• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bidang pertanian, subak merupakan suatu organisasi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bidang pertanian, subak merupakan suatu organisasi yang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Subak

2.1.1 Pengertian dan tujuan subak

Dalam bidang pertanian, subak merupakan suatu organisasi yang melaksanakan pengairan tradisional serta menjadi bagian dari budaya yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat di Bali. Menurut Perda Provinsi Bali No. 9 tahun 2012, subak merupakan organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat Bali yang bersifat sosioagraris, religius, dan ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Menurut Sutawan, dkk (1986) dalam Windia, (2006), subak merupakan cerminan dari konsep Tri Hita Karana (THK) yang pada hakikatnya terdiri dari

parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan, yang dimanifestasikan melalui bangunan suci subak dan ritual yang mengikutinya di lahan persawahan), pawongan

(hubungan manusia dengan manusia, yang dimanifestasikan dalam kelembagaan subak dan interaksi sosial yang terjadi di subak) dan palemahan (hubungan manusia dengan alam, yang dimanifestasikan dalam wilayah atau lahan pertanian yang menjadi wilayah usahatani anggotanya). Lebih lanjut, Windia (2006) menyatakan bahwa sistem irigasi subak dapat dipandang sebagai sistem budaya masyarakat yang pada dasarnya memiliki tiga subsistem, yaitu: (i) subsistem budaya (termasuk pola

(2)

pikir, norma dan nilai), (ii) subsistem sosial (termasuk ekonomi), dan (iii) subsistem kebendaan (termasuk teknologi).

Menurut Pitana (1993), subak merupakan organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber bersama, memiliki satu atau lebih Pura Bedugul, serta memiliki kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak luar. Definisi ini mengandung aspek fisik dan sosial. Aspek fisik subak adalah hamparan persawahan dengan segenap fasilitas irigasinya, sedangkan aspek sosial subak adalah organisasi petani irigasi yang otonom.

Menurut Perda Provinsi Bali No. 9 tahun 2012, tujuan pokok dari subak sebagai berikut.

1. memelihara dan melestarikan organisasi subak 2. mensejahterakan kehidupan petani

3. mengatur pengairan dan tata tanaman 4. melindungi dan mengayomi petani

5. memelihara serta memperbaiki saluran air ke sawah.

2.1.2 Tugas dan fungsi subak

Menurut Coward, 1983 dan Sutawan, 1986 (dalam Pitana, 1993), terdapat lima tugas utama dari subak sebagai berikut.

(3)

1. Pencarian dan distribusi air irigasi

Subak membangun berbagai fasilitas irigasi seperti empelan, aungan, saluran, dan sebagainya. Air yang telah didapatkan oleh subak tersebut pada akhirnya harus di distribusikan kepada segenap anggota. Ada dua hal terpenting yang harus diperhatikan dalam distribusi air irigasi pada suatu subak sebagai berikut. a. Dasar yang digunakan untuk menentukan hak atas air setiap anggota.

Untuk menentukan hak atas air bagi anggota, subak memiliki dua hak dasar yaitu hak dasar luas sawah dan hak atas dasar tektek. Jika hak atas air didasarkan pada luas sawah, maka volume air yang diterima oleh seorang petani yaitu proporsional dengan luas sawah petani lainnya. Sedangkan pada sistem tektek, debit air yang ditentukan oleh kontribusi petani dalam kegiatan-kegiatan subak, tanpa terlalu memperhatikan luas sawah.

b. Sistem distribusi air antar waktu.

Pada umumnya ada dua metode yang dikenal oleh subak alokasi air yaitu metode pengaliran kontinyu yaitu seluruh petani mendapatkan air secara serempak, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, serta metode bergilir yaitu seluruh petani mendapatkan air secara tidak serempak, tetapi mendapatkan air pada waktu tertentu saja.

2. Operasi dan pemeliharaan fasilitas

Suatu subak harus mengoperasikan fasilitas irigasi yang dimiliki untuk menjamin adanya pembagian air sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Kegiatan

(4)

pengoperasian yang sering terjadi adalah pengoperasian pintu-pintu air pada bangunan bagi yaitu seperti membuka, menutup dan mengatur. Selain itu, subak juga melakukan pemeliharaan secara berkala atas berbagai fasilitas irigasi yang dimiliki, sehingga dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. Dengan adanya pemeliharaan tersebut, maka subak mengerahkan sumberdaya dari anggotanya, seperti tenaga kerja, bahan-bahan ataupun uang.

3. Penanganan konflik

Pada umumnya, konflik yang sering terjadi pada subak bersumber pada masalah pembagian air irigasi. Walau demikian, berbagai konflik yang sering terjadi pada subak dapat diatasi secara musyawarah mufakat atau kekeluargaan yang terdapat pekaseh didalamnya sebagai penengah.

4. Kegiatan upacara keagamaan

Hal yang menarik pada subak selain keindahan alamnya, kegiatan upacara keagamaan juga ada di dalamnya. Berbagai jenis kegiatan upacara keagamaan yang ada di subak yaitu pada tingkat petani individual, tingkat tempek, tingkat subak, tingkat subak-gede, sampai ke tingkat pasedahan agung.

Sudarta dan Dharma (2013) mengklasifikasikan fungsi subak menjadi fungsi internal dan eksternal sebagai berikut.

1. Fungsi internal

Fungsi internal merupakan fungsi yang berorientasi pada keperluan subak itu sendiri. Terdapat enam fungsi internal pokok subak sebagai berikut.

(5)

a. Pelaksanaan kegiatan ritual b. Pendistribusian air irigasi

c. Pemeliharaan jaringan irigasi dan bangunan fisik lainnya. d. Penanganan konflik

2. Fungsi eksternal

Fungsi eksternal subak adalah fungsi subak yang bermanfaat bagi keperluan masyarakat luas, di samping juga untuk keperluan subak dan anggotanya. Berikut ini diuraikan beberapa fungsi eksternal subak.

a. Penyangga atau pendukung ketahanan pangan b. Pelestarian alam lingkungan

c. Pelestari kebudayaan Bali dan agraris d. Penyangga nilai-nilai tradisional e. Pendukung pembangunan agrowisata

f. Penunjang pembangunan koperasi unit desa (KUD) 2.1.3 Peraturan subak (Awig-awig dan pararem subak)

Subak merupakan suatu lembaga yang otonom dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur para anggotanya dalam melakukan kegiatan-kegiatan organisasi yang menjadi pedoman bagi seluruh anggota subak termasuk pengurus agar tidak adanya suatu penyimpangan. Aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi subak disebut dengan awig-awig maupun pararem. Awig-awig merupakan anggaran dasar dalam suatu organisasi, sedangkan pararem merupakan anggaran rumah tangga dalam suatu

(6)

organisasi. Substansi pada awig-awig menyangkut mengenai hal-hal yang pokok saja, sebaliknya substansi pada pararem menyangkut mengenai hal-hal yang lebih rinci. Jika pernyataan di awig-awig sudah jelas, maka di pararem akan dikatakan cukup jelas, serta jika di awig-awig ada yang tidak jelas, maka akan dibahas di pararem. Awig-awig dan pararem digunakan sebagai pedoman bertingkah laku oleh anggota subak, sehingga awig-awig dan pararem dipatuhi.

Peran awig-awig dan pararem sangat penting bagi kelestarian dan keberlanjutan subak baik secara sekala (nyata dan kasat mata) maupun niskala (tidak kasat mata). Secara sekala, awig-awig dan pararem mengatur perilaku krama (anggota) subak menyangkut tata cara berinteraksi sosial dengan sesama anggotanya. Hal-hal yang diatur biasanya menyangkut hak dan kewajiban anggota dan pengurus subak, larangan dan sanksi yang dikenakan jika terjadi pelanggaran, penanganan konflik antar anggota, pengaturan pola tanam, pengaturan pembagian air irigasi, dan pengerahan tenaga dan sumberdaya lainnya bagi kepentingan subak. Secara niskala, awig-awig dan pararem mengatur tatacara upacara agama yang berkaitan dengan siklus hidup tanaman padi di sawah dan di Pura subak baik menyangkut penentuan hari baik, tata urutan upacara, dan larangan-larangan perilaku yang melanggar. Peran awig-awig dan pararem sangat penting dalam mengendalikan perilaku sosial anggota subak, mengatur keharmonisan, ketentraman dan ketertiban dalam lingkungan subak.

(7)

2.2 Tri Hita Karana (THK)

2.2.1 Pengertian Tri Hita Karana

Pada dasarnya, konsep Tri Hita Karana (THK) merupakan sebuah landasan yang bersumber dari agama Hindu. Namun sejatinya konsep ini adalah konsep universal yang eksis dalam kehidupan setiap umat beragama di dunia. Disebut eksis karena THK pada intinya mengedepankan harmoni dan prinsip-prinsip kebersamaan dalam kehidupan umat manusia (Windia dan Dewi, 2006 dalam Lestari, 2014).

Secara terminalogis Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri atas kata Tri+Hita+Karana yang berarti tiga hal yang menyebabkan terjadinya kesejahteraan atau kebahagiaan. Namun secara leksikal Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga hubungan harmonis, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan) dan manusia dengan alam (palemahan). Hal inilah yang harus dan wajib dilakukan oleh manusia, karena manusialah yang paling utama mendapatkan manfaat jika THK itu teraplikasi dengan baik. Oleh sebab itu, berhasil atau gagalnya penerapan ajaran THK tergantung pada manusia (Windia, 2005 dalam Dewi, 2014).

2.2.2 Implementasi Tri Hita Karana dalam subak

THK merupakan suatu model pengetahuan yang mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dan adaptif dengan lingkungannya dalam berbagai dimensi ruang dan waktu. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bersifat universal demi kesejahteraan hidup manusia dan jagat raya.

(8)

THK ini juga merupakan landasan falsafah yang menjadi dasar kehidupan subak di Bali. Adapun implementasi THK dalam subak sebagai berikut.

2.2.2.1Aspek parhyangan

Aspek parhyangan merupakan hubungan harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam subak, aspek parhyangan dapat ditelusuri dari fungsi subak sebagai berikut.

1. Pelaksanaan kegiatan ritual.

Berbagai kegiatan ritual yang dilakukan secara kronologis oleh subak dalam satu siklus tanam padi merupakan kegiatan khas subak. Kegiatan ritual tersebut tidak ditemukan pada semua sistem irigasi yang ada di dunia. Tidak ada satu subak tanpa Pura dan kegiatan ritual. Kegiatan ritual dalam subak berfungsi sebagai penguat organisasi subak, sedangkan Pura dianggap sebagai pengawas atau kontrol sosial secara niskala (alam gaib) (Sudarta dan Dharma, 2013).

2. Pelestari kebudayaan Bali dan agraris

Kebudayaan Bali berasal dari kebudayaan agraris, dimana subak merupakan wahana tumbuh dan berkembangnya kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu, melestarikan subak berarti sekaligus melestarikan kebudayaan agraris dan kebudayaan Bali itu sendiri dan subak memegang peranan penting dalam hal ini sebagai penjaga dan pelestarinya.

(9)

3. Penyangga nilai-nilai tradisional

THK sebagai landasan dan falsafah utama subak sangat mempengaruhi perilaku subak dan anggotanya dalam berkreativitas dan beraktivitas dalam pembangunan pertanian di lahan sawah. THK mengandung nilai-nilai tradisional yang sejalan dengan perkembangan ataupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Nilai-nilai tradisional tersebut diantaranya kepercayaan dengan beragam ritual yang bersumber dari Agama Hindu, nilai kerjasama (gotong-royong dan tolong menolong), nilai musyawarah mufakat berasaskan kekeluargaan, nilai dalam awig-awig dan pararem, nilai keadilan, nilai tentang hari baik (dewase) (Sudarta dan Dharma, 2013).

2.2.2.2 Aspek pawongan

Pawongan merupakan sebuah konsep yang menginginkan adanya keharmonisan antara manusia dengan sesamanya. Dalam kegiatan subak, haruslah disadari bahwa anggota subak pada hakekatnya merupakan sosok manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak berbeda dengan sesama manusia lainnya. Secara internal, harus menjaga harmoni dalam berorganisasi maupun bekerja. Harmoni juga harus dilakukan dengan sesamanya secara eksternal, agar tidak terjadi konflik dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Konflik akan menyebabkan kegiatan subak tidak berlanjut (Windia dan Dewi, 2011).

Implementasi prinsip-prinsip pawongan dalam subak sebagai berikut. 1. Pendistribusian air irigasi secara adil kepada semua anggota

(10)

Prinsipnya, pembagian air irigasi dilakukan secara adil kepada semua anggotanya dengan sistem tektek. Jika kondisi air irigasi tidak mencukupi maka diterapkan pembagian air secara bergilir, pinjam meminjam air irigasi dan pelampias yakni tambahan air irigasi untuk sawah petani yang berada di hilir atau jauh dari sumber air irigasi dan saluran air irigasi (Sudarta dan Dharma, 2013).

2. Penanganan konflik

THK dalam subak selalu mengajarkan harmoni dan kerjasama antar anggota subak tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik dan pertikaian baik diantara anggota, anggota subak dengan tempek/subak, antar tempek, atau tempek dengan subak induknya bahkan subak dengan pihak luar subak. Konflik umumnya dipicu melalui keterbatasan air irigasi, terjadinya alih fungsi lahan sehingga aliran air terganggu ke subak, pencurian air, hewan peliharaan yang merusak tanaman atau merusak lahan persawahan, dan pelanggaran terhadap jadwal pola tanam. Umumnya konflik yang terjadi diusahakan terselesaikan secara kekeluargaan, baik antar pihak yang berkonflik maupun oleh pekaseh sebagai mediator. Jarang sekali ada konflik internal subak yang dimohonkan penyelesaiannya kepada pihak luar (Sudarta dan Dharma, 2013).

2.2.2.3Aspek palemahan

Pada aspek palemahan mencakup prinsip-prinsip keharmonisan dalam hubungannya dengan lingkungan alam semesta di subak. Hal tersebut dapat di implementasikan dalam beragam manifestasi sebagai berikut.

(11)

1. Pemeliharaan jaringan irigasi dan bangunan fisik lainnya

Pemeliharaan jaringan irigasi seperti terowongan, saluran irigasi dan bangunan bagi umumnya dilakukan oleh subak secara rutin pada setiap menjelang musim tanam berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar aliran air irigasi berjalan lancar menuju lahan persawahan petani. Kegiatan ini dilakukan secara gotong royong, setelah upacara mendak toya (menjemput air) di Pura Empelan (Pura Bendung). Pemeliharaan bangunan fisik lainnya seperti Pura, balai subak dan balai timbang umumnya dipelihara secara insidental atau kalau dipandang perlu dapat dilakukan secara gotong royong atau diupahkan dengan biaya yang ditanggung secara bersama.

2. Penyangga dan pendukung ketahanan pangan

Subak berfungsi sebagai pendukung ketahanan pangan, baik di tingkat keluarga atau rumah tangga serta daerah. Ketahanan pangan akan terancam apabila tidak ada subak dan sebaliknya apabila subak tetap lestari maka akan menjadi pendukung ketahanan pangan.

3. Pelestari lingkungan alam

Secara fisik, subak merupakan areal sawah beririgasi yang berfungsi sebagai pengendali banjir, erosi, kebersihan udara melalui penyerapan zat-zat beracun oleh tanaman dan pengendali siklus nitrogen yang diserap oleh tanaman padi. Sawah di wilayah subak juga sebagai habitat beragam jenis flora dan fauna sehingga subak juga berfungsi sebagai pemelihara keanekaragaman hayati.

(12)

4. Penunjang pembangunan pertanian dan pedesaan

Subak mempunyai fungsi penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan seperti pelaksana kegiatan intensifikasi pertanian, bimas dan insus merupakan program-program pemerintah yang dapat terlaksana melalui subak. Pembangunan pertanian yang dijalankan oleh subak tersebut sekaligus merupakan bagian integral dari pembangunan pedesaan secara lebih luas dimana sebagian besar masyarakat pedesaan di Bali adalah masyarakat petani.

2.3 Pelestarian atau Keberlanjutan Subak 2.3.1 Konsep pelestarian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (http://kbbi.web.id/lestari), kata “pelestarian” berarti “(1) proses, cara, perbuatan melestarikan; (2) perlindungan dari kemusnahan, kerusakan, atau usaha konservasi; (3) pengelolaan sumber daya yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana, menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai maupun keanekaragamannya.”

Pengertian pelestarian menurut Dinas Kebudayaan Tahun 2014 merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara keberadaan lembaga subak serta nilai-nilai etika, sosial dan adat istiadat yang melekat didalamnya untuk tetap dapat dipertahankan sebagai aset budaya khas masyarakat Bali yang bercirikan agraris. Hal-hal yang sampai sekarang masih melekat sebagai tugas, kewajiban dan tanggung jawab dalam mengatur kepentingan rumah tangganya sendiri meliputi:

(13)

a. Menetapkan secara bersama-sama etika, norma dan aturan hukum organisasi yang dituangkan dalam awig-awig dan pararem subak.

b. Melaksanakan aktifitas-aktifitas sesuai dengan awig-awig dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Mengatur rumah tangganya sendiri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anggota (krama) sejalan dengan perkembangan pembangunan terutama disektor pertanian.

d. Menyelesaikan secara bijaksana masalah-masalah yang terjadi diantara anggota (krama) dengan tetap berpedoman pada awig-awig dan pararem. Berdasarkan pengertian di atas, maka pelestarian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses, cara, upaya yang dilakukan oleh Subak Padanggalak dalam menjamin terhindarnya Subak Padanggalak dari kemusnahan dan kerusakan yang mengancam eksistensi subak, dalam kerangka pemanfaatan sumber daya secara bijaksana yang menjamin kesinambungan, kualitas, dan ketersediaannya baik untuk saat sekarang maupun bagi masa depan. Pelestarian dalam penelitian ini bukanlah bersifat statis yang berarti segalanya bersifat tetap dan tidak berubah tetapi pengertian pelestarian bersifat dinamis, artinya dimana memungkinkan terjadinya perubahan tetapi masih dalam kendali keberlanjutan.

Subak sebagai suatu sistem irigasi yang dikelola petani secara swadaya untuk tanaman semusim khususnya padi serta memiliki beberapa elemen yang saling terkait, yaitu organisasi petani pengelola air irigasi, jaringan irigasi dan prasarana

(14)

irigasi, ekosistem lahan sawah beririgasi, produksi pangan, dan ritual keagamaan terkait dengan budidaya padi. Guna mewujudkan kelestarian subak maka semua elemen tersebut harus dapat dijaga kelestariannya (Sutawan, 2005).

Windia (2008) mengutip laporan Komisi Brundtland menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keberlanjutan atau lestari yaitu suatu kegiatan atau usaha untuk menjamin kebutuhan sekarang dengan mempertimbangkan generasi penerus dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhannya. Dikaitkan dengan subak maka kelestarian atau keberlanjutan subak mencakup upaya yang dilakukan sehingga menjamin keberadaan subak mampu menjalankan multi perannya baik secara ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan baik bagi generasi sekarang maupun generasi selanjutnya.

Sutawan (2005) menyimpulkan bahwa kelestarian subak haruslah dipahami sebagai kelestarian kelima komponen subak dan sumberdaya air di hulu sebagai lingkungan alami lokal bagian yang merupakan faktor eksternal dari sistem subak. Kelima komponen tersebut yaitu: (1) kelestarian jaringan irigasi (technical sustainability), (2) kelestarian produksi pangan dan kegiatan ekonomi (economic sustainability), (3) kelestarian ekosistem lahan sawah (ecological sustainability), (4) kelestarian nilai-nilai sosial budaya atau kegiatan ritual keagamaan (socio-cultural sustainability) dan (5) kelestarian sumberdaya bagian hulu (environmental sustainability) dapat dijaga. Jika kelima komponen tersebut diperhatikan, tergolong dalam implementasi dari falsafah THK dimana terdapat unsur parhyangan

(15)

(komponen 4), unsur pawongan (komponen 2 dan 4), dan unsur palemahan (komponen 1, 3, dan 5). Lestari yang dimaksud bukanlah subak tidak mengalami dinamika atau statis tidak mengalami perubahan tetapi perubahan yang terjadi haruslah dalam batas-batas falsafah THK sebagai dasar pembentukan dan aktifitas subak.

2.3.2 Upaya pelestarian subak

Dalam konteks Indonesia dewasa ini banyak terdapat masalah terkait dengan pelestarian subak. Berbagai jenis kegiatan di Bali pada umumnya selalu disertai dengan ritual keagamaan. Subak memiliki nilai-nilai luhur yang bersifat universal yang disebut dengan Tri Hita Karana (THK). Windia (2002) dalam disertasinya berjudul: Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana, menyimpulkan bahwa sistem irigasi subak dapat ditransfer ke daerah-daerah lain di luar Bali. Windia menyarankan agar dalam mengantisipasi kemungkinan timbulnya konflik penggunaan air yang semakin multiguna di masa mendatang, baik antar sektor maupun antar wilayah. Konsep sistem subak yang berlandaskan THK mengedepankan harmoni dan kebersamaan dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul kiranya dapat diadopsi. Hal ini berfungsi untuk mengantisipasi konflik sosial yang bersumber pada masalah air dan sejauh mungkin dapat diakomodasikan. Sementara itu, banyak kalangan menghendaki agar subak tetap dipertahankan eksistensinya karena subak merupakan warisan budaya bangsa dan diyakini menjadi tulang punggung kebudayaan Bali. Dikhawatirkan jika subak sampai hilang karena

(16)

tanah sawah telah beralih fungsi, maka kemungkinan besar kebudayaan Bali akan terdegradasi.

Subak perlu dilestarikan bahkan diperkuat kelembagaannya demi menghadapi dinamika perubahan zaman. Subak perlu dilestarikan karena alasan berikut.

1. Subak memiliki kearifan lokal yang kiranya dapat mendorong keberlanjutan sumber daya air.

Beberapa tradisi dan kearifan lokal yang dimiliki subak seperti telah dipaparkan di atas, kiranya masih relevan untuk dipertahankan. Unsur-unsur tradisional yang perlu dipertahankan agar lebih diperkokoh, sedangkan unsur-unsur yang dianggap tidak sesuai dengan tuntutan masa kini maupun masa mendatang perlu dicarikan solusinya.

2. Subak mempunyai peran dan fungsi dengan eksternalitas positif meskipun amat sulit diukur dalam nilai uang.

Subak memiliki berbagai peran dan fungsi, baik yang berkaitan langsung dengan manajemen air irigasi maupun peran-peran lain di luar manajemen irigasi (Sutawan, 2002: 79).

3. Subak sebagai pendukung ketahanan pangan.

Bahan pokok makanan kita adalah beras. Tanpa nasi rasanya kita belum makan. Dalam kaitan ini subak sebagai penghasil padi sangat penting untuk tetap dilestarikan agar mampu menghasilkan padi dengan baik. Bagaimana seandainya subak hilang akibat sawahnya telah difungsikan untuk tujuan lain selain produksi

(17)

pangan khususnya padi? Ketahanan pangan baik di tingkat keluarga maupun di tingkat daerah pasti akan terancam. Oleh sebab itu, subak harus dipertahankan eksistensinya.

Menurut Sutawan (2005) langkah-langkah strategis dalam upaya pelestarian dan pemberdayaan subak, sebagai berikut.

1. Membatasi alih fungsi lahan

Hal ini berkaitan dengan status Bali yaitu sebagai destinasi pariwisata yang memerlukan lahan bagi pengembangan industri pariwisata yang mau tidak mau beberapa diantaranya memanfaatkan lahan pertanian produktif. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah alih fungsi lahan, yaitu:

a. Perencanaan tata ruang dan penggunaan tanah yang cermat dengan mempertimbangkan ketersediaan air,

b. Pembuatan perangkat hukum atau peraturan yang melarang penggunaan sawah untuk usaha non pertanian pada tempat-tempat yang sudah jelas ditetapkan sebagai tempat konservasi sawah dengan penegakan hukum yang ketat,

c. Bebas pajak bagi petani anggota subak dan insentif lainnya untuk mendorong para petani tidak mengalihfungsikan sawahnya.

2. Mengurangi kesenjangan ekonomi antara daerah pedesaan dan perkotaan atau lebih khusus lagi antara petani dan non petani.

(18)

a. Kebijakan pemerintah di bidang pertanian seperti kebijakan harga gabah dan kebijakan perdagangan komoditi pertanian berpihak kepada petani yang menjamin peningkatan kesejahteraan keluarga petani.

b. Pembangunan industri pedesaan yang berbasis pertanian guna meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan penduduk desa.

c. Perbaikan dan peningkatan prasarana di pedesaan seperti transportasi, komunikasi, pelayanan kesehatan, pendidikan, air minum, perkreditan desa, dan lain-lain. Hal-hal ini akan mengurangi adanya migrasi ke kota agar para masyarakat betah tinggal di desa sebagai petani ataupun pekerjaan lain yang tersedia di desa.

3. Memperkuat atau memberdayakan kelembagaan subak, melalui pendekatan-pendekatan berikut:

a. Peningkatan penyediaan pelayanan pendukung (support services) seperti kredit usaha tani yang mudah di akses petani tanpa prosedur berbelit-belit, informasi pasar, dan penyuluhan pertanian.

b. Pelatihan atau pendidikan khususnya bagi para pimpinan subak dalam berbagai bidang seperti operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, kepemimpinan, kewiraswastaan, pembukuan keuangan, serta perkoperasian. c. Memfasilitasi pengembangan subak menjadi lembaga irigasi berorientasi

(19)

finansialnya tanpa mengabaikan tugas-tugas pokoknya sebagai pengelola air irigasi yang bercorak sosio-religius.

d. Memfasilitasi kemitraan subak dengan desa adat atau desa pakraman, koperasi, asosiasi perhotelan, asosiasi restoran, dan lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun swasta sesuai kebutuhan.

e. Bantuan pemerintah diberikan kepada subak yang benar-benar membutuhkan perbaikan jaringan irigasi yang rusak karena tidak dapat ditangani sendiri berdasarkan pendekatan partisipatoris.

f. Pengakuan subak sebagai badan hukum agar dapat melakukan transaksi ekonomi dan mencari kredit di bank, melalui peraturan daerah (PERDA) tanpa harus melalui prosedur yang kini masih dianggap memberatkan petani karena harus diproses melalui Pengadilan Negeri setempat.

4. Mengurangi atau mencegah konflik pemanfaatan air dengan upaya:

a. Menciptakan perangkat hukum yang mengatur hak atas air secara jelas untuk berbagai pengguna,

b. Menggalang atau memfasilitasi pembentukan wadah koordinasi antar subak dalam suatu bendung (subak gede) maupun antar subak sepanjang aliran sungai (subak agung),

c. Mengembangkan forum dialog antar semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) khususnya bagi pengguna air dari berbagai sektor untuk

(20)

menumbuhkan rasa saling pengertian dalam menggunakan air sebagai public goods untuk kepentingan bersama bagi semua pihak secara lebih adil,

d. Mengembangkan teknologi yang memungkinkan penggunaan air secara lebih efisien baik di sektor irigasi, rumah tangga, maupun industri.

5. Melindungi sumber air irigasi serta memelihara keanekaragaman hayati dari degradasi dengan cara:

a. Memberi hukuman yang berat bagi pencemar air dan pencuri kayu di hutan lindung,

b. Tidak memberikan izin melakukan proyek-proyek investasi karena dapat mencemarkan lingkungan,

c. Menerapkan kebijakan “polluters pay principle”,

d. Mendorong pengembangan kehutanan berbasis masyarakat,

e. Mengurangi penggunaan pupuk anorganik, pestisida dan herbisida secara berlebihan dan mendorong penerapan pertanian organik,

f. Meningkatkan koordinasi antar instansi dalam menangani masalah sumberdaya air atau membentuk suatu badan otoritas air di tingkat provinsi. 2.4 Pertalian antara Pertanian (Subak) dengan Pariwisata

Menurut Pitana (2005) salah satu sektor hulu yang sangat penting dalam pembangunan pariwisata Bali adalah sektor pertanian. Pertalian pertanian dengan pariwisata secara teoritis dapat dilihat karena pariwisata membutuhkan berbagai hal yang disediakan oleh sektor pertanian. Pertanian merupakan penyedia berbagai

(21)

kebutuhan pokok pariwisata seperti bahan makanan (buah, sayur, biji-bijian, hasil ternak dan sebagainya), objek dan daya tarik wisata (alam, terasering lahan pertanian, pemandangan hamparan persawahan, tanaman khas, budaya pertanian, aktifitas usahatani dan sebagainya). Bahkan, bagi Bali subak merupakan salah satu daya tarik wisata yang sangat menarik bagi wisatawan baik diintegrasikan dalam konsep pengembangan agrowisata maupun ekowisata.

Kebudayaan yang menjadi modal utama pengembangan pariwisata budaya di Bali pada intinya merupakan budaya petani (agrarian-based culture) yang didominasi oleh budaya lahan basah (rice-based culture). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya basis pertanian lahan basah yang utama di Bali adalah subak. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata di Bali sangat mempunyai pertalian erat dengan subak. Subak menjadi wahana pelestaraian budaya Bali yang menjadi modal dan daya tarik utama dalam pariwisata budaya dan sebaliknya pariwisata menjadi pasar bagi produk pertanian dalam arti luas. Pertalian antara pariwisata dengan pertanian juga terjadi secara tidak langsung melalui berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang terkait dengan pertanian secara berantai misalnya, dengan adanya pariwisata maka orang akan mendapat pendapatan lebih besar sehingga memiliki daya beli lebih tinggi sehingga mampu membeli barang-barang yang lebih mahal. Salah satunya produk hortikultura dan produk pertanian lainnya akan meningkat permintaannya.

(22)

2.5 Agrowisata sebagai Daya Tarik Wisata Pertanian

Menurut Undang Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 1 ayat 6, menyatakan bahwa daya tarik wisata (DTW) adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Terdapat empat jenis daya tarik wisata (DTW) sebagai berikut.

1. Daya tarik wisata alam, yaitu meliputi pemandangan alam, laut, pantai, dan lain-lain yang termasuk di dalamnya hamparan lahan pertanian.

2. Daya tarik wisata dalam bentuk bangunan, yaitu meliputi arsitektur bersejarah dan modern, monument, peninggalan arkeologi, lapangan golf, toko, dan tempat-tempat perbelanjaan lainnya.

3. Daya tarik wisata budaya, yaitu meliputi sejarah, agama, foklor, seni, teater, hiburan dan museum.

4. Daya tarik wisata sosial, yaitu meliputi cara hidup masyarakat setempat, bahasa, kegiatan sosial masyarakat, fasilitas dan pelayanan masyarakat.

Selain empat komponen tersebut, daya tarik wisata juga harus memiliki komponen aksesibilitas dan amenitas. Aksesibilitas mencakup sarana dan prasarana transportasi dengan menghubungkan daya tarik wisata yang satu dengan daya tarik wisata lainnya di daerah tujuan wisata mulai dari transportasi darat, laut, dan udara. Aksebilitas juga mencakup peraturan atau regulasi pemerintah yang mengatur tentang rute dan tarif angkutan. Amenitas adalah infrastruktur yang menjadi bagian dari

(23)

kebutuhan wisatawan seperti fasilitas akomodasi, restoran, bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha penyewaan (rental), olahraga dan informasi. Daya tarik wisata yang baik sangat terkait dengan empat hal, yakni memiliki keunikan, orijinalitas, otentisitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan kekhasan yang melekat pada suatu daya tarik wisata. Orijinalitas mencerminkan keaslian atau kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi atau tidak mengadopsi nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas mengacu pada keaslian. Bedanya dengan orijinalitas, otentisitas lebih sering dikaitkan dengan tingkat keantikan atau eksotisme budaya sebagai daya tarik wisata.

Berdasarkan pengertian daya tarik wisata di atas, agrowisata merupakan salah satu daya tarik wisata yang mengandalkan sektor pertanian dengan segala aktifitas baik menyangkut usahataninya (on farm) maupun kegiatan di luar usahatani yang masih berhubungan dengan pertanian (off farm) misalnya aktifitas sosial dan budaya pertaniannya. Tujuan dari agrowisata yaitu untuk memperluas pengetahuan, hubungan usaha di bidang pertanian dan pengalaman rekreasi. Peningkatan pendapatan petani bisa diperoleh dari kegiatan agrowisata dalam memanfaatkan lahannya serta memelihara budaya maupun teknologi lokal (indigenous knowledge) yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan alaminya (Utama, 2011).

Rahardi (2003) mendefinisikan agrowisata sebagai salah satu kegiatan wisata ke objek-objek pertanian dalam arti luas, baik di sektor hulu, tengah maupun hilir. Kegiatan ini dikelola berdasarkan tujuan untuk memperoleh keuntungan finansial

(24)

bagi pelakunya. Sedangkan menurut Sutjipta (2008), agrowisata merupakan sebuah sistem kegiatan terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata serta pertanian yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.

Menurut Windia dan Suamba (2010), agrowisata merupakan salah satu bentuk pariwisata alternatif yang sedang berkembang dengan pesat. Beberapa negara mengembangkan jenis wisata ini untuk melengkapi daya tarik wisata konvensional (sun, sea, and sand) yang telah dikenal wisatawan. Dari segi substansinya kegiatan agrowisata lebih menitikberatkan pada upaya menampilkan kegiatan pertanian dan suasana pedesaan sebagai daya tarik utama wisatanya tanpa mengabaikan segi kenyamanan.

Potensi agrowisata dapat dibedakan menjadi agrowisata alami dan buatan manusia. Agrowisata alami dapat berupa kondisi iklim seperti udara bersih dan sejuk, suhu dan matahari yang nyaman, kesunyian berupa pemandangan alam seperti panorama pegunungan yang indah, air terjun, danau dan sungai yang khas, serta sumber air kesehatan seperti air mineral dan air panas. Sedangkan agrowisata buatan manusia dapat berupa fasilitas atau prasarana, peninggalan sejarah dan budidaya, serta pola hidup masyarakat dan taman-taman sebagai tempat rekreasi atau olahraga.

Selain itu, pembagian agrowisata juga terbagi menjadi dua yaitu agrowisata ruang tertutup dan agrowisata ruang terbuka. Agrowisata ruang terbuka sering dijumpai oleh sebagian besar wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara.

(25)

Keberhasilan suatu agrowisata ditentukan oleh faktor-faktor pendukung yang terkait dalam atraksi yang ditawarkan sebagai kawasan agrowisata (Syamsu, 2001) sebagai berikut:

1. Kelangkaan

Jika wisatawan melakukan wisata di suatu kawasan agrowisata, wisatawan mengharapkan suguhan hamparan perkebunan atau taman yang mengandung unsur kelangkaan karena saat ini tanaman tersebut jarang ditemukan.

2. Kealamiahan

Jika objek wisata tersebut tercemar atau penuh dengan kepalsuan, maka wisatawan akan merasa sangat tertipu dan tidak ingin berkunjung kembali. 3. Keunikan

Keunikan yang dimaksud adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan objek wisata lainnya. Keunikan dapat saja berupa budaya, tradisi, dan teknologi lokal tempat objek wisata tersebut dikembangkan.

4. Optimalisasi penggunaan lahan

Lahan-lahan pertanian atau perkebunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal, jika objek agrowisata ini dapat berfungsi dengan baik. Tidak ditemukan lagi lahan tidur, namun pengembangan agrowisata ini berdampak positif terhadap pengelolaan lahan dan jangan pula dieksploitasi dengan semena-mena.

(26)

5. Pelibatan tenaga kerja

Pengembangan agrowisata diharapkan dapat melibatkan tenaga kerja setempat, agar masyarakat lokal tidak tergusur akibat pengembangan objek wisata tersebut. 6. Keadilan dan pertimbangan pemerataan

Pengembangan agrowisata diharapkan dapat menggerakkan perekonomian masyarakat secara keseluruhan, baik masyarakat petani atau desa, penanam modal atau investor, regulator dengan melakukan koordinasi di dalam pengembangan secara detail dari input-input yang ada.

7. Penataan kawasan

Agrowisata pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang mengintegrasikan sistem pertanian dan sistem pariwisata sehingga membentuk kawasan objek wisata yang menarik.

Keuntungan dari adanya pengembangan agrowisata bagi petani lokal (Lobo, dkk dalam Utama, 2011) sebagai berikut.

1. Agrowisata dapat memunculkan peluang bagi petani lokal untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan taraf hidup serta kelangsungan operasi mereka. 2. Menjadi sarana yang baik untuk mendidik orang banyak atau masyarakat tentang

pentingnya pertanian dan kontribusinya untuk perekonomian secara luas dan meningkatkan mutu hidup.

3. Mengurangi arus urbanisasi ke perkotaan karena masyarakat telah mampu mendapatkan pendapatan yang layak dari usahanya di desa (agrowisata).

(27)

4. Agrowisata dapat menjadi media promosi untuk produk lokal, membantu perkembangan regional dalam memasarkan usaha, menciptakan nilai tambah pada kegiatan ekonomi dan memberikan manfaat kepada masyarakat di daerah tempat agrowisata dikembangkan.

Agrowisata memiliki motivasi untuk mempertambah pendapatan bagi petani karena agrowisata memberikan kesempatan atau peluang untuk mendidik orang banyak atau masyarakat tentang pertanian dan ekosistem.

2.6 Kerangka Pemikiran

Umumnya, subak di perkotaan selalu mengalami ancaman dan tantangan yang lebih besar daripada subak di pedasaan, sehingga perlu melakukan pelestarian subak baik secara internal maupun eksternal. Dalam hal ini, subak perkotaan yang harus dilestarikan adalah Subak Padanggalak yang terletak di Desa Kesiman Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar.

Upaya pelestarian Subak Padanggalak dilihat dari internal berupa implementasi THK (aspek parhyangan, pawongan dan palemahan). Sedangkan aspek eksternal berupa peran pemerintah dan swasta, baik dalam bentuk bantuan material maupun non material.

Hasil penelitian nantinya menghasilkan rekomendasi mengenai upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menjamin kelestarian subak khususnya subak perkotaan. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini dapat disimak dalam Gambar 2.1.

(28)

Gambar 2.1

Kerangka Pikir Penelitian Upaya Pelestarian Subak di Perkotaaan (2015)

Pelestarian Subak di perkotaan

Tri Hita Karana

(THK) Internal

Pelestarian Subak Padanggalak, Desa Kesiman Kertalangu, Denpasar Timur

Analisis Kualitatif

Simpulan

Rekomendasi

Parhyangan (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan)

Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan manusia)

Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungan)

Peran pemerintah dan swasta (Agrowisata)

• Peran material (bantuan program fisik, dana, dan bebas pajak dari pemerintah)

• Peran non material

(pengembangan SDM, pelatihan, dan pembinaan)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui tingkat keterlaksanaan Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada tahapan 1) masukan (antecedents), 2) proses (transactions), 3)

Selanjutnya cawan Petri diinkubasi pada suhu ruang dan pengamatan dilakukan terhadap luas koloni jamur patogen, dengan mencatat luas koloni patogen setiap hari untuk

Setelah menyaksikan video yang dikirim melalui WAG mengenal bangun datar, peserta didik dapat menjelaskan bentuk bidang dan warna sebagai unsur karya dekoratif yang sesuai dengan

Menurut Prayitno (1995) bimbingan kelompok merupakan layanan yang membantu individu (peserta didik) dalam mengembangkan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan

Terdapat tiga aturan keserasian yang digunakan dalam penelitian ini, oleh karena itu pengujian ini dilakukan untuk mengetahui aturan keserasian mana yang sangat

Untuk memperoleh data tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap sikap disiplin siswa di SMA Al Islam Krian Sidoarjo, peneliti membuat 20 butir soal sebagai angket

Materi Debat Bahasa Indonesia Siswa SMK Tingkat Nasional Tahun 2016 adalah isu-isu yang aktual tentang kebahasaan dan tentang hal umum yang ada di masyarakat. Isu-isu

Uji coba sistem KSA dilakukan di seluruh kecamatan di kabupaten Indramayu dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak