• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Banjir Sistem Informasi Geografis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Banjir Sistem Informasi Geografis"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Banjir

Banjir merupakan fenomena alam yang sangat biasa kita ketahui. Hampir setiap kejadian hujan ekstrim, fenomena banjir sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Bandung. Banjir banyak terjadi pada kawasan yang biasanya banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagai hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah.

Menurut Windarta (2009), dilihat dari bentuk kejadian banjir dapat dikategorikan banjir bandang dan banjir menggenang. Banjir bandang adalah luapan air yang datangnya secara tiba tiba dan menimbulkan kerusakan akibat kecepatan arus air. Sedangkan banjir genangan yang biasanya terjadi di hilir dan dataran rendah, adalah banjir yang menimbulkan kerusakan/gangguan akibat genangan air. Peristiwa terjadinya bencana banjir melibatkan dua fenomena yaitu: kejadian banjir dan keberadaan manusia dan harta benda di daerah kejadian. Dengan demikian, jika terjadi luapan/genangan air yang mengganggu kehidupan manusia (melanda manusia dan harta benda) maka terjadilah bencana.

Kadri (2007) menyebutkan bahwa penyebab terjadinya banjir ditinjau dari aspek hidrologi dan hidrolika antara lain adalah:

1. Penurunan kualitas DAS bagian hulu karena adanya perubahan penataan lahan yang mengakibatkan erosi dan koefisien aliran air menjadi tinggi.

2. Urbanisasi yang mengurangi daerah penyerapan air dan meningkatkan koefisien aliran air.

3. Intensitas curah hujan yang besar.

4. Pengurangan daerah tampungan, seperti kerusakan situ, danau dll.

5. Bangunan pengendali banjir tidak memadai akibat pemeliharaan yang buruk. 6. Kapasitas alir dan tampung sungai menurun akibat sedimentasi dan sampah. 7. Infrastruktur pada badan air akan menurunkan kapasitas alir sungai

8. Sistem operasi yang kurang optimal pada bangunan pengendali banjir, seperti pintu air.

Sistem Informasi Geografis

Definisi SIG selalu berkembang, bertambah, dan bervariasi. Pada bagian ini akan diterangkan beberapa definisi SIG yang diambil dari beberapa literatur. Reynolds (1997) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis adalah kumpulan data spasial referensi (yaitu data yang memiliki titik lokasi geografis) dan peralatan yang diperlukan untuk bekerja dengan data, antara lain komputer, lemari file, kalkulator (jika ada), pena, pensil, penyusunan meja, dan lain-lain. Sedangkan Aini (2007) menjelaskan bahwa Sistem Informasi Georafis atau

(2)

Georaphic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan) dengan beberapa aksi yang dapat dilakukan seperti meng-capture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi.

Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainya yang membuatnya menjadi berguna berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi.

Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1972 dengan nama Data Banks for Develompment (Rais, 2005 dalam Aini, 2007 ). Munculnya istilah Sistem Informasi Geografis seperti sekarang ini setelah dicetuskan oleh General Assembly dari International Geographical Union di Ottawa Kanada pada tahun 1967. Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS-SIG Kanada), digunakan untuk menyimpan, menganalisa dan mengolah data yang dikumpulkan untuk inventarisasi Tanah Kanada (CLI-Canadian Land Inventory) sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1:250.000. Sejak saat itu Sistem Informasi Geografis berkembang di beberapa benua terutama Benua Amerika, BenuaEropa, Benua Australia, dan Benua Asia

Subsistem dan Komponen Sistem Informasi Geografis

Ada empat subsistem dalam Sistem Informasi Geografis (Prahasta, 2001) :

1. Data Input Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya kedalam format-format yang dapat digunakan oleh SIG. 2. Data Output Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh

atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy

seperti : Tabel, grafik, peta dan lain-lain.

3. Data Management Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, diupdate dan diedit.

4. Data Manipulation & Analysis Susbsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001) :

(3)

1. Perangkat Keras Pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar.

2. Perangkat Lunak Bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri beberapa modul, hingga jangan heran jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.

3. Data dan Informasi Geografi SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara mengimpornya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lainnya maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan laporan.

4. Manajemen sebuah proyek SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan dikerjakan oleh orang yang memiliki keahlian tepat pada semua tingkatan.

Aplikasi HEC-RAS Dalam Penanganan Banjir

Penelitian tentang banjir dengan mengintegrasikan sistem informasi geografis di Indonesia sudah banyak dilakukan. Tetapi batasan penelitian yang digunakan terlalu luas yang ditandai dengan kecilnya ukuran skala peta. Hal ini dimaksudkan agar informasi wilayah rawan banjir di seluruh Indonesia dapat ditampilkan dalam satu lembar peta. Informasi tersebut memang sangat bermanfaat namun tidak mungkin untuk digunakan sebagai peta kerja. Sebaran wilayah rentan banjir banyak dibuat per pulau, padahal dalam kenyataannya peta-peta tersebut tidak menjadi valid ketika digunakan di lapangan. Oleh karena itu pendekatan baru yang lebih mendekati kenyataan merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

Pendekatan yang telah diperkenalkan pada awal tahun 2000 adalah pendekatan model hidrolika yang diintegrasikan ke dalam sistem informasi geografis. Beberapa literatur berikut menjelaskan penelitian tentang penggunaan model hidrolika dalam mereduksi banjir yang dilakukan di luar Indonesia. Untuk mempermudah integrasi antara model hidrolika, hidrologi dan sistem informasi geografis. US. Army Corps. Of Engineer mengembangkan HEC-GeoHMS dan HEC-GeoRAS. Hasil program ini merupakan hasil analisis model yang kemudian dianalisis secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak SIG seperti ArcView. ArcView akan bekerja dengan optimal apabila digunakan data peta DEM (Digital Elevation Mode ) yang umumnya dibangkitkan berdasarkan data radar atau foto udara yang akurat. Sedangkan data tutupan lahan dapat secara baik digunakan peta berdasarkan citra satelit.

Pitocchi dan Mazzoli (2001) juga menggunakan sistem model ini untuk proses perencanaan dan manajemen banjir di DAS Romagna disesuaikan dengan standar kebutuhan database. Mereka menerangkan bahwa Interface GeoRAS membentuk Shape file pada ArcView sebagai hasil dari hitungan

(4)

HEC-RAS, shape file ini yang kemudian dapat diaktifkan di layar untuk mengetahui daerah rawan banjir. Apabila telah didapatkan daerah genangan, kemudian dapat diekplorasi lebih lanjut mengenai kerugian yang akan terjadi seperti beberapa banyak rumah atau bangunan yang akan terendam, kerusakan lahan pertanian atau peruntukan lain, berapa jumlah jiwa yang harus diungsikan dan lain-lain serta keberadaan database spasial yang terkait dalam ArcView.

Model extension ini memungkinan menanggulangi aspek dua dimensi pada aliran melalui hubungan antara geometri sungai dengan model dijital terrain dalam bentuk format Triangulated Irregular Network (TIN). Dengan ekstensi ini, keluaran didapatkan dari HEC-RAS untuk setiap potongan penampang diinterpolasikan antara potongan penampang, termasuk didalamnya kedalaman air dan kecepatan air permukaan. Model ini memungkinkan untuk memetakan daerah genangan banjir untuk hidrograf banjir pada perioda ulang tertentu. Sistem ini secara khusus dikembangkan untuk keperluan rekonstruksi kurva debit dan neraca air pada DAS tersebut dan memberikan hasil mengambarkan hubungan debit dan kedalaman dalam kondisi muka air tinggi dan rendah dengan memperhatikan parameter aliran.

Secara terpisah Fongers (2002) melakukan studi hidrologi di DAS Ryerson dan menghasilkan hasil yang baik untuk memprediksi volume limpasan dan aliran puncak banjir melalui kondisi langsung permukaan tanah pada hujan dengan perioda ulang 2, 10 dan 100 tahunan. DAS Ryerson dibagi menjadi sub-sub DAS kecil yang kemudian direpresentasikan ke dalam elemen hidrologi pada HEC-HMS. Secara rinci dilakukan uji terhadap berbagai Curve Number agar diperoleh nilai yang paling sesuai untuk setiap sub-sub DAS tersebut dan sekaligus diuji untuk setiap perioda ulang tertentu. Lebih jauh Fongers (2002) menyatakan bahwa sistem ini dapat dikembangkan untuk pengelola hujan badai (stormwater) secara efektif dan menjabarkan kemungkinan untuk mengembangkan manajemen stormwater untuk daerah hulu DAS.

Perlunya metoda hitungan kerugian banjir diperkuat oleh Sanders dan Tabuchis (2000) yang membahas secara rinci mengenai analisis resiko banjir pada sungai Thames, Inggris. Sistem informasi geografis berbasis ArcView 3.2 dikembangkan untuk mengetahui nilai kerugian (value of damage) akibat terjadinya banjir. Dengan menggunakan data kedalaman air, portofolio asuransi dan fungsi kehilangan, maka dapat ditentukan perkiraan kerugian berdasarkan jumlah dan banyaknya properti yang terendam. Sistem ini memanfatkan kode pos bangunan yang memuat data tipe bangunan dan koordinat lokasinya.

Lebih lanjut Sanders dan Tabuchis (2000) mengisyaratkan perlunya dibuat loss curve atau kurva kerugian sebagai fungsi dari kedalaman banjir. Untuk mengetahui daerah genangan banjir berdasarkan perioda ulang tertentu seperti yang dibutuhkan pada analisis kerugian di atas. Interface HEC-GeoRAS membentuk Shape file pada ArcView sebagai hasil dari hitungan HECRAS, shape file ini yang kemudian dapat diaktifkan di layar untuk mengetahui daerah rawan banjir. Apabila telah didapatkan daerah genangan, maka kemudian dapat diekplorasi lebih lanjut mengenai resiko banjir yang akan terjadi seperti beberapa banyak rumah atau bangunan yang akan terendam, kerusakan lahan pertanian atau peruntukan lain, beberapa jiwa yang harus diungsikan dan lain-lain sesuai dengan tujuan analisis dan keberadaan data base spasial yang terkait dalam ArcView.

(5)

metode prediksi banjir di Amerika Serikat. Pembaharuan peta bahaya banjir di AS telah dilakukan melalui modernisasi peta dan program reduksi banjir. Penggunaan informasi topografi yang berasal dari pendeteksian wilayah oleh cahaya (LIDAR) memungkinkan terciptanya peta banjir genangan yang relatif lebih akurat. Kelemahan LIDAR adalah tidak tersedia untuk seluruh Amerika Serikat. Bahkan untuk daerah-daerah, dimana data LIDAR tersedia, efek faktor lain seperti konfigurasi penampang melintang sungai dalam model satu dimensi (1D) yang direpresentasikan kedalam model dua dimensi model (2D), representasi batimetri sungai, dan pendekatan pemodelan yang tidak diteliti dengan baik atau didokumentasikan.

Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengatasi beberapa masalah banjir dengan cara membandingkan peta banjir yang baru dikembangkan dari data LIDAR ke peta yang dikembangkan menggunakan topografi yang berbeda, deskripsi geometri dan pendekatan pemodelan. Metodologi yang digunakan melibatkan enam dataset topografi dengan resolusi horisontal, akurasi vertikal dan rincian batimetri yang berbeda. Dataset topografi yang digunakan untuk membuat peta genangan banjir selama dua belas konfigurasi penampang berbeda dihasilkan dari model 1D HEC-RAS, sedangkan model 2D menggunakan FESWMS.

Perbandingan peta yang dihasilkan untuk dua wilayah studi (Strouds Creek di North Carolina dan Brazos Sungai di Texas) menunjukkan bahwa genangan banjir daerah berkurang dengan resolusi horisontal baik dan akurasi vertikal dalam data topografi. Penurunan ini lebih ditingkatkan dengan memasukkan batimetri sungai pada data topografi. Secara keseluruhan, genangan yang diprediksi oleh FESWMS lebih kecil dibandingkan dengan prediksi yang dihasilkan dari HEC-RAS. Untuk penelitian yang berskala daerah, menunjukkan bahwa variasi pada peta genangan banjir yang timbul dari faktor yang berbeda lebih kecil pada FESWMS dibandingkan dengan HEC-RAS.

Pada waktu yang sama, Lerat et al. (2009) menyatakan bahwa pemodelan banjir genangan memerlukan aplikasi model hidrologi untuk menghitung arus lateral dan model Hidrodinamik untuk menghitung tinggi air di sepanjang jangkauan sungai. Dalam studi tersebut ini, Lerat et al. (2009) membandingkan model GR4J pada limpasan curah hujan-limpasan model dan model propagasi gelombang difusi linear pada Sungai Illinois dengan menggunakan data jam-jaman selama 10 tahun. Perangkat yang digunakan dalam permodelan banjir genangan ini juga menggunakan HEC-RAS .

Koutroulis dan Tsanis (2010) menggunakan HEC-RAS untuk memperkirakan debit puncak pada kejadian banjir, hidrograf, dan volume genangan, dimana karakteristik hidrologis wilayah banjir telah diketahui sebagian. Indeks empiris digunakan untuk menghasilkan data curah hujan yang hilang, sedangkan model hidrologi dan Hidrodinamik digunakan untuk mendelineasi wilayah genangan, simulasi banjir, dan genangan banjir. Debit puncak, hidrograf, dan volume, genangan dari analisis hidrograf diukur pada kejadian non-banjir yang sehingga kejadian curah hujan yang diukur digunakan untuk mengkalibrasi dan verifikasi simulasi. Persamaan empiris dikembangkan dalam rangka memberikan debit puncak sebagai fungsi dari total curah hujan, deviasi standar, dan durasi badai. Metode ini melibatkan pemodelan hidrologi dan Hidrodinamik serta arus puncak perkiraan berdasarkan persamaan Manning dan pengukuran genangan pasca banjir maksimum.

(6)

Model Simulasi Tanaman Padi Rawan Banjir

Model simulasi tanaman padi rawan banjir RENDAMAN.CSM merupakan model simulasi tanaman padi dinamis yang berkerja berdasarkan sistem kepakaran. Model simulasi dinamis dibangun berdasarkan hubungan sebab akibat antara kondisi lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman padi, sedangkan faktor-faktor pembatas yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan padi diperoleh dari hasil-hasil penelitian para pakar tanaman padi. Model RENDAMAN.CSM pertama kali dibangun pada 7 Desember 2010 oleh Karim Makarim, seorang profesor riset di bidang Ekofisiologi dan Ilmu Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. RENDAMAN.CSM dibangun sebagai alat bantu untuk pundugaan produksi padi akibat banjir beserta kerugian-kerugiannya. Alat bantu tersebut dibangun dalam sebuah penelitian yang dilakukan dalam rangka upaya antisipasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan yang salah satunya menyebabkan semakin meluasnya bencana banjir dan genangan pada lahan sawah dengan tingkat kerugian yang cukup nyata bagi petani.

Model RENDAMAN.CSM merupakan pengembangan dari model simulasi PADI.CSM yang telah lama digunakan untuk menduga produksi padi berdasarkan kondisi bio fisik lingkungan yang spesifik. Faktor-faktor biofisik lingkungan yang dibangun dalam model simulasi PADI.CSM yang merupakan faktor pembatas pertumbuhan padi antara lain adalah: sifat fisik dan kimia tanah, faktor-faktor serangan hama dan penyakit serta faktor sosial ekonomi. Kaidah-kaidah perhitungan matematis dalam menentukan potensi kehilangan hasil yang akibat faktor pembatas lingkungan dalam model PADI.CSM mengikuti kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh de Vries at al. (1989), yaitu meliputi perhitungan tentang asimilasi karbon, pertumbuhan morfologi, perhitungan transpirasi serta perhitungan tentang neraca air tanah dan iklim.

Dalam perkembangnya model simulasi PADI.CSM dimutakhirkan kembali dengan menambahkan sub-rutin pengaruh lamanya rendaman terhadap penurunan hasil padi yang kemudian diberi nama Model Simulasi Padi Lahan Rawan Banjir RENDAMAN.CSM. Faktor-faktor pembatas dalam RENDAMAN.CSM diperoleh dari hasil penelitian tentang respon varietas padi terhadap perendaman, pemupukan dan jarak tanam pada berbagai jenis varietas unggul biasa seperti Ciherang, Mekongga dan IR64 dan sebagaianya serta varietas padi tahan rendaman seperti Inpara 4 dan Inpara 5. Percobaan tersebut dilaksanakan di lahan petani yang hampir setiap tahunnya terkena banjir, yaitu di Desa Langgengsari, Kecamatan Belanakan, Kabupaten Subang Jawa Barat, pada Januari-April 2010 (Ikhwani dan Makarim, 2012).

Model RENDAMAN.CSM pernah digunakan oleh Makarim dan Ikhwani (2011) dalam menduga besarnya kehilangan hasil/ produktivitas tanaman padi akibat banjir/rendaman untuk tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa simulasi terhadap dua jenis kelompok varietas padi, yaitu varietas padi unggul biasa (VUB) dan varietas padi tahan rendaman (VTR) sebelum rendaman adalah sama sebesar 5,77 ton/ha, sedangkan berdasarkan informasi petani hasil gabah di daerahnya berkisar antara 5 dan 6 ton/ha. Ini menunjukkan ketepatan model dalam menduga hasil padi dengan menggunakan input iklim dan data tanah serta jumlah

(7)

pupuk yang diberikan petani. Berdasarkan dugaan model, perbedaan hasil antara VUB dan VTR mulai nyata setelah lamanya rendaman 6 hari atau lebih. Pada rendaman selama 6 hari hasil gabah VUB turun dari 5,77 ton/ha menjadi 3,13 ton/ha atau turun sebesar 2,64 ton/ha (54,2%). Besarnya penurunan hasil akan lebih nyata dengan semakin lamanya waktu rendaman. Sebagai contoh pada Gambar 2 diperlihatkan hasil simulasi RENDAMAN.CSM dalam menduga penurunan produksi padi di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Gambar 2. Dugaan penurunan hasil padi varietas unggul baru (VUB) dan varietas tahan rendaman (VTR) untuk lama rendaman berbeda di Subang, Jawa Barat menggunakan model simulasi.

Sumber : Makarim dan Ikhwani (2011)

Lebih lanjut Makarim dan Ikhwani (2011) menaksir kerugian banjir terhadap tanaman padi antara tahun 2006-2010 dengan menggunakan simulasi RENDAMAN CSM dengan memasukkan data aktual besarnya kehilangan hasil/ produktivitas tanaman padi akibat banjir/rendaman untuk tiga kabupaten di Jawa Barat. Rata-rata penurunan padi akibat banjir di tiga kabupaten tersebut adalah adalah 2,65 ton/ha. Nilai rupiah dari kehilangan produksi untuk Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu masing-masing adalah 26 ribu; 46 ribu; dan 34 ribu ton gabah kering panen. Besarnya kerugian petani akibat banjir pada urutan Kabupaten yang sama adalah Rp.16,5; 6,8; dan 14,3 juta; sedangkan tiap kabupaten mengalami kerugian sebesar Rp.68; 112 dan 93 milyar. Selanjutnya hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa hadirnya varietas baru tahan rendaman yang dapat bertahan terendam selama 14 hari, maka dapat menyelamatkan penurunan hasil padi berturut-turut sebesar 3.248; 3.186; 3.008; dan 2.645 kg/ha untuk tahun 2006-2010; 2020; 2050 dan 2100.

Gambar

Gambar 2.  Dugaan penurunan hasil padi varietas unggul baru (VUB) dan varietas  tahan  rendaman  (VTR)  untuk  lama  rendaman  berbeda  di  Subang,  Jawa Barat menggunakan model simulasi

Referensi

Dokumen terkait

Goodwil secara signifikan berpengaruh terhadap return saham pada pemsahaan yang memberikan informasi nilai goodwill dalam laporan keuangan tahunan pada periode penelitian di PT.

[r]

!alah satu bentuk peman)aatan singkong sebagai bahan pangan yaitu diolah menjadi opak singkong. Opak singkong merupakan $emilan khas &ndonesia yang sangat tradisional yang

Limbah perkebunan dan hasil ikutan pengolahan tepung sagu dapat dijadikan sebagai pakan komplit fermentasi yang menghasilkan PBBH sapi Bali yang sama hingga pemberian

Sebanyak 65,33% siswa yang menjawab benar dan sudah mampu atau cukup mengaplikasikan atau menyelesaikan soal dengan baik, sedangkan 34,77% siswa menjawab salah dan

Untuk pemantauan dosis radiasi di daerah kerja tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena tidak tersediaanya alat survey-meter di unit kerja radiologi yang

Agar didapatkan kordinasi yang baik terhadap rele arus lebih di sisi lain ( buka pada saat rele arus lebih yang terpasang di penghantar) maka karakteristik yang di pilih

(2010), merupakan perhitungan kemajuan secara genetic yang dihitung dengan membandingkan karakter antara populasi terseleksi dengan populasi rataan atau kontrol. Data