• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan definisikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami (Sutopo 2011). Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya (DPR RI 2007). Leimona et al. (2011) mendefinisikan jasa lingkungan sebagai penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan.

Wunder (2005), membagi produk jasa lingkungan hutan atau kawasan konservasi dalam empat kategori, yaitu:

1. Penyerap dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage) 2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection)

3. Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection) 4. Keindahan bentang alam (landscape beauty)

2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan

Pembayaran jasa lingkungan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan posisi tawar jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan merupakan pemberian penghargaan berupa pembayaran, kemudahan, keringanan kepada pelaku pengelola penghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan, lahan atau ekosistem (Suprayitno 2008). Wunder (2005) menyatakan pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) sebagai “a voluntary transaction where a well-defined ES (or land-use likely to secure that service) is being ‘bought’ by a (minimum one) ES buyer from (minimum one) ES provider if and only if ES provider secures ES provision (conditionally)....” Berdasarkan definisi tersebut, terlihat adanya beberapa pihak yang berkaitan dengan pembayaran jasa lingkungan, yaitu penyedia jasa, pembeli jasa serta perantara diantara keduanya.

(2)

Wunder (2008) membagi skema PES menjadi tiga bagian, yaitu skema PES murni, skema “PES-like”, dan insentif ekonomi lainnya (Gambar 2). Skema “PES-like “ lebih banyak diterapkan dibandingkan dengan skema PES murni. Skema “PES-like” memenuhi kriteria-kriteria PES menurut Wunder (2005) tetapi tidak semua kriteria.

Sumber: Wunder (2008)

Gambar 2 Pembagian skema PES.

CIFOR (2008) menyatakan bahwa terdapat hal-hal yang membuat skema “PES-like” lebih dominan dibandingkan skema PES murni. Hal-hal tersebut diilustrasikan dengan membahas masing-masing kriteria, yaitu:

1. Pertama, PES memiliki konsep sukarela, kerangka negosiasi, dimana hal ini membedakan PES dari pendekatan “command and control”. Hal ini mensyaratkan bahwa penyedia potensial benar-benar memiliki pilihan dalam penggunaan lahan, walaupun tidak pada setiap kasus.

2. Kedua, jasa yang dibeli harus didefinisikan dengan baik. Pada kenyataannya, apa yang dipikirkan untuk menyediakan jasa seringkali tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, dan bahkan kadang tidak mungkin, khususnya ketika hal itu berasal dari proses hidrologi.

3. Ketiga, terdapat minimum satu pembeli jasa

4. Keempat, terdapat minimum satu penyedia jasa. Bagaimanapun, pada praktiknya beberapa inisiatif dibiayai oleh donor lain daripada pembeli jasa, sementara yang lainnya membayar penyedia jasa tetapi menggunakan

(3)

sumberdaya tersebut untuk aktivitas proyek dibandingkan pembayaran kepada penyedia jasa.

5. Kelima, pada skema PES, pembayaran oleh pengguna tergantung pada keberlanjutan penyediaan jasa. Kriteria persyaratan ini sangat sulit dilakukan, dan di beberapa negara berkembang, bisnis ini seperti fitur PES, dimana hal itu berarti “anda membayar apa yang anda dapatkan”, meningkatkan substansi resistensi politik.

Wunder (2008) menyebutkan bahwa kelima kriteria PES digunakan di beberapa skema yang sebenarnya, tetapi penerapan dari skema “PES-like” memenuhi hampir keseluruhan kriteria-lebih banyak jumlahnya. Beberapa skema PES berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan (LSM).

Wunder (2008) lebih lanjut menyebutkan, skema “PES-like” lainnya dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama pengguna jasa lingkungan. Skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan berbagai tujuan lainnya (pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional). Hal ini didukung oleh dukungan politik, tetapi mungkin akan membahayakan keefektifan dalam mencapai tujuan lingkungan mereka.

Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) menyebutkan bahwa konteks PES yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus. Secara pribadi, komunitas dan masyarakat lokal menyediakan, pilihan-pilihan penggunaan lahan biasanya secara hukum kurang dibatasi, sehingga PES dapat diaplikasikan untuk mempengaruhi pilihan manajemen sumberdaya secara sukarela. Kawasan konservasi, bagaimanapun, sudah diutamakan untuk dijaga secara ketat, dimana pada dasarnya membuat PES tidak dapat digunakan.

Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) juga menyebutkan, pembayaran di kawasan konservasi bisa disesuaikan dalam kasus-kasus khusus berikut: (a) dalam penggunaan kawasan konservasi secara berkelanjutan dimana jarak yang legal atau toleransi dari pilihan penggunaaan lahan berada (pilot PES berada pada pengaturan-pengaturan tertentu); (b) ketika kawasan konservasi sudah

(4)

dideklarasikan “di atas” tanah-tanah pribadi atau komunal sebelumnya, atau (c) ketika potensi “command and control” secara de facto mendekati nol. Bagaimanapun, walau dibawah keadaan yang bertentangan, insentif dari konteks PES di kawasan konservasi berpotensi untuk dapat ditingkatkan. Misalnya, aksi dari pembayaran penghuni liar illegal yang tidak menebang menciptakan dilema keadilan, tuntutan hukunan bagi yang suka menentang (mendorong harapan bahwa menghindari aktivitas-aktivitas ilegal layak mendapat kompensasi) dan “magnet” efek demografi (pembayaran bahkan menarik lebih banyak penghuni liar).

Penggunaan PES sebagai cara untuk meningkatkan nilai baru bagi manajemen kawasan konservasi mungkin adalah sebuah pilihan, tetapi hal tersebut tidak jauh berbeda dari ide asli PES sebagai kompensasi penyedia jasa yang menanggung biaya konservasi. Ketika pendekatan “command and control” dan PES dapat dikombinasikan di beberapa kasus (Wunder & Wertz-Kanounnikoff 2009).

Rosa et al. (2003) menekankan bahwa prinsip yang paling penting dalam menentukan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan adalah keterlibatan jangka panjang masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan. Tujuan pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan lingkungan serta pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari (Leimona et al. 2011).

Landell-Mills dan Porras (2002) menjelaskan beberapa mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diterapkan di dunia, yaitu:

1. Direct negotiation, yaitu transaksi langsung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan. Pada umumnya, hal ini tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan. Hal ini seringkali menghasilkan proses negosiasi yang panjang. 2. Intermediary-based transaction. Dalam proses ini, fasilitator berperan agar

mengurangi biaya transaksi dengan cara mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi. Fasilitator juga berperan mengurangi resiko

(5)

kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat, serta mengidentifikasi masalah yang ada.

3. Pooled transaction, yaitu pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. 4. Joint venture, yaitu mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan

input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut. Imbalan tersebut berbentuk bagi keuntungan, konsultasi teknis, dana langsung, dan lain-lain. 5. Retail based traders, yaitu imbalan jasa lingkungan yang terdapat pada produk

pasar dan jasa.

6. Internal traiding, yaitu transaksi antar departemen dalam suatu organisasi. 7. Over the conter traders/users fees. Jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu

dalam menjalankan mekanisme ini.

Cahyono dan Suyanto (2006) menyatakan, imbal jasa multifungsi DAS mensyaratkan pemanfaat jasa membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia jasa. Selain itu, jasa yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa harus disepakati terlebih dahulu. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan bahwa jasa tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa.

Gouyon (2004), membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam tiga kategori yaitu :

1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.

2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.

3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik.

Waage dan Stewart (2007), menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu :

1. Jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya.

(6)

2. Informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparan dan akuntabel).

3. Kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel. 4. Selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau

kritik.

2.3 Peraturan Perundang-undangan tentang Pembayaran Jasa Lingkungan

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mendasari mekanisme pembayaran jasa lingkungan menurut RCS (2008), diantaranya : 1. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 70 menyebutkan bahwa

(1) masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan; (2) pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang yang berdaya guna dan berhasil guna; (3) serta dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.

2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 7 menyebutkan bahwa perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selanjutnya, pasal 27 menyebutkan bahwa pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.

3. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.

4. PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

5. SK Menhut Nomor 456/Menhut-II/2004, tentang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap masyarakat desa di luar hutan.

Prasetyo et al. (2009) menyebutkan peraturan perundang-undangan terkait mekanisme pembayaran jasa lingkungan, antara lain :

1. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang mengatur kewenangan dalam pengelolaan lingkungan. Pasal 10 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berkewajiban

(7)

mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

2. UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

3. PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Pasal 1 ayat 6 menyebutkan pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Disebutkan lebih lanjut pada pasal 22, pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Disebutkan dalam pasal 33 ayat 1 bahwa obyek pajak pengambilan dan pemanfaatan air (air bawah tanah dan air permukaan) adalah pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan; pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan; pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan. Pasal 34 menyebutkan subyek dan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan/atau air permukaan.

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Air di TNGGP

Darusman (1993), menyebutkan bahwa nilai manfaat air yang disediakan kawasan ini adalah sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. USAID (2006) menyatakan bahwa keberadaan TNGGP memiliki peranan penting bukan hanya untuk wilayah hulu tetapi juga bagi wilayah hilir seperti Jakarta dan sekitarnya. Manfaat kawasan ini sebagai daerah tangkapan air yang penting bagi kabupaten Cianjur, Sukabumi, Bogor dan DKI Jakarta; penyerap dan penyimpan karbon; penyeimbang iklim mikro; pengatur tata air; wisata alam; penelitian dan pendidikan. Jasa ekosistem kawasan hutan ini secara terus menerus menopang kehidupan manusia dan pembangunan.

USAID (2006) lebih lanjut menjelaskan, belum ada kebijakan, strategi dan aksi nyata dalam pengelolaan air yang lebih menghargai peran kawasan TNGGP. Pada kenyataannya, upaya memelihara kawasan hutan sebagai penghasil jasa

(8)

lingkungan air akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangunan konstruksi air.

2.5 Penelitian Terdahulu

2.5.1 Jasa lingkungan di TNGGP

Karya ilmiah mengenai peningkatan kualitas jasa lingkungan TNGGP melalui Payment for Environmental Services (PES), pernah dilakukan oleh Sudrajat et al. (2009). Sudrajat et al. (2009) menyebutkan bahwa pemilik villa, perkebunan teh dan instansi pembangkit listrik pun harus turut membayar jasa air dari TNGGP yang dimanfaatkan. Dana yang diperoleh dari hasil pembayaran jasa lingkungan tersebut dikelola oleh suatu badan/lembaga yang dibentuk khusus untuk mengatasi masalah lingkungan. Dana yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk pengelolaan TNGGP untuk penjagaan kualitas lingkungan di kawasan.

Lebih lanjut lagi, Sudrajat et al. (2009) menyebutkan pembayaran jasa lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk biaya reboisasi, manajemen pengelolaan, biaya informasi, dan biaya promosi. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka kualitas lingkungan TNGGP tetap terjaga. Selain itu, manfaat jasa yang dihasilkan oleh TNGGP dapat terus ditingkatkan. Artinya, pembayaran jasa lingkungan berkorelasi positif dengan peningkatan jasa lingkungan.

Penelitian lainnya mengenai pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut adalah Sutopo (2011). Penelitian ini ditekankan pada pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum yang mengambil lokasi studi di DAS Cisadane Hulu. Penelitian ini menyebutkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan mencapai 54,3% dan sebanyak 61,1% perusahaan pemanfaat air minum bersedia membayar jasa lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga mengasilkan rataan kesediaan perusahaan membayar (WTP) sebesar Rp 1.538,65/m3 dan kesediaan menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) sebesar Rp 1.589,29/m3. Berdasarkan hasil tersebut, maka rataan yang digunakan sebagai dasar pembayaran jasa lingkungan adalah sebesar Rp 1.563,97/m3.

(9)

2.5.2 Penerapan pembayaran jasa lingkungan di indonesia (studi kasus di beberapa DAS)

Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan penerapan dari program pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir.

Mekanisme ini diagggap penting diterapkan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, penerapan dari program tersebut tidak mudah. PT KTI sebagai perusahaan air kemudian siap mendanai penerapan tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Budhi et al. (2007)

Gambar 3 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Penerapan mekanisme ini telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan

LP3ES dan Rekonvasi Bhumi Industri PDAM Kelompok Tani PT KTI Sektor Swasta FKDC PLN Keterangan :

: Komunikasi dan Fasilitasi

: MoU dan PES

(10)

dan kondisi ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan penerapan pembayaran jasa lingkungan. Namun, penerapan tersebut menemui beberapa hambatan. Hambatan tersebut yaitu konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru. Hal ini dikarenan adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan.

Penerapan yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran. Hak dan kewajiban tiap para pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, penerapan pembayaran jasa lingkungan dapat diuji coba pada skala nasional.

Lokasi lain yang menjadi penerapan mekanisme ini adalah DAS Wai Besai Sumberjaya, Lampung. Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES (2010). Tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai deforestasi yang tidak terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya antara tahun 1991-1996.

Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, petani miskin di Trimulyo sangat tergantung pada lahan negara (Suyanto & Khususiyah 2006). Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pemdapatan dan pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan (land right) akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani.

LPM Equator (2011) menyatakan proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan harus dipenuhi dalam pengembangannya. Mekanisme yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu

(11)

contoh penerapan pembayaran jasa lingkungan yang berhasil mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung (Gambar 4).

Gambar 4 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung.

Pemberian Pembangkit Listrik mikrohidro

PLTA

Pembayaran jasa lingkungan riparian melalui dinas pertanian dan kehutanan Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (kepemilikan lahan) Masyarakat hulu DAS Way Besai Masyarakat peduli sungai RUPES (intermediary)

Pelaksanaan kontrak dimana masyarakat hulu berhasil menurunkan sedimen sungai, kemudian mendapatkan sejumlah insentif

Gambar

Gambar 2  Pembagian skema PES.
Gambar 4  Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya  Lampung.

Referensi

Dokumen terkait

MESCO SARANA NUSANTARA A Lulus Sudah jadi 7 007/KJA/15 DENI WAHYUDI PT.. MESCO SARANA NUSANTARA A Lulus Sudah jadi 8 008/KJA/15 HENDRA

Then, Gas sensor TGS 2620 was used to determine the premium purity level that obtained from PT Pertamina, SPBU Rambang, retail premium seller on Bukit Besar Palembang, and

Amin, S.Pd Guru Dewasa Tk.I SMP Maarif NU Pandaan Kab.. Pasuruan

Radiasi inframerah dari matahari langsung yang terpapar terlalu lama setiap hari pada kulit dapat menyebabkan kulit mudah keriput dan kering, karena sinar matahari dapat

Hasil uji LSD (Least Significant Different) pada waktu perdarahan diperoleh bahwa pada kelompok kontrol positif menunjukkan ada perbedaan yang bermakna terhadap

Dengue hemorrhagic fever (DHF) and DSS are the severe manifestation of dengue virus infection characterized by plasma leakage as a result of increased vascular

Selain hal itu ketel uap juga dapat didefisikan menjadi suatu pesawat kalori yang berfungsi untuk mengubah fasa dari fluida kerja yaitu dari kondisi cair menjadi kondisi

sebagai Luka yang hancur pada extremitas sebagai Luka yang hancur pada extremitas atau anggota badan lain yang mengakibatkan atau anggota badan lain yang