• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENYERAPAN NITROGEN DAN FOSFOR RUMPUT LAUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT PENYERAPAN NITROGEN DAN FOSFOR RUMPUT LAUT"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENYERAPAN NITROGEN DAN FOSFOR RUMPUT LAUT

Kappaphycus alvarezii

DAN

Eucheuma spinosum

PADA SISTEM

Integrated Multi Trophic Aquaculture

DI TELUK GERUPUK

ERNA YUNIARSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada Sistem Integrated Multi Trophic Aquaculture di Teluk Gerupuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014 Erna Yuniarsih NIM C151120431

(4)

RINGKASAN

ERNA YUNIARSIH. Tingkat Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem Integrated Multi Trophic Aquaculture di Teluk Gerupuk. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan I NYOMAN RADIARTA

Budidaya laut dengan konsep Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA) merupakan salah satu metode yang dirancang untuk mengatasi beberapa masalah lingkungan terkait penggunaan pakan pada kegiatan akuakultur . Dalam konsep IMTA rumput laut memiliki peranan sebagai biofilter dengan cara menyerap nutrien inorganik terlarut (nitrogen dan fosfor) kemudian merubahnya menjadi biomassa yang dapat dipanen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat penyerapan nitrogen dan fosfor rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem IMTA serta kondisi kualitas perairan secara umum pada sistem IMTA di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah. Budidaya rumput laut menggunakan metode rawai (long line) dengan ukuran 50x50 m2.Terdapat tiga unit long line rumput laut yang disiapkan dalam penelitian ini. Dua unit long line diletakkan pada sistem IMTA yaitu masing-masing di sisi barat (KaB=K. alvarezii barat; EsB= E. spinosum barat) dan sisi timur (KaT = K. alvarezii timur ; EsT= E. spinosum timur) unit karamba jaring apung (KJA) , dengan jarak masing-masing 20 m. KJA merupakan titik tengah dari sistem IMTA yang diaplikasikan, dimana unit KJA merupakan KJA jaring ganda terdiri dari empat lubang yang berukuran 3x3x3 m3. Pengamatan terhadap rumput laut dan kondisi perairan dilakukan setiap 15 hari, mulai hari ke-0 sampai hari ke-45. Parameter uji yang diamati pada rumput laut yaitu laju penyerapan nitrogen dan fosfor oleh rumput laut, pertumbuhan dan produksi karbohidrat rumput laut. Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia air. Analisis data rumput laut menggunakan analisis ragam (ANOVA) menggunakan software Minitab 16, sedangkan data kualitas air secara vertikal dianalisis menggunakan software Ocean Data View 4 (ODV).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air (parameter fisik dan kimia perairan) selama pemeliharaan rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum, di Teluk Gerupuk masih mendukung kegiatan budidaya rumput laut. Dari hasil analisis vertikal, menunjukkan bahwa parameter NO3-N banyak

terakumulasi pada sisi barat dari KJA, sedangkan untuk sebaran konsentrasi PO4

-P di perairan banyak terakumulasi di sisi timur dari KJA .

Laju penyerapan nitrogen berdasarkan biomassa panen pada rumput laut K. alvarezii di lokasi IMTA (86,95 ton N/hektar/tahun) mencapai 457,10 % lebih tinggi dibandingkan K alvarezii di lokasi kontrol (15,61 ton/hektar/tahun). Sedangkan laju penyerapan fosfor pada rumput laut K alvarezii di lokasi IMTA (20,56 ton P/hektar/tahun) mencapai 285,12 % lebih tinggi dibandingkan kontrol (5,34 ton P/hektar/tahun). Selain itu, laju pertumbuhan dan produksi karbohidrat K alvarezii di lokasi IMTA juga lebih tinggi, yang mengindikasikan tingkat pemanfaatan nitrogen dan fosfor pada proses fotosintesis rumput laut. Peningkatan bobot rata-rata K. alvarezii yang dibudidayakan di lokasi IMTA mencapai 4.114,36 gm-2 atau 89,87 % lebih tinggi dibandingkan K. alvarezii di lokasi control (2167,3 gm-2). Produksi karbohidrat yang dihasilkan dari biomassa

(5)

K. alvarezii pada akhir pemeliharaan meningkat hingga 138,16 gm-2 (KaB) ,

101,31 gm-2 (KaT) dan 51,82 gm-2(KaK) (berat kering), yaitu produksi karbohidrat

KaB lebih tinggi 266.6 % dibandingkan dengan produksi karbohidrat KaK.

Untuk rumput laut jenis E. spinosum laju penyerapan nitrogen berdasarkan biomassa panen di lokasi IMTA (69,78 ton N/hektar/tahun) mencapai 128,57 % lebih tinggi dibandingkan rumput laut sejenis di lokasi kontrol (30,53 ton N/hektar/tahun). Sedangkan untuk laju penyerapan fosfor E. spinosum, rumput laut di lokasi IMTA (8,69 ton P/hektar/tahun) mencapai 126,47 % lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (3,84 ton P/hektar/tahun). Pertambahan bobot rata rata-rata E. spinosum pada longline barat (EsB) di hari ke-45 mencapai 3.698,2 g

m-2 atau lebih tinggi 57,55 % dibandingkan longline kontrol (EsK) yaitu 2347,3 g

m-2). Produksi karbohidrat yang dihasilkan dari biomassa E. spinosum di akhir masa pemeliharaan (hari ke-45) adalah 104,9 gm-2 (EsB) , 89,7 gm-2 (EsT) dan

77,6 gm-2 (EsK) (berat kering). Produksi karbohidrat EsB 35% lebih tinggi

dibandingkan EsK.

Berdasarkan area potensial budidaya rumput laut di Teluk Gerupuk, potensi penyerapan nitrogen dan fosfor untuk K. alvarezii di lokasi ini masing-masing mencapai 27.996,93 ton N/tahun dan 6.619 ton P/tahun. Sementara untuk E. spinosum, potensi penyerapan nitrogen dan fosfor masing-masing mencapai 22.470,02 ton N/tahun dan 2796,82 ton P/tahun. Penerapan budidaya rumput laut berbasis IMTA secara jelas memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi dengan adanya peningkatan biomassa dan perbaikan kondisi lingkungan budidaya.

Kata kunci: Eucheuma spinosum, IMTA, Kappaphycus alvarezii, penyerapan nitrogen dan fosfor ,Teluk Gerupuk

(6)

SUMMARY

ERNA YUNIARSIH. Nitrogen and Phosphorus Absorption Levels Seaweed Kappaphycus alvarezii and Eucheuma spinosum on Integrated Multitrophic Aquaculture System in Gerupuk Bay. Supervised by KUKUH NIRMALA and I NYOMAN RADIARTA

Mariculture development based on IMTA (Integrated Multi-Trophic Aquaculture) is a method that design to address the issues on environmental problems related to the use of feed in aquaculture. In IMTA concept seaweed has a role as a biofilter by absorbing dissolved inorganic nutrients (nitrogen and phosphorus) and convert them into biomass that can be harvested . The aims of this research was to analyze the level of nitrogen and phosphorus absorption from seaweed Kappaphycus alvarezii and Eucheuma spinosum in IMTA systems and general water quality conditions in IMTA systems in Gerupuk Bay, Central Lombok. Seaweed cultivation using longline methods with a size of 50x50 m2. There were three units of seaweed long line prepared in this study. Two units long line was placed at IMTA systems on the west side (KaB = K. alvarezii west ; ESB

= E. spinosum west ) and the east side ( KaT = K. alvarezii east ; EST = E.

spinosum east ) of KJA, with a distance of 20 m, respectively. KJA is the midpoint of IMTA systems, KJA unit was double net KJA that consist of 4 hole sizedn 3x3x3 m3. Seaweed and sea water parameter were investigated and anayzed every 15 days starting from day 0 to 45. Parameters were observed in the seaweed were the rate of nitrogen and phosphorus absorption level, the growth and production of carbohydrates. Water quality parameters measured include physical and chemical parameters of water.

The result showed that the water quality parameter (physical and chemical parameters of waters) during seaweed K. alvarezii and E. spinosum cultivation, in the Gerupuk Bay still supports seaweed farming activities. From the vertical analysis showed that the NO3-N many accumulated at west side of the KJA, while

the distribution of PO4-P concentrations in the waters many accumulated on the

east side of the KJA.

The nitrogen absorption rate based on seaweed K. alvarezii biomass harvest on IMTA location reached 86.95 tons N /hectare /year, 457.10 % higher than the K. alvarezii on control that reached 15.61 tons N /hectare /year. While the phosphorus absorption rate of seaweed K. alvarezii in IMTA locations reached 20.56 ton P/hectare /year, 285.12 % higher than in controls that reached 5.34 ton P/ hectare/year. In addition, the growth rate and carbohydrate production of K. alvarezii at IMTA locations also higher, which indicates that, the level of utilization of nitrogen and phosphorus in seaweed photosynthesis proces. The increasement average weight of K. alvarezii cultivated in the IMTA location reached 4114.36 gm-2 or 89.87 % higher than K. alvarezii in control location (2167.3 gm-2). Carbohydrates production of K. alvarezii from biomass at the end of the cultivation period increased to 138.16 g m-2 ( KaB ) , 101.31 g m-2 ( KaT )

and 51.82 g m-2 ( KaK) ( dry weight ) , where the carbohydrate production of KaB

266.6 % higher than KaK . The nitrogen absorption rate of E. spinosum by

(7)

128.57 % higher than similar seaweed on control (30.53 tonnes N/hectare/years). Meanwhile the phosphorus absorption rate of E spinosum in IMTA location reached 8.69 tons P/hectare/year, 126.47 % higher than in controls (3.84 tons P /hectare/year). Average weight increasement on E. spinosum in west longline (ESB) at day 45 reached 3698.2 gm-2or 57.55 % higher than the control longline

(ESK) that reached 2347.3 gm-2. Carbohydrates production from biomass of E.

spinosum at the end of the cultivation period (day 45) was 104.9 gm-2 (ESB), 89.7

g m-2 (EST) and 77.6 gm-2 (ESK) (dry weight). The carbohydrates production of

ESB is 35% higher than the Esk.

Based on potential area of seaweed aquaculture in Gerupuk Bay, the potential of nitrogen and phosphorus absorption for K. alvarezii in this area was reached 27.996.93 tonN/year and 6.619.16 tonP/year, respectively. While for E. spinosum, the potential of nitrogen and phosphorus absorption was reached 22.470.02 tonN/year and 2796.82 tonP/year, respectively. Seaweeds culture using IMTA systems obviously give an economical and ecological advantaged by increasing the biomass and improving water quality condition.

Key words : Eucheuma spinosum Gerupuk Bay, IMTA, Kappaphycus alvarezii nitrogen and phosphorus absorption,

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(9)
(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

TINGKAT PENYERAPAN NITROGEN DAN FOSFOR RUMPUT LAUT

Kappaphycus alvarezii

DAN

Eucheuma spinosum

PADA SISTEM

Integrated Multi Trophic Aquaculture

DI TELUK GERUPUK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(12)
(13)

Judul Tesis : Tingkat Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem Integrated Multitrophic Aquaculture di Teluk Gerupuk

Nama : Erna Yuniarsih NIM : C151120431

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc Ketua

I Nyoman Radiarta, SPi, MSc, PhD Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(14)

PRAKATA

Budidaya Laut Terintegrasi dengan konsep IMTA (Integrated Multitrophic Aquaculture) merupakan salah satu pilihan dalam upaya peningkatan produktivitas produk budidaya ikan dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip blue economy antara lain terintegrasi, berbasis kawasan, sistem produksi bersih,investasi kreatif dan inovatif, serta berkelanjutan. Melalui penelitian yang berjudul Tingkat Penyerapan Nitrogen dan Fosfor Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem integrated multitrophic aquaculture di Teluk Gerupuk ini, penulis berusaha menjawab beberapa permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan limbah dan pengendalian kondisi lingkungan akibat peningkatan aktivitas budidaya di suatu kawasan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2013 di Perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan I Nyoman Radiarta, SPi, MSc,PhD selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan, koreksi, dan saran yang sangat berharga bagi perbaikan tesis ini. Terima kasih kepada Dr Ir Eddy Supriyono,MSc selaku penguji luar komisi atas koreksi, saran dan masukannya yang sangat berarti dalam ujian tesis. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis serta membiayai penelitian ini. Terima Kasih penulis sampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan dukungan finansial dalam pelaksanaan penelitian ini serta kepada Erlania, MSi, Bapak Buntaran, MSi beserta staf Balai Budidaya Laut Lombok yang telah memberikan bantuan teknis selama penelitian berlangsung.

Terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan pula kepada Bapak dan Ibu yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan pendidikan yang baik, serta kepada Arif Miftahul Aziz, SPi, MSi atas do’a, kesabaran dan kesediaannya sebagai partner berdiskusi pada setiap tahapan pelaksanaan studi. Tak lupa terima kasih penulis sampaikan kepada Novi Susanti,MSi, dan Eko Rini Farastuti MSi serta rekan-rekan AKU 2012 atas bantuan dan dukungan yang diberikan selama melaksanakan studi.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi upaya-upaya pengembangan perikanan budidaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip ekonomi biru.

Bogor, Juni 2014 Erna Yuniarsih

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 4 Hipotesis 4 2 METODE 4

Waktu dan Lokasi Penelitian 4

Materi Uji 5

Prosedur Penelitian 5

Budidaya Rumput Laut pada sistem IMTA 5

Pengukuran Parameter Kualitas Air 7

Pengumpulan data sekunder 8

Parameter Uji 8

Analisis Data 9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Hasil 10

Kualitas perairan dalam sistem IMTA 10

Kandungan dan laju penyerapan nitrogen rumput laut pada sistem

IMTA 12

Kandungan dan laju penyerapan Fosfor rumput laut pada sistem

IMTA 14

Pertumbuhan dan produktivitas rumput laut 15

Karbohidrat pada rumput laut 18

Estimasi penyerapan nitrogen dan fosfor di kawasan Teluk Gerupuk 19

Kondisi klimatologi lokasi penelitian 20

Pembahasan 21

Kondisi umum lokasi penelitian 21

Hubungan parameter lingkungan perairan dengan tingkat penyerapan N

dan P pada rumput laut 23

Penyerapan N dan P berdasarkan pertumbuhan dan produksi karbohidrat

pada rumput laut. 24

Potensi penyerapan nitrogen dan fosfor pada kawasan budidaya rumput

laut di Teluk Gerupuk 26

Perspektif penyerapan N dan P rumput laut terhadap pengembangan

(16)

4. KESIMPULAN DAN SARAN 28 Kesimpulan 28 Saran 28 DAFTAR PUSTAKA 28 LAMPIRAN 29 RIWAYAT HIDUP 43

(17)

DAFTAR TABEL

1. Pengamatan parameter kualitas air dan rumput laut di Teluk

Gerupuk 7

2. Kondisi kualitas perairan di Teluk Gerupuk selama penelitian 11 3. Parameter budidaya rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum

pada system IMTA dan kontrol 17

4. Potensi penyerapan nitrogen dan fosfor oleh rumput laut di

kawasan Teluk Gerupuk per tahun 20

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi penelitian di teluk gerupuk, Lombok Tengah, Nusa

Tenggara Barat 4

2. Konstruksi longline berbingkai 50x50 cm 5

3. Konstruksi lajur pada longline budidaya rumput laut 6

4. Desain budidaya laut berbasis IMTA 7

5. Parameter fisika kualitas air (a) suhu, (b) pH dan (c) salinitas 11 6. Analisis vertikal kualitas perairan di lokasi IMTA Teluk Gerupuk 12

7. Kandungan nitrogen pada rumput laut 13

8. Laju penyerapan nitrogen K. alvarezii dan E. spinosum 13

9. Kandungan fosfor rumput laut 14

10. Laju penyerapan fosfor K. alvarezii dan E. spinosum 15 11. Pertambahan bobot dan laju pertumbuhan harian K. alvarezii

pada setiap umur pemeliharaan 16

12. Pertambahan bobot dan laju pertumbuhan harian E. spinosum

pada setiap umur pemeliharaan 17

13. Kandungan karbohidrat dan produksi per m2 area budidaya

rumput laut K. alvarezii setiap umur pemeliharaan 18 14. Kandungan karbohidrat dan produksi karbohidrat area budidaya

rumput laut E. spinosum pada setiap umur pemeliharaan 19 15. Kondisi klimatologi (kecepatan angin, curah hujan, lama

penyinaran dan suhu udara) tahun 2013 di lokasi penelitian 21 16. Zonasi pemanfaatan perairan di Teluk Gerupuk, Lombok

Tengah,Provinsi Nusa Tenggara Barat (Radiarta&Rasidi 2012) 22

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pertambahan bobot per titik tanam dan laju pertumbuhan harian

K. alvarezii pada setiap waktu pengamatan 34 2. Pertambahan bobot per titik tanam dan laju pertumbuhan harian

(18)

3. Kandungan nitrogen K. alvarezii berdasarkan biomassa

persatuan luas 36

4. Laju penyerapan nitrogen K.alvarezii 37

5. Kandungan nitrogen E. spinosum berdasarkan biomassa

persatuan luas 38

6. Laju penyerapan nitrogen E. spinosum 39

7. Kandungan fosfor K.alvarezii berdasarkan biomassa persatuan

luas 40

8. Laju penyerapan fosfor K.alvarezii 41

9. Kandungan E. spinosum berdasarkan biomassa persatuan luas 42

10. Laju penyerapan fosfor E. spinosum 43

11. Kandungan dan produksi karbohidrat K. alvarezii setiap waktu

pengamatan 44

12. Kandungan dan produksi karbohidrat K.alvarezii setiap

pengamatan 45

13. Analisis ragam pertambahan bobot rumput laut 46 14. Analisis ragam kandungan nitrogen rumput laut di akhir masa

penelitian 48

15. Analisis ragam kandungan nitrogen rumput laut di akhir masa

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan produksi akuakultur telah memberikan kontribusi sebesar 40.10 % dari total produksi perikanan dunia pada tahun 2011 (FAO 2013). Peningkatan produksi tersebut sejalan dengan meningkatnya pula pertumbuhan sektor budidaya laut yang semakin lama semakin pesat, yang secara tidak langsung menyebabkan akumulasi limbah dari kegiatan akuakultur di laut semakin tidak teratasi.

Budidaya laut terintegrasi dengan konsep Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA) merupakan salah satu metode yang dirancang untuk mengatasi beberapa masalah lingkungan terkait penggunaan pakan pada kegiatan akuakultur. Prinsip utama dari penerapan IMTA yaitu mendaur ulang limbah budidaya yang dihasilkan oleh spesies utama menjadi produk yang dapat dipanen sekaligus dapat mengurangi dampak lingkungan (Ren et al. 2012). IMTA memiliki konsep menggabungkan kegiatan pemeliharaan beberapa spesies organisme dari trophic level yang berbeda seperti organisme akuakultur yang diberi pakan (finfish), dengan organisme akuakultur penyadap bahan inorganik (contoh rumput laut) serta organisme akuakultur penyadap bahan organik (suspension dan deposit feeder, contoh kekerangan) (Troell et al. 2009). Menurut Barrington et al. (2009), IMTA merupakan suatu konsep budidaya yang dapat memberikan keuntungan positif dalam aspek lingkungan dan sosio-ekonomi bagi industri akuakultur yang menggunakan pakan ikan.

Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP) yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi,yaitu menurut statistik FAO tahun 2010, produksi rumput laut Indonesia menempati peringkat kedua dengan kontribusi sebesar 3.90 juta ton atau 20.60 % dari total produksi rumput laut dunia (FAO 2012). Pada tahun 2011 Indonesia telah berhasil meningkatkan volume produksi rumput laut nasional menjadi sebesar 5.170.201 ton (KKP 2012 ). Menurut Radiarta et al. (2013), budidaya rumput laut dapat dijadikan aktivitas dalam penerapan ekonomi biru (blue economy) yang tengah menjadi perhatian utama KKP saat ini karena : (1) mengintegrasikan antara sosial, ekonomi, dan lingkungan, (2) pengembangannya berbasis kawasan, (3) sistem produksi bersih efisien bebas pencemaran, tidak merusak lingkungan, dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, dan (4) berkelanjutan dengan cara menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan dan antara produksi dan konsumsi.

Dalam kerangka IMTA rumput laut memiliki peranan sebagai biofilter dan penghasil biomassa yang bernilai ekonomis, dimana limbah budidaya yang terbuang di laut baik berupa sisa pakan yang tidak termakan dan hasil metabolisme merupakan nutrien yang sangat sesuai untuk pertumbuhan rumput laut ( Troell et al. 2003). Berdasarkan Nobre et al. (2010), penerapan IMTA pada budidaya abalone dengan rumput laut telah menurunkan kadar N dan P perairan sebesar 44% dan 23% dibandingkan dengan budidaya abalone monokultur. Sedangkan menurut Abreu et al. (2009), 100 Hektar Gracilaria dapat menyerap 80% limbah nitrogen yang dihasilkan oleh 1500 ton ikan salmon. Pada usaha

(20)

2

budidaya skala kecil yang menghasilkan ikan kurang dari 400 ton, efek positif dari keberadaan rumput laut dapat dideteksi pada lokasi yang dekat dengan KJA (Troell et al. 1997).

Jenis rumput laut yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah kelompok penghasil karaginan (karagenofit) seperti Kappaphycus alvarezii (dapat disebut juga Eucheuma cottonii) dan Eucheuma spinosum dan penghasil agar (agarofit) seperti Glacilaria sp ( Parenrengi et al. 2011). Hal ini disebabkan oleh teknik budidaya yang mudah dan permintaan pasar yang cukup tinggi. Sentra pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia tersebar di beberapa provinsi diantaranya Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Metode budidaya rumput laut yang telah berkembang saat ini dan dikenal secara umum oleh masyarakat meliputi metode lepas dasar, metode rakit apung dan metode rawai (Parenrengi et al. 2011). Budidaya rumput laut yang berkembang pada umumnya masih bersifat monokultur.

Kappaphycus alvarezii memiliki ciri fisik mempunyai thallus silindris dan permukaan licin. Warnanya tidak selalu tetap terkadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah pangkal. Cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang tersebut ada yang memanjang atau melengkung seperti tanduk (DJPB 2005). Tipe karaginan yang dihasilkan oleh rumput laut k. alvarezii yaitu jenis kappa-karaginan yang kandungannya bersifat hampir eksklusif pada jenis rumput laut tersebut ( McHugh 2003), dimana dengan kandungan karaginan yang tinggi tersebut membuat K. alvarezii bernilai ekonomis karena karaginannya banyak digunakan pada industry kosmetik, makanan dan obat-obatan.

Eucheuma spinosum merupakan salah satu jenis rumput laut dari kelas Rhodophyceae (ganggang merah). Ciri fisik dari Eucheuma spinosum mempunyai bentuk thallus bulat tegak, dengan ukuran panjang panjang 5-30 cm, transparan, warna coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Permukaan thallus tertutup oleh tonjolan yang berbentuk seperti duri-duri runcing yang tidak beraturan, duri tersebut ada yang memanjang seolah berbentuk seperti cabang (Atmadja et al. 1996). Tipe karaginan yang dihasilkan oleh Eucheuma spinosum merupakan jenis iota-karaginan, merupakan salah satu fraksi karaginan yang banyak digunakan dalam industry makanan, kosmetik dan obat-obatan (Apriyana 2006).

Teluk Gerupuk merupakan salah satu kawasan minapolitan budidaya rumput laut dengan luas kawasan teluk sebesar 834 Ha yang telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan meliputi perikanan budidaya (ikan, lobster, dan rumput laut), perikanan tangkap, dan pariwisata (surfing). Berdasarkan penelitian Radiarta dan Rasidi (2012) kawasan teluk Gerupuk yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut mencapai 322 Ha dan jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah Kappaphycus alvarezii. Produksi rumput laut dari kawasan ini menunjukkan fluktuasi yang cukup nyata selama tiga tahun terakhir, yaitu pada tahun 2009 produksi rumput laut kering mencapai 13.300 ton kemudian mengalami penurunan tahun 2010 dan 2011 yaitu 10.228,51 ton dan 8.266,99 ton

(21)

3 (Anonimous, 2011a). Fluktuasi produksi tersebut dapat disebabkan karena berbagai hal diantaranya kondisi lingkungan perairan dan iklim yang sangat mempengaruhi pola musim tanam rumput laut ( Parenrengi et al. 2011; Rusman 2012). Kondisi ini secara otomatis akan mempengaruhi produktivitas lahan untuk mendukung hasil yang maksimal.

Dalam rangka mengkaji prospek implementasi IMTA budidaya laut di Indonesia serta mendukung kebijakan ekonomi biru (Blue Economy), maka perlu dilakukan kajian tentang efektifitas rumput laut sebagai komponen IMTA dalam peningkatan produktivitas kawasan perairan Teluk Gerupuk, sekaligus memanfaatkan kawasan secara efisien dan optimal dengan tetap ramah lingkungan.

Perumusan Masalah

Peningkatan produktivitas budidaya laut yang terus berkembang memicu perluasan dan intensifikasi lahan budidaya. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan akibat meningkatnya akumulasi residu pakan terutama unsur N dan P di perairan. Peningkatan kadar fosfat dalam air laut, akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi (blooming) fitoplankton yang akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan secara missal ( Hutagalung et al. 1997)

Metode integrated multitrophic aquaculture (IMTA) terbukti dapat mengatasi masalah penurunan kondisi lingkungan tersebut. IMTA merupakan suatu konsep pemanfaatan atau daur ulang nutrient melalui pemeliharaan berbagai spesies dari trofik level yang berbeda secara bersamaan. Penggunaan rumput laut sebagai komponen utama IMTA didasarkan pada fungsinya sebagai bio filter dan penghasil biomassa bernilai ekonomis.

Mengingat bahwa metode ini belum diterapkan dalam kegiatan budidaya laut di Indonesia, maka diperlukan kajian efektivitas rumput laut sebagai komponen IMTA dalam pemanfaatan limbah N dan P guna meningkatkan produksi ( biomassa) rumput laut dan menurunkan dampak lingkungan dari aktivitas akuakultur ( aktivitas tanpa limbah/ zero waste). Penggunaan dua jenis rumput laut (Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum) adalah sebagai bahan kajian untuk perbandingan efektifitas dalam penyerapan N dan P.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis tingkat penyerapan Nitrogen dan Fosfor oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum pada sistem IMTA (Integrated Multitrophic Aquaculture)

2. Menganalisis peningkatan biomassa rumput laut pada sistem IMTA

3. Mengkaji kualitas perairan pada sistem IMTA (Integrated Multitrophic Aquaculture

(22)

4

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dapat menjadi data dasar pengembangan budidaya laut berbasis IMTA di lokasi potensial lainnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas budidaya laut dengan tetap menjaga kondisi lingkungan akuakultur, dan berkelanjutan.

Hipotesis

Rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum yang dibudidayakan pada sistem IMTA dapat menyerap limbah N dan P sehingga biomassa rumput laut dapat meningkat dan kualitas perairan di Teluk Gerupuk dapat terjaga dengan baik.

2 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 116o19’40” – 116o21’00” Lintang Selatan dan 9o53’45” – 9o55’45” Bujur Timur (Gambar 1a). Jangka waktu pelaksanaan penelitian terdiri atas satu siklus budidaya rumput laut (satu siklus 45 hari), yang dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2013. Analisa sampel air laut dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Balai Budidaya Laut Lombok dan pengujian sampel rumput laut di Laboratorium SEAMEO Biotrop Bogor.

Gambar 1 Lokasi penelitian di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat

(23)

5 Materi Uji

Bibit rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis Kappaphycus alvarezii strain maumere dan Eucheuma spinosum yang berasal dari National Seaweed Center, Balai Budidaya Laut Lombok yang berlokasi di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah. Selama penelitian dilakukan pengujian terhadap sampel rumput laut dan sampel air laut dari lokasi budidaya.

Prosedur Penelitian Budidaya Rumput Laut pada sistem IMTA

Budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan SNI 7579.2:2010 tentang produksi budidaya rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) bagian 2: metode long line, dimana pemeliharaan untuk satu siklus K. alvarezii dan E. Spinosum adalah 45 hari. (Gambar 2). Bibit rumput laut diikatkan pada tali titik berjarak 20 cm dengan berat ± 100 gr setiap titik ikat (Gambar 3). Pada setiap satu tali ris terdapat 250 titik ikat, dengan jarak antara tali ris pasa satu unit longline adalah satu meter ( Gambar 2). Bibit rumput laut dipelihara pada kedalam 20-25 cm di bawah permukaan air.

Gambar 2 Konstruksi longline berbingkai 50 x 50 m

Ket : (1) tali jangkar, (2) tali utama, (3) tali pembantu,(4) tali ris bentang, (5) tali jangkar utama, (6) jangkar pembantu, (7) pelampung pembantu.

(24)

6

Budidaya rumput laut menggunakan metode rawai (long line) dengan ukuran 50x50 m2.Terdapat tiga unit long line rumput laut yang disiapkan dalam penelitian ini. Dua unit long line diletakkan pada sistem IMTA yaitu masing-masing di sisi barat (KaB =K. alvarezii barat; EsB= E. spinosum barat) dan sisi

timur (KaT = K. alvarezii timur ; EsT= E. spinosum timur) unit karamba jaring

apung (KJA) setelah dengan jarak masing-masing 20 m. Posisi longline rumput laut di lokasi IMTA tersebut diletakkan setelah longline pemeliharaan kerang mutiara. (Gambar 4).

KJA merupakan titik tengah dari sistem IMTA yang diaplikasikan. Unit KJA yang digunakan adalah KJA jaring ganda (double net) yang terdiri dari empat lubang dengan ukuran masing-masing lubang adalah 3 x 3 x 3m3. Jaring lapisan pertama dipergunakan untuk memelihara ikan kerapu Cantang (500 ekor ikan per lubang) dan jaring lapisan kedua dipergunakan untuk ikan baronang (200 ekor per lubang) dengan bobot ± 100 gr. Pemberian pakan Ikan Kerapu menggunakan pakan komersil sebanyak dua kali per hari dengan feeding rate (FR) pada saat penelitian dilakukan adalah 3% dari bobot biomassa ikan. Ikan kerapu Chantang dan Baronang telah dipelihara di KJA IMTA sejak bulan Juli 2013.

Selanjutnya satu unit long line rumput laut digunakan sebagai kontrol (KaK=

K. alvarezii Kontrol; EsK= E. spinosum kontrol) diletakkan pada lokasi dekat mulut teluk dengan jarak sekitar 550 m dari sistem IMTA (Gambar 4). Kedalaman di lokasi penelitian berkisar antara 8 – 14 m, baik lokasi IMTA maupun control.

.

Gambar 3 Konstruksi lajur pada longline budidaya rumput laut

Ket : (1) jangkar, (2) tali jangkar, (3) pelampung utama, (4) pelampung ris bentang, (5) tali ris bentang (BSN 2010)

(25)

7

Gambar 4 Desain penelitian budidaya laut berbasis IMTA. Pengukuran Parameter Kualitas Air

Untuk mengetahui kondisi perairan di lokasi budidaya dilakukan pengukuran parameter kualitas air. Waktu sampling kualitas air dilakukan bersamaan dengan sampling rumput laut yaitu pada hari ke-0, 15, 30 dan 45. Pengukuran dan pengambilan sampel air laut dilakukan secara vertikal di 6 stasiun pada kedalaman 0 m, 3 m dan dasar. Pengambilan sampel air laut menggunakan alat vertical water sampler. Alat dan metode yang digunakan dalam pengukuran parameter kualitas air dan rumput laut seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1 Pengamatan parameter kualitas air dan rumput laut di Teluk Gerupuk

No Parameter Jenis sampel Metode Lokasi Analisa

1 Total N Rumput Laut Kjeldahl Seameo Biotrop

2 Total P Rumput Laut HNO3-HClO4-

Spektrofometri

Seameo Biotrop 3 Karbohidrat Rumput Laut Luff Schoorl Seameo Biotrop

4 Suhu Air laut YSI Pro In situ

Ket : 1,2,3,4,5,6,: lokasi stasiun pengamatan kualitas perairan. KaB : Kappaphycus alvarezii Barat; EsB : Eucheuma spinosum Barat;

KaT : Kappaphycus alvarezii Timur ; EsT : Eucheuma spinosum

Timur ; KaK : Kappaphycus alvarezii Kontrol; EsK : Eucheuma

spinosum Kontrol. DIN : Dissolved Inorganic Nutrien; POM :

(26)

8

5 Salinitas Air laut YSI Pro In situ

6 Oksigen Terlarut (DO)

Air laut DO meter In situ

7 pH Air laut YSI Pro In situ

8 TDS Air laut YSI Pro In situ

9 Nitrat (NO3-N) Air laut Spektrofotometri BBL Lombok

10 Nitrit (NO2-N) Air laut Spektrofotometri BBL Lombok

11 Amonia ( NH3-N) Air laut Spektrofotometri BBL Lombok

12 Fosfor (PO4-P) Air laut Spektrofotometri BBL Lombok

13 Kecerahan Air laut Sechi disc In situ

14 Kecepatan arus Air Laut Current-meter In situ

Pengumpulan data sekunder

Pada penelitian ini dilakukan juga pengambilan data sekunder kondisi klimatologi lokasi budidaya rumput laut dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terdekat. Beberapa parameter yang diambil adalah curah hujan, suhu udara, dan kecepatan angin. Parameter klimatologi tersebut diduga dapat mempengaruhi kondisi lingkungan budidaya rumput laut, termasuk kondisi fisik perairan.

Parameter Uji

Parameter uji yang akan diamati selama penelitian terdiri atas : 1. Laju Pertumbuhan harian rumput laut

Laju pertumbuhan harian (daily growth rate / DGR) dihitung dengan formula sebagai berikut (Luning 1990) :

DGR (%) = 100 ln (Wt/Wo)

T2 – T1

Dimana :

Wt = Bobot pada waktu T2 (g)

Wo = Bobot pada waktu T 1 (g)

T1 dan T2 = Waktu pemeliharaan (hari)

2. Penyerapan N dan P pada rumput laut

Penyerapan N dan P rumput laut dapat dilihat dengan jumlah kandungan Nitrogen dan Fosfor pada rumput laut yang diamati setiap 15 hari sekali. Laju penyerapan nitrogen dan fosfor merupakan jumlah nitrogen dan fosfor yang diserap oleh rumput laut per luas areal budidaya. Laju penyerapan N dan P pada rumput laut akan dihitung dengan rumus sebagai berikut ( Kitadai dan Kadowaki 2007) :

(27)

9

Dimana :

Pob = Laju penyerapan N dan P rumput laut per area budidaya (mg m-2 hari-1)

Co = Kandungan N dan P rumput laut di awal pemeliharaan (mg DW g-1)

Ct = Kandungan N dan P rumput laut di akhir pemeliharaan ( mg DWg-1)

α = Biomassa kering rumput laut per area budidaya ( g m-2) t = Lama pemeliharaan (hari)

Nilai laju penyerapan N dan P tersebut akan dikonversikan dari satuan g m-1 menjadi nilai kapasitas penyerapan N dan P dengan satuan ton/hektar/tahun guna memudahkan dalam penghitungan estimasi penyerapan N dan P di kawasan Teluk Gerupuk.

3. Produksi karbohidrat pada rumput laut

Nilai kandungan karbohidrat dianalisis untuk melihat pola peningkatan atau penurunan parameter tersebut dalam rumput laut yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dari awal sampai dengan akhir penelitian. Produksi karbohidrat (g m-2) merupakan jumlah karbohidrat yang dapat dihasilkan oleh rumput laut per luas areal budidaya yang dapat dikalkulasikan berdasarkan biomassa rumput laut, kadar karbohidrat dan rendemen rumput laut kering sebagai berikut (Erlania 2013) :

Produksi karbohidrat (g m-2) =

biomassa (g m-2) x kandungan karbohidrat (%) x rendemen (%) 4. Kualitas perairan

Parameter kualitas perairan diperoleh dari hasil pengukuran secara in situ dan eks situ (analisis laboratorium).

5. Klimatologi

Data-data klimatologi yang terdiri dari curah hujan, kecepatan angin dan suhu udara dianalisis secara deskriptif untuk melihat fluktuasi kondisi klimatologi wilayah penelitian yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan di lokasi budidaya rumput laut selama penelitian berlangsung.

Analisis Data

Data pertumbuhan dan penyerapan N dan P rumput laut di uji secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% dengan software Minitab 16 (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Jika respon yang dihasilkan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan Tuckey tes.

Data kualitas air yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara descriptif dan spasial. Analisa spasial ditampilkan secara vertikal. Perangkat lunak yang digunakan dalam analisis ini adalah Ocean Data View (ODV). Untuk melakukan

(28)

10

analisis spasial, seluruh data yang terkumpul diinterpolasi dengan teknik VG gridding (Schlitzer, 2011). Sedangkan data klimatologi dianalisis secara deskriptif dalam bentuk grafik untuk mengetahui kondisi iklim yang mempengaruhi kondisi lingkungan budidaya rumput laut.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Kualitas perairan dalam sistem IMTA

Kondisi kualitas air merupakan hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan budidaya rumput laut. Parameter kualitas air yang diamati selama pemeliharaan rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum meliputi parameter fisik dan parameter kimia perairan. Berikut ini merupakan grafik hasil pengukuran parameter fisik selama masa pemeliharaan rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum, baik di lokasi IMTA maupun kontrol yang meliputi suhu, salinitas dan pH.

(29)

11

Gambar 5 Parameter fisika kualitas air (a) suhu, (b) pH dan (c) salinitas Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa nilai suhu perairan berkisar 26. 9– 28.1 oC; nilai pH berkisar 8.2-8.92 dan nilai salinitas berkisar 31 – 35.6 ppt. Kecepatan arus selama penelitian berkisar 40-60 cm/det dan kecerahan di perairan budidaya rumput laut berkisar antara 2.5 – 3 m (Tabel 2).

Tabel 2 Kondisi Kualitas Perairan di teluk Gerupuk selama penelitian

Parameter Unit IMTA Kontrol

Minimum Maksimum Rataan Deviasi

Kecerahan m 2.5 3.0 2.7 3.0 Suhu 0 C 26.9 28.1 27.3 0.47 27.3 pH 8.21 8.92 8.58 0.28 8.56 DO mg/L 4.1 6.89 5.94 0.84 5.82 TDS mg/L 31.02 34.58 33.13 1.19 33.02 Konduktivitas µS/cm 55.18 53.16 55.27 0.07 53.25 Salinitas ppt 31 35.64 33.45 1.43 33.25

Kecepatan arus m/sec 40 60 50 0,14 50

NH3-N mg/L 0.0009 0.006 0.002 0.002 0.0009

NO2-N mg/L 0.0019 0.5 0.06 0.13 0.037

NO3-N 0.4 1.1 0.64 0.22 0.75

PO4-P mg/L 0.0049 0.044 0.5 0.18 0.06

Parameter kimia yang merupakan parameter penentu dalam penyediaan nutrien terlarut bagi pertumbuhan rumput laut meliputi konsentrasi NO3, dan PO4.

(30)

12

Ket : Warna menunjukkan konsentrasi NO3 dan PO4 di Perairan

Gambar 6 Analisis vertikal kualitas perairan di lokasi IMTA Teluk Gerupuk :(a) hari ke-30 dan (b) hari ke-45

Analisis vertikal parameter NO3-N dan PO4-P ditampilkan pada Gambar 6.

Dari hasil analisis tersebut, terlihat secara jelas bahwa pada hari ke-30 sebaran konsentrasi NO3-N perairan terakumulasi paling banyak pada sisi barat dari KJA

IMTA dengan kisaran antara 0,5 mgL-1 – 1,1 mgL-1.Sedangkan untuk sebaran konsentrasi PO4-P tertinggi terdapat pada sisi timur KJA IMTA dengan kisaran

nilai 0,05 mgL-1 – 0,39 mgL-1 (Gambar 6a). Di akhir masa penelitian rumput laut (hari ke 45) penyebaran nutrien terlarut baik NO3-N maupun PO4-P terakumulasi

pada paling banyak pada sisi barat KJA IMTA (Gambar 6b).

Kandungan dan laju penyerapan nitrogen rumput laut pada sistem IMTA Hasil pengujian kandungan nitrogen pada jaringan rumput laut K. alvarezii di akhir masa pemeliharaan diperoleh bahwa kandungan nitrogen KaB pada hari

ke 45 mencapai 4.73 gN m-2 atau lebih tinggi 148,1% dibandingkan dengan KaK

yaitu hanya mencapai 1.91 gN m-2.Sedangkan untuk KaT kandungan nitrogennya

mencapai 4.40 gN m-2 atau 130,8% lebih tinggi dibandingkan dengan KaK

(Gambar 7a). Kemampuan penyerapan nitrogen oleh rumput laut E. spinosum, hampir serupa dengan K. Alvarezii, dimana kandungan nitrogen pada jaringan rumput laut EsB pada hari ke-45 mencapai 4.36 gN m-2, lebih tinggi 32,79%

(a)

(31)

13 dibandingkan dengan EsK yaitu 3.29 gN m-2. Sedangkan untuk EsT kandungan

nitrogennya mencapai nilai 3.53 gN m-2, atau lebih tinggi 7.54% dibandingkan dengan EsK (Gambar 7b).

Gambar 7 Kandungan nitrogen pada rumput laut K. alvarezii (a) dan E. spinosum (b)

Berdasarkan analisis kandungan nitrogen pada jaringan rumput laut, biomassa rumput laut dan luasan areal budidaya dari dua spesies rumput laut yaitu K. alvarezii dan E. spinosum yang dibudidayakan pada longline IMTA dan kontrol, menunjukkan laju penyerapan nitrogen K. alvarezii pada lokasi IMTA memiliki nilai lebih tinggi dengan kisaran 80.03–86.95 ton/hektar/tahun,dibandingkan dengan kontrol yaitu 15.61 ton/hektar/tahun (Gambar 8).Untuk jenis E. spinosum laju penyerapan nitrogen di lokasi IMTA berkisar antara 35.14 – 69.78 ton/hektar/tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan longline kontrol yaitu sejumlah 30.53 ton/hektar/tahun (Gambar 8).

(32)

14

Kandungan dan laju penyerapan Fosfor rumput laut pada sistem IMTA Fosfor juga merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan (Effendi 2003). Kandungan fosfor pada rumput laut dipengaruhi oleh konsentrasi PO4-P di

perairan budidayanya. Kandungan fosfor pada rumput laut K. alvareziii dan E. spinosum yang dibudidayakan dengan sistem IMTA relatif lebih tinggi dengan kisaran 0.55 - 1.07 gP m-2 dibandingkan dengan rumput laut yang dibudidayakan di lokasi kontrol (Gambar 9).

Gambar 9 Kandungan fosfor pada rumput laut (a) K. alvarezii dan (b) E. Spinosum.

Pada rumput laut jenis K. alvarezii, kandungan fosfor terbaik terdapat pada KaT dengan kandungan Total P sejumlah 1.07 gP m-2 (Gambar 9a),sedangkan

untuk jenis E. spinosum kandungan total P pada jaringan rumput laut tertinggi terdapat pada EsB dengan nilai 0.55 gP m-2, lebih tinggi 39% dibandingkan

dengan kontrol (EsK) (Gambar 9b).

Rumput laut K. alvarezii memiliki nilai laju penyerapan fosfor yang lebih tinggi dibandingkan dengan E. spinosum di semua lokasi budidaya. Kapasitas penyerapan fosfor K. Alvarezii tertinggi terdapat pada sisi timur KJA IMTA (KaT) dengan nilai mencapai lima kali lipat yaitu 20.56 ton P/hektar/tahun dibandingkan dengan laju penyerapan fosfor E. spinosum yaitu 4.39 ton P/hektar/tahun. Sedangkan untuk E. spinosum laju penyerapan fosfor tertinggi terdapat pada sisi sebelah barat KJA IMTA (EsB) dengan nilai mencapai 8.69 ton P/hektar/tahun( Gambar 10).

(33)

15

Gambar 10 Laju penyerapan fosfor K. alvarezii dan E. spinosum Pertumbuhan dan produktivitas rumput laut

Rata-rata pertambahan bobot K. alvarezii di lokasi IMTA dari rata-rata bibit yang ditanam sekitar 500 g m-2 meningkat pada akhir masa pemeliharaan (45 hari) menjadi 4114.36 g m-2 pada KaB dan 4113.40 g m-2 pada KaT. Sedangkan

pada perlakuan KaK rata-rata peningkatan bobotnya lebih rendah daripada

perlakuan IMTA , dengan rata-rata bobot pada akhir masa pemeliharaan mencapai 2167.30 g/m2( Gambar 11). Rata-rata pertambahan bobot K alvarezii yang ditanam pada lokasi IMTA mulai hari ke 30 lebih tinggi dibandingkan dengan K. alvarezii yang ditanam pada longline kontrol (KaK). Pertambahan bobot rata-rata

yang dicapai K alvarezii di lokasi IMTA mulai hari ke-30 hingga hari ke-45 mencapai 16.67 - 89.84 % untuk KaB dan 10.89 % - 89.79 % untuk KaT lebih

besar dibandingkan KaK pada selang waktu yang sama yaitu pada hari ke-30

hingga hari ke 45. Hasil analisis ragam (ANOVA) untuk biomassa rumput laut juga menunjukkan bahwa KaB dan KaT memiliki biomassa akhir yang secara

signifikan berbeda dengan KaK (P < 0.05), sedangkan untuk antara KaB dan KaT

biomassa akhir tidak berbeda nyata (P > 0.05).

Rata-rata laju pertumbuhan harian dari KaK tinggi pada hari ke 0-15 yaitu

4.94 % pada hari 0-15 dan menurun hingga akhir masa pemeliharaan (hari ke-45) menjadi 2.24%. Sedangkan pada K. alvarezii yang di tanam pada lokasi IMTA rata-rata laju pertumbuhan harian awalnya lebih rendah yaitu 4.04 % untuk KaB dan 4.61% pada KaT, kemudian menurun pada hari ke-15 – 30 dan kembali

meningkat menjadi 5.49 % pada KaB dan 6.12 % pada KaT pada masa akhir

(34)

16

Ket : Huruf superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5% (uji Tuckey). (analisis ragam pada Lampiran 13)

Gambar 11 Pertambahan Bobot dan laju pertumbuhan harian K. Alvarezii pada setiap umur pemeliharaan.

Pada rumput laut jenis E. spinosum, dengan bobot awal yang sama, rata-rata peningkatan bobot pada perlakuan EsB mencapai 3698.2 gm-2 lebih tinggi

dibandingkan dengan bobot rata-rata pada akhir masa pemeliharaan EsT yaitu

sejumlah 2347.3 g m-2. Sedangkan untuk E. spinosum yang ditanam pada longline timur (EsT) bobot rata-rata pada akhir masa pemeliharaan mencapai 2488.62 gm-2, lebih tinggi 6.02 % dibandingkan dengan EsK yang mencapai

bobot rata-rata akhir 2347.3 gm-2. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis ragam, dimana EsB saja memiliki biomassa akhir yang berbeda signifikan dengan

biomassa akhir EsK (P<0.05) (Gambar 12 ).

Rata-rata laju pertumbuhan harian EsB tertinggi dibandingkan dengan

perlakuan yang lain pada hari ke 0-15 yaitu 6.54 % dan menurun pada hari ke 15-30 dan mengalami peningkatan pada hari ke-15-30-45 mencapai 3.77 %. Sedangkan pada EsK, laju pertumbuhan harian pada hari ke- 0-15 mencapai 6.20 % dan

mengalami penurunan sampai dengan akhir penelitian (hari ke-45) menjadi 2.39 %.

(35)

17

Ket : Huruf superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 5% (uji Tuckey). (analisis ragam pada lampiran 13)

Gambar 12 Pertambahan Bobot dan laju pertumbuhan harian E spinosum pada setiap umur pemeliharaan.

Produktivitas budidaya rumput laut K. alvarezii pada unit longline di lokasi IMTA (KaB dan KaT) yaitu 20.56-20.57 ton/hektar/tahun, dua kali lebih tinggi

dari K. alvarezii yang dibudidayakan pada longline kontrol (KaK) yaitu 10.83

ton/hektar/tahun.Sedangkan total biomassa panen E. spinosum pada lokasi IMTA lebih tinggi satu setengah kali (12.44-18.49 ton/hektar/tahun) dibandingkan dengan kontrol yaitu 11.73 ton/hektar/tahun(Tabel 2).

Tabel 3 Parameter budidaya rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum pada sistem IMTA dan kontrol

Laju Pertumbuhan harian Biomassa panen/unit longline/siklus Produktivitas Persentase kenaikan biomassa (%) (Kg) (ton/hektar/tahun) (%) K. alvarezii Barat 4.68 2571.48 20.57 414.29 Timur 4.68 2570.88 20.56 414.17 Kontrol 3.26 1354.56 10.83 170.9 E. spinosum Barat 4.45 2311.38 18.49 362.27 Timur 3.57 1555.39 12.44 211.07 Kontrol 3.44 1467.06 11.73 193.41

(36)

18

Karbohidrat pada rumput laut

Persentase kandungan karbohidrat dari rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diamati selama masa pemeliharaan pada lokasi penelitian berkisar antara 26.06 – 38.89 % (KaB), 21.45 – 38.88 % (KaT) dan 22.01 – 33.36 % (KaK)

dalam berat kering (Gambar 13). Kisaran kandungan karbohidrat K. alvarezii pada longline barat (KaB) lebih tinggi dibandingkan KaT dan KaK, dimana kandungan

karbohidrat pada K alvarezii tersebut meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan.

Berdasarkan kandungan karbohidrat dan rata-rata bobot rumput laut yang diukur pada setiap selang waktu sampling, maka diketahui karbohidrat yang dapat dihasilkan dari biomassa rumput laut per m2 luas area budidaya (Gambar 13). Produksi karbohidrat yang dihasilkan dari biomassa K. alvarezii pada awal pemeliharaan berturut-turut adalah 14.03 g m-2 ( KaB) dan 13.22 g m-2 (KaT) dan

11.01 g m-2 (KaK) (berat kering), sedangkan pada akhir pemeliharaan meningkat

hingga 138.16 gm-2 (KaB) , 101.31 gm-2 (KaT) dan 51.82 gm-2 (KaK) (berat

kering). Produksi karbohidrat KaB dua setengah kali lipat lebih tinggi

dibandingkan dengan produksi karbohidrat KaK.

Gambar 13 Kandungan karbohidrat dan produksi per m2 area budidaya rumput laut K alvarezii setiap umur pemeliharaan

Untuk rumput laut jenis Eucheuma spinosum persentase kandungan karbohidrat pada awal masa pemeliharaan di lokasi penelitian berkisar 15.97 – 104.92 % (EsB), 20.08 – 89.66% (EsT) dan 19.33 – 77.65% (EsK) dalam berat

kering (Gambar 14). Kandungan karbohidrat pada Eucheuma spinosum tersebut mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan.

(37)

19

Gambar 14 Kandungan karbohidrat dan produksi karbohidrat area budidaya rumput laut Eucheuma spinosum pada setiap umur pemeliharaan Produksi karbohidrat yang dihasilkan dari biomassa Eucheuma spinosum pada awal pemeliharaan berturut-turut adalah 16 gm-2 (EsB) , 40.2 gm-2 (EsT)

dan 19.3 gm-2 (EsK) (berat kering), sedangkan di akhir masa pemeliharaan (hari

ke-45) meningkat hingga adalah 104.9 gm-2 (EsB) , 89.7 gm-2 (EsT) dan

77.6 gm-2 (EsK) (berat kering). Produksi karbohidrat EsB 35 % lebih tinggi

dibandingkan EsK (Gambar 14).

Estimasi penyerapan nitrogen dan fosfor di kawasan Teluk Gerupuk

Berdasarkan laju penyerapan nitrogen (Gambar 8) dengan produktivitas budidaya rumput laut ( tabel 2), estimasi jumlah nitrogen yang terserap oleh K. alvarezii dengan metode IMTA di perairan teluk Gerupuk per tahun dengan metode longline berdasarkan total biomassa pada hari ke-45 adalah 3.89 ton N/ton biomassa panen untuk KaT dan 4.23 ton N/biomassa panen untuk KaB,

sedangkan untuk KaK jumlah nitrogen yang terserap adalah 1.44 ton N/ton

biomassa panen. Untuk rumput laut jenis E. spinosum, estimasi jumlah nitrogen yang terserap pada lokasi IMTA adalah 3.77 ton N/ton biomassa panen untuk EsB,

2.82 ton N/biomassa panen untuk EsT sedangkan untuk EsK hanya mampu

(38)

20

Tabel 4 Potensi penyerapan nitrogen dan fosfor oleh rumput laut di kawasan Teluk Gerupuk per tahun

Spesies Laju penyerapan N Potensi penyerapan N Laju penyerapan P Potensi penyerapan P

(ton/hektar/tahun) (ton N) (ton/Ha/tahun) (ton P)

K alvarezii IMTA 86.95 27996.93 20.56 6619.16 Kontrol 15.61 5025.43 5.34 1718.69 E spinosum IMTA 69.78 22470.04 8.69 2796.82 Kontrol 30.53 9830.41 3.84 1234.95

*Kawasan potensial budidaya RL 322 Ha (Radiarta&Rasidi 2012)

Berdasarkan laju penyerapan fosfor (Gambar 10) dengan produktivitas budidaya rumput laut (Tabel 2), estimasi jumlah fosfor yang dapat diserap oleh K. alvarezii dengan metode IMTA per tahun di perairan teluk Gerupuk berdasarkan total biomassa pada hari ke-45 adalah 1 ton P/ton biomassa panen untuk KaT dan

0.47 ton P/biomassa panen untuk KaB, sedangkan untuk KaK jumlah fosfor yang

terserap adalah 0.49 ton P/ton biomassa panen. Untuk rumput laut jenis E. spinosum, estimasi jumlah fosfor yang terserap pada lokasi IMTA adalah 0.47 ton N/ton biomassa panen untuk EsB, 0.35 ton N/biomassa panen untuk EsT,

sedangkan untuk EsK hanya mampu menyerap nitrogen sejumlah 0.33 ton

N/biomassa panen (Tabel 4).

Kondisi klimatologi lokasi penelitian

Parameter klimatologi yang diperoleh terdiri atas suhu udara, kecepatan angin, lama penyinaran dan curah hujan dari bulan Januari – Desember 2013 (Gambar 15). Parameter-parameter klimatologi secara langsung dapat mempengaruhi kualitas perairan, serta secara tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut sebagai komoditas yang dibudidayakan di lokasi perairan tersebut.

Pada periode September - Oktober 2013 terlihat bahwa suhu udara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan periode Januari – Agustus . Kisaran suhu udara harian pada selang waktu tersebut yaitu 24.3 – 29.3 oC atau rata-rata yaitu 26.2 oC. Kecepatan angin pada bulan Juli - Oktober sedikit bervariasi yaitu berkisar antara 6 - 13 knot. Kondisi ini dapat memberikan dampak negatif terhadap stabilitas kondisi arus permukaan laut, yaitu berkisar antara 40 – 60 cms-1. Curah hujan pada bulan Agustus – Oktober sangat rendah, yaitu berkisar antara 1 mm hingga 9 mm; atau relatif tidak ada hujan dan cuaca cerah, sehingga lama penyinaran matahari relatif tinggi di atas permukaan laut, yaitu 21 – 100 % pada kisaran waktu pukul 06.00 – 15.00 WITA

(39)

21

Ket : Garis menunjukkan waktu pelaksanaan penelitian ( September - Oktober 2013)

Gambar 15 Kondisi klimatologi ( kecepatan angin, curah hujan,lama penyinaran dan suhu udara) tahun 2013 di lokasi penelitian

.

Pembahasan

Kondisi umum lokasi penelitian

Perairan Teluk Gerupuk terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis Teluk Gerupuk terletak pada 116o19’40” – 116o21’00” Lintang Selatan dan 9o53’45” – 9o55’45” Bujur Timur. Perairan ini terletak di pantai selatan Pulau Lombok yang menghadap langsung ke Samudera Indonesia. Lokasi ini merupakan salah satu obyek tujuan wisata di Kabupaten Lombok Tengah

(40)

22

terutama bagi wisatawan mancanegara, karena kondisi perairannya yang masih alami dan belum terlalu banyak dieksploitasi oleh manusia. Selain sebagai obyek pariwisata, kawasan teluk ini juga dimanfaatkan sebagai kawasan perikanan budidaya (ikan, lobster, rumput laut) dan perikanan tangkap (Radiarta &Rasidi 2012). Berbagai aktivitas tersebut berlangsung pada zonasi yang terpisah, sesuai dengan kondisi spesifik dari perairan yang dibutuhkan untuk masing-masing aktivitas tersebut.

Gambar 16 Zonasi pemanfaatan perairan di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Radiarta & Rasidi 2012)

Lokasi budidaya rumput laut di Teluk Gerupuk terletak berdekatan dengan mulut teluk yang berhubungan langsung dengan Samudera Indonesia (Gambar 16). Hal ini menyebabkan kondisi perairan Teluk Gerupuk juga dipengaruhi oleh kondisi perairan Samudera Indonesia, seperti kecepatan angin dan gelombang yang relatif besar. Namun demikian kondisi tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan rumput laut karena aliran air dan gelombang memiliki pengaruh yang besar terhadap transportasi unsur hara dan pengadukan air (Apriyana 2006). Budidaya rumput laut di Teluk Gerupuk umumnya dilakukan dengan metode longline, hal ini dikarenakan tingkat kedalaman perairan gerupuk yang berkisar antara 10-12 meter dengan komposisi substrat dasar yang terdiri dari pasir (87.75%), kerikil (14.6%) dan lumpur (6.16%) (Kiswara&Winardi 1999). Menurut DJPB 2005, kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut K. alvarezii untuk metode rawai (longline) adalah 2 – 15 m.

(41)

23 Hubungan parameter lingkungan perairan dengan tingkat penyerapan N dan P pada rumput laut

Kondisi kualitas air merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan budidaya rumput laut karena air merupakan media yang secara langsung mempengaruhi aktivitas budidaya rumput laut. Selain hal tersebut di atas, kondisi klimatologi juga dapat mempengaruhi kondisi kualitas perairan dan secara tidak langsung akan mempengaruhi rumput laut itu sendiri. Parameter kualitas air yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut antara lain suhu, salinitas, intensitas cahaya, nutrien, dan kecepatan arus (Parenrengi et al. 2011). Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air (parameter fisika perairan) selama pemeliharaan rumput laut K. alvarezii dan E. spinosum, menunjukkan bahwa kondisi kualitas air di Teluk Gerupuk masih mendukung kegiatan budidaya rumput laut (Gambar 5).

Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Menurut Tiongsungrusmee 1990, suhu perairan yang ideal untuk budidaya rumput laut Eucheuma adalah berkisar antara 25 – 30 oC. Dari hasil pengujian kualitas air di lokasi penelitian, termasuk pada kisaran optimal untuk budidaya rumput laut yaitu berkisar antara 26.8 – 28 oC (Parenrengi et al. 2011). Suhu perairan tertinggi terdapat pada lokasi kontrol yang relatif dekat dengan mulut teluk. Raikar et al. 2001 menyatakan bahwa laju pertumbuhan maksimum dari beberapa jenis Gracilaria spp. yang berasal dari Malaysia dan India dicapai pada suhu 25 – 30

o

C, sedangkan spesies yang berasal dari Jepang dicapai pada suhu 20 – 25 oC. Paparan sinar matahari yang diterima oleh rumput laut selama penelitian sangat optimal karena pada periode tersebut kondisi cuaca selalu cerah dan tidak ada hujan. Hal tersebut terlihat pada data klimatologi (Gambar 17), dimana pada bulan September sampai Oktober intensitas penyinaran matahari berkisar 81 – 88%.

Salinitas di teluk gerupuk selama penelitian berada pada kisaran 31.76 – 35.05 ppt, dimana kisaran tersebut termasuk kisaran salinitas yang sesuai untuk produksi rumput laut yaitu 31 – 35 ppt (Parenrengi et al. 2011) (Gambar 5c). Salinitas di suatu perairan dipengaruhi oleh penguapan dan jumlah curah hujan yang turun. Salinitas tinggi terjadi apabila curah hujan yang terjadi di suatu perairan kurang yang menyebabkan penguapan tinggi. Berdasarkan data klimatologi (Gambar 15) memperlihatkan curah hujan di lokasi penelitian pada bulan September – Oktober sangat rendah dengan kisaran 0 – 9 mm.

Kecerahan menjadi faktor yang penting apabila dikaitkan dengan keperluan sinar matahari untuk proses fotosintesis rumput laut dalam mendukung pertumbuhan yang baik. Menurut Mubarak et al. 1990, kecerahan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 3 - 5 m. Hasil pemantauan di lokasi penelitian, menunjukkan bahwa tingkat kecerahan pada lokasi budidaya rumput laut berkisar 2,5 – 3 m.

Kecepatan arus selain berfungsi untuk mensuplai zat hara juga membantu memudahkan rumput laut menyerap hara ,membersihkan kotoran dan melangsungkan pertukaran O2 dan CO2. Penyerapan zat hara pada rumput laut

dilakukan melalui seluruh permukaan thallus. Kecepatan arus di lokasi penelitian berkisar 40 – 60 cm s-1, kisaran tersebut menunjukkan kisaran yang optimum bagi budidaya rumput laut. Kecepatan arus yang ideal untuk budidaya rumput laut

(42)

24

NO3- +CO2+tumbuhan+cahaya matahari  protein

berkisar antara 20-40 cm s-1 (Parenrengi et al. 2011). Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adanya tumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah.

Dampak utama dari keberadaan aktivitas budidaya ikan yang menggunakan pakan buatan terhadap kualitas perairan di sekitarnya yaitu terjadinya peningkatan akumulasi partikel dan nutrien terlarut di kolom air (Nordvarg & Johansson 2002). Nutrien sangat berperan dalam pertumbuhan rumput laut khususnya kandungan nitrogen dan fosfat (Parenrengi et al. 2011). Penelitian Shu et al. (2004) menyatakan bahwa konsentrasi N, P, jumlah oksigen yang dikonsumsi bahan organik dan total padatan terlarut pada area KJA umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan area yang tidak terdapat KJA, khususnya pada musim panas dan gugur. Penelitian Nishihara et al. (2010) menemukan bahwa kandungan nutrien pada area rumpun E. serra 56% lebih sedikit dibandingkan di luar area rumpun rumput laut tersebut. Pada lokasi IMTA di teluk Gerupuk juga terlihat konsentrasi NH3-N, NO3-N dan PO4-P lebih tinggi

dibandingkan dengan lokasi rumput laut kontrol. Berdasarkan waktu pengamatan parameter kualitas air, konsentrasi nutrien terlarut tertinggi berada pada sisi barat dari KJA IMTA (Gambar 6). Perbedaan distribusi nutrien yang teramati selama penelitian dapat disebabkan oleh pola arus yang terjadi di Teluk Gerupuk. Arus di Teluk Gerupuk umumnya didominasi oleh arus pasang surut. Pola penyebaran nutrien ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhakan rumput laut yang dibudidayakan di sisi barat dan sisi timur KJA IMTA.

Penyerapan N dan P berdasarkan pertumbuhan dan produksi karbohidrat pada rumput laut.

Nitrogen adalah satu unsur utama penyusun sel organisme di dalam pembentukan protoplasma. Pada perairan nitrogen hadir dalam bentuk nitrat, nitrit, amonium dan aminia, serta senyawa-senyawa N-organik seperti urea dan asam amino (Effendi 2003). Dissolved Inorganic Nutrient (NH4, NO3 dan NO2)

merupakan faktor pembatas yang menentukan produktivitas rumput laut di berbagai lingkungan laut (Troell et al. 2009). Makro alga seperti rumput laut memiliki kemampuan untuk mengambil dan merubah nutrien terlarut dari KJA di perairan sistem IMTA (Wang et al. 2012 ). Nitrogen merupakan salah satu nutrient makro yang menjadi salah satu komponen penting penyusun DNA, protein dan senyawa esensial yang penting dalam sistem biologis tumbuhan, seperti enzim, hormon, dan klorofil (Lakitan 2011, Diaz-Pulido & McCook 2008, Dawes 1981),termasuk pigmen fikoeritrin pada algae merah (Dawes 1981). Menurut Efendi 2003, nitrat yang merupakan sumber nitrogen bagi tumbuhan yang selanjutnya dikonversi menjadi protein sebagimana berikut ini :

Berdasarkan hasil pengujian kandungan nitrogen pada jaringan rumput laut K. alvarezii diperoleh hasil bahwa kandungan nitrogen KaB lebih tinggi 148.1 %

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian di Teluk Gerupuk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara  Barat
Gambar 2 Konstruksi longline berbingkai 50 x 50 m
Gambar 3 Konstruksi lajur pada longline budidaya rumput laut
Tabel 1 Pengamatan parameter kualitas air dan rumput laut di Teluk Gerupuk  No  Parameter  Jenis sampel  Metode  Lokasi Analisa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan cara yang sama, setiap orang yang bekerja dalam media atau pada teks media tertentu butuh berhubungan kepada lebih dari satu institusi, lebih dari

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyandang tunarungu pernah menjalani jenis profesi lain sebelum berprofesi sebagai guru. Profesi guru diperoleh setelah

Adalah kotak yang berisi alat-alat kerja, yang digunakan untuk melakukan seleksi, menggambar, mewarnai objek, memodifikasi objek, dan mengatur gambar atau

Lalu saya diberikan tugas untuk bekerja di Semarang selama kurang lebih 1 bulan untuk mencari tahu masalah mengenai ACS di PT Infomedia oleh Telkom Indonesia di Semarang,

Sebagian kolesterol yang mencapai organ hati diubah menjadi asam empedu, yang akan dikeluarkan ke dalam usus, berfungsi seperti detergen &amp; membantu proses

Gambaran daerah genangan banjir 2007 berdasarkan model seperti terlihat pada Gambar 14, dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat hasil simulasi dari

4 Mengarahkan surat sesuai disposisi pimpinan , penggandaan dan lata k earsipan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk disampaikan ke unit pengolah 5 Meneliti dan m

Pada penelitian ini metode Algoritma Genetika dipadu- kan dengan metode Constraint Satisfaction Problem karena kromosom yang dihasilkan pada metode Algoritma Ge- netika dapat