• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TEMPERATUR DAN RASIO F:S TERHADAP AKTIVITAS ZAT WARNA DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA UMBI BIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH TEMPERATUR DAN RASIO F:S TERHADAP AKTIVITAS ZAT WARNA DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA UMBI BIT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TEMPERATUR DAN RASIO F:S

TERHADAP AKTIVITAS ZAT WARNA

DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA UMBI BIT

Clara Angelica*), Anastasia Prima Kristijarti, dan Ariestya Arlene Arbita

Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141, Indonesia, Telp: (022)2032655

*)

Penulis korespondensi : claraangelica07@hotmail.com

Abstract

THE EFFECT OF TEMPERATURE AND RATIO F:S ON DYES ACTIVITIES IN EXTRACTION OF BEET’S DYES. The growing recognition of the existence of natural dyes in the food industry require a further exploration of the sources of the natural colorants. Beet (Beta vulgaris) is one of the potential plants to be developed. The dye contained in the beet called betalain. Betalain that are soluble in water consists of purplish red dye betacyanin and yellow dye betaxanthin. Betacyanin can be used as a safe natural coloring foodstuffs replacing synthetic dyes. Isolation of these dyes can be done by extraction method. Batch extraction is done using aquadest as solvent with stirring, then the separation of the extract from the solvent is done using a vacuum evaporator. The extraction process is done by variation of temperature at 30°C, 40°C, 50°C, 60°C, 70°C and the ratio F:S are 1:10, 1:12,5, 1:15, 1:17,5, 1:20. Analysis for the number of betacyanin, the intensity of red color, and stability of beet’s dye are done by measuring absorbance using visible light spectrophotometer. The results show that the maximum rendemen and yield is achieved at the extraction temperature of 60°C and the ratio F:S (1:17,5). The largest number of betacyanin and intensity of red color produced at the extraction temperature of 40°C and the ratio F:S (1:17,5). UV light, pH, oxidizing, and storage condition affect the stability of beet’s dye which is showed by the reduction of dye absorbance. Based on the experimental design, the temperature and the ratio F:S significantly influence number of betacyanin. The interaction between two factors are not significantly influence number of betacyanin.

Keywords:,aquadest, batch, beet, betacyanin, extraction Abstrak

Dengan semakin diakuinya keberadaan pewarna alami dalam industri pangan, dibutuhkan eksplorasi lebih lanjut mengenai sumber pewarna alami. Bit (Beta vulgaris) merupakan salah satu komoditas tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Zat warna merah dari bit dinamakan betalain. Betalain yang bersifat larut dalam air terdiri dari zat warna merah keunguan betasianin dan zat warna kuning betaxantin. Zat warna ini dapat dijadikan pewarna alami bahan pangan yang aman menggantikan pewarna sintetis. Isolasi zat warna ini dilakukan dengan cara ekstraksi. Ekstraksi dilakukan secara batch menggunakan pelarut aquadest dengan pengadukan, selanjutnya pemisahan ekstrak dari pelarutnya dilakukan dengan evaporator vakum. Proses ekstraksi dilakukan dengan variasi temperatur pada 30°C, 40°C, 50°C, 60°C, dan 70°C, serta rasio F:S sebesar 1:10, 1:12,5, 1:15, 1:17,5, dan 1:20. Analisis kadar betasianin, intensitas warna merah, dan stabilitas zat warna bit dilakukan dengan mengukur absorbansinya pada spektrofotometer cahaya tampak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen dan yield maksimum diperoleh pada temperatur ekstraksi 60°C dan rasio F:S (1:17,5). Kadar betasianin dan intensitas warna merah tertinggi dihasilkan pada temperatur ekstraksi 40°C dan rasio F:S (1:17,5). Sinar UV, pH, oksidator, dan kondisi penyimpanan mempengaruhi stabilitas zat warna bit dengan menunjukkan penurunan absorbansi zat warna. Berdasarkan hasil rancangan percobaan, temperatur dan rasio F:S berpengaruh secara signifikan terhadap kadar betasianin. Interaksi antara keduanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar betasianin.

(2)

PENDAHULUAN

Warna adalah sifat sensori pertama yang diamati pada saat konsumen menemui produk pangan. Konsumen biasanya tertarik akan makanan yang memiliki warna tertentu dan menolak jika terdapat penyimpangan pada warna makanan tersebut. Pewarna makanan memegang peranan penting untuk meningkatkan nilai estetika makanan. (Kusumawati, 2008) Bahan pewarna makanan bisa didapatkan dari pewarna alami dan pewarna sintetis. Betalain dari bit merupakan salah satu pewarna alami bahan pangan yang aman menggantikan pewarna sintetis. Bit merupakan sejenis tanaman umbi-umbian yang kaya akan gizi. Tanaman ini tingginya sekitar satu sampai tiga meter. Batang bit sangat pendek, hampir tak terlihat. Akar tunggangnya tumbuh menjadi umbi. Daunnya tumbuh pada leher akar tunggang (pangkal umbi) dan berwarna kemerahan. Umbi bit berbentuk bulat, tetapi ada pula yang berbentuk lonjong. Umbi bit berwarna merah keunguan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Ada dua varietas bit, yaitu bit dengan umbi berwarna merah tua (Beta vulgaris L.var.rubra L.) dan bit dengan umbi berwarna merah keputih-putihan (Beta vulgaris L.var cicla L.). Bit yang memiliki nama latin

Beta vulgaris berasal dari keluarga tanaman Chenopodiaceae. (Nottingham, 2005)

Gambar 1 Tanaman Bit (Foto Pribadi, 2012)

Zat warna bit berwarna merah yang diketahui sebagai betalain, pertama kali diisolasi oleh Schudel dan dilanjutkan oleh Ainley dan Robinson. Zat warna tersebut diklasifikasikan sebagai antosianin seperti kebanyakan zat warna pada tumbuhan berbunga namun memiliki perbedaan yaitu zat warna tersebut mengandung nitrogen. Pigmen betalain dan antosianin bersifat mutual eksklusif. Hal ini berarti kedua pigmen tersebut tidak pernah berada pada satu tanaman yang sama. (Mastuti,2010) Pada Gambar 2 dapat dilihat perbedaan struktur kimia antara antosianin dengan betalain.

(a) Antosianin (b) Betalain Gambar 2 Struktur Kimia Antosianin dan Betalain

(The Society of Chemical Industry, 2012)

Pada tanaman, betalain disimpan dalam vakuola sebagai glikosida. Tidak seperti kelas tumbuhan berpigmen lain, distribusi betalain terbatas. Zat warna betalain yang bersifat larut dalam air terdiri dari zat warna merah keunguan betasianin dan zat warna kuning betaxantin (disajikan pada Gambar 3), menggantikan posisi zat warna antosianin pada tumbuhan berordo

Caryophyllales dan genus fungi, Amanita muscaria. (Arjuan, 2008)

Umbi bit Batang bit Daun bit

(3)

(a) Betasianin (b) Betaxantin Gambar 3 Struktur Kimia Betasianin dan Betaxantin

(The Scientific Electronic Library Online, 2012)

Betasianin merupakan pigmen berwarna merah atau merah keunguan. Betasianin adalah salah satu pewarna alami yang banyak banyak digunakan dalam sistem pangan. Betasianin dari buah bit telah diketahui memiliki efek antiradikal dan aktivitas antioksidan yang tinggi. Bit juga mengandung betaxantin, suatu pigmen berwarna kuning. Tingkat warna merah menunjukkan bahwa kandungan betaxantinnya sedikit, warna kuning menunjukkan bahwa tidak terdapat betasianin, dan warna putih menunjukkan tidak terdapatnya kedua pigmen tersebut. (Mastuti, 2010)

METODE PENELITIAN Bahan

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk bit kering. Serbuk ini diperoleh dari penggilingan umbi bit yang telah mengalami proses pengupasan, pencucian, pengecilan ukuran dengan ketebalan 2 cm, steam blanching selama 3 menit, dan pengeringan di dalam oven pada temperatur 45°C selama 48 jam. Bahan baku penunjang yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquadest yang berfungsi sebagai pelarut untuk proses ekstraksi. Bahan analisis yang digunakan adalah asam peroksida 50%, asam klorida 0,1 M, asam asetat 0,1 M, asam borat 2%, natrium klorida 5%, natrium karbonat 5%, natrium bikarbonat 5%, natrium hidroksida 0,01 M, sodium-phospate dibasic 0,2 M, dan asam sitrat 0,1 M.

Metode Penelitian

Mula-mula dilakukan ekstraksi soxhlet untuk mengetahui rendemen maksimum yang dapat diperoleh dari serbuk bit. Hasil dari ekstraksi ini digunakan untuk menentukan panjang gelombang maksimum dan membuat kurva standar. Pada penelitian utama dilakukan ekstraksi di dalam ekstraktor 1 L yang dilengkapi dengan motor pengaduk, impeller paddle, termostat, dan

waterbath seperti disajikan pada Gambar 4. Ekstraksi dilakukan secara batch dengan umpan berupa serbuk bit kering ukuran -20+50 mesh menggunakan pelarut aquadest dengan variasi temperatur (30°C, 40°C, 50°C, 60°C, dan 70°C) dan rasio F:S (1:10, 1:12,5, 1:15, 1:17,5, dan 1:20) selama 4 jam dengan kecepatan pengadukan 175 rpm. Ekstrak dipisahkan dari rafinat menggunakan penyaring vakum. Ekstrak kemudian dipekatkan dengan evaporator vakum untuk memisahkan pelarut dari zat warna betasianin. Zat warna inilah yang merupakan produk utama dari penelitian ini, yang akan dianalisis. Analisis terdiri dari analisis rendemen dan yield, kadar betasianin, serta intensitas warna merah. Perlakuan terbaik dari ekstrak betasianin dilakukan uji stabilitas terhadap pengaruh sinar UV, pH, oksidator, dan kondisi penyimpanan.

(4)

Gambar 4 Skema Rangkaian Alat Penelitian Utama (Foto Pribadi, 2012)

HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Soxhlet

Ekstraksi soxhlet dilakukan untuk mengetahui rendemen (jumlah ekstrak yang terkandung dalam umpan berupa serbuk bit kering) maksimum yang terkandung dalam serbuk bit. Prinsip pada ekstraksi soxhlet adalah mengambil semua zat warna yang terdapat dalam umpan. Hasil ekstraksi

soxhlet dipekatkan dengan evaporator vakum untuk memisahkan antara ekstrak dengan pelarut, selanjutnya ekstrak dikeringkan dalam oven pada temperatur 45°C selama 48 jam hingga didapat ekstrak mengandung betasianin berbentuk pasta berwarna merah kehitaman pekat (disajikan pada Gambar 5).

Gambar 5 Ekstrak Bit Berbentuk Pasta (Foto Pribadi, 2012)

Untuk menentukan rendemen maksimum, ekstrak bit yang berbentuk pasta (hasil ekstraksi

soxhlet) ditimbang untuk menentukan massanya, kemudian dibandingkan dengan massa umpan kering. Rendemen maksimum yang diperoleh sebesar 52,3%.

Panjang Gelombang Maksimum

Ekstrak bit yang berbentuk pasta (hasil ekstraksi soxhlet) diencerkan dengan konsentrasi 1000 ppm, agar dapat diukur absorbansinya. Larutan ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 400-600 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. Berdasarkan Gambar 6 didapatkan panjang gelombang maksimum sebesar 530 nm dengan nilai absorbansi 0,11.

Termostat

Motor pengaduk

Impleller paddle Ekstraktor

(5)

Gambar 6 Kurva Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Kurva Standar

Untuk mengetahui konversi nilai absorban menjadi nilai konsentrasi intensitas warna merah dari zat warna betasianin, maka dibuat kurva standar berupa persamaan linier pada panjang gelombang maksimum. Berdasarkan pengaluran kurva antara A (absorbansi) dan C (konsentrasi zat warna dalam mg/L) pada Gambar 7, diperoleh persamaan garis A=0,0001C dengan R2=0,9867.

Gambar 7 Kurva Standar

Analisis Kadar Betasianin

Analisis kadar betasianin dilakukan pada ekstrak dari serbut bit kering yang berbentuk pasta dari proses ekstraksi batch. Berdasarkan penelitian Khuluq (2007), analisis kadar betasianin dilakukan dengan mengambil sampel ekstrak tersebut sebanyak 1 ml, diencerkan dengan buffer sitrat-pospat pH 5 dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 537 nm dan 500 nm. Nilai absorbansi dihitung dengan persamaan A = 1,095 [A (λ=537 nm)- A (λ=500 nm)]. Penentuan kadar

betasianin dengan persamaan berikut ini:

Kadar betasianin = ∈

(A:absorbansi, FP:faktor pengenceran, BM:550 gr/mol, ∈: 60000 L/mol.cm, l: tebal kuvet 1 cm). Berdasarkan hasil percobaan diperoleh kadar betasianin antara 100-250 mg/L. Pada Gambar 8 terlihat kadar betasianin tertingi diperoleh pada temperatur 40°C dan rasio F:S (1:17,5). Diduga pada temperatur 40°C dan rasio F:S (1:17,5) memberikan mobilitas pelarut yang cukup baik pada ekstraksi betasianin dan tidak menurunkan stabilitas betasianin pada proses ekstraksi. Khuluq (2007) menyatakan semakin tinggi temperatur ekstraksi, maka semakin meningkatkan energi kinetik dari suatu senyawa yang mengakibatkan mobilitasnya meningkat dan apabila kondisi

0.096 0.098 0.1 0.102 0.104 0.106 0.108 520 525 530 535 540 A (A b so rb a n si ) λ(Panjang Gelombang, nm)

Panjang Gelombang Maksimum

y = 0.0001x R² = 0.9867 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 100 300 500 700 900 A (A b so rb a n si ) C (Konsentrasi, ppm) Kurva Standar (1)

(6)

tersebut dipertahankan maka semakin banyak pula jumlah antosianin yang dapat diekstrak. Betasianin memiliki kesamaan dengan antosianin sebagai pewarna alami dimana stabilitasnya dipengaruhi oleh temperatur. Stabilitas betasianin akan semakin menurun pada pemanasan temperatur 70°C dan 80°C.

Gambar 8 Kurva Kadar Betasianin

Analisis Intensitas Warna Merah

Pada ekstraksi zat warna dari serbuk bit kering menggunakan pelarut aquadest dengan variasi temperatur dan rasio F:S menunjukkan penurunan intensitas zat warna merah seiring dengan kenaikan temperatur dari 50°C sampai 70°C dan kenaikan rasio F:S dari 1:17,5 sampai 1:20. Pada Gambar 9 digunakan pengenceran 1000 ppm, dapat dilihat bahwa semakin tinggi temperatur, maka intensitas warna merah akan semakin menurun. Secara visual, terlihat intensitas warna merah naik dari temperatur 30°C-40°C, kemudian turun pada temperatur 50°C-70°C. Pada pengamatan nilai absorban dengan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan kenaikan absorbansi, yang berarti kenaikan intensitas warna yang terekstrak. Pada Gambar 10, absorbansi tertinggi diperoleh pada temperatur 60°C, namun jika dilihat dari Gambar 9, warna yang didapatkan cenderung merah kecoklatan.

Gambar 9 Pengamatan Visual Intensitas Warna Merah Terhadap Perbedaan Temperatur (Foto Pribadi, 2012)

Diduga, hal ini disebabkan oleh semakin tinggi temperatur maka zat warna betasianin semakin rusak dan kadar betasianin terekstrak menjadi berkurang sehingga terjadi penurunan intensitas warna merah. Khuluq (2007) berpendapat bahwa semakin tinggi konsentrasi betasianin dalam ekstrak maka intensitas warna merah akan semakin besar pula. Kenaikan dan penurunan intensitas warna merah ekstrak dipengaruhi oleh besar kecilnya kadar betasianin pada bahan. Sifat betasianin tidak stabil pada temperatur tinggi. Pada temperatur tinggi, betasianin dapat terdekomposisi dan merubah warna menjadi coklat. Pada Gambar 9 menunjukkan penurunan

100 125 150 175 200 225 250 30 K a da r B et a si a n in (m g/ L ) Temperatur, °C Kadar Betasianin F:S=1:10 F:S=1:12,5 F:S=1:15 F:S=1:17,5 F:S=1:20 Temp. 30°C Temp. 40°C Temp. 50°C Temp. 60°C Temp. 70°C 30 40 50 60 70

(7)

intensitas warna merah seiring dengan kenaikan temperatur dari 50°C sampai 70°C pada rasio F:S yang sama, sedangkan pada temperatur yang sama, perbedaan rasio F:S secara visual pada gambar 11, terlihat kurang berpengaruh terhadap intensitas warna merah. Pada pengamatan nilai absorban dengan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan pada temperatur yang sama, semakin tinggi rasio F:S, absorbansi dan konsentrasi semakin meningkat. Nilai konsentrasi berbanding lurus dengan nilai absorbansi.

Gambar 10 Kurva Intensitas Warna Merah

Gambar 10 menunjukkan pada rasio F:S 1:17,5 diperoleh konsentrasi tertinggi. Hal ini disebabkan karena perbandingan jumlah umpan (serbuk bit kering) dan jumlah pelarutnya sudah cukup, sehingga pelarut dapat larut dengan baik ke dalam umpan akibatnya betasianin dapat dilarutkan oleh pelarut. Ekstrak yang memiliki kadar betasianin lebih tinggi mempunyai kontribusi warna merah yang lebih baik dibandingkan kadar betasianin rendah. Khuluq (2007) menyatakan β-karoten merupakan pigmen alami berwarna kuning atau orange. Oleh karena itu, semakin banyak banyak β-karoten yang terekstrak maka kepekatannya semakin meningkat, hal ini menyebabkan intensitas warna merah ekstrak β-karoten meningkat.

Gambar 11 Pengamatan Visual Intensitas Warna Merah Terhadap Perbedaan Rasio F:S (Foto Pribadi, 2012)

Analisis Rendemen dan Yield

Rendemen dan yield yang diperoleh bervariasi berdasarkan variasi temperatur dan rasio F:S. Nilai rendemen berbanding lurus dengan yield. Rendemen dan yield tertinggi didapatkan pada temperatur 60°C dengan rasio F:S sebesar 1:17,5, yaitu sebesar 39,63% dan 75,78%. Kurva analisis rendemen dan yield terhadap temperatur dan rasio F:S disajikan pada Gambar 12. Pada rasio F:S yang sama, kenaikan temperatur ekstraksi menyebabkan kenaikan rendemen dan yield. Pada temperatur yang sama, kenaikan rasio F:S (1:10 sampai 1:17,5) menyebabkan kenaikan rendemen dan yield serta penurunan rendemen dan yield pada rasio F:S (1:17,5 sampai 1:20).

0 1000 2000 3000 4000 5000 30 K o n se n tr a si (ppm ) Temperatur,°C Intensitas Warna Merah

F:S=1:10 F:S=1:12,5 F:S=1:15 F:S=1:17,5 F:S=1:20 1:10 1:12,5 1:15 1:17,5 1:20

(8)

Gambar 12 Kurva Rendemen dan Yield

Uji Stabilitas Zat Warna Terhadap Pengaruh Sinar UV

Berdasarkan Gambar 13 tidak terlalu terlihat perbedaan zat warna setelah disinari UV selama 24 jam dengan zat warna awal. Pada pengamatan dengan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan hasil penurunan absorbansi seiring dengan lamanya penyinaran pada sinar UV. Pada waktu awal, diketahui absorbansinya sebesar 0,35 lalu menurun pada waktu 6 jam menjadi 0,32, sampai akhirnya pada waktu 24 jam menjadi 0,23. Semakin lama penyinaran, stabilitas betasianin akan semakin menurun sehingga terjadi pemucatan warna. Pemucatan warna disebabkan oleh adanya degradasi zat warna yang ditunjukkan oleh penurunan absorbansi. Pada penelitian yang lalu diketahui penurunan nilai absorbansi disebabkan karena terjadinya perubahan struktur zat warna betasianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna), dan akhirnya membentuk alfa diketon yang berwarna coklat. (Niken, 2011)

Gambar 13 Hasil Analisis Stabilitas Zat Warna (Foto Pribadi, 2012)

Hasil pengamatan intensitas warna dari ekstrak serbuk bit kering yang telah disimpan pada temperatur kamar dengan kondisi penyinaran UV menunjukkan perubahan intensitas warna yang

25 28 30 33 35 38 40 30 R en de m en (%) Temperatur, °C

Pengaruh Rasio F:S dan Temperatur terhadap Rendemen

F:S=1:10 F:S=1:12,5 F:S=1:15 F:S=1:17,5 F:S=1:20 55 58 60 63 65 68 70 73 75 78 30 Y ie ld (%) Temperatur, °C

Pengaruh Rasio F:S dan Temperatur terhadap Yield

F:S=1:10 F:S=1:12,5 F:S=1:15 F:S=1:17,5 F:S=1:20 Larutan Awal 40°C Penyinaran UV (24 jam) Temperatur Kamar (24 jam) Penambahan Oksidator (24 jam) Temperatur Lemari Es (24 jam)

(9)

cukup besar bila dibandingkan kondisi gelap selama 24 jam. Perubahan intensitas warna ini ditunjukkan dengan perubahan absorbansi. Pada kondisi gelap, saat awal diketahui absorbansinya sebesar 0,35, pada waktu 6 jam menurun menjadi 0,33, sampai akhirnya pada waktu 24 jam menjadi 0,29. Menurut Niken (2011), perubahan absorbansi saat penyimpanan pada kondisi penyinaran UV dimungkinkan disebabkan reaksi kopigmentasi dan diduga ekstrak masih mengandung enzim polifenolase yang mengkatalis reaksi pencoklatan.

Uji Stabilitas Zat Warna Terhadap Pengaruh pH

pH memiliki peranan penting dalam ekstraksi betasianin karena memberikan pengaruh pada kestabilan betasianin. Pada Gambar 14 terlihat bahwa pada pH 5 menghasilkan stabilitas warna merah tertinggi, sedangkan pada pH basa (pH≥7-13) absorbansi zat warna betasianin yang dihasilkan mengalami penurunan. Menurut Khuluq (2007), betasianin memiliki tingkat kestabilan yang tinggi pada pH 5. Kerusakan betasianin meningkat tajam dibawah pH 4, dan pada nilai pH netral mengubah warna menjadi coklat.

Gambar 14 Pengaruh Variasi pH Terhadap Stabilitas Zat Warna (Foto Pribadi, 2012)

Uji Stabilitas Zat Warna Terhadap Pengaruh Oksidator

Penambahan oksidator H2O2 (disajikan pada Gambar 13) menyebabkan penurunan serapan/ absorbansi zat warna pada pengamatan setelah 6 jam pertama. Hasil pengamatan intensitas warna dari ekstrak serbuk bit kering terhadap pengaruh oksidator memberikan pengaruh yang nyata, hal ini dapat dilihat dari hilangnya absorbansi maksimum pada konsentrat yang telah disimpan selama 24 jam. Pada waktu awal, diketahui absorbansinya sebesar 0,35 lalu menurun pada waktu 6 jam menjadi 0,20, sampai akhirnya pada waktu 24 jam menjadi 0,05. Khuluq (2007) berpendapat bahwa penambahan H2O2 mengakibatkan dekomposisi betasianin baik pada penambahan sedikit H2O2 atau dengan konsentrasi yang signifikan dimana H2O2 merupakan senyawa yang mudah untuk mengoksidasi zat warna. Adanya penambahan oksidator menyebabkan penurunan serapan atau berkurangnya kadar pewarna akibat terjadinya penyerangan pada gugus reaktif pewarna oleh oksidator, sehingga gugus reaktif yang bersifat memberi warna berubah menjadi tidak memberikan warna.

Uji Stabilitas Zat Warna Terhadap Pengaruh Kondisi Penyimpanan

Gambar 13 menunjukkan tidak adanya perbedaan dari pengamatan visual secara signifikan pada intensitas warna merah. Pada pengamatan dengan spektrofotometer UV-Vis menunjukkan absorbansi pada kondisi penyimpanan temperatur lemari es dan temperatur kamar juga tidak terlalu mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data Penurunan Absorbansi Terhadap Pengaruh Kondisi Penyimpanan

Temperatur t=0 jam t=6 jam t=24 jam

%T A %T A %T A Lemari es (4°C) 44,8 0,35 44,8 0,35 46,1 0,34 Kamar (26°C) 44,8 0,35 46,8 0,33 51,6 0,29 pH 7 pH 8,5 pH 11 pH 13 pH 3 pH 5 pH 1

(10)

Pada kondisi penyimpanan temperatur kamar terjadi penurunan absorbansi yang lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi penyimpanan pada temperatur lemari es. Kesetimbangan antara sruktur-struktur antosianin yaitu basa kuinoidal (biru), kation flavium (merah), basa karbinol (tak berwarna), dan kalkon (tak berwarna) bersifat endotermik jika berjalan dari kiri ke kanan. Zat warna betasianin pada bit memiliki kemiripan struktur dengan antosianin sehingga dapat diduga temperatur penyimpanan juga mempengaruhi stabilitas betasianin. Perubahan saat penyimpanan dimungkinkan disebabkan reaksi kopigmentasi dan diduga ekstrak masih mengandung enzim polifenolase yang mengkatalis reaksi pencoklatan. Penyimpanan pada kondisi kamar menyebabkan terjadinya perubahan intensitas zat warna yang cukup besar akibat dua hal tersebut. Penyimpanan pada kondisi dingin dapat menghambat terjadinya reaksi kopigmentasi (pencoklatan). (Niken, 2011)

Perpindahan Massa Ekstraksi

Pengambilan zat warna alami umbi bit dengan aquadest adalah proses perpindahan massa zat warna dari padatan (serbuk bit kering) ke fase cairan (aquadest) yang disebut dengan proses ekstraksi padat-cair. Menurut Samun (2008), kecepatan ekstraksi padat-cair tergantung pada dua tahapan pokok yaitu perpindahan massa dari dalam padatan ke permukaan padatan dan perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Jika perbedaan kecepatan kedua tahap hampir sama, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua kedua proses tersebut, tetapi jika perbedaan kecepatan kedua tahapan cukup besar, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kecepatan proses yang paling lambat.

Gambar 15 Penentuan Koefisien Perpindahan Massa

Proses ekstraksi batch dilakukan selama 4 jam, berdasarkan penentuan waktu kesetimbangan proses ekstraksi pada temperatur paling rendah 30°C dengan F:S paling besar (1:20). Koefisien perpindahan massa pada proses ekstraksi batch pada temperatur 30°C dengan rasio F:S (1:20) sebesar 0,0126/menit (disajikan pada Gambar 15). Pada Gambar 16 menunjukkan semakin lama waktu ekstraksi, konsentrasi pewarna dalam pelarut (aquadest), C, akan semakin besar, tetapi pertambahan konsentrasi untuk setiap interval waktu pengambilan sampel semakin lama akan semakin kecil. Pada saat tertentu, pertambahan konsentrasi sudah tidak signifikan lagi. Pada kondisi ini, konsentrasi pewarna dalam badan cairan (C) dan konsentrasi pewarna dalam padatan (x) sudah berada dalam kesetimbangan.

y = -0.0126x + 7.0026 R² = 0.9114 4 5 5 6 6 7 7 0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 ln (C* -C) t (menit) Koefisien Perpindahan Massa

(11)

Gambar 16 Laju Konsentrasi Zat Warna Terhadap Waktu

Kurva Kesetimbangan

Pada pembuatan kurva kesetimbangan ekstraksi dilakukan perhitungan NR, NE, X, dan Y. NR menyatakan jumlah padatan yang terkandung dalam rafinat, NE menyatakan jumlah padatan yang terkandung dalam ekstrak, X menyatakan jumlah solut dalam rafinat, dan Y menyatakan jumlah solut dalam ekstrak. Pada penelitian ini didapat kurva kesetimbangan ekstraksi pada Gambar 17.

Gambar 17 Kurva Kesetimbangan Ekstraksi

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dalam penelitian ini menggunakan rancangan faktorial dengan 2 faktor dimana hasil penelitian ekstraksi zat warna dari serbuk bit menggunakan pelarut aquadest pada variasi faktor temperatur dan rasio F:S sebagai respon kadar betasianin yang dihasilkan. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kadar betasianin pada setiap tempuhan adalah faktor A (temperatur) dan faktor B (perbandingan serbuk bit kering dengan pelarut). Interaksi antara faktor A dan B tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar betasianin. Peningkatan temperatur akan meningkatkan kadar betasianin yang diperoleh. Peningkatan temperatur akan meningkatkan solubilitas zat terlarut ke dalam pelarut dan meningkatkan laju ekstraksi. Peningkatan rasio F:S akan meningkatkan driving force

ekstraksi berupa perbedaan konsentrasi zat terlarut di fasa padat dan fasa cair.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210 225 240 C (ppm ) t (menit)

Laju Konsentrasi Zat Warna Terhadap Waktu

0.05 0.055 0.06 0.065 0.07 0.075 0.08 0.018 0.02 0.022 0.024 0.026 0.028 0.03 NR , N E X, Y

Kurva Kesetimbangan Ekstraksi

Temp.30C Temp.40C Temp.50C Temp.60C Temp.70C

(12)

Tabel 2 Analisis Varian Rancangan Percobaan Faktorial Variasi Jumlah Kuadrat Derajat Kebebasa n Kuadrat

Rata-Rata Fo Ftabel Kesimpulan Perlakuan A 3288,407 4 822,102 4,664 > 2,132 Ho ditolak Perlakuan B 104042,558 4 26010,640 147,576 > 2,132 Ho ditolak Interaksi AB 1330,533 16 83,158 0,472 < 1,746 Ho diterima Kesalahan Percobaan 4406,326 25 176,253 Total 113067,824 49 KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Semakin tinggi temperatur dalam proses ekstraksi zat warna dari umbi bit, maka rendemen dan yield yang dihasilkan juga akan semakin tinggi.

2. Pada kenaikan temperatur dari 40°C sampai 70°C dalam proses ekstraksi zat warna dari umbi bit, kadar betasianin dan intensitas warna merah yang dihasilkan semakin menurun.

3. Pada kenaikan rasio F:S dari 1:10 sampai 1:17,5 dalam proses ekstraksi zat warna dari umbi bit, rendemen, yield, kadar betasianin dan intensitas warna merah yang dihasilkan semakin tinggi.

4. Sinar UV, pH, oksidator, dan kondisi penyimpanan mempengaruhi stabilitas zat warna hasil ekstraksi umbi bit.

5. Walaupun pada temperatur 60°C dan rasio F:S (1:17,5) dihasilkan rendemen dan yield

tertinggi, kadar betasianin dan intensitas warna merah yang dihasilkan semakin menurun. Oleh karena itu, dipilih temperatur 40°C dan rasio F:S (1:17,5) untuk menghasilkan kadar betasianin dan intensitas warna merah yang paling baik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Ibu Anastasia Prima Kristijarti dan Ibu Ariestya Arlene Arbita atas bimbingan Ibu selama penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arjuan, H., (2008), “Aplikasi Pewarna Bubuk Ekstrak Umbi Bit (Beta vulgaris) Sebagai Pengganti Pewarna Tekstil pada Produk Terasi Kabupaten Berau Kalimantan Timur”, http://www. repository.ipb.ac.id, diakses pada tanggal 05/05/2012 pk. 23.33.

Khuluq, A. D., (2007), Ekstraksi dan Stabilitas Betasianin Daun Darah (Alternanthera denata) (Kajian Perbandingan Pelarut Air:Etanol dan Suhu Ekstraksi), Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 8, http://www.isjd.pdii.lipi.go.id, diakses pada tanggal 28/01/2012 pk. 20.30.

Kusumawati, R.P., (2008), Pengaruh Penambahan Asam Sitrat dan Pewarna Alami Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) Terhadap Stabilitas Warna Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola L), Skripsi, http://www.repository.ipb.ac.id, diakses pada tanggal 20/05/2012 pk. 09.48, hal. 10-12.

Mastuti, R., (2010), “Pigmen Betalain pada Famili Amaranthaceae”, http://biologi.ub.ac.id, diakses pada tanggal 01/01/2012 pk. 08.00.

(13)

Niken, (2011), “Ekstraksi Zat Warna Alami dari Kulit Manggis serta Uji Stabilitasnya”, http://www.eprints.undip.ac.id, diakses pada tanggal 21/12/2012 pk. 09.35.

Nottingham, S., (2005), “Beetroot”, http://www.stephennottingham.co.uk, diakses pada tanggal 14/03/2012 pk. 09.00.

Samun, (2008), Koefisien Transfer Massa Volumetris Ekstraksi Zat Warna Alami dari Rimpang Kunyit (Kurkuminoid) di Dalam Tangki Berpengaduk, Ekuilibrium Vol. 7, http://www.isjd.pdii.lipi.go.id, diakses pada tanggal 21/12/2012 pk. 09.39.

The Scientific Electronic Library Online, (2012), “Betacyanin and Betaxanthin”, http://www.scielo.br, diakses pada tanggal 11/04/2012 pk. 20.05.

The Society of Chemical Industry, (2012), “Anthocyanin and Betalain”, http://www.soci.org, diakses pada tanggal 11/04/2012 pk. 19.27.

Gambar

Gambar 1 Tanaman Bit (Foto Pribadi, 2012)
Gambar 4 Skema Rangkaian Alat Penelitian Utama (Foto Pribadi, 2012)
Gambar 7 Kurva Standar
Gambar 9 Pengamatan Visual Intensitas Warna Merah   Terhadap Perbedaan Temperatur (Foto Pribadi, 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa fortifikasi yoghurt dengan garam besi tidak berpengaruh terhadap total bakteri asam laktat pada semua perlakuan ketika yoghurt

kemudian muncul sebuah sistem baru yang dianggap bisa menjadi penengah sekaligus solusi dalam perekonomian umat manusia yaitu ekonomi Islam karena sebagaimana bidang ilmu-ilmu

Selain itu, ini menjadi komunikasi antara seorang senior dengan juniornya karena pada saat Ibnu Grahan keluar dari Persebaya, Mat Halil adalah orang yang

taeniasis/sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu

(6) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah menyelesaikan tugas belajar diberikan Tunjangan Kinerja sebesar 100% (seratus persen) terhitung mulai tanggal

Pohon keputusan adalah salah satu metode klasifikasi yang paling populer karena mudah untuk diinterpretasi oleh manusia. Pohon keputusan adalah model prediksi

[r]

(17) informasi dan dokumen lain yang memungkinkan Penyedia Jasa Keuangan di bidang Pasar Modal untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. 3) Calon Nasabah berupa lembaga