PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA
eberapa tahun belakangan ini, kehidupan bangsa dan negara kita mengalami ketidakpastian dan kekerasan y a n g t e r j a d i d i m a n a - m a n a . N e g a r a y a n g d u l u t e r k e n a l penuh kedamaian, ketenangan, keramahan dan sikap saling hormat menghormati satu sama lain. Keramahan yang merupakan warisan luhur nenek moyang yang tak ternilai, namun saat ini semua itu lenyap tidak berbekas. Konsumerisme yang menghantam s e m u a s i s i k e h i d u p a n d a n materialisme telah memunculkan masyarakat yang tidak peka terhadap keadaan dan cenderung hanya memikirkan keuntungan diri sendiri. Meskipun kita tidak juga sepenuhnya dapat menyalahkan konsumerisme dan materialisme tersebut, jika setiap individu mempunyai "filter diri" yang baik. Korupsi merajalela, penyalahgunaan kekuasaan, bahkan alam pun menjadi tidak ramah lagi. Ada apa dengan
bangsa ini ? Tentu semua orang bertanya, kenapa perubahan yang terjadi begitu drastis!
Satu hal yang berubah adalah cara pandang atau filosofi
KEDAMAIAN DALAM
BUDDHISME
Oleh: Shami Josho S.Ekaputra
kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kebenaran. Nilai keagamaan dan kebenaran bukan hanya sekedar dalam ayat-ayat suci sebuah kitab suci atau sutra saja, namun nilai ini harus mengakar dan menjadi “Way of Life” dari setiap pemeluknya. Kita sebagai seorang Buddhis, tentu saja dapat melihat semua ini dengan lebih jernih dan mendalam. Semua kejadian ada sebab maka ada akibat. Kehidupan negara yang demikian sulit juga karena sebab-sebab yang kita buat sendiri sadar atau tidak sadar. Kita melupakan rasa toleransi, welas asih, menghargai dan menghormati antara sesama manusia hanya untuk mengejar k e s e n a n g a n p r i b a d i . I n i l a h dinamakan kesesatan pandangan, ya ! negara kita sedang berada dalam "Kesesatan Pandangan."
Pandangan yang menempatkan nilai-nilai konsumerisme dan materialisme sebagai tujuan, telah membelokkan sisi-sisi kemanusiaan dan menlukai sifat-sifat luhur dan agung.
O r a n g - o r a n g l e b i h senang mengunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Penyelesaian dengan melandaskan kebencian, selalu akan memicu k e t i d a k a d i l a n , d a n a k a n memunculkan persoalan baru dikemudian hari. Buddhisme menentang segala kekerasan dan kebencian, karena pada dasarnya kebencian hanya akan menghasilkan kebencian baru. Demikian seterusnya tidak akan selesai.
NILAI KEHIDUPAN
ekitar 700 tahun yang lalu di Jepang, seorang Maha Bodhisattva, Nichiren S h o n i n , s e o r a n g r e f o r m i s Buddhisme menuliskan sebuah surat untuk murid-muridnya, sebagai berikut:
“Kita harus menghargai semua kehidupan mulai dari yang paling bijaksana sampai yang paling rendah, serta juga kepada binatang seperti nyamuk atau mahluk lainnya. Oleh karena itu, perbuatan apa pun yang tidak menghargai kehidupan adalah sebuah kejahatan terbesar. Ketika Sang Tathagata muncul didunia saha ini, Ia menunjukkan welas asih yang besar terhadap semua kehidupan dengan membabarkan ajaranNya. Untuk menunjukkan rasa welas asihnya, Ia tidak melakukan pembunuhan untuk makanan dan minumanNya dan ini merupakan wujud utama ajaranNya.” ( Myomitsu Shonin
Goshosoku, 1276)
N i c h i r e n S h o n i n menjadikan pemahaman dan nilai-nilai ini sebagai wujud p e n g h a r g a a n b a g i s e b u a h k e h i d u p a n y a n g m e n g a c u pada apa yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Nilai-nilai
kemanusiaan dalam Buddhisme
dicerminkan dalam Pancasila
Buddhis yakni; Tidak Membunuh, Tidak Mencuri, Tidak Berzinah, Tidak Berbohong, Tidak Meminum Minuman Keras. Jika kita mampu
menempatkan nilai-nilai ini dalam hati, pikiran dan badan kita, maka segala kekerasan, kebencian dan pertengkaran akan terhindarkan. Saddharma
Pundarika Sutra juga mengajarkan
tentang “Way Of Life” melalui berbagai pembabaran dan contoh perumpamaan yang diajarkan, seperti :
1 . S i k a p M e n g h o r m a t i d a n
Menghargai, BAB.II, Upaya
K a u s a l y a d a n B A B . X X , Bodhisattva Sadaparibhuta 2. Sikap Welas Asih, BAB.XXV,
Bodhisattva Avalokitesvara; 3. S i k a p Ti d a k m e m b e n c i ,
Penghargaan dan Kesetaraan manusia dan semua mahluk,
BAB.XII, Devadatta;
4. S i k a p K e j u j u r a n d a n
K e t u l u s a n , B A B . X X V I I I ,
Bodhisattva Samantabadra; 5. S i k a p k e b i j a k s a n a a n ,
pengertian dan keterbukaan,
BAB XXVII dan BAB.XXIII, Bodhisattva Baisajaraga.
Oleh karena itu tidaklah m u s t a h i l b a g i m e r e k a y a n g percaya dan menjalankan dengan sungguh-sungguh ajaran Sang Buddha akan menjadi seorang
y a n g m e n g h a r g a i s e b u a h kehidupan dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, menjadi manusia yang penuh keluhuran budi pekerti dan prilaku. Inilah yang dikatakan “Hukumnya Agung, Manusianya Luhur.”
S i k a p P e n g h a r g a a n terhadap nilai kehidupan diberikan pada semua hal, baik manusia, binatang, tumbuhan, mahluk lain yang kelihatan maupun tidak kelihatan, dan lingkungan alam.
D a l a m D h a m m a p a d a , B u d d h a S a k y a m u n i B u d d h a m e n y a r a n k a n k e p a d a p a r a pengikutnya untuk menempatkan Kita harus menghargai semua kehidupan mulai dari yang
paling bijaksana sampai yang paling rendah, serta juga kepada binatang seperti nyamuk atau mahluk lainnya. Oleh karena itu, perbuatan apa pun yang tidak menghargai kehidupan adalah sebuah kejahatan terbesar.
penghargaan terhadap kehidupan semua mahluk dan mengingatkan u n t u k m e n a h a n d i r i d a r i melakukan kekerasan terhadap mahluk apapun juga.
“ S e m u a o r a n g t a k u t a k a n hukuman, semua orang takut akan kematian, sama halnya seperti kamu. Oleh karena itu j a n g a n l a h m e m b u n u h a t a u menyebabkan pembunuhan. " S e m u a o r a n g t a k u t a k a n hukuman, semua orang mencintai kehidupan, sama halnya seperti kamu. Oleh karena itu janganlah membunuh atau menyebabkan pembunuhan.” (Dhammapada
129-130)
Nichiren Shonin hidup dalam sebuah masyarakat yang sering terlibat dalam peperangan, pembunuhan dan segala bentuk kekejaman, pada masa militerisme yang dikuasai para Shogun. Menghadapi keadaan demikian, I a m e n d a s a r k a n d i r i p a d a
Saddharma Pundarika Sutra,
dan mengajarkan bahwa sudah
sepantasnya semua mahluk hidup saling hormat menghormati.
Karenanya meskipun Beliau mengalami beberapa kali tindakan kekerasan, Ia tidak membalas dengan kekerasan pula, bahkan Ia berusaha memberikan kesadaran bagi mereka yang melakukan kekerasan kepadaNya.
Ini karena semua mahluk m e m p u n y a i p o t e n s i u n t u k mencapai “KeBuddhaan” atau
“Yang Tersadarkan.” Orang “Yang Tersadarkan” adalah seseorang yang penuh dengan keindahan, welas asih, dan kebijaksanaan yang menyinari seluruh alam semesta, mereka b a g a i k a n p e r m a t a h a r a p a n yang tak ternilai atau seperti indahnya bunga teratai. Maka
itu jauhkanlah segala kekerasan disekeliling atau yang diarahkan kepadanya, Nichiren Shonin
m e n e g a s k a n t e n t a n g n i l a i kehidupan dengan menyatakan:
“…..dalam kehidupan ini, hidup itu adalah harta yang paling b e r n i l a i d a r i s e m u a h a r t a . B a h k a n s e m u a h a r t a y a n g ada dialam semesta ini tidak dapat dibandingkan dengan nilai kehidupan itu.” (Jiri Kuyo
Gosho, 1275)
Dalam Buddhisme terdapat
Empat Janji Agung Bodhisattva
yang menjadi Jalan Pelaksanaan seorang Bodhisattva, yakni : 1. Kesadaran Diri adalah tak
t e r h i n g g a , k a m i b e r j a n j i untuk menyelamatkan seluruh mahluk hidup. Mahluk hidup
m e n c a k u p i s e m u a a s p e k kehidupan; manusia, bukan manusia, tumbuh-tumbuhan, b i n a t a n g , a i r, u d a r a d a n alam sekitarnya. Kita harus menghargai segala bentuk k e h i d u p a n d e n g a n t u r u t melestarikannya, menjaga l i n g k u n g a n , m e n c i p t a k a n lingkungan yang lebih baik. 2. Hawa Nafsu kami adalah
tidak terbatas, kami berjanji untuk mengalahkan mereka semua. Hawa nafsu yang tidak
terkontrol akan menyebabkan penderitaan baik bagi diri sendiri maupun orang lain, karena itu kita harus berusaha menjadi “Tuan” dari hawa nafsu bukan “Budak” dari hawa nafsu kita.
3. Ajaran Sang Buddha adalah t i d a k t e r j a n g k a u , k a m i berjanji untuk mempelajari semuanya. Sebagai murid Sang
Semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan kematian, sama halnya seperti kamu. Oleh karena itu janganlah membunuh atau menyebabkan pembunuhan.
Buddha sudah seharusnya kita mempelajari semua ajaranNya dengan baik dan berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
4. Jalan KeBuddhaan adalah
tidak ada bandingannya, kami berjanji untuk mencapai Jalan Kesadaran. Manusia yang
telah mencapai Kesadaran, akan menjadi permata bagi l i n g k u n g a n s e k i t a r n y a , sehingga segala kebaikan, kedamaian dan kebahagiaan akan tercapai, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
MENGAKHIRI KEKERASAN
a d a m a s a k e h i d u p a n N i c h i r e n S h o n i n , pemerintah militer Jepang (KeShogunan Kamakura) sibuk u n t u k m e m p e r s i a p k a n d i r i menghadapi perang terhadap a g r e s i d a r i M o n g o l i a , y a n g ingin menyerang dan menduduki Jepang melalui Korea. Shogun juga menghadapi kekerasan dari kalangan internal dalam mengatasi pemberontakan yang mencoba untuk menduduki istana. Bahkan gerakan keagamaan ditindak dengan kekerasan oleh Shogun untuk mempertahankan otoritas kekuasaan mereka. Nichiren Shonin sendiri menghadapi Empat Penganiayaan Besar dan sejumlah percobaan pembunuhan lainnya, dan salah satu yang paling terkenal adalah hukuman pancung di lapangan Tatsunokuchi. Kejadian lainnya, tiga orang pengikut telah dihukum mati karena mereka t e t a p m e m p e r t a h a n k a n h a t i
kepercayaan kepada Saddharma
Pundarika Sutra, dan Nichiren
Shonin sendiri tidak pernah berkeinginan untuk melakukan balasan, bahkan ia menasihati para pengikutnya berbagai nasihat y a n g m e m b u a t h a t i m e r e k a menjadi damai diantaranya, Ia mengatakan:
“Sekalipun jika dihadapkan dengan senjata dan penyiksaan, seluruh muridKu hendaknya tidak pernah melakukan hal y a n g s a m a . J i k a t e r d a p a t k e l o m p o k l a i n y a n g i n g i n menghancurkan kelompok kita, tolong beritahukan saya segera.”
(Shonin Gonanji 1279)
Nichiren Shonin secara jelas merasa bahwa kekerasan
bukanlah sebuah solusi. Bagi
Nichiren Shonin, nilai kehidupan adalah hati kepercayaan yang tertinggi sebagaimana yang diajarkan dalam Saddharma Pundarika Sutra, dan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian.
Nichiren Shonin, sama seperti halnya Buddha Sakyamuni, menyadari bahwa satu-satunya
cara untuk memutuskan mata rantai kekerasan adalah melalui kekuatan dan keinginan untuk t i d a k m e m b a l a s k e k e r a s a n d e n g a n k e k e r a s a n j u g a . Sebagai gantinya, balaslah kekerasan dengan hati yang kuat untuk mengikuti Dharma, semangat memaafkan dan saling mengasihi. Hanya dengan cara
demikian maka akan terciptakan ketenangan dan kedamaian. Ini beberapa kutipan ajaran Sang B u d d h a y a n g d i a m b i l d a r i
Dhammapada:
“ I a m a r a h k e p a d a a k u , i a
Karena kebencian tidak akan pernah musnah dengan kebencian. Ini adalah sebuah hukum yang tidak dapat diubah. Orang-orang lupa bahwa hidup mereka segera akan berakhir. Bagi mereka yang ingat, maka kebencian yang datang akan berakhir.
menyerang aku, ia memukul aku, ia merampok aku”,.. mereka yang mempunyai pemikiran seperti ini tidak akan pernah bebas dari kebencian. Ia marah kepada aku, ia menyerang aku, ia memukul aku, ia merampok aku.”… mereka yang tidak berpikir seperti itu, akan terbebas dari kebencian.
“ K a r e n a k e b e n c i a n t i d a k akan pernah musnah dengan kebencian. Ini adalah sebuah hukum yang tidak dapat diubah. Orang-orang lupa bahwa hidup mereka segera akan berakhir. Bagi mereka yang ingat, maka kebencian yang datang akan berakhir.” (Dhammapada 3 - 6)
S i k a p k e r a s N i c h i r e n Shonin terhadap sekte agama Buddha lain pada waktu itu, sering disalah artikan sebagai sebuah kesombongan, ketidaksemenaan, atau keegoisan pribadi. Namun hal itu tidak benar sama sekali, seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Jepang yang berkultur demikian keras, sikap sombong yang kuat dan keinginan untuk menang sendiri adalah juga cermin dari para birokrat, para politisi, para pemuka agama saat itu. Nichiren Shonin bersikap
keras untuk menegakkan ajaran s e s u n g g u h n y a d e m i u n t u k menyelamatkan negara dari kehancuran yang disebabkan kesesatan yang terjadi akibat dari penafsiran yang salah terhadap ajaran Sang Buddha, yang dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan waktu itu.
N i c h i r e n S h o n i n , b e r k e y a k i n a n b a h w a h a n y a
Saddharma Pundarika Sutra dan
menyebut O’daimoku mampu membawa kedamaian bagi negara d a n s e k a l i g u s m e n g h i n d a r i
kehancuran negara, sebagaimana y a n g d i b a b a r k a n o l e h S a n g B u d d h a d a l a m S a d d h a r m a
Pundarika Sutra. Tetapi niat
b a i k B e l i a u t i d a k d i s a m b u t d e n g a n b a i k o l e h p e n g u a s a militer, politisi dan para pemuka agama, sehingga Beliau beberapa k a l i m e n g h a d a p i p e r c o b a a n pembunuhan dan penganiayaan. Karya Nichiren Shonin yang menjelaskan secara terperinci kecintaanNya terhadap negara adalah “Rissho Ankoku Ron” dan penjabaran Buddhisme yang sesungguhnya dalam “Kaimoku
Sho”. Meskipun Beliau bersikap
keras dan tegas, Ia adalah seorang yang sangat cinta damai, lemah lembut dan penuh rasa welas asih yang mendalam. Hal ini dapat kita baca dalam surat-surat yang dikirimkan kepada para penganutnya.
P E R D A M A I A N D A N KEADILAN
u k u m S e b a b A k i b a t menjamin semua orang a k a n “ m e n e r i m a a p a
yang telah mereka tuai” dan oleh
karena itu “mereka yang hidup
dengan pedang akan mati oleh pedang.” Pada sisi lain, orang
yang hidup dalam perdamaian, akan memulai sebuah gerakan yang akan memberikan ketenangan dan kedamaian bagi orang lain pula dan masyarakat pun akan dijauhkan dari kebencian dan kekerasan. Semua yang terjadi adalah sebuah rangkaian yang tak terpisahkan. Kita berbuat kebaikan maka akan menerima
kebaikan demikian sebaliknya. Ini tidak berarti bahwa s e s e o r a n g y a n g m e n g i k u t i Dharma hanya berdiam diri terhadap sebuah tindak kejahatan dan ketidakadilan. Apa yang dimaksudkan dalam padangan B u d d h i s i n i a d a l a h b a h w a
pengunaan kekuatan senjata atau kekuasaan adalah usaha terakhir yang sebenarnya adalah sebuah kegagalan. Buddhisme
mengatakan bahwa pengunaan senjata untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan untuk jangka pendek mungkin terlihat berhasil, namun pada masa mendatang memunculkan persoalan baru yakni tumbuhnya benih-benih kebencian baru, dan akhirnya akan timbul masalah yang sama lagi. Penyelesaian secara Buddhisme adalah menemukan cara-cara yang tidak mengunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan pribadi, sosial dan internasional. Dengan semangat
H
Nichiren Shu secara tegas menolak segala bentuk peperangan, segala kekerasan, kebencian, pengembangan senjata nuklir, dan turut menyebarluaskan keadilan dan kedamaian dalam masyarakat.
dan kreatifitas, kebijaksanaan dan rasa welas asih, sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah secara damai akan dapat ditemukan.
P e r s o a l a n B a n g s a Indonesia juga berada dalam k o n t e k s y a n g s a m a . S e l a g i segala kebencian dan kekerasan s e r t a k e p e n t i n g a n p r i b a d i dikedepankan maka tidak ada k e d a m a i a n , k e t e n a n g a n d a n kebahagiaan bagi semuanya. Sebuah langkah bijak adalah
membuang semua sikap curiga, benci dan egoisme kelompok dalam menyikapi persoalan adalah kunci penyelesaian. Bangsa yang
selalu melihat kebelakang tidak akan pernah maju, masa lalu hanyalah sebuah pelajaran untuk masa mendatang. Bangsa ini
harus mengembalikan nilai-nilai kebersamaan, keharmonisan, hormat menghormati, saling menghargai, toleransi antar sesama masyarakat, dan antara masyarakat dan pemerintah.
Peranan para pemuka masyarakat, tokoh agama, politisi, birokrat harus bekerja secara sinergi dalam satu tujuan untuk mengembalikan kejayaan bangsa. Para umat b e r a g a m a j u g a h e n d a k n y a menerapkan nilai-nilai keagamaan yang harmonis, dan toleransi, serta melenyapkan segala paham yang kaku dan sempit. Alam dan
manusia adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, ketika kesesatan terjadi dalam diri manusia, maka alam pun akan
berubah. Alam tidak ramah karena manusia yang tidak ramah.
T u j u a n d a r i s e g a l a kepercayaan dan agama adalah p e n i n g k a t a n d i r i d a n d u n i a secara keseluruhan. Nichiren Shu, sebagai sebuah kelompok Buddhis dan seluruh pengikutnya harus dengan tegas berusaha m e n c i p t a k a n p e r d a m a i a n , kebahagiaan, dan pencerahan bagi seluruh mahluk hidup. Hidup manusia harus dilindungi dan dihargai, dan seluruh masyarakat harus didorong kearah perdamaian dan kebahagiaan. Oleh karena i t u , N i c h i r e n S h u s e c a r a
tegas menolak segala bentuk peperangan, segala kekerasan, kebencian, pengembangan s e n j a t a n u k l i r, d a n t u r u t menyebarluaskan keadilan dan kedamaian dalam masyarakat.
Selain menyebarluaskan nilai-nilai ini dalam masyarakat, kita percaya bahwa ajaran Sang Buddha yang dibabarkan dalam
Saddharma Pundarika Sutra
dan dengan mengikuti ajaran dari Nichiren Shonin, kita dapat mewujudkan sebuah kehidupan yang alami dan wajar sesuai dengan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Kita juga harus
selalu berusaha menciptakan kedamaian dan kebahagiaan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Gassho.
NON
VIOLENCE
IN
BUDDHISME
Kata - Kata Mutiara
Oleh: Josho S.Ekaputer
Ketika Pikiran Bergejolak,
maka Samudera Ilusi
dan Keterikatan Semakin
Membesar
OO
Hidup adalah Ilusi,
Bahagia adalah Ilusi,
Demikian juga Mati dan
Penderitaan
OO
Saya Bahagia ... Saya
Menderita ..., Ketika
kita tidak lagi dapat
mengatakan apakah kita
bahagia atau derita, Pintu
Gerbang Pencerahan telah
didepan mata.
OO
Manusia selalu mengejar
sesuatu yang tidak kekal,
dan melupakan kekekalan
yang ada dalam diri sendiri.
OO
Aku ada untuk Mu, Kamu
ada untuk Aku. Jika Aku
tidak ada, maka Kamu pun
enerangan Atau “Satori” di
dalam bahasa Jepang adalah suatu terjemahan kata dari bahasa india “Bodhi", yang mana disalin dalam huruf jepang sebagai
“Bodai”. Buddha berkata bahwa
manusia itu sejak mula adalah mahluk yang membawa penderitaan. Setiap manusia harus mengalami pertumbuhan /berkembang menjadi tua, mengalami derita dan mati. Ini adalah penderitaan. Sebagian orang harus berpisah dari seseorang yang sangat dicintainya dan mungkin tidak mampu untuk memperoleh apa yang menjadi keinginannya. Ini juga, adalah penderitaan. Kenapa kita harus mengalami segala penderitaan ini? Hal ini
karena manusia mempunyai
keinginan dan keterikatan. Manusia menderita sebab mereka hidup dalam keterikatan dalam kehidupan, disamping terdapat kenyataan bahwa kita semua harus mati dan sebab segala keinginan / hawa nafsu kita akan berkembang dari satu ke satu hal yang lain dan kita semua tidak akan mampu untuk mencapai kepuasan.
Sang Buddha berkata bahwa segala keterikatan dan keinginan hawa nafsu adalah penyebab dari penderitaan. Jika kita ingin membuang segala keterikatan
Bimbingan Oleh:
YM.Bhiksuni Myosho Obata
(Bhiksuni Pembimbing Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Taiwan)
PENERANGAN AGUNG
SANG BUDDHA
P
Bersambung Ke Hal. 22
dan keinginan /
hawa nafsu sebagian atau mengendalikan mereka, maka segala penderitaan itu akan hilang semuanya. Beliau
juga mengajarkan
bagaimana pelaksanaan untuk semua orang agar dapat mengendalikan
keterikatan dan
keinginan / hawa nafsunya. Sang Buddha duduk bawah pohon
Bodhi dan masuk dalam meditasi. Ia memahami segala macam pikiran manusia dan sifat alami dari alam semesta dan kebangkitan untuk mencapai kebenaran. Kejadian ini disebut Penerangan dan dikenal sebagai “Bodai”. Jadi Kebangkitan Kebenaran yang diperoleh Sang Buddha ? Sangatlah tidak mungkin menjawab semua ini hanya dalam beberapa kata. Ini disebabkan begitu luas dan banyaknya ajaran Sang Buddha dan jumlah ajaran itu mencapai 84.000 gudang sutra yang berisi tentang Penerangan itu. Saya akan mencoba untuk memilih beberapa hal yang penting diantaranya :
1. EMPAT KEBENARAN MULIA (SHITAI)
arakter “Tai” dari “Shitai”, ini berarti “Membersihkan”. Jadi ”Shitai” berarti Empat Kebenaran. Empat Kebenaran dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hidup adalah penuh dengan penderitaan;
2. Penyebab dari Penderitaan adalah ketidakpedulian dan keinginan egois diri sendiri;
3. Penderitaan dapat diakhiri dengan mengatasi ketidakpedulian dan egois diri sendiri;
4. Jalan untuk mengatasi
ketidakpedulian dan egois diri sendiri adalah mengikuti pelaksanaan Delapan Jalan Utama.
u a t u t a n d a a t a u c o r a k merupakan suatu fakta yang memberitahukan kita adanya bentuk asli suatu benda. Sedangkan suatu fakta adakalanya dihubungkan dengan benda tertentu, tetapi adakalanya tidak ada hubungan dengan benda apapun, sehingga hal itu bukan merupakan suatu tanda yang akan membantu kita dalam memahami bentuk asli suatu benda
Sebagai contoh panas adalah fakta. Panas bukanlah suatu tanda dari air karena air tidak selalu panas dan panasnya air tergantung kepada faktor lainnya, seperti matahari dan api. Tetapi panas merupakan tanda dari api, karena api selalu identik dengan panas, dan panas dari api tidak tergantung faktor lainnya. Panas selalu dihubungkan dengan api yang memberitahukan kita adanya sumber api.
Pada saat Sang Buddha mengajarkan adanya tiga tanda keberadaan alam semesta, maka hal tersebut pada umumnya ditemukan pada semua hal yang ada dimana mengisyaratkan bentuk asli keberadaan benda tersebut. Tiga tanda atau corak keberadaan yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah
Ketidak-kekalan, Penderitaan dan
Tiga Tanda Keberadaan
Alam Semesta
( BAGIAN. i)
Seri Pelajaran Mahayana
Sumber : Berbagai bahan dan buku-buku Mahayana
Penerjemah dan rangkuman oleh : Josho S.Ekaputra
Buddha Maitreya
S
Ketanpa-intian / Ketanpa-akuan.1. Ketidak-kekalan [Anitya-laksana/
Anicca-lakkhana]
Sang Buddha bersabda : "Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.”
(Dhammapada , 277).
ang Buddha mengajarkan, bahwa setiap keberadaan adalah tidak kekal karena
tidak ada sesuatu baik itu internal ataupan eksternal yang kekal, stabil, tidak habis, membusuk, hancur, dan selalu sama. Segala sesuatu
senantiasa berubah. Keberadaan seperti aliran air sungai atau nyala api lilin yang mana tidak pernah selalu sama alirannya atau nyalanya. Kita akan menyadari bahwa nyala api lilin itu timbul hanya sementara saja yang mana merupakan bentuk materi yang tidak kekal adanya. Dalam nyala api tersebut kita dapat mengamati adanya lima fenomena yang berkaitan dengan ketidak-kekalan yaitu, lahir
(muncul), tumbuh, berlangsung,
lapuk dan mati (padam).
Contoh lainnya tubuh kita terdiri dari daging, tulang, dan darah yang mana tidak pernah kekal. Dari sejak kita dilahirkan, tubuh selalu mengalami perubahan. Demikian juga dengan tubuh manusia tergantung dari berbagai faktor dan selalu berubah. Baik tubuh maupun pikiran adalah tidak kekal dan senantiasa berubah. Ilmu pengetahuan menyatakan bahwa benda-benda yang kelihatan tetap seperti lautan, kepulauan, pegunungan bahkan bumi, matahari, dan yang terakhir ditemukan oleh para para ilmuwan UCLA tentang
kekal adanya, maka kita seharusnya dapat memanfaatkan keadaan yang ada sebaik mungkin sebelum semuanya berakhir. Ini berarti kita harus mempraktekkan Delapan Ruas Jalan Kemuliaan untuk mencapai kebahagiaan dan Pencerahan.
Ketika kita melihat matahari terbit, kita harus menyadari sebentar lagi akan sirna berganti dengan gelap. Ketika kita melihat diri kita yang muda belia dan tampan, maka kita harus menyadari bahwa sebentar lagi akan berganti dengan keriput dan ketuaan. Ketika kita melihat fisik kita yang kuat dan sehat, seharusnya juga menyadari bahwa sebentar lagi fisik ini akan lemah dan sakit. Oleh karena itu jangan buang-buang waktu yang sangat berharga ini. Manfaatkanlah kehidupan ini dengan mengisi nilai-nilai kebajikan dan kebenaran. Tidak seorang pun dapat melawan ketidakkekalan ini, biar dia seorang presiden, menteri, orang biasa, wanita maupun pria, semua akan tenggelam dalam proses ini. Ketidakkekalan terus akan berganti dengan ketidakkekalan, ini adalah keterikatan kita dalam proses kelahiran kembali yang terus menerus. Menyadari ketidakkekalan ini akan menjadi jalan bagi kita untuk memutuskan mata rantai kelahiran, dan penderitaan.
Sadarilah hal ini, maka ketika kita menyadari ini, pintu gerbang Pencerahan telah didepan mata. Sang Buddha pada pembabaran yang terakhir mengatakan, “Semuanya senantiasa berubah, berjuanglah dengan kerja keras.” Berjuang dengan keras untuk mencapai Dharma, mencapai Jalan Penerangan Agung, sebelum segalanya berubah dan tidak ada kesempatan lagi. Isilah setiap waktu dari pagi sampai malam dengan segala kebajikan dan hindarilah perbuatan buruk.
sekilas bintang raksasa yang paling terang dan paling besar cahayanya di alam semesta, yang mengeluarkan energi 10 juta kali dari matahari dan 200 kali lebih besar dari matahari (dinamakan Bintang Pistol), terus mengalami perubahan hingga suatu hari akan musnah (Suara Pembaruan,
tgl 8 Oktober 1997). Benda-benda
tersebut yang menurut kita kekal juga akan musnah, sehingga tidaklah diragukan adanya ketidak-kekalan dalam kehidupan ini. Kehidupan dapat berakhir setiap saat. Tidak ada seorangpun yang dapat menghindari kematian dan kehancuran tubuh ini. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut berlangsung secara perlahan-lahan tanpa dapat disadari [Annathabhava]. Perubahan yang radikal juga dapat terjadi di alam semesta ini dimana suatu keberadaan tiba-tiba telah tiada misalnya musnahnya binatang-binatang purba [Viparinama].
Pengertian tentang tanda ketidak-kekalan menguntungkan manusia ditinjau dari dua faktor.
Pertama, akan meningkatkan kegiatan dan hubungan antar manusia. Kedua, akan mendorong manusia untuk mengikuti Delapan Ruas Jalan Kemuliaan. Adakalanya
manusia menyadari kesalahan mereka dalam hubungan dengan sesama, disebabkan kegagalannya dalam memperhitungkan faktor perubahan yang terjadi pada dirinya dan temannya. Sering suatu persahabatan berakhir karena salah satu pihak gagal menyadari adanya perubahan dalam pribadi, kesukaan dan tingkah laku temannya. Jika kita menyadari manusia dan setiap situasi adalah tidak kekal adanya dan selalu berubah, maka akan timbul saling memahami diri masing-masing sehingga akan terjadi hubungan persahabatan yang baik.
Jika Segala sesuatu itu tidak kekal, maka untuk apa kita dilahirkan?
mungkin kita akan bertanya tentang hal ini dalam pikiran dan hati kita. Jika dunia ini penuh ketidakkekalan, kenapa kita harus berjuang untuk hidup ? Mungkin lebih baik kita segera meninggal saja.
Kelahiran kita di dalam keberadaan ketidakkekalan ini adalah sebagai wujud pelatihan diri untuk mencapai Kekekalan yang sejati. Kita lahir untuk membayar segala karma yang pernah kita lakukan pada kehidupan sebelumnya, sebelum semua itu lunas maka kita akan selalu dilahirkan dan dilahirkan. Seorang Buddhis sejati harus menyadari ketidakkekalan ini dengan kebijaksanaan. Kebahagiaan dan Penderitaan itu adalah tidak kekal, ini adalah hukum alam. Menyadari
ketidakkelan akan menjadikan kita arif dalam menghadapi sebuah masalah, disaat sulit tidak mengeluh, karena segalanya akan berlalu, disaat bahagia tidak berlebihan karena semua juga akan berganti.
Nichiren Shu Buddhisme, mengajarkan bahwa berbuat kebajikan melalui pelaksanaan O'daimoku dan Saddharma Pundarika Sutra adalah sangat penting, sebagai upaya kita untuk mencapai KeBahagiaan Yang Sejati, Yang Kekal dan Tidak Musnah yakni Penerangan Sempurna. Meskipun kehidupan ini tidak kekal, namun Nichiren Shonin, mengatakan bahwa, "Harta
yang tidak ternilai dialam semesta itu adalah Kehidupan." Kenapa
? karena melalui kelahiran, dan
kehidupan ini kita dapat berbuat kebajikan dan memupuk potensi untuk mencapai keBuddhaan.
Keberhasilan dalam hidup ini tergantung pada kemampuan kita beradaptasi terhadap perubahan yang timbul dalam setiap situasi dan menjadikannya suatu kesempatan yang terbaru. Dengan memahami bahwa usia muda, kesehatan, kekayaan dan
Nichiren Shonin Writing Study Series 1
Terbitan : Nichiren Buddhist International Center, 29490 Mission Boulevard, Hayward, California Naskah Asli : Tersimpan di Kuil Nakayama Hokekyo Ji Diterjemahkan oleh Josho S.Ekaputra
LATAR BELAKANG
urat ini ditulis pada tanggal 21 maret, tahun Kenji ke-dua (1276) oleh Nichiren Shonin di Gunung. Minobu, yang pada waktu itu telah berusia 55 tahun. Surat ini ditujukan kepada istri dari Toki Jonin di Shimofusa, Nakayama. Surat ini terdiri dari delapan halaman yang berhasil diselamatkan secara utuh dari
Kumpulan Naskah Pusaka Nichiren
di Kuil Nakayama Hokekyo-ji. Ibu dari Toki Jonin telah meninggal dunia pada usia sembilan puluh tahun, diakhir pebruari tahun ini. Toki Jonin, yang ingin meminta bantuan untuk upacara peringatan kematian ibunya, datang dari Shimofusa ke Gunung Minobu dengan membawa sisa abu ibunya. Ketika ia tiba di Gunung Minobu, ia memasuki gubuk Nichiren Shonin, dan meletakkan abu ibunya di altar, dan menerima sebuah upacara penuh keagungan yang dilakukan oleh Nichiren Shonin.
To k i J o n i n b e r l u t u t , membungkuk dengan penuh hormat, dan menghadap kepada Gohonzon dan Buddha Sakyamuni diatas altar. Kemudian, ia dengan sungguh hati menyatukan kedua tangannya (Gassho) dalam doa kepada Buddha dan merasa sangat bahagia, karena
TOKI AMA GOZEN
GOSHO
mengetahui bahwa ibunya telah diterima dengan penuh welas asih oleh Guru Sejati, Buddha Sakyamuni. Setelah itu, ia berbicara dan berdiskusi dengan Nichiren Shonin dan memberikan sejumlah persembahan dari istrinya, Ama-gozen. Sisa abu ibunya disemayamkan di Gunung Minobu.
Makam dari abu ibu Toki Jonin berdekatan dengan makam dari Abutsu-bo (salah satu pengikut Nichiren Shonin) dan berada disebelah kiri menghadap ke makam Nichiren Shonin di Nishidani, Gunung Minobu.
S e b e l u m To k i J o n i n kembali ke Shimofusa, Nichiren Shonin menuliskan surat ini untuk menunjukkan rasa terima kasih atas persembahan dan perhatian akan penyakit yang diderita oleh Ama-gozen. Toki Jonin sendiri yang langsung menyampai surat ini kepada Ama-gozen.
ISI GOSHO
aya mengucapkan terima kasih atas persembahan sejumlah uang dan sake.
Sebuah anak panah tidak akan terbang tanpa sebuah busur. Sebuah awan tidak akan bergerak tanpa seekor naga. Seorang laki-laki tidak dapat bekerja tanpa seorang wanita. Toki-dono tidak akan dapat
datang kesini tanpa kamu. Asap menunjukkan tempat keberadaan api. Turunnya hujan menunjukkan tempat dimana adanya naga. Ketika kita melihat seorang laki-laki, kita juga akan berpikir tentang istrinya. Saya merasa bahwa kamu baik-baik saja, ketika Aku melihat Toki-dono.
Toki-dono menceritakan kepada saya bahwa duka citanya sedikit berkurang atas kematian ibunya ketika ia melihat wajah yang tenang dari ibunya ketika meninggal. Ia juga berkata bahwa ia tidak akan
S
S
Sebuah anak panah tidak akan terbang tanpa sebuah busur.
Sebuah awan tidak akan bergerak tanpa seekor naga.
Seorang laki-laki tidak dapat bekerja tanpa seorang wanita.
Asap menunjukkan tempat keberadaan api. Turunnya hujan
menunjukkan tempat dimana adanya naga. Ketika kita
melihat seorang laki-laki, kita juga akan berpikir tentang
istrinya.
pernah melupakan segala kebaikanmu ketika merawat sakit ibunya.
Saya turut sedih mendengar bahwa kamu belum sembuh dari sakit. Hal ini telah berlalu selama tiga tahun sejak kamu mulai sakit. Harap teruskan pengobatan Moxa sebagaimana yang telah kamu lakukan. Sekalipun seseorang itu sehat, ia tidak akan bisa lari dari kematian, kamu akan segera sembuh dari sakit dan kembali pada kehidupanmu seperti semula, karena kamu masih muda dan juga karena kamu membaca Saddharma
Pundarika Sutra. Penyakitmu
bukanlah hasil dari karma masa lampau.
Sekalipun ini adalah sebuah penyakit yang serius, kamu akan menjadi lebih baik dan akan memperpanjang hidupmu, karena kamu percaya kepada Saddharma Pundarika Sutra. Seorang yang jahat
seperti Raja Ajatasatru, yang akan meninggal karena sebuah penyakit, dapat diperpanjang hidupnya selama empat puluh tahun lebih setelah Ia percaya kepada Saddharma Pundarika
Sutra, dan juga Chinshin, seorang
saudara tua dari Maha Guru T’ien-t’ai, yang akan segera meninggal dunia, ia dapat memperpanjang hidupnya selama lima belas tahun setelah ia mendengar Saddharma Pundarika
Sutra. Kamu sendiri juga seorang
penganut dari Saddharma Pundarika
Sutra dan kepercayaan kamu semakin
mendalam dari hari ke hari dan semakin mantap, bagaikan bulan purnama atau bagaikan pasangnya lautan. Saya yakin bahwa kamu akan segera sembuh. Percayalah kepada saya, dan jagalah dirimu. Janganlah
khawatir atau lemah semangat. Ketika kamu merasa sedih, cobalah berpikir tentang orang-orang di Iki, Tsushima, dan Dazaifu, yang terlebih dahulu mengalami tragedi karena serangan dari Mongolia pada tahun Bun-ei Ke-11 (1274).
Orang-orang di Kamakura dapat hidup dengan gembira dan jauh dari tragedi ini. Tetapi, dalam kenyataan, ketika kamu melihat orang-orang di Tsukushi, kamu akan menemukan bahwa mereka semua diberangkatkan kemedan perang, meninggalkan keluarga mereka. Mereka merasa sangat tersiksa sekali. Kamu lihat banyak pasangan yang menangis, saling memandang satu sama lain dan kebingungan.
Kemudian mereka pergi ke Yuiga-hama, Inamura, Koshigoe, Sakawa dan Hakone. Sehari berlalu, dua hari berlalu. Mereka telah menyeberangi sungai dan gunung. Awan menutupi perjalanan mereka. Pada waktu itu mereka tidak ditemani siapapun kecuali air mata dan duka cita.
Ini adalah sebuah tragedi. Jika pasukan Mongolia kembali datang, mereka akan ditangkap dimanapun mereka berada, digunung atau dilautan, dan dibawa ke kapal Korea.
Kenapa semua ini terjadi, sebab orang-orang telah menganiaya
Nichiren, Ayah dari seluruh orang di Jepang dan pelaksana dari Saddharma Pundarika Sutra, Ia telah dianiaya, dipukul dan dihina orang banyak dengan menaruhnya diatas kuda dibawa keliling kota bagaikan seorang penjahat. Untuk alasan
inilah, Sepuluh Raksasa Perempuan menjadi marah dan menyebabkan penyerangan dari Mongolia. Akan terjadi tragedi yang lebih besar lagi pada masa mendatang. Kamu mungkin akan menjadi saksi dari kejadian yang ini.
Kita, penganut Saddharma Pundarika Sutra, tidak perlu merasa khawatir tentang segala kesulitan karena kita semua pasti akan mencapai KeBuddhaan pada masa mendatang. Sekalipun jika kamu
terpilih menjadi seorang ratu, atau terlahir di surga pada kehidupan selanjutnya, itu tidak berarti apapun juga. Kamu dapat mengambil contoh dari putri Raja Naga, yang telah mencapai KeBuddhaan melalui jalan
Saddharma Pundarika Sutra, dan
juga dengan Bhiksuni Maha Prajapati, Guru Besar, Ibu Pengasuh, yang telah dijamin mencapai KeBuddhaan.
Tidak ada yang lebih berbahagia dari itu. Bagaimanapun bahagianya kita! Mohon teruslah menyebut Namu Myoho Renge Kyo. Dengan penuh kerendahan hati. Tanggal 27 Maret,
Kepada Ama-gozen
Nichiren
Sekalipun ini adalah sebuah penyakit yang serius, kamu
akan menjadi lebih baik dan akan memperpanjang hidupmu,
karena kamu percaya kepada Saddharma Pundarika Sutra.
Kita, penganut Saddharma Pundarika Sutra, tidak perlu
merasa khawatir tentang segala kesulitan karena kita semua
pasti akan mencapai KeBuddhaan pada masa mendatang.
Nichiren Shonin
(1222- 1282)
Administrasi Ibaraki dan Tochigi) pada masa pemerintahan Kekaisaran Sujaku (923-952). Segera setelah itu, kelompok Taira Masakado (seorang jenderal pada periode pertenghan Heian) bangkit melakukan pemberontakan, dan daerah Kanto jatuh dalam kekacauan.
Pantai Kamakura Yuigahama menjadi warna merah pada tanggal 21 bulan ketiga tahun yang sama. Sebuah gelombang warna merah menyapu pantai, dan pasir, rumput laut, dan ikan-ikan menjadi warna merah. Pantai Tsugaru daerah Tohoku juga berubah menjadi warna merah pada tanggal 11 bulan yang sama. Kemudian, sebuah ikan misterius terdampar mati dipantai. Ikan itu mempunyai panjang tiga meter dengan sirip lengan mirip manusia. Penguasa setempat segera melaporkan tentang gejala lautan yang aneh dan kemunculan ikan misterius tersebut. Dikatakan juga, pada masa lalu, ikan yang sama pernah muncul pada musim panas tahun 1189, ketika Fujiwara Yasuhira (seorang tokoh terkemuka pada masa Kamakura di daerah Tohoku) telah diserang dan dikalahkan oleh Minamoto Yoritomo (Shogun pertama dari pemerintahan keShogunan Kamakura). Setelah dikalahkan oleh Yoritomo, Yasuhira dibunuh oleh para pengawal ketika mencoba melarikan diri.
Setelah mendengar tentang keadaan kekacauan yang terjadi di kota Kamakura, Rencho merasa sangat perlu untuk mempelajari Buddhisme lebih lanjut. Hal ini karena Ia percaya bahwa hanya ajaran Buddha yang dapat menyelamatkan manusia pada Masa Akhir Dharma.
DARI KYOTO KE NARA DAN
GUNUNG KOYA
eskipun segala kegiatan Rencho (Nichiren Shonin) di Kyoto sebagai seorang
pelajar tidak diketahui secara jelas, namun semua sudah tercatat dalam fakta sejarah dan legenda yang hidup disana. Sebuah legenda mengatakan bahwa sebuah peperangan telah terjadi di Kamakura, ketika Rencho meninggalkan asrama Kuil Onjo Ji dan pergi ke Kyoto melalui daerah Otsu. Secara nyata memang terjadi peperangan antara kelompok Hojo dan Miura pada tahun 1247. Kelompok Miura adalah kelompok yang sangat berpengaruh di bagian timur kepulauan Honshu dan juga mempunyai kekuasaan yang besar di Kamakura yang terjalin dari perkawinan dengan tokoh pemimpin di keShogunan Kamakura. Ketika peperangan terjadi antara kelompok Miura dan kelompok lainnya, Bupati Shogun Hojo Tokiyori memilih untuk melawan kelompok Miura. Dalam peperangan di Kamakura, kelompok Miura dapat dikalahkan dan dihancurkan. Sebagai hasilnya, sebuah system pemerintahan dibawah kelompok Hojo pun terbentuk. Mendengar kabar tentang peperangan ini, Rencho merasakan bahwa negara telah jatuh dalam kekacauan, hal ini karena adanya kekacauan dalam Buddha Dharma. Merasa bahwa adanya sesuatu yang tidak benar dalam Buddhisme, Ia pun pergi ke sejumlah kuil di Nara untuk belajar mengenai Enam Sekte Buddhisme, yang paling banyak dijalankan kuil-kuil di Nara. Ia sangat sibuk belajar dan pergi ketempat-tempat bersejarah di Nara. Ketika belajar di Nara, pada suatu hari Rencho pergi ke Sakai (Sekarang Daerah Administrasi Osaka) untuk bertemu dengan seorang kenalan.
D a l a m p e r j a l a n a n I a berjumpa dengan seorang samurai bernama Egawa. Terkesan oleh semangat pembelajaran dari Rencho, Tuan Egawa mengundang Beliau untuk mampir dirumahnya. Karena hari itu kebetulan merupakan hari
peringatan untuk leluhur Tuan Egawa, Rencho membacakan Sutra dan menyampaikan sebuah ceramah. Ia berbicara mengenai “Seekor Tikus Sehari” dan “Seekor Tikus Sebulan”. Pada suatu tempat terdapat seorang laki-laki yang melarikan diri dari diburu oleh seekor harimau, dan laki-laki itu jatuh ketebing. Ketika ia jatuh, ia sempat memegang sebuah dahan pohon kecil, dan arus sungai menantinya dibawah. Ketika ia melihat kebawah, terdapat banyak buaya menantinya, dan diatas tebing harimau itu masih setiap menunggunya. Ia berada dalam kesulitan besar karena tidak mungkin baginya untuk mendaki atau turun. Kemudian dua ekor tikus muncul dan mulai memakan dahan yang dipegang oleh laki-laki itu. Pada cerita ini, Harimau yang menunggu diatas tebing melambangkan Karma Buruk yang selalu menunggu dan merupakan hasil perbuatan pada masa kehidupan sebelumnya, dan Buaya disungai melambangkan neraka. Seorang manusia menderita karena Karma Buruk masa lampau dan juga takut jatuh kedalam neraka. Rencho mengajarkan, adalah penting setiap hari dan bulan yang berlalu tanpa melakukan sebuah kesalahan atau keburukan, adalah penting untuk percaya dalam Buddhisme, dan mengisi setiap hari yang ada.
Tuan Egawa dan keluarganya yang mendengarkan ceramah tersebut telah dibangkitkan keinginan mereka untuk mencapai KeBuddhaan. Pada tahun 1261, ketika Nichiren Shonin dibuang ke propinsi Izu (Sekarang Daerah Administrasi Shizuoka), Tuan Egawa yang berada di Nirayama (Sekarang Daerah Administrasi Shizuoka), datang dan bertemu dengan Nichiren. Pertemuan ini adalah pertemuan seorang guru dan muridnya. Gassho.
BERSAMBUNG...
M
Catatan :Riwayat hidup Nichiren Shonin yang tepat dapat kita baca dari berbagai macam surat dan catatan masa lalu dan penelitian sejarah lainnya. Tetapi disini terdapat berbagai macam cerita legenda sehubungan dengan kehidupan Nichiren Shonin, dan akan Saya tuangkan dalam tulisan ini.
Legenda Nichiren Shonin
Oleh YM.Bhiksu. Gyokai Sekido
Sumber: Nichiren Shu News, terbitan Nichiren Shu Headquaters dan Kaigai Fukyo Koenkai
Dirangkum dan diterjemahkan oleh Josho S.Ekaputra
LEGENDA (BAG.4)
NICHIREN SHONIN
KUIL ONJO JI
ita mengetahui bahwa Rencho belajar di Gunung Hiei, Gunung Koya, dan juga didaerah Kyoto. Namun, karena kekurangan catatan yang ada, kita tidak terlalu mengetahui tentang kegiatan Beliau di Kyoto. Berdasarkan surat yang dikirimNya dari Kuil Onjo Ji (Sekarang Kota Otsu, Daerah Administrasi Shiga). Jadi, saya bermaksud menceritakan legenda mengenai kegiatan Nichiren di Kuil Onjo Ji.
Sebagai seorang bhiksu yang telah kembali dari belajar di Kamakura ke Kyoto dan tinggal di Kuil Onjo Ji. Beliau tinggal disebuah asrama. Rencho gembira mempunyai seorang teman baru, yang menceritakan kepadaNya tentang sebuah kejadian aneh yang terjadi di Kamakura; Sebuah pelangi muncul dilangit dan matahari bersinar dengan terangnya; dan sebuah komet besar muncul menyebabkan orang-orang menjadi khawatir akan terjadinya malapetaka. Kemudian, pada tanggal 12 bulan ketiga tahun Hoji ke-satu (1247), sebuah meteor raksasa muncul disebelah timur laut, dan menuju kearah barat daya, bersinar dengan sangat terang
sehingga malam hari seperti siang hari; juga sebuah suara guntur yang sangat kuat dan mengetarkan tanah; Semua ini menakutkan semua orang, mereka semua bagaikan kehilangan jiwanya.
Sebuah kejadian misterius yang luar biasa adalah terdapatnya banyak kupu-kupu kuning yang bermunculan pada tanggal 17 bulan ketiga tahun yang sama. Hari itu, suasana sangat cerah, sekumpulan kupu-kupu berwarna kuning bermunculan dan memenuhi daerah
seluas tiga meter dengan panjang 30 meter. Kupu-kupu yang memenuhi langit bagaikan kain berwarna kuning yang melambai-lambai. Mereka terbang kesana-sini atau hinggap diatap-atap rumah. Orang-orang di Kamakura berlarian keluar dan tertarik untuk melihat pemandangan itu. Tidak lama kemudian, kupu-kupu itu pun mati dan berserakan dirumah-rumah penduduk. Dikatakan pada jaman dulu, kupu-kupu kuning juga pernah muncul didaerah Hitachi dan Shimotsuke (Sekarang Daerah
K
Ket: Foto menunjukkan sebuah tungku perapaian besar yang dibangun oleh Egawa Tarozaemon (1801 5), seorang keturunan dari tuan. Egawa untuk mengenang Rencho yang telah memberikan ceramah “Seekor Tikus Sehari dan Seekor Tikus Sebulan.” Banyak meriam yang dibuat ditungku ini, yang digunakan oleh Jepang untuk mempertahankan diri dari serangan asing. Tempat ini telah ditetapkan sebagai “Lokasi Bersejarah” oleh pemerintah, demikian juga tempat tinggal Tuan Egawa, yang berada dilokasi daerah Nirayama, Daerah Administrasi Shizuoka. Terdapat sebuah papan kayu, dimana Nichiren Shonin menuliskan Odaimoku, yang dikatakan dipasang
Administrasi Ibaraki dan Tochigi) pada masa pemerintahan Kekaisaran Sujaku (923-952). Segera setelah itu, kelompok Taira Masakado (seorang jenderal pada periode pertenghan Heian) bangkit melakukan pemberontakan, dan daerah Kanto jatuh dalam kekacauan.
Pantai Kamakura Yuigahama menjadi warna merah pada tanggal 21 bulan ketiga tahun yang sama. Sebuah gelombang warna merah menyapu pantai, dan pasir, rumput laut, dan ikan-ikan menjadi warna merah. Pantai Tsugaru daerah Tohoku juga berubah menjadi warna merah pada tanggal 11 bulan yang sama. Kemudian, sebuah ikan misterius terdampar mati dipantai. Ikan itu mempunyai panjang tiga meter dengan sirip lengan mirip manusia. Penguasa setempat segera melaporkan tentang gejala lautan yang aneh dan kemunculan ikan misterius tersebut. Dikatakan juga, pada masa lalu, ikan yang sama pernah muncul pada musim panas tahun 1189, ketika Fujiwara Yasuhira (seorang tokoh terkemuka pada masa Kamakura di daerah Tohoku) telah diserang dan dikalahkan oleh Minamoto Yoritomo (Shogun pertama dari pemerintahan keShogunan Kamakura). Setelah dikalahkan oleh Yoritomo, Yasuhira dibunuh oleh para pengawal ketika mencoba melarikan diri.
Setelah mendengar tentang keadaan kekacauan yang terjadi di kota Kamakura, Rencho merasa sangat perlu untuk mempelajari Buddhisme lebih lanjut. Hal ini karena Ia percaya bahwa hanya ajaran Buddha yang dapat menyelamatkan manusia pada Masa Akhir Dharma.
DARI KYOTO KE NARA DAN
GUNUNG KOYA
eskipun segala kegiatan Rencho (Nichiren Shonin) di Kyoto sebagai seorang
pelajar tidak diketahui secara jelas, namun semua sudah tercatat dalam fakta sejarah dan legenda yang hidup disana. Sebuah legenda mengatakan bahwa sebuah peperangan telah terjadi di Kamakura, ketika Rencho meninggalkan asrama Kuil Onjo Ji dan pergi ke Kyoto melalui daerah Otsu. Secara nyata memang terjadi peperangan antara kelompok Hojo dan Miura pada tahun 1247. Kelompok Miura adalah kelompok yang sangat berpengaruh di bagian timur kepulauan Honshu dan juga mempunyai kekuasaan yang besar di Kamakura yang terjalin dari perkawinan dengan tokoh pemimpin di keShogunan Kamakura. Ketika peperangan terjadi antara kelompok Miura dan kelompok lainnya, Bupati Shogun Hojo Tokiyori memilih untuk melawan kelompok Miura. Dalam peperangan di Kamakura, kelompok Miura dapat dikalahkan dan dihancurkan. Sebagai hasilnya, sebuah system pemerintahan dibawah kelompok Hojo pun terbentuk. Mendengar kabar tentang peperangan ini, Rencho merasakan bahwa negara telah jatuh dalam kekacauan, hal ini karena adanya kekacauan dalam Buddha Dharma. Merasa bahwa adanya sesuatu yang tidak benar dalam Buddhisme, Ia pun pergi ke sejumlah kuil di Nara untuk belajar mengenai Enam Sekte Buddhisme, yang paling banyak dijalankan kuil-kuil di Nara. Ia sangat sibuk belajar dan pergi ketempat-tempat bersejarah di Nara. Ketika belajar di Nara, pada suatu hari Rencho pergi ke Sakai (Sekarang Daerah Administrasi Osaka) untuk bertemu dengan seorang kenalan.
D a l a m p e r j a l a n a n I a berjumpa dengan seorang samurai bernama Egawa. Terkesan oleh semangat pembelajaran dari Rencho, Tuan Egawa mengundang Beliau untuk mampir dirumahnya. Karena hari itu kebetulan merupakan hari
peringatan untuk leluhur Tuan Egawa, Rencho membacakan Sutra dan menyampaikan sebuah ceramah. Ia berbicara mengenai “Seekor Tikus Sehari” dan “Seekor Tikus Sebulan”. Pada suatu tempat terdapat seorang laki-laki yang melarikan diri dari diburu oleh seekor harimau, dan laki-laki itu jatuh ketebing. Ketika ia jatuh, ia sempat memegang sebuah dahan pohon kecil, dan arus sungai menantinya dibawah. Ketika ia melihat kebawah, terdapat banyak buaya menantinya, dan diatas tebing harimau itu masih setiap menunggunya. Ia berada dalam kesulitan besar karena tidak mungkin baginya untuk mendaki atau turun. Kemudian dua ekor tikus muncul dan mulai memakan dahan yang dipegang oleh laki-laki itu. Pada cerita ini, Harimau yang menunggu diatas tebing melambangkan Karma Buruk yang selalu menunggu dan merupakan hasil perbuatan pada masa kehidupan sebelumnya, dan Buaya disungai melambangkan neraka. Seorang manusia menderita karena Karma Buruk masa lampau dan juga takut jatuh kedalam neraka. Rencho mengajarkan, adalah penting setiap hari dan bulan yang berlalu tanpa melakukan sebuah kesalahan atau keburukan, adalah penting untuk percaya dalam Buddhisme, dan mengisi setiap hari yang ada.
Tuan Egawa dan keluarganya yang mendengarkan ceramah tersebut telah dibangkitkan keinginan mereka untuk mencapai KeBuddhaan. Pada tahun 1261, ketika Nichiren Shonin dibuang ke propinsi Izu (Sekarang Daerah Administrasi Shizuoka), Tuan Egawa yang berada di Nirayama (Sekarang Daerah Administrasi Shizuoka), datang dan bertemu dengan Nichiren. Pertemuan ini adalah pertemuan seorang guru dan muridnya. Gassho.
BERSAMBUNG...
M
Catatan :Riwayat hidup Nichiren Shonin yang tepat dapat kita baca dari berbagai macam surat dan catatan masa lalu dan penelitian sejarah lainnya. Tetapi disini terdapat berbagai macam cerita legenda sehubungan dengan kehidupan Nichiren Shonin, dan akan Saya tuangkan dalam tulisan ini.
Legenda Nichiren Shonin
Oleh YM.Bhiksu. Gyokai Sekido
Sumber: Nichiren Shu News, terbitan Nichiren Shu Headquaters dan Kaigai Fukyo Koenkai
Dirangkum dan diterjemahkan oleh Josho S.Ekaputra
LEGENDA (BAG.4)
NICHIREN SHONIN
KUIL ONJO JI
ita mengetahui bahwa Rencho belajar di Gunung Hiei, Gunung Koya, dan juga didaerah Kyoto. Namun, karena kekurangan catatan yang ada, kita tidak terlalu mengetahui tentang kegiatan Beliau di Kyoto. Berdasarkan surat yang dikirimNya dari Kuil Onjo Ji (Sekarang Kota Otsu, Daerah Administrasi Shiga). Jadi, saya bermaksud menceritakan legenda mengenai kegiatan Nichiren di Kuil Onjo Ji.
Sebagai seorang bhiksu yang telah kembali dari belajar di Kamakura ke Kyoto dan tinggal di Kuil Onjo Ji. Beliau tinggal disebuah asrama. Rencho gembira mempunyai seorang teman baru, yang menceritakan kepadaNya tentang sebuah kejadian aneh yang terjadi di Kamakura; Sebuah pelangi muncul dilangit dan matahari bersinar dengan terangnya; dan sebuah komet besar muncul menyebabkan orang-orang menjadi khawatir akan terjadinya malapetaka. Kemudian, pada tanggal 12 bulan ketiga tahun Hoji ke-satu (1247), sebuah meteor raksasa muncul disebelah timur laut, dan menuju kearah barat daya, bersinar dengan sangat terang
sehingga malam hari seperti siang hari; juga sebuah suara guntur yang sangat kuat dan mengetarkan tanah; Semua ini menakutkan semua orang, mereka semua bagaikan kehilangan jiwanya.
Sebuah kejadian misterius yang luar biasa adalah terdapatnya banyak kupu-kupu kuning yang bermunculan pada tanggal 17 bulan ketiga tahun yang sama. Hari itu, suasana sangat cerah, sekumpulan kupu-kupu berwarna kuning bermunculan dan memenuhi daerah
seluas tiga meter dengan panjang 30 meter. Kupu-kupu yang memenuhi langit bagaikan kain berwarna kuning yang melambai-lambai. Mereka terbang kesana-sini atau hinggap diatap-atap rumah. Orang-orang di Kamakura berlarian keluar dan tertarik untuk melihat pemandangan itu. Tidak lama kemudian, kupu-kupu itu pun mati dan berserakan dirumah-rumah penduduk. Dikatakan pada jaman dulu, kupu-kupu kuning juga pernah muncul didaerah Hitachi dan Shimotsuke (Sekarang Daerah
K
Ket: Foto menunjukkan sebuah tungku perapaian besar yang dibangun oleh Egawa Tarozaemon (1801 5), seorang keturunan dari tuan. Egawa untuk mengenang Rencho yang telah memberikan ceramah “Seekor Tikus Sehari dan Seekor Tikus Sebulan.” Banyak meriam yang dibuat ditungku ini, yang digunakan oleh Jepang untuk mempertahankan diri dari serangan asing. Tempat ini telah ditetapkan sebagai “Lokasi Bersejarah” oleh pemerintah, demikian juga tempat tinggal Tuan Egawa, yang berada dilokasi daerah Nirayama, Daerah Administrasi Shizuoka. Terdapat sebuah papan kayu, dimana Nichiren Shonin menuliskan Odaimoku, yang dikatakan dipasang
Bersambung ke Hal. 16
Seri Penjelasan Saddharma Pundarika Sutra
Oleh: YM.Bhiksu Shokai Kanai
Sumber Acuan: Buku "The Lotus Sutra" By Senchu Murano Diterjemahkan oleh: Josho S.Ekaputra
RINGKASAN
e o r a n g G u r u D h a r m a
adalah siapa saja yang
menyebarluaskan ajaran-ajaran Sang Buddha tanpa melihat apakah ia telah ditahbiskan ataukah belum. Bab ini menjelaskan siapakah
Guru Dharma itu dan apa yang harus dilakukan oleh sang guru. Juga dalam bab ini dikatakan bahwa sangatlah penting untuk mendukung sang guru. Dalam bab-bab terdahulu, Buddha Sakyamuni berbicara kepada
shomon atau ‘pendengar’ seperti
Shariputra dan Maudgalayana. Tapi mulai bab ini, Ia berbicara kepada para Bodhisattva. Tubuh fisik dari Sang Buddha akan tiada. Setelah kewafatanNya, keberadaan para Guru Dharma sangat dibutuhkan. Mereka harus mempraktekkan welas asih, kelembutan, kesabaran, dan kesetaraan bagi semua mahkluk hidup.
PENJELASAN
“Jika setelah ketiadaanKu seseorang bergembira, meski untuk sesaat pikiran, karena mendengar meski sebuah gatha atau sebait sutra, Aku juga akan memastikan bahwa kelak ia akan mencapai Kebudhaan.” (P.171, L. 16 - L.19):
Pada masa Akhir Dharma,
BAB X
GURU DHARMA
sejumlah besar kejahatan-kejahatan yang tak terbayangkan terjadi, tapi jika ada orang yang bergembira karena mendengar sebait sutra dari Saddharma Pundarika Sutra, mereka adalah orang-orang yang akan menghapus kegelapan dari dunia ini. Bagi orang-orang seperti ini, Sang Buddha memastikan bahwa mereka akan mencapai Kebuddhaan.
Anda yang bergembira dalam kelas pembelajaran Saddharma Pundarika Sutra ini adalah orang-orang yang pasti kelak akan mencapai Kebuddhaan.
Lima Pelaksanaan bagi
Guru Dharma: 1. Mempertahankan, 2. Membaca, 3. Melafalkan / mengucapkan, 4. Membabarkan, 5. Menyalin.
Dari kelima pelaksanaan tersebut, Mempertahankan Sutra ini
adalah yang terpenting. Pelaksanaan
yang lain adalah cara pendukung untuk mempertahanan sutra ini.
“Aku telah membabarkan banyak sutra.” (P.175, L.24):
Semua sutra sebelum
Saddharma Pundarika Sutra termasuk
ke dalam kelompok ini.
“Sekarang aku membabarkan sutra ini.” (P.175, L.24):
Kalimat ini mengacu pada
Saddharma Pundarika Sutra.
“Aku juga akan membabarkan banyak lagi sutra di masa depan.” (P.175, L.25):
Sutra Meditasi dan Sutra Nirvana ada dalam kelompok ini.Dari semua sutra yang ada Sang Buddha Sakyamuni berkata, “Saddharma
Pundarika Sutra adalah yang terunggul dan merupakan gudang dari hakekat terpendam semua Buddha”
“Banyak orang membancinya karena merasa iri bahkan semasa hidupKu. Tak perlu lagi diragukan, jauh lebih banyak orang yang akan membencinya setelah ketiadaanKu.’ (P.175, Baris terakhir hingga halaman selanjutnya.):
Seseorang cenderung merasa iri kepada mereka yang lebih unggul daripada dirinya sendiri. Ketika mendengar Saddharma Pundarika Sutra bahwa para guru Dharma akan menjadi Buddha, ada sebagian
MEDITASI JALAN
O'DAIMOKU
Oleh: Josho S.Ekaputra
ada buletin bulan Nopember 2005, kita telah membahas tata cara Meditasi Penyebutan O'daimoku (Shodaigyo), yang tentu saja sangat menunjang dalam peningkatan spiritualitas dan hati kepercayaan kita. Meditasi bertujuan untuk mencapai ketenangan, kedamaian, dan terpenting pada akhirnya mencapai Jalan Pencerahan. Kesempatan kali ini, saya akan menjelaskan sebuah metode meditasi yang sering digunakan dalam Nichiren Shu, selain Meditasi Shodaigyo juga terdapat Meditasi Jalan O'daimoku. Sebagaimana halnya dengan Shodaigyo, Meditasi Jalan ini juga berkonsentrasi pada penyebutan O'daimoku dan gerak Jalan yang sesuai dengan irama dan nafas.
Persiapan untuk O'daimoku Jalan yakni: O'Juzu, dan Sebuah Drum Tangan (lihat gambar), selain itu kesiapan fisik dan waktu. Jika meditasi secara bersama-sama, seorang peserta memukul drum dan yang lain mengikuti aba-aba yang diberikan atau bisa juga setiap peserta memiliki drum tangan. Beberapa petunjuk dalam meditasi ini: 1. O’Juzu dipakai ditangan kiri (dilingkarkan dilengan atau ditelapak tangan). Jika tidak memegang drum tangan, posisi tangan dalam Anjali Mudra (Gassho).
2. Jika mempunyai Drum Tangan (setiap orang), pegang drum ditangan kiri, dan pemukul ditangan kanan, tentunya O’juzu dipakai dilengan atau telapak tangan 3. Pukul drum dengan lima ketukan (lima
aksara “Myo Ho Ren Ge Kyo”), untuk “Namu” ketukan tidak dilakukan. Pukullah drum dengan penuh semangat. 4. Kemudian tariklah nafas melalui hidung
dan keluarkan seiringan dengan penyebutan O’daimoku dan langkah kaki.
5. Mulailah melangkah dengan kaki kiri terlebih dahulu, dan ketika melangkah menyebut aksara “Namu” dan diikuti oleh kaki kanan dengan aksara “Myo”, kiri (“Ho”), kanan (“Ren”), kiri (“Ge”), kanan (“Kyo”) dan kembali ke awal lagi.
6. Perhatikan nafas, ketika melangkah keluarkan nafas seiringan dengan penyebutan O’daimoku (sama seperti di Shodaigyo). 7. Irama dan kecepatan penyebutan disesuai dengan kemampuan,
apakah satu tarikan nafas dua kali penyebutan O’daimoku atau satu kali?
P
8. Pandangan mata mengarah ke depan kecuali ketika menaiki tangga.
9. Perhatian diarahkan pada penyebutan O’daimoku dan Irama Nafas.
10. Seluruh pikiran, telinga, badan (kaki) diarahkan dan konsentrasi dalam meditasi ini.
11. Laksanakan meditasi ini semampunya, jika telah letih beristirahatlah dan yang terpenting adalah lakukan dengan penuh kegembiraan.
12. Setelah selesai berdoalah dan limpahkan jasa kebajikan dari penyebutan O’daimoku ini untuk kebahagiaan diri sendiri dan seluruh mahluk.
O'daimoku jalan ini adalah salah satu ciri khas yang unik dari Nichiren Shu. Para bhiksu/ bhiksuni dan umat awam mampu melakukannya. Ketika pelatihan
para Bhiksu/bhiksuni di Kuil Pusat Minobu San Kuon Ji, meditasi ini dilakukan setiap hari pagi dan malam. Gunung Minobu yang merupakan sebuah gunung yang cukup tinggi, tentu saja menjadi medan latihan mental dan spiritual yang baik bagi para bhiksu. Penyatuan diri dan O'daimoku sangat penting dalam upaya untuk memperoleh Jalan Pencerahan. Meditasi ini adalah pertapaan yang sangat penting dan memiliki keunggulan dibandingkan meditasi lainnya. Kita tidak hanya dapat menang atas pikiran kita, tetapi juga kita telah melestarikan dan menyebarluaskan Saddharma
Pundarika Sutra.
Demikianlah panduan
Meditasi Jalan O'daimoku, semoga kita semua semakin maju dalam Dharma dan spiritualitas. Gassho.
Ket. (Kiri) Panduan kaki ketika melaksanakan Meditasi Jalan O'daimoku.
orang yang membencinya karena merasa iri. Inilah salah satu dari sekian banyak alasan kenapa Nichiren Daishonin mendapat penganiayaan berkali-kali selama kehidupanNya.
“Kau tidak perlu menyemayamkan sariraKu (abu – sisa-sisa peninggalan) dalam stupa. Karena Ia (Sutra ini) akan mengandung tubuhKu yang sempurna.” (P.176, L.11.):
Ini tidak berarti kita boleh mengabaikan abu atau sarira dari Buddha Sakyamuni, tapi kita tidak perlu terikat untuk menyemayamkan abu tersebut. Yang lebih penting lagi, kita harus menganggap kata-kata dan aksara dari Saddharma
Pundarika Sutra sebagai Buddha
itu sendiri. Oleh karena itulah dalam
“Kaikyo-ge” kita membaca:
“Aksara-aksara yang menyusun sutra ini semuanya adalah Buddha dalam Perwujudannya.”
“Sutra ini membuka pintu gerbang makna sesungguhnya dan mengungkapkan kunci kebenaran.” (P.177, L. 5.):
Selama upacara pemakaman dalam Nichiren Shu, kalimat ini selalu dibacakan untuk membimbing jiwa orang yang meninggal kepada dunia spiritual Buddha setelah mengetuk pinggiran peti mati untuk membangunkan mereka kepada Kebenaran.
“Mereka seharusnya masuk ke ruangan Tathagata, mengenakan jubah Tathagata, dan duduk di tempat duduk Tathagata.” (P.177,
L.18.):
B u d d h a S a k y a m u n i menyarankan orang-orang yang membabarkan Saddharma Pundarika
Sutra agar mereka memiliki welas asih
yang besar kepada semua mahkluk hidup, bersikap lembut dan sabar, serta memandang semua hal secara setara tanpa terikat kepada satu hal.
S a n g B u d d h a j u g a menyemangati para guru Dharma dengan mengatakan, “Jika ia dibenci
dan diancam dengan pedang, tongkat, atau batu, Aku akan mewujudkan orang-orang dan mengutus mereka untuk melindunginya.”
Nichiren Daishonin adalah sebuah contoh sempurna tentang janji perlindungan dari Buddha Sakyamuni seperti yang terungkap dalam kalimat tersebut diatas. Gassho, "Namu
Myoho Renge Kyo."
Sambungan Dari Hal. 14
Buku "Penjelasan Shutei Gohonzon Nichiren Shonin"
(Ditulis Bulan Ketiga Tahun Koan Ketiga, 1280 dan digunakan oleh
seluruh umat Nichiren Shu).
Penyusun Oleh: Josho S.Ekaputra
aicho adalah pendiri sekte
Tendai di Jepang. Ia ditahbiskan menjadi seorang bhiksu pada usia 19 tahun 785 dan kemudian Ia menyepi ke Gunung Hiei. Disana ia menghabiskan waktunya dengan bermeditasi, melafalkan dan menyalin sutra-sutra, serta mempelajari tulisan-tulisan Chih'i.
Pada tahun 804 ia dikirim oleh pemerintah, ke China beserta dengan muridnya Gishin (781-833), yang juga seorang penerjemah. Dan disana ia menghabiskan waktu sembilan bulan mempelajari Buddhisme T’ien-t’ai bersama Tao sui, pemimpin ke-tujuh dari sekte T’ien-t’ai, dan Hsing-man, yang juga merupakan murid langsung dari Chan-jan.
Beberapa bagian dari waktunya dihabiskan di Gunung T'ien-t'ai sendirian. Saicho juga menerima ajaran-ajaran bodhisattva dari Sutra Jaring Brahma dari Tao-sui, beberapa pelatihan terbatas dalam Buddhisme ajaran rahasia, dan pembabaran dari Buddhisme Ch’an. Ia kembali ke Jepang pada tahun 805 dan mendirikan dua jalur fokus pembelajaran di Gunung Hiei. Yang pertama; untuk pelaksanaan Buddhisme ajaran rahasia, dan
Mahaguru Dengyo
atau Saicho
(767-822 M)
kedua; untuk p e l a k s a n a a n meditasi. Dari tahun 809 hingga 816, Saicho dan Kukai (Pendiri Shingon Shu) saling bertukar ajaran dan bantuan. Namun hubungan tersebut berakhir ketikaKukai meminta Saicho untuk menjadi muridnya, jika ia ingin mempelajari Buddhisme ajaran rahasia secara mendalam, dan juga belakangan ketika salah satu murid Saicho menolak untuk kembali ke Gunung Hiei karena lebih memilih mempelajari Buddhisme Shingon di bawah Kukai. Saicho juga terkenal akan debatnya melalui surat-surat dan risalah-risalah yang ia lakukan dengan Bhiksu Sekte Hosso, Tokuitsu pada awal tahun 817.
Saicho memperdebatkan keuniversalan sifat Buddha melawan teori Hosso yang mengatakan bahwa manusia memiliki sifat terpendam yang berbeda-beda, dan bahwa hanya sebagian orang yang mampu mencapai keBuddhaan, sedang yang lainnya tidak akan mampu mencapai penerangan yang sekecil apapun.
Debat ini hanya berakhir setelah kematian Saicho
Semenjak tahun 818, Saicho mulai melobi pihak pemerintah untuk mendirikan landasan ajaran (kaidan) Mahayana di Gunung Hiei berdasarkan ajaran Mahayana dari Sutra Jaring Brahma. Ijin baru diberikan seminggu setelah kematiannya. Saicho meninggal pada tahun 822. Gishin menjadi penerusnya dan pemimpin ke-dua dari sekte Tendai, Jepang. Pada tahun 823, Kaisar Saga memberi kan nama baru kepada kuil di Gunung Hiei, Enryaku-ji. Pada tahun 866, Kaisar Seiwa menganugerahkan nama Dengyo Daishi kepada Saicho. Ini adalah yang pertama kalinya seorang kaisar pernah memberikan gelar Daishi (Mahaguru). Lambang: Seorang Bhiksu Jepang. Gassho.