STANDAR
PERENCANAAN TEKNIS
BANGUNAN EMBUNG
WILAYAH SUNGAI LOMBOK
DAN WILAYAH SUNGAI SUMBAWA
EDISI PERTAMA
DESEMBER 2015
i
Bersamaan dengan pengembangan irigasi secara Nasional, pembangunan embung di Nusa Tenggara Barat telah berjalan lebih dari puluhan tahun. Berdasarkan pengalaman pengembangan tersebut, dengan harapan didapat pendetailan, dan terisinya ruang-ruang kosong dalam Standar Perencanaan Irigasi (KP, BI, dan PT) serta memberikan acuan praktis maka disusunlah Standar Lokal Perencanaan ini.
Standar perencanaan teknis lokal ini disusun oleh Tim Ahli Fakultas Teknik Universitas Mataram sebagai penyunting/ perumus dan Tim Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I sebagai pemberi input data terkait.
Standar Lokal Perencanaan Teknis ini merupakan acuan awal perencanaan
bangunan embung (instream overflow dam) dengan penerapannya masih
memerlukan penyesuaian berdasarkan kajian observasi dan kalibrasi lapangan yang lebih detail. Sedangkan kriteria dan metode perencanaannya merupakan standar minimal untuk digunakan oleh perencana.
Dalam upaya penyempurnaan Standar Teknis Lokal Perencanaan Bangunan Embung ini saran dan masukan dari semua pihak sangat dibutuhkan.
Mataram, Desember 2015 Tim Penyusun
ii
perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharan dalam rangka upaya konservasi, penatagunaan, pengendalian daya rusak air, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, serta pemanfaatan sistem informasi. Secara umum perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan persyaratan melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang berlaku secara nasional. Secara khusus, dalam perencanaan teknis SDA yang bertujuan untuk pembangunan infrastruktur yang terdiri dari bendungan, embung, bendung, saluran Irigasi Teknis, Jaringan irigasi rawa-tambak, bangunan pemanfaatan air tanah, reservoir air baku, bangunan pengendali banjir dan pengamanan pantai serta bangunan lainnya, memerlukan standar perencanaan yang sangat tergantung terhadap kondisi atau karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) -Wilayah Sungai (WS )masing-masing.
Salah satu bagian dalam Standar Perencanaan Irigasi Nasional (KP, BI, dan PT) yang memerlukan perhatian adalah dalam menganalisis dan mengevaluasi data Hidrologi yang saat ini di Nusa Tenggara Barat masih sangat bergantung pada metode-metode empiris. Dalam Standar tersebut, koefisien (parameter perencanaan) yang menyatakan hubungan empiris antara curah hujan-limpasan air hujan belum spesifik atau memiliki range yang perlu disesuaikan dengan karakteristik DAS di WS Lombok dan WS Sumbawa.
Bersamaan dengan pengembangan irigasi secara nasional, pembangunan embung di Nusa Tenggara Barat telah berjalan lebih dari puluhan tahun. Berdasarkan pengalaman tersebut, dengan harapan didapat pendetailan, dan terisinya ruang-ruang kosong dalam Standar Perencanaan Irigasi (KP, BI, dan PT). Maka Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I menyusun buku
iii
Standar Lokal Perencanaan Teknis ini merupakan acuan awal
perencanaan bangunan embung (instream overflow dam) dengan
penerapannya masih memerlukan penyesuaian berdasarkan kajian observasi dan kalibrasi lapangan yang lebih detail.
Dengan demikian siapapun yang akan menggunakan Standar Teknis Lokal ini, tidak akan lepas dari tanggung jawabnya sebagai perencana dalam merencanakan bangunan ke-airan.
Kami berharap buku Standar Perencanaan Lokal ini dapat dijadikan sebagai acuan minimal pelaksanaan perencanaan dalam pengelolaan sumber daya air sehingga dapat mendukung peningkatan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mataram, Desember 2015 Kepala Satuan Kerja
Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I
Ir. Asdin Julaidy,MM.,MT.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
KATA SAMBUTAN ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ... I-1
1.2. Proses Penyusunan Standar Lokal ... I-2
1.3. Batasan-batasan ... I-2 1.4. Substansi Muatan ... I-3
1.5. Peta Prasarana SDA Eksisting WS Lombok dan
WS Sumbawa ... I-5
1.6. Bagan Alir Perencanaan Embung ... I-7
BAB II PENGUKURAN TOPOGRAFI DAN PENYELIDIKAN GEOLOGI
2.1. Survey Topografi ... II-1
2.2. Investigasi Geologi Dan Pengujian Laboratorium ... II-5
2.3. Macam Pengujian Di Laboratorium Dan Aplikasinya ... II-12
BAB III SKEMA SUNGAI DAN KARAKTERISTIK DAS
3.1. Skema Sungai ... III-1 3.2. Karakteristik DAS ... III-3
3.3. Daerah Pengaruh Stasiun Hujan ... III-4
BAB IV HIDROLOGI
4.1. Debit Banjir Rancangan ... IV-1
4.1.1. Alur Perencanaan ... IV-1
4.1.2. Peta Acuan Isoyet hujan rancangan dan Peta gambaran Koefisien Pengaliran ... IV-2 4.2. Debit Andalan ... IV-15
4.2.1. Alur Perencanaan ... IV-15
iv
4.2.3. Peta Gambaran awal estimasi parameter masukan
Metode MOCk ... IV-51
4.2.4. Peta Gambaran estimasi parameter masukan Metode NRECA ... IV-59 4.3. Debit Kebutuhan... IV-63 4.3.1.Alur Perencanaan ... IV-63
BAB V PERENCANAAN BANGUNAN
5.1. Pemilihan Lokasi Site Embung ... V-1
5.2. Desain Bangunan Utama ... V-2
5.3. Analisis Stabilitas ... V-6
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH LAMPIRAN
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta WS Lombok ... I-5
Gambar 1.2 Peta WS Sumbawa ... I-6
Gambar 1.3 Bagan alir perencanaan desain embung ... I-7
Gambar 3.1 Skema Sungai dan Syarat Penggambaran ... III-2 Gambar 3.2 Peta Faktor Bentuk DAS di WS Lombok ... III-4 Gambar 3.3 Peta Faktor Bentuk DAS di WS Sumbawa ... III-5 Gambar 3.4 Peta Faktor Kerapatan DAS di WS Lombok ... III-6 Gambar 3.5 Peta Koefisien Kerapatan DAS di WS Sumbawa ... III-7 Gambar 3.6 Peta Polygon Theissen Daerah Aliran Sungai WS Lombok III-8 Gambar 3.7 Peta Polygon Thiessen Daerah Aliran Sungai
Di WS Sumbawa ... III-9 Gambar 4.1 Bagan Alir Perhitungan Banjir Rancangan ... IV-2 Gambar 4.2 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Lombok ... IV-3 Gambar 4.3 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Sumbawa .. IV-4 Gambar 4.4 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Lombok ... IV-5 Gambar 4.5 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Sumbawa IV-6 Gambar 4.6 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Lombok ... IV-7 Gambar 4.7 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Sumbawa IV-8 Gambar 4.8 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Lombok ... IV-9 Gambar 4.9 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Sumbawa IV-10 Gambar 4.10 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun WS Lombok IV-11 Gambar 4.11 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun
WS Sumbawa ... IV-12 Gambar 4.12 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun WS Lombok IV-13 Gambar 4.13 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun
vi Gambar 4.14 Bagan Alir Perhitungan Debit Andalan ... IV-15 Gambar 4.15 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari I
WS Lombok ... IV-16 Gambar 4.16 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari II
WS Lombok ... IV-17 Gambar 4.17 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari I
WS Lombok ... IV-18 Gambar 4.18 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari II
WS Lombok ... IV-19 Gambar 4.19 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret I
WS Lombok ... IV-20 Gambar 4.20 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret II
WS Lombok ... IV-21 Gambar 4.21 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April I
WS Lombok ... IV-22 Gambar 4.22 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April II
WS Lombok ... IV-23 Gambar 4.23 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei I
WS Lombok ... IV-24 Gambar 4.24 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei II
WS Lombok ... IV-25 Gambar 4.25 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan September II
WS Lombok ... IV-26 Gambar 4.26 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober I
WS Lombok ... IV-27 Gambar 4.27 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober II
WS Lombok ... IV-28 Gambar 4.28 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan November I
WS Lombok ... IV-29 Gambar 4.29 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan November II
vii Gambar 4.30 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember I
WS Lombok ... IV-31 Gambar 4.31 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember II
WS Lombok ... IV-32 Gambar 4.32 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari I
WS Sumbawa ... IV-33 Gambar 4.33 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari II
WS Sumbawa ... IV-34 Gambar 4.34 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari I
WS Sumbawa ... IV-35 Gambar 4.35 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari II
WS Sumbawa ... IV-36 Gambar 4.36 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret I
WS Sumbawa ... IV-37 Gambar 4.37 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret II
WS Sumbawa ... IV-38 Gambar 4.38 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April I
WS Sumbawa ... IV-39 Gambar 4.39 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April II
WS Sumbawa ... IV-40 Gambar 4.40 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei I
WS Sumbawa ... IV-41 Gambar 4.41 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei II
WS Sumbawa ... IV-42 Gambar 4.42 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Juni II
WS Sumbawa ... IV-43 Gambar 4.43 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober II
WS Sumbawa ... IV-44 Gambar 4.44 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Nopember I
WS Sumbawa ... IV-45 Gambar 4.45 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Nopember II
viii Gambar 4.46 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember I
WS Sumbawa ... IV-47 Gambar 4.47 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember II
WS Sumbawa ... IV-48 Gambar 4.48 Peta Sebaran Koefisien Nilai Infiltrasi (i) WS Lombok ... IV-49 Gambar 4.49 Peta Sebaran Koefisien Nilai Infiltrasi (i) WS Sumbawa IV-50 Gambar 4.50 Peta Sebaran Faktor Resesi Aliran Tanah (K)
WS Lombok ... IV-51 Gambar 4.51 Peta Sebaran Faktor Resesi Aliran Tanah (K)
WS Sumbawa ... IV-52 Gambar 4.52 Peta Sebaran Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC)
WS Lombok ... IV-53 Gambar 4.53 Peta Sebaran Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC)
WS Sumbawa ... IV-54 Gambar 4.54 Peta Sebaran Penyimpanan Air Tanah (GWS)
WS Lombok ... IV-55 Gambar 4.55 Peta Sebaran Penyimpanan Air Tanah (GWS)
WS Sumbawa ... IV-56 Gambar 4.56 Peta Sebaran Parameter PSUB
WS Lombok ... IV-57 Gambar 4.57 Peta Sebaran Parameter PSUB
WS Sumbawa ... IV-58 Gambar 4.58 Peta Sebaran Parameter GWF
WS Lombok ... IV-59 Gambar 4.59 Peta Sebaran Parameter GWF
WS Sumbawa ... IV-60 Gambar 4.60 Peta Sebaran Perkolasi
WS Lombok ... IV-63 Gambar 4.61 Peta Sebaran Perkolasi
ix Gambar 5.1 Peta Faktor Erodibilitas Tanah Daerah Aliran Sungai
di WS Lombok ... V-3 Gambar 5.2 Peta Faktor Erodibilitas Tanah
di WS Sumbawa ... V-4 Gambar 5.3 Gambar Peta Faktor Slope Gradient WS Lombok ... V-5 Gambar 5.4 Gambar Peta Faktor Slope Gradient WS Lombok ... V-6 Gambar 5.5 Kelulusan Air Untuk Tanah ... V-9 Gambar 5.6 Kurve-kurve Taylor untuk stabilitas tanggul ... V-13 Gambar 5.7 Garis depresi pada embung/bendungan homogen ... V-14 Gambar 5.8 Contoh jaringan trayektori aliran filtrasi dalam tubuh
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Skala Survey Detail dan Interval Kontur ... II-3 Tabel 2.2 Batas Ketelitian Pengukuran Sudut ... II-4 Tabel 2.3 Batas Ketelitian Pengukuran Sipat Datar ... II-4 Tabel 2.4 Skala dan Peruntukan Peta Topografi ... II-5 Tabel 2.5 Korelasi antara (N) SPT dengan kepekatan relative dan
kepadatan relative tanah serta daya dukung tanah yang
diperkenankan ... II-9 Tabel 2.6 Macam Pengujian Di Laboratorium dan Aplikasinya ... II-12 Tabel 4.1 Kategori Kota ... IV-61 Tabel 4.2 Kebutuhan Air Domestik ... IV-61 Tabel 5.1 Klasifikasi Kelulusan Air ... V-1 Tabel 5.2 Harga-harga minimum angka rembesan Lane (Cl) ... V-16 Tabel 5.3 Berat Satuan Material ... V-19 Tabel 5.4 Koefisien Zona gempa pada Zona A,B,C,D,E,F ... V-20 Tabel 5.5 Periode ulang dan percepatan dasar gempa ... V-20 Tabel 5.6 Faktor Koreksi pengaruh jenis tanah setempat ... V-21 Tabel 5.7 Kuat geser tanah lunak ... V-22 Tabel 5.8 Harga-harga perkiraan daya dukung izin ... V-23
I - 1
1.1Latar Belakang
Untuk mengatasi kekeringan, maka salah satu strategi yang paling murah, cepat dan efektif serta hasilnya langsung terlihat adalah dengan memanen aliran permukaan dan air hujan di musim penghujan melalui pembangunan embung. Embung merupakan sistem atau istilah lokal yang ada pada umumnya sudah dikenal oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat di dalam mengelola sumber daya air. Konstruksi embung berupa waduk penampungan yang terbuat dari timbunan tanah ataupun dari pasangan batu yang dipakai sebagai sumber air untuk memberi/suplesi terhadap kebutuhan air irigasi pada areal di bawahnya, dimana pada umumnya sudah dipersiapkan pola tanam tadah hujan (gora) sehingga dapat diperoleh kontinuitas pemberian air untuk pertumbuhan tanaman dalam menghindari gagal panen.
Proses pengembangan irigasi dilakukan secara berurutan berdasarkan akronim SIDLACOM ( Survey, Investigation, Design, Land Aquisition, Construktion, Operation, and Maintenance ). Setelah pelaksanaan pengembangan irigasi selama hampir dua dekade terakhir, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum telah merevisi dan menerbitkan Standar Perencanaan Irigasi yang disusun dalam 3 kelompok :
1. Kriteria Perencanaan (KP-01 s.d KP-09) 2. Gambar bangunan Irigasi (BI-01 s.d BI-03) 3. Persyaratan Teknis (PT-01 s.d PT-04)
Meskipun standar Perencanaan tersebut dengan batasan-batasan dan syarat berlakunya seperti tertuang dalam tiap bagian buku, telah dibuat sedemikian sehingga siap pakai untuk perencana yang belum memiliki banyak pengalaman, tetapi dalam penerapannya masih memerlukan kajian teknis dari pemakainya terutama terkait dengan pemilihan metode dan penentuan parameter perencanaan yang sangat tergantung
I - 2 Tenggara Barat masih sangat bergantung pada metode-metode empiris. Dalam Standar tersebut, koefisien (parameter perencanaan) yang menyatakan hubungan empiris antara curah hujan-limpasan air hujan belum spesifik atau memiliki range yang perlu disesuaikan dengan karakteristik DAS di WS Lombok dan WS Sumbawa.
Bersamaan dengan pengembangan irigasi secara nasional,
pembangunan embung di Nusa Tenggara Barat telah berjalan lebih dari puluhan tahun. Berdasarkan pengalaman pengembangan tersebut, dengan harapan didapat pendetailan, dan terisinya ruang-ruang kosong dalam Standar Perencanaan Irigasi (KP, BI, dan PT) serta memberikan acuan praktis maka disusunlah Standar Lokal Perencanaan ini.
1.2 Proses Penyusunan Standar Lokal
Standar perencanaan teknis lokal ini disusun oleh Tim Ahli Fakultas Teknik Universitas Mataram sebagai penyunting/perumus dan Tim Balai Wilayah Sungai NT I sebagai pemrakarsa dan pemberi (input)
data terkait.
1.3 Batasan-batasan
Embung adalah sebutan lain untuk bendungan kecil. Bendungan kecil adalah bendungan yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai bendungan besar. Bendungan besar adalah :
a. Bendungan yang tingginya lebih dari 15 m, diukur dari bagian
terbawah pondasi sampai ke puncak bendungan.
b. Bendungan yang tingginya antara 10-15 m dapat pula disebut
bendungan besar apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut :
- Panjang puncak bendungan tidak kurang dari 500 m
- Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 500.000
I - 3
- Bendungan menghadapi kesulitan-kesulitan khusus pada
pondasinya
- Bendungan didesain tidak seperti biasanya
Tipe embung (storage dam ) yang dibangun dapat dikelompokkan
menjadi 4 keadaan yaitu :
- Embung berdasarkan tujuan pembangunannya (embung tujuan
tunggal dan embung serbaguna)
- Embung yang dibangun pada alur sungai (instream overflow
dam) terdiri dari Embung dengan Daerah Irigasi mandiri
(independent) dan Embung Regulator (dependent dam)
- Embung yang dibangun di luar alur sungai (offstream/onfarm)
terdiri dari embung untuk dilewati air dengan spillway (overflow
dams) dan embung untuk menahan air (nonoverflow dams)
- Embung berdasarkan material pembentuknya ( Urugan,
Pasangan batu/beton, dll).
Standar Lokal Perencanaan Teknis ini merupakan acuan awal
perencanaan bangunan embung (instream overflow dam) dengan
penerapannya masih memerlukan penyesuaian berdasarkan kajian observasi dan kalibrasi lapangan yang lebih detail.
Dengan demikian siapapun yang akan menggunakan Standar Teknis Lokal ini, tidak akan lepas dari tanggung jawabnya sebagai perencana dalam merencanakan bangunan ke-airan.
1.4 Substansi Muatan
Isi dari standar ini merupakan pendetailan/penyesuaian
lapangan dari Standar Perencanaan Irigasi (KP 01- KP 09)
antara lain berisi :
1.
Informasi kondisi prasarana SDA WS dan karakteristik
DAS.
I - 4
4.
Dan ketentuan-ketentuan penting lainnya terkait
perencanaan embung.
I - 5
I - 6
I - 7 Bagan Alir Secara Umum Dalam Perencanaan Desain Embung adalah sebagai berikut: Mulai Kegiatan Persiapan Administrasi dan Personil Penyusunan Laporan RMK Pengumpulan Data Sekunder &studi
Terdahulu Analisa Data Sekunder Draft laporan Pendahuluan Diskusi Pendahuluan Final Laporan Pendahuluan Pekerjaan Survey Lapangan Pengukuran Topografi Penyelidikan Geologi dan Mekanika Tanah Survey Hidrologi Analisa Perhitungan dan Penggambaran Hasil Pengukuran Analisa Laboratorium
Mekanika Tanah Analisa Hidrologi
Survei Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Sistem Planing/Tata Letak Embung/Bendungan Draft Laporan Antara Diskusi Pertengahan A Laporan Antara Survey Pendahuluan Analisa Sosial Ekonomi dan Lingkungan Analisa Kebutuhan Air dan Keseimbangan Air Laporan Desk BM dan CP Buku Data Ukur
Laporan Geologi Teknik
Laporan Akhur Pengukuran
Laporan Hidrologi LingkunganLaporan Laporan Sosial Ekonomi
Laporan Bulanan
II - 1
2.1 SURVEY TOPOGRAFI
2.1.1 Kriteria Pekerjaan Survey Topografi
Pekerjaan survey topografi untuk perencanaan waduk berskala menengah dengan tinggi sampai dengan 50 m meliputi:
a). Peta Daerah Tangkapan Air (DTA)
Peta Daerah Tangkapan Air (river basin), dibuat
berdasarkan peta topografi dari BAKOSURTANAL dengan skala 1 : 25,000, sehingga didapatkan sistim aliran sungai.
b) Peta Daerah Genangan dan Sekitarnya
Peta topografi daerah genangan dan sekitarnya digunakan untuk menghitung kapasitas tampungan, tata letak bendungan dan fasilitas, relokasi jalan, jalan untuk konstruksi, pembebasan tanah dan kompensasi, pemetaan geologi dan tempat pengambilan bahan bangunan.
Data pengukuran dan batasan-batasab yang harus ditampilkan dalam merencanakan Embung dan Bendungan yaitu data survey topografi adalah:
- Alur sungai sepanjang minimal 100 m kehilir rencana As Embung, dan ke hulu sampai luasan minimal Batas elevasi 20 % lebih tinggi dari elevasi puncak rencana bangunan.
- Cakupan luasan mencapai 50 m dari sandaran tubuh
bendungan dan 100 m atau lebih kearah hulu dan hilir kaki bendungan
II - 2 puncak bendungan tergantung pada jarak terpanjang dari keduanya.
- Luasan tambahan dimana galian memanjang akan
diperlukan.
c) Tapak Bendungan (dam site) dan sekitarnya
1. Peta Topografi dan Tapak Bendungan
- Cakupan tapak bendungan (dam site) termasuk bangunan pelimpah, fasilitas pengambilan, bangunan pengelak, drainasi, gedung kontrol dan jalan konstruksi.
- Luasan/Dimensi: Batasan panjang sekitar 4 kali
tinggi bendungan di bagian hulu dan hilir dihitung dari sumbu dam. Batasan lebar sekitar 3 kali panjang puncak atau ditambah 2 kali tinggi bendungan.
2. Penampang Memanjang (Longitudinal Section)
- Cakupan : tegak lurus sepanjang puncak / as bendungan dengan interval 10 - 20 m, kecuali di alur
sungai ditambah pula dengan arah sejajar
aliran/lembah sungai.
Penampang ini diperlukan pada tahap perencanaan untuk penggalian pondasi bendungan dan pada tahap konstruksi sebagai station (STA)
- Dimensi : panjang masing-masing penampang 4 kali dari tinggi kearah hulu dan hilir.
II - 3 bendungan, baik dalam bentuk lurus atau lengkung. Penampang ini diperlukan untuk merencanakan
galian dan timbunan dam, menghitung volumenya dan perbaikan pondasi.
- Dimensi : Interval dari masing-masing penampang melintang berkisar 10 m hingga 20 m, dimana makin berbelok lembah sungai perlu diperapat.
Lebar penampang melintang mencakup penampang sepanjang puncak ditambah 2 kali tinggi bendungan, baik di sandaran kiri maupun kanan.
Panjang alur yang diukur meliputi 4 kali tinggi bendungan kearah hulu dan hilir dari sumbu / as bendungan atau sepanjang 200 m.
2.1.2 Skala Peta
1. Skala Survey Detail dan Interval kontur yang harus tersedia
Tabel 2.1 Skala Survey Detail dan Interval Kontur
Interval Kontur Skala Kontur tengah (m) Kontu r Indek s (m) Tambahan tengah kontur interval (m) Kontur Tambaha n (m) 1:5,000 1:2,000 1:1,000 1:500 5 2 1 1 25 10 5 5 2.5 1.0 0.5 0.5 1.25 0.50 0.25 0.25
II - 4
Panjang
Rata-rata Kesalahan Penutup
Imbangan Kesalahan Penutup 700 m – 2 km 400 m - 700 m 200 m - 400 m 100 m - 200 m 8" n 10" n 15" n 20" n 1/20,000 1/10,000 1/5,000 1/3,000
2. Pengukuran sipat datar
Batas/limitasi kesalahan sipat datar
Tabel 2.3 Batas Ketelitian Pengukuran Sipat Datar
Kelas Pertama Tingkat Tingkat Kedua Tingkat
Ketiga Catatan Beda dua bacaan, muka dan belakang 2,5mm S 5mmS 10mmS S : jarak satu arah dalam km Kesalahan Penutup 2,0mmS 5mmS 10mmS
II - 5
A.Umum
Pemetaan geologi dituangkan ke dalam peta dengan skala minimum 1 : 2000 untuk daerah as Bendungan. Atau sesuai dengan skala peta sebagai berikut :
Tabel 2.4 Skala dan Peruntukan Peta Topografi
( NSPM KIMPRASWIL, 2002)
Pemetaan geologi permukaan untuk rencana bangunan pengairan terutama ditujukan untuk keperluan geologi teknik mencakup pembahasan mengenai:
a. Keadaan geomorfologi
b. Penyebaran satuan-satuan batuan (litologi), yang termasuk
batu maupun tanah harus dengan jelas dibedakan, misalnya batuan dasar, tanah penutup, tingkat pelapukan dan lain-lain, sifat fisik, tekstur,
II - 6
e. Untuk tanah kohesif digunakan lambang OH (overburden
hardness), sedangkan untuk kekerasan batuan digunakan lambang RH (rock hardness).
f. Klasifikasi kekerasan menurut Gikuchi dan Saito
g. Untuk derajat pelapukan batuan dipergunakan klasifikasi
Gikuchi dan Saito
h. Klasifikasi tanah sebaiknya dipakai berdarkan Unified Soil
Classification.
i. Struktur geologi: jurus, kemiringan perlapisan, kekar, patahan.
j. Stratigrafi: urutan-urutan dari satuan batuan secara vertikal
berdasarkan pembentukkannya, sesuai dengan sejarah geologinya.
k. Gejala-gejala lainnya: longsoran kegempaan air tanah dan lain-
lain.
B. Pemetaan Geologi Permukaan Daerah Genangan
1. Melakukan pengamatan geologi lapangan pada daerah genangan
dan sekitarnya pada skala 1:1000, seperti singkapan batuan, stratigafi dan struktur geologinya.
2. Pengamatan dilakukan di lintasan yang relatif tegak lurus dengan
jurus (strike) batuan, sehingga diketahui variasi batuan dan penyebarannya di daerah genangan.
3. Pengamatan juga dilakukan pada proses geologi muda yang ada
di lapangan seperti potensi gerakan tanah atau tanah longsor.
C. Pemetaan Geologi di Daerah Borrow Area dan Quarry
1. Mencari material yang nantinya akan dipakai untuk konstruksi
bangunan, maka perlu dipersiapkan areal untuk material timbunan di daerah borrow area dan material lainnya di daerah
II - 7
2. Metode pemetaan geologi di lapangan dengan cara plane table,
passing compas, measuringand section.
2.2.2 Pemboran Inti
Pemboran yang disyaratkan untuk penyelidikan geologi teknik adalah pemboran dengan cara pemboran inti bermesin (Rotary core drilling). Tujuan pemboran ini adalah untuk mendapatkan data dari kondisi batuan/tanah di bawah bendung atau bangunan lainnya, serta untuk mengetahui daya dukung dan nilai rembesan air di bawah bangunannya.
Contoh-contoh hasil pemboran inti (core samples) harus dimasukkan dalam core box serta disusun sesuai dengan urutan kemajuan pemboran.
sesuai dengan kedalamannya.
Besarnya ukuran peti contoh : panjang = 1,00 m lebar = 0,50 m
Tiap peti contoh untuk menyimpan 5 meter kemajuan pemboran, terdiri dari 5 jalur. Tiap jalur panjangnya 1 meter. Di bagian dinding kiri dan kanan peti contoh dituliskan kedalaman pemboran yang berurutan dari atas ke bawah. Disetiap pengambilan dengan core barrel, hasil pemboran diletakkan di dalam peti penyimpanan dengan memberikan tanda di bagian sekat peti contoh.
Pada tutup dan bagian depan peti penyimpan contoh, data-data berikut harus dicantumkan denga jelas:
a. Nama proyek
b. Nama lokasi
c. Nomor titik bor
II - 8 Diskripsi contoh-contoh batuan hasil pemboran harus dimasukkan ke dalam kolom tertentu (log bor) dan membuat nama proyek, lokasi proyek, nomor lubang bor, tanggal, elevasi, koordinat titik bor, muka air tanah,tanggap pemboran, kedalaman pemboran setiap harinya, formasi batuan/tanah, nama batuan/tanah, pelapukan batuan, kekerasan batuan, core shape, core recovery, deskripsi, satuan batuan, RQD, kofisien permeabilitas/lugeon, SPT, air pembilas, type core barrel dan pipa pelindung.
2.2.3 Standart Penetration Test (SPT)
Standard Penetration Test (SPT) dilaksanakan untuk mengetahui resistansi dari pada tanah terhadap penetrasi, dan dilaksanakan dengan interval 2 meter kedalaman meter atau di tiap-tiap pengantian bahan pada lapisan tanah atau menurut instruksi dari Direksi, yang mana dilaksakan pada tanah yang “unconsolidated” atau pada lapukan dari batuan berupa tanah residual.
Korelasi antara (N) SPT terkoreksi (Nt =15 + ½ (N – 15) dengan nilai N > 15) dan nilai bearing capacity (unconfined Compresive Strength) diformulakan sebagai berikut, bearing capacity (q) ¼ N dan 1/10 N. Untuk nilai q ~ ¼ N digunakan untuk tanah lunak atau lumpuran, q ~ 1/10 N untuk tanah sangat padat. Disamping itu disesuaikan dengan kondisi geologi dimana pengamatan dilaksanakan.
II - 9 diperkenankan
SAND CLAY
N
Value n Relative Kepadata
Daya dukung Ijin (t/m2) N Value Kepadata n Relative Daya dukung Ijin (t/m2) 0 – 4 Sangat lepas Perlu pemadata n < 2 Sangat lunak < 2
4 – 10 Lepas pemadataPerlu
n 2 – 4 Lunak 2 ~ 4.5
10 – 30 Sedang 7 ~ 25 4 – 8 Sedang 4.5 ~ 9
30 – 50 Padat 24 ~ 45 8 – 15 Kuat 9 ~ 18
> 50 Sangat Padat > 45 15 – 30 Sangat kuat 18 ~ 36
> 30 Keras > 36
Sumber : IR. Soedibyo (Teknik Bendungan)
2.2.4 Pengujian Permeabilitas
Pengujian permeabilitas dilaksanakan pada lubang bor dimana pada batuan akan dilaksanakan dengan memakai tekanan (water pressure test) dipakai metode uji packer (packer test). Kedalaman pengujian di setiap interval 5 m (1 stage).
Sedangkan pada tanah atau material lepas akan dilaksanakan dengan percolation test berupa falling head test atau open-end constand head test.
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan besarnya daya rembesan tanah/permeabilitas.
II - 10 Constant Head Test biasanya dipakai untuk menentukan harga k dari tanah berbutir kasar, sedangkan Falling Head Test dipakai untuk tanah berbutir halus.
Tes permeabilitas harus dilakukan di setiap lubang bor, mencakup seluruh kedalaman lubang.
2.2.5 Sumur Uji (Test Pit)
Pekerjaan sumuran uji atau test pit adalah untuk mengetahui jenis dan tebal lapisan di bawah permukaan tanah dengan lebih jelas, baik untuk pondasi bangunan maupun untuk bahan timbunan pada daerah sumber galian bahan (borrow area). Dengan demikian akan dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai jenis lapisan dan tebalnya, juga volume bahan galian yang tersedia dapat dihitung. Potongan melintang sebuah sumuran uji harus cukup besar untuk memungkinkan dilakukannya pekerjaan penggalian, yakni sekitar 1,5 x 1,5 m dengan kedalaman 3 sampai 5 meter. Pelaksana pekerjaan harus dapat menginterpretasikan lokasi borrow area dengan baik misalnya jenis bahan timbunan untuk inti bendungan.
II - 11 Paritan uji adalah galian yang dibuat dengan bentuk seperti parit dengan tujuan untuk mengetahui lebih jelas gejala – gejala geologi di permukaan, misalnya batas atau bidang kontak lapisan – lapisan batuan, rekahan (fracture), patahan, tingkat pelapukan dan tebal lapisan penutup (over burden). Paritan uji umumnya dibuat pada lereng, tumpuan (abutment), dapat memotong garis tinggi atau sejajar garis tinggi. Dimensi Paritan : panjangnya disesuaikan dengan keadaan lereng dan tujuan penyelidikan, dapat berkisar dari sepuluh sampai dua puluh meter panjang sedangkan lebarnya secukupnya supaya orang atau alat mudah bekerja, minimal (1,50 – 2,00) meter jika pekerjaan dilaksanakan dengan tenaga manusia. Untuk kedalaman uji jika lapukan/tanah penutup tidak tebal, sampai ke lapisan keras. Jika tebal, kedalaman sampai 3 meter.
2.2.7 Pemboran Tangan
Untuk pemboran ini digunakan peralatan bor tanah yang ringan, dan dapat dioperasikan dengan tangan untuk mengambil contoh tanah dari lubang bor. Alat itu dipakai cocok untuk menyelidiki lempung lunak sampai teguh dan hanya dapat dipakai sampai kedalaman 10 m. Diameter lubang bor berkisar antara 12 sampai 15 cm, sehingga contoh tanah mudah diambil. Perlu dingat bahwa bor tangan tidak dipakai untuk penelitian perlapisan kerikil, berangkal maupun bongkah.
II - 12
TABEL 2. 6 Macam Pengujian Di Laboratorium dan Aplikasinya
Ket : 0 = diperlukan uji, - = tidak perlu
III - 1 BAB III
SKEMA SUNGAI DAN KARAKTERISTIK DAS 3.1 Skema Sungai
Dalam perencanaan Embung tidak terlepas dari sumber air yaitu sungai. Perencana harus menampilkan lokasi tinjauan dengan skema sungai yang menggambarkan keterkaitan hidrolis antar bangunan utama/ bangunan pengambil air dengan infrastruktur sepanjang sungai di dalam DAS. Skema sungai memuat semua bangunan utama yang ada di sungai dan anak-anak sungai sampai ordo 3, seperti: bendungan, embung, bendung, jembatan, talang, siphon, dan perkuatan tebing sungai. Di WS Lombok dan WS Sumbawa, banyak terdapat keterkaitan antara bangunan utama baik dalam satu DAS maupun interkoneksi antar DAS basah-kering yang memiliki konsekuensi analisis tertentu. yang berbeda terkait pemanfaatan sumber air yang ada dan detailnya di bahas pada bagian simulasi pemanfatan air.
Contoh gambar skema sungai dan syarat penggambaran pada Gambar 3.1
III - 2
MA SESULE CS (R )
NG
MA SEMBUANG CS (R )
SUNGAI JANGKOK SUNGAI SESAOT SUNGAI SEGENTER
MA SESAOT 1 CS (L) MA JERANGAH CS (R ) MA PENGKOAK CS (R ) AW LR JR MALANG IR JURANG MALANG AW LR AIKNYET
B/S SESAOT BS SSAOT FDER
MA BENTOYANG ( R) MA SESAOT 2 CS (R ) BS JANGKOK MA AIKNYET (R ) ARR SESAOT MA PENGKULUR CS (R ) BE SESAOT SUNGAI SEKOT B MONT MA PERAPI - GUA CS (R ) B NYURBAYA MA SARASUTA (R ) PDAM SARASUTA B MENCONGAH B MENJELI SUP MIDANG B/S R PANCOR B MATARAM BE SAYANG SELAT LOMBOK 1. Garis
No Jenis Garis Warna Tebal Garis 1 Sungai Utama Hitam 4.5
2 Sungai Orde 1 Hitam 3.25 3 Sungai Orde 2 Hitam 2.5 4 Sungai Orde 3 Hitam 1.75 5 Sungai Orde 4 Hitam 1.25 6 Suplesi Merah 2.25 7 HLD Merah 3.25 2. Legenda
No Nama Bangunan Singkatan Simbol 1 Bendungan BD
2 Bendung Pemerintah B 3 Bendung Provinsi B 4 Bendung Kabupaten B 5 Bendung Irigasi Desa B Irdes 6
Bangunan
Pengambilan Air (BPA) PLTMH/PLTA BPA 7 Bangunan Pelimpah BP 8 Pengambilan Bebas PB 9 CekDam /Groundsill CD 10 Sungai Utama -11 Anak Sungai -12 Saluran HLD -13 Sal.Suplesi mengalir terus menerus S 14 Sal.Suplesi mengalir terputus putus S 15 Arah Mata Air -16 Mata Air MA 17 Embung (In Stream)Pemerintah E 18 Embung (In Stream)Provinsi E 19 Embung (In Stream)Kabupaten E 20 Embung Lapangan (Off Stream) E 21 Tambang Pasir TP 22 Power House PLTMH/PLTA PH 23 AWLR -24 ARR -25 PCH / MRG -26 POS IKLIM CRS 27 Rumah Jaga Operator -28 Sipon SP 29 Talang TL 30 Jembatan JB 31 Return Flow RF 32 Reservoar PDAM PDAM 33 Genangan banjir GB
III - 3 3.2 Karakteristik DAS
Air yang mengalir pada alur sungai selain ditentukan oleh besarnya hujan juga di pengaruhi oleh jaringan alur alam DAS, bentuk DAS, Morfologi DAS, jenis tanah, jenis tumbuhan dan lain-lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi limpasan yang masuk ke sungai adalah berupa “Faktor Bentuk DAS” dan “Koefisien Kerapatan DAS” yang sebagaimana tergambarkan dalam peta pada Gambar 3.2 sampai dengan Gambar 3.5
Koefisien tersebut dapat digunakan sebagai acuan awal dalam
menentukan lokasi AWLR untuk keperluan kalibrasi hidrograf hujan aliran pada DAS yang tidak tersedia pencatatan debit.
III - 4
III - 5
III - 6
III - 7
III - 8
3.3 Daerah Pengaruh Stasiun Hujan
III - 9
IV - 1
BAB IV
HIDROLOGI
4.1 DEBIT BANJIR RANCANGAN
4.1.1 Alur Perencanaan
a. Debit banjir rancangan dihitung berdasarkan catatan debit, jika
pada titik lokasi studi/rencana terdapat catatan debit puncak cukup panjang > 20 tahun yang dianalisis frekuensi secara statistik. Software statistik seperti EasyFit dan Minitab yang mengidentifikasi lebih dari 50 jenis distribusi data dengan sangat mudah, cepat dan tepat dapat.
b. Jika pada titik lokasi studi/rencana hanya terdapat catatan debit
puncak < 20 tahun atau tidak ada tersedia, maka debit banjir rancangan dapat dihitung menggunakan pendekatan hujan aliran
(diutamakan metode Nakayasu), berdasarkan hujan wilayah yang
diutamakan dari hasil analisis metode Isoyet dengan data hujan
yang digunakan adalah data hujan harian maksimum annual
series (acak). Debit yang dihasilkan harus terkalibrasi dengan data debit AWLR. Jika pada titik lokasi studi/rencana dan DAS-DAS yang berdekatan tidak terdapat catatan debit, maka debit banjir rancangan yang dihasilkan dibandingkan dengan hasil perhitungan tinggi profil banjir di lapangan sesuai dari jejak banjir yang pernah terjadi.
IV - 2 Gambar 4.1 Bagan Alir Perhitungan Banjir Rancangan
4.1.2 Peta Acuan Isoyet hujan rancangan dan Peta gambaran Koefisien Pengaliran
Untuk acuan awal analisis, di bawah ini ditampilkan gambaran isoyet hujan kala ulang 5, 10, 20, 50, 100, 1000 tahunan dan gambaran koefisien pengaliran WS Lombok dan WS Sumbawa.
IV - 3 Gambar 4.2 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Lombok
IV - 4 Gambar 4.3 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Sumbawa
IV - 5 Gambar 4.4 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Lombok
IV - 6 Gambar 4.5 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Sumbawa
IV - 7 Gambar 4.6 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Lombok
IV - 8 Gambar 4.7 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Sumbawa
IV - 9 Gambar 4.8 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Lombok
IV - 10 Gambar 4.9 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Sumbawa
IV - 11 Gambar 4.10 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun WS Lombok
IV - 12 Gambar 4.11 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun WS Sumbawa
IV - 13 Gambar 4.12 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun WS Lombok
IV - 14 Gambar 4.13 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun WS Sumbawa
IV - 15 4.2 DEBIT ANDALAN (QA)
4.2.1 Alur Perencanaan
a. Debit Andalan dengan probabilitas 50, 80, 90, 95% ditentukan
berdasarkan catatan debit ≥ 20 tahun dan diolah dengan software statistik.
b. Jika pada titik lokasi studi/rencana hanya terdapat catatan debit
andalan yang baik < 20 tahun, maka debit andalan dihitung menggunakan pendekatan model hujan-aliran berdasarkan hujan wilayah yang diutamakan dari metode Isoyet. Metode perhitungan
ketersedian air diutamakan dengan Metode Mock dan Metode
Nreca. Debit yang dihasilkan harus di kalibrasi dengan data debit AWLR, jika pada titik lokasi studi/rencana dan DAS-DAS yang serupa tidak terdapat catatan debit, maka debit andalan dikalibrasi dengan membandingkan dengan membandingkan hasil hitungan terhadap debit yang diobservasi menggunakan current meter.
IV - 16 4.2.2 Peta Acuan Awal Isohyet Keandalan Curah Hujan
4.2.2.1 Peta R80 WS Lombok
IV - 17
IV - 18
IV - 19
IV - 20
IV - 21
IV - 22
IV - 23
IV - 24
IV - 25
IV - 26
IV - 27
IV - 28
IV - 29
IV - 30
IV - 31
IV - 32
IV - 33 4.2.2.1.1 WS Sumbawa
Gambar 4.32 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Januari I WS Sumbawa
IV - 34
Gambar 4.33 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Januari II WS Sumbawa
IV - 35
Gambar 4.34 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Februari I WS Sumbawa
IV - 36
Gambar 4.35 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Februari II WS Sumbawa
IV - 37
Gambar 4.36 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Maret I WS Sumbawa
IV - 38
Gambar 4.37 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Maret II WS Sumbawa
IV - 39
Gambar 4.38 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan April I WS Sumbawa
IV - 40
Gambar 4.39 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan April II WS Sumbawa
IV - 41
Gambar 4.40 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Mei I WS Sumbawa
IV - 42
Gambar 4.41 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Mei II WS Sumbawa
IV - 43
Gambar 4.42 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Juni II WS Sumbawa
IV - 44
Gambar 4.43 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Oktober II WS Sumbawa
IV - 45
Gambar 4.44 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan November I WS Sumbawa
IV - 46
Gambar 4.45 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan November II WS Sumbawa
IV - 47
Gambar 4.46 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Desember I WS Sumbawa
IV - 48
Gambar 4.47 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Desember II WS Sumbawa
IV - 49 4.2.3 Peta Gambaran awal estimasi parameter masukan Metode MOCk
4.2.3.1 Peta Koefisien Infiltrasi WS Lombok
IV - 50 4.2.3.1.1 Peta Koefisien Infiltrasi WS Sumbawa
IV - 51 4.2.3.2 Peta Faktor resesi (K) WS Lombok
IV - 52 4.2.3.2.1 Peta Sebaran Resesi (k) WS Sumbawa
IV - 53 4.2.3.3 Peta Parameter SMC WS Lombok
IV - 54 4.2.3.3.1 Peta Parameter SMC WS Sumbawa
IV - 55 4.2.3.4 Peta parameter GWS
4.2.3.4.1 Peta Parameter WS Lombok
IV - 56 4.2.3.4.2 Peta Parameter GWS WS Sumbawa
IV - 57 4.2.4 Peta Gambaran estimasi parameter masukan Metode NRECA
4.2.4.1 Koefisien PSUB 4.2.4.1.1 WS Lombok
IV - 58 4.2.4.1.2 WS Sumbawa
IV - 59 4.2.4.2 Peta Sebaran Koefisien GWF
4.2.4.2.1 WS Lombok
IV - 60 4.2.4.2.2 WS Sumbawa
IV - 61 4.3 DEBIT KEBUTUHAN (QD)
4.3.1 Kebutuhan air Domestik dan Non Domestik Tabel. 4.1 Kategori Kota
Katagori Status Kota Jumlah Penduduk
I. II. III. IV. V. VI. Metropolitan Besar Sedang Kecil IKK Desa >1.000.000 Jiwa 500.000-1.000.000 Jiwa 1.000.000-500.000 Jiwa 20.000-100.000 Jiwa 3.000-20.000 Jiwa <3.000 Jiwa
Tabel 4.2 Kebutuhan Air Domestik No. Uraian
Katagori Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk (Jiwa)
>1.000.000 Metro 500.000-1.000.00 0 Besar 1.000.00 0-500.000 Sedang 20.000-100.000 Kecil <20.000 Desa 1 Konsumsi unit sumbangan rumah (SR) l/o/h 190 170 150 130 30 2 Konsumsi Unit Hidran Umum (HU) l/o/h 30 30 20-30 30 30 3 Konsumsi Domestik (%) Unit Non 20-30 20-30 20-30 20-30 20-30 4 Kehilangan 20-30 20-30 1,1 20-30 20 5 Faktor Maksimum day 1,1 1,1 1,5 1,1 1,1 6 Faktor Peak-Hour 1,5 1,5 6 1,5 1,5 7 Jumlah Jiwa per SR 5 5 100 6 10 8 Jumlah jiwa per HU 100 100 10 100-200 200 9 Sisa tekan di jaringan distribusi (mka) 10 10 24 10 10 10 Jam oprasi 24 24 20 24 24 11 Volume Reservoir (%) (Max day deamend) 20 20 80:20 20 20 12 SIR: Hu 50:50 s/d 70:30 50:50 s/d
80:20
80:20
80:20 70 30 13 Cakupan pelayanan (*) **)90 **) 90 *) 90 **) 90 ***) 70
*) Tergantung survey social ekonomi **) 60% perpipaan, 30 % non perpipaan ***) 25% perpipaan, 45 % no perpipaan
Kebutuhan Non Domestik Kota-Kota Kategori I, II, III, IV, V
Sekolah : 10 I/murid/hari
Rurnah Sakit : 200 1/tempat tidur/hari
Puskesmas : 2 m3/hari
IV - 62
Kantor : 10 I/pegawai/hari
Pasar : 12 m3/hektar/hari
Hotel : 150 1 /ternpat tidur/hari
Rumah Makan : 100 1 /tempat duduk/hari
Komplek Militer : 601/orang/hari
Kawasan Industri : 0,2 - 0,8 1/dt/ha
Kawasan Pariwisata : 0,1 - 0,3 1/dt/ha
Kebutuhan Non Domestik Kota Kategori V
Sekolah : 5 1/murid/hari
Rumah Sakit : 200 l/tempat tidur/hari
Puskesmas : 1.200 1/hari
Hotel/Losmen : 90 1/tempat tidur/hari
Komersil/Industri : 10 1/pekerja/hari
4.3.1 Kebutuhan air Irigasi
Perhitungan air untuk kebutuhan irigasi tiap hektar didasarkan atas faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kebutuhan air tanaman di sawah, mengikuti (KP-01).
Besaran Evapotranspirasi untuk WS Lombok berkisar 2,5 – 5,5 mm/hari dan WS Sumbawa berkisar antara 3 – 6,5 mm/hari.
IV - 63 Gambar 4.60 Peta Sebaran Perkolasi WS Lombok
IV - 64 Gambar 4.61 Peta Sebaran Perkolasi WS Sumbawa
V-1
BAB V
PERENCANAAN BANGUNAN
5.1 PEMILIHAN LOKASI SITE EMBUNG
Dalam menentukan lokasi embung pada masing-masing pekerjaan,
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tujuan pembangunan embung/bendungan
2. Keadaan topografi, tempat embung/bendunganharus tersedia untuk
menampung air, lebih disukai yang keadaan geologi tekniknya yang tidak lulus air sehingga kehilangan air sedikit
Tabel 5.1 Klasifikasi Kelulusan Air
3. Keadaan hidrologi klimatologi dan rencana bahan timbunan yang
tersedia di lokasi
4. Hasil galian tanah sedapat mungkin bisa dimanfaatkan untuk bahan
urugan (bila embung dari urugan tanah), pondasi embung dan tanah rendah
5. Lokasi dekat dengan desa yang memerlukan air sehingga jaringan
distribusi tidak begitu panjang dan tidak banyak kehilangan energi
V-2
5.2 DESAIN BANGUNAN UTAMA
5.2.1 Tinggi Rencana Muka Air Embung Muka air rendah (low water level)
Persamaan matematis penentuan volume tampungan mati ( umur efektif embung 25 tahun) adalah :
Vd = Er. Vr . Ca . Lt . Te . Dr / 1000
dimana :
Vd = volume tampungan mati (juta m3) Er = laju erosi tahunan (mm/tahun) Ca = luas daerah aliran sungai (km2) Lt = usia guna Embung (tahun) Te = trap efficiency
Dr = perbandingan unit dry densities sedimen di DTA dan di
embung.
V-3
V-4
V-5
V-6
V-7
Muka air normal (normal water level)
Titik ini merupakan posisi puncak (mercu) pelimpah. Secara teknis, tinggi muka air normal ditetapkan setelah tampungan efektif
Embung/bendungan ditetapkan, dan dengan memasukkan
parameter volume tampungan efektif ditambah volume tampungan mati ke dalam lengkung kapasitas Embung/bendungan, maka akan didapatkan elevasi muka air normal.
Muka air banjir (high water level)
Muka air banjir merupakan kedudukan muka air maksimum di Embung/bendungan yang nilainya akan sangat dipengaruhi oleh dimensi bangunan pelimpah, dan debit banjir yang terjadi. Secara teknis analisis akan dilakukan dengan data masukan debit banjir rancangan sesuai patokan perancangan yang telah ditetapkan. Patokan perancangan dalam studi ini ditetapkan dengan kala ulang
100 tahun dikontrol terhadap banjir kala ulang 1000 tahun, dan
hasil yang diperoleh harus mampu mengantisipasi debit banjir
maksimum (peak maximum flood). Penentuan besarnya tampungan
banjir ini harus dilakukan secara bersama-sama dengan penetapan tipe dan dimensi pelimpah.
5.2.2 Konstruksi Embung/Bendungan
Berdasarkan kuantitas konstruksi yang telah dilaksanakan, dan telah berfungsi konstruksi embung/bendungan di Indonesia mempunyai kecenderungan untuk menggunakan konstruksi urugan.
Klasifikasi
Embung.bendungan urugan diklasifikasikan dalam tipe homogen, zonal dan sekat. Selain itu Embung/bendungan urugan
V-8
diklasifikasikan dari materialnya yaitu urugan tanah dan urugan batu.
Berdasarkan klasifikasinya, maka konstruksi embung/bendungan
mempunyai inti (core). Material inti timbunan embung/bendungan
harus dipertimbangkan dengan ketersediaan dan pemakaian material di daerah sekitar lokasi yang mempunyai kualitas tertentu. Dalam perencanaan tebal lapisan kedap air harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Koefisien permeabilitas dari material.
Resistivity terhadap piping misalnya gradasi dan plastisitasmaterial asal dengan gradasi dari material yang dicampurkan.
Ketahanan terhadap gempa.5.2.3 Pemilihan Tipe Embung/Bendungan
Pemilihan tipe embung/Bendungan sesuai kriteria Japanese National
Committee on Large Dams (1976) didasarkan pada tinggi
embung/bendungan, kualitas dan kuantitas material yang ada, kondisi topografi dan geologi tapak Embung/bendungan, meteorologi dan waktu pelaksanaan.
1. Tinggi tubuh embung/bendungan
Tinggi maksimum untuk embung tidak lebih dari 15 meter.
2. Kualitas dankuantitas material yang ada
Tipe Embung/bendungan juga dipengaruhi oleh ketersediaan material yang ada di sekitar lokasi tapak embung/bendungan yang diperoleh dari hasil pekerjaan galian. Misalnya material tanah tersedia berlimpah tetapi material lolos air sedikit, maka menggunakan tipe homogen.
V-9
Gambar 5.5 Kelulusan Air Untuk Tanah
3. Topografi
Secara umum embung/bendungan urugan cocok untuk jenis topografi tapak Embung/bendungan dengan sandaran yang tidak curam (relatif landai). Jika abutment relatif curam, tetapi tetap menggunakan tipe urugan, tipe sekat perlu perhatian khusus dan cenderung tidak menguntungkan, karena penurunan tubuh embung/ bendungan akan mengakibatkan kerusakan pada sekatnya.
4. Geologi
Faktor pondasi embung/bendungan perlu mendapat perhatian yang
serius, karena akan berkaitan dengan stabilitas tubuh
embung/bendungan dan biaya perbaikan pondasi. Jika pondasi
berupa batuan keras, maka tipe embung, dan tinggi
V-10
pondasinya tanah, maka tinggi embung/bendungan bukan merupakan prioritas.
5. Meteorologi dan Geofisika
Saat musim hujan jumlah hari kerja terbatas dengan kondisi cuaca, maka lebih cocok menggunakan tipe embung/bendungan yang sedikit menggunakan material tanah.
5.2.4 Dimensi Embung Tinggi Embung
Tinggi embung/bendungan adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi, dan elevasi mercu embung/ bendungan. Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap air atau dasar dari zone kedap air. Apabila pada embung/ bendungan tidak terdapat dinding kedap air atau zone kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi hulu mercu embung/bendungan dengan permukaan pondasi alas embung/bendungan.
Panjang Embung/Bendungan
Panjang embung/bendungan adalah seluruh panjang mercu embung yang bersangkutan, termasuk bagian yang digali pada tebing-tebing sungai di kedua ujung mercu tersebut. Apabila bangunan pelimpah atau bangunan penyadap terdapat pada ujung-ujung mercu, maka lebar bangunan-bangunan tersebut diperhitungkan pula dalam menentukan panjang embung/bendungan.
Jagaan (Freeboard)
Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan air maksimum rencana air embung/bendungan dengan elevasi mercu embung/bendungan. Dalam menentukan tinggi jagaan perlu diperhatikan berbagai faktor yang mungkin akan mempengaruhi eksistensi dari calon embung/bendungan antara lain :
V-11
Pertimbangan-pertimbangan tentang karakteristik dari banjirabnormal
Kemungkinan timbulnya ombak-ombak besar dalam waduk yangdisebabkan oleh angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi.
Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luardugaan, karena timbulnya kerusakan-kerusakan atau kemacetan-kemacetan pada bangunan pelimpah.
Tinggi jagaan (Hf) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
(Suyono, Takeda, 1989):
dimana :
h
= tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk yang
terjadi akibat timbulnya banjir abnormal (m)
hw = tinggi ombak akibat tiupan angin (m)
he = tinggi ombak akibat gempa (m)
ha = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk,
apabila terjadi kemacetan-kemacetan pada bangunan pelimpah (m)
hi = tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi
dari waduk (m)
Lebar Mercu Embung/Bendungan
Lebar mercu embung/bendungan yang memadai diperlukan agar puncaknya dapat bertahan terhadap hempasan ombak di atas permukaan lereng yang berdekatan dengan mercu tersebut, dan
i a e w f h h h h H 2 i a e w f h h h atau h h H 2
V-12
dapat bertahan terhadap aliran filtrasi yang melalui bagian puncak tubuh embung/bendungan yang bersangkutan. Selain itu pada penentuan lebar mercu perlu pula diperhatikan kegunaannya sebagai jalan inspeksi dalam keperluan operasi dan pemeliharaan, namun tidak menutup kemungkinan dalam penentuannya didasarkan pada kegunaannya sebagai jalur lalu lintas umum. Guna mendapat lebar minimum mercu embung/bendungan (b), dapat ditentukan dengan persamaan menurut Suyono Sosrodarsono (1989) yang menggunakan parameter tinggi embung/ bendungan (H).
b = 3.6 . H1/3 - 3.0
dimana : b = lebar mercu (m) H = Tinggi Embung (m)
5.3 ANALISIS STABILITAS 5.3.1 Analisis Stabilitas Lereng
Untuk pedoman pendahuluan pcrencanaan kemiringan tanggul dapat dipakai Bilangan Stabilitas Taylor. Untuk kemiringan-kemiringan yang lebih penting dibutuhkan analisis yang lebih lengkap, yaitu dengan metode Irisan Bishop (Bishop method of slices) dan metode lainnya.
H F N C di mana; c = faktor kohesi, kN/m2 F = faktor keamanan (= 1,2) = berat volume, Kn/m3 H = tinggi lereng, m.
V-13
Gambar 5.6 Kurve-kurve Taylor untuk stabilitas tanggul (dan Capper, 1976)
Pembebanan untuk analisis stabilitas lereng embung harus mempertimbangkan kondisi-kondisi berikut:
a. Selesai pembangunan baik untuk lereng hilir maupun udik.
b. Keadaan langgeng (steady seepage) lereng hilir maupun udik.
c. Keadaan lsurut cepat (rapid draw down) lereng udik.
5.3.2 Stabilitas Terhadap Aliran Filtrasi
Baik tubuh embung/bendungan maupun pondasinya harus mampu menanggulangi gaya- gaya yang ditimbulkan oleh adana air filtrasi yang mengalir melalui celah-celah antara butiran-butiran tanah pembentuk tubuh embung/bendungan dan pondsi tersebut. Untuk mengetahui kemampuan daya tahan tubuh embung/bendungan serta pondasinya terhadap gaya-gaya tersebut diatas, maka perlu dikaji hal-hal sebagai berikut :
V-14
- Formasi garis depresi (seepage line formation) dalam tubuh
embung/bendungan dengan elevasi tertentu permukaan air dalam waduk yang direncanakan.
- Kapasitas air filtrasi yang mengalir melalui tubuh dan pondasi
embung/bendungan.
- Kemungkinan terjadinya gejala sufosi (piping) yang disebabkan oleh
gaya- gaya dinamis dalam aliran air filtrasi.
Hal-hal seperti tersebut diatas dapat diketahui dengan mendapatkan formasi garis depresi (seepage line formation) dalam tubuh bendungan dan membuat suatu jaringan trayektori aliran filtrasi (seepage flow-net) dalam tubuh serta pondasi embung/bendungan.
a. Formasi Garis Depresi
Formasi Garis Depresi pada zone kedap air suatu
embung/bendungan dapat diperoleh dengan metode Casagrande. Apabila angka permeabilitas vertikalnya (kv) berbeda dengan angka permeabilitas horisontalnya (kh), maka akan terjadi
deformasi garis depresi dengan mengurangi koordinat
horisontalnya sebesar kvkhkali.
Gambar 5.7 Garis depresi pada embung/bendungan homogen
b. Pembuatan jaringan trayektori aliran filtrasi (seepege flow-net)
Berbagai metode telah dikembangkan untuk membuat jaringan trayektori aliran filtrasi pada embung/bendungan urugan dna metode yang paling sesuai dan sederhana adalah metode grafis
V-15
dapat mencapai hasil yang baik jika dikerjakan oleh tenaga ahli yang cukup berpengalaman.
Contoh jaringan trayektori aliran filtrasi (flow-net) dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 5.8 Contoh jaringan trayektori aliran filtrasi dalam tubuh embung/bendungan
5.3.3 Perhitungan Rembesan
Untuk menghitung tekanan air tanah dihitung dengan menganalisa jalur rembesan dengan menggunakan metode Lane yang juga disebut angka rembesan lane (weighted creep ratio method). Angka rembesan menurut lane adalah (KP-02, 1986):
H L L C h v L
3 1 dengan :Lv = panjang rembesan arah vertikal (m), Lh = panjang rembesan arah horizontal (m), ΔH = perbedaan tinggi air hulu dan hilir (m), CL = angka rembesan menurut Lane.
P = H – ΔH dengan :
P = tinggi tekanan air pada titik X (m), H = jarak jalur rembesan pada titik X ( m),
V-16
ΔH = beda tinggi energi (m).
Tabel 5.2 Harga-harga minimum angka rembesan Lane (Cl)
No Uraian Minimum Angka Rembesan Lane 1 Pasir sangat halus atau lanau 8.50 2 Pasir halus 7.00 3 Pasir sedang 6.00 4 Pasir kasar 5.00 5 Kerikil halus 4.00 6 Kerikil Sedang 3.50 7 Kerikil kasar termasuk berakal 3.00 8 Bongkah dengan sedikit berakal dan kerikil 2.50 9 Lempung lunak 3.00 10 Lempung sedang 2.00 11 Lempung keras 1.80 12 Lempung sangat keras 1.60
Sumber : Kriteria Perencanaan 02, 1986
5.3.4 Perhitungan Tebal Lantai Kolam Olak
Akibat adanya rembesan di bawah tubuh embung/bendungan, maka setiap titik pada konstruksi akan menerima tekanan baik ke atas
maupun ke samping yang disebut dengan daya angkat (uplift
pressure). Pada lantai hulu, karena di atasnya selalu ada air minimal
setinggi mercu yang akan mengimbangi tekanan ke atas, disamping tekanan pada daerah ini masih relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada daerah ini tidak berbahaya dan dapat diabaikan. Dengan demikian lantai hulu ini tidak perlu terlalu tebal. Yang penting lantai ini haruslah kedap air dan tidak mudah pecah, sehingga fungsinya untuk memperpanjang jalur rembesan tetap terpenuhi.
V-17
karena tekanan rembesan pada daerah ini relatif lebih besar dan di atas lantainya sering kosong (tidak ada air) atau lapisan airnya relatif tipis. Dengan demikian maka tebal lantai kolam ini harus diperhitungkan agar jangan sampai terdorong ke atas, yang harus
diimbangi oleh berat lantai itu sendiri. Besarnya tekanan uplift
tersebut ditentukan dengan persamaan (KP-02, 1986) :
ΔH . L I H P x x x dimana :
Px = daya angkat pada titik X, (t/m)
Hx = tinggi energi di hulu bendung sampai titik X (m)
Ix = panjang jalur rembesan sampai dengan titik X (m)
L = panjang jalur rembesan total (m)
H = beda tinggi energi total (m)
Untuk mengetahui apakah tebal lantai kolam olakan aman atau tidak, maka ditinjau pada titik yang paling kritis yakni dengan tebal kolam olak paling tipis. Pada saat air normal, di atas lantai dianggap tidak ada air. Maka tekanan ke atas adalah Px, sedangkan tekanan ke bawah adalah berat lantai pada titik yang bersangkutan. Tiap bagian bangunan diandaikan berdiri sendiri dan tidak mungkin ada
distribusi gaya-gaya melalui momen lentur. Oleh sebab itu, tebal lantai kolam olak dihitung dengan rumus sebagai berikut (KP-02, 1986): γ W P S dx x x dimana:
dx = tebal lantai pada titik X, m
Px = gaya angkat pada titik X, kg/m2
Wx = kedalaman air pada titik X, m
V-18
S = faktor keamanan
5.3.5 Stabilitas Terhadap Guling Keadaan Normal: 50 . 1 Mg Mt SF Keadaan Gempa: 30 . 1 Mg Mt SF dengan: SF = faktor keamanan
∑Mt = jumlah momen tahan (tm) ∑Mg = jumlah momen guling (tm)
Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan antara lain ():
1. Tekanan air
a. Tekanan hidrostatik
b.Tekanan hidrodinamik
2. Tekanan tanah
a. Tekanan tanah aktif
b.Tekanan tanah pasif
c. Tekanan sedimen/Lumpur
3. Beban mati
Beban mati adalah berat sendiri dari struktur termasuk material pengisinya. Menurut Standar nasional Indonesia, berat satuan dari berbagai material diuraikan sebagai berikut:
V-19
No Jenis Material Berat Satuan (t/m3)
1 Baja 7.85
2 Batu galian, batu kali (tidak dipadatkan) 1.50 3 Batu koral 7.25 4 Besi tuang 0.70 5 Beton 2.20 6 Beton bertulang 2.40 7 Kayu kelas I 1.00 8 Kayu kelas II 0.80 9 Kerikil 1.65 10 Mortal/adukan 2.15 11 Pasangan Bata 1.70 12 Pasangan batu 2.20 13 Pasir (kering udara sampai lengas) 1.60 14 Pasir (basah) 1.80
15 Air 1.00
16 Tanah lempung dan lanau (kering udara sampai lengas) 1.70 17 Tanah lempung dan lanau (basah) 2.00
4. Gaya tekan ke atas (Uplift)
Akibat bangunan embung/bendungan terendam di air, maka akan mendapatkan gaya angkat ke atas yang akan mengurangi berat efektif bangunan itu sendiri (lihat sub bab 5.3.4)
5. Beban gempa
Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
W
.
k
k
w
h dengan: kw = Gaya gempa (t) kh (E) = Koefisien gempa W = Berat bangunan (t)V-20
Koefisien gempa dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ad = n (aC *Z)m,
g a
E d di mana:
ad = percepatan gempa rencana, cm/dt2
n, m = koefisien untuk jenis tanah (lihat Tabel 5.6)
aC = percepatan kejut dasar, cm/dt (untuk harga
per periode ulang lihat Tabel 5.6 ).
E = koefisien gempa
g = percepatan gravitasi, cm/dt2 ( 980)
z =f aktor yang bergantung kepada letak geografis (Koefisien Zona lihat
Tabel 5.6 )
Tabel 5.4 Koefisien Zona gempa pada Zona A,B,C,D,E,F
ZONA KOEFISIEN ZONA Z
A 0,10 – 0,30 B 0,30 – 0,60 C 0,60- 0,90 D 0,90 – 1,20 E 1,20 -1,40 F 1,40 – 1,60
Sumber : RPT 4, Analis Stabilitas Bendungan Tipe Urugan Akibat Gempa
Tabel 5.5 Periode ulang dan percepatan dasar gempa, ac Periode ulang *) tahun ac *) (gal = cm /dt2) 10 20 50 100 200 500 1000 5000 90 120 190 220 250 280 330