• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI RAYAP YANG MENYERANG TUMBUHAN PADA ZONA PEMANFAATAN YANG BERBEDA DI KEBUN RAYA UNMUL SAMARINDA (KRUS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI RAYAP YANG MENYERANG TUMBUHAN PADA ZONA PEMANFAATAN YANG BERBEDA DI KEBUN RAYA UNMUL SAMARINDA (KRUS)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TUMBUHAN PADA ZONA PEMANFAATAN

YANG BERBEDA DI

KEBUN RAYA UNMUL SAMARINDA (KRUS)

Identification of Termite Attacking Plants at Different Function Zones

in Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS)

Zulkaidhah1), Djumali Mardji2) dan Chandradewana Boer3) Abstract. The research aimed at identifying species of termite attacking plants

stages of saplings, poles and trees, calculating incidence and severity of termite attack and also evaluating association between termite and biotic/abiotic factors at the Conservation, Collection and Recreation Zones. The research resulted that there were 5 species from 208 termite samples found in the Collection, Conservation and Recreation Zones of Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS), they were Coptotermes sp., Macrotermes sp., Nasutitermes sp., Odontotermes sp. and Rhinotermes sp. The highest incidence of termite attack occurred in the Recreation Zone (28.4 %) and the lowest was in the Collection Zone (18.4 %), while based on the severity of attack, there were no significant different among those three zones and still in the level of low damage. Differences in growth stages (sapling, poles and trees) caused significant different in incidence and severity of termite attacks, where the highest incidence and severity occurred on trees and caused middle damage followed by poles in the level of low damage and the lowest was sapling which still in the level of healthy. Based on the species group of plants, the highest incidence and severity of termite attack occurred on non dipterocarp species group, followed by dipterocarp species and the lowest was fruit plant species group. The termite attack was stimulated by biotic and abiotic factors. The biotic factor was stem cankers caused by fungi which might soften the wood before termite attack. The abiotic factor was environmental condition which stimulate termite proliferation.

Kata kunci: frekuensi dan intensitas serangan, tingkat pertumbuhan, kerusakan.

Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) merupakan salah satu objek wisata alam yang berada di Samarinda yang diharapkan menjadi alternatif untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam yang berbasiskan kelestarian lingkungan yang dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat Kalimantan Timur pada khususnya dalam memanfaatkan sumberdaya hutan untuk keperluan rekreasi. Di samping itu

_________________________________________________________________

1) Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu

2) Laboratorium Perlindungan Hutan Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda

3) Laboratorium Konservasi Keanekaragaman Hayati Fak. Kehutanan Unmul, Samarinda

(2)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 202

Di samping itu KRUS merupakan satu-satunya komunitas Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah (Low Land Tropical Rain Forest) yang masih tersisa keberadaanya di Kota Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.

Di balik keberhasilan yang telah dicapai, tanpa disadari terdapat beberapa masalah khas yang dihadapi dalam pengembangan kawasan Hutan Wisata ini. Salah satunya adalah masalah serangan rayap, yang mana rayap ini merupakan hama yang dapat mengakibatkan kerusakan pada pohon-pohon, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Namun masalah yang paling menonjol akibat kehadiran rayap di kawasan ini khususnya pada fungsinya sebagai kawasan wisata adalah dapat mengurangi nilai-nilai keindahan (estetika). Hal ini sesuai dengan pendapat Suratmo (1978), bahwa serangan hama selain menimbulkan kerusakan secara langsung pada tegakan juga dapat menimbulkan kerusakan secara tidak langsung, salah satunya adalah dapat mengurangi nilai-nilai keindahan suatu kawasan.

Nandika dkk. (2003) mengemukakan, bahwa adanya serangan rayap pada tanaman dan hasil hutan pertama kali dilaporkan oleh Henry Smeathman kepada Royal Society di London pada tahun 1891. Howse (1970) juga melaporkan, bahwa di Amerika Serikat setiap tahunnya kerugian akibat serangan rayap ditaksir lebih dari 100 juta dollar, di Hawaii dan Australia kerugian masing-masing ditaksir sebesar 1 sampai 6 juta dollar per tahunnya, sedangkan di Indonesia serangan rayap pada tanaman perkebunan dan kehutanan mulai banyak dilaporkan oleh Kalshoven pada tahun 1959–1960 (Nandika dkk., 2003).

Tidak kurang dari 200 jenis rayap atau sekitar 10 % dari keragaman rayap yang tersebar di dunia merupakan bagian dari berbagai tipe ekosistem di Indonesia, tidak saja pada tipe ekosistem hutan, tapi juga termasuk ekosistem permukiman. Nandika dkk. (2003) melaporkan, bahwa salah satu jenis rayap yaitu Coptotermes

curvignathus ditemukan menyerang tanaman kelapa sawit dan tanaman karet dan

pada tahun 1976 di Tasikmalaya dilaporkan bahwa rayap jenis Macrotermes gilvus menyerang tanaman kayu putih yang menyebabkan kematian hingga mencapai 71 %, di samping itu rayap ini dilaporkan menyerang pohon Eucalyptus alba di Kebun Percobaan Darmaga dan Demplot HTI Universitas Winaya Mukti dengan tingkat kematian pohon mencapai 100 %.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa hampir di seluruh daerah tropika dan subtropika rayap dikenal sebagai hama yang banyak menimbulkan kerusakan pada berbagai tanaman dan hasil hutan yang dibutuhkan oleh manusia. Kemampuan rayap dalam merusak ada hubungannya dengan populasinya yang sangat tinggi, daya jelajah yang luas serta daya adaptasi dengan lingkungan yang cukup baik.

Kawasan KRUS merupakan salah satu kawasan hutan alam yang dijadikan sebagai kawasan wisata yang memiliki keanekaragaman hayati yang masih relatif alami, baik flora maupun fauna yang belum teridentifikasi, salah satunya adalah jenis-jenis rayap yang meskipun keberadaannya lebih dikenal sebagai dekomposer, tetapi pada kondisi-kondisi tertentu dapat berubah menjadi hama yang dapat menimbulkan kerusakan yang berarti. Untuk mengantisipasi kemungkinan ini, maka usaha-usaha pengendalian yang efektif dan efisien perlu dipikirkan dengan jalan mengetahui karakteristik bioekologi dari rayap tersebut. Sehubungan dengan

(3)

hal ini maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai identifikasi jenis rayap pada areal KRUS.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di KRUS Kelurahan Lempake pada tiga zona pemanfaatan yang berbeda (Zona Konservasi, Koleksi dan Rekreasi) dan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda dari bulan Maret sampai Mei 2005.

Dalam penelitian ini yang menjadi objek adalah tumbuhan alami yang terdapat dalam plot pengamatan, yaitu tingkat pancang, tiang dan pohon, baik yang terserang rayap maupun yang sehat serta faktor biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap kerusakan tumbuhan selain rayap.

Parameter yang diamati adalah jenis dan jumlah pancang, tiang dan pohon yang masing-masing dilakukan pengukuran diameter dan tinggi tumbuhan. Hal ini dilakukan untuk membedakan tumbuhan ke dalam tingkat-tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon. Untuk keperluan ini kriteria yang digunakan yaitu pancang adalah permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm, untuk tiang adalah pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm, sementara untuk pohon adalah pohon dewasa yang berdiameter 20 cm dan lebih (Kusmana, 1995), kemudian dilakukan pengamatan terhadap tumbuhan yang terserang rayap dan juga mengamati faktor-faktor lain yaitu faktor biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap kerusakan tumbuhan. Nama jenis tumbuhan langsung ditentukan di lapangan dengan dibantu oleh seorang pengenal pohon dan dicatat dalam tally sheet.

Untuk menentukan skor serangan rayap, maka dibuat kriteria seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Cara Menentukan Skor Serangan Rayap pada Setiap Pancang, Tiang dan Pohon

Kondisi pancang/tiang/pohon Skor

a. Tidak terserang (tidak ada serangan rayap) ……….………... 0

b. Terserang ringan (bagian pancang/tiang/pohon yang terserang relatif sempit dengan kerusakan bagian kulit dan kayu sedikit atau terserang sekitar 1/4 dari tinggi batang) …... 1

c. Terserang sedang (bagian pancang/ tiang/pohon yang terserang relatif agak luas dengan kerusakan bagian kulit dan kayu agak banyak atau terserang sekitar 1/2 dari tinggi batang) ... 2

d. Terserang berat (bagian pancang/tiang/pohon yang terserang relatif luas dengan kerusakan bagian kulit dan kayu banyak atau terserang sekitar ¾ dari tinggi batang) …… 3

e. Terserang sangat berat (bagian pancang/tiang/pohon yang terserang relatif sangat banyak dengan kerusakan bagian kulit dan kayu sangat banyak, kulit dan kayu mengering, daun rontok dan tidak ada tanda-tanda kehidupan atau hampir semua batang terserang) ……… 4 Sumber: Mardji (2003) (dimodifikasi)

(4)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 204

Rayap yang diambil dari lapangan dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70 %. Identifikasi rayap dilakukan di Laboratorium Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda dengan bantuan buku-buku tentang rayap karangan Krishna dan Weesner (1969 dan 1970), Borror dkk. (1992) dan Nandika dkk. (2003) serta sebuah mikroskop zoom stereo yang dilengkapi dengan kamera digital. Rayap yang ditemukan tersebut kemudian dicocokkan dengan deskripsi di literatur, kemudian ditentukan nama jenisnya.

Faktor biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap kerusakan tegakan langsung diidentifikasi di lapangan, sedangkan faktor biotik dan abiotik yang tidak/belum teridentifikasi di lapangan, diambil sampelnya kemudian diidentifikasi di Laboratorium Perlindungan Hutan.

Frekuensi serangan (F) dihitung dengan membandingkan jumlah pancang, tiang atau pohon yang terserang dengan jumlah pancang, tiang atau pohon secara keseluruhan yang diamati, dinyatakan dalam persen (%) dengan rumus sebagai berikut:

F = Y

X x 100 %, yang mana X = jumlah pancang/ tiang/pohon yang terserang. Y = jumlah pancang/ tiang/pohon yang diamati.

Intensitas serangan (I) dihitung dengan rumus sebagai berikut: I = 4 4 4 3 3 2 2 1 1

XY

Y

X

Y

X

Y

X

Y

X

x 100 %, yang mana X = jumlah pancang/ tiang/ pohon yang diamati. X1 = jumlah pancang/ tiang/pohon yang terserang ringan (skor 1). X2 = jumlah pancang/ tiang/pohon yang terserang sedang (skor 2).

X3 = jumlah pancang/ tiang/ pohon yang terserang berat (skor 3). X4 = jumlah pancang/ tiang/pohon yang mati (skor 4). Y1Y4 = nilai 1–4 dari masing-masing tumbuhan yang menunjukkan gejala serangan dari ringan sampai mati (tidak ada tanda-tanda kehidupan).

Setelah diperoleh nilai intensitas serangan, maka kondisi tumbuhan tingkat pancang, tiang dan pohon secara keseluruhan di KRUS akibat serangan rayap dapat diketahui berdasarkan kriteria menurut Mardji (2003) seperti ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Cara Menentukan Kondisi Tumbuhan Tingkat Pancang, Tiang dan Pohon di KRUS Berdasarkan Intensitas Serangan

Intensitas serangan ( % ) Kondisi tumbuhan 0–1 > 1–25 > 25–50 > 50–75 > 75–100 Tidak terserang (TT) Rusak ringan (RR) Rusak sedang (RS) Rusak berat (RB) Rusak sangat berat (RSB)

Karena nilai pengamatan menggunakan angka relatif yaitu satuan persentase, maka sebelum dianalisis secara statistik data tersebut ditransformasikan dengan

(5)

ketentuan bahwa jika nilai-nilai tersebut berkisar antara 0 sampai 100 %, maka data tersebut ditransformasikan menjadi x’= Arc sin √% (Gomez and Gomez, 1976).

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan frekuensi dan intensitas serangan rayap, baik antar zona pemanfaatan (Zona Rekreasi, Konservasi dan Koleksi), antar tingkat pertumbuhan (pancang, tiang dan pohon) maupun antar kelompok jenis tumbuhan (Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae dan buah-buahan) di kawasan KRUS, dilakukan pengujian dengan analisis sidik ragam. Jika pada analisis tersebut terdapat perbedaan yang signifikan, pengujian dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Least Significance Difference) atau Uji-t dengan menggunakan program “Statgraphics Plus Versi 4,0” dengan panduan buku statistik oleh Yitnosumarto (1991), Steel dan Torrie (1993).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Keragaman Jenis Rayap

Adanya berbagai jenis rayap yang telah terindentifikasi berasal dari pengambilan sampel rayap pada tumbuhan yang terserang rayap sebanyak 208 sampel (botol koleksi) yang masing-masing sampel terdiri dari beberapa ekor rayap yang diambil dari tumbuhan yang terserang pada plot-plot pengamatan di tiga zona pemanfaatan. Dari hasil identifikasi sampel secara keseluruhan ditemukan sebanyak 5 jenis, yaitu Coptotermes sp., Macrotermes sp., Nasutitermes sp.,

Odontotermes sp. dan Rhinotermes sp

.

Berdasarkan cara hidupnya, kelima jenis rayap tersebut tergolong dalam rayap tanah (subterranean termite). Penjelasan jenis-jenis rayap yang menyerang pada setiap zona adalah sebagai berikut:

1. Pada Zona Konservasi yang terdiri dari 34 sampel ditemukan 3 jenis rayap, yaitu Macrotermes sp., Nasutitermes sp. dan Odontotermes sp.

2.

Pada Zona Koleksi yang terdiri dari 71 sampel ditemukan 5 jenis rayap, yaitu

Coptotermes sp., Macrotermes sp., Nasutitermes sp., Odontotermes sp. dan Rhinotermes sp.

3. Pada Zona Rekreasi yang terdiri dari 103 sampel ditemukan 5 jenis rayap, yaitu

Coptotermes sp., Macrotermes sp., Nasutitermes sp., Odontotermes sp. dan Rhinotermes sp.

Morfologi dari kelima jenis rayap yang berhasil diidentifikasi yaitu:

1. Coptotermes sp.

Rayap dari jenis Coptotermes sp. termasuk dalam famili Rhinotermitidae, subfamili Rhinotermitinae. Jenis rayap ini merupakan jenis yang paling umum di Indonesia dan sangat merugikan. Ciri khas yang dimiliki oleh jenis ini adalah kepala dan abdomennya berbulu, selain itu ciri umum dari jenis ini adalah warnanya kuning sampai coklat muda, panjang keseluruhan tubuhnya 4 mm, jumlah ruas antena 13–14 ruas, mandibelnya bersilangan dan agak bergerigi. kasta prajurit yang bertubuh besar (major) dan kasta prajurit yang bertubuh kecil (minor), namun yang umum dijumpai yaitu kasta prajurit minor. Jenis ini tidak mempunyai

(6)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 206

gigi marginal, yang digunakan untuk menjepit adalah ujung mandibel. Karakteristik umum dari jenis ini, baik prajurit major maupun minor adalah warnanya agak kecoklatan, antena terdiri dari 17 ruas, mandibel kiri dan kanan simetris. Khusus untuk prajurit minor, panjang kepala dengan mandible 3 mm dan panjang kepala tanpa mandibel 1–2 mm.

3. Nasutitermes sp.

Rayap Nasutitermes sp. tergolong dalam famili Termitidae, subfamili Nasutitermitinae. Ciri khas dari jenis ini, pada kasta prajurit ditandai dengan penonjolan bagian depan kepalanya (nasut). Selain itu ciri-ciri umum yang dimiliki oleh jenis ini yaitu kepala bulat, warnanya coklat tua, panjang secara keseluruhan 5,5 mm dengan jumlah ruas antena 13–14 ruas

4. Odontotermes sp.

Rayap jenis Odontotermes sp. ini digolongkan dalam famili Termitidae, subfamili Macrotermitinae. Jenis rayap ini dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang melebar dan hal ini sangat berbeda dengan bentuk kepala jenis rayap yang lain. Selain itu ciri khas lain yang dimiliki oleh rayap jenis ini adalah pada mandibelnya terdapat gigi marginal, berwarna kuning kecoklatan, panjangnya 6 mm, jumlah ruas antena 15–17 ruas, panjang kepala dengan mandibel 2–3 mm dan lebar kepalanya 2 mm.

5. Rhinotermes sp.

Rhinotermes sp. merupakan salah satu jenis rayap yang tergolong dalam famili

Rhinotermitidae, subfamili Rhinotermitinae. Jenis rayap ini kasta prajuritnya juga terdiri dari dua jenis, yaitu kasta major dan kasta minor. Warna rayap ini, baik major maupun minor adalah sama yaitu kekuningan, namun keduanya berbeda pada jumlah ruas antena, yang mana rayap major jumlah ruas antenanya 16 ruas dan panjang kepala dengan mandibel 1–1,5 mm, sedangkan pada rayap minor antena 15 ruas dan panjang kepala dengan mandibel 0,9–1,2 mm.

Identifikasi jenis rayap di atas didasarkan pada perbedaan bentuk dan ukuran kepala, warna, jumlah ruas antena serta mandibel dari kasta prajurit. Dalam mengidentifikasi rayap sampai tingkat genus, kasta yang paling sesuai digunakan adalah kasta prajurit, sedangkan kasta pekerja dan kasta reproduktif tidak cukup valid untuk digunakan mengingat terlalu banyak kesamaan bentuk antara genus yang satu dengan genus yang lainnya.

Frekuensi dan Intensitas Serangan Rayap 1. Perbedaan antar zona pemanfaatan

Rata-rata frekuensi dan intensitas serangan rayap pada tingkat pertumbuhan yang berbeda di tiga zona pemanfaatan disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan kondisi tiga zona pemanfaatan menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi serangan rayap. Hal

(7)

ini menggambarkan, bahwa penyebaran populasi rayap tidak merata di tiga zona yang diteliti. Penyebaran yang tidak merata ini disebabkan oleh keragaman jenis tumbuhan yang berbeda di tiga zona, sehingga keberadaan rayap tersebar sesuai dengan inang atau tumbuhan yang disenangi. Misalnya untuk jenis meranti dan ulin yang mendominasi Zona Konservasi umumnya diserang oleh rayap dari jenis

Macrotermes sp. dan Odontotermes sp. dan menyerang hampir pada semua tingkat

pertumbuhan. Sementara pada Zona Koleksi dan Zona Rekreasi yang didominasi oleh jenis Macaranga spp. (bingkungan), Eugenia spp. (jambu-jambuan), Acacia

mangium (akasia) dan tanaman buah-buahan umumnya diserang oleh rayap dari

jenis Nasutitermes sp. dan Rhinotermes sp. Kedua jenis rayap ini umumnya menyerang tingkat tiang sampai pohon dan jarang ditemukan menyerang tingkat pancang. Wirakusumah (1986) mengemukakan, bahwa hutan alam merupakan gudang dari potensi-potensi penyakit dalam situasi persaingan ketat dan seleksi tinggi namun dominasi oleh salah satu atau sebagian dari organisme-organisme itu tidak pernah ada.

Tabel 3. Rata-rata Frekuensi dan Intensitas Serangan Rayap pada Tiga Zona Pemanfaatan Zona pemanfaatan Tingkat pertumbuhan Rata-rata frekuensi (%) Rata-rata intensitas (%) Kondisi tumbuhan Konservasi Pancang Tiang Pohon 2,8 18,7 52,0 0,7 7,8 26,9 Tidak terserang Rusak ringan Rusak sedang

Rata-rata 24,5 11,8 Rusak Ringan

Koleksi Pancang Tiang Pohon 2,4 16,5 36,5 0,7 7,1 25,2 Tidak terserang Rusak ringan Rusak sedang

Rata-rata 18,4 11,0 Rusak ringan

Rekreasi Pancang Tiang Pohon 2,1 26,7 56,5 0,5 10,0 29,7 Tidak terserang Rusak ringan Rusak sedang

Rata-rata 28,4 13,4 Rusak ringan

Hasil analisis sidik ragam pengaruh perbedaan zona pemanfaatan terhadap intensitas serangan rayap menunjukkan, bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan, ini bisa terlihat pada kondisi tumbuhan yang umumnya berada pada kondisi terserang ringan pada ketiga zona pemanfaatan. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman jenis di tiga zona tersebut cukup tinggi, yang mana kondisi yang demikian membuka kesempatan bagi banyak jenis organisme untuk hidup dan berkembang karena tersedianya pakan yang cukup banyak. Tetapi karena sumber pakan itu beragam, maka terjadi persaingan yang ketat di antara organisme-organisme tersebut, sehingga timbul keadaan di mana organisme-organisme mengalami kekurangan pakan yang mengakibatkan populasi organisme tersebut tertekan. Hal inilah yang menyebabkan kondisi ekologis antara rayap dengan lingkungannya tetap berada dalam keseimbangan. Graham dan Knight (1965) menyatakan, bahwa di hutan alam jarang terjadi wabah penyakit karena kondisi ekologisnya membentuk keseimbangan alam hayati, sehingga mampu mencegah populasi penyebab penyakit untuk mencapai tingkat yang merusak atau merugikan.

(8)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 208

2. Perbedaan tingkat pertumbuhan

Rata-rata frekuensi dan intensitas serangan rayap pada tingkat pertumbuhan (pancang, tiang dan pohon) di tiga zona pemanfaatan disajikan pada Tabel 3, bahwa frekuensi serangan rayap pada tingkat pertumbuhan yang berbeda di tiga zona pemanfaatan adalah meningkat sesuai dengan peningkatan dimensi pohon dari tingkat pancang ke tingkat pohon. Hal ini menunjukkan, bahwa perbedaan tingkat pertumbuhan menyebabkan perbedaan signifikan terhadap frekuensi serangan rayap dan dari hasil uji LSD menunjukkan, bahwa frekuensi serangan rayap pada pancang berbeda signifikan dengan tiang dan pohon, sedangkan frekuensi serangan pada tiang dan pohon tidak berbeda signifikan. Frekuensi serangan tertinggi terjadi pada tingkat pohon, sedangkan frekuensi terendah adalah pada tingkat pancang. Hal ini menunjukkan, bahwa frekuensi serangan sangat ditentukan oleh jumlah individunya, yang mana terlihat jumlah pancang secara keseluruhan pada ketiga zona paling banyak sementara jumlah yang terserang rayap relatif lebih sedikit dibandingkan dengan tiang dan pohon yang jumlahnya secara keseluruhan cenderung seimbang dengan jumlah yang terserang rayap.

Ketersediaan makanan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran rayap (Soeyamto dkk., 1990). Serangan rayap pada ketiga zona pemanfaatan menunjukkan, bahwa frekuensi serangan pada tingkat tiang dan pohon tidak berbeda signifikan dan lebih tinggi daripada tingkat pancang. Hal ini berarti kedua tingkat pertumbuhan itu merupakan habitat yang disenangi oleh rayap, karena tiang dan pohon mempunyai dimensi yang cukup besar yang menjadi sumber makanan (selulosa) yang tersedia dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga rayap tersebut dapat tinggal pada pohon itu dalam waktu yang cukup lama hingga sumber makanan pada pohon tersebut habis atau pohon telah mati.

Perbedaan tingkat pertumbuhan di ketiga zona pemanfaatan juga menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap intensitas serangan rayap. Dari hasil uji LSD menunjukkan, bahwa intensitas serangan pada ketiga tingkat pertumbuhan saling berbeda signifikan, yang mana intensitas serangan terendah terjadi pada tingkat pancang. Hal ini berarti bahwa jumlah individu rayap yang paling banyak terdapat pada tingkat pohon, disusul pada tingkat tiang dan yang paling sedikit pada tingkat pancang. Semakin banyak individu rayap, maka semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Banyaknya individu rayap tersebut berkaitan dengan kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia. Semakin baik kualitas dan semakin besar kuantitas makanannya, maka semakin cepat perkembangbiakan rayap.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tingginya serangan rayap pada tingkat pohon, di antaranya adalah kandungan selulosa, yang mana rayap merupakan serangga pemakan bahan-bahan yang terutama terdiri dari selulosa (Nandika dkk., 2003). Sjöström (1995) mengemukakan, bahwa selulosa merupakan komponen kayu yang terbesar dan pada tingkat pohon, baik itu dari jenis kayu keras maupun kayu lunak, mengandung antara 97–99 % zat kayu (Fengel dan Wegener, 1995). Hal inilah yang mengakibatkan tingkat pohon lebih disukai oleh rayap, sehingga serangannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat

(9)

pancang dan tiang yang memiliki kandungan zat kayu lebih rendah. Dengan tersedianya selulosa yang cukup, berarti sumber makanan bagi rayap juga tersedia dalam jumlah yang cukup.

Diameter pohon yang relatif lebih besar dibandingkan dengan pancang dan tiang juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya serangan rayap pada pohon. Selain menggunakan kayu sebagai sumber makanannya, rayap juga menggunakan kayu sebagai tempat hidupnya atau tempat berlindung dengan jalan menerobos bagian dalam dari kayu tersebut (Hasan, 1986). Untuk jenis rayap tanah, selain sarang primer yang terdapat di dalam tanah, kayu merupakan sarang sekunder untuk beraktivitas dan menyembunyikan diri dari serangga-serangga predator, sehingga dengan diameter pohon yang besar memberikan kesempatan pada rayap dalam beraktivitas mengambil makanan pada pohon tersebut.

3. Perbedaan kelompok jenis tumbuhan

Rata-rata frekuensi dan intensitas serangan rayap pada kelompok jenis tumbuhan (Dipterocarpaceae, non Dipterocarpaceae dan buah-buahan) pada ketiga zona pemanfaatan disajikan pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Rata-rata Frekuensi dan Intensitas Serangan Rayap pada Kelompok Jenis Tumbuhan di Tiga Zona Pemanfaatan

Zona

pemanfaatan Kelompok jenis tumbuhan

Rata-rata frekuensi (%) Rata-rata intensitas (%) Kondisi tumbuhan Konservasi Dipterocarpaceae Non Dipterocarpaceae Buah-buahan 13,6 10,9 0 6,3 5,5 0 Rusak ringan Rusak ringan Tidak terserang

Rata-rata 24,5 11,8 Rusak ringan

Koleksi Dipterocarpaceae Non Dipterocarpaceae Buah-buahan 10,8 5,9 1,7 6,5 3,2 1,3 Rusak ringan Rusak ringan Rusak ringan

Rata-rata 18,4 11,0 Rusak ringan

Rekreasi Dipterocarpaceae Non Dipterocarpaceae Buah-buahan 7,6 19,5 1,4 3,1 9,7 0,6 Rusak ringan Rusak ringan Tidak terserang

Rata-rata 28,5 13,4 Rusak ringan

Rata-rata Dipterocarpaceae Non Dipterocarpaceae Buah-buahan 10,7 12,1 1,0 5,3 6,1 0,6 Rusak ringan Rusak ringan Tidak terserang

Pada hasil analisis sidik ragam baik frekuensi maupun intensitas terlihat bahwa perbedaan kelompok jenis tumbuhan berpengaruh sangat signifikan terhadap frekuensi dan intensitas serangan rayap.

Dari hasil uji LSD baik frekuensi maupun intensitas terlihat bahwa antara kelompok Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae tidak berbeda signifikan namun berbeda signifikan dengan kelompok buah-buahan. Pada dasarnya kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae tergolong dalam kelompok jenis yang memiliki tingkat kekerasan yang cukup tinggi dibanding

(10)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 210 dengan jenis buah-buahan, namun hal ini tidak menjamin bahwa kelompok jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae dapat terbebas dari serangan rayap. Salah satu faktor yang menyebabkan adanya serangan rayap pada jenis Dipterocarpaceae dan non Dipterocarpaceae yang meskipun serangannya masih dalam kondisi ringan yaitu jenis ini sebagian besar awalnya terserang jamur dan kanker batang sehingga cenderung lebih disukai oleh rayap. Natawiria (1986a) mengemukakan, bahwa beberapa kasus serangan rayap pada pohon diawali dengan adanya bagian-bagian pohon tersebut yang mati atau membusuk karena penyakit yang disebabkan oleh jamur.

Dalam proses pencarian makanan, rayap tidak mengenal kayu keras dan kayu lunak, sehingga dapat dikatakan bahwa semua jenis kayu dapat diserang oleh rayap, namun pada kondisi-kondisi tertentu seperti adanya serangga-serangga predator, jumlah koloni yang sedikit, tidak adanya organisme simbion, serta makanan yang tersedia sangat sedikit, maka tingkat serangan rayap akan terbatas dan sewaktu-waktu dapat meningkat jika berada pada kondisi-kondisi yang mendukung.

Beberapa jenis buah-buahan yang terdapat pada ketiga zona pemanfaatan tidak terserang oleh rayap, misalnya pala hutan (Myristica cinnamomea), langsat (Lansium domesticum), sukun (Arthocarpus indicus) dan beberapa jenis lainnya. Belum diketahui penyebab tidak terserangnya jenis-jenis pohon ini, apakah mempunyai zat yang tidak disukai oleh rayap atau penyebab lainnya.

Terbatasnya serangan rayap pada kawasan KRUS ini bukan semata-mata karena ketahanan pohon tersebut terhadap serangan rayap, tetapi lebih dimungkinkan karena faktor lingkungan. Natawiria (1986b) mengemukakan, bahwa kurangnya serangan hama di hutan alam dimungkinkan karena adanya hubungan timbal balik antara berbagai faktor lingkungan yang menyebabkan populasi serangga tetap rendah, sehingga kerusakan yang ditimbulkan secara ekonomis tidak berarti.

Asosiasi Antara Rayap dengan Faktor Biotik dan Abiotik Lainnya

Kehadiran rayap pada suatu tegakan selain dipengaruhi oleh beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas juga dipengaruhi oleh keberadaan faktor biotik dan abiotik lainnya pada tegakan tersebut, di antaranya adalah rusaknya kayu akibat serangan jamur pada suatu pohon. Natawiria (1978) melaporkan, bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan preferensi (kesukaan) rayap terhadap kayu adalah dengan membiarkan kayu tersebut terserang jamur pelapuk. Pada hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pada ketiga zona pemanfaatan dari beberapa tumbuhan yang terserang umumnya berasosiasi dengan jamur dan kanker batang. Hal ini terjadi di Zona Konservasi, di mana rayap yang berasosiasi dengan jamur dan kanker batang sebesar 63,6 %, pada Zona Rekreasi 61,3 % dan pada Zona Koleksi 72,2 %. Hal ini menunjukkan bahwa rayap cenderung menyukai tumbuhan yang sebelumnya terserang oleh jamur atau kanker batang. Pada dasarnya rayap mampu mencerna kayu yang keras dengan bantuan organisme simbionnya, namun jika terdapat kayu yang telah lunak, maka rayap akan lebih memilih kayu lunak tersebut (Supriana, 1983). Selain itu jenis-jenis jamur tertentu

(11)

memiliki hormon yang berfungsi sebagai zat penarik kedatangan rayap (Tokoro dkk., 1989 dalam Suhesti, 2003).

Jamur selain menyebabkan pelapukan pada kayu, juga dapat menghilangkan racun yang terkandung di dalam zat ekstraktif yang berbahaya bagi rayap dan kayu yang dilapukkan oleh jamur dapat menyebabkan peningkatan nutrisi pada rayap, sehingga keberadaan rayap pada kayu tersebut akan lebih lama, bahkan beberapa jenis rayap bersimbiosis dengan jamur (Nandika dkk., 2003). Hal inilah yang ikut berpengaruh terhadap tingginya serangan pada suatu tegakan. Penyakit kanker batang juga berpengaruh terhadap rusaknya komponen-komponen penyusun kayu yang menyebabkan kayu tersebut menjadi lunak sehingga lebih disukai oleh rayap.

Keberadaan jamur dan kanker batang yang berpengaruh terhadap kehadiran rayap tidak terlepas dari faktor abiotik lainnya yaitu faktor lingkungan seperti suhu dan kelembapan udara, yang mana jamur merupakan mikroorganisme yang hidup pada kelembapan udara yang cukup tinggi. Hal yang sama dikemukakan oleh Tarumingkeng dan Martawijaya (1971), bahwa tingkat serangan rayap terbatas pada kelembapan udara yang sedang, namun akan menghebat setelah kelembapan udara meningkat yaitu pada saat setelah penutupan tajuk. Sementara pada ketiga zona pemanfaatan yang digunakan sebagai lokasi pengamatan memiliki kondisi lingkungan yang demikian, sehingga rayap, jamur dan faktor biotik/abiotik lainnya dapat berasosiasi dengan baik. Hal ini berarti bahwa di satu sisi keberadaan jamur sangat menguntungkan bagi rayap, namun di sisi lain mengakibatkan parahnya kerusakan tegakan, di mana jamur dan rayap tersebut berada.

Jenis tanah di KRUS yaitu liat berpasir sampai lempung liat juga merupakan salah satu faktor abiotik yang ikut berpengaruh terhadap keberadaan rayap pada kawasan tersebut. Nandika dkk. (2003) mengemukakan, bahwa rayap dapat hidup pada tipe tanah tertentu, namun secara umum rayap tanah lebih menyukai tanah yang banyak mengandung liat yang memudahkan rayap dalam memanfaatkan tanah sebagai bahan utama pembuatan sarang, karena jenis tanah ini mengandung fraksi yang lebih halus dan kuat.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Di kawasan KRUS pada tiga zona pemanfaatan ditemukan rayap sebanyak 5 jenis dari 2 famili, yaitu Coptotermes sp., Macrotermes sp., Nasutitermes sp.,

Odontotermes sp. dan Rhinotermes sp. Di Zona Koleksi dan Rekreasi ditemukan

masing-masing 5 jenis, sedangkan di Zona Konservasi hanya ditemukan 3 jenis. Frekuensi dan intensitas serangan tertinggi terjadi pada Zona Rekreasi (28 % dan 13,4 %), disusul pada Zona Konservasi (24,4 % dan 11,8 %) dan yang terendah pada Zona Koleksi (18,4 % dan 11 %).

Frekuensi dan intensitas serangan tertinggi terjadi pada tingkat pohon (rusak sedang), disusul dengan tingkat tiang (rusak ringan), sedangkan pada tingkat pancang termasuk dalam kriteria tidak terserang.

(12)

JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 212 Pada kelompok jenis tumbuhan, frekuensi dan intensitas serangan rayap tertinggi terjadi pada kelompok jenis non Dipterocarpaceae, disusul kelompok jenis Dipterocarpaceae dan terendah pada kelompok jenis buah-buahan.

Rayap lebih menyukai pohon yang telah terserang oleh jamur penyebab kanker batang, karena bagian kayunya telah terbuka sehingga memudahkan rayap untuk menyerang.

Saran

Dengan adanya serangan rayap di kawasan KRUS meskipun masih dikategorikan ringan, tetapi tetap memerlukan perhatian dalam hal pengendalian sebelum serangan rayap tersebut meluas yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap pohon-pohon koleksi KRUS. Beberapa jenis tumbuhan yang terdapat pada ketiga zona pemanfaatan tidak terserang oleh rayap, misalnya pala hutan (Myristica cinnamomea), langsat (Lansium domesticum), sukun (Arthocarpus

indicus) dan beberapa jenis lain. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut

mengenai kemungkinan adanya faktor-faktor yang menyebabkan jenis tersebut bebas dari serangan rayap.

DAFTAR PUSTAKA

Borror, D.J.; C.A. Triplehorn dan N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Terjemahan S. Partosoedjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1083 h. Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu (Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi). Terjemahan

H. Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 730 h.

Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1976. Statistical Procedure for Agriculturral Research. Institute of Los Banos, Laguna, Philippines. 215 h.

Graham, S.A. and F.B. Knight. 1965. Principles of Forest Entomology. McGraw-Hill Book Company Inc., New York. 669 h.

Hasan, T. 1986. Rayap dan Pemberantasannya (Penanggulangan dan Pencegahannya). CV Yasaguna, Jakarta. 103 h.

Howse, P. N. 1970. Termite. Hutchinson University Library, London.

Krishna, K. dan F.M. Weesner. 1969. Biology of Termites. Volume I. Academic Press, New York. 598 h.

Krishna, K. dan F.M. Weesner. 1970. Biology of Termites. Volume II. Academic Press, New York. 643 h.

Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Bahan Kuliah Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. 190 h.

Mardji, D. 2003. Identifikasi dan Penanggulangan Penyakit pada Tanaman Kehutanan. Dalam: “Buku Ajar Pelatihan Teknik Rehabilitasi Hutan PT ITCIKU” (M. Sutisna, D. Ruhiyat, M. Rachmat dan D. Mardji, Penyunting). Pelatihan Bidang Perlindungan Hutan di PT ITCI Kartika Utama, Kenangan, Kabupaten Pasir. H 62–87.

Nandika, D.; Y. Rismayadi dan F. Diba. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiyah University Press, Surakarta. 216 h.

Natawiria, D. 1978. Daya Tarik dari Kayu Lapuk terhadap Rayap Subteran. Tesis Magister Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 73 h.

Natawiria, D. 1986a. Peranan Rayap dalam Ekosistem Hutan. Prosiding Seminar Nasional “Ancaman terhadap Hutan Tanaman Industri”. Kerja Sama Fakultas MIPA dan Departemen Kehutanan, Jakarta. H 168177.

(13)

Natawiria, D. 1986b. Ancaman Hama dan Penyakit terhadap Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional “Ancaman terhadap Hutan Tanaman Industri”. Kerja Sama Fakultas MIPA dan Departemen Kehutanan, Jakarta. H 6974.

Sjöström, E. 1995. Kimia Kayu (Dasar-dasar dan Penggunaan) Edisi Ke-2. Terjemahan H. Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 390 h.

Soeyamto, Ch.; R. Hernadi dan M. Rachmat. 1990. Potential Pests and Diseases of Tropical Forest in East Kalimantan. Laporan Akhir Penelitian, Samarinda. 80 h.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 h.

Suhesti, E. 2003. Preferensi Makan Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) terhadap Kayu Pinus Termodifikasi Secara Fisis dan Hayati. Tesis Magister Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 53 h. Supriana, N. 1983. Feeding Behavior of Termites (Insecta : Isoptera) on Tropical Timber

and Treated Materials. Master Thesis University of Sauthampton, England. 87 h. Suratmo, F.G. 1978. Diktat Ilmu Perlindungan Hutan (Forest Protection). Pusat Pendidikan

Kehutanan. Direksi Perum Perhutani, Cepu. 171 h.

Tarumingkeng, R.C. dan A. Martawijaya. 1971. Pengujian Kayu Jeunjing (Albizia falcata Backer) terhadap Serangan Rayap Kayu Kering (Cryptotermes gynocephalus Light) Secara Laboratories. Laporan Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. No. 137. Wirakusumah, S. 1986. Keperluan Pemantauan dan Penelitian dalam Usaha Mencegah

Mengatasi Gangguan-gangguan terhadap Hutan Tanaman Industri. Prosiding Seminar Nasional “Ancaman terhadap Hutan Tanaman Industri”. Kerja Sama Fakultas MIPA dan Departemen Kehutanan, Jakarta. h 4750.

Yitnosumarto, S. 1991. Percobaan, Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 299 h.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penilaian tingkat kesehatan bank BNI dan BNI Syariah dilihat dari aspek RGEC (Risk profile, Good Corporate Governance,Earnings, dan Capital) selama tahun 2016-2018

Spora merupakan bentuk jamur arbuskula yang bertahan di dalam tanah kemudian masuk ke dalam perakaran melalui sel epidermis (lapisan sel terluar dari akar).. Spora

Dalam kaitannya dengan masalah ko- herensi wacana, Halliday dan Hasan (1993) menjelaskan bahwa sumbangan yang pent- ing bagi koherensi suatu teks berasal dari kohesi, (bandingkan

Suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan formulir pertanyaan yang sudah dengan pilihan jawaban tersedia kepada wajib pajak, untuk mendapatkan

Analisis sintaksis mendapati bahawa Komp’ sememangnya mempunyai fitur [uwh] yang kuat tetapi kekuatan berkenaan tidak menjadi penyebab kata tanya tersebut bergerak

Pengaruh dan penyebaran dialek dari negeri bersebelahan iaitu Kedah telah menghasilkan pembentukan variasi leksikal [dep  ] di Kuala Kangsar [dep  ] di Hulu Perak.. PETA

Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia (Badiklat ESDM) dan Universitas Laica

Dan yang terakhir narasumber ke tujuh Sella Amalia adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah