• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI HYDRAULIC FRACTURING BENDUNGAN ROCKFILL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI HYDRAULIC FRACTURING BENDUNGAN ROCKFILL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI HYDRAULIC FRACTURING BENDUNGAN ROCKFILL

Didiek Djarwadi1, Kabul Basah Suryolelono2, Bambang Suhendro3 dan Hary Christady Hardiyatmo4

1

Mahasiswa Doktoral, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. E-mail: d.djarwadi@yahoo.com

2,3,4

Dosen, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,Universitas Gadjah Maga Yogyakarta.

ABSTRAK

Hydraulic fracturing dapat terjadi pada permukaan hulu inti kedap suatu bendungan rockfill

apabila pengaruh arching oleh konfigurasi bukit sandaran (abutment) dan dimensi inti kedap air menyebabkan terjadinya load transfer antar zona timbunan yang menghambat proses penurunan

(settlement) inti kedap air. Kondisi ini menyebabkan tegangan total (σ) pada inti kedap air dapat

lebih kecil dari tegangan aksial oleh beban timbunan diatasnya (overburden pressure), dan berkurangnya tegangan efektif (σ’) pada inti kedap air bendungan rockfill oleh karena naiknya tegangan air pori saat pengisian waduk untuk pertama kali, sedemikian rupa sehingga tekanan hidraulik air waduk dapat menyebabkan terjadinya retakan oleh tegangan tarik (tension failure) yang terjadi pada lereng hulu inti kedap air bendungan rockfill. Tulisan ini merupakan bagian dari studi hydraulic fracturing di laboratorium dan analisa numeris dengan menggunakan metoda elemen hingga dengan analisa couple pada bendungan Pelaparado yang merupakan satu dari 6 buah bendungan besar di Indonesia yang diteliti. Uji hydraulic fracturing di laboratorium dilaksanakan dengan membuat alat uji khusus untuk keperluan tersebut. Bahan uji adalah bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado yang dimodelkan mempunyai kadar butiran halus 30%, 40%, 50%, 60%, 70% dan 80%. Hasil uji hydraulic fracturing di laboratorium akan digunakan dalam evaluasi analisa numeris hydraulic fracturing dengan menggunakan metoda elemen hingga. Analisa hydraulic fracturing dengan metoda elemen hingga dilakukan dalam 3 tahap: Analisa pada model bendungan Hyttejuvet di Norwegia yang dilaporkan mengalami

hydraulic fracturing dengan bahan timbunan bendungan Pelaparado untuk mengetahui ketahanan

bahan timbunan bendungan dalam variasi kadar butiran halus yang lebih baik dalam ketahanan terhadap hydraulic fracturing. Analisa pada model bendungan Pelaparado yang sebenarnya untuk mengkonfirmasi bahwa konfigurasi inti kedap air bendungan tersebut tidak rentan terhadap

hydraulic fracturing. Analisa pada model bendungan Pelaparado dengan tinggi dua kali lipat untuk

menyelidiki pengaruh “kelangsingan” konfigurasi inti kedap air. Hasil studi menunjukkan bahwa bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado dengan kadar butiran halus antara 30% - 60% lebih tahan terhadap hydraulic fracturing. Bendungan Pelaparado pada kondisi aslinya tidak mengalami hydraulic fracturing, sedangkan apabila bendungan Pelaparado dilaksanakan dengan tinggi 125 meter dengan konfigurasi bentuk aslinya, maka akan terjadi hydraulic fracturing. Kata kunci: hydraulic fracturing, bendungan Pelaparado, uji laboratorium, metoda elemen hingga. 1. PENDAHULUAN

Beberapa bendungan rockfill dilaporkan mengalami hydraulic fracturing seperti yang terjadi pada bendungan Hyttejuvet di Norwegia saat penggenangan pertama disampaikan oleh Kjaernsli and Torblaa (1968), kebocoran yang luar biasa pada bendungan Balderhead di Inggris (Vaughan et al, 1970). Keruntuhan 11 bendungan tanah di Oklahoma dan 3 bendungan tanah di Mississipi dilaporkan oleh Sherard et al (1972) sebagai akibat terjadinya

hydraulic fracturing. Keruntuhan bendungan Stockton dan Wister di Amerika Serikat dan penyelidikan terhadap

retakan pada crest bendungan Jatiluhur di Indonesia serta Yard’s Creek di New Jersey (Sherard, 1973). Penelitian terhadap kebocoran yang luar biasa pada bendungan Viddalsvatn di Norwegia (Vestad, 1976) serta penelitiam terhadap runtuhnya bendungan Teton di Amerika Serikat (Independent Panel Report, 1976) mengungkap terjadinya retakan pada inti kedap air yang dipicu oleh hydraulic fracturing. Ohne et al (2004) mengungkap bahwa gempa bumi Hyogoken-Nambu tahun 1995 di Kobe memicu terjadinya hydraulic fracturing bendungan Tsubaichi di Jepang.

Beberapa peneliti telah melakukan uji hydraulic fracturing pada lempung untuk bahan inti kedap air bendungan

rockfill seperti; Nobari et al (1973), Jaworski et al (1981), Widjaja et al (1984), Hassani et al (1985), Mori and

Tamura (1987), Panah and Yanagisawa (1989), serta Yanagisawa and Panah (1994). Juga beberapa peneliti memodelkan fenomena hydraulic fracturing dengan metoda elemen hingga seperti; Nobari et al (1973) melakukan analisa hydraulic fracturing pada model bendungan rockfill dengan membandingkan tegangan efektif hasil analisa

(2)

dengan metoda elemen hingga dengan tekanan hidraulik sebagai fungsi tinggi genangan air waduk. Verma et al. (1985) meneliti perilaku bendungan LG4 di Canada terhadap kemungkinan terjadinya hydraulic fracturing. Seco E Pinto and das Neves (1985) melakukan analisa hydraulic fracturing dengan metoda elemen hingga untuk bendungan Alvito di Portugal. Ng and Small (1999) melakukan analisa hydraulic fracturing dengan metoda elemen hingga untuk bendungan Hyttejuvet di Norwegia.

2. UJI HYDRAULIC FRACTURING DI LABORATORIUM

Pada penelitian ini uji hydraulic fracturing dilakukan pada bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado, Sumbawa. Alat uji hydraulic fracturing di laboratorium dibuat khusus dan merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari alat uji serupa yang dibuat oleh; Nobari et al (1973), Hassani et al (1985) dan Mori and Tamura (1987). Alat uji akan terdiri dari beberapa bagian/komponen yang mempunyai fungsi yang berbeda. Bagian atau komponen alat uji hydraulic fracturing inti kedap air bendungan rockfill di laboratorium adalah:

a. hydraulic fracturing chamber,

b. pressure chamber,

c. alat untuk pemberi tekanan hidraulik, d. alat untuk pemberi takanan isotropik, e. alat pengukur tegangan pada benda uji, f. alat pengukur deformasi aksial benda uji, g. alat pengukur aliran air ke dalam benda uji.

Konfigurasi alat uji hydraulic fracturing yang merupakan rangkaian bagian atau komponenyang dibuat di Laboratorium Mekanika Tanah, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada seperti diuraikan diatas disampaikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Konfigurasi alat uji hydraulic fracturing di laboratorium.

Pada penelitian ini benda uji yang digunakan berbentuk hollow cylinder dengan tinggi 120 mm, diameter luar 104 mm, dan diameter lubang ditengah benda uji untuk memberikan tekanan hidraulik 18 mm. Benda uji dipadatkan sesuai dengan kepadatan lapangan. Benda uji dibuat dalam variasi kedar butiran halus dari 30%, 40%, 50%, 60% 70% dan 80%, sedangkan kondisi pemadatan benda uji dibuat dalam 3 kondisi yaitu; wet optimum, proctor

maximum dan wet optimum. Benda uji juga dimodelkan mempunyai gradasi yang well graded, sehingga untuk

bahan timbunan inti kedap air dari bendungan Pelaparado akan mempunyai 54 variasi benda uji. Uji dilakukan pada

initial stress state (tegangan awal) yang berbeda yang memenuhi kaidah ½ (σy - σx) < c. Hal ini dilakukan agar

retakan yang terjadi pada benda uji adalah tensile crack (retak akibat tegangan tarik), seperti pola retakan akibat

hydraulic fracturing pada inti kedap air bendungan rockfill. Variasi tegangan awal pada uji hydraulic fracturing di

laboratorium untuk bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado disampaikan pada Tabel 1. Hasil uji

hydraulic fracturing bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado di Sumbawa dalam hubungan antara

tekanan hidraulik pada saat benda uji mengalami retak (hydraulic fracturing pressure) dan tegangan tarik pada benda uji saat retak (stress failure) dengan kadar butiran halus disampaikan pada Gambar 2.

(3)

Tabel 1. Variasi tegangan awal pada uji hydraulic fracturing di laboratorium. Variasi uji Minor principal

stress, σx (kg/cm2) Major principal stress, σy (kg/cm2)

(

y x

)

σ

σ

2

1

(kg/cm2) Uji 1 1,40 2,00 0,30 Uji 2 2,00 2,80 0,40 Uji 3 2,60 3,60 0,50 Keterangan: σ1 = 2.00 kg/cm 2, σ 3 = 1.40 kg/cm 2 , Keterangan: σ1 = 2.80 kg/cm 2, σ 3 = 2.00 kg/cm 2 , Keterangan: σ1 = 3.60 kg/cm 2, σ 3 = 2.60 kg/cm 2 , y = 0.0047x + 1.7916 y = 0.0039x + 1.9232 y = 0.0044x + 1.7405 1.80 1.90 2.00 2.10 2.20 2.30 2.40 2.50 2.60 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fine content (%) Hy dr aulic fr ac tur ing pr es s u re (kg/cm 2) dry optimum proctor maximum wet optimum dry optimum proctor maksimum wet optimum y = -0.0031x - 0.07 y = -0.0035x - 0.0915 y = -0.0034x - 0.1427 -0.60 -0.50 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fine content (%) Str e s s a t fa ilur e (k g/c m 2) dry optimum proctor maximum wet optimum Dry optimum Proctor maksimum Wet optimum y = 0.005x + 2.4413 y = 0.0047x + 2.5416 y = 0.0064x + 2.2935 2.40 2.50 2.60 2.70 2.80 2.90 3.00 3.10 3.20 3.30 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fine content (%) H y dra u lic fra c tur ing pr es su re (kg/c m 2) dry optimum proctor maximum wet optimum dry optimum proctor maksimum wet optimum y = -0.0029x - 0.0279 y = -0.0037x - 0.0218 y = -0.0031x - 0.1203 -0.60 -0.50 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fine content (%) S tr e s s at f a ilur e (kg/c m 2) dry optimum proctor maximum wet optimum Dry optimum Proctor maksimum Wet optimum y = 0.0053x + 3.0752 y = 0.0038x + 3.2895 y = 0.0053x + 3.0417 3.10 3.20 3.30 3.40 3.50 3.60 3.70 3.80 3.90 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fine content (%) H y dra u lic fra c tur ing pr es su re (kg/c m 2) dry optimum proctor maximum wet optimum dry optimum proctor maksimum wet optimum y = -0.0032x + 0.0479 y = -0.0045x + 0.0629 y = -0.004x - 0.0117 -0.60 -0.50 -0.40 -0.30 -0.20 -0.10 0.00 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fine content (%) Stre ss a t fa ilure (k g/cm 2) dry optimum proctor maximum wet optimum Dry optimum Proctor maksimum Wet optimum

Gambar 2. Hasil uji hydraulic fracturing dalam hubungan antara hydraulic fracturing pressure dengan kadar butiran halus bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado.

Hasil uji seperti terlihat pada Gambar 2 menunjukkan kecenderungan bahwa hydraulic fracturing pressure naik apabila kadar butiran halus meningkat, demikian pula tegangan tarik pada saat benda uji retak nilainya turun apabila kadar butiran halus meningkat.

Apabila dilakukan konversi antara hydraulic fracturing pressure terhadap tinggi kolom air dengan nilai konversi 1 kg/cm2 setara dengan 10 m kolom air, maka akan diperoleh hubungan antara tegangan tarik pada saat benda uji retak dengan tinggi kolom air yang menyebabkan retakan. Hal ini dapat digunakan untuk evaluasi batas ketahanan inti kedap air bendungan Pelaparado terhadap hydraulic fracturing. Pada analisis hydraulic fracturing dengan metoda elemen hingga, dapat diperoleh nilai tegangan efektif vertikal pada permukaan inti kedap air dibagian hulu, yang kadang lebih kecil dibandingkan dengan tekanan hidraulik air waduk. Fenomena ini menunjukkan kemungkinan terjadinya hydraulic fracturing pada titik-titik yang nilai tegangan efektif vertikal kurang dari tekanan hidraulik air waduk. Kepastian terjadinya hydraulic fracturing dapat dievaluasi dari; apabila selisih nilai tegangan efektif vertikal dikurangi tekanan hidraulik air waduk pada titik yang ditinjau lebih besar dari tegangan tarik pada saat benda uji retak hasil uji hydraulic fracturing di laboratorium.

3. ANALISIS HYDRAULIC FRACTURING DENGAN METODA ELEMEN HINGGA

Analisis hydraulic fracturing pada bendungan Pelaparado dengan metoda elemen hingga dilakukan dengan analisis

couple untuk analisis deformasi/tegangan dengan analisis aliran air dalam media porous. Pemilihan analisis couple

dilakukan untuk memodelkan perilaku bendungan pada saat penggenangan untuk pertama kali, dimana hydraulic

fracturing pada inti kedap air dapat terjadi. Untuk memeperoleh hasil yang lebih akurat dalam analisis couple

(4)

tanah (soil model) harus disesuaikan dengan kondisi pembebanan di lapangan, agar uji laboratorium yang diperlukan sebagai data masukan oleh program komputer yang digunakan dapat dilakukan dengan seksama. Pada pelaksanaan penimbunan bendungan, pemadatan dilakukan lapis demi lapis dengan tebal lapisan sekitar 30 cm pada inti kedap air sampai dengan 100 cm pada rockfill, memberikan gambaran bahwa tegangan yang terjadi pada tubuh bendungan akan naik secara bertahap mengikuti perkembangan tinggi bendungan. Apabila tinggi bendungan dikonversikan terhadap tekanan kekang (confining pressure), maka kenaikan tegangan di dalam tubuh bendungan dapat dimodelkan sebagai fungsi dari tekanan kekang, dan mengingat bahwa sifat sifat tanah tidak dapat dimodelkan sebagai bahan yang linier elastis, maka model tanah pada penimbunan bendungan lebih sesuai apabila dimodelkan sebagai non-linear elastic hyperbolic soil model. Perlu diperhatikan pula pemodelan fase air (water phase) yaitu fungsi perubahan kadar air volumetrik akibat penggenangan yang dirumuskan dalam program elemen hingga. Apabila pemodelan fase air digunakan model elastis, maka pemilihan soil model juga harus selaras dengan pemodelan fase air tersebut, dan apabila kedua model berbeda maka analisis couple tidak dapat dilakukan.

Analisis hydraulic fracturing pada model bendungan Hyttejuvet

Bendungan Hyttejuvet dilaporkan oleh Kjaernsli and Torblaa (1968) mengalami hydraulic fracturing dengan terjadinya bocoran yang luar biasa besar pada saat penggenangan pertama. Wood et al (1976) melaporkan tahapan pelaksanaan, kronologis kebocoran, perilaku yang tidak normal (unusual behavior) bendungan Hyttejuvet selama terjadi proses kebocoran dan perbaikan. Ng and Small (1999) berhasil membuat idealisasi elemen pada bendungan Hyttejuvet, dan memodelkan terjadinya hydraulic fracturing pada bendungan Hyttejuvet dengan metoda elemen hingga. Analisis hydraulic fracturing model bendungan Hyttejuvet dengan bahan timbunan dari bendungan Pelaparado dimaksudkan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado pada variasi butiran halusnya dan kondisi pemadatannya. Model elemen bendungan Hyttejuvet yang digunakan dan tahap penimbunan dalam analisis hydraulic fracturing bendungan Pelaparado disesuaikan dengan yang digunakan oleh Ng and Small (1999) seperti terlihat pada Gambar 3. Perletakan dasar bendungan pada pondasi dimodelkan terletak pada bedrock, dan tidak mengalami deformasi arah horisontal dan vertikal.

Gambar 3. Model elemen hingga dan tahapan pembebanan bendungan Hyttejuvetyang digunakan untuk analisis

hydraulic fracturing bendungan Pelaparado.

Parameter hiperbolik dan geoteknik untuk bahan timbunan inti kedap air diperoleh dari hitungan hasil uji triaxial

unconsolidated undrained dengan pengamatan perubahan volume benda uji (USBR 5745-89) dengan cara yang

disampaikan oleh Duncan et al (1980). Parameter hiperbolik zona transisi diantara timbunan inti kedap air dan zona timbunan rockfill yang dimodelkan mempunyai gradasi filter diperoleh dengan cara yang sama. Untuk zona timbunan rockfill, karena tidak terdapat data uji lapangan, setidaknya parameter E (modulus elastisitas), maka maka nilai modulus elastisitas dan model tanah yang digunakan adalah nilai yang digunakan oleh Covarubias (1969) untuk menganalisa retakan pada bendungan rockfill dengan menggunakan metoda elemen hingga. Parameter hiperbolik dan geoteknik bahan timbunan rockfill bendungan Pelaparado disampaikan pada Tabel 2, parameter hiperbolik dan geoteknik bahan timbunan zona transisi bendungan Pelaparado disampaikan pada Tabel 3, sedangkan parameter geoteknik bahan timbunan inti kedap air disampaikan pada Tabel 4.

Tabel 2. Parameter geoteknik bahan timbunan rockfill bendungan Pelaparado. Parameter masukan

Model tanah

E (kPa) Poisson ratio (ν) γb (kN/m3)

(5)

Tabel 3. Parameter hiperbolik dan geoteknik bahan timbunan zona transisi bendungan Pelaparado.

Berat vol tanah

φ c γb

( °) (kPa) (kN/m3)

Pelaparado 559.3 0.519 727.09 377.6 0.282 0.7518 45 0 18.63

Nama Bendungan

Parameter hiperbolik Parameter kuat geser

K n Kur Kb m Rf

Tabel 4. Parameter hiperbolik dan geoteknik bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado.

Berat vol tanah

φ c γw ( º ) (kN/m2) (kN/m3) Dry optimum 339.73 -0.074 407.676 269.150 -0.212 0.9197 25.490 61.400 19.070 Proctor maksimum 369.96 -0.106 443.952 278.230 -0.247 0.9363 22.220 72.000 19.800 Wet Optimum 329.40 0.007 395.280 230.650 -0.137 0.9097 19.930 76.800 19.760 Dry optimum 312.48 -0.070 374.976 234.460 -0.161 0.9190 23.260 65.100 18.830 Proctor maksimum 332.43 -0.081 398.916 242.050 -0.188 0.9302 20.630 74.700 19.770 Wet Optimum 284.32 0.081 341.184 194.070 -0.095 0.9368 18.880 82.600 19.540 Dry optimum 277.60 0.066 333.120 182.670 -0.062 0.8560 22.180 72.300 18.550 Proctor maksimum 280.64 0.095 336.768 190.810 -0.081 0.9352 18.640 83.500 19.470 Wet Optimum 263.44 0.185 316.128 152.910 0.035 0.9406 16.750 87.700 19.350 Dry optimum 262.48 0.134 314.976 163.980 -0.027 0.9064 20.760 78.800 18.360 Proctor maksimum 268.21 0.156 321.852 170.890 -0.037 0.9300 15.290 89.700 19.250 Wet Optimum 238.81 0.283 286.572 134.500 0.083 0.8524 14.540 91.700 19.190 Dry optimum 224.52 0.282 269.424 122.420 0.084 0.9016 18.450 81.000 18.030 Proctor maksimum 235.59 0.281 282.708 135.070 0.066 0.9217 14.700 90.300 18.950 Wet Optimum 178.80 0.404 214.560 90.738 0.219 0.8995 12.800 97.500 18.930 Dry optimum 215.42 0.341 258.504 119.680 0.113 0.9154 17.150 85.400 18.060 Proctor maksimum 227.11 0.305 272.532 129.800 0.123 0.9543 13.210 98.200 18.690 Wet Optimum 167.66 0.429 201.192 83.965 0.233 0.9462 10.630 115.600 18.820 m Rf 30.84%

Fraksi lolos # no. 200 Pemadatan

Parameter hiperbolik Hasil uji triaxial u.u

K n asli 79.44% 40.71% 50.60% 60.28% 70.40% Kb Kur

Salah satu hasil analisis hydraulic fracturing dalam bentuk kontour tegangan efektif pada variasi kadar butiran halus 30,84% disampaikan pada Gambar 4, sedangkan hasil analisis hydraulic fracturing bahan timbunan bendungan Pelaparado pada model bendungan Hyttejuvet secara keseluruhan disampaikan pada Gambar 5.

Gambar 4. Kontour tegangan efektif hasil analisis hydraulic fracturing pada model bendungan Hyttejuvet dengan bahan timbunan bendungan Pelaparado pada kadar butiran halus 30,84%

Hasil analisis menunjukkan kesesuaian lokasi terjadinya hydraulic fracturing dengan laporan Kjaernsi and Torblaa (1968) yang menyebutkan bahwa; penurunan air waduk menunjukkan bahwa rembesan pada saat elevasi air waduk mencapai + 738 masih sebesar 25 lt/dt meskipun pada saat penggenangan rembesan yang terukur saat mencapai elevasi tersebut hanya sebesar 1 – 2 lt/dt. Kebocoran sebesar 1-2 lt/dt baru tercapai pada saat air diturunkan sampai elevasi +718. Dengan demikian, hydraulic fracturing pada bendungan Hyttejuvet terjadi pada elevasi antara +718 m sampai dengan +738 m.

Hasil analisis juga menunjukkan kecenderungan bahwa; kondisi pemadatan pada sisi wet side yaitu kondisi antara

proctor maximum dan wet optimum untuk bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado lebih tahan terhadap hydraulic fracturing dibandingkan dengan pemadatan pada sisi dry side.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado pada kadar butiran halus antara 30% sampai 60% lebih tahan terhadap hydraulic fracturing dibandingkan dengan bahan timbunan yang mempunyai kadar butiran halus lebih dari 60%.

(6)

650 660 670 680 690 700 710 720 730 740 750 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Persen butiran halus (%)

E leva si ( m ) core

Lokasi te rjadi hydraulic fracturing

Lokasi tegangan tarik tetapi tidak terjadi hydraulic fracturing

Kondisi kepadatan dry optimum.

650 660 670 680 690 700 710 720 730 740 750 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Persen butiran halus (%)

E le vas i ( m ) core

Lok as i terjadi hydraulic fracturing

Lokasi te gangan tarik tetapi tidak te rjadi hydraulic fracturing

Kondisi kepadatan proctor maximum.

650 660 670 680 690 700 710 720 730 740 750 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Persen butiran halus (%)

E lev asi ( m ) core

Lokas i terjadi hydraulic fracturing

Lok asi te gangan tarik tetapi tidak terjadi hydraulic fracturing

Kondisi kepadatan wet optimum.

Gambar 5. Lokasi terjadinya hydraulic fracturing pada model bendungan Hyttejuvet dengan bahan timbunan bendungan Pelaparado.

(7)

Analisis hydraulic fracturing bendungan Pelaparado

Bendungan Pelaparado dibangun di hulu sungai Bela. Jarak bendungan Pelaparado ke kota Bima di pulau Sumbawa lebih kurang 30 km. Fungsi utama bendungan Pelaparado adalah menyediakan air irigasi untuk meningkatkan layanan dan perluasan daerah irigasi Palacempaka, Parado, Kalate, Keli dan Risa. Potongan melintang bendungan Pelaparado disampaikan pada Gambar 6.

Dari Gambar 6, diperoleh data bahwa bahwa konfigurasi inti kedap air dan filter mempunyai kemiringan yang sama yaitu 1V : 0.3H. Tebal lapisan filter pada hulu dan hilir bendungan Pelaparado adalah 3,00 meter. Idealisasi dan penyederhanaan zona timbunan untuk model elemen yang digunakan dalam analisa hydraulic fracturing dengan metoda elemen hingga untuk bendungan Pelaparado disampaikan pada Gambar 7.

Hasil analisis hydraulic fracturing bendungan Pelaparado pada kondisi aslinya disampaikan dalam Gambar 8. Hasil analisis menunjukkan bahwa tegangan efektif vertikal pada permukaan hulu inti kedap air pada titik titik yang ditinjau semuanya lebih besar dari tekanan hidraulik air waduk, sehingga permukaan hulu inti kedap air bendungan Pelaparado tidak terjadi tegangan tarik. Hal ini menunjukkan bahwa pada bendungan Pelaparado pada konfigurasi aslinya tidak mengalami masalah hydraulic fracturing. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa sampai saat ini bendungan Pelaparado tidak terjadi hydraulic fracturing.

Gambar 6. Potongan melintang tipikal bendungan Pelaparado.

Gambar 7. Model elemen hingga bendungan Pelaparado pada kondisi asli. Analisis kelangsingan inti kedap air bendungan Pelaparado

Dalam tahapan ini akan dilakukan analisa kelangsingan inti kedap air dengan metoda elemen hingga dengan menggunakan analisis couple antara deformasi/tegangan dan aliran dalam media porous pada model bendungan yang dibuat setinggi 125 meter dengan konfigurasi yang sama dengan kondisi asli bendungan yang diteliti, baik kemiringan lereng hilir dan hulu bendungan serta konfigurasi inti kedap airnya dengan mengambil kemiringan permukaan inti kedap air hulu dan hilir sama dengan kondisi aslinya. Pemilihan model bendungan dengan tinggi 125 meter didasarkan pada bendungan rockfill tertinggi di Indonesia sampai saat ini adalah 125 meter yaitu bendungan Batutegi di Lampung. Fell et al (2004) menyampaikan bahwa rasio tinggi bendungan dengan lebar bawah inti kedap air yang lebih besar dari 2 (H/W > 2) adalah bendungan yang sangat rawan (much more likely) terhadap hydraulic

fracturing, sedangkan apabila rasio 1<(H/W)<2, maka bendungan tersebut rawan (more likely) terjadi hydraulic fracturing. Hal ini menempatkan bendungan yang diteliti adalah bendungan yang rawan terhadap hydraulic fracturing. Dengan model setinggi 125 meter, bendungan Pelaparado yang pada kondisi asli dengan tinggi 61 meter

mempunyai rasio H/W sebesar 1,43 berubah menjadi 1,54. Hal ini berarti memperbesar resiko terjadinya hydraulic

fracturing apabila tinggi bendungan bertambah. Model elemen bendungan Pelaparado dengan tinggi 125 meter

disampaikan pada Gambar 9, sedangkan hasil analisis kelangsingan inti kedap air bendungan Pelaparado disampaikan pada Gambar 10 dan Tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi hydraulic fracturing pada bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado pada variasi kadar butiran halus 30% sampai 70%, sedangkan pada kadar butiran halus 80% tidak terjadi hydraulic fracturing.

(8)

0 10 20 30 40 50 60 70 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

Tegangan efektif (kPa)

Ti nggi ( m ) 30.84% 40.71% 50.60% 60.28% 70.40% 79.44% Tekanan hidraulik Tekanan hidraulik 30.84% 40.71% 50.60% 60.28% 70.40% 79.44% 349 61.00 -26.333 -21.849 -18.086 -16.296 -11.278 -8.871 340 59.50 17.702 16.496 18.949 18.025 11.915 15.122 329 58.00 35.159 32.994 40.215 37.927 27.665 32.866 321 56.50 48.160 56.116 49.820 48.370 42.617 44.585 312 55.00 60.280 62.758 50.118 48.935 49.427 48.770 0.000 303 51.75 112.480 80.780 93.180 83.796 82.633 85.171 31.873 290 48.50 154.650 92.641 114.560 108.320 104.03 109.000 63.746 281 45.25 184.810 149.400 151.010 159.050 148.39 153.000 95.618 270 42.00 224.550 192.210 183.910 197.480 189.24 193.690 127.491 263 38.75 291.160 261.710 254.430 257.500 263.02 264.830 159.364 255 35.50 353.630 330.490 321.280 313.470 326.16 324.660 191.237 249 32.25 433.590 401.490 388.610 369.220 385.27 384.860 223.109 240 29.00 489.060 439.480 432.100 410.580 426.76 426.830 254.982 233 25.38 605.030 573.890 548.140 513.960 521.96 515.030 290.532 225 21.75 692.790 681.680 635.300 599.910 597.05 585.060 326.083 219 18.13 787.930 772.240 728.320 711.060 700.17 683.520 361.633 211 14.50 905.530 890.310 840.700 819.140 818.67 787.940 397.184 206 10.88 1037.600 1032.900 995.830 969.810 925.86 913.340 432.734 200 7.25 1224.000 1207.400 1160.100 1142.900 1083.1 1073.600 468.284 196 3.63 1069.000 991.370 883.610 860.980 825.17 785.490 503.835 187 0.00 965.890 834.710 685.360 642.560 581.16 603.890 539.385 Titik Tinggi

Tegangan efektif pada permukaan hulu inti kedap air Kadar butiran halus (φ < 0.0074mm)

Gambar 8. Posisi tegangan vertikal efektif permukaan hulu inti kedap air bendungan Pelaparado terhadap tekanan hidraulik air waduk.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil studi hydraulic fracturing bendungan Pelaparado disampaikan sebagai berikut:

a. konfigurasi inti kedap air dapat menjadi pemicu terjadinya hydraulic fracturing pada bendungan rockfill, terbukti dari analisis hydraulic fracturing bahan timbunan bendungan Pelaparado pada model bendungan Hyttejuvet.

b. bendungan yang dalam kondisi aslinya dengan tinggi 61 meter tidak mengalami hydraulic fracturing, dapat mengalami hydraulic fracturing apabila dilaksanakan dengan tinggi 125 meter, meskipun dengan konfigurasi yang sama dengan aslinya.

c. dalam rancang bangun bendungan rockfill perlu dilakukan analisis hydraulic fracturing, karena sampai saat ini analisis hydraulic fracturing belum menjadi bagian dari rancang bangun bendungan rockfill.

(9)

Tabel 5. Tegangan efektif permukaan hulu inti kedap air model bendungan Pelaparado dengan tinggi 125 meter. Tekanan hidraulik 30.84% 40.71% 50.60% 60.28% 70.40% 79.44% 744 125.00 -50.268 -36.370 -28.798 -13.538 -0.412 -0.306 736 123.50 20.338 16.422 21.863 14.369 15.552 16.947 723 122.00 67.371 48.494 18.665 29.281 27.030 29.719 715 120.50 85.280 64.894 56.409 62.171 60.999 25.102 706 119.00 91.240 71.254 63.777 74.444 78.493 81.543 0.00 688 115.05 108.000 91.695 81.049 76.021 64.723 68.407 38.74 669 111.10 87.363 63.825 55.832 44.081 33.840 44.350 77.48 654 107.15 108.202 102.059 91.965 86.366 72.280 89.320 116.21 640 103.20 97.420 81.523 67.925 55.317 126.350 133.540 154.95 626 99.25 144.200 101.370 81.919 76.167 152.210 167.930 193.69 615 95.30 183.120 174.610 141.530 153.460 196.900 209.450 232.43 601 91.35 325.270 291.620 244.870 244.540 296.170 311.600 271.16 589 87.40 349.800 311.440 324.800 333.390 373.100 387.480 309.90 576 83.45 474.080 446.550 430.590 440.960 468.930 479.010 348.64 565 79.50 592.900 575.130 529.710 531.810 561.840 566.850 387.38 557 75.55 707.220 694.040 647.430 646.730 678.680 683.810 426.11 546 71.60 779.760 784.880 751.650 746.010 775.080 778.910 464.85 535 67.65 916.230 944.680 878.050 868.460 886.170 869.800 503.59 525 63.70 1034.300 1069.400 994.290 979.100 982.160 941.270 542.33 517 59.75 1152.800 1195.500 1105.600 1089.400 1110.100 1096.300 581.06 506 55.80 1234.000 1299.100 1209.600 1190.100 1227.500 1250.000 619.80 498 51.85 1457.700 1436.400 1344.900 1318.900 1327.400 1305.500 658.54 490 47.90 1648.000 1553.400 1474.500 1444.100 1418.600 1342.200 697.28 483 43.95 1720.300 1711.800 1562.200 1540.200 1552.800 1551.000 736.02 472 40.00 1760.200 1850.600 1646.300 1631.500 1687.700 1775.600 774.75 466 36.00 1931.000 1973.700 1797.100 1757.900 1765.400 1801.600 813.98 458 32.00 2117.500 2061.600 1932.700 1870.400 1820.000 1791.500 853.21 450 28.00 2188.600 2154.100 1957.200 1924.600 1931.800 1917.400 892.44 443 24.00 2158.900 2255.200 1980.200 1983.600 2066.900 2079.800 931.67 436 20.00 2308.200 2450.100 2238.500 2224.800 2245.400 2247.600 970.89 430 16.00 2693.300 2767.000 2625.700 2588.200 2547.700 2530.200 1010.12 423 12.00 2341.900 2357.500 2243.200 2219.200 2181.500 2154.100 1049.35 415 8.00 2461.000 2471.400 2355.700 2324.300 2310.500 2261.700 1088.58 409 4.00 2047.800 2010.400 2161.100 1931.500 1886.900 1915.000 1127.81 402 0.00 1273.300 1158.300 1108.510 1199.450 1240.940 1318.980 1167.03 Titik Tinggi

Tegangan efektif pada permukaan hulu inti kedap air Kadar butiran halus (φ < 0.0074mm)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Tegangan efektif (kPa)

T ing gi ( m ) 30.84% 40.71% 50.60% 60.28% 70.40% 79.44% Tekanan hidraulik

Gambar 10. Posisi tegangan vertikal efektif lereng hulu inti kedap air model bendungan Pelaparado dengan tinggi 125 meter terhadap tekanan hidraulik.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Covarurrubias, S.W. (1969). Cracking of Earth and Rockfill Dams, a Theotretical Investigation by means of Finite Elemen Method. PhD thesis. Harvard University, Cambridge. Massachusset.

Duncan, J.M., Byrne, P., Wong, K.S., and Phillip Mabry. (1980). Strength, Stress-Strain and Bulk Modulus Parameters for Finite Element Analyses of Stresses and Movements in Soil Masses. Report no. UCB/GT/80-01. Dept of Civil Engineering University of California. Berkeley.

Fell, R., Wan, C.F., and Foster, M. (2004). Methods for Estimating the Probability of Failure of embankment Dams by Internal Erosion and Piping – Piping through the Embankment. UNICIV Report No. R-42, May 2004. University of New South Wales. Sydney, Australia. ISBN. 85841 395 7.

Hassani, A.W., Singh, B., Saini, S.S., and Goel, M.C. (1985). Laboratory Simulation of Hydraulic Fracturing. Proc 11th International Conference on Soil Mechanics and Foundation Engineering. San Francisco. Vol.2, pp 1081-1084. Independent Panel to Review Cause of Teton Dam Failure. (1976). Report to US Department of the Interior and the State

of Idaho on Failure of Teton Dam. Superintendent of Documents, US Government Printing Office. Washington D.C. Jaworski, G.W., Duncan, J.M., and Seed, H.B. (1981). Laboratory Study of Hydraulic Fracturing. Journnal of

Geotechnical Engineering Division. ASCE. Vol 107. No.6. pp 713-732.

Kjaernsli, B., and Torblaa, I. (1968). Leakage through horizontal cracks in the core of Hyttejuvet Dam. Norwegian Geotechnical Institute. Publication no. 80. pp 39-47.

Mori, A., and Tamura, M. (1987). Hydrofracturing pressure of cohesive soils. Journal of Soils and Foundation. JSSMFE. Vol. 27. no.1. pp 14-22.

Ng. K.L. and Small, J.C. (1999). A Case Study of Hydraulic Fracturing using Finite Element. Canadian Geotechnical Journal. Vol.36. pp 861-875.

Nobari, E.S., Lee, K.L., and Duncan, J.M. (1973). Hydraulic fracturing in Zoned Earth and Rockffill Dams. A Report of an Investigation. US Army Engineer Waterways Experiment Station. Report no. TE-73-1. Vicksburg. 76pp.

Ohne, Y., Narita, K., Okumura, T., and Nakamura, Y. (2004). Hydraulic fracturing of a rockfill dam during the 1995 Hyogoken-Nambu earthquake. New Developments in Dam Engineering, ed by Wieland, Ren & Tan. Proc 4th Intl Conference on Dam Engineering. A.A. Balkema. pp 683-692.

Panah, A.K., and Yanagisawa, E. (1989). Laboratory studies on hydraulic fracturing criteria in soil. Journal of Soils and Foundation. JSSMFE. Vol. 29. no.4. pp 14-22.

Pinto Seco E, P.S., and Das Neves, E.M., 1985, Hydraulic Fracturing in Zoned Earth and Rockfill Dams. Proc 11th

International Conference on Soil mechanics and Foundation Engineering. San Francisco. A.A. vol 4. pp

2025-2030.

Sherard, J.L., Decker, R.S. and Ryker, N.L. (1972). Hydraulic Fracturing in Low Dams of Dispersive Clay. Proceedings Specialty Conference on Performance of Earth and Earth Supported Structures. ASCE. Vol.1, Part I, pp 653-689. Sherard, J.L. (1973). Embankment Dam Cracking. Embankment Dam Engineering, Casagrande Volume, edited by R.C.

Hirschfield and S.J. Poulos, John Wiley & Sons, New York, pp 271-354.

Vaughan, P.R., Kluth, D.J., Leonard, M.W., and Pradoura, H.H.M. (1970). Cracking and Erosion of the Rolled Clay Core of Balderhead Dam and Remedial Works Adopted for its Repair. Transaction of the 10th International Congress on Large Dams. Montreal. Vol 1. pp 73 – 93.

Verma, N.S., Pare, J.J., Boncompain, B., Garneau, R., and Rattue, A., 1985, Behavior of the LG4 main dam. Proc

11th Intl Conf on Soil mechanics and Foundation Engineering. San Francisco, vol 4. pp 2049-2054.

Vestad, H. (1976). Viddalsvatn dam, A History of Leakage and Investigations. Transaction of the 12th International Congress on Large Dams. Mexico City. Vol 2. pp 369 – 390.

Widjaja, H., Duncan, J.M., and Seed, H.B. (1984). Scale and Effects in hydraulic fracturing. US Army Engineer Waterways Experiment Station. Miscellaneous Paper, GL-84-10. Vicksburg. 192 pp.

Wood, D.M., Kjaernsli, B., and Hoeg, K. (1976). Thoughts Concerning the Unusual Behaviour of Hyttejuvet Dam. Transaction of the 12th International Congress on Large Dams. Mexico City. Vol 2. pp 391 – 414.

Yanagisawa, E. and Panah, A.K. 1994. Two Dimensional Study of Hydraulic Fracturing Criteria in Cohesive Soils. Soils and Foundations. Vol.34, No.1, pp.1-9.

Gambar

Gambar 1. Konfigurasi alat uji hydraulic fracturing di laboratorium.
Tabel 1. Variasi tegangan awal pada uji hydraulic fracturing di laboratorium.
Gambar 3. Model elemen hingga dan tahapan pembebanan bendungan Hyttejuvetyang digunakan untuk analisis  hydraulic fracturing bendungan Pelaparado
Tabel 4. Parameter hiperbolik dan geoteknik bahan timbunan inti kedap air bendungan Pelaparado
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dilakukan sintesis membran kitosan tercetak ion pada permukaan karbon (KTI-C) untuk pemisahan ion logam Fe(III).. Parameter yang dipelajari adalah

Keterbatasan data kerugian operasional akan mengurangi akurasi hasil perhitungan beban risiko operasional, untuk itu disarankan agar bank syariah xyz lebih meningkatkan

Abstrak : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar fosil di Kota Pekanbaru serta mengembangkan modul konsep isu lingkungan

Fungsi pencernaan dan sekresi antara lain, pencernaan protein oleh pepsin dan HCl , pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase, sintesis dan gastrin dipengaruhi

Kelurahan Pacar Kembang terletak di wilayah Surabaya Timur. Permasalahan yang dihadapi oleh mitra adalah terdapat kampung yang kumuh dan belum tertata, juga

Dengan Merancang Pusat Edukasi dan galeri seni rupa kontemporer yang menampilkan bentuk, ruang dan tatanan lahan dengan menerapkan tema arsitektur kontemporer di harapkan

CodeIgniter menjadi sebuah framework PHP dengan model MVC (Model, View, Controller) untuk membangun website dinamis dengan menggunakan PHP yang dapat mempercepat pengembang

Rekomendasi yang diberikan dari hasil penelitian adalah agar dilakukan upaya- upaya konstruktif untuk meningkatkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional dalam rangka