1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulisan ini akan membahas mengenai diskriminasi dalam pemberian formulir penerbangan orang sakit yang mengandung klausula baku bagi penyandang disabilitas. Isu hukum yang akan dibahas adalah apakah terdapat perlakuan diskriminasi dalam pemberian formulir orang sakit yang mengandung klasula baku terhadap penyandang disabilitas? Ditambah pula bahwa penyandang disabilitas dan orang sakit adalah hal yang berbeda, pada dasarnya pemenuhan hak penyandang disabilitas harus berdasarkan asas non-diskriminasi.
Pada dasarnya badan usaha angkutan penerbangan memiliki kewajiban untuk mengangkut penumpang hal ini terdapat dalam Pasal 140 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang berbunyi: "badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah
disepakatinya perjanjian pengangkutan1."
Disamping itu badan usaha angkutan udara juga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian angkutan yang disepakati. Perjanjian angkutan tersebut dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen muatan. Dalam penjelasannya kewajiban angkut badan usaha angkutan udara tersebut dimaksudkan agar badan usaha angkutan udara niaga tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa
1 Pasal 140 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara
2
angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan perjanjian
angkutan yang telah disepakati2.
Perjanjian yang digunakan dalam badan usaha angkutan udara niaga atau maskapai berbentuk perjanjian baku atau klausula baku. Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan. Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir3.
Janus Sidabalok mengungkapkan bahwa standar kontrak adalah ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian (term of conditions) sudah tertulis (tercetak)
lengkap, yang pada dasarnya tidak dapat diubah lagi4. Alasan timbulnya praktik
standar kontrak kiranya tidak ada alasan hukum (argumen yuridis) yang kuat untuk mendukungnya. Diperkirakan semata-mata untuk menghemat waktu dan
uang (alasan ekonomis) sehingga menghindari negosiasi yang berlarut-larut5.
Sedangkan Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangkan dalam
perjanjian yang sifatnya tertentu6. Sudaryono mengungkapkan karekteristik
klausula baku sebagai berikut:
Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen; konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian, dibuat dalam bentuk tertulis dan masal, konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor
kebutuhan7.
2
H. K. Martono dan Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cetakan kedua, 2011, h. 68.
3 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, h. 48. 4 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2014, h. 11.
5
Janus Sidabalok, Pengantar Hukum Ekonomi, Bina Media, Medan, 2000, h. 99.
6 Ibid.
7 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1978, h.
3
Ketentuan klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang lebih dominan (pelaku usaha), klausula tersebut tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Akibatnya, konsumen sebagai pihak yang tidak dominan
menerima bagitu saja tanpa bernegosiasi sedikitpun8.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah "setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen9." hal ini diatur dalam Pasal Pasal 1 angka (10) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Syahdeini pemberlakuan standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari, perjanjian baku/standar kontrak adalah suatu kenyataan yang memang lahir dari
kebutuhan masyarakat10.
Didalam dunia penerbangan perjanjian baku bukan hal yang asing untuk penumpang bahkan bagi penyandang disabilitas, namun biasanya penumpang tidak mengerti dengan baik isi dari perjanjian baku yang diberikan tersebut namun mereka tetap menyetujui dikarenakan faktor kebutuhan akan jasa penerbangan yang bersangkutan. Salah satu contoh kasus perjanjian baku yang mengandung unsur diskriminasi terhadap penyandang disabilitas adalah kasus dengan nomor
perkara 231/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst11 yaitu seorang bernama Ridwan Sumantri
yang merasa tidak mendapatkan haknya sebagai penyandang disabilitas saat
8 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010, h. 55. 9 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, Cetakan Pertama, 2013,
h. 67.
10 Remy Shaydeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, IBI, Jakarta, 1993, h. 69.
4
menggunakan maskapai Lion Air dalam transportasi. Saat berada di pesawat Ridwan Sumantri di berikan formulir pernyataan pengangkutan yang isinya persetujuan pihak yang menandatangani tentang penghilangan tanggung jawab Lion Air dari kemungkinan hal-hal yang terjadi pada diri pihak yang
menandatangani selama penerbangan berlangsung dan tertulis hanya
diperuntukkan bagi orang sakit.
Pada contoh kasus diatas penulis mengemukakan bahwa mengandung unsur diskriminasi dan melanggar hak penyandang disabilitas yang berkedudukan
sebagai penumpang maskapai penerbangan, dimana hak tersebut berupa12: hak
penyandang disabilitas yaitu hak untuk bebas dari stigma hal ini juga melanggar asas bagi penyandang disabilitas khususnya pada Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan
dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya13.
Adapun hak Penyandang Disabilitas dalam pelaksanaan dan pemenuhan yang berasaskan: penghormatan terhadap martabat; otonomi individu; tanpa diskriminasi; partisipasi penuh; keragaman manusia dan kemanusiaan; kesamaan kesempatan; kesetaraan; aksesibilitas; kapasitas yang terus berkembang dan
12 Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871).
13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
5
identitas anak; inklusif; dan perlakuan khusus dan pelindungan lebih14. Asas
dalam pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas haruslah diterapkan sebagaimana dikatakan dalam Undang-Undang.
Maskapai penerbangan yang dalam kasus ini berkedudukan sebagai pelaku usaha telah melanggar kewajiban yaitu terdapat di Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi mengenai kewajiban pelaku usaha yaitu: memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif15.
Pada kasus tersebut Ridwan Sumantri berkedudukan sebagai penyandang disabilitas. Pengertian penyandang disabilitas adalah: "setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak16. Sedangkan orang sakit adalah:
penumpang yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan fasilitas tambahan antara lain oxygen mask, kursi roda dan/atau stretcher, yang dalam hal ini dibatasi tidak berlaku untuk penumpang dengan penyakit
menular sesuai dengan ketentuan yang berlaku17.
Pada formulir pengangkutan dengan menyamakan kedudukan penyandang disabilitas dengan orang sakit didalam perjanjian baku tersebut dianggap telah
14
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871).
15
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
16 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871).
17 Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Pm 185
Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
6
melanggar asas non-diskriminasi karena penyandang disabilitas tidak berarti sakit seperti yang didefinisikan diatas. Adapun yang terjadi mengenai formulir pernyataan pengangkutan penumpang maskapai Trigana Air dan Citilink yang berisi mengenai untuk penumpang dengan kondisi sakit hal ini terbukti pada poin ke-5 dikatakan, "tandatangan penumpang yang sakit atau orang yang dikuasakan
menanda tangani surat ini untuk kepentingan si sakit." 18
Adapun tahapan yang dilakukan oleh maskapai Trigana Air dan Citilink terhadap Penyandang Disabilitas dalam hal ini tidak jauh berbeda dari orang sakit, yang membedakannya adalah penyandang disabilitas tidak perlu dikarantina oleh dokter yang di sediakan oleh Bandara. Namun penumpang disabilitas tetap harus mengisi surat pernyataan disamping sebelum melakukan perjalanan bersama
maskapai19.
Berbeda dengan maskapai Trigana dan Citilink, maskapai Garuda Indonesia tidak menyamakan kedudukan orang sakit dan penumpang penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dari prosedur yang digunakan dalam melayani penumpang penyandang disabilitas yang tidak perlu mengisi surat pernyataan seperti diatas. Prosedur yang diberikan untuk penumpang (Penyandang Disabilitas) yaitu pertama penumpang cek-in seperti penumpang pada umumnya kemudian penumpang memberitahukan keadaan penumpang kepada petugas maskapai Garuda, Petugas akan mengantarkan penumpang ke customer service yang berada di bandara.
Kemudian dari customer service, penumpang akan ditanya apakah ada pendamping atau tidak. Jika tidak ada maka petugas maskapai akan mendampingi
18 Lampiran.
19 Wawancara dengan Petugas Trigana Air dan Citilink di Customer Service, Bandara
7
penumpang selama penerbangan berlangsung. Ada atau tidaknya pendamping petugas akan melaporkan kepada Kapten yang melakukan penerbangan yang bersangkutan. Customer service hanya ada pada bandara kecil, jika bandara besar seperti Bandara Internasional Soekarno Hatta maka penumpang akan melapor di
Passenger Service Assistance (PSA)20.
Penelitian dengan topik serupa pernah ditulis oleh Imtiyaz Hanafiyah (20130610452) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul Kewajiban Maskapai Penerbangan Mengenai Klausula
Baku Pelayanan Terhadap Penumpang Penyandang Disabilitas Di Indonesia21.
Dalam penelitian Imtiyaz membahas pertama, bagaimanakah kesesuian klausula baku peraturan maskapai penerbangan terhadap penyandang disabilitas dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen? Dalam kesimpulannya adalah klausula baku berupa surat pernyataan dapat diberlakukan kepada penumpang sakit namun tidak sesuai apabila diberlakukan kepada penyandang disabilitas, serta maskapai diperbolehkan mencantumkan klausula baku karena tanggungjawab sebatas tanggungjawab pengangkutan, sehingga jika ada penumpang yang menderita sakit
karena sakit yang dideritanya, maskapai berhak menolak untuk
bertanggungjawab.
Kedua, apakah kedudukan hukum penumpang penyandang disabilitas atau orang sakit sama dalam pengangkutan udara di Indonesia? Dalam kesimpulannya berisi bahwa penumpang sakit dan penyandang disabilitas berbeda namun maskapai bisa membedakan pelayanan untuk keduanya. Ketiga bagaimanakah
20 Wawancara dengan Ibu Widya Petugas Garuda Indonesia di Customer Service,
Bandara Ahmad Yani Semarang, 5 Maret 2018.
21 Imtiyaz Hanafiyah,Kewajiban Maskapai Penerbangan Mengenai Klausula Baku Pelayanan Terhadap Penumpang Penyandang Disabilitas Di Indonesia, Skripsi, Universitas
8
prosedur pelayanan maskapai penerbangan mengenai klausula baku pelayanan terhadap penumpang penyandang disabilitas di Indonesia? Dalam kesimpulannya menyatakan bahwa Bandar udara Adisucipto Yogyakarta sudah menyediakan fasilitas khusus penyandang disabilitas namun masih kurang bisa diakses secara maksimal, bandar udara yang sudang bisa diakses secara maksimal oleh penyandang disabilitas adalah bandar udara Soerkarno-Hatta. Imtiyaz Hanafiyah menggunakan surat pernyataan dari maskapai Lion sebagai contoh dan menggunakan kasus Cucu Saidah dan Ridwan Sumatri (tidak bersumber dari putusan). Sedangkan didalam penelitian ini, penulis akan membahas mengenai apakah pemberian formulir untuk orang sakit terhadap penyandang disabilitas merupakan diskriminasi dan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas dibidang penerbangan. Serta penulis menggunakan contoh dari surat pernyataan dari maskapai Trigana dan Citilink dan wawancara lisan dari petugas maskapai Trigana, Citilink dan Garuda Indonesia dalam penelitian.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan ini adalah:
Apakah terdapat perlakuan diskriminasi dalam pemberian formulir orang sakit yang mengandung klasula baku terhadap penyandang disabilitas?
C. Tujuan Penelitian
9
1. Untuk menganalisis mengenai kedudukan penyandang disabilitas dan orang sakit dalam klausula baku di bidang jasa penerbangan.
2. Untuk memberikan pengetahuan mengenai penyamaan penyandang disabilitas dan orang sakit melalui pemberian formulir orang sakit terhadap penyandang disabilitas merupakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian dari penulis mengenai penulisan ini adalah: 1. Manfaat Praktis
Untuk membantu masyarakat dengan memberi ilmu mengenai perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas dibidang penerbangan. 2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperjelas kedudukan penyandang disabilitas tidak sama dengan orang sakit dalam klausula baku di dunia penerbangan di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Penulisan penelitian ini berupaya untuk mendapatkan hasil yang bersifat objektif dari sumber informasi serta data yang valid dan relevan yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Sebagai upaya untuk mendapatkan sumber informasi dan data yang valid maka penulis menggunakan
10
metode penelitian yang berfungsi sebagai sarana dan pedoman dalam perolehan data serta untuk mengoperasionalkan tujuan penelitian yang meliputi:
1.
Jenis Penelitian yang Digunakan
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode penelitian hukum Normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum
untuk menjawab isu hukum22 .
2.
Pendekatan yang Digunakan
Pendekaan yang digunakan dalam metode penulisan ini adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statuten Approach). Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Serta untuk mempelajari dan kesesuaian antara Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang Dasar atau antara regulasi dan
Undang-Undang23. Pendekatan yang kedua merupakan pendekatan kasus dimana
penelitian ini menggunakan putusan pengadilan di antaranya nomor 231/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst. Ketiga menggunakan pendekatan konseptual yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang pada ilmu hukum.24
22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006,
h. 35.
23 Ibid., h. 93. 24 Ibid., h. 95.
11
3.
Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Bahan hukum primer:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia c) Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
d) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
e) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
f) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Pm 185 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
g) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Standar Habilitasi dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas
2) Bahan hukum sekunder
Bahan dan data hukum sekunder diperoleh untuk mendukung bahan hukum primer. Bahan sekunder yang digunakan meliputi buku-buku dan putusan pengadilan nomor 231/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst yang berkaitan dengan unit penulisan dan sumber internet yang relevan sehingga layak dijadikan rujukan untuk penulisan penelitian ini.
12
4.
Unit Amatan
Unit amatan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
5.
Unit Analisa
Unit analisa dalam penulisan penelitian adalah apakah pemberian formulir untuk orang sakit terhadap penyandang disabilitas merupakan diskriminasi?