• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karimah Ihda Husnayain 1, Winda Trijayanthi Utama 2 Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Karimah Ihda Husnayain 1, Winda Trijayanthi Utama 2 Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tindak Kesusilaan pada Anak di Bawah Umur

Karimah Ihda Husnayain

1

, Winda Trijayanthi Utama

2

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

Nn. K (13 thn) datang ke Instalasi Forensik Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek (RSUDAM) Provinsi Lampung bersama orang tuanya dan polisi membawa surat permintaan visum dari kepolisian. Korban mengaku mengalami persetubuhan sebanyak tiga kali tanpa ancaman, paksaan, dan kekerasan oleh orang yang dikenal (pacar korban/Tn.D/19 thn). Pada pemeriksaan tidak ditemukan tanda–tanda kekerasan, uji kehamilan positif. Pemeriksaan selaput dara ditemukan robekan lama sampai dasar. Pemeriksaan usap vagina tidak ditemukan spermatozoa. Kejahatan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Faktor–faktor yang berpengaruh adalah faktor eksternal dan internal, baik dari individu tersebut atau dari lingkungan. Pada kasus ini pelaku dapat dikenakan sanksi berupa persetubuhan anak dibawah umur berdasarkan pasal 287, 288, 290, dan 293 Kitab Undang–undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan dalam Konvensi Hak–hak Anak (KHA), pelaku dapat dijerat pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Kata Kunci: persetubuhan, anak, kejahatan seksual, hukum

The Sexual Offences in Child Under Age

Abstract

Ms. K (13 years) came to the Forensic Installation in dr. H. Abdul Moeloek Hospital at Lampung Province with her parents and the police with visum application letter. The victim reported having sexual intercourse three times without threats, coercion, and violence by persons known (her boyfriend/Tn.D/19 yrs). On examination found no signs of violence and a positive pregnancy test. Hymen examination found an old rips up the base. Examination of vaginal swab was not found spermatozoa. Sexual offences on children is the involvement of children in all forms of sexual activity that occurred before the child reaches the age limit imposed by the law of the country concerned where an adult or another child who is older or who are considered to have more knowledge of the child to use it to sexual pleasure or sexual activity. Many factors that influence is the internal and external factors, either from individuals or from the environment. In this case the offender may be liable to a sexual intercourse of child under age by section 287, 288, 290, and 293 Kitab Undang–undang Hukum Pidana (KUHP). While Konvensi Hak–hak Anak (KHA), the offender can be charged under article 81 of law No. 23, 2002.

Keywords: sexual intercourse, child, sexual offences, law

Korespondensi: Karimah Ihda Husnayain, alamat Jalan Darul khoir II no 11 gg Bhayangkara Sumur Pecung, hp 08999646617, e-mail karimahihda@gmail.com

Pendahuluan

Kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia sudah sangat darurat dan mengancam dunia anak.1 Kejahatan ini dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda-beda.

Pada tahun 2010 National Violence against

Women Survey (NVAWS) melaporkan bahwa 1

dari 5 (18,3%) dari responden wanita dan 1 dari 71 (1,4%) dari responden pria pernah mengalami kekerasan seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang hidup mereka. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat laporan polisi.2 Di Indonesia, menurut Komisi Nasional

Perlindungan Anak (KPAI) pada periode

Januari–April 2014, terdapat 342 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Data Polri 2014, mencatat ada 697 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di separuh tahun 2014. Dari jumlah itu, sudah 726 orang yang ditangkap dengan jumlah korban mencapai 859 orang. Sedangkan data KPAI dari bulan Januari hingga April 2014, terdapat 622 laporan kasus kekerasan terhadap anak.1,3 Hal

yang lebih mengejutkan adalah bahwa lebih dari 3/4 dari jumlah kasus tersebut (70,11%) dilakukan oleh orang yang masih memiliki

hubungan dengan korban.3 Terdapat dugaan

kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban yang enggan melapor karena malu,

(2)

takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor kemana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan.1,2,3

Kejahatan seksual (sexual offences)

merupakan salah satu bentuk dari kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu didalam upaya pembuktian bahwa kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal–pasal di dalam KUHP serta Kitab

Undang–Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), yang memuat ancaman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan

seksual.4,5 Upaya pembuktian secara

kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda-tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak.4,6

Secara umum yang dimaksud dengan kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan di mana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Di Indonesia Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk

anak yang masih dalam kandungan.1,4,8

Sedangkan menurut KUHP seseorang dikatakan layak dikawin adalah apabila usianya sudah mencapai 15 tahun.8,9

Kasus

Korban Nn. K (13 thn) mengaku telah mengalami persetubuhan oleh orang yang

dikenal (pacar korban/Tn.D/19 thn). Korban datang ke Instalasi Forensik RSUDAM diantar oleh kedua orang tuanya, satu orang polisi wanita dan satu orang polisi pria dengan membawa surat permintaan visum dari kepolisian. Korban datang mengenakan baju kemeja lengan pendek berwarna putih. Celana jeans panjang berwarna biru tua. Rambut korban terurai. Korban tampak tenang dan kooperatif.

Kejadian bermula pada hari Senin tanggal 19 oktober 2015, korban berkenalan dengan pelaku di Taman Pemuda Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR) Way Halim. Korban dan pelaku kemudian menjalin hubungan pacaran dan sering bertemu setiap harinya di taman tersebut. Seminggu kemudian, tepat pada tanggal 26 oktober tahun 2015 korban diajak oleh pelaku ke rumah kos pelaku di Karangsari sekitar PKOR Way Halim. Korban kemudian berbincang dengan pelaku di rumah kos korban tersebut hingga sore hari. Sekitar pukul 16.00 WIB pelaku mengajak korban tidur-tiduran di samping pelaku. Kemudian pelaku membuka celana jeans korban beserta celana dalam korban hingga selututnya, kemudian pelaku memasukkan kemaluan pelaku ke kemaluan korban selama ±10 menit.

Korban mengatakan bahwa pelaku

mengeluarkan cairan ejakulasinya di dalam tubuh korban. Korban mengaku tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun seperti kondom. Korban mengaku baru pertama kali melakukan hal tersebut dan tidak dalam paksaan saat melakukannya dengan pelaku. Kemudian korban kembali pulang kerumah sore harinya.

Hubungan korban dan pelaku berlanjut seperti biasanya, hingga pada Februari 2016 pelaku kembali melakukan persetubuhan dengan korban. Di antara bulan Oktober– Februari korban mengaku tetap mengalami haid secara teratur. Korban mengaku tidak ingat tepatnya tanggal kejadian kedua tersebut. Pada hari itu, korban diajak berjalan-jalan di sekitar Gedung Sumpah Pemuda PKOR Way Halim sekitar pukul 15.00 WIB. Pelaku kembali mengajak korban untuk melakukan persetubuhan dan korban mengiyakan tanpa terpaksa. Kemudian pelaku membuka celana bagian luar dan dalam korban hingga selututnya. Dalam posisi berdiri, pelaku memasukkan kemaluan pelaku ke kemaluan korban selama ±10 menit. Korban mengatakan

(3)

bahwa pelaku mengeluarkan cairan ejakulasinya di dalam tubuh korban. Korban mengaku tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun seperti kondom. Kemudian pelaku dan korban kembali berjalan-jalan.

Persetubuhan ketiga terjadi pada tanggal 12 maret 2016, di Gedung Institut Teknologi Sumatera (ITERA) Way Hui. Korban mengaku diajak berkendara hingga ke daerah Way Hui sekitar pukul 14.00 WIB kemudian singgah di Gedung ITERA Way Hui. Korban dan pelaku kembali melakukan persetubuhan tanpa ada paksaan. Korban dan pelaku melakukan hal tersebut sama seperti sebelumnya, dalam posisi berdiri selama ±10 menit dan korban

mengaku pelaku mengeluarkan cairan

ejakulasinya didalam tubuh korban. Korban mengaku tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun seperti kondom. Kemudian korban dan pelaku pulang.

Pada bulan maret 2016, korban mengalami telat haid dan ibu korban memeriksakan korban ke balai pengobatan terdekat. Korban mengaku mendapat haid terakhir pada tanggal 11 Februari 2016 dan pada bulan maret korban belum mendapat haid. Hasil pemeriksaan dari balai pengobatan menyatakan bahwa korban telah hamil 3 minggu. Kemudian ibu dan ayah korban membawa korban ke Instalasi Forensik RSUDAM untuk melakukan visum.

Korban merupakan seorang anak yang sudah putus sekolah dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Sampai dilakukan pemeriksaan, korban bekerja sebagai penjual sosis goreng di PKOR. Ayah korban juga bekerja di tempat yang sama sebagai pemilik wahana kereta anak, sedangkan ibu korban bekerja di rumah membuka warung kecil. Pelaku, berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP), bekerja di tempat yang sama sebagai penjaja wahana istana balon untuk anak-anak. Pelaku dan ayah korban sudah saling mengenal sebelumnya. Menurut pengakuan korban, pelaku sudah siap bertanggung jawab bila korban hamil dan berjanji akan menikahi korban namun ayah korban tidak dapat menerimanya.

Di dalam ruang pemeriksaan korban

mengatakan bahwa dia melakukan

persetubuhan sebanyak tiga kali tanpa

ancaman, paksaan, dan kekerasan.

Persetubuhan terjadi pada tanggal 19 Oktober 2016, bulan Februari 2016, dan pada tanggal

12 Maret 2016 di 3 lokasi yang berbeda. Korban mengaku mendapat haid terakhir pada tanggal 11 Februari 2016. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda–tanda kekerasan. Pada pemeriksaan uji kehamilan, tanggal 19 Maret tahun 2016 hasil positif, dan dari perhitungan usia kehamilan berdasarkan haid terakhir didapatkan usia kehamilan ±3 minggu. Pemeriksaan selaput dara ditemukan robekan lama sampai dasar pada posisi jam 1, jam 6 dan jam 9. Tanda-tanda seks sekunder sedang berkembang. Pada Pemeriksaan usap vagina

tidak ditemukan spermatozoa. Korban

kemudian dibuatkan visum et repertum dan

diberikan kepada pihak kepolisian yang mengantar.

Pembahasan

Pada Kasus, korban datang ke Instalasi Forensik Klinik RSUDAM Provinsi Lampung dengan maksud untuk memeriksakan keadaan dirinya dan meminta keterangan tertulis dari dokter. Keterangan ini diinginkan oleh pasien untuk memiliki bukti tertulis mengenai keadaannya saat meminta surat keterangan tersebut. Pasien datang sudah membawa Surat Permintaan Visum dari pihak kepolisian. Hal tersebut dibenarkan oleh pasal 133 KUHAP dimana permintaan keterangan ahli dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.8,9

Pada pasal 133 KUHAP dituliskan bahwa (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia

berwenang mengajukan permintaan

keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

(4)

Dalam hal hasil pemeriksaan pada korban ini sudah memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pada pemeriksaan selaput dara sudah dilakukan dengan prosedur yang tepat dan selaput dara robek lama warna sama dengan sekitar pada arah jam satu, jam enam, jam Sembilan, dan sampai dasar. Liang kemaluan dapat dilalui satu jari tanpa sakit Pada pemeriksaan laboratorium uji kehamilan, hasil positif. Pada pemeriksaan laboratorium apusan lendir vagina, tidak ditemukan

spermatozoa.

Pemeriksaan laboratorium kehamilan pada korban ini sudah tepat untuk mengetahui ada tidaknya kehamilan dan pemantauan

selama masa kehamilan. Pemeriksaan

dilakukan dengan mendeteksi ada tidaknya

hormon human chorionic gonadotropin (hCG)

di dalam darah yang dapat menunjukkan ada

tidaknya kehamilan. Hormon hCG diproduksi

oleh plasenta selama masa kehamilan, dan dapat terdeteksi di dalam darah pada masa kehamilan paling awal, bahkan sebelum

periode menstruasi berhenti. Kadar hCG

plasma ibu akan memuncak sekitar 100.000 mIU/mL pada kehamilan sepuluh minggu dan kemudian lahan–lahan menurun hingga 10.000 mIU/mL pada trimester ketiga. Usia kehamilan korban hanya dapat diperkirakan berdasarkan perhitungan haid terakhir karena usia tersebut masih belum bisa diketahui secara pasti melalui pemeriksaan ultrasonography (USG).10

Hal-hal yang tersebut pada pemeriksaan sepeti

keadaan perkembangan payudara,

pertumbuhan rambut kemaluan dan riwayat menstruasi perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun dan kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah haid dianggap sebagai perempuan yang belum patut kawin.10

Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani. Pemeriksaan dipengaruhi oleh: besarnya zakar dengan ketegangannya, seberapa jauh zakar masuk, keadaan selaput dara serta posisi persetubuhan.4,5,6

Adanya robekan pada selaput dara

hanya menunjukkan adanya benda

padat/kenyal yang masuk (bukan merupakan tanda pasti persetubuhan). Jika zakar masuk seluruhnya serta keadaan selaput dara masih cukup baik, pada pemeriksaan diharapkan adanya robekan pada selaput dara. Jika elastis, tentu tidak akan ada robekan. Robekan selaput

dara akibat persetubuhan biasa ditemukan di bagian posterior kanan atau kiri dengan asumsi bahwa persetubuhan dilakukan dengan posisi saling berhadapan. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses penyembuhan dari selaput dara yang robek, yang pada umumnya penyembuhan tersebut akan dicapai dalam waktu 7–10 hari. Pada pasien robekan selaput dara sudah berwarna sama dengan sekitarnya yang menunjukkan luka lama.4,5,6

Robekan baru pada selaput dara dapat diketahui jika pada daerah robekan tersebut

masih terlihat darah atau tampak

hiperemis/kemerahan. Letak robekan selaput

dara pada persetubuhan umumnya di bagian belakang (comissura posterior), letak robekan dinyatakan sesuai menurut angka pada jam. Robekan lama diketahui jika robekan tersebut sampai ke dasar (insertio) dari selaput dara.

5,6,10

Tanda pasti adanya persetubuhan adalah adanya pancaran air mani (ejakulasi) di dalam

vagina. Komponen yang terdapat di dalam

cairan ejakulasi yang dapat diperiksa adalah enzim asam fosfatase, kholin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kholin dan spermin bila dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena keadan enzim asam fosfatase yang tedapat dalam vagina berasal dalam wanita itu sendiri, kadarnya jauh lebih

rendah bila dibandingkan asam fosfatase yang

berasal dari kelenjar prostat.4,6,9

Sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam vagina 4–5 jam setelah persetubuhan. Pada orang yang masih hidup, sperma masih dapat ditemukan (tidak bergerak) sampai sekitar 24–36 jam setelah persetubuhan, sedangkan pada orang mati sperma masih dapat ditemukan dalam vagina paling lama 7–8 hari setelah persetubuhan. Pada korban tidak ditemukan spermatozoa dalam apusan lendir vagina. Hal ini sesuai

(5)

dengan keterangan korban tentang kejadian persetubuhan yang terjadi lebih dari 3 hari yang lalu. 4,6,9

Selain tanda–tanda tersebut ada pula tanda secara tidak langsung dari persetubuhan yaitu kehamilan dan adanya penularan penyakit kelamin. Pada korban terdapat tanda kehamilan, namun dari bukti–bukti yang telah ditemukan belum bisa memastikan keterkaitan dengan pelaku. Untuk mengetahuinya perlu

dilakukan tes deoxyribose–nucleic acid

(DNA).4,6

Faktor penyebab terjadinya suatu tindak pidana kejahatan pemerkosaan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor Internal terdiri dari: (1) Faktor kejiwaan, yaitu keadaan apabila seseorang terlahir tidak normal mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan. (2) Faktor biologis, yaitu keadaan seseorang yang tidak mampu mengendalikan dorongan seks dalam dirinya. (3)Faktor moral, moral merupakan ajaran tingkah laku mengenai kebaikan-kebaikan dan merupakan hal vital dalam bertingkah laku. Nilai–nilai moral terutama diajarkan dalam pendidikan agama, adat-istiadat dan lain-lain.

Faktor Eksternal terdiri dari: (1) Faktor

sosial budaya, faktor sosial budaya

mempengaruhi turun nya moralitas sehingga terjadi kasus pemerkosaan. Hal ini dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan zaman, teknologi , dan ilmu pengetahuan tanpa diiringi dengan

pengawasan untuk bijak dalam

penggunaannya. (2) Faktor Ekonomi, keadaan perekonomian merupakan fakktor yang secara langsung maupun tidak langsung akan

mempengaruhi pokok-pokok kehidupan

masyarakat hal ini akan mempengaruhi pola kehidupan seseorang. (3) Faktor media massa, media massa memberikan dampak besar terhadap kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak, pemutaran video porno di situs online, dan gambar di majalah yang mengundang hasrat akan mempengaruhi pola pikir seseorang dan melakukan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur.

Faktor-faktor yang dapat mempengauhi tindakan asusila yang terjadi pada korban dapat berupa faktor internal dan eksternal.

Pada korban faktor eksternal lebih

memungkinkan sangat mempengaruhi, seperti faktor sosial budaya pada korban yang

terhitung bebas tanpa pengawasan

keluarganya, faktor ekonomi yang rendah sehingga mempengaruhi pendidikan korban yang kurang memadai dari keluarga serta sekolah, dan faktor media massa yang saat ini sangat tidak terbatas penggunaannya. Selain itu, faktor internal berupa faktor moral dan pendidikan juga dapat berpengaruh pada kasus ini. Baik korban maupun pelaku merupakan anak putus sekolah dengan pendidikan terakhir korban SD dan pendidikan terakhir pelaku SMP.

Kasus kekerasan asusila terhadap anak di bawah umur marak terjadi. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Mabes Polri, Kombes Agus Rianto melaporkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur terdapat di 31 Polda. Namun berdasarkan data yang diterima, belum seluruh Polda yang memberikan laporan. Dari laporan puluhan Polda ke pihak Humas Mabes Polri, setidaknya terdapat 493 kasus. Jumlah tersangka yang didata sebanyak 338 orang. Sedangkan korban dari kasus kekerasan terhadap anak di bawah umum sebanyak 450 orang.10

Dari total ratusan kasus itu, kasus

kekerasan terhadap anak di bawah umur yang diterima Polda Riau sebanyak 111 kasus, urutan kedua Polda Sumatera Barat sebanyak 107 kasus, Polda Sumatera Utara (Sumut) menempati urutan ketiga dengan 99 kasus. Sedangkan Polda Lampung menempati urutan keempat dengan jumlah laporan yang diterima 57 kasus.11 Data-data tersebut yang telah

dilaporkan dan tercatat dalam kepolisian. Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah kejadian sebenarnya di masyarakat. Hal tersebut bisa dilatarbelakangi oleh korban yang enggan melapor, mungkin karena malu, takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu kepada siapa harus melapor.1,2,3

Terdapat keterkaitan antara faktor yang diduga mempengaruhi kejadian asusila pada anak di bawah umur, yaitu faktor media massa. Teknologi informasi dan telekomunikasi semakin menjamur di Indonesia. Tuntutan global membuat masyarakat semakin gencar menggunakan dan mengakses media maya untuk mengetahui segala informasi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam lima tahun terakhir, jumlah pengguna internet di

(6)

Indonesia hingga tahun 2014 ini naik sebesar 430 persen. Secara kumulatif, hampir 100 persen dari pengguna internet menggunakan

search engine Google. Berdasarkan data

frekuentif dan tren dari Google Trends terlihat, bahwa penyebaran pengguna internet dengan

media search engine Google yang mengandung

konten porno menyebar merata sekitar 95%

wilayah di Indonesia.12 Menurut penuturan

Asisten Deputi Kelembagaan Komisi

Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, Haliq Siddiq, Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak yang mengakses situs porno.13

Definisi perkosaan menurut hukum, yaitu perkosaan berasal dari kata Latin

rapere”, yang berarti mencuri, merampas atau

membawa pergi. Perkosaan melibatkan pencurian hubungan seksual dari orang lain. Pada perkosaan, korban diperlakukan sebagai objek dan bukan sebagai individu, sehingga terjadi kehilangan harga diri dan kepercayaan diri, dan korban hidup dalam ketakutan akan mengalaminya kembali. Perkosaan menyajikan pada para dokter suatu problem yang unik dimana dokter tidak hanya dibebankan pada pemeriksaan dan pengobatan, tapi juga dokter dibebani dengan kewajiban untuk dapat

mengumpulkan barang bukti dengan benar. 4,5

Perkosaan adalah bahasa hukum yang merujuk pada persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan oleh pria terhadap wanita di luar perkawinan (pasal 285 KUHP). Delik hukum ini harus dibuktikan secara meyakinkan secara hukum, dan dalam proses pembuktian ini dibutuhkan peran dokter dalam

penentuan telah terjadinya suatu

persetubuhan atau tidak, adanya tanda

kekerasan, memperkirakan umur dan

menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin.3,4,5

Pada pasal 285 KUHP dikatakan Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seorang wanita

bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pada kasus, korban mengaku melakukan persetubuhan dengan sukarela dan tanpa paksaan dibuktikan dengan pada pemeriksaan tidak ditemukan tanda–tanda kekerasan. Walaupun demikian, pelaku tetap tidak bisa lepas dari jeratan hukum karena persetubuhan

yang terjadi pada kasus merupakan

persetubuhan yang ilegal. Di dalam KUHP Bab XIV memuat beberapa bentuk persetubuhan yang dapat dipidana, yaitu: (1) Hubungan persetubuhan oleh seseorang yang telah bersuami dan atau beristri (sesuai dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan). (2) Persetubuh dengan wanita dengan keadaan dibawah ancaman atau paksaan yang tercantum dalam Pasal 285 KUHP, ini yang sering kita sebut dengan perkosaan. (3) Pasal 286 KUHP menyebutkan larangan untuk bersetubuh dengan wanita yang diketahui dalam kondisi tidak berdaya atau dalam keadaan pingsan. (4) Bersetubuh dengan anak dibawah umur. Di dalam KUHP yang dimaksud dengan anak dibawah umur yaitu seorang wanita yang belum berusia 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin seperti yang tercantum dalam Pasal 287 KUHP.

Pasal 287 KUHP: (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.

Pasal 288 KUHP: (1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 290 KUHP: (1) Barang siapa yang melakukan perbuatan cabuldengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. (2) Barang siapa yang melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata itu belum masanya buat dikawin. (3) Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang yang

(7)

diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata itu belum masanya buat dikawin akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul dengan orang lain dengan tiada kawin

Pasal 293 KUHP: (1) Barangsiapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah satu memakai kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan, dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya masih di bawah umur, melakukan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan dari orang yang dilakukan kejahatan itu terhadapnya. (3) Jangka waktu dalam pasal 74 bagi pengaduan ini lamanya masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

Selain dalam KUHP, pelaku juga dapat dikenakan pasal berlapis tentang kekerasan seksual sesuai dengan perundang-undangan dalam KHA pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Simpulan

Dalam kasus ini pelaku dapat dikenakan sanksi berupa persetubuhan anak dibawah umur berdasarkan pasal 287, 288, 290 dan 293 KUHP. Sedangkan dalam KHA, pelaku dapat dijerat pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tindakan asusila yang terjadi pada korban faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor moral, dan pendidikan.

Daftar Pustaka

1. Davit S. Indonesia darurat kejahatan

seksual anak [internet]. Indonesia: Komisi Perlindungan Anak; 2014 [diakses tanggal

13 April 2016]. Tersedia dari:

http://www.kpai.go.id/berita/indonesia– darurat–kejahatan–seksual–anak/

2. Black MC, Basile KC, Breiding MJ, Smith SG, Walters ML, Merrick MT, et al. The national intimate partner and sexual violence survey 2010 summary report [internet]. Atlanta: National Center for Injury Prevention and Control Centers for Disease Control and Prevention; 2011 [diakses tanggal 13 April 2016]. Tersedia dari:

http://www.cdc.gov/violenceprevention/p df/nisvs_report2010–a.pdf

3. Komnas Perempuan. Kekerasan terhadap

perempuan: negara segera putus

impunitas pelaku. Jakarta: Komnas Perempuan; 2015

4. Soekry EK, Ahmad Y. Kejahatan seksual.

Dalam: Hoediyanto, Hariadi A, editor. Buku ajar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Edisi ke-7. Surabaya: FKUA; 2010. hlm. 271–290.

5. Idries AM, Tjiptomarnoto AL. Penerapan

ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan. Edisi Ke-3. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2013.

6. Narejo NB, Avais MA. Examining the role of forensic science for the investigative-solution of crimes. Sindh Univ. Res Jour (Sci. Ser). 2012; 44(2):251-4.

7. Undang-Undang Perlindungan Anak. UU

No. 23 Tahun 2002, Ln No. 109 Tahun 2002, Tln No. 3821. Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak; 2002

8. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Kitab

undang–undang hukum pidana. Jakarta: Sinar Harapan; 1985.

(8)

9. R. Soesilo. Kitab undang-undang hukum

pidana serta komentar-komentarnya

lengkap pasal demi pasal. Bogor: Politeia; 1994.

10. Abdul BS, Trijatmo R, Gulardi HW. Fisiologi kehamilan, persalinan nifas dan bayi baru lahir. Dalam: Abdul BS, editor. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2012. hlm. 115-375

11. Hukum Online. Laporan kasus kekerasan

asusila anak merata di semua polda [internet]. Jakarta: Hukum Online; 2014 [diakses tanggal 10 Mei 2016]. Tersedia dari:

http://www.hukumonline.com/berita/bac

a/lt536cc5704f2fc/laporan-kasus- kekerasan-asusila-anak-merata-di-semua-polda

12. Nursiyono JA . Konten porno menyebar

hampir 95% wilayah indonesia [internet]. Jakarta: kompasiana; 2014 [diperbarui 20 Juni 2015; diakses tanggal 10 mei 2016].

Tersedia dari:

http://www.kompasiana.com/jokoade/ko nten-porno-menyebar-hampir-95-wilayah-indonesia_54f708eea33311322e8b45e7

13. Rohman AA. Indonesia peringkat tiga

pengakses situs porno [internet].

Sukabumi: ANTARA News; 2015 [diakses tanggal 10 Mei 2016]. Tersedia dari: http://www.antaranews.com/berita/4903 83/indonesia-peringkat-tiga-pengakses-situs-porno

Referensi

Dokumen terkait

Lebar jalan angkut pada tambang pada umumnya dibuat untuk pemakaian jalur ganda dengan lalu lintas satu arah atau dua arah. Dalam kenyataanya, semakin lebar

Menurut Husain al-Dhahabi, yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmi adalah: corak penafsiran yang menggunakan nomenklantur-nomenklantur ilmiah dalam menafsirkan al- Quran,

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai “Apakah terdapat perbandingan antara model

berkembang di Prancis yaitu berasal dari minyak kanola, minyak biji matahari, dan minyak zaitun, namun tidak menutup kemungkinan mayonnaise dibuat dari minyak

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini akan menganalisis tentang akuntabilitas, independensi dan kompetnesi auditor terhadap

Pelaksanaan perawatan kesehatan masyarakat di jaringan Puskesmas alongPanggang di sesuaikan dengan sarana prasarana dan tenaga yang tersedia .Perawatan kesehatan

After do some a series of activities conducted by researchers, such as research planning, do the research, and analyze the results of the research, it can