• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ANALISIS DATA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ANALISIS DATA

Bab ini akan membahas naskah Bab dodotan secara kajian filologis dan kajian isi naskah. Kajian filologi digunakan untuk menguraikan permasalahan-permasalahan filologi berupa varian-varian yang ditemukan dalam naskah Bab Dodotan, yang akan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kajian ini mengacu cara kerja filologi, sehingga mendapat suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Adapun analisisnya terdiri: deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks beserta aparat kritik, dan terjemahan. Kemudian dilanjutkan dengan kajian isi untuk mengulas tuntas mengenai isi yang terkandung di dalam naskah Bab Dodotan.

A. Kajian Filologi

Filologi memiliki tujuan khusus yaitu menyajikan teks setepat mungkin yang bersih dari kesalahan. Kajian filologis digunakan untuk membahas permasalahan yang ada di dalam naskah, berupa varian yang terdapat dalam Naskah Bab Dodotan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Naskah Bab Dodotan merupakan naskah tunggal yang dikaji menggunakan metode standar sesuai dengan teori langkah kerja yang dikemukakan Edwar Djamaris (2002:24). Adapun langkah kerja filologi sesuai dengan analisis yang dilakukan terdiri dari: deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, kemudian terjemahan.

(2)

1. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah merupakan langkah awal dalam penggarapan naskah sebagai gambaran, rincian mengenai kondisi fisik naskah dan memberikan garis besar isi yang dibalut secara ringkas guna mempermudah dalam pengenalan naskah. Dalam membuat deskripsi naskah hendaknya dipertegas dan apa adanya sesuai dengan bentuk dan kondisi asli naskah. Menurut Emuch Hermansoemantri (1986) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat deskripsi naskah, yaitu: a. Judul naskah; b. Nomor naskah; c. Tempat penyimpanan naskah; d. Asal naskah; e. Keadaan naskah; f. Ukuran naskah; g. Tebal naskah; h. Jumlah baris perhalaman; i. Huruf, aksara, tulisan; j. Cara penulisan; k. Bahan naskah; l. Bahasa naskah; m. Bentuk teks; n. Umur naskah; o. Pengarang/penyalin; p. Asal-usul naskah; q. Fungsi sosial naskah, dan; r. Ikhtisar teks / cerita. Berikut adalah deskripsi naskah Bab Dodotan.

a. Judul naskah

Naskah ini berjudul Bab Dodotan, judul berada pada sampul luar naskah yang dilaminating. Ada 2 versi penulisan, yaitu judul ditulis dengan cara diketik (mesin ketik) dan tulisan tangan.

(3)

Gambar 18: Judul Naskah

b. Nomor naskah

Bernomor F2, dengan judul Bab Dodotan di dalam katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 karya T.E Behrend (1990) yang tergolong Bab Adat Istiadat. Kemudian, nomor dalam katalog lokal Museum Sonobudoyo yaitu PBC 113 berada pada cover depan naskah.

(4)

c. Tempat Penyimpanan Naskah

Naskah tersimpan rapi di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. d. Asal Naskah

Naskah ini dulu milik Panti Budoyo yang kemudian dihibahkan kepada Museum Sonobudoyo. Adapun bukti kepemilikan dari Panti budoyo terdapat cap merah yang bertuliskan Panti Budoyo, sebagai berikut:

Gambar 20: Cap Panti Budoyo

Cap merah bertuliskan Panti Budaya, menandakan bahwa sebelumnya naskah adalah milik Panti Budaya.

e. Keadan Naskah

Naskah sudah rapuh. Dalam penanganan pihak museum dibuatkan hardcover guna melindungi ketas teks naskah. Kemudian untuk cover asli pada naskah sudah lepas, sehingga dilakukan perbaikan dengan cara melaminating cover asli, agar cover tidak semakin rusak. Lihat gambar berikut:

(5)

Gambar 21: hardcover dan cover asli naskah

Gambar 22: Cover asli naskah

Sampul naskah lepas dari naskah, sehingga terlihat ukuran kertas teks setelah sampul lebih tinggi dibanding sampul. Kemudian dari pihak

(6)

kolektor melakukan penanganan terhadap fisik naskah dengan cara cover naskah dilaminating agar tidak semakin rusak.

Sampul naskah yang lepas dari bendel kertas teks tidak mempengaruhi keutuhan naskah. Keutuhan naskah terlihat pada kertas teks yang masih masih dalam satu bendel. Keutuhan tersebut dibuktikan melalui baris akhir teks bertuliskan „tamat‟ berarti naskah sudah selesai tidak ada lanjutannya. Berikut adalah baris akhir yang menandakan naskah sudah selesai ditulis.

Gambar 23: Teks selasai “tamat”

Ada beberapa bagian dalam teks hilang (korup) karena umur naskah yang tergolong sudah tua. Seperti pada gambar berikut:

(7)

Gambar 24: Teks Korup Bagian dari naskah yang korup

f. Ukuran Naskah

Naskah berukuran 22 x 17 cm, dengan ukuran teks sebagai berikut:

 Ukuran teks  Panjang teks : 17,5 cm  Lebar teks : 12 cm  Margin kiri : 3 cm  Margin kanan : 2 cm  Margin atas : 2,5 cm  Margin bawah : 2 cm

(8)

g. Tebal Naskah

Bab Dodotan memiliki ketebalan 0,5 cm dengan 36 lembar kertas, terdiri dari: 2 lembar untuk cover depan dan belakang, 1 lembar untuk cap kepemilikan bertuliskan Panti Budaya, dan 19 halaman bertuliskan teks Bab Dodotan selebihnya kosong.

h. Jumlah Baris Tiap Halaman

Pada naskah Bab Dodotan memiliki jumlah baris tiap halaman rata-rata 22 baris. Terdapat dua nomor halaman yang berbeda, karena pada naskah akan dilakukan rekontruksi teks sehingga interpolasi halaman yang menggunakan pensil tetap ditampilkan. Interpolasi nomor halaman yang menggunakan pensil dalam pembahasan ini akan ditulis memakai warna hijau (green) sedangkan pada naskah nomor halaman yang di tulis menggunakan tinta huruf jawa, tetap akan ditulis dalam warna hitam. Adapun rincian penulisan baris tiap halaman pada naskah Bab dodotan sebagai berikut:

Jumlah baris pada halaman 1 (1) adalah 22 baris

Jumlah baris pada halaman (2) adalah 7 baris, dan 10 baris interpolasi Jumlah baris pada halaman 2 (3) adalah 22 baris

Jumlah baris pada halaman (4) adalah 19 baris Jumlah baris pada halaman 3 (5) adalah 22 baris Pada halaman (6) kosong

Jumlah baris pada halaman 4 (7) adalah 22 baris Pada halaman (8) kosong

(9)

Jumlah baris pada halaman (10) adalah 4 baris Jumlah baris pada halaman 6 (11) adalah 22 baris Pada halaman (12) kosong

Jumlah baris pada halaman 7 (13) adalah 22 baris Pada halaman (14) kosong

Jumlah baris pada halaman 8 (15) adalah 22 baris Pada halaman (16) kosong

Jumlah baris pada halaman 9 (17) adalah 22 baris Pada halaman (18) kosong

Jumlah baris pada halaman 10 (19) adalah 22 baris Pada halaman (20) kosong

Jumlah baris pada halaman 11 (21) 23 baris Pada halaman (22) kosong

Jumlah baris pada halaman 12 (23) adalah 17 baris

Nomor halaman yang berwarna hijau (1,2,3,...) adalah interpolasi nomor halaman menggunakan pensil.

i. Huruf, Aksara, Tulisan

Naskah Bab Dodotan ditulis menggunakan huruf jawa dengan tulisan tangan. Terdapat penambahan nomor halaman menggunakan angka arab, akan tetapi tidak sama dalam penomoran halaman yang menggunakan huruf jawa. Teks ditulis rapi menggunakan tinta berwarna hitam dan ada beberapa bagian yang diberi tambahan menggunakan pensil (interpolasi). Tulisan condong ke kanan dengan jarak antar baris 0,1 cm. Berikut

(10)

adalah tampilan nomor halaman yang membuktikan penomoran halaman ganda:

Gambar 25: nomor halaman

Pada gambar 24 terdapat dua nomor halaman. Menggunakan angka arab dan angka jawa. Nomor halaman yang menggunakan angka arab adalah sebuah interpolasi nomor halaman. Interpolasi nomor halaman tersebut ditulis secara recto-verso yaitu penulisan secara bolak-balik. Sedangkan nomor halaman dengan angka jawa ditulis secara satu muka saja. Sehingga penomoran halaman tidak sama. Berikut contoh penomoran halaman yang tidak sama:

Gambar 26: nomor halaman 3 dan 2

Penambahan nomor halaman yang menggunakan pensil tidak sama dengan nomor halaman yang menggunakan tinta hitam. Penambahan tersebut ditulis pada kertas teks naskah secara recto-verso (bolak-balik). Selain interpolasi nomor halaman terdapat interpolasi kalimat dan huruf di dalam teks naskah Bab Dodotan, sebagai berikut:

(11)

Gambar 27: interpolasi

Penambahan huruf/kata/kalimat dalam teks “Mênawa dodoté cilik têgêsé mung pitung kacu”

Terjemahan : Jika dodotnya kecil maksudnya hanya 7 lebar kain (smbr : Bab Dodotan hlmn 1)

j. Cara penulisan

Teks ditulis menggunakan tinta hitam dengan cara recto-verso. Dalam penomoran halaman yang menggunakan tinta hitam dan huruf jawa ditulis secara recto maksudnya hanya satu muka yang ditulisi yaitu pada halaman ganjil, akan tetapi pada halaman verso (bagian genap) yaitu pada interpolasi nomor halaman 2, 4 dan 10 terdapat tulisan/teks. Tulisan/teks tersebut adalah penjelasan mengenai halaman sebelumnya

(12)

yaitu halaman yang ditulis secara recto. Seperti pada gambar berikut, berlaku untuk halaman 2, 4 dan 10.

Gambar 28: Cara penulisan

Pada halaman 1 (1) terdapat kata dibalenggi (digaris bawahi warna merah) untuk keterangan kata dibalenggi berada pada halaman (2).

k. Bahan naskah

Teks ditulis pada kertas bergaris berwarna coklat yang mulai menua. l. Bahasa naskah

Bahasa yang diggunakan adalah bahasa Jawa baru dengan selingan bahasa Indonesia.

(13)

m. Bentuk teks

Naskah Bab Dodotan berbentuk prosa, pada halaman belakang terdapat 2 gambar ilustrasi yang menyangkut mengenai teks cara pemakaian dodot. n. Umur naskah

Naskah ini berumur sekitar 82 tahun, sebab terdapat tarikh yang berbunyi Dina Jumuah tanggal kaping 2 Sasi Robiulawal taun Dal Angka 1855, dan juga pada cover asli naskah yang bertuliskan 1855=1924 yang dimaksudkan 1924 adalah tahun Masehi

Gambar 29: angka tahun yang terdapat pada sampul naskah o. Pengarang/ Penulis

Naskah Bab Dodotan ditulis oleh Bupati Anom Keraton Surakarta yaitu R.T Purbadipura yang dibuktikan dalam teks Bab Dodotan halaman 1 berbunyi:

“... aku Raden Tumenggung Purbadipura, Bupati Anom ing Surakarta...” Terjemahan : “...saya Raden Tumenggung Purbadipura, Bupati Anom di Surakarta...”

(14)

p. Asal-usul naskah

Naskah ditulis oleh R.T Purbadipura di Surakarta. Kemudian naskah ini menjadi milik Panti Budaya yang kemudian dihibahkan kepada Museum Sonobudaya, Yogyakarta hingga sekarang.

q. Fungsi sosial naskah

Naskah Bab Dodotan memiliki fungsi sosial yaitu dengan melakukan penelitian ini dapat mengetahui pengertian dodot kemudian nama-nama dodot yang digunakan, dan bagaimana cara memakai dodot yang benar pada masa itu. Naskah ini memberi informasi bahwasanya pada masa lampau juga terdapat buku teks yang menyangkut mengenai Adat Istiadat seperti naskah Bab Dodotan ini, tidak hanya itu naskah ini memiliki peran, serta mempermudah dalam penyampaian kepada para pendidik khususnya pada bidang Tata Rias Pengantin Jawa.

r. Ikhtisar teks / cerita

Naskah Bab Dodotan menceritakan atau memaparkan tentang cara memakai dodot dan namanya-namanya. Dalam naskah ini dibagi menjadi 2bagian untuk bagian A terdapat pengertian dodot seperti dalam teks: “Dodot iku jarik bathik kang dawané sathithik-sathithiké pitung kacu, akèh-akèhé sangang kacu mori amba, didadèkaké loro jênêng rong lirang, banjur digandhèng mujur adu sèrèt jênêng dikampuh”

Terjemahan:

Dodot itu kain batik yang panjangnya sedikitnya tujuh lebar kain, sebanyak-banyaknya sembilan lebar pada kain mori, dijadikan dua namanya dua lirang, kemudian dijadikan satu searah dan berlawanan nama dikampuh.

(15)

Pada bagian B terdapat nama-nama dodot seperti : untuk orang nikah menggunakan motif namanya Blumbangan atau Bango Buthak. Dodot yang dipakai pengantin sepasar namanya dodot gadhung mlathi pradan.

2. Kritik Teks

Setelah naskah Bab Dodotan diidentifikasi melalui deskripsi naskah, maka selanjutnya ialah melakukan kritik teks. Kritik teks adalah memposisikan teks pada tempat yang sesuai atau tepat, memberi evaluasi dan pengayaan terhadap teks. Tujuan dari kritik teks adalah untuk mendapatkan teks yang asli, bebas dari kesalahan yang ditulis oleh pengarang sendiri.

Kritik teks merupakan bentuk pertanggungjawaban ilmiah oleh seorang filolog dalam penelitian naskah. Dalam kritik teks, seorang filolog dituntut untuk mempunyai alasan kuat yang didukung dengan referensi-referensi akurat, misalnya kamus Bahasa Jawa dalam menentukan bacaan yang benar, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang kemudian akan membingungkan pembaca. Segala kesalahan maupun kelainan yang terdapat pada naskah, diteliti kemudian diadakan pembetulan. Adapun pembetulan-pembetulan itu berdasarkan kelompok kesalahan. Kegiatan ini merupakan usaha yang dilakukan peneliti guna mendapat suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Untuk mendapatkan suntingan teks dan aparat kritik dalam penelitian ini harus melalui tahap kritik teks terlebih dahulu.

Kelainan bacaan (varian) yang terdapat dalam naskah Bab Dodotan dikelompokkan sebagai berikut:

a. Lakuna b. Adisi

(16)

c. Hiperkorek d. Korup

e. Ketidakkonsistenan tulisan

Pengelompokan varian yang terdapat dalam naskah Bab Dodotan dimasukkan dalam bentuk dalam tabel untuk mempermudah pemahaman, adapun pembuatan singkatan sebagai berikut:

$ : Edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik & : Pertimbangan konteks kalimat

ᴤ : Teks interpolasi

A : Menerangkan bahwa teks termasuk dalam jenis varian Adisi

b : Baris

Edisi teks : Teks yang dibetulkan

H : Menerangkan teks termasuk dalam jenis varian Hiperkorek

Hlmn : Halaman

K : Menerangkan bahwa teks hilang atau rusak (Korup) L : Menerangkan bahwa teks termasuk dalam jenis varian

Lakuna

No : Menerangkan nomor urut U : Berdasar urutan halaman W : Wawancara ahli

(17)

Tabel 1

Daftar Kata yang Tergolong Jenis Varian Lakuna

Tabel 2

Daftar Kata yang Tergolong Jenis Varian Hiperkorek

Tabel 3

Daftar Kata yang Tergolong Jenis Varian Adisi

No Hlmn/b Kata Edisi Teks

1 2(3)/3 Palipitdan Palipidan A$

No Hlmn/b Teks Kata Edisi Teks

1 1/1 Sasi Rabinguawal Sasi Rabiulawal L$ 2 5(9)/10 Bangkèka Bangkèkan L$ N o Hlmn/ b

Teks Kata Edisi Teks

1 7(13) /22

Kalangsrah Kêlangsrah H$

(18)

Dengan gambar teks bab dodotan sebagai berikut: Gambar 30: Adisi

“palipitdan diwiru” jadi “palipidan diwiru”

Tabel 4

Daftar Kata yang Hilang / Korup

No Hlmn Teks Bab Dodotan Kata Edisi Teks

1 Verso (2) Rénda kêmbang {...} Rénda kêmbang suruh K& 2 2(3) Kang tiba a{...} jero Kang tiba ana ing jêro K& 3 Verso (4) Buburon a{...} Buburon alas K& 4 Verso (4) Kêndhêla, kê{...} Kêndhêla, kêmbang sapethil K&

(19)

5 Verso (4) ma{...} mau diprada déné K& 6 Verso (4) Pa{...} Pangantèn sapasar K& 7 3(5) Lêbokna {...} Lêbokna marang sangarêping K& 8 3(5) Kanggo mi{...} Kanggo minangka kanthong K& 9 3(5) Salê{...} Salêmpitna marang sabukan K& 10 3(5) Nyalêmpi {...} Nyalêmpita ke K& 11 3(5) {...}ganda re Kêris utawa gandaré K&

(20)

12 7(13) Bongko {...} Bongkoting kunca K& 13 8(15) Tiba cethi{...} Tiba cethik têngên K&

14 8(15) Ba{...} Banjur rupa

kaya kêpuh K& 15 8(15) {...}dalem Ratu Kajaba Panjênênga n dalêm Ratu K& Tabel 5

Daftar Paragraf/kalimat hilang/korup

No Hlmn Teks Bab Dodotan Edisi Teks

1 2 أBalênggi iku wus

nganggo papan ana ing pucuking dodot. Ingkono ditémbok wutuh kira-kira ambané sacêngkang,

(21)

sawisé dibabar, banjur dibodholi karo dom. Manut serating bênang, kang mujur dikèrèkaké, kang malang dibuang, banjur duwé rupa kaya gombyoking renda kembang suruh. KW&

2 3 Nuli kang sumampir pundhak diudhunaké, ubêtna manêngên turut bangkèkan, tiba sakiwaning ula-ula, yèn wus sumèlèh ditali ngubêngi bangkèkan tiba sangisoring sabukan

(22)

dikancingake, kang minangka sabukan ucul banjur diubêtaké ing bangkékan mangiwa minangka sabukan mubêng manêngên mêtu buri pucuke talèkna manèh kaya bab:6: nontona gambar angka: : K&W Tabel 6

Daftar Kata yang Tergolong Tidak konsisten

No Hlmn/b Kata Edisi Teks

1 1/10

1/16 Verso (2)/6

3(5)/13

(23)

Ketidakkonsistenan penulis dituang dalam bentuk grafik, sebagai berikut: 1. Kata banjur

(a) Gambar 31: Banjur

(b) Grafik 32: Banyjur 5(9)/7 5(9)/13 5(9)/14 7(13)/18 5(9)/9 Banyjur 2 1/12 Palipidan Palipidan A$ 7(13)/3 Palipitdan 3 7(13) Kalangsrah Kêlangsrah H$ 8(19) Kelangsrah

(24)

2. Kata palipid (a) Gambar 33: palipitdan

(b) Gambar 34: palipidan

3. Kata ratu

(a) Gambar 35: Ratu (ta murda)

(b) Gambar 36: Ratu

4. Kata kêlangsrah (a) Gambar 37: Kalangsrah

(25)

(b) Gambar 38: Kêlangsrah

Tabel 7 Kesalahan Nomor Halaman

No Nomor hlmn pada teks Pembetulan

1 18 14 U 2 19 15 U 3 20 16 U 4 21 17 U 5 22 18 U 6 23 19 U 7 24 20 U 8 25 21 U 9 26 22 U 10 27 23 U

3. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Suntingan teks adalah sajian teks dalam bentuk alih aksara sesuai teks asli atau mendekati aslinya yang bersih dari kesalahan, didasari dengan bukti-bukti yang terdapat pada naskah yang dikritisi.

Aparat kritik merupakan pertanggungjawaban dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan menjadi lengkap dengan kritik teks. Segala

(26)

kelainan (varian) bacaan yang terdapat dalam naskah Bab Dodotan ditampilkan dalam satu wadah yaitu aparat kritik. Aparat kritik yang dimaksudkan dalam hal ini berada di bagian bawah suntingan teks (semacam catatan kaki / footnote). Jadi, untuk mendapat suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara filologi, dalam tahap ini suntingan teks disertai dengan aparat kritik dan kritik teks yang telah dikritisi ditampilkan secara bersamaan.

Suntingan teks dan aparat kritik terhadap naskah Bab Dodotan ditampilkan sesuai dengan kondisi naskah teks asli. Berikut suntingan teks dan aparat kritik naskah Bab Dodotan yang sesuai dengan kondisi naskah teks aslinya. Untuk mempermudah pembacaan dan pemahaman terhadap naskah Bab Dodotan, digunakan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Penggunaan angka arab dalam kurung tegak [1], [2], [3], [4] dan seterusnya menunjukkan pergantian halaman naskah secara recto (sesuai dengan teks aslinya), sedangkan untuk nomor halaman (1), (2), (3), (4) dan seterusnya yang berwarna hijau (green) adalah penomoran halaman secara recto-verso yang berupa interpolasi, sehingga nomor halaman tidak sama dengan nomor halaman teks yang ditulis menggunakan huruf jawa dan bertinta hitam.

b. Penggunaan angka arab ...ˡ ...² ...³ dan seterusnya, berada pada kanan atas teks adalah penunjuk bahwa teks memiliki varian, yang kemudian dibetulkan dengan edisi teks, ditunjukkan sama dengan nomor varian dan berada di bagian bawah halaman berupa catatan kaki (footnote).

c. Penggunaan warna hijau/green adalah sebuah interpolasi/tambahan kata, kalimat yang menggunakan pensil di dalam teks asli naskah.

(27)

d. Tanda kurung kurawal yang di dalamnya terdapat tanda titik berjumlah tiga {...} adalah penanda bahwa teks korup/rusak hanya satu kata.

e. Tanda modifer yang di dalamnya terdapat tiga titik <...> adalah penanda bahwa teks korup lebih dari satu kata.

f. Huruf „ê‟ pada kata, dibaca ê seperti kata „têrbit‟ dalam bahasa Indonesia. g. Huruf „è‟ pada kata, dibaca è seperti kata pèndèk dalam bahasa Indonesia. h. Huruf „é‟ pada kata, dibaca e seperti pada kata sore dalam bahasa

Indonesia.

i. Penggunaan huruf arab alif hamzah (أ) pada suntingan adalah pengganti angka arab 1 yang terdapat pada teks asli, karena jika ditulis menggunakan angka arab 1 (sama) akan merusak edisi teks.

j. Penggunaan tanda square root (√) pada teks suntingan menandakan di dalam teks terdapat interpolasi atau tambahan penulis yang menggunakan bahan tulis pensil.

k. Tanda L, memberi keterangan bahwa kata yang diganti termasuk dalam varian Lakuna.

l. Tanda A, memberi keterangan bahwa kata yang diganti termasuk dalam varian Adisi.

m.Tanda H, memberi keterangan bahwa kata yang diganti termasuk dalam varian Hiperkorek.

n. Tanda K, memberi keterangan bahwa kata yang diganti korup atau tidak dapat dibaca.

o. Tanda $, memberi keterangan penggantian kata berdasar pertimbangan linguistik.

(28)

p. Penggunaan huruf s terbalik (ᴤ), memberi keterangan bahwa kalimat tersebut berupa interpolasi, di dapat dari teks asli.

q. Tanda U, memberi keterangan bahwa nomor halaman interpolasi tidak urut, dan dibenarkan berdasar urutan penomoran halaman interpolasi. r. Tanda W, memberikan keterangan edisi hasil wawancara kepada ahli. s. Tanda &, memberi keterangan penggantian kata berdasar konteks kalimat. t. [kosong], merupakan teks kosong.

u. Penulisan teks menggunakan aksara (ô), seperti pada kata minôngka

mi[n=ok, akan alih aksara dengan minangka.

v. Penulisan kata ulang dalam teks, dialihaksarakan dengan menggunakan

tanda hubung (-). Seperti: kir kir menjadi kira-kira.

Berikut adalah sajian suntingan teks dan aparat kritik naskah Bab Dodotan sesuai dengan teks asli naskah:

[1](1) Dina Jumuah tanggal kaping 2 sasi Rabinguawal1 taun Dal angka 1855 aku Radèn Tumênggung Purbadipura, Bupati Anom ing Surakarta. Mratélakaké patrap lan jênêngé wong dodotan, kaya ing ngisor iki.

1

(29)

Bab 1

Dodot iku jarik bathik kang dawané sathithik-sathithiké pitung kacu, akèh-akèhé sangang kacu mori amba, didadèkaké loro jênêng rong lirang, banjur digandhèng mujur adu sèrèt jênêng dikampuh, pucuk kang sisih dibalênggiأ sisihé dipalipid. Nonton gambar angka 1 A

Bab 5

Wong arêp dodotan iku kang lumrah mêsthi nganggo calana utawa saruwal diênggo dhisik. Sawisé mangkono banjur ngêtrapaké dodot marang badané.

Bab 6

Patrapé yèn arêp dodotan iku, pojoking dodot kang balênggèn diwiru tumêka pojoking dodot kang sisih (ngéncong) banjur disampiraké pundhak têngên. Saturahé kang ngêndhuruk diubênga-[2](3)ké ing badan mangiwa, sèrèté kang dhuwur diangkaha aja nganti kêtalip=ora kétok, yèn wus têpung têkan lambung kiwa, pojoking dodot kang palipitdan2 diwiru ngéncong, banjur diubêtaké ing

2 palipidan A$

أ balênggi iku wus nganggo papan ˂ ana ing pucuking dodot. Ing kono ditémbok wutuh kira-kira ambané sacêngkang, sawisé dibabar, banjur dibodholi karo dom ˃ Manut sêrating bênang, kang mujur dikèrèkaké, kang malang dibuang, banjur duwé rupa kaya gombyoking rénda kêmbang s{uru}h.

K&

Mênawa dodoté cilik têgêsé mung pitung kacu ing mangka kang nganggo priyayi gêdhé duwur, kang mêsthi bakal jingkrang, mulané wiwit sangénconging dodot pucuk bênanging panjupuké karo diwiru kudu mèncèng marang balênggi kapara akèh, dadi mêngko talining wêdhung ngisara dada. Kosok balèné yèn dodoté gêdhe têgêsé sangang kacu, ing mangka kang nganggo priyayi gêdhe jamak, kang mêsthi kasak kêklèmbrèhèn. Mulane sawit pangènconging dodot uga kaya pucuk

(30)

bangkékan mangiwa minangka sabukan, pucuké ditalèkaké pungkasaning wiron kang ana ing lêmpèng kiwa.

Bab 7

Nuli kang sumampir pundhak diudhunaké, ubêtna manêngên turut bangkèkan, tiba sakiwaning ula-ula, yèn wus sumèlèh di ˂...˃3 manèh kaya bab 6 nontona gambar angka: :

Bab 8

Pojoking dodot kang tiba a{...}4 ing jêro kaprênah ngarêp, iku jèrèngên mangiwa manêngên, kang rata dèn kongsi ilang rasané angganjêl utawa malilit marang wêtêng, yèn pojoking dodot kêdawan kongsi têkan dhêngkul, iku pucuké têkukên munggah. Salêmpitna ing kêmpung kiwa, supaya aja ribêt.

Bab 9

[verso](4) Bab 2

B kajaba kang kasêbut bab:1: ana manèh dodot bathik latara irêng latara putih, têngah ora dibathik, amung ditémbok byur putih

iku agêmé para pangéran munggah utawa kanggoné pangantèn nikahan; Jênêng balumbangan utawa bango buthak. Nontona gambar angka: :

3 ditali ngubêngi bangkèkan tiba sangisoring sabukan dikancingake, kang minangka sabukan ucul banjur diubêtaké ing bangkékan mangiwa minangka sabukan K&W

4

Ana K&

(31)

Bab 3

Lan manèh ana dodot anggoné pangantèn têmu ênggon bathikan; ha na ca ra; mau irêng byur, banjur ditulis gambar buburon {...}5, éstha macan, manjangan, kupu, kêndhêla, kêmba{...}6 sapêthil. ésthan-ésthanan m{...}7 déné têngahé. :ka da ta sa wa la: lêstari putih diarani dodot bangun tulak pradan.

Bab 4

Kaya bab:3: amung kacèké; ha na ca ra : digadhung iku kanggoné pa{...}8, diarani dodot gadhung mlathi pradan.

[3](5) dodot kang kalèmbrèh kaprênah pupu têngên, cincingna malêbu. Salêmpitna sabukan lêmpèng têngên. cumincingé kira-kira sèrèté tiba sandhuwuring dhêngkul cakêt. ênggoné nyalêmpitaké mau ora amung janji nyalêmpit kudu diangkah kang ngisor murih turut, ngarêp buriné bisa anyerong mégos kalèmbrèh mangiwa, salêmpitaning lêmpèng têngên mau. Sarêhné nganggo dipèsthi sèrèté tiba sandhuwuré dhêngkul cakêt. Tamtuné ijèh ana kang ngêndhuruk ana ing pupu têngên, kang ngêndhuruk mau wingkisén mêtu. Lêbokna {...}9 sangarêping kêmpung kang rata (kêna kanggo {...}10 kanthong) turahané kang ana cêthik têngên. Banjur {...}11 lêmpèng uga têngên. Tamtu bisa katon rêsik lungsirané wijang

5 Alas K&

6

kêmbang K& 7 mau diprada K& 8

pangantèn sapasar K& 9

marang K& 10 minangka K& 11

(32)

Bab 10

Cincingan kang sumlêmpit mandhuwur mau, kang buri tumrap sajêroning sabukan iku ana parluné12, kanggo {...}13 {...}14 gandaré ora anggêpok kuliting boyok, mulané tatanên kang rêsik. Têgêsé aja nganti tapsirih bisaa lêga lêbuning gandar kêris kang dianggo, ing dhuwur kètokna turut sabukan kaprênah ngisor têpak têngên, kang buri mung têkan (6)[kosong] [4](7) ing ula-ula. Disambungi sabukan kang saka kiwa, uga tiba ing ngula-ula. Dadi katon adu mancung, ana sandhuwuring sabukan buri.

Bab 11

Nalika nindakaké bab 9 ing nduwur mau, iki uga mèlu diaraha kalèmbrèhé kang mucuk bisa anarampat lêmah, (ing jêmpolan sikil kiwa) aja kongsi katut kacincing, pucuké katona lincip kaya godhong suruh mangkana manèh dodot kang tiba pupu kiwa mangisor, uga diangkaha aja kongsi katut kacincing, malah bisaa kalèmbrèhé tiba ing polok kiwa, iku pidakan jênêngé. Dadi kang jênêng cincingan iya kang cumincing, kang jênêng samparan iya kang sumampar, kang jênêng pidakan iya kang sawatara kapidak. Ora-orané iya mung tiba polok. Aja kongsi ninggal jênêng, dadi kang têngên jaluk kepara munggah, kang kiwa ngarêp buri jaluké para kalèmbrèh, nontona gambar angka: :

Bab 12

Sawusé rampung rêsik ênggoné nincingaké utawa ngalèmbrèhaké, sarta wus ora ana kang karasa angganjêl malilit. Kêkêndhon, kêkêncengên,(8)[kosong] [5](9) 12 pêrlune H$ 13 nyalêmpitake K& 14

(33)

têgêsé wus rasa kapénak. Tumuli lêmpitan dodot kang tiba cêthik têngên buri (iku bakal kêpuh utawa kunca) sèrèté gèrèdên manêngên tibakna cêthik têngên. Balêngginé aja owah ana cêthik kiwa, sakèriné tatanên mangiwa manêngên kang warata, aja kongsi kandêl tipis wiwironé, ing kono katon ngêndharah pucuké narampat lêmah. Banjur têkukên munggah pucukké sampirna pundhak têngên, ingêpok turahana satêbah saka watêsing sabukan, banjur talènanaأ. Taliné ngubêngi bangkèka15 tiba sangisoring sabukan. Panyindhêté ana ing ngarêp kang kêncêng tali wangsul, kang sumampir pundhak udhuna, ditata manèh kang rata, banjur ukurên manut dawaning bahu mangisor, watês jêmpolan tangan kiwa têngên, banjur tekukên munggah mêtu sangisoré kang dèn ukur. Pucuké salêmpitna kêndhitan kang wus tumali kang kukuh, têkukan mau jênêngé kêpuh. Nontona gambar angka: :

Bab 13

Tumuli ujunging dodot kang minangka sabuk uculana, parlu ngêpénakaké karo nata wujud lan rasané tumraping sabukan, kayata: kêkêncêngên, kêkêndhon, ngêndhêlong lan jêngkêrut sapituruté (10)[kosong] [6](11) kanggo pikir kurang prayoga. Sawusé kok rasa pakolèh, banjur balèkna manèh pucuké tumali ing bangkèkan kiwa. Pucuké jèrèngên iku jênêng tali wêdhung kang dèn anggo.

15

bangkekan L$

أkêndhitan saka sèrèting cindhé. Gêdhéné sajêmpoling tangan. Dawané manut gêdhé ciliking wêtêng kapara turah dawa ning kêna nganggo tali liyané amung janji kang dikukuhi.

(34)

Bab 14

Sawisé tata prayoga kêpénak, banjur nganggoa ukup. Ukup mau kukuhé ana sarana timang, ana sarana cathokan, papasangé ana sandhuwuring sabukan. Tumuli ujunging dodot kang digawé sabukan, sèrèté wêtokna mandhuwur, sawisé mêtu banjur tutupna marang èpèking ukup, mung ing ngarêp ênggon timang utawa cathokan iku kang ijèh katon.

Bab 15

Ukup iku amba dawa kandêl tipisé kaya èpèk, nanging ing buri nganggo gèmblèh loro dawané sakilan. Lêté siji lan sijiné amung têlung nyari, déné kang dianggo akèh warnané, kayata : rénda, cindhé, limar, moga, bludru disulam sangkèlat. Kabèh mau wanguné padha, amung ukup moga kang tanpa rénda= bênang mas; iku diarani ukup moga gubêg, ingkang kalilan ngang-(12)[kosong]-[7](13)go para santana dalêm ingkang sêsêbutan Arya, nontona gambar angka: :

Bab 16

Kasebut bab: 12: iku dodotané para Bupati, Mayor riya ngisor, Pangulu, diarani dodotan tumênggungan. Déné panèwu mantri lurah bêkêl jajar, yèn dodotan patrap lan wujudé mèh padha baé, kacèké amung cincingané tiba sangisoring dhêngkul lan manèh dodoté tanpa balênggi, (palipidan kiwa têngên) iku diarani dodotan; kadêmangan;

Bab 17

Para pangéran papatih dalêm, kangjêng gusti kampuhané = dodotané iya mèh padha baé, bédané karo kang kasêbut bab 12 mangkéné : panêkuking kunca mêtu,

(35)

kaubêdaké ing gandaring kêris. Saka sangisoring cangklakan têngên. Banjur tiba ing buri, kaduduta kang akèh, supaya pucuké bisa kalangsrah16 ing lemah, dadi yèn nganggo tali, taliné tibakna sangisoring sabukan, {...}17 kunca kang tiba sangisoring warangka kêris tahanên kang bacak. Aja kongsi pating jêkonong (1818)[kosong][8](1919) wironé kang rata, déné ambané kira kira amung sacêngkang, iku kêna digawé wêwadhah kacu utawa wadhah rokok. Déné kuncané yèn kêpara kêlangsrah malah bêcik. Sarta panincinging dodot kapara munggah têkan sangisoring cêthik têngên. Kira-kira amung sacêngkang, nontona gambar angka: :

Bab 18

Dodotané riya dhuwur kaya bab : : kacèké panêkuké kunca mêtu, banjur sumampir marang gandaring keris. Pucuké tiba cêthik {...}20. dawané kèh-kèhé amung rong cêngkang, ing buri ijèh sarupa kêpuh, nanging ambalik mêtu, dadi karo bab 12 walikan, nontona gambar angka : :

Bab 19

Yèn kampuhané panjênêngan dalêm Ratu, kuncané ora nganggo dipardi manèh, têrus ngêndharah mangisor kongsi kêlangsrah lêmah, déné samparané kaprênah ing têngah diunggahaké ngaggo tali kaya bab 17 pucuké saiki tiba ana ing jêngku=dêngkul kiwa, sandhuwuré {...}21 rupa kaya kêpuh, nanging ana ngarêp.

16 kelangsrah H$ 17 bongkoting K& 18 14 U 19 15 U 20 têngên K& 21 banjur K&

(36)

Iku dodotan grêbong kandhêm jênênge = iya kêprabon. {...}22 panjênêngan dalêm ratu, kampuhan kê-(2023)[kosong][9](2124) prabon mau kang kanggo para pangantèn. Gêdhé cilika dodotané padha mangkana, nontona gambar angka: : katon saka ngarêp gambar angka: : katon saka buri.

Bab 20

Kuluk biru nom iku agêm dalêm utawa agêmé para pangéran putra, papatih dalêm utawa pangantèn têmu, diarani kuluk biru kêmbang wèwèhan, yèn para pangéran santana lan riya dhuwur, biruné rada tuwa. Kuluk Pramané = panunggul

Bab 21

Kuluk kanigara, iku agêm dalêm utawa agêmé pangéran papatih dalêm. Para Bupati arya ngisor, arya dhuwur, litnan kolonèl, lan para mayor utawa pangantèn bubar têmu.

Bab 22

Kuluk irêng, saka gêrusan mori diuwori nila, nganggo rangkêpan calumpring, utawa saka congkèng dicèt irêng gilap. Iku anggoné para bupati utawa abdi dalêm prajurit jêro litnan kolonèl sapangisor, yèn padinan diarani kuluk prêji.

22 kajaba K& 23 16 U 24 17 U

(37)

(2225)[kosong][10](2326) Bab 23

Kuluk putih, saka gêrusan mori kongsi tipis miyar miyar bêning, iku anggoné para bupati yèn sèba dina gêdhé, diarani kuluk mathak manawa nganggo rangkêpan calumpring, diarani mathak balibar.

Bab 24

Kuluk irêng, saka kêsting iku anggoné panèwu mantri lurah lan bêkêl.

Bab 25

Kuluk putih, saka kêsting, iku anggoné abdi dalêm kang pangkat jajar, utawa babur kapêdhaké para luhur, nanging saiki akèh kang padha kuluk irêng kapêdhak mau, kabèh kang nganggo kuluk ditamtokaké nganggo nyamat. Amung panjênêngan dalêm nata lan pangantèn iku kang tanpa nyamat.

Bab 26

Déné ukurané kuluk-kuluk mau, sawisé diukur sêdhêngan karo gêdhé ciliking sirah sapira dawaning ubêng, banjur dipara papat, sabagéhané dianggo dêdêging kuluk lan ambaning tarak = tutuping kuluk kang dhuwur, iku ukuran kuluk kuna, (Surakarta Awal tume-(2427)[kosong][11](2528)ka ing mataram), yèn saiki kang didêmêni padha nganggo kuluk kang rada cilik ing dhuwur, mulané sabagéhané prapatan kang kanggo ukurran tarak, sudanên dawané anaa sanyari, supaya katon rada mêthit, nontona gambar angka: :

25 18 U 26 19 U 27 20 U 28 21 U

(38)

Bab 27

Calana iku uga akèh warnané, kayata; cindhé, limar, uyah sawuku, kêling, gunung guntur, sutra, baludru, lakên lurik, sapanunggalané, kabèh mau wangun lan pamatrapé iya padha baé, calana iku kang dianggêp bêcik dhéwé amung cindhé, calana cindhé iku ana rupa loro, siji gubêg, loro sorot. Gubêg iku agêmé para arya munggah têkan panjênêngan dalêm nata, sorot iku anggoné para bupati, kang dèn arani sorot iku, pucuking cindhé kang tulisé lincip kaya tumpêng jèjèr-jèjèr, kabèh calana pucuké mêsthi nganggo sèrèd rénda ambané kira kira rong sènti mètêr, nontona gambar angka: :

Bab 28

Calana putih byar, iku anggoné panèwu mantri lurah bêkêl jajar anggandhèk utawa pangantèn lanang ningkahan.

(2629)[kosong][12](2730) Bab 29

Wêdhung iku rupané baya wus padha sumurup. Kang winênang ora ngagêm amung panjênêngan dalêm nata, gandhèk bupati kang dadi utusan dalêm yèn dina gêdhé, lan pangantèn, liyané kang kasêbut mau, ditêmtokaké. Yèn sèba ana sitinggil srimanganti ing kadhaton. Utawa anaa ing ngêndi-êndi yèn ana ngarsaning ratu, kudu nganggo wêdhung, kajaba putra santana ing nata.

29

22 U 30

(39)

Bab 30

Nyamat iku mas utawa salaka pinatik intên, trakadhang amung lugas baé tanpa intên. Ana kang éstha krun, malah manawa puwungan amung nganggo kêmbanging cêngkèh baé, déné kang lumrah nyamat iku gêdhéné amung sakêmbang malathi.

Tamat

4. Terjemahan

Terjemahan merupakan suatu tindakan guna mempermudah dalam penyampaian isi naskah yang dilakukan setelah transliterasi. Transliterasi dan suntingan teks pada naskah Bab Dodotan dari huruf jawa ke huruf latin telah dilakukan, dengan demikian dari hasil transliterasi dan suntingan teks tersebut kemudian dilakukan terjemahan ke dalam bahasa sasaran yaitu bahasa Indonesia terhadap naskah Bab Dodotan.

Naskah teks asli Bab Dodotan ditulis menggunakan huruf jawa dengan rapi yang di dalamnya terdapat banyak tambahan tulisan menggunakan pensil. Tambahan-tambahan tersebut sering disebut interpolasi yang fungsinya untuk memperjelas alur teks.

Interpolasi pada naskah Bab Dodotan berperan penting dalam rangkaian urutan teks naskah. Interpolasi ini dapat digunakan untuk merekontruksi naskah. Agar tidak merusak teks asli naskah, rekontruksi dilakukan pada terjemahan sesuai dengan makna dan urutan tambahan tulisan yang ditulis oleh penulis naskah tersebut. Rekontruksi ini hanya merubah sedikit letak dari teks naskah

(40)

yang kurang sesuai yang berdasarkan dari berbagai pertimbangan sehingga teks menjadi runtut dan jelas.

Teks yang runtut akan mempermudah pembaca dalam memahami sebuah tulisan. Dari permasalahan keruntutan teks, naskah bab dodotan perlu dilakukan rekontruksi teks tetapi hanya sebagian atau mengulang dan mengurutkan. Karena penulisan nomor halaman pada naskah ada dua, walaupun salah satu berupa interpolasi akan tetapi interpolasi di sini memberi petunjuk urutan alur cerita naskah Bab Dodotan. Urutan alur cerita dari naskah Bab dodotan yang dituang dalam terjemahan ini, tidak sesuai pada penomoran halaman teks asli. Akan tetapi menggunakan urutan “bab” pada teks dan ada beberapa interpolasi yang tidak ditampilkan dalam terjemahan ini karena menurut peneliti akan merusak alur teks. Sedangkan untuk nomor halaman teks asli tetap dicantumkan dalam terjemahan kali ini. Berikut terjemahan dari naskah dan teks Bab Dodotan yang telah direkontruksi dan bersih dari kesalahan:

Tabel 8. Terjemahan

Teks Bab Dodotan Terjemahan

[1] Dina Jumuah tanggal kaping 2 sasi Rabiulawal taun dal angka 1855 aku Radèn Tumênggung Purbadipura, Bupati Anom ing Surakarta. Mratélakaké patrap

Hari Jumat tanggal 2 bulan Rabiulawal tahun Dal 1855. Saya Raden Tumenggung Purbadipura, Bupati Anom di Surakarta menerangkan cara dan namanya orang memakai dodot,

(41)

lan jênêngé wong dodotan, kaya ing ngisor iki.

seperti di bawah ini

Bab 1

Dodot iku jarik bathik kang dawané sathithik-sathithiké pitung kacu, akèh-akèhé sangang kacu mori amba, didadèkaké loro jênêng rong lirang, banjur digandhèng mujur adu sèrèt jênêng dikampuh, pucuk kang sisih dibalênggiأ sisihé dipalipidi. Nonton gambar angka 1 A

Dodot itu kain bathik yang panjangnya sedikitnya tujuh sapu tangan, sebanyak-banyaknya sembilan sapu tangan lebar kain mori (kain putih polos). Dijadikan dua lirang (barang yang umumnya satu pasang). Kemudian dihubungkan ke arah berlawanan sèrèt, namanya di kampuh. Ujung yang bagian balenggi (pinggir kain yang di sulam benang mas), sisinya ditekuk/dilipat. Lihat gambar angka 1 A

[verso] أbalênggi iku wus nganggo papan ana ing pucuking dodot. Ing kono ditémbok wutuh kira-kira ambané sacêngkang sawisé dibabar, banjur dibodholi karo dom manut serating bênang. Kang mujur dikèrèkaké, kang malang dibuang. Banjur duwé rupa kaya

أBalenggi itu sudah memiliki tempat yaitu pada ujung dodot. Disana ditembok utuh kira-kira lebarnya sejengkal jari setelah dicuci (menghilangkan malam). Kemudian dirusak (disuwir) mengikuti serat kain menggunakan jarum. Kemudian yang searah dikerjakan akhir, yang

(42)

gombyoking rénda kêmbang suruh.

berlawanan (tidak searah) dibuang. hingga seperti renda bunga sirih.

[verso] Bab 2

B kajaba kang kasêbut bab 1 ana manèh dodot bathik latar irêng latar putih, têngah ora dibathik, amung ditémbok bur putih.

√utawa sok ditumpangi

pangentha-entha putra nata

jênêngé ana manêh dilimbang. iku agêmé para pangéran munggah utawa kanggoné pangantèn nikahan; Jênêng balumbangan utawa bango buthak. Nontona gambar angka: :

B kecuali yang disebutkan bab 1 ada lagi dodot batik latar hitam latar putih, tengah tidak di batik hanya ditembok putih polos. √atau kadang ditambahi motif-motif untuk putra nata ada lagi namanya yaitu dilimbang. Itu dipakai oleh Pangeran ke atas atau pengantin nikahan, namanya blumbangan atau bango buthak. Lihat gambar angka: :

Bab 3

Lan manèh ana dodot anggoné pangantèn têmu ênggon bathikan; ha na ca ra; mau irêng byur, banjur ditulis gambar bêburon alas, éstha macan, manjangan, kupu, kêndhèla, kêmbang sapêthil.

Dan ada lagi dodot yang dipakai pengantin temu (bertemu pasangannya) menggunakan batik: ha na ca ra: tadi hitam polos, lalu digambar bentuk binatang buruan di hutan, dilukis menyerupai macan,

(43)

ésthan-ésthanan mau diprada déné têngahé. :ka da ta sa wa la: lêstari putih diarani dodot bangun tulak pradan.

kijang, kupu, capung besar, bunga pethik. Lukis-lukisan tadi dihias, sedangkan tengahnya : ka da ta sa wa la: tetap putih diberi nama dodot bangun tulak pradan

Bab 4

Kaya bab 3 amung kacèké; ha na ca ra : digadhung iku kanggoné panganten sapasar, diarani dodot gadhung mlathi pradan.

Seperti bab 3 hanya saja :ha na ca ra: itu diberi warna hijau dipakai untuk pengantin sepekan namanya dodot gadhung mlati pradan.

[1]Bab 5

Wong arêp dodotan iku kang lumrah mêsthi nganggo calana utawa saruwal diênggo dhisik. Sawisé mangkono banjur ngêtrapaké dodot marang badané. Mênawa dodoté cilik têgêsé mung pitung kacu ing mangka kang nganggo priyayi gêdhé duwur, kang mêsthi bakal jingkrang,

mulané wiwit sangénconging

dodot pucuk bênanging panjupuké

Orang yang akan memakai dodot itu pasti memakai celana atau saruwal terlebih dahulu. Setelah itu lalu memakai kain dodot di badan. Jika dodotnya kecil maksudnya hanya 7 ukuran lebar kain, padahal untuk orang yang tinggi besar yang pasti akan kurang sesuai. Makanya, dari yang melengkung ujung benangnya sekalian diwiru, harus sesuai terhadap balenggi yang terbagi banyak, jadi

(44)

karo diwiru kudu mèncèng marang balênggi kapara akèh, dadi mêngko talining wêdhung ngisara dada. Kosok balèné yèn dodoté gêdhe têgêsé sangang kacu, ing mangka kang nganggo priyayi gêdhe jamak, kang mêsthi

kasak kêklèmbrèhèn. Mulane

sawit pangènconging dodot uga

kaya pucuk bênêr, nanging

panjupuké karo diwiru pucuke marang sèrèt

nanti tali wedhungnya di bawah dada. Kebalikannya jika dodotanya besar maksudnya 9 ukuran lebar kain yang untuk orang besar 2kalinya, pasti akan menjuntai. Makanya untuk lengkungan dodot juga harus runcing bener, namun mengambilnya sekalian dilipat ujung sèrètnya

Bab 6

Patrapé yèn arêp dodotan iku, pojoking dodot kang balênggèn diwiru tumêka pojoking dodot kang sisih (ngéncong) banjur disampiraké pundhak têngên. Saturahé kang ngêndhuruk diubênga-[2]ké ing badan mangiwa, sèrèté kang duwur diangkaha aja nganti kêtalip=ora kétok, yèn wus têpung têkan

Caranya jika akan memakai dodot itu, pojok dodot yang balenggen dilipat sampai ke pojok dodot yang sisi serong lalu disampirkan pada pundhak atau bahu sebelah kanan. Sisanya yang menjuntai ke bawah dililitkan kebadan kearah kiri, seretnya yang atas diperhatikan jangan sampai terselip = tidak keliatan, kalau sudah sampai ke lambung kiri, pojok dodot yang

(45)

lambung kiwa, pojoking dodot kang palipidan diwiru ngéncong, banjur diubêtaké ing bangkékan mangiwa minangka sabukan, pucuké ditalékaké pungkasaning wiron kang ana ing lêmpèng kiwa.

ditekuk tadi dilipat serong, lalu dililitkan pinggang ke kiri ketika memakai sabuk, ujungnya diikatkan pada ujung lipatan yang ada dipinggang sebelah kiri.

Bab 7

Nuli kang sumampir pundhak diudhunaké, ubêtna manêngên turut bangkèkan, tiba sakiwaning ula-ula, yèn wus sumèlèh ditali ngubêngi bangkèkan tiba sangisoring sabukan dikancingake, kang minangka sabukan ucul banjur diubêtaké ing bangkékan mangiwa minangka sabukan mubêng manêngên mêtu buri pucuke talèkna manèh kaya bab 6 nontona gambar angka: :

Kemudian yang telah disampirkan pundhak tadi diturunkan, belitkan kekanan mengikuti pinggang sampai sebelah kirinya punggung, jika sudah siap diikat memutar pinggang sampai ke bawah sabuk dikancingkan, jika sabukan lepas lalu diikatkan lagi ke pinggang kiri seperti sabukan ke arah kanan lewat belakang ujungnya diikat seperti bab 6 lihatlah gambar angka : :

Bab 8

(46)

jêro kaprênah ngarêp, iku jèrèngên mangiwa manêngên, kang rata dèn kongsi ilang rasané angganjêl utawa malilit marang wêtêng, yèn pojoking dodot kêdawan kongsi têkan dhêngkul, iku pucuké têkukên munggah. Salêmpitna ing kêmpung kiwa, supaya aja ribêt.

bagian dalam tadi, kemudian dilebarkan ke kiri ke kanan yang rata supaya hilang rasanya yang mengganjal atau yang melilit di perut, jika pojok dodot terlalu panjang sampai ke lutut itu ujungnya di tekuk ke atas. Disisipkan di bagian perut sebelah kiri, supaya tidak ribet.

Bab 9

[3] dodot kang kalèmbrèh kaprênah pupu têngên, cincingna malêbu. Salêmpitna sabukan lêmpèng têngên. cumincingé kira-kira sèrèté tiba sandhuwuring dhêngkul cakêt. ênggoné nyalêmpitaké mau ora amung janji nyalêmpit kudu diangkah kang ngisor murih turut, ngarêp buriné bisa anyérong mégos

kalèmbrèh mangiwa,

salêmpitaning lêmpèng têngên mau. Sarêhné nganggo dipêsthi

Dodot yang menjuntai disebelah paha kanan, angkat ke atas luar. Sisipkan pada sabukan atas pinggang sebelah kanan, mengangkatnya ke atas kira-kira seretnya jatuh di atas lutut tepat. Waktu menyisipkan tadi jangan hanya janji / asal harus diperhatikan yang bawah supaya turut sesuai depan belakangnya bisa serong miring sampiran ke arah kiri sisipan yang di atas pinggang kanan tadi. Pelan pastikan seretnya jatuh di atas lutut tepat. Tentunya masih ada yang

(47)

sèrèté tiba sandhuwuré dhêngkul cakêt. Tamtuné ijèh ana kang ngêndhuruk ana ing pupu têngên, kang ngêndhuruk mau wingkisén mêtu. Lêbokna marang sangarêping kêmpung kang rata (kêna kanggo minangka kanthong) turahané kang ana cêthik têngên. Banjur salêmpitna marang sabukan lêmpèng uga têngên. Tamtu bisa katon rêsik lungsirané wijang.

menjuntai ke bawah tadi dikeluarkan, masukan kedepanya kampuh yang rata ( bisa digunakan jika ) sisanya yang pendek kanan. Lalu sisipkan ke sabuk pinggang kanan juga. Tentu bisa kelihatan bersih lungsir (kain sutra)nya terlihat jelas.

Bab 10

Cincingan kang sumlêmpit mandhuwur mau, kang buri tumrap sajêroning sabukan iku ana perluné, kanggo nyalêmpitake kêris ugaa gandaré ora anggêpok kuliting boyok, mulané tatanên kang rêsik. Têgêsé aja nganti tapsirih bisaa lêga lêbuning gandar kêris kang dianggo, ing dhuwur kétokna turut sabukan

Cincingan yang terselip di atas tadi yang belakang dalam pemakaian sabuk itu ada perlunya, untuk menyisipkan keris, juga tempat keris tidak boleh mengenai kulit pinggang. Maka dari itu ditata yang bersih/rapi. Maksudnya jangan sampai bisa longgar masuknya tempat keris yang dipakai di atas tadi, perlihatkan turut sabuk bagian bawah kanan, yang

(48)

kaprênah ngisor têpak têngên, kang buri mung têkan [4] ing ula-ula. Disambungi sabukan kang saka kiwa, uga tiba ing ula-ula. Dadi katon adu mancung, ana sandhuwuring sabukan buri.

belakang hanya sampai di bagian tulang punggung. Disambung dengan sabuk yang dari sebelah kiri, juga sampai di bagian punggung. Jadi, kelihatan adu mancung agar lebih kelihatan tinggi, ada di atasnya sabukan belakang.

Bab 11

Nalika nindakaké bab 9 ing nduwur mau, iki uga mèlu diaraha kalèmbrèhé kang mucuk bisa anarampat lêmah, (ing jêmpolan sikil kiwa) aja kongsi katut kacincing, pucuké katona lincip kaya godhong suruh mangkana manèh dodot kang tiba pupu kiwa mangisor, uga diangkaha aja kongsi katut kacincing, malah bisaa kalèmbrèhé tiba ing polok kiwa, iku pidakan jênêngé. Dadi kang jênêng cincingan iya kang cumincing, kang jênêng samparan

ketika melakukan bab 9 di atas tadi, ini juga ikut disesuaikan juntaian kainnya yang ujung bisa menyentuh tanah (di jempol kaki kiri) jangan sampai ikut ditarik ke atas, ujungnya biarkan kelihatan runcing seperti daun sirih. Begitu juga dodot yang jatuh di paha kiri ke bawah juga diperhatikan jangan sampai ikut ditarik ke atas malah bisa kain sampiran jatuh di mata kaki sebelah kiri, itu pidakan (injakan) namanya. Jadi, yang namanya cincingan iya itu yang ke arah atas, yang namanya samparan iya itu yang di bawah, yang namanya

(49)

iya kang sumampar, kang jênêng pidakan iya kang sawatara kapidak. Ora-orané iya mung tiba polok. Aja kongsi ninggal jênêng, dadi kang têngên jaluk kepara munggah, kang kiwa ngarêp buri jaluké para kalèmbrèh, nontona gambar angka: :

pidakan yaitu yang senantiasa diinjak setidak-tidaknya hanya sampai di mata kaki. Jangan sampai meninggalkan nama, jadi yang kanan minta dibagi ke atas, yang kiri depan belakang diminta kain menjutai, lihatlah gambar angka

Bab 12

Sawusé rampung rêsik ênggoné

nyincingake utawa

ngalèmbrèhaké, sarta wus ora ana kang karasa angganjêl malilit kêkêndhon, kêkêncengên [5] têgêsé wus rasa kapénak. Tumuli lêmpitan dodot kang tiba cêthik têngên buri (iku bakal kêpuh utawa kunca) sèrèté gèrèdên manêngên tibakna cêthik têngên. Balêngginé aja owah ana cêthik kiwa, sakèriné tatanên mangiwa manêngên kang warata, aja kongsi kandêl tipis wiwironé, ing kono katon ngêndharah pucuké

Setelah selesai bersih/rapi melakukan cincingan atau membuat kalembreh, serta sudah tidak ada yang terasa tidak sesuai di bangian lilitan, longgar, terlalu kencang [5] maksudnya sudah merasakan nyaman. Sampai lipatan dodotan yang jatuh pendek di bawah pinggang di belakang (itu akan jadi kepuh atau kunca) seretnya ditarik kearah kanan dan jatuhkan di bawah pinggang kanan. Balenggi jangan sampai geser (gerak) berada di bawah pinggang kiri. Setelah itu ditata kekiri-kekanan hingga rata (terlihat rapi), jangan sampai terlihat tebal tipis

(50)

narampat lêmah. Banjur têkukên munggah pucuké sampirna pundhak têngên, ingêpok turahana satêbah saka watêsing sabukan, banjur talènanaأ. Taliné ngubêngi bangkèkan tiba sangisoring sabukan. Panyindhêté ana ing ngarêp kang kêncêng tali wangsul, kang sumampir pundhak udhuna, ditata manèh kang rata, banjur ukurên manut dawaning bahu mangisor, watês jêmpolan tangan kiwa têngên, banjur tekukên munggah mêtu sangisoré kang dèn ukur. Pucuké salêmpitna kêndhitan kang wus tumali kang kukuh, têkukan mau jênêngé kêpuh. Nontona gambar angka: :

wirunya, disana akan terlihat berserakan pucuknya dan mengenai tanah. Lalu ditekuk ke atas dan disampirkan pada bahu kanan, yang bersangkutan disisakan seukuran bergelangan tangan dari batas sabukan, kemudian diikatأ. Talinya memutari pinggang sampai ke bawah sabukan. Gumpalan talinya ada di depan yang kencang, tali wangsul. Kemudian yang ada di pundak diturunkan, ditata lagi sampai rapi, lalu di ukur sesuai panjangnya bahu ke bawah dengan batas jempol tangan kanan dan kiri, lalu di lipat ke atas lewat bawahnya yang diukur. Pucuknya disisipkan pada tali yang di pakai sebagai sabuk yang sudah terikat kencang. Lipatan tadi namanya kepuh, lihatlah gambar angka: :

[verso] أkêndhitan saka sèrèting cindhé. Gêdhéné sajêmpoling tangan. Dawané manut gêdhé

أTali yang digunakan sebagai sabuk dari seret cindhe, besarnya sebesar jempol tangan, panjangnya sesuai

(51)

ciliking wêtêng kapara turah dawa ning kêna nganggo tali liyané amung janji kang dikukuhi.

dengan besar kecilnya perut, jika sisa panjangnya bisa dipakai sebagai tali lainnya hanya yang digencangkan. Bab 13

Tumuli ujunging dodot kang minangka sabuk uculana, perlu ngêpénakaké karo nata wujud lan rasané tumraping sabukan, kayata: kêkêncêngên, kêkêndhon, ngêndhèlong lan jêngkêrut sapitu-[6]ruté kanggo pikir kurang prayoga. Sawusé kok rasa patholèh, banjur balènana manèh pucuké tumali ing bangkèkan kiwa. Pucuké jèrèngên iku jênêng tali wêdhung kang dèn anggo.

Sampai pada ujungnya dodot yang dipakai sabuk lepaskan, perlu kenyamanan dengan keinginanan wujud dan rasanya memakai sabuk, seperti : terlalu kencang, terlalu longgar, melengkung tidak rapi (terlipat-lipat) dan seterusnya yang dipikir kurang pantas (baik). Setelah terasa, kemudian ulangi lagi pucuknya yang diikat di pinggang kiri. Pucuknya dilebarkan itu namanya tali wedhung yang kamu pakai.

Bab 14

Sawisé tata prayoga kêpénak, banjur nganggoa ukup. Ukup mau kukuhé ana sarana timang, ana sarana cathokan, papasangé ana sandhuwuring sabukan. Tumuli ujunging dodot kang digawé

Setelah tertata baik dan nyaman, kemudian pakailah ukup. ukup tadi dikaitkan yang kencang dengan timang, ada yang berbentuk cathokan, memasangnya di atasnya sabukan. Sampai pada ujungnya dodot yang

(52)

sabukan, sèrèté wêtokna mandhuwur, sawisé mêtu banjur tutupna marang èpèking ukup, mung ing ngarêp ênggon timang utawa cathokan iku kang ijèh katon.

dibuat sabukan, seretnya keluarkan ke atas, setelah keluar lalu diletakkan diatasnya epek ukup, hanya saja di bagian depan timang atau timangannya itu yang masih terlihat.

Bab 15

Ukup iku amba dawa kandêl tipisé kaya èpèk, nanging ing buri nganggo gèmblèh loro dawané sakilan. Lêté siji lan sijiné amung têlung nyari, déné kang dianggo akèh warnané, kayata : rénda, cindhé, limar, moga, bludru disulam sangkèlat. Kabèh mau wanguné padha, amung ukup moga kang tanpa rénda= bênang mas; iku diarani ukup moga gubêg, ingkang kalilan ngang-[7]go para santana dalêm ingkang sêsêbutan Arya, nontona gambar angka: :

Ukup itu lebar panjang tebal tipisnya seperti èpèk, hanya yang belakang menggunakan dua klèmbrèh panjangnya seukuran 2 jari tangan. Jaraknya satu dan satunya hanya tiga lebar jari, sedangkan yang dipakai banyak warnanya, seperti: renda, cindhe, limar, moga, bludru disulam. Semua itu sama pantasnya, hanya ukup moga yang tanpa renda=benang mas, itu disebut dengan ukup moga gubeg yang berhak memakai para bangsawan dalam keraton yang dimaksudkan Arya, lihatlah gambar angka: :

(53)

Bab 16

Kasebut bab 12 iku dodotané para Bupati, Mayor riya ngisor, Pangulu, diarani dodotan tumênggungan. Déné panèwu mantri lurah bêkêl jajar, yèn dodotan patrap lan wujudé mèh padha baé, kacèké amung cincingané tiba sangisoring dhêngkul lan manèh dodoté tanpa balênggi, (palipidan kiwa têngên) iku diarani dodotan; kadêmangan;

Disebut bab 12 itu dodotannya para Bupati, mayor, orang bawah, penghulu disebut dodotan tumenggungan. Sedangkan untuk pangkat diatasnya mantri lurah pangkat sejajar, cara dan wujudnya dodotannya hampir sama, hanya saja cincingan sampai di bawah lutut dan lagi dodotnya tanpa balenggi (melipatnya kiri dan kanan) itu disebut dodotan: kademangan:

Bab 17

Para pangéran papatih dalêm, kangjêng gusti kampuhané = dodotané iya mèh padha baé, bédané karo kang kasêbut bab 12 mangkéné : panêkuking kunca mêtu, kaubêdaké ing gandaring kêris. Saka sangisoring cangklakan têngên. Banjur tiba ing buri, kaduduta kang akèh,

Para Pangeran patih dalam, kanjeng gusti kampuhnya=dodotnya iya hampir sama saja, bedanya hanya disebut bab 12 seperti ini : tekukan kunca keluar, dililitkan pada tempat (wadah) keris dari bawah ketiak sebelah kanan. Kemudian sampai dibelakang ditarik yang banyak supaya ujungnya bisa terurai menyentuh

(54)

supaya pucuké bisa kelangsrah ing lemah, dadi yèn nganggo tali, taliné tibakna sangisoring sabukan, bongkoting kunca kang tiba sangisoring warangka kêris tahanên kang bacak. Aja kongsi pating jêkonong [8] wironé kang rata, déné ambané kira kira amung sacêngkang, iku kêna digawé wêwadhah kacu utawa wadhah rokok. Déné kuncané yén kepara kêlangsrah malah bêcik. Sarta panincinging dodot kapara munggah têkan sangisoring cêthik têngên. Kira- kira amung sacêngkang, nontona gambar angka: :

tanah. Jadi jika menggunakan tali, talinya jatuhkan kebawahnya sabukan, dasarannya kunca yang jatuh di bawah tempat keris ditahan yang kuat. Jangan sampai begitu tidak rapi lipatannya yang rata (rapi), sedangkan lebarnya kira-kira hanya sejengkal itu bisa dibuat/dibikin tempat kacu (sapu tangan) atau tempat rokok. Sedangkan kuncanya yang terbagi dan menyentuh tanah lebih bagus. Serta cincingannya terbagi atas sampai bawah pinggang kanan kira-kira hanya, lihatlah gambar angka : :

Bab 18

Dodotané riya dhuwur kaya bab : : kacèkké panêkuké kunca mêtu, banjur sumampir marang gandaring kêris. Pucuké tiba cêthik têngên. dawané kèh-kèhé

Dodotannya orang atas seperti bab: : hanya saja tekukan dari kunca keluar, kemudian disampirkan ke tempat keris. Pucuknya sampai bawah pinggang kanan, panjangnya

(55)

banyak-amung rong cêngkang, ing buri ijèh sarupa kêpuh, nanging ambalik mêtu, dadi karo bab: 12 : walikan, nontona gambar angka : :

banyaknya hanya dua jengkal di belakang masih serupa kepuh, tapi kembali keluar. Jadi sama bab 12 kebalikannya, lihatlah gambar: :

Bab 19

Yèn kampuhané panjênêngan dalêm Ratu, kuncané ora nganggo dipardi manèh, têrus ngêndharah mangisor kongsi kêlangsrah lêmah, déné samparané kaprênah ing têngah diunggahaké ngaggo tali kaya bab 17 pucuké saiki tiba ana ing jêngku=dêngkul kiwa, sandhuwuré banjur rupa kaya kêpuh, nanging ana ngarêp. Iku dodotan grêbong kandhêm jênênge = iya kêprabon. Kajaba panjênêngan dalêm ratu, kampuhan kê-[9] prabon mau kang kanggo para pangantèn. Gêdhé cilika dodotané padha mangkana, nontona gambar angka: : katon saka ngarêp

Jika kampuhnya Panjenengan Dalem Ratu, kuncanya tidak diangkat atau dibawa, dibiarkan saja ke bawah sampai menyentuh tanah, sedangkan yang terurai ke tanah yang berada ditengah dinaikan menggunakan tali seperti bab 17 pucuknya sekarang berada di lutut=lutut kiri atasnya lalu tampak seperti kepuh tapi ada di depan, itu dodotan grebong kadhem namanya=iya keprabon. Kecuali panjenengan dalem Ratu, kampuhan keprabon tadi untuk pengantin. Besar kecilnya dodotannya seperti tadi lihatlah gambar angka: : terlihat dari depan, gambar angka: : terlihat dari belakang.

(56)

gambar angka: : katon saka buri.

Bab 20

Kuluk biru nom iku agêm dalêm utawa agêmé para pangéran putra, papatih dalêm utawa pangantèn têmu, diarani kuluk biru kêmbang wèwèhan, yèn para pangéran santana lan riya dhuwur, biruné rada tuwa. Kuluk Pramané = panunggul

Kuluk biru muda itu dipakai orang dalam atau pemakainya para pangeran putra, pepatih dalem atau temu pengantin disebut kuluk biru kembang wewehan, jika para pangeran sentana dan orang atas, birunya agak tua. Kuluk pramane=panunggul.

Bab 21

Kuluk kanigara, iku agêm dalêm utawa agêmé pangéran papatih dalêm. Para Bupati arya ngisor, arya dhuwur, litnan kolonèl, lan para mayor utawa pangantèn bubar têmu.

Kuluk kanigara itu dipakai orang dalam atau pemakainya pangeran pepatih dalem, para pangeran arya bawah, arya atas, letnan kolonel, dan para mayor atau penganten selesai temu.

Bab 22

Kuluk irêng, saka gêrusan mori diuwori nila, nganggo rangkêpan calumpring, utawa saka congkèng

Kuluk hitam dari mori dicampur dengan nila menggunakan rangkap atau dari daleman (rangkapan) di cat

(57)

dicèt irêng gilap. Iku anggoné para bupati utawa abdi dalêm prajurit jêro litnan kolonèl sapangisor, yèn padinan diarani kuluk prêji.

hitam terang. Itu dipakai para bupati atau abdi dalem prajurit dalam Letnan Kolonel kebawah, jika keseharian disebut kuluk preji

[10] Bab 23

Kuluk putih, saka gêrusan mori kongsi tipis miyar-miyar bêning, iku anggoné para bupati yèn séba dina gêdhé, diarani kuluk mathak manawa nganggo rangkêpan calumpring, diarani mathak balibar.

Kuluk putih dari alas mori hingga tipis agak-agak bening, itu dikenakan para bupati pada hari besar, disebut kuluk mathak. Bisa juga menggunakan rangkapan yang lembaran, disebut mathak balibar

Bab 24

Kuluk irêng, saka kêsting iku anggoné panèwu mantri lurah lan bêkêl

Kuluk hitam, dari kain itu dipakai oleh panewu mantri lurah dan bekel

Bab 25

Kuluk putih, saka kêsting, iku anggoné abdi dalêm kang pangkat jajar, utawa babur kapêdhaké

Kuluk putih dari kesting (bahan sutra) itu dipakai abdi dalem yang berpangkat sejajar atau babur

Gambar

Gambar 19: Nomor Katalog Lokal Museum Sonobudaya
Gambar 20: Cap Panti Budoyo
Gambar 22: Cover asli naskah
Gambar 23: Teks selasai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelumas sintetik mempunyai kesetabilan viskositas paling baik, pada temperatur kerja maupun kamar, pelumas mineral paling rendah

Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum

Struktur batin dalam pantun manyerakan marapulai dan anak daro ini merupakan makna yang terkandung di dalam puisi yang tidak secara langsung dapat kita hayati. Struktur

Indikator yang menjadi tolak ukur dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran aktif tipe everyone is a teacher here dapat terlaksana dengan baik dan

Secara umum hasil penelitian mendukung penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa kebun kakao khususnya yang masih mempertahankan tegakan hutan sebagai pohon

Sebagai contoh, bersama konseli kita dapat memulai program keterampilan attending kita dengan cara bertatap muka dengan orang lain, langkah paling sederhana yang dapat sesegera

Input dari EKG adalah elektroda yang ditempelkan pada bagian tubuh, sinyal listrik yang dihasilkan dari elektroda tersebut dikuatkan dengan penguatan instrumentasi, kemudian

TIDAK ADA Caleg perempuan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia.. TIDAK ADA Caleg perempuan PNI Marhaenisme TIDAK ADA Caleg perempuan Partai Patriot TIDAK ADA