• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Peta Kawasan Cagar Budaya Muarajambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Peta Kawasan Cagar Budaya Muarajambi"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Cagar Budaya Muarajambi

Gambar 2.1 Peta Kawasan Cagar Budaya Muarajambi

Kawasan Cagar Budaya Muarajambi terletak di tepi aliran Sungai Batanghari yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera, berhulu di Pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di pantai timur Jambi. Pada masa lalu hingga akhir tahun 1990-an Sungai Bat1990-anghari masih aktif menjadi jalur utama tr1990-ansportasi y1990-ang menghubungkan wilayah hulu dan hilir di Jambi, termasuk apabila akan berkunjung ke Kawasan Cagar Budaya Muarajambi. Seiring dengan perkembangan pembangunan, saat ini untuk menuju lokasi Muarajambi dapat ditempuh dengan

(2)

kendaraan darat lebih kurang 20 kilometer dari Kota Jambi, atau 30 kilometer dari Sengeti, Ibukota Kabupaten Muaro Jambi. Kawasan Cagar Budaya Muarajambi mendapat status warisan budaya nasionla melalui penetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No: 259/M/2013 dengan luas kawasan 3.981 Hektar, terletak pada

LS, LS dan BT, BT (Balai

Pelestarian Cagar Budaya Jambi:1).

Lokasi kawasan menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi (2007) berada di atas tanggul alam purba yang membujur sepanjang 8 kilometer dengan ketinggian rata-rata antara 8 hingga 12 meter di atas permukaan laut.

Peninggalan kepurbakalaan di kawasan ini meliputi kompleks percandian, situs permukiman kuno, dan sistem jaringan perairan masa lalu dengan cakupan lokasi delapan desa, yakni Desa Muara Jambi, Desa Danau Lamo, Desa Dusun Baru, Desa Kemingking Luar, Desa Kemingking Dalam, Desa Dusun Mudo, Desa Teluk Jambu, dan Desa Tebat Patah. Desa-desa tersebut masuk dalam wilayah Kecamatan Maro Sebo dan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi (Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi:1).

Menurut Schinitger (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007) keberadaan Cagar Budaya Muarajambi diketahui pertama kali dari laporan seorang perwira Inggris bernama S.C. Crooke yang pada tahun 1820 ditugaskan mengunjungi daerah-daerah pedalaman sepanjang Sungai Batanghari. Ia mencatat bahwa di antara masyarakat pemukim ada anggapan bahwa Muarajambi pada suatu ketika pernah merupakan ibukota dari sebuah kerajaan kuno. Crooke sempat menyaksikan

(3)

reruntuhan bangunan-bangunan bata dan arca batu diantara rerimbunan hutan dekat desa.

Menurut Amerta (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007) berdasarkan laporan-laporan Belanda dan Inggris ini, tahun 1954 tim survei di bawah pimpinan Soekmono yang dibentuk pemerintah Indonesia untuk melakukan peninjauan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala Sumatera Selatan, menyempatkan diri datang ke Muaro Jambi yang kala itu masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain adalah Candi Astano, Gumpung, dan Tinggi. Ketiga bangunan kuno ini masih berupa gundukan, tertutup rapat vegetasi hutan. Sayangnya, karena kedatangan tim sejak semula dimaksudkan untuk melihat dan melakukan inventarisasi, maka penelitian dalam bentuk ekskavasi tidak dilakukan pada kesempatan itu.

Sementara kegiatan penelitian berlangsung hingga sekarang, pada tahun 1976 sebuah menapo berukuran besar tinggi dan besar mulai “dikupas”. Proses pengupasan berlangsung lebih dari satu tahun yang pada akhirnya dapat mengungkapkan bentuk keseluruhan dari menapo tersebut, yaitu sebuah candi yang sebagian atap dan tubuhnya telah runtuh. Candi ini kemudian diberi nama Candi Tinggi. Pada tahun 1978, candi ini mulai dipugar dan berakhir pada tahun 1987. Pada saat pemugaran Candi Tinggi sedang berjalan, pengupasan dilanjutkan pada menapo-menapo lainnya secara berurutan, yang kemudian diikuti dengan pemugarannya. Berturut-turut pemugaran dilakukan pada Candi Gumpung tahun 1982 s.d. 1988, Candi Astano tahun 1985 s.d. 1989, Candi Kembarbatu tahun 1991 s.d. 1995, Candi Gedong I tahun

(4)

1966 s.d. 2000, dan terakhir adalah Candi Gedong II dimulai tahun 2001 s.d. selesai, Candi Tinggi I tahun 2005 s.d. selesai (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

Informasi pertama tentang Jambi ditemukan pada catatan Cina dari masa Dinasti T’ang (618-906 M) yang menyebutkan mengenai kedatangan utusan kerajaan Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644-645 M. Nama Mo-lo-yeu dapat dikaitkan dengan nama kerajaan melayu yang berpusat di sekitar kota Jambi sekarang. Kata Melayu kembali disebutkan dalam naskah yang ditulis oleh I-Tsing yang dalam perjalanan ziarahnya ke India pada tahun 672 M singgah di Shih-li-fo-sih (Sriwijaya) selama 6 bulan kemudian singgah di Melayu selama 2 bulan. Ketika kembali ke Melayu tahun 692 M, ia menuliskan bahwa Melayu telah menjadi Sriwijaya, apa yang diceritakan I-Tsing ini sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang berangka tahun 686 M dan ditemukan di Jambi hulu. Prasasti ini berisikan kutukan raja Sriwijaya bagi siapa saja yang berani menentang kekuasaannya (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

Selanjutnya pada naskah berita Cina abad ke 9 M diceritakan bahwa Chan-pi (Jambi) atau Pi-chan telah mengirim misi ke Cina tahun 853 dan 871 M. Chan-pin merupakan tempat bersemayam Maharaja San-fot-tsi (Sriwijaya) di mana rakyatnya tinggal dalam bangunan yang dibangun di sepanjang tepian sungai, sementara raja dan pejabat tinggal di daratan (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

(5)

Beberapa deskripsi tentang Kawasan Cagar Budaya Muarajambi adalah sebagai berikut :

A. Candi Gumpung

Gambar 2.2 Candi Gumpung

Candi Gumpung merupakan salah satu candi di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi. Menurut Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, Candi Gumpung

terletak pada LS dan BT. Candi Gumpung pertama kali

disebut oleh F.M. Schnitger dalam laporan tahun 1937. Boechari dalam laporannya berusaha untuk mengetahui pertanggalan Candi Gumpung melalui paleografi pada prasasti-prasasti emas yang ditemukan di dalam Candi Gumpung. Tulisan pada prasasti diduga berasal dari pertengahan abad ke-9 s/d permulaan abad ke-10 Masehi. Indikatornya diketahui dari ciri umum bentuk huruf, antara lain kecenderungan bentuk bulat dan adanya kuncir pada huruf-huruf tertentu. Candi Gumpung memiliki halaman yang dibatasi dengan pagar keliling berbentuk bujursangkar 150 m 155 m.

(6)

Ketinggian permukaan tanah rata-rata adalah 14,7 m dpl. Arah hadapnya ke timur, sesuai dengan kedudukan gapura utama yang menghadap ke timur.

Ukuran Candi Induk 17,9 m 17,3 m dan Candi Perwara 9,85 m 9,75 m. Candi Gumpung dibatasi bagian utara oleh Parit Johor dan kebun, bagian timur jalan setapak, bagian selatan gedung koleksi, dan bagian barat oleh Parit Sungai Jambi dan kebun (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

B. Candi Tinggi

Gambar 2.3 Candi Tinggi

Candi Tinggi merupakan salah satu candi di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi yang pertama kali disebut oleh F.M. Schnitger dalam laporan tahun 1937, terletak pada LS dan BT. Luas kompleks Candi Tinggi 2,92 Ha terdiri dari 1 bangunan induk, 6 bangunan perwara dan pagar keliling. Bangunan induknya telah dipugar berdenah bujursangkar, berukuran 16 m 16 m dengan tingginya 7,6 m. Pada awalnya bangunan ini dibangun dalam 2 tahap, struktur bangunan yang lebih tua ditemukan masih tetap utuh di bagian dalam bangunan. Bagian penampil dan tangga naik berada di sebelah selatan. Sedangkan bangunan

(7)

perwara berbentuk bujur sangkar terletak menyebar di timur laut, barat, barat daya dan selatan dari bangunan induk. Keadaan sekarang dari bangunan tersebut yang tersisa hanya bagian pondasi serta sedikit bagian kaki. Gapura menuju komplek candi terletak di timur dan barat. Candi Tinggi dibatasi bagian utara oleh Parit Johor dan kebun, bagian timur oleh halaman luar candi, bagian selatan oleh jalan setapak, dan bagian barat oleh halaman luar candi (Balai Pelestarian Cagar Budaya:8).

C. Candi Kembarbatu

Gambar 2.4 Candi Kembarbatu

Candi ini tidak diketahui tahun pembangunannya, tapi dari hasil beberapa temuan berupa gong bertuliskan huruf Cina, lempengan-lempengan emas, batu akik, bata bertuliskan huruf Jawa Kuno dan keramik Cina dapat disimpulkan sekitar abad 10-12 M, tetapi hal tersebut tidak dapat dikaitkan dengan pembangunan candi melainkan aktivitas manusia masa lalu berkaitan dengan keberadaan candi tersebut (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

(8)

Kompleks Candi Kembarbatu terletak 250 meter di sebelah tenggara Candi Tinggi dengan luas lahan Candi Kembarbatu 59 m 63 m. Secara geografis berada

pada LS dan BT. Komponen Komplek Candi Kembarbatu

antara lain : 1 candi induk, 5 perwara yang telah dipugar, 2 perwara yang belum dipugar, 2 struktur bangunan yang belum diketahui fungsinya, pagar keliling, gapura dan parit keliling. Secara keseluruhan komponen bangunan yang ada di Komplek Candi Kembarbatu terbuat dari bata. Arah hadap candi induk menghadap ke timur, perwara I menghadap ke timur-barat, perwara II dan V menghadap ke timur, dan perwara III dan IV menghadap ke utara (Balai Pelestarian Cagar Budaya:9).

D. Candi Gedong I

Gambar 2.5 Candi Gedong I

Kompleks Candi Gedong I terletak pada titik koordinat LS dan BT. Kompleks candi yang berdiri di lahan seluas 5.525 m2 ini telah dipugar pada tahun 1998 (Balai Pelestarian Cagar Budaya:14).

(9)

Pagar yang mengelilingi komplek candi ini berukuran 65 m 85 m, sedang bangunan induk berdenah bujursangkar berukuran 14,5 m 14,5 m, sedangkan tangga naik sebelah timur. Letak bangunan induk tepat berada di tengah halaman, melainkan agak bergeser ke belakang mendekati pagar sisi barat. Pada tangga naik di sisi timur terdapat hiasan berbentuk palang (+). Di lokasi ini ditemukan 6 buah umpak (alas tiang bangunan) dari batu, pecahan arca batu berbentuk kepala budha, sejumlah batu bata bergambar dan bata bertulis, pecahan genteng, selain itu juga ditemukan pecahan keramik Cina dari masa dinasti Sung, Yuan, Ming, dan Ching selain itu keramik Eropa dan pecahan-pecahan kaca kuno dari Timur Tengah dan India. Candi ini dibatasi oleh kebun kecuali bagian barat terdapat Candi Gedong II (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

E. Candi Gedong II

(10)

Kompleks candi ini memiliki luas berukuran 75 m 67,5 m. Di halaman tersebut berdiri bangunan induk berukuran 9 m 9 m dan sebuah perwara. Dari lokasi ini ditemukan arca gajah yang di atas punggungnya dinaiki singa (Arca Gadjahsingha). Arca ini terbuat dari batu pasiran dan sekarang tersimpan di Gedung Koleksi Percandian Muaro Jambi. Di dalam Kompleks Candi Gedong II yang telah mengalami pemugaran pada gapura candi. Candi Gedong II dibatasi kebun kecuali sisi bagian timur terdapat candi Gedong I. Candi ini terletak pada LS dan BT (Balai Pelestarian Cagar Budaya:15).

F. Candi Astano

Gambar 2.7 Candi Astano

Candi ini secara geografis terletak pada LS dan

BT. Candi ini dikelilingi parit buatan berbentuk temu gelang. Bangunan induknya berdenah persegi dua belas dan diperkirakan pembangunannya dilakukan dalam 3

(11)

tahap. Bangunan pertama sebagai yang tertua dan tertinggi berada di tengah, sedangkan bangunan kedua dan ketiga mengapit di sebelah timur dan baratnya. Pada waktu dilakukan pembersihan di lingkunag candi ditemukan dua buah padmasana dari bahan batu, 14 potongan arca batu, pipisan, lesung batu, manik-manik dan keramik asing maupun lokal dan disimpan gedung koleksi Muarajambi (Balai Pelestarian Cagar Budaya:19).

G. Candi Kedaton

Gambar 2.8 Candi Kedaton

Candi Kedaton secara astronomis terletak LS dan

BT. Keberadaan Candi Kedaton diketahui pada tahun 1976, setelah diadakan kegiatan survei kepurbakalaan di lingkungan Muaro Jambi oleh Ditlinbinjarah. Kompleks Candi Kedaton merupakan bangunan terbesar diantara gugusan candi-candi di dalam Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, memiliki luas lahan 43.000 m2. Pemugaran telah dimulai pada tahun 2009 yangmeliputi bangunan induk, perwara, gapura utama dan pagar. Bangunan induk berukuran m, di bagian dalam

(12)

bangunan terisi batu kerakal dari jenis kuarsa, obsidian, kaldeson, andesit, dan konglomerat. Pada gapura utama yang berukuran m, di sisi selatan terdapat 2 makara dengan tulisan yang dipahat dalam bahasa Jawa Kuno dan sisi utara terdapat 1 makara. Tulisan pada makara dalam aksara “ Kadiri Kuadrat” yang berasal sekitar abad XI masehi. Makara sisi selatan sebelah barat terdapat 2 baris tulisan dalam bahasa aksara Jawa Kuno dengan bunyi: [1] || pamursitanira mpu ku [2] suma || 0 \\ ~ dan makara sisi selatan sebelah timur terdapat tulisan dengan bunyi: ⦁ so nga (Balai Pelestarian Cagar Budaya:15-16).

H. Candi Teluk I

Gambar 2.9 Lokasi Candi Teluk

Candi Teluk I secara astronomis terletak 102 22’45’’ BT dan 01 24’33’’ LS. Keberadaan Candi Teluk ditemukan secara kebetulan pada tahun 1980, sebuah buldoser yang sedang meratakan tanah untuk persiapan pembangunan pabrik menabrak sisa bangunan kuno, segera setelah itu tim dari Ditlinbinjarah dan

(13)

Puslitarkenas Jakarta mengadakan survei sekaligus melakukan ekskavasi untuk memperoleh keyakinan bahwa yang ditabrak itu bagian dari bangunan kuno (Candi Teluk I) dan daerah tersebut merupakan situs purbakala. Candi Teluk terletak di pinggiran DAS Batanghari tepatnya Sungai Kemingking. Ada 4 buah gundukan tanah yang di identifikasi merupakan candi induk berdenah empat persegi dengan ukuran 20 m 20 m menghadap timur laut, candi perwara berdenah segi empat ukuran 11 m 20 m letaknya sebelah timur laut dari candi induk, gapura berdenah segi delapan ukuran 11 m 5 m terletak di sebelah timur laut candi induk. Pagar keliling berdenah bujursangkar dan berukuran 50 m 50 m (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

I. Candi Teluk II

Candi Teluk II ditemukan bersamaan dengan Candi Teluk I secara kebetulan pada tahun 1980, sebuah buldoser yang sedang meratakan tanah untuk persiapan pembangunan pabrik menabrak sisa bangunan kuno, segera setelah itu tim dari Ditlinbinjarah dan Puslitarkenas Jakarta mengadakan survei sekaligus melakukan ekskavasi untuk memperoleh keyakinan bahwa yang ditabrak itu bagian dari bangunan kuno (Candi Teluk I) dan daerah tersebut merupakan situs purbakala. Lokasi candi ini di sebelah selatan Candi Teluk I sekitar 350 m. Candi ini berdenah bujursangkar dengan ukuran 12 m 12 m, lahan candi dengan mess karyawan lokai candi berada di lahan terbuka saat ini digunakan sebagai lokasi pembakaran kayu potongan limbah pabrik (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

(14)

J. Candi Koto Mahligai

Gambar 2.10 Candi Koto Mahligai

Candi Koto Mahligai terletak sekitar m sebelah barat laut Candi Kedaton. Secara geografis berada pada 103 38’20.4’’ BT dan 01 28’15.3’’ LS. Di sebelah tenggara situs sekitar 340 m mengalir Sungai Amburanjalo yang bermuara di Sungai Batanghari. Kompleks ini berdasarkan hasil penelitian memiliki ukuran m dan berdenah persegi panjang yang berbeda dengan panjang pagar selatan, sehingga bentuknya lebih mendekati belah ketupat (Balai Pelestarian Cagar Budaya:17).

(15)

K. Kolam Telagorajo

Gambar 2.11 Kolam Telagorajo

Keberadaan Kolam Telagorajo ditemukan pada pertengahan tahun 1970-an, kepastian fungsi Kolam Telagorajo belum jelas, tetapi sedikit dapat disimpulkan keberadaan kolam tersebut dikaitkan dengan tempat waduk control supaya air tidak menggenangi lingkungan candi dan persediaan air bersih masyarakat masa lalu. Perlu adanya penelitian yang lebih mendalam untuk mengungkap keberadaan kolam tersebut. Kolam Telagorajo terletak 100 meter sebelah tenggara Candi Gumpung. Kolam ini terbuat dari tanah dengan bagian tepi tidak berlapis bata dan kedalamannya sekitar 2 sampai 3 meter dari permukaan tanah sekarang, jika dihitung dari gundukan tanah yang mengelilingi kolam sekitar 3 sampai 4 meter (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

(16)

L. Menapo-Menapo

Gambar 2.12 Menapo-Menapo

Di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi selain terdapat candi yang telah dipugar dan kolam Telagorajo ada 70 menapo yang perlu dilakukan kegiatan pemugaran. Keberadaan 70 menapo yang ada di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi menyebar ke seluruh kompleks yang memiliki luas wilayah 2.062 Ha (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

M. Kanal-Kanal Kuno

(17)

Bagian penting dari Kawasan Cagar Budaya Muarajambi selain bangunan candi, kolam Telagorajo dan menapo, yaitu adanya kanal-kanal kuno yang mengelilingi kawasan percandian. Kanal-kanal inilah yang dahulu disamping berfungsi sebagai symbol kosmologis dalam konteks budhisme, juga berfungsi sebagai sarana transportasi antar candid an sabuk pengaman kawasan yang disucikan. Sampai saat ini keberadaan kanal-kanal ini masih dapat ditelusuri dengan nama; Sungai Jambi, Sungai Melayu, Parit Johor, Parit Buluh, Parit Sekapung, Sei. Seno dan Sungai Buluran Dalam (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, 2007).

N. Bukit Perak

Gambar 2.14 Bukit Perak

Bukit Perak salah satu yang disebut oleh F.M. Schnitger dalam laporan tahun 1937, terletak di Desa Baru Kecamatan Maro Sebo. Bukit Perak memiliki luas lahan 1,2 Ha dan memiliki diameter bagian bawah m dengan ketinggian 18,2 m. Bukit Perak berada pada 01 28’44.8” LS dan 103 37’28.6” BT. Bukit ini merupakan

(18)

satu-satunya bukit yangberada di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dan berada di sisi barat Kawasan Cagar Budaya Muarajambi (Balai Pelestarian Cagar Budaya:18).

2.2 Etnomatematika

Istilah ethnomathematics yang selanjutnya disebut etnomatematika diperkenalkan oleh D’Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Definisi etnomatematika menurut D’Ambrosio adalah:

The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths, and simbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as ciphering, measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived from techne, and has the same root as technique (Rosa & Orey, 2011:35)

D'Ambrosio (1990:21) ethnomathematics didefinisikan dengan cara sebagai berikut: Awalan ethno saat ini diterima sebagai istilah yang sangat luas yang mengacu pada socialcultural konteks dan karena itu termasuk bahasa, jargon, dan kode perilaku, mitos, dan simbol-simbol. Derivasi dari mathema sulit, tetapi cenderung berarti menjelaskan, untuk mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, pengukuran, pengklasifikasian, menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran tics berasal dari techne, dan memiliki akar yang sama dengan teknik.

Menurut Gerdes (1996:909) ethnomathematics yang dapat didefinisikan sebagai antropologi budaya matematika dan pendidikan matematika, merupakan sebuah bidang menarik yang relatif baru, yang terletak diantara pertemuan matematika dan antropologi budaya. Pandangan yang dominan terhadap matematika

(19)

adalah bahwa matematika terbebas dari budaya (culture-free), dan sebuah fenomena yang universal. Ethnomathematics muncul paling lambat dibandingkan dengan ethnosciences yang lain. Diantara matematikawan, ahli etnografi, psikolog dan pendidik, yakni Wilder, White, Fettweis, Luquet, dan Raum tercatat sebagai pelopor utama ethnomathematics.

Etnomatematika adalah matematika yang diterapkan oleh kelompok budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas profesional, dan lain sebagainya (Gerdes, 1994). Berdasarkan definisi seperti ini, maka etnomatematika memiliki pengertian yang lebih luas dari hanya sekedar etno (etnis) atau suku. Jika ditinjau dari sudut pandang riset maka etnomatematika didefinisikan sebagai antropologi budaya (cultural anropology of mathematics) dari matematika dan pendidikan matematika. Mengapa etnomatematika menjadi disiplin ilmu dan menjadi perhatian luas akhir-akhir ini. Salah satu alasan yang bisa dikemukakan adalah karena pengajaran matematika di sekolah memang terlalu bersifat formal.

Gagasan etnomatematika akan dapat memperkaya pengetahuan matematika yang telah ada. Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka bukan tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Matematika sebagai bentuk budaya, sesungguhnya telah terintegrasi pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dimanapun berada.

(20)

Pada hakekatnya matematika merupakan teknologi simbolis yang tumbuh pada keterampilan atau aktivitas lingkungan yang bersifat budaya. Dengan demikian matematika seseorang dipengaruhi oleh latar budayanya, karena yang mereka lakukan berdasarkan apa yang mereka lihat dan rasakan. Budaya akan mempengaruhi perilaku individu dan mempunyai peran yang besar pada perkembangan pemahaman individual, termasuk pembelajaran matematika.

Pendidikan matematika sesungguhnya telah menyatu dengan kehidupan masyarakat itu sendiri. Kenyataan tersebut bertentangan dengan aliran "konvensional" yang memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan yang "bebas budaya" dan bebas nilai. Para pakar etnomatematika berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan matematika sampai kapanpun tidak terlepas dari budaya dan nilai yang telah ada pada masyarakat.

Menurut D’Ambrosio (Gerdes, 1996:913) kurikulum matematika di sekolah harus selaras dengan budaya, tetapi bukan berarti ethnomathematics menggantikan kurikulum. Artinya, kurikulum matematika di sekolah harus menggabungkan ethnomathematics sedemikian rupa sehingga dapat mempermudah mendapatkan pengetahuan, mudah memahami dan menyelaraskan pengetahuan itu dengan praktik-praktik (budaya) yang sudah mereka kenal sebelumnya.

Konsep ethnomathematics lahir dari konsep-konsep yang ada sebelumnya. Kolonialis pendidikan menyajikan matematika sebagai sesuatu yang kebarat-baratan, European, atau sebagai sebuah karya eksklusif dari orang-orang kult putih. Pada konteks tersebut, banyak pihak yang menentang dengan menyajikan konsep-konsep

(21)

dalam penelitian-penelitiannya. Berbagai konsep diajukan untuk memberikan sebuah perbedaan antara ethnomathematics dan matematika sekolah yang ditransplantasikan ke dalam sistem sekolah negara berkembang. Beberapa istilah yang diajukan, diantaranya indigenous mathematics, socio-mathematics, informal mathematics, spontaneous mathematics, folk mathematics, people’s mathematics, dan lain-lain. Berbagai aspek yang dijelaskan oleh konsep sementara tersebut sedikit demi sedikit disatukan dalam sebuah sebutan yang lebih umum oleh D’Ambrosio, yaitu ethnomathematics. Proses penyatuan tersebut dideklarasikan dalam Internatinal Study Group on Mathematics (ISGEm) pada tahun 1985 (Gerdes, 1996:913-915).

Konsep ethnomathematics dihubungkan dengan matematika dari (sub) budaya tertentu. Matematika akademik adalah contoh konkret dari ethnomathematics. Jika semua ethnomathematics adalah matematika, maka mengapa hal itu disebut ethnomathematics?. Gerdes (1996:915) menjawab pertanyaan tersebut agar memungkinkan istilah ethnomathematics didefinisikan pada level yang berbeda, yakni sebagai sebuah kajian penelitian yang menggambarkan sebuah dukungan dan kesadaran dari adanya banyak bentuk dari matematika, khususnya untuk (sub) budaya tertentu.

Sebagai sebuah kajian penelitian, ethnomathematics dapat didefinisikan sebagai antropologi budaya dari matematika dan pendidikan matematika. Bahkan lebih umumnya, konsep ethnosciences mungkin dikembangkan. D’Ambrosio menggambarkan konsep ini sebagai studi ilmiah yang oleh karenanya fenomena technological berkaitan langsung dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya

(22)

mereka. Dalam pengertian ini, ethnomathematics dianalogikan sebagai studi tentang ide-ide matematika dari sekelompok orang dan tidak tercantum dalam literatur (Gerdes, 1996:915).

Gerdes (1996:916-917) memaparkan perkembangan ethnomathematics yang dapat dicirikan sebagai berikut:

1. Para ethnomathematician (Bishop, 1997:1) mengadopsi konsep-konsep umum dari matematika, yaitu counting, locating, measuring, designing, playing, dan explaining.

2. Para ethnomathematician menggaribawahi dan memperinci pengaruh dari faktor-faktor sosial budaya ke dalam pengajaran, pembelajaran dan perkembangan matematika.

3. Para ethnomathematician berpendapat bahwa teknik dan hakekat matematika adalah sebuah produk budaya; serta menekankan bahwa semua orang (setiap budaya dan sub budaya) mengembangkan bentuk matematikanya sendiri.

4. Para ethnomathematician menggarisbawahi bahwa hal-hal yang ditranspalantasi dan dimasukkan ke dalam kurikulum matematika sekolah saat ini berbeda dengan tradisi budaya yang terdapat di Afrika, Asia dan Amerika Selatan.

5. Para ethnomathematcian mencoba berkonstri terhadap pengetahuan realisasi matematika dari orang-orang kolonialis terdahulu. Mereka mencoba untuk merekontruksi matematika original yang berkaitan dengan cara berpikir,konsep dan prinsip.

(23)

6. Para ethonmathematician di negara-negara ‘Third World’ mencari matematika yang terdapat dalam sebuah tradisi yang hidup lebih lama dari kolonialis, terutama matematika dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Mereka mencoba mengembangkan cara untuk menggabungkan tradisi dan aktivitas tersebut kedalam kurikulum.

7. Para ethnomathematician juga mencari faktor-faktor budaya dan aktivitas-aktivitasnya yang berpotensi sebagai sebuah titik awal untuk pembelajaran matematika di dalam kelas.

8. Pada konteks pendidikan, para ethnomathematician umumnya menyukai suatu pandangan sosial-kritikal dan penafsiran pendidikan matematika yang memungkinkan siswa untuk merefleksikannya ke dalam kenyataan dimana mereka tinggal, dan mendorong mereka untuk mengembangkan dan menggunakan matematika dalam sebuah cara yang bebas.

Tampaknya bahwa sejauh ini sebagian besar penelitian ethnomathematicial telah diarahkan untuk mengidentifikasi dan mempelajari berbagai budaya bentuk-bentuk matematika yang berbeda dari dominan, standar akademis dan matematika sekolah. Bishop (Gerdes, 1996:926-927) membedakan diantara tiga pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ethnomathematical sebagai berikut :

1. Menyelidiki pengetahuan matematika dalam budaya tradisional. Penelitian ini telah diinformasikan oleh pendekatan antropologis yang menekankan keunikan pengetahuan dan praktek-praktek untuk dipelajari dalam penelitian ini,karena memiliki nilai-nilai dan kebiasaan dari kelompok yang bersangkutan.

(24)

2. Menyelidiki pengetahuan matematika masyarakat non-Western. Pendekatan ini lebih bersifat historis, dengan penekanan utama adalah pada analisis dokumen-dokumen sejarah.

3. Menyelidiki pengetahuan matematika kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Penekanan dalam jenis penelitian adalah socio-psychological, dengan focus mengelaborasi bagaimana pengetahuan matematika tertentu yang terkait dengan praktik-praktik nyata dari kelompok yang diteliti telah terbentuk secara sosial.

Tujuan penelitian ethnomathematical, secara umum adalah untuk mendapatkan perspektif lain terhadap matematika dan pelajaran matematika. Tujuan lain dari penelitian ethnomathematical adalah untuk mengeksplorasi sifat perbedaan budaya untuk tujuan sosial atau politik. (Barton, 1996:198).

Ide-ide matematika berkembang di mana-mana karena orang dapat hidup dalam budaya yang berbeda,tetapi melakukan hal yang hamper sama. Beberapa kegiatan yang dilakukan semua orang sangat penting dalam mengembangkan ide-ide matematika. Bishop (1997:1) berpendapat bahwa ada enam kegiatan utama yang perlu diperhatikan dalam suatu budaya untuk mengembangkan ide-ide matematika, yaitu :

1. Counting (Perhitungan)

Kegiatan ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan “berapa banyak?”. Hal itu dilakukan dengan cara menggambarkan angka, catatan mereka dan menghitung

(25)

bersama mereka. Beberapa objek yang digunakan sebagai alat hitungan adalah jari, anggota tubuh, batu, tongkat, dan benang.

2. Locating (Lokasi)

Kegiatan ini menyangkut penemuan jalan di sekitar mereka, navigasi, orientasi diri sendiri dan menjelaskan di mana hal-hal yang berkaitan satu sama lain. Arah kompas, bintang, matahari, angin, peta digunakan oleh orang di seluruh dunia untuk menemukan cara mereka dan posisi mereka. Banyak ide-ide geometris berasal dari kegiatan ini.

3. Measuring (Pengukuran)

“Berapa banyak” adalah sebuah pertanyaan yang ditanyakan dan dijawab di mana-mana. Apakah itu adalah jumlah dari kain, makanan, tanah atau uang yang dinyatakan. Pengukuran adalah suatu keterampilan yang berkembang pada semua orang. Bagian tubuh, pot, keranjang, tali, manik-manik, koin, semuanya telah digunakan sebagai unit, seperti yang telah ditulis dan digambar jumlah di atas kertas atau kain.

4. Designing (Merancang)

Bentuk sangat penting dalam geometri dan berasal dari merancang objek untuk menyajikan tujuan yang berbeda. Objeknya dapat kecil dan biasa, seperti sendok, atau bahkan simbolis penting seperti kuil. Secara matematis kita tertarik pada bentuk dan desain yang digunakan dengan sifat yang berbeda.

5. Playing (Permainan)

Setiap orang bermain dan setiap orang mengambil bermain sangat serius! Tidak semua permainan penting dari sudut pandang matematika, tetapi teka-teki,

(26)

paradoks logis, aturan permainan, strategi untuk menang, menebak, kesempatan dan perjudian, semua menunjukkan bagaimana dengan bermain dapat memberikan kontribusi untuk mengembangkan pemikiran matematika.

6. Explaining (Penjelasan)

Memahami mengapa sesuatu terjadi seperti yang mereka lakukan adalah sebuah pencarian manusia universial. Dalam matematika kita tertarik untuk mengetahui mengapa pola angka terjadi, mengapa bentuk geometris berpola sama, mengapa satu hasil mengarah ke hasil yang lain, mengapa beberapa hari alam tampaknya mengikuti hukum matematika.

Adapun tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangan modus yang berbeda dimana budaya yang berbeda merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).

2.3 Deskripsi Candi Tinggi 2.3. 1 Keletakan Gugusan Candi

Dalam laporan proyek pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala Jambi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:8) gugusan Candi Tinggi dan Candi Gumpung merupakan dua gugusan bangunan kuno di antara sejumlah gugusan Candi di Muaro Jambi. Kedua gugusan ini terletak di sebelah utara Sungai Batanghari dengan jarak sekitar 600 m, atau sekitar 500 m jauhnya dari desa

(27)

Muaro Jambi yang terletak di sebelah selatannya. Di sebelah barat dan timur dari kedua gugusan ini berjajar beberapa candi, dan di antara gugusan candi-candi itu terdapat jajaran menapo. Jarak antara satu candi ke candi yang lain sekitar 400 m, sedangkan jarak antara satu menapo ke menapo yang lain sekitar 100 m.

Kelompok Candi Tinggi terletak 200 meter Timur Laut Candi Gumpung. Candi ini mulai dipugar tahun 1979 sampai tahun 1988. Kelompok Candi Tinggi memiliki pagar keliling dengan ukuran 75 92 meter. Pada sisi timur dan barat pagar terdapat reruntuhan gapura. Pintu gerbang utamanya berada di sisi timur. Di dalam halaman kelompok candi tinggi terdapat sebuah candi induk dan enam buah candi perwara (penampil). Hasil penelitian menunjukkan tanah halaman candi ditinggikan dari permukaan tanah sekelilingnya. Selain itu terdapat sisa lantai bata di depan candi induk (Saudagar, 2013:74).

Candi Tinggi terletak di sebelah timur-laut Candi Gumpung dan di sebelah timur sungai Melayu. Candi Tinggi dikelilingi pagar halaman yang terbuat dari bata dengan ukuran 92 75 m. Letak Candi Tinggi kira-kira 14,80 m di atas permukaan laut. Candi Tinggi memiliki 2 gapura masing-masing terletak di timur dan barat (Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1984:27-28).

(28)

2.3. 2 Bangunan Induk

Gambar 2.15 Bangunan Induk Candi Tinggi

Bangunan induk yang telah dipugar itu berdenah bujursangkar, berukuran 16,20 17,00 m. Bagian penampil dan tangga masuk yang menuju ke tubuh candi berada di sebelah selatan, berukuran 5,24 5 m. Bangunan induk ini tidak berada tepat di tengah halaman yang berukuran sekitar 92 75 m, melainkan lebih dekat pada pagar halaman sebelah utara. Jenis bahan bangunan induk ini seluruhnya dari bata yang kualitasnya cukup baik. Bangunan ini telah selesai dipugar dari kaki sampai tubuh candi, dan pada lantai di atas kaki candi dibuatkan saluran air yang menembus struktur bangunan, lalu keluar di bagian bawah kaki candi. Tinggi keseluruhan bangunan yang tampak sekarang adalah 7,60 m dari muka tanah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:28).

Candi induk memiliki denah berbentuk bujur sangkar ukuran 16 16 meter, dengan tangga naik menghadap ke selatan. Analisis terhadap struktur bata menunjukkan bahwa bangunan induk Candi Tinggi sedikitnya pernah dibangun dua

(29)

kali, terbukti dengan adanya bangunan lain yang lebih tua ditemukan masih utuh di dalam bagian dalam struktur. Setelah dipugar, maka candi induk memiliki 2 teras dan tubuhnya cenderung mengecil ke atas. Selain candi induk, ada 6 buah candi lagi yang hanya ada bagian fondasi dan sedikit bagian kakinya saja (Saudagar, 2013:74).

Perbingkaian yang tampak dari kaki sampai tubuh candi adalah pelipit rata, bingkai sisi miring, dan bingkai sisi genta. Ditinjau dari segi mekanis, bangunan ini cukup kokoh dan baik karena di dalamnya diperkuat dengan konstruksi beton. Meskipun bangunan induk ini telah selesai dipugar, namun masih terlihat pula adanya kerusakan bersifat fisik, kimiawi, dan biologis. Karena permukaan bata kulit hampir seluruhnya mengalami penyelesaian dengan cara dipahat, akibatnya pori-pori dan retakan bata tampak lebih besar, serta tekstur permukaan bata menjadi kasar. Hal ini tentunya dapat menjadi faktor yang mempercepat proses pelapukan, karena bata mudah menyerap air. Ditinjau dari segi kimiawi, bangunan ini mengalami proses pelarutan unsur kapur dari semen akibat air yang menyusup ke dalam bangunan bersinggung dengan beton, serta adanya pengendapan garam di permukaan batanya. Gangguan biologis terjadi pada lantai selasar yang ditumbuhi lumut dan ganggang. Pada waktu hujan bagian bata kulit pelipit bawah dan atas serta sebagian bidang datar dari kaki maupun tubuh candi terkena langsung aliran air, akibatnya bagian-bagian tersebut juga telah ditumbuhi lumut dan ganggang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:28-29).

(30)

2.3. 3 Candi Perwara

Pada saat sekarang tampak bahwa di halaman Candi Tinggi terdapat 6 Candi Perwara yang keletakannya tidak beraturan. Ke-enam Candi Perwara ini juga dibuat dari bata, termasuk bahan isiannya. Candi Perwara I terletak dekat sudut timur-laut bangunan induk, berdenah bujursangkar dengan ukuran 2,5 2,5 m. Bangunan iini tidak mempunyai penampil dan yang tampak sekarang hanya bagian kakinya saja. Selain itu tampak bahwa keletakan bangunan ini berada di bawah permukaan tanah sekarang. Candi Perwara II terletak berdampingan dengan Candi Perwara III dan berada di sebelah barat bangunan induk. Candi Perwara II berdenah bujursangkar dengn ukuran 2,5 2,5 m, dan bangunannya menghadap ke selatan. Candi Perwara III berdenah bujursangkar, berukuran 4 4 m, juga menghadap ke selatan seperti Candi Perwara II yang ada di dekatnya. Dari kedua Candi Perwara yang telah selesai dipugar ini sekarang hanya dapat dilihat kakinya saja. Candi Perwara IV terletak di sudut barat-daya halaman, berdenah bujur sangkar dengan ukuran 7 7 m. Banguna-bangunannya menghadap ke timur. Kini Banguna-bangunannya sudah dikupas dan sedang dipugar. Dari bangunan ini yang Nampak juga hanya tinggal bagian kaki saja. Pada waktu studi berlangsung telah dilakukan ekskavasi di Candi Perwara ini dengan tujuan untuk menyelamatkan peripih yang diperkirakan masih berada di dalam sumuran. Dari hasil ekskavasi ternyata tidak ditemukan peripih maupun sumuran di bawah bangunan ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa Candi Perwara IV sejak semula tidak pernah memiliki peripih. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa di bagian dalam bangunan Candi Perwara ini tidak didapati lantai bata yang biasanya

(31)

digunakan sebagai letak dari sumuran. Candi Perwara V terletak berhadapan dengan bangunan induk, yaitu di sebelah selatannya. Kenyataan yang tampak sekarang bahwa bangunan ini masih berupa gundukan tanah dan bata serta ditumbuhi oleh rerumputan. Diperkirakan Candi Perwara V ini juga berbentuk bujursangkar dengan ukuran 12 12 m. Sedangkan Candi Perwara VI yang terletak dekat sudut barat-daya bangunan induk hamper seluruh bangunannya telah hilang, dan yang tampak sekarang adalah sebagian dasar kaki bangunan serta tampak sekarang adalah sebagian dasar kaki bangunan serta sumuran yangsudah dalam keadaan terbuka. Di sini pun telah dilakukan ekskavasi yang lebih bertujuan untuk menyelamatkan benda-benda upacara yang diperkirakan masih berada di dalam sumuran tersebut. Secara keseluruhan tampak bahwa kondisi bangunan-bangunan Candi Perwara yang sebagian besar hanya tinggal bagian kaki dan sekarang ini sedang dipugar maupun yang sudah selesai dipugar masih dalam keadaan baik. Namun demikian masih juga terlihat adanya kelembaban pada bangunan-bangunan tersebut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:29-31).

2.3. 4 Pagar Halaman

Pagar halaman Candi Tinggi keseluruhannya juga terbuat dari bata. Pagar halaman candi ini telah selesai dipugar yakni sepanjang 335,95 m dengan perincian : sisi utara 93,90 m, sisi selatan 92, 35 m, sisi barat 74,80 m, dan sisi timur 74,90 m; kecuali pagar halaman yang terletak di sisi timur dekat gapura I sepanjang 15 m. Sekarang ini kondisi pagar halaman yang tersebut masih baik, namun demikian masih

(32)

terdapat kelembaban yang mengakibatkan tumbuhnya ganggang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:31).

2.3. 5 Gapura

Gapura I terletak di pagar halaman sisi timur; gapura II terletak di pagar halaman sisi barat. Tampak bahwa keletakan kedua gapura ini tidak segaris. Dari hasil pengupasan tanah yang menutupi kedua gapura ini telah ditemukan kaki bangunannya. Pada gapura I bagian kaki bangunannya masih dapat diketahui secara jelas, dengan ketinggian maksimal bata kulit yang masih tersisa adalah sebanyak 29 lapis atau setinggi 1,16 m. Kondisi batanya pun masih terlihat baik bila dibandingkan dengan kondisi bata yang ada di bagian tengah, kebanyakan sudah rapuh. Dilihat dari sisa-sisa susunan batanya diketahui bahwa di bagian tengah penampil susunannya lebih tinggi rata-rata 7 lapis bata, demikian pula susunan bata di bagian dasar tidak sama tinggi. Bata yangdigunakan untuk bangunan gapura I di sisi timur ini berukuran 4 15 24 cm. Hasil pengupasan tanah di sekitar gapura I memperlihatkan adanya susunan bata dengan posisi mendatar yang memanjang sejajar dengan pagar halaman. Panjang struktur lantai yang tampak ini adalah sepanjang 12 m, lebar 3,80 m, dan diduga masih terdapat lanjutannya. Selain itu pada struktur lantai ini telah ditemukan semacam selokan yang diperkirakan bebas saluran air. Namun selama studi berlangsung kelanjutan dari struktur lantai serta adanya bekas saluran air ini belum diketahui (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:33-34).

(33)

2.3. 6 Kolam

Tidak jauh dari pagar halaman sebelah barat Candi Tinggi kini dapat dilihat adanya sebuah cekungan besar yang hampir sepanjang tahun berisi air. Cekungan ini ditumbuhi rumput-rumputan yang sangat lebat, dan jaraknya dari pagar halaman sekitar 4 m. Proyek pemugaran dan Penelitian Sejarah dan Purbakala Jambi di Muara Jambi pada bulan Juli tahun 1980 telah menggali beberapa bagian dari cekungan tersebut yang tujuannya untuk membuktikan dugaan adanya sisa-sisa bangunan kolam pada cekungan itu. Penggalian ini menghasilkan semua sisa-sisa susunan bata yang masih dalam keadaan utuh di ke-empat ujung parit. Ukuran tebalnya sekitar 50 cm dan tinggi yang masih dapat diamati sekitar 50 cm. Dari bukti-bukti yang didaptkan ditafsirkan bahwa cekungan tersebut tidak lain adalah kolam kuno yang dindingnya diperkuat dengan tembok bata. Denah kolam diperkirakan berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 14 14 m (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:34-35).

2.3. 7 Temuan Artefak

Selama dilakukan pembersihan dan pemugaran terhadap bangunan induk, Candi Perwara, serta pagar keliling telah ditemukan sejumlah artefak, antara lain berupa fragmen arca dari batu dan perunggu, bata-bata bertulis dan bergambar, lempengan emas bertulis dan polos, fragmen tembikar dan porselin, serta batu-batu mulia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:35-39).

(34)

2.4 Pengungkapan Aspek-Aspek Matematika pada Candi Tinggi Melalui Etnomatematika

Para ahli memperkirakan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi merupakan peninggalan Kerajaan berlatarbelakang kebudayaan agama Buddha Mahayana yang telah berkembang di Sumatera dari abad VII-XII Masehi. Penelitian arkeologi pada bangunan-bangunan bata salah satunya di Candi Tinggi (Balai Pelestarian Cagar Budaya:5).

Adanya aktivitas budaya pada Kawasan Cagar Budaya Muarajambi diperlihatkan adanya perubahan nilai-nilai kemanusiaan penting, pada sebuah jangka waktu atau suatu masa area kebudayaan dunia. Kawasan Cagar Budaya Muarajambi menggambarkan pertukaran nilai budaya dan kemanusiaan dalam sebuah jangka waktu antara Hindhu-Buddha di Indonesia dan khususnya di Jambi. Nilai kemanusiaan dapat terlihat pada bangunan candi berdasarkan filosofi Hindhu-Buddha (Balai Pelestariaan Cagar Budaya Jambi:6).

Untuk mendapatkan gambaran pengungkapan aspek-aspek matematika pada Candi Tinggi melalui etnomatematika menggunakan literatur sebuah Tesis yang ditulis oleh William David Barton dari University of Auckland pada tahun 1996 dengan judul Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics.

Pada bagian definisi ethnomathematics, disebutkan dua subjek penting untuk mengungkap aspek-aspek matematis dalam aktivitas budaya melalui ethnomathematics. Dua subjek penting tersebut adalah researcher dan people from other cultures. Menurut Barton (1996:199-200) researcher dalam study ethnomatematics adalah seseorang yang secara khusus memahami matematika.

(35)

Mereka bisa jadi adalah para matematikawan atau seorang lain yang telah mendapatkan pengalaman tentang matematika dalam riwayat pendidikannya. People from other cultures dalam ethnomathematics adalah orang-orang yang tidak memahami matematika dengan cara yang sama yang dilakukan oleh researcher.

Dua istilah penting dalam pengungkapan aspek-aspek matematis menggunkan ethnomathematics adalah practices dan concepts. Istilah practices dan concepts merujuk kepada definisi yang diyakini oleh people from other cultures. Kedua istilah itu bermakna luas dan merepresentasikan berbagai aktivitas atau ide yang dimiliki oleh sekelompok people from other cultures tersebut yang bisa dianggap bersifat matematis oleh researcher (Barton, 1996:200).

Practices merujuk kepada sesuatu yang dilakukan oleh people from other cultures dan menjadi kebiasaan. Sesuatu tersebut membutuhkan pengulangan-pengulangan aktivitas, dilakukan pula secara seragam oleh sebagian besar kelompoknya. Practices harus dapat dikenali secara umum, dan bisa untuk didiskusikan, baik bagi kelompok budaya yang bersangkutan ataupun bagi orang-orang di luar kelompok tersebut. Ide matematis yang terdapat dalam practices atau concepts tersebut bergantung kepada level abstraksi dari researcher. Level abstraksi tersebut digunakan pula untuk memahami struktur practices yang sedang dikaji (Barton, 1996:201).

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk pula pada kajian ethnomathematics ini, banyak para ilmuwan juga para matematikawan yang mengkritik disertasi Barton bahkan berujung kepada pengkritikan terhadap metodologi penelitian yang digunakan pada domain ethnomathematics itu sendiri.

(36)

Kritik langsung terhadap hal tersebut pernah dikemukakan secara terbuka oleh Vithal dan Skovsmose (Alangui, 2010:26-30) yang mempertanyakan apakah bisa proses interpretasi aktivitas budaya menjadi konsep dan model-model matematika yang didasarkan kepada kemampuan berpikir abstrak akan menghasilkan struktur matematika yang baru dan merombak apa yang sudah dipraktikkan (dalam struktur matematika) saat ini. Kritik lain dikemukakan pula oleh Rowlands dan Carson (Alangui, 2010:36) mereka berpendapat bahwa ada banyak aktivitas budaya yang bisa dengan mudah dideskripsikan secara matematis namun sebenarnya secara matematika pendeskripsian itu tidaklah terlalu penting.

Oleh karena itu, para pengkritik ethnomathematics mempertanyakan seberapa relevankah kemampuan mengabstraksi ide-ide matematika pada aktivitas budaya itu? Lalu, apakah kemampuan abstraksi tersebut sudah secara langsung menjamin bahwa ide-ide matematis tersebut memang benar-benar ada pada aktivitas budaya yang diteliti?

Di tahun 2002 hingga tahun 2010, kritikan-kritikan tersebut telah dijawab oleh para peneliti ethnomathematics. Wilfredo Vidal Alangui adalah salah satu peneliti ethnomathematics yang menjawab kritikan-kritikan tersebut yang berasal dari University of Auckland dan salah seorang mahasiswa bimbingan Bill Barton. Alangui menjawab kritikan-kritikan tersebut melalui disertasinya yang berjudul Stone Walls and Water Flows: Interrogating Culturak Practice and Mathematics.

Dalam disertasi Alangui (2010:11) diakui bahwa hasil disertai Barton (1996) telah mengakibatkan problematis di dalam metodologi penelitian ethnomathematics. Alangui (2010) menggarisbawahinya dengan istilah “dual danger” sebagai gambaran

(37)

atas problematis tersebut. Dual danger yang dimaksud adalah penggunaan ideologi kolonialisme dan praktik dekontekstualisasi pengetahuan.

Menurut Alangui (2010) jika menggunakan secara utuh hasil disertasi Barton (1996) maka “…the unintentional perpetration of ideological colonialism and knowledge decontextualisation ini ethnomathematical research”. Dengan kata lain bahwa penelitian-penelitian ethnomathematics justru akan secara tidak sengaja mempraktikkan ideologi kolonialisme, serta melakukan dekontekstualisasi pengetahuan. Padahal semangat awal lahirnya ethnomathematics adalah sebagai kritik terhadap ideologi kolonialisme dalam pendidikan matematika serta memberikan ruang yang cukup untuk melakukan kontekstualisasi pengetahuan.

Alangui (2010:11) menjelaskan maksud dari ideologi kolonialisme atau kolonialisasi yang dilakukan secara tidak sengaja disini adalah suatu pemaksaan konsep-konsep dan struktur matematika ke dalam pengetahuan yang tertanam pada praktik kebudayaan. Sebagaimana diungkapkan dengan “…the imposition of concepts and structures of mathematics into the knowledge embedded in cultural practice”. Kemudian, maksud dari dekontekstualisasi pengetahuan adalah mencabut keluar pengetahuan serta praktiknya dari konteks kebudayaan dalam rangka menyoroti makna matematika yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana diungkapkannya dengan “…the taking of knowledge and practice out of their cultural context in order to highlight their inherent mathematical value”.

Menyikapi kritikan yang muncul atas metodologi yang digunakan dalam penelitian ethnomathematics, Alangui (2010) mengajukan istilah baru yaitu “Mutual Interrogation”. Metodologi mutual interrogation dalam penelitian ethnomathematics

(38)

sebenarnya adalah modifikasi dari Barton (1996). Di beberapa bagan, perspektif yang digunakan Alangui (2010) masih mengadopsi perspektif Barton (1996). Mutual interrogation boleh dipandang sebagai upaya untuk melakukan Critical Dialogues (dialog kritis) sehingga memungkinkan para peneliti (ethnomathematicians) mengemukakan alasan kultural perlunya ethnomathematics seklaigus menepis kemungkinan terjadinya dual danger.

Definisi mutual interrogation adalah suatu proses yang mengatur dua sistem pengetahuan yang berkedudukan sama (tidak menjadi bagian dari yang satu dengan yang lain) dalam rangka untuk menyoroti kesamaan dan perbedaan diantara keduanya, serta untuk menggali potensi demi meningkatkan bahkan mentransformasi bentuk keduanya. Sebagaimana diungkapkan bahwa mutual interrogation adalah “…the process of setting up two systems of knowledge in parallel to each other in order to illuminate their similiarities and differences, and explore the potential of enhancing and transforming each other” (Alangui, 2010:86).

Maksud dari dua sistem pengetahuan di atas merujuk kepada: (1) pengetahuan yang tertanam pada aktivitas budaya, dan (2) pengetahuan lazim dari matematika. Poin penegasannya ada pada matematika, ini karena dalam konteks pembicaraanethnomathematics penegasan tersebut berarti menemukan atau mengungkap perbedaan cara-cara mengetahui hal-hal yang dianggap sebagai elemen-elemen matematika. Kemudian, proses interogasi (pemeriksaan, pengajuan pertanyaan) terhadap dua sistem pengetahuan diselenggarakan dengan cara melakukan dialog kritis antara pelaku budaya dan matematikawan melalui perantara peneliti ethnomathematics.

(39)

Alangui (2010) meyakini bahwa untuk menghindari dual danger maka sudah menjadi kebutuhan yang pokok untuk bersikap kritis dan melakukan dialog-dialog yang bersifat interogatif secara konstan. Prinsipmutual interrogation adalah mengakui posisi dan cara pandag dari para ahli di dua sistem pengetahuan (pelaku budaya dan matematikawan). Penyelenggaraan dialog menjadi semacam mimbar bagi pelaku budaya untuk menyuarakan opini dan pandangan mereka.

Dari literatur di atas, dapat dikaji bahwa melalui mutual interrogation, peran para peneliti ethnomathematics menjadi sangat krusial (penting). Ini dikarenakan melalui para penelitilah proses interogasi kepada dua ahli sistem pengetahuan dapat diselenggarakan. Selain memfasilitasi terselenggaranya dialog tersebut, para peneliti ethnomathematics juga diharapkan dapat melakukan refleksi secara kritis terhadap asumsi dan keyakinan mereka sendiri tentang matematika dan mampu menggali alternatif-alternatif konsep. Diharapkan melalui proses tersebut para peneliti ethnomathematics pada akhirnya mendapatkan “perceptual shift” (persepsi baru yang lebih tinggi) tentang matematika. Penggambaran mengenai perceptual shift dapat disimak dari pernyataan Alangui (2010:45-46) berikut ini:

“This shift or change in conception of mathematics, when it finally happens, is a critical moment in the ethnomathematical process, and is necessarily influenced by the perspective that the ethnomathematician uses ih her/his investigation and the way s/he conducts the investigation”.

2.5 Keterkaitan Konsep Matematika dengan Bangunan Candi Tinggi

Untuk mengungkapkan keterkaitan konsep matematika dengan bangunan Candi Tinggi digambarkan sebagai berikut:

(40)

Gambar 2.16 Ilustrasi Bangunan Induk Candi Tinggi Tampak Atas

Berikut ini adalah penjabaran gambar dan contoh penggunaan etnomatematika sebagai salah satu alternatif pengenalan objek geometri pada candi tinggi.

Tabel 2.1 Keterkaitan Konsep Matematika dengan Bangunan Candi Tinggi

No. Objek Candi Tinggi Konsep Matematika

1. Bentuk bangunan.

Bangunan induk Candi Tinggi berdenah bujursangkar, berukuran 16 m 16 m dengan tinggi 7,6 m.

Konsep geometri.

Bangun ruang sisi datar balok.

2. Batu bata penyusun candi. Konsep bangun datar.

Dinding Candi Tinggi terdiri dari susunan batu jika

(41)

No. Objek Candi Tinggi Konsep Matematika dipandang sebagai bangun datar berbentuk persegi panjang.

3. Bagian penampil bawah. Konsep pencerminan bangun

datar.

Garis biru merupakan sumbu pencerminan.

Jika garis tebal merupakan bangun asli maka garis tipis merupakan bayangannya.

3. Permukaan dinding candi Konsep sudut dan garis-garis

sejajar.

Sudut tersebut merupakan sudut siku-siku.

(42)

No. Objek Candi Tinggi Konsep Matematika

4. Konsep pola bilangan.

Persegi panjang berwarna merah membentuk pola segitiga. Persegi panjang warna biru membentuk pola bilangan genap. Persegi panjang warna kuning

membentuk pola persegi. Dan persegi panjang warna putih membentuk pola garis lurus.

5. Konsep geometri, bangun

ruang sisi datar. Jika Candi Tinggi dipandang sebagai balok, maka dapat

diidentifikasi rusuk balok. Garis merah dapat dikatakan sebagai panjang, garis hitam sebagai lebar, dan garis biru sebagai tinggi.

(43)

No. Objek Candi Tinggi Konsep Matematika 6. Permukaan atas dan samping bagian penampil

candi tinggi

Konsep geometri, bangun ruang sisi datar. Jika Candi tinggi dipandang sebagai bangun ruang balok, dapat diidentifikasi sisi atau

permukaan balok. Garis warna putih sebagai sisi tegak balok yang berbentuk persegi panjang. Dan garis warna merah sebagai sisi datar balok.

2.6 Materi Luas Permukaan Balok

1. Balok dan Unsur-unsurnya A. Mengenal Balok

Balok merupakan bangun ruang beraturan yang dibentuk oleh tiga pasang persegi panjang yang masing-masingnya mempunyai bentuk dan ukuran yang sama. Balok mempunyai nama dengan penamaan diurutkan menurut nama sisi alas dan sisi atasnya. Analog dengan penamaan pada kubus, maka balok di samping diberi nama balok ABCD.EFGH dengan bidang alas ABCD dan bidang atas EFGH (Sukino dan Simangunsong, 2007:308).

(44)

B. Unsur-unsur Balok

Seperti halnya kubus, balok juga mempunyai tiga unsur utama yang merupakan pembentuk balok tersebut. Unsur-unsur utama itu adalah sisi balok, rusuk balok dan titik sudut balok.

1) Sisi Balok

Balok mempunyai tiga pasang sisi yang masing-masing pasang berbentuk persegi panjang yang sama bentuk dan ukurannya. Sisi balok dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu :

a. Sisi datar, terdiri atas sisi alas (ABCD) dan sisi atas (EFGH) yang saling sejajar.

b. Sisi tegak, terdiri atas sisi depan (ABFE) sejajar dengan sisi belakang (DCGH), sisi kiri (ADHE) sejajar dengan sisi kanan (BCGF).

2) Rusuk

Sebuah balok mempunyai 12 rusuk. Rusuk-rusuk tersebut terbagi dalam tiga bagian yang masing-masing terdiri atas empat rusuk yang sejajar dan sama panjang. Bagian pertama terdiri atas rusuk-rusuk terpanjang, yaitu rusuk AB, DC, EF, dan HG. Bagian ini disebut panjang balok. Bagian kedua terdiri atas rusuk-rusuk tegak yaitu AE, BF, CG, dan DH, bagian ini disebut tinggi balok. Bagian ketiga terdiri atas rusuk-rusuk miring (rusuk nonfrontal), yaitu AD, BC, EH, dan FG, bagian ini disebut lebar balok (Sukino dan Simangunsong, 2007:308).

(45)

3) Titik Sudut Balok

Perhatikan rusuk-rusuk balok pada gambar di samping. Sebuah rusuk akan bertemu dengan dua rusuk lainnya. Tiga buah rusuk balok yang berdekatan akan bertemu pada satu titik. Titik pertemuan itu disebut titik sudut balok.

Pada gambar di atas titik-titik sudut balok adalah titik sudut A, B, C, D, E, F, G, dan H. Titik sudut pada balok seluruhnya 8 buah. Sudut A berhadapan dengan sudut G, sudut B dengan sudut H, sudut C dengan sudut E, dan D dengan sudut F (Sukino dan Simangunsong, 2007:309). 2. Luas Permukaan Balok

Sebuah balok memiliki tiga pasang bidang sisi berupa persegi panjang. Setiap bidang sisi dan pasangannya saling berhadapan, sejajar, dan kongruen (sama bentuk dan ukurannya). Ketiga pasang bidang sisi tersebut adalah :

i. Sisi atas dan bawah Jumlah luas =

(46)

ii. Sisi depan dan belakang Jumlah luas =

iii. Sisi kanan dan kiri Jumlah luas =

Apabila sisi-sisi balok tersebut digambarkan mendatar maka akan terbentuk sebuah jaring-jaring balok. Luas dari jaring-jaring balok tersebut yang disebut sebagai luas permukaan balok.

Sehingga luas permukaan balok adalah luas keseluruhan dari permukaan atau bidang sisi pada balok.

Luas =

Gambar

Gambar 2.1 Peta Kawasan Cagar Budaya Muarajambi
Gambar 2.2 Candi Gumpung
Gambar 2.3 Candi Tinggi
Gambar 2.4 Candi Kembarbatu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan tantangan terbesar yaitu kurangnya pendanaan dalam membangun bangunan hijau, kurangnya perhatian publik terhadap bangunan hijau, dan kurangnya komitmen dari

Dengan adanya perubahan yang signifikan pa- da mukosa respiratorius yang dipaparkan pengha- rum ruangan cair, membuktikkan bahwa kandung- an zat kimia pada pengharum ruangan

Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan

Dari hasil pengamatan di laboratorium maka di dapat nilai kedalaman gerusan yang terjadi untuk bentuk pilar Ellips (1,5 cm) dan bentuk pilar persegi panjang

e. mempertimbangkan informasi dari manajemen risiko yang relevan; f. dibangun pengetahuan dan keterampilan yang ada di rumah sakit; g. dibangun praktek klinis yang

Dalam hal ini adalah kondisi dimana terjadi menurunnya kerja bosch pump (fuel injection pump) diesel generator penulis memberikan kesimpulan dan saran yang

Dengan demikian dapat dipilih model persamaan y = 0,005x , sebagai persamaan untuk pendugaan biomasa cabang pohon Huek (. Pada Gambar 4, terlihat model persamaan dan garis reg resi

Apabila dibandingkan dengan kandungan PK konsentrat jadi dimana kandungan PK nya sebesar 14.5 % (dengan asumsi ditambah dedak kasar) maka dapat disimpulkan bahwa