̂ : vektor koefisien parameter regresi yang diestimasi berukuran 𝑝 × 1.

𝑿 : matriks variabel bebas berukuran 𝑛 × (𝑝 + 1). 𝑾 : matriks pembobot spasial berukuran 𝑛 × 𝑛.

𝜆 : koefisien autokorelasi spasial pada error. 𝒚 : vektor variabel terikat berukuran 𝑛 × 1.

3. Uji Signifikansi Parameter

Uji signifikansi parameter pada model regresi spasial secara parsial dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui parameter yang berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat secara parsial (sendiri-sendiri) pada model regresi spasial. Parameter yang diuji adalah parameter pada regresi (𝛽) serta parameter pada efek spasial (𝜌 𝑑𝑎𝑛 𝜆). Adapun langkah-langkah uji signifikansi parameter pada regresi spasial adalah:

a. Menentukan Hipotesis

𝐻0: 𝜃 = 0 (paameter tidak signifikan) 𝐻1: 𝜃 ≠ 0 (parameter signifikan)

Dimana 𝜃 merupakan parameter regresi spasial yaitu 𝛽, 𝜌 𝑑𝑎𝑛 𝜆. b. Menentukan Taraf Nyata

Menentukan taraf nyata 𝛼 dan 𝑍𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑍𝛼 2 . c. Statistik Uji t 𝑍 = 𝜃̂𝑘 𝑆𝜃̂ 𝑘. ( 3.17 ) Dimana: 𝑍 : statistik uji t.

(17)

41 𝜃̂𝑘 : nilai taksiran dari parameter 𝜃𝑘

𝑆𝜃̂ 𝑘 : standar deviasi nilai taksiran dari parameter 𝜃̂𝑘

d. Kriteria Keputusan

𝐻0 ditolak jika |𝑍ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔| > 𝑍𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 atau 𝑝𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒< 𝛼. e. Membuat Kesimpulan

Jika 𝐻0 ditolak, maka parameter tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat.

D. Spatial Autoregressive Model dan Matriks Pembobot Spasial Rook Contiguity untuk Pemodelan pada Data Gini Ratio di Indonesia Tahun

2014

1. Data Gini Ratio Indonesia Tahun 2014

Data Gini Ratio yang akan dianalisis diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik Indonesia melalui website resmi BPS maupun dari hasil publikasi Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Data tersebut merupakan data bagi seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2014 yang terdiri dari 33 provinsi, yaitu:

1. Aceh 12. Jawa Barat 23. Kalimantan Timur

2. Sumatera Utara 13. Jawa Tengah 24.Sulawesi Utara 3. Sumatera Barat 14. DI Yogyakarta 25. Sulawesi Tengah

4. Jambi 15. Jawa Timur 26. Sulawesi Selatan

5. Riau 16. Banten 27. Sulawesi Tenggara

6. Sumatera Selatan 17. Bali 28. Gorontalo

7. Bengkulu 18. NTB 29. Sulawesi Barat

8. Lampung 19. NTT 30. Maluku

(18)

42

10. Kepulauan Riau 21. Kalimantan Tengah 32. Papua Barat 11. DKI Jakarta 22. Kalimantan Selatan 33. Papua

Data yang akan dianalisis terdiri dari enam data yaitu Gini Ratio, jumlah penduduk, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan, persentase penduduk miskin, persentase penduduk lansia, pertumbuhan produksi industri mikro serta indeks pembangunan manusia yang telah terlampir pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil publikasi dari Badan Pusat Statistik tersebut diketahui bahwa Provinsi Papua Barat merupakan Provinsi yang memiliki nilai Gini Ratio tertinggi yaitu sebesar 0,44 sedangkan DKI Jakarta menempati posisi kedua dengan nilai Gini Ratio 0,43. Selanjutnya ada Provinsi DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara serta Sulawesi Selatan dengan Gini Ratio sebesar 0,42.

Daerah tersebut merupakan provinsi dengan Gini Ratio tertinggi di Indonesia yang menunjukkan masih terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang cukup tinggi di beberapa provinsi tersebut. Sedangkan provinsi dengan Gini Ratio terendah di Indonesia ditempati oleh Kepulauan Bangka Belitung dengan Gini Ratio sebesar 0,30 satuan dan termasuk dalam provinsi dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan rendah, sehingga distribusi pendapatan di Kepulauan Bangka Belitung sudah cukup merata.

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa nilai Gini Ratio untuk tiap provinsi di Indonesia pada tahun 2014 berbeda-beda dan memiliki selisih yang tidak sedikit, ada provinsi di Indonesia yang memiliki Gini Ratio sedang, adapula provinsi di Indonesia yang memiliki Gini Ratio rendah. Dengan adanya masalah tersebut, perlu dilakukan analisis untuk memodelkan Gini Ratio di Indonesia pada tahun 2014 agar dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai Gini Ratio tersebut.

(19)

43

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Gini Ratio atau ketimpangan distribusi pendapatan yaitu:

1. Penelitian oleh Sahar Mildino (2011) bahwa secara spatial fixed effect model variabel bebas yang berpegaruh terhadap Gini Ratio di pulau Jawa tahun 2004—2008 dengan data panel adalah proporsi jumlah tenaga kerja berdasarkan tingkat pendidikan dan juga proporsi jumlah tenaga kerja sektor industri.

2. Penelitian dari Ma’mun Musfidar (2012) dengan menggunakan regresi non linear dan data panel Gini Ratio di provinsi Sulawesi Selatan tahun 2001-2010 menghasilkan bahwa faktor yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di provinsi Sulawesi Selatan adalah jumlah penduduk, Upah Minimum Regional dan kontribusi sektor industri terhadap PDRB provinsi. 3. Penelitian dari Riska Dwi Astuti (2015) bahwa pada analisis data panel

dengan model efek tetap (fixed effect), faktor yang berpengaruh terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di DI Yogyakarta tahun 2005-2013 adalah Indeks Pembangunan Manusia, PDRB per kapita serta populasi penduduk. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Ani Nurlaili (2016) dan berkesimpulan bahwa

pada analisis regresi data panel dengan fixed effect model, faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di pulau Jawa tahun 2007-2013 adalah PDRB per kapita, populasi penduduk dan tingkat pengangguran terbuka.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka variabel-variabel yang digunakan pada pemodelan Gini Ratio di Indonesia tahun 2014 adalah:

(20)

44 1. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah Gini Ratio dari tiap provinsi di Indonesia tahun 2014. Gini Ratio tersebut menunjukkan seberapa besar ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi pada tiap provinsi di Indonesia. 2. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi nilai dari Gini Ratio di Indonesia pada tahun 2014 yaitu:

a. Jumlah Penduduk (𝑋1).

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan juga orang yang berdomomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk menetap (BPS, 2014).

b. Persentase Rata-rata Pengeluaran per kapita per bulan (𝑋2).

Rata-rata pengeluaran per kapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi dari seluruh anggota rumah tangga selama sebulan yang dibagi dengan banyak anggota rumah tangga (BPS, 2015:12). Sehingga, angka pengeluaran rata-rata per kapita yang disajikan merupakan hasil bagi jumlah konsumsi seluruh rumah tangga tiap provinsi terhadap jumlah penduduk tiap provinsi.

c. Persentase Penduduk Miskin (𝑋3).

penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (BPS, 2014: xviii). Sedangkan garis kemiskinan adalah besarnya nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar

(21)

45

minimum makanan dan nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang agar tetap memiliki kehidupan yang layak (BPS, 2014)

d. Persentase Penduduk Lansia (𝑋4).

Penduduk Lanjut Usia (Lansia) merupakan kelompok penduduk yang berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun. Sehingga persentase penduduk lansia merupakan persentase dari banyaknya penduduk lansia pada tiap provinsi di Indonesia.

e. Pertumbuhan Produksi Industri Mikro (𝑋5).

Industri mikro adalah industri atau usaha milik perorangan ataupun badan usaha yang berskala kecil maupun menengah,masih menggunakan teknologi yang sederhana serta menyerap tenaga kerja yang sedikit. f. Indeks Pembangunan Manusia (𝑋6).

Indeks Pembangunan Manusia merupakan ukuran capaian pembangunan manusia pada suatu wilayah yang berdasarkan sejumlah komponen dasar kualitas hidup (BPS, 2014: xviii). Ada tiga komponen kualitas hidup yang digunakan untuk menghitung indeks pembangunan manusia, yaitu: lamanya hidup yang dihitung dari angka harapan hidup, kehidupan yang layak dihitung dari konsumsi rill per kapita serta pegetahuan yag dihitung dari angka melek huruf dan angka harapan lama sekolah.

Dari variabel yang telah ditentukan, dapat dibuat tabel untuk masing-masing variabel beserta keterangannya sebagai berikut.

(22)

46

Tabel 3. 1 Variabel-variabel yang digunakan pada Penelitian.

Kode Variabel Satuan Keterangan

𝑌 Gini Ratio Satuan Nilai Gini Ratio dari setiap provinsi.

𝑋1 Jumlah Penduduk Ribu Jiwa Jumlah penduduk dari tiap provinsi.

𝑋2 Rata-rata

Pengeluaran per kapita per bulan

Rupiah/kap ita/bulan

Rata-rata pegeluaran per kapita per bulan pada tiap provinsi.

𝑋3 Persentase Penduduk Miskin

Persen Persentase penduduk miskin tiap provinsi.

𝑋4 Persentase Penduduk Lansia

Persen Persentase penduduk lanjut usia yang ada pada tiap provinsi.

𝑋5 Pertumbuhan Produksi Industri Mikro

Persen Pertumbuhan produksi industri mikro yang dihasilkan oleh tiap provinsi .

𝑋6 Indeks Pembangunan Manusia

Persen Besarnya indeks

pembangunan manusia pada masing-masing provinsi.

Setelah ditentukan variabel yang digunakan beserta data yang berasal dari publikasi Badan Pusat Statistik Indonesia, selanjunya dilakukan analisis regresi berganda terhadap data Gini Ratio tersebut.

2. Analisis Regresi Linear Berganda pada Data Gini Ratio di Indonesia

Tahun 2014

Analisis regresi linear berganda dilakukan dengan bantuan program SPSS

dan berikut merupakan hasil estimasi parameter regresi linear berganda dengan bantuan SPSS (Lampiran 2).

(23)

47

Tabel 3. 2 Estimasi Parameter dengan Regresi Linear Berganda

Variabel Koefisien S.E

Konstanta 0,483 0,191 𝑋1 0,0000002605 0,000 𝑋2 0,0000000958 0,000 𝑋3 0,001 0,001 𝑋4 0,008 0,004 𝑋5 0,0003 0,001 𝑋6 -0,004 0,003

Sehingga persamaan regresi berganda yang terbentuk dari hasil estimasi di atas adalah:

𝑌̂ = 0,483 − 0,0000002605𝑋1+ 0,00000009558𝑋2+ 0,001𝑋3+ 0,008𝑋4+

0,0003𝑋5− 0,004𝑋6 . ( 3.18 )

Setelah diperoleh model regresi linear berganda dari Gini Ratio tersebut, selanjutnya dilakukan uji parameter yang terdiri dari uji parameter bersama dan uji parameter parsial. Uji parameter bersama dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat, sedangkan uji parameter parsial dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat secara parsial. Adapun uji parameter tersebut adalah sebagai berikut.

a. Uji Parameter

1) Uji Parameter Bersama (Uji F)

Uji parameter bersama dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat atau tidak. Uji parameter bersama tersebut dilakukan dengan menggunakan uji F. Langkah-langkah untuk melakukan uji parameter bersama (uji F) adalah:

(24)

48 a) Menentukan Hipotesis

𝐻0: 𝛽1= 𝛽2= 𝛽3= 𝛽4= 𝛽5= 𝛽6= 0 𝐻1: ∃𝛽𝑘≠ 0, 𝑘 = 1,2,3,4,5,6.

b) Menentukan Taraf Nyata

Menentukan taraf nyata 𝛼 = 0,05. c) Statistik Uji F 𝐹 = 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑔/𝑘 𝐽𝐾𝑟𝑒𝑠/𝑛−𝑘−1. d) Kriteria keputusan 𝐻0 ditolak apabila 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 0,05. e) Perhitungan

Dari output SPSS didapatkan hasil uji statistik F sebagai berikut (Lampiran 2):

Tabel 3. 3 Hasil Uji Parameter Bersama

db JK KT F 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒

Regresi 6 0,011 0,002 1,361 0,267 Residual 26 0,035 0,001

Total 32 0,046

f) Kesimpulan

Berdasarkan tabel di atas, 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,267 > 𝛼(0,05) maka 𝐻0 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.

Untuk selanjutnya, dilakukan uji parameter parsial untuk mengetahui variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat secara parsial dengan uji t.

(25)

49

2) Uji Parameter Parsial (Uji t)

Langkah-langkah untuk melakukan uji parameter parsial (uji t) yaitu: a) Menentukan Hipotesis

𝐻0: 𝛽𝑘 = 0.

𝐻1: 𝛽𝑘 ≠ 0, untuk 𝑘 = 1,2,3,4,5,6. b) Menentukan Taraf Nyata

Menentukan taraf nyata 𝛼 = 0,05 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝑡𝛼 2;𝑛−𝑘−1 = 𝑡0,025;26= 2,056. c) Statistik Uji t 𝑡 = 𝛽̂𝑘 𝑆𝛽̂ 𝑘 . d) Kriteria Keputusan

𝐻0 ditolak jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔> 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼(0,05). e) Perhitungan

Adapun hasil uji parameter parsial (uji t) yang diperoleh dari SPSS (Lampiran 2) adalah sebagai berikut:

Tabel 3. 4 Hasil Uji Parameter Parsial

Variabel Koefisien S.E T stat 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒

Konstanta 0,483 0,191 2,534 0,018 𝑋1 0,0000002 0,000 0,385 0,704 𝑋2 0,00000009 0,000 2,200 0,037* 𝑋3 0,001 0,001 0,903 0,375 𝑋4 0,008 0,004 1,862 0,074 𝑋5 0,0003 0,001 0,311 0,758 𝑋6 -0,004 0,003 -1,156 0,258

(26)

50 f) Kesimpulan

Dari tabel tersebut diperoleh bahwa variabel yang memiliki 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼(0,05) adalah rata-rata pengeluaran per kapita per bulan (𝑋2). Hal ini berarti bahwa rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat yaitu Gini Ratio. Setelah dilakukan uji parameter, selanjutnya dilakukan uji asumsi klasik pada model regresi linear berganda.

b. Uji Asumsi Linear Klasik

Pada uji asumsi linear klasik, ada empat asumsi yang harus dipenuhi yaitu error harus berdistribusi normal, antar variabel bebas tidak terdapat multikolinearitas, error memiliki varian yang homogen dan tidak terdapat autokorelasi.

1) Uji Normalitas

Uji normalitas yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov (Uji K-S).

Adapun langkah-langkanya sebagai berikut. a. Menentukan Hipotesis

𝐻0∶ error berdistribusi normal. 𝐻1 ∶ error tidak berdistribusi normal. b. Menentukan Taraf Nyata

Menentukan taraf nyata 𝛼 = 0,05. c. Statistik Uji

𝐷 = 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 |𝐹0(𝑋) − 𝑆𝑁(𝑋)|. d. Kriteria Keputusan

(27)

51 e. Perhitungan

Hasil uji Kolmogorov-Smirnov pada ouput SPSS (Lampiran 3) diperoleh 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,843

f. Kesimpulan

Karena 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,843 > 𝛼(0,05) maka 𝐻0 diterima dan berarti bahwa error data berdistribusi normal.

2) Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas yang digunakan yaitu dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (𝑉𝐼𝐹). Multikolinearitas terjadi apabia nilai 𝑉𝐼𝐹 > 10. Pada output SPSS diperoleh hasil nilai 𝑉𝐼𝐹 (Lampiran 2) sebagai berikut:

Tabel 3. 5 Nilai VIF pada Masing-masing Variabel Bebas

Variabel 𝑉𝐼𝐹 𝑋1 1,276 𝑋2 3,587 𝑋3 1,574 𝑋4 2,402 𝑋5 1,211 𝑋6 4,900

Berdasarkan Tabel 3.5 di atas diketahui jika niai 𝑉𝐼𝐹 pada semua variabel bebas tidak lebih dari 10 maka disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas antar variabel bebas pada model.

3) Uji Heterokedastisitas

Uji heterokedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah ragam pada error homogen atau tidak, sedangkan model regresi yang baik adalah model yang memiliki ragam yang homogen pada error nya. Uji heterokedastisitas yang digunakan adalah dengan menggunakan uji Breusch-Pagan.

(28)

52 a. Hipotesis untuk Breusch-Pagan Test

𝐻0: 𝜎12= 𝜎22= 𝜎32 = ⋯ = 𝜎𝑘−12 = 𝜎2. 𝐻1: ∃ 𝜎𝑘2≠ 𝜎2.

b. Taraf Nyata

Taraf nyata 𝛼 = 0,05 dan 𝜒(𝑘−1)2 . c. Statistik ujinya yaitu:

𝐵𝑃 =12𝑓′𝑍(𝑍′𝑍)−1𝑍′𝑓. d. Kriteria Keputusan

𝐻0 ditolak jika 𝐵𝑃 > 𝜒(𝑘−1)2 atau 𝑝𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒< α. e. Perhitungan

Hasil output pada uji Breusch-Pagan dengan menggunakan Geoda (Lampiran 4) adalah:

Tabel 3. 6 Output Uji Breusch-Pagan

Test BP 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒

Breusch-Pagan 1,93 0,926

f. Keputusan

dari output diperoleh jika 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 > 𝛼(0,05) maka 𝐻0 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokedastisitas atau ragam error homogen.

4) Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi spasial menggunakan Moran’s I untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi spasial atau tidak pada model. Apabila terdapat autokorelasi spasial maka pemodelan harus dilanjutkan dengan analisis regresi spasial. Adapun Langkah-langkah uji Moran’s I yaitu:

(29)

53 a. Hipotesis

𝐻0: 𝐼 = 0 (Tidak ada autokorelasi antarlokasi). 𝐻1: 𝐼 ≠ 0 (Terdapat Autokorelasi spasial). b. Taraf Nyata

Taraf nyata yang digunakan 𝛼 = 0,05 dengan 𝑍𝛼 2 = 𝑍0,025= 1,96. c. Statistik Uji 𝑍(𝐼) = [𝐼−𝐸(𝐼)] √𝑉𝑎𝑟 (𝐼). d. Kriteria Keputusan 𝐻0 ditolak jika 𝑍(𝐼) > 𝑍𝛼 2 atau 𝑝𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. e. Perhitungan

Hasil pengujian dengan Moran’s I (Lampiran 5) adalah sebagai berikut:

Tabel 3. 7 Uji Moran’s I

Test Value Probability

Moran’s I 2,6781 0,00740

f. Kesimpulan

Berdasarkan Tabel 3.7 di atas, dapat diketahui jika nilai Moran’s I adalah sebesar 2,6781 > 0, maka data tersebut membentuk cluster atau kelompok. Selain itu, dari Tabel 3.7 diperoleh pula bahwa pada uji Moran’s I menunjukkan 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,00740 < 𝛼(0.05) sehingga 𝐻0 ditolak dan berarti bahwa terdapat autokorelasi spasial pada model atau ada keterkaitan antar lokasi sehingga asumsi kebebasan error tidak dipenuhi dan harus dilanjutkan dengan analisis regresi spasial.

Untuk mengetahui bagaimana pola kelompok yang terbentuk pada data Gini Ratio di Indonesia tahun 2014 maka dibuatlah peta persebaran Gini

(30)

54

Ratio di Indonesia pada tahun 2014 dengan bantuan program Geoda. Kelompok atau wilayah persebaran Gini Ratio di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok secara umum. Adapun langkah-langkah dalam pembuatan peta persebaran Gini Ratio di Indonesia tahun 2014 adalah sebagai berikut: 1. Pilih menu Map pada pogram Geoda

2. Pilih quantile map untuk membuat peta persebaran Gini Ratio menjadi n bagian yang sama.

3. Pilih 3 agar peta persebaran Gini Ratio dibagi menjadi tiga kelompok atau wilayah. Alasan dipilih menjadi tiga wilayah karena agar terlihat pola kelompok yang terjadi pada data Gini Ratio secara keseluruhan. Karena apabila hanya diambil dua kelompok, maka kelompok wilayah yang terbentuk terlalu besar sehingga diambil tiga kelompok yang dianggap dapat memperlihatkan pola cluster yang terjadi.

Adapun peta persebaran Gini Ratio di Indonesia pada tahun 2014 yang terbentuk adalah:

Gambar 3. 2 Peta Persebaran Gini Ratio di Indonesia Tahun 2014

Berdasarkan peta di atas, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah dimana wilayah 1 dan 2 merupakan wilayah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah, sedangkan pada wilayah 3 merupakan

(31)

55

wilayah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang sedang (Todaro, 2000: 159). Daerah-daerah pada tiap wilayah tersebut disajikan pada tabel 3.8 berikut.

Tabel 3. 8 Persentase Gini Ratio di Indonesia tahun 2014 berdasarkan wilayah No Wilayah 1 (0.3:0.33) Wilayah 2 (0.35:0.4 ) Wilayah 3 (0.41:0.44)

1 Aceh Banten Bali

2 Bangka Belitung Bengkulu Gorontalo

3 Jambi Jawa Tengah Papua Barat

4 Maluku Utara Jawa Timur DKI Jakarta 5 Sumatera Barat Kalimantan Barat Jawa Barat 6 Sumatera Utara Kalimantan Selatan Papua

7 Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan

8 Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara

9 Kepulauan Riau Sulawesi Utara

10 Lampung DI Yogyakarta 11 Maluku 12 NTB 13 NTT 14 Riau 15 Sulawesi Barat 16 Sulawesi tengah 17 Sumatera Selatan

Berdasarkan Gambar 3.2 serta penjelasan dari Tabel 3.8 dapat diketahui bahwa provinsi-provinsi yang berdekatan cenderung memiliki nilai Gini Ratio yang tidak jauh berbeda dan masuk dalam kelompok wilayah yang sama. Sepeti pada provinsi Papua dan Papua Barat yang saling bertetanggaan dan masuk dalam kategori provinsi dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang sedang, kemudian provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat yang juga termasuk dalam wilayah tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang sedang dan provinsi tersebut juga saling bertetanggaan. Selain itu, provinsi-provinsi di pulau kalimantan masuk dalam kategori wilayah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang

(32)

56

rendah, hal tersebut menandakan bahwa letak suatu provinsi mempengaruhi nilai Gini Ratio pada provinsi lain yang berdekatan atau mengandung efek spasial. Sedangkan nilai Gini Ratio untuk provinsi yang tidak memiliki tetangga seperti Bali, Bangka belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, NTB dan NTT tidak mendapat pengaruh spasial karena tidak berdekatan dengan provinsi manapun (terpisah oleh perairan), sehingga Gini Ratio dari ketujuh provinsi tersebut hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel yang sudah ditentukan. Namun jika dilihat pada Tabel 3.8, seluruh provinsi yang tidak memiliki efek spasial termasuk dalam wilayah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah, kecuali Bali yang memiliki Gini Ratio 0,42 dan masuk dalam wilayah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang sedang, hal tersebut akan dijelaskan pada bagian interpretasi model di akhir pembahasan.

3. Matriks Pembobot Spasial

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk melakukan analisis regresi

spasial adalah dengan menyusun matriks pembobot spasial. Pada tahap ini, akan dibentuk matriks berukuran 33 × 33 dimana merupakan matriks yang menggambarkan keterkaitan antar provinsi di Indonesia sebanyak 33 provinsi. Matriks pembobot yang digunakan adalah matriks pembobot spasial Rook Contiguity karena provinsi-provinsi di Indonesia saling bersinggungan sisi dan tak ada yang bersinggungan titik sudut, sehingga matriks pembobot Rook Contiguity dinilai cocok dengan keadaan tersebut. Histogram yang disajikan di bawah ini merupakan histogram yang menunjukkan banyak tetangga yang dimiliki pada tiap provinsi di Indonesia.

(33)

57

Gambar 3. 3 Histogram Kelompok Wilayah Berdasarkan Banyak Tetangga yang dimiliki

Garis horizontal pada histogram menyatakan banyak tetangga yang dimiliki, sedangkan garis vertikal pada histogram menyatakan banyak provinsi. Selain itu, di bawah histogram juga ada keterangan yang memperjelas gambar, dimana berdasarkan Histogram tersebut diketahui jika ada tujuh provinsi yang tidak berbatasan sisi dengan wilayah manapun. Kemudian ada enam provinsi yang berbatasan sisi dengan satu wilayah lain, delapan provinsi yang berbatasan sisi dengan dua wilayah lain, delapan provinsi yang berbatasan sisi dengan tiga wilayah lain serta ada empat provinsi yang berbatasan sisi dengan empat wilayah lain. Adapun tabel untuk penjelasan dari histogram diatas yaitu:

Tabel 3. 9 Kelompok Provinsi di Indonesia Berdasarkan Banyak Wilayah yang Berdekatan.

Warna Kelompok Jumlah Tetangga

Provinsi

Kelompok 1 0 Bali, Bangka Belitung, Kep. Riau, Maluku, Maluku Utara, NTB, NTT Kelompok 2 1 Aceh, Papua Barat, Jawa Timur,

Papua, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta

(34)

58

Kelompok 3 2 Banten, Gorontalo, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara

Kelompok 4 3 Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Sumatera Utara Kelompok 5 4 Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah,

Sumatera Barat

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa ada tujuh provinsi yang tidak memiliki tetangga yaitu Bali, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, NTB serta NTT yang berada di Kelompok 1. Kemudian ada enam provinsi yang memiliki satu tetangga dengan provinsi lain yang berada di Kelompok 2, delapan provinsi yang memiliki dua tetangga di Kelompok 3, delapan provinsi yang memiliki tiga tetangga berada di Kelompok 4 serta empat provinsi yang memiliki empat tetangga di Kelompok 5.

Masing-masing wilayah yang bersinggungan untuk tiap provinsi di Indonesia berdasarkan pembobot spasial Rook Contiguity (Lampiran 6) adalah sebagai berikut.

Tabel 3. 10 Wilayah yang Bersinggungan sisi untuk Tiap Provinsi

Kode Provinsi Banyak wilayah yang bersinggungan

Nama provinsi yang bersinggungan

1 Aceh 1 Sumatera Utara

2 Bali 0 -

3 Kep. Bangka Belitung

(35)

59

4 Banten 2 DKI Jakarta, Jawa Barat

5 Bengkulu 4 Sumatera Barat, Sumatera

Selatan, Jambi, Lampung

6 Gorontalo 2 Sulawesi Utara, Sulawesi

Tengah

7 Papua Barat 1 Papua

8 DKI Jakarta 2 Banten, Jawa Barat

9 Jambi 4 Sumatera Barat, Riau,

Sumatera Selatan, Bengkulu

10 Jawa Barat 3 Banten, DKI Jakarta, Jawa

Tengah

11 Jawa Tengah 3 Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur

12 Jawa Timur 1 Jawa Tengah

13 Kalimantan Barat 2 Kalimanatan Tengah, Kalimantan Timur 14 Kalimantan Selatan 2 Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur 15 Kalimantan Tengah

3 Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan 16 Kalimantan Timur 3 Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Tengah

17 Kep. Riau 0 -

18 Lampung 2 Bengkulu, Sumatera Selatan

19 Maluku 0 -

20 Maluku Utara 0 -

21 NTB 0 -

22 NTT 0 -

23 Papua 1 Papua Barat

24 Riau 3 Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Jambi

25 Sulawesi Barat 2 Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan

(36)

60

26 Sulawesi Selatan 3 Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah 27 Sulawesi Tengah 4 Gorontalo, Sulawesi Barat,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara

28 Sulawesi Tenggara

2 Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan

29 Sulawesi Utara 1 Gorontalo

30 Sumatera Barat 4 Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi 31 Sumatera

Selatan

3 Bengkulu, Jambi, Lampung

32 Sumatera Utara 3 Aceh, Riau, Sumatera Barat

33 DI Yogyakarta 1 Jawa Tengah

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui tiap-tiap provinsi yang saling berbatasan atau bertetanggaan. Sehingga langkah selanjutnya yaitu menyusun matriks rook contiguity (Lampiran 7) sebagai berikut.

(37)

61 𝑾𝑹𝒐𝒐𝒌= [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0]

Setelah terbentuk matriks Rook Contiguity (𝑾𝑹𝒐𝒐𝒌) seperti di atas, langkah selanjutnya adalah membentuk matriks pembobot spasial rook contiguity (𝑾). Pada kasus ini, matriks pembobot spasial dibentuk dengan menormalisasi baris yang memiliki elemen selain nol. Adapun matriks pembobot spasial 𝑾 yang terbentuk adalah sebagai berikut.

(38)

62 𝑾 = [ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 1 4 1 4 0 0 0 0 0 13 0 0 0 1 3 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 13 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 13 13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 1 3 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 14 0 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 0 0 1 4 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0]

4. Uji Lagrange Multiplier

Sebelum melakukan analisis regresi spasial lanjutan, terlebih dahulu

dilakukan uji Lagrange Multiplier (Uji LM) untuk menguji efek ketergantungan spasial. Hasil pada uji tersebut kemudian akan dijadikan dasar untuk pembentukan model regresi spasial. Adapun langkah-langkah pada uji Lagrange Multiplier tersebut adalah sebagai berikut.

(39)

63 a. Hipotesis.

Hipotesis untuk Uji Lagrange Multiplier pada Spatial Autoregressive Model yaitu:

𝐻0: 𝜌 = 0 (tidak ada ketergantungan spasial lag pada variabel terikat). 𝐻0: 𝜌 ≠ 0 (ada ketergantungan spasial lag pada variabel terikat).

Sedangkan Hipotesis untuk Uji Lagrange Multiplier pada Spatial Error Model yaitu:

𝐻0: 𝜆 = 0 (tidak ada ketergantungan spasial pada error). 𝐻0: 𝜆 ≠ 0 (ada ketergantungan spasial pada error). b. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 𝛼 = 0,05. c. Statistik uji

Statistik uji untuk Spatial Autoregressive Model:

𝐿𝑀𝜌 = [𝜺′𝑾𝒚𝜺′𝜺 𝑛 ⁄ ] 2 𝐷 . Statistik uji untuk Spatial Error Model:

𝐿𝑀𝜆 = [𝜺′𝑾𝜺𝜺′𝜺 𝒏 ⁄ ] 2 𝑡𝑟(𝑾𝟐+𝑾𝑾). d. Kriteria keputusannya yaitu:

𝐻0 ditolak apabila 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. e. Perhitungan

Perhitungan dilakukan dengan Geoda dan hasil ujinya (Lampiran 5) ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 3. 11 Hasil uji Lagrange Multiplier (Uji LM)

Test MI/DF Value Probability

Lagrange Multiplier (Lag)

(40)

64

Test MI/DF Value Probability

Lagrange Multiplier (error)

1 3,3726 0,06629

Berdasarkan Tabel 3.11 tersebut diketahui bahwa pada uji LM (lag) diperoleh 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,00165 < 𝛼(0,05) sehingga 𝐻0 ditolak dan berarti bahwa terdapat ketergantungan spasial lag pada variabel terikat. Oleh sebab itu, pemodelan harus dilanjutkan dengan metode Spatial Autoregressive Model. Sedangkan pada uji LM (error) diperoleh 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,06629 > 𝛼(0,05) sehingga 𝐻0 diterima dan berarti bahwa tidak terdapat ketergantungan spasial pada error. Sehingga pemodelan Gini Ratio tidak perlu dilanjutkan dengan Spatial Error Model.

5. Spatial Autoregresive Model (SAR)

a. Model Regresi dengan Spatial Autoregressive Model

Output hasil estimasi dan pengujian parameter model Spatial

Autoregressive Model (Lampiran 9) pada Geoda disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. 12 Estimasi dan Pengujian Parameter pada Model SAR

Variabel Koefisien S.E 𝑧 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 Konstanta 0,5500657 0,1452014 3,788294 0,00015 𝜌 0,124941 0,03556886 3,512651 0,00044 𝑋1 -0,0000001624 0,0000005237 -0,3101967 0,75641 𝑋2 0,0000001358 0,00000003522 3,855881 0,00012* 𝑋3 0,001467354 0,001027952 1,427454 0,15345 𝑋4 0,01157505 0,003515076 3,292975 0,00099* 𝑋5 0,001529897 0,0009344749 1,637173 0,10159 𝑋6 -0,006356685 0,002661542 -2,388347 0,01692*

(41)

65

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh bahwa variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap Gini Ratio di Indonesia tahun 2014 adalah Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan (𝑋2), Persentase Penduduk Lansia (𝑋4) serta Indeks Pembangunan Manusia (𝑋6) pada 𝛼 = 0,05.

Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu meregresikan kembali variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap Gini Ratio di Indonesia tahun 2014 agar mendapatkan model regresi yang lebih baik. Adapun hasil estimasi parameter untuk model Spatial Autoregressive Model dengan variabel bebas yang signifikan tersebut (Lampiran 10) disajikan pada tabel di bawah.

Tabel 3. 13 Estimasi Parameter untuk Model Spatial

Autoregressive Model dengan Variabel bebas yang Signifikan Variabel Koefisien S.E 𝑧 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 Konstanta 0,5929554 0,118446 5,006125 0,00000

𝜌 0,09359273 0,033977742 2,754557 0,00588 𝑋2 0,000000121 0,00000003404 3.567543 0,00036 𝑋4 0,01029551 0,003418535 3,011673 0,00260 𝑋6 -0,0062061 0,002324045 -2,670378 0,00758

Persamaan Spatial Autoregressive Model yang diperoleh berdasarkan tabel 3.13 di atas adalah:

𝑦̂ 𝑖 = 0,593 + 0,0936𝑊𝑦 + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4

−0,0062𝑋6. ( 3.19 )

Setelah terbentuk model di atas, langkah selanjutnya yaitu melakukan uji asumsi Spatial Autoregressive Model.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Pengujian ini sama seperti pengujian normalitas pada regresi linear

(42)

66

berganda. Uji normalitas pada Spatial Autoregressive Model (Lampiran 11) menghasilkan output bahwa 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,751. Sehingga 𝐻0 diterima karena 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 > 𝛼(0,05) dan berarti bahwa data berdistribusi normal. 2. Uji Heterokedastisitas

Uji kehomogenan ragam sisaan diuji dengan menggunakan uji Breusch-Pagan. Langkah-langkah pengujian ini juga sama dengan uji Breusch-Pagan pada regresi linear berganda. Hasil uji Breusch-Pagan pada model SAR yaitu 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 = 0,912 sehingga keputusannya 𝐻0 diterima karena 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 > 𝛼(0,05) dan berarti bahwa ragam sisaan homogen.

b. Interpretasi Model Spatial Autoregressive Model

Dari tahap di atas, didapatkan model Gini Ratio di Indonesia pada tahun 2014 dengan model SAR sebagai berikut.

𝑦̂𝑖= 0,593 + 0,0936𝑊𝑦 + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 . Secara umum model di atas dapat diinterpretasikan bahwa apabila faktor lain dianggap konstan, ketika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada suatu provinsi (𝑋2) naik sebesar 1 rupiah maka Gini Ratio di provinsi tersebut juga akan naik sebesar 0,000000121 satuan. Kemudian apabila persentase penduduk lansia pada suatu provinsi (𝑋4) naik sebesar 1 persen maka akan mengakibatkan Gini Ratio pada provinsi tersebut naik sebesar 0,0103 satuan. Selanjutnya ketika indeks pembangunan manusia pada suatu provinsi (𝑋6) naik sebesar 1 persen maka Gini Ratio pada provinsi tersebut akan turun sebesar 0,0062 satuan.

Persamaan di atas dapat direpresentasikan pada suatu provinsi tertentu di Indonesia. Akan diambil lima provinsi dari tiap kelompok pada Tabel 3.9. Lima

(43)

67

provinsi tersebut mewakili representasi dari tiap kelompok yang memiliki banyak persinggungan wilayah yang berbeda.

1) Provinsi Bali

Pada Tabel 3.10 Provinsi Bali memiliki kode wilayah 2 dan tidak berbatasan dengan provinsi manapun. Sehingga persamaan regresi dugaan yang diperoleh berdasarkan data Gini Ratio tahun 2014 (Lampiran 1) adalah sebagai berikut:

𝑦̂2= 0,593 + 0,0936𝑊𝑦 + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂2= 0,593 + 0,0936(0) + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂2= 0,593 + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂2= 0,593 + 0,000000121(1235270) + 0,0103(10.05) − 0,0062(72,48) 𝑦̂2 = 0,593 + 0,15 + 0,104 − 0,45 𝑦̂2= 0,397

Model Gini Ratio yang telah diperoleh diterapkan pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 untuk provinsi Bali, sehingga nilai prediksi Gini Ratio untuk provinsi Bali ketika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan adalah sebesar Rp. 1.235.270;, persentase penduduk lansia sebesar 10,05 persen dan indeks pembangunan manusia di provinsi Bali mencapai 72,48 persen memberikan nilai prediksi Gini Ratio di provinsi Bali sebesar 0,397 satuan.

Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang tidak memiliki tetangga dengan provinsi lain, sehingga nilai Gini Ratio di Bali tidak dipengaruhi oleh nilai Gini Ratio di Provinsi lain. dengan kata lain, Gini Ratio di Provinsi Bali tidak mengandung efek spasial dan hanya dipengaruhi oleh rata-rata pengeluaran per kapita per bulan, persentase penduduk lansia

(44)

68

dan juga indeks pembangunan manusia. Adapun nilai Gini Ratio sesungguhnya di Bali adalah 0,42 dan termasuk dalam kategori wilayah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang sedang, sedangkan enam provinsi lain yang tidak memiliki tetangga yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, NTB dan NTT masuk dalam kategori wilayah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah.

Hal tersebut dikarenakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap Gini Ratio di Bali memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding dengan enam provinsi lain yang sama-sama tidak memiliki tetangga. seperti, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan yang mencapai Rp. 1.235.270;, kemudian persentase penduduk lansia yang mencapai 10,05 persen. Kedua variabel tersebut memberikan pengaruh positif terhadap Gini Ratio yang berarti bahwa apabila nilai variabel tersebut semakin besar maka akan membuat Gini Ratio juga semakin membesar pula.

2) Provinsi DI Yogyakarta

Pada Tabel 3.10 Provinsi DI Yogyakarta memiliki kode 33 dan memiliki satu tetangga yaitu jawa tengah dengan kode 11. sehingga persamaan regresi dugaan yang diperoleh berdasarkan data Gini Ratio tahun 2014 (Lampiran 1) adalah sebagai berikut:

𝑦̂33= 0,593 + 0,0936𝑊𝑦 + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂33= 0,593 + 0,0936(𝑦11) + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂33= 0,593 + 0,0936𝑦11+ 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂33= 0,593 + 0,0936(0,38) + 0,000000121(852141) + 0,0103(13,05) − 0,0062(76,81)

(45)

69

𝑦̂33= 0,593 + 0,04 + 0,103 + 0,134 − 0,476 𝑦̂33= 0,39

Model Gini Ratio yang telah diperoleh diterapkan pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 untuk provinsi DI Yogyakarta, sehingga nilai prediksi Gini Ratio untuk provinsi DI Yogyakarta ketika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan adalah sebesar Rp. 852.141;, persentase penduduk lansia sebesar 13,05 persen dan indeks pembangunan manusia di provinsi Bali mencapai 76,81 persen memberikan nilai prediksi Gini Ratio di provinsi DI Yogyakarta sebesar 0.39 satuan.

3) Provinsi Kalimantan Selatan

Pada Tabel 3.10 Provinsi Kalimantan Selatan memiliki kode 14 dan memiliki dua tetangga yaitu Kalimantan Tengah dengan kode 15 dan Kalimantan Timur dengan kode 16. Persamaan regresi dugaan yang diperoleh berdasarkan data Gini Ratio tahun 2014 (Lampiran 1) adalah sebagai berikut: 𝑦̂14= 0,593 + 0,0936𝑊𝑦 + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂14= 0,593 + 0,0936 ( 1 2𝑦15+ 1 2𝑦16) + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂14= 0.593 + 0,0468𝑦15+ 0,468𝑦16+ 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂14= 0,593 + 0,0468(0,35) + 0,468(0,35) + 0,000000121(880473) + 0,0103(6,13) − 0,0062(67,63) 𝑦̂14= 0,593 + 0,016 + 0,016 + 0,107 + 0,063 − 0,42 𝑦̂14= 0,37

(46)

70

Model Gini Ratio yang telah diperoleh diterapkan pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 untuk provinsi Kalimantan Selatan, sehingga nilai prediksi Gini Ratio untuk provinsi Kalimantan Selatan ketika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan adalah sebesar Rp. 880.473;, persentase penduduk lansia sebesar 6,13 persen dan indeks pembangunan manusia di provinsi Kalimantan Selatan mencapai 67,63 persen memberikan nilai prediksi Gini Ratio di provinsi Kalimantan Selatan sebesar 0.37 satuan. 4) Provinsi Sumatera Utara

Pada Tabel 3.10 Provinsi Sumatera Utara memiliki kode 32 dan memiliki tiga tetangga yaitu Aceh dengan kode 1, Riau dengan kode 24 dan Sumatera Barat dengan kode 30. Maka persamaan regresi dugaan yang diperoleh berdasarkan data Gini Ratio tahun 2014 (Lampiran 1) adalah sebagai berikut: 𝑦̂32= 0,593 + 0,0936𝑊𝑦 + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂32= 0,593 + 0,0936 ( 1 3𝑦1+ 1 3𝑦24+ 1 3𝑦30) + 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂32= 0,593 + 0,0312𝑦1+ 0,0312𝑦24+ 0,0312𝑦30+ 0,000000121𝑋2+ 0,0103𝑋4− 0,0062𝑋6 𝑦̂32= 0,593 + 0,0312(0,32) + 0,0312(0,35) + 0,0312(0,33) + 0,000000121(742617) + 0,0103(6,34) − 0,0062(68,87) 𝑦̂32= 0,593 + 0,009 + 0,011 + 0,01 + 0,09 + 0,065 − 0,43 𝑦̂32= 0,35

Model Gini Ratio yang telah diperoleh diterapkan pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 untuk provinsi Sumatera Utara, sehingga nilai prediksi Gini Ratio untuk provinsi Sumatera Utara ketika rata-rata

Gambar

Gambar 3. 1 Ilustrasi persinggungan wilayah pada peta.
Tabel 3. 1 Variabel-variabel yang digunakan pada Penelitian.
Tabel 3. 2 Estimasi Parameter dengan Regresi Linear Berganda
Tabel 3. 3 Hasil Uji Parameter Bersama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Investasi dalam instrumen ekuitas yang tidak tercatat di bursa dan tidak mempunyai kuotasi di pasar aktif dan nilai wajarnya tidak dapat diukur secara andal, serta derivatif

(3) Akan tetapi jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan pasal 407 ayat I, sebagai perbuatan berlanjut dan

Lebih lanjut, untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua yaitu mengenai partisipasi siswa dalam kegiatan studio STEM, dilakukan kegiatan wawancara kepada studio STEM

Judul Penelitian : Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes Dengan Pulasan Van Gieson Di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dan Rumah Sakit

Setelah dilakukan analisis data penelitian variabel UTAUT yang mempengaruhi minat mahasiswa melakukan akses ke dalam sistem informasi Akper Alkautsar dan variabel

Almady’s List |Kata-Kata Bijak Richard Denny dalam Buku Succeed for Yourself 11 Ingatlah untuk memusatkan pikiran pada apa yang Anda inginkan, lebih daripada yang tidak.

adalah karya tulis ilmiah berupa paparan hasil penelitian yang membahas suatu masalah dalam bidang ilmu hukum untuk mencari pemecahan masalahnya dengan menggunakan teori-teori,

Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah oral glucose minimal model selama tes oral glucose tolerance test dengan menambahkan glukosa yang diserap oleh fungsi dan