• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. membuat sistem kerja yang ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. membuat sistem kerja yang ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien)."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

xviii BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam rangka membuat sistem kerja yang ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien). Ergonomi dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya mengarah kepada tujuan yang sama yakni peningkatan kualitas kehidupan kerja (quality of working life) sehingga ada ungkapan “without ergonomics, safety management is not enough”.

Keselamatan dan kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi naluri dari setiap makhluk hidup. Sejak manusia bermukim di muka bumi ini, secara tidak sadar mereka berusaha melindungi diri dari segala bahaya yang ada di sekitar hidupnya. Manusia mempertahankan kehidupan dengan berbagai macam cara. Zaman dahulu, manusia tinggal di pohon tinggi untuk melindungi diri dari serangan binatang buas. Seiring berjalannya waktu, tantangan dan potensi bahaya semakin banyak dan beranekaragam, bahkan bahaya itu muncul akibat ulah manusia itu sendiri (man made hazards).

Berbagai macam potensi bahaya tersebut bisa juga dijumpai dalam lingkungan tempat kerja. Penggunaan mesin, alat kerja, material kerja dan

(2)

xix

kegiatan produksi berpotensi mengancam keselamatan para pekerja. Di zaman modern seperti sekarang ini, keselamatan menjadi tuntutan dan kebutuhan umum (Soehatman, 2010). Kenyataannya, kecelakaan kerja masih terjadi di berbagai perusahaan yang secara administratif telah lulus (comply) audit sistem manajemen K3.

Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja yang menimbulkan korban jiwa, kerusakan materi dan gangguan produksi. Tahun 2007, menurut Jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang meninggal, 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera. Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota Jamsostek dengan jumlah peserta sekitar 7 juta orang atau sekitar 10% dari seluruh pekerja Indonesia. Dengan demikian, angka kecelakaan mencapai 930 kejadian untuk setiap 100.000 pekerja setiap tahun. Oleh karena itu, jumlah kecelakaan keseluruhannya diperkirakan jauh lebih besar. Bahkan menurut World Economic

Forum tahun 2006, angka kematian akibat kecelakaan kerja di Indonesia

mencapai 17-18 untuk setiap 100.000 pekerja (Soehatman, 2010).

Anas Zaini Z Iksan selaku Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (A2K4) mengatakan setiap tahun terjadi 96.000 kasus kecelakaan kerja. Dari jumlah ini, sebagian besar kecelakaan kerja terjadi pada proyek jasa konstruksi dan sisanya terjadi di sektor industri manufaktur

(Bataviase, 2010). Hasil penelitian yang diadakan ILO (Organisasi

Perburuhan Internasional) mengenai standar kecelakaan kerja menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-152 dari 153 negara yang ditelitinya.

(3)

xx

Ini berarti, begitu buruknya masalah kecelakaan kerja di Indonesia (Portal Nasional Republik Indonesia, 2010).

Heinrich (dalam Soehatman, 2010) menyebutkan 10 aksioma mengenai kecelakaan kerja, yaitu : (1) kecelakaan merupakan rangkaian proses sebab dan akibat. Tidak ada kecelakaan yang hanya disebabkan oleh faktor tunggal, namun merupakan rangkaian sebab akibat yang saling terkait; (2) sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia dengan tindakannya yang tidak aman yang menurut penyelidikan mencapai 85% dari seluruh kecelakaan; (3) kondisi tidak aman dapat membahayakan dan menimbulkan kecelakaan; (4) tindakan tidak aman dari seseorang dipengaruhi oleh tingkah laku, kondisi fisik, pengetahuan dan keahlian serta kondisi lingkungan kerjanya; (5) upaya pencegahan kecelakaan harus meliputi berbagai usaha; (6) keparahan suatu kecelakaan berbeda satu sama lain; (7) program pencegahan kecelakaan harus sejalan dengan program lainnya dalam organisasi; (8) pencegahan kecelakaan atau program kesehatan dalam organisasi tidak akan berhasil tanpa dukungan dan peran serta manajemen puncak dalam organisasi; (9) pengawasan merupakan unsur kunci dalam program K3; dan (10) usaha keselamatan menyangkut aspek ekonomis.

H.W. Heinrich juga mengemukakan penyebab kecelakaan berdasarkan Teori Dominonya, yaitu (a) tindakan tidak aman dari manusia (unsafe act), misalnya tidak menggunakan alat keselamatan dalam bekerja, melepas alat pengaman atau bekerja sambil bergurau. Tindakan ini dapat membahayakan

(4)

xxi

dirinya maupun orang lain yang berujung pada kecelakaan; (b) kondisi tidak aman (unsafe condition) yaitu kondisi di lingkungan kerja baik alat, material, atau linkungan tidak aman dan membahayakan. Misalnya tangga yang mudah patah, lantai yang licin dan kebisingan yang melampaui batas.

Menurut Jojo Bagyo, Kepala Pusat Penyelenggaraan Konstruksi BPKSDM Departemen Pekerja Umum, kecelakaan kerja terjadi paling banyak disebabkan oleh kesalahan manusia (human error), baik dari aspek kompetensi para pelaksana konstruksi maupun pemahaman arti pentingnya penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (BPKSDM, 2006). Hal senada juga dikemukakan oleh Suma’mur (1995) yang menyatakan bahwa 85% penyebab kecelakaan adalah faktor manusia.

BPKSDM (2006) menyimpulkan bahwa beberapa faktor penyebab terjadi kecelakaan baik yang telah menimbulkan korban jiwa maupun luka-luka sebagai terjadinya kegagalan konstruksi yang antara lain disebabkan tidak dilibatkannya ahli teknik konstruksi, penggunaan metode pelaksanaan yang kurang tepat, lemahnya pengawasan pelaksanaan konstruksi di lapangan, belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang menyangkut K3 yang telah ada, lemahnya pengawasan penyelenggaraan K3, kurang memadainya baik dalam kualitas dan kuantitas ketersediaan peralatan pelindung diri (APD) dan kurang disiplinnya para tenaga kerja di dalam mematuhi ketentuan mengenai K3 yang antara lain pemakaian alat pelindung diri kecelakaan kerja.

(5)

xxii

Tingginya angka kecelakaan pekerja mendorong berbagai kalangan berupaya meningkatkan perlindungan bagi pekerja. Salah satunya adalah perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Manusia bukan merupakan alat, tetapi adalah aset perusahaan yang sangat berharga yang harus dilindungi. Maka dari itu, usaha-usaha keselamatan selain ditujukan kepada mekanik, juga harus memperhatikan secara khusus aspek manusiawi. Salah satu perlindungan kepada karyawan adalah perlindungan secara fisik. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari berbagai hal di lingkungan sekitarnya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Salah satu cara pencegahan kecelakaan yang terbaik adalah peniadakan bahaya seperti pengamanan mesin. Namun hal itu tidak mungkin. Oleh karena itu karyawan perlu diberikan alat pelindung diri.

Perkembangan sejarah alat perlindungan diri sejalan dengan penggunaan pengamanan. Pada masa silam, ketika teknologi mulai berkembang, desain alat-alat proteksi diri sama sekali tidak memadai atau tenaga kerja tidak memakainya sama sekali oleh karena mereka lebih senang tanpa perlindungan. Hal ini bisa berakibat terjadinya kecelakaan pada kepala, mata, kaki dan sebagainya. Sekarang pun, alat-alat perlindungan diri masih dianggap oleh tenaga kerja sebagai mengganggu pelaksanaan kerja (Suma’mur, 1995).

Kurang disiplinnya para tenaga kerja di dalam mematuhi ketentuan dalam penggunaan atau pemakaian alat pelindung diri biasanya karena alasan sepele, misalnya pekerja tidak memakai kacamata saat mengelas, sehingga kerap terjadi sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Rendahnya kesadaran pekerja dalam

(6)

xxiii

menggunakan APD karena dianggap mengurangi feminitas, terbatasnya faktor stimulan pimpinan, dan karena tidak enak dan kurang nyaman juga merupakan alasan mengapa tidak disiplinnya karyawan dalam menggunakan APD. Hasil wawancara Safety News Alert dengan 290 orang Safety Officer mengenai alasan pekerja yang tidak memakai APD saat bekerja menyatakan bahwa 30% karyawan tidak menggunakan APD karena merasa tidak nyaman dan tidak cocok, 10% karyawan mengatakan tidak tahu jika harus menggunakan APD, 18% mengatakan menggunakan APD hanya membuang-buang waktu saja, 8% mengatakan tidak akan celaka jika tidak menggunakan APD dan 34% mengatakan lupa menggunakan APD. Ini menyimpulkan bahwa desain APD yang menimbulkan ketidaknyamanan saat digunakan sangat mempengaruhi disiplin tidaknya karyawan dalam menggunakan APD.

Daniel M. Colyer (1991) menyatakan disiplin pada umumnya termasuk dalam aspek pengawasan yang sifatnya lebih keras dan tegas (hard and coherent). Dikatakan keras karena ada sanksi dan dikatakan tegas karena adanya tindakan sanksi yang harus dieksekusi bila terjadi pelanggaran. Disiplin juga dikaitkan dengan sangsi atau hukuman. Contohnya: bagi karyawan yang tidak menggunakan APD apapun alasannya akan dikenakan sanksi. Pemberian reward,

punishment, pengawasan dan tindakan pendisiplinan dari perusahaan kepada

karyawan untuk mendisiplinkan karyawan dalam menggunakan APD sangat diperlukan.

Hakim (2004) mengemukakan hasil penelitiannya yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Penggunaan APD oleh Pekerja Radiasi

(7)

xxiv

pada Instansi Radiologi Rumah sakit di Wilayah Palembang” bahwa pola pengawasan terhadap karyawan mempengaruhi karyawan dalam menggunakan APD. Fasilitas APD yang disediakan harus sesuai dengan standar, serta dilakukan sosialisasi masalah kebijakan tentang penggunaan APD dan meningkatkan pola pengawasan sehingga pekerja termotivasi untuk menggunakan APD pada saat mereka bekerja. Oleh karenanya perlu dipikirkan keseimbangan antara pemberian sanksi dengan penghargaan yang bersifat individu terhadap pekerja yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pengunaan APD.

Disiplin pada dasarnya merupakan tindakan manajemen untuk mendorong agar para anggota organisasi dapat memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi, yang di dalamnya mencakup: (1) adanya tata tertib atau ketentuan-ketentuan; (2) adanya kepatuhan para pengikut; dan (3) adanya sanksi bagi pelanggar. Perusahaan harus mampu memotivasi bawahan agar dalam pelaksanaan kegiatan dapat sesuai dengan tujuan perusahaan yang diinginkan. Kerjasama sangat diperlukan dalam perusahaan sebab dengan kerjasama yang baik segala persoalan dapat dipecahkan dengan mudah serta membuat lebih betah dalam bekerja.

Niat untuk mentaati peraturan merupakan suatu kesadaran yang disadari unsur ketaatan untuk mencapai tujuan perusahaan. Hal itu berarti sikap dan perilaku didorong adanya kontrol diri yang kuat. Artinya, sikap dan perilaku untuk mentaati peraturan perusahaan muncul dari dalam dirinya (Suryohadiprojo, 1989). Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan mempunyai

(8)

xxv

disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku, tetapi juga mempunyai kehendak (niat) untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan perusahaan.

Disiplin dapat diartikan sebagai sikap menghargai, patuh, taat terhadap peraturan dan tata tertib yang berlaku di tempat kerja yang dilakukan secara rela dengan penuh tanggung jawab dan siap untuk menerima sangsi jika melanggar tugas dan wewenang (Novitasari, 2008). Setiap perusahaan yang hendak hidup tertib dan teratur memerlukan sikap dan perilaku pada karyawannya dalam berdisiplin.

Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, (1990) mendefinisikan disiplin sebagai suatu proses bekerja yang mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri. Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, (1990) juga menyebutkan bahwa disiplin kerja adalah kesadaran, kemauan dan kesediaan kerja orang lain agar dapat taat dan tunduk terhadap semua peraturan dan norma yang berlaku, kesadaaran kerja adalah sikap sukarela dan merupakan panggilan akan tugas dan tanggung jawab bagi seorang karyawan. Karyawan akan mematuhi atau mengerjakan semua tugasnya dengan baik dan bukan mematuhi tugasnya itu dengan paksaan.

Menurut Hogdes, disiplin dalam arti yang positif sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah diterapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan perusahaan (dalam Yuspratiwi, 1990). Disiplin dapat diartikan sebagai suatu sikap

(9)

xxvi

menghargai, menghormati, patuh dan taat terhadap peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenangan yang diberikan kepadanya (Sastrohadiwiryo, 2002). Dengan disiplin yang baik akan memudahkan perusahaan dalam mewujudkan tujuannya. Setiap perusahaan berusaha untuk meminimalkan angka kecelakaan kerja, oleh karena itu salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menyediakan alat pelindung diri bagi karyawannya.

PT PP Lonsum, Tbk bergerak di bidang perkebunan. Di Sumatera Utara, PT PP Lonsum, Tbk memiliki 17 area yang terdiri dari estate dan pabrik. Perkebunan London-Sumatra, yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Lonsum”, memiliki hampir 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit, karet, teh, dan kakao yang tertanam di empat pulau terbesar di Indonesia. Pada awal berdirinya, perusahaan menggolongkan tanamannya menjadi tanaman karet, teh, dan kakao. Di awal Indonesia merdeka, Lonsum lebih memfokuskan usahanya kepada tanaman karet, yang kemudian diubah menjadi kelapa sawit di tahun 1980. Pada akhir dekade ini, kelapa sawit menggantikan karet sebagai komoditas utama Perseroan.

PT PP Lonsum Indonesia, Tbk merupakan salah satu perusahaan yang telah menjalankan program K3. Beberapa program K3 yang dilaksanakan di PT PP Lonsum, Tbk adalah Hiperkes, Bencana Alam, Penanggulangan Kebakaran, P3K, Pemeriksaan Berkala, Pemeriksaan Berkala Khusus, Noise dan beberapa

(10)

xxvii

program K3 seperti pelatihan-pelatihan dan pengurusan izin, serta merupakan salah satu perusahaan yang menyediakan alat pelindung diri bagi pekerjanya. Hal ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan kepada Head Health and Safety:

Di sini, program K3 udah kami jalankan. Pokoknya semua udah

memenuhi standar la.. Program K3 di sini ada 13 kalo gak salah. Ada Hiperkes, Bencana Alam, Penanggulang Kebakaran, P3K, Pemeriksaan Berkala, Pemeriksaan Berkala Khusus, Noise, Pelatihan-pelatihan, misalnya untuk bagian alat angkut berat. Ada juga pengurusan izin-izin misalnya untuk turbin, genset, boiler dan semacamnya. Kita juga sediakan APD. APD itu alat pelindung diri, contohnya kek sepatu, masker, kacamata...” (komunikasi personal, Oktober 2010).

PT PP Lonsum bergerak aktif dalam melakukan penyuluhan-penyuluhan program K3 kepada karyawannya, misalnya mengenai rambu-rambu yang ada di kebun serta penggunaan alat pelindung diri. Karyawan dijelaskan apa tujuan dan manfaat menggunakan alat pelindung diri saat bekerja. Namun demikian, menyadarkan karyawan untuk menggunakan alat pelindung diri tidak semudah membalikkan telapak tangan (Adlin, komunikasi personal Oktober 2010). Bahkan walaupun sudah diberikan penyuluhan-penyuluhan tetap saja ada kecelakaan yang terjadi akibat kelalaian karyawan dalam menggunakan alat pelindung diri. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Head Health and Safety:

“...ada kejadian kerna gak pake APD. Telinganya pekak kerna dia gak pake ear plug. Padahal kerjanya di bagian mesin. Ya pekak la... padahal udah disuruh pake” (komunikasi personal, November 2010).

Hal senada juga dikatakan oleh Kepala Divisi kebun Lonsum di Sei Merah:

“Kalo APD di sini lengkap. Semua ada. Mau apa? Ada di sini. Orang-orang sini juga minta mereka ke sini APDnya. Biasanya tu iri-irian mereka. Kalo ada temannya dapat sepatu, terus dia gak dapat, protes dia ke sini... mau dia.. soal pake gak pake jangan ditanya.. Urusan belakangan katanya... Pernah ada kejadian gara-gara gak dipasangnya sarung engrek, luka istrinya. Tersabit.. Itu la...” (komunikasi personal, Januari 2011).

(11)

xxviii

PT PP Lonsum juga memberikan sanksi atau hukuman kepada karyawan yang tidak menggunakan alat pelindung diri. Upaya penertiban karyawan yang membandel selalu dilakukan mereka, mulai dari pemberikan peringatan, disuruh pulang untuk mengambil APD mereka, bahkan hingga diberi peringatan keras seperti pemberhentian kerja. Hal ini sesuai dengan hasil wawacara kepada Kepala Divisi kebun Lonsum di Sei Merah:

“...di sini kita kasi juga pelatihan-pelatihan soal APD. Kita kasi perngertian ma mereka apa pentingnya APD, kita kasi contoh apa dampaknya kalo gak pake APD dan kalo pake APD. Tapi ya gimana... tetap aja la ada yang bandel. Kalo kita jumpai ada yang gak pake APD, kita peringatin dia dulu.. kita suruh dia ambe APDnya. Dah tu kalo tetap gk mau pake,kita ancam dia suruh gak usah kerja lagi... Daripada dia membahayakan diri sendiri, mending gak usah kerja. Kita kan juga gak mau karyawan kita kenapa-napa...”

Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran disiplin karyawan dalam menggunakan alat pelindung diri.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana disiplin karyawan dalam menggunakan alat pelindung diri?

C. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran disiplin karyawan dalam menggunakan

(12)

xxix

alat pelindung diri. Hasil penelitian akan menunjukkan bagaimana gambaran disiplin karyawan dalam menggunakan alat pelindung diri.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan ada 2 manfaat yang dapat diambil, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas ruang lingkup dunia industri dan organisasi dan menambah wacana dalam ilmu psikologi pada umumnya, khususnya di bidang psikologi industri dan organisasi, yang berkaitan dengan disiplin dan alat pelindung diri. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan, serta penelitian mengenai Psikologi Industri dan Organisasi sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberi informasi kepada PT PP Lonsum, Tbk mengenai gambaran disiplin karyawan dalam menggunaan alat perlindungan diri.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah :

(13)

xxx

Pada bab ini akan digambarkan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini mengurai teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Teori-teori yang dimuat adalah yang berhubungan dengan disiplin karyawan yang dikemukakan oleh Prijodarminto, SH, alat perlindungan diri, dan karyawan.

BAB III Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengani identifikasi variabel, definisi operasional, populasi penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisi data.

BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis data dan pembahan. Pada analisis data diuraikan mengenai gambaran subjek penelitian dan hasil olah data dari penelitian yang dilakukan. Setelah itu dilakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang diperoleh.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, serta saran untuk penyempurnaan penelitian di masa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

Kain geringsing diketahui sebagai ciri khas Desa Tenganan yang berbentuk kain tenun ikat. Tidak diketahui secara pasti kapan kain geringsing mulai muncul di

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 42, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Hal ini berhubungan dengan konsentrasi hormon auksin, sitokinin dan giberilin dalam 25% air kelapa yang diduga sudah cukup efektif untuk memacu dan meningkatkan

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa guru mengevaluasi siswa dengan cara siswa mengkoreksi dengan sesama pasangannya sebanyak 11-20 kali terbukti dengan banyaknya responden

Dengan memvariasi lama sintering pada pemanasan sampel berdampak pada jumlan ion Ni 2+ yang terdoping makin meningkat, didapatkan hasil bahwa semakin lama sintering,

Penekanan orientasi pasar terhadap daya saing berdasarkan pada pengidentifikasian kebutuhan pelanggan sehingga setiap perusahaan dituntut untuk dapat menjawab

Demikian pernyataan ini dibuat dengan penuh kesadaran, dan saya sanggup menerima segala konsekuensi hukum maupun administratif apabila ternyata pernyataan saya ini terbukti tidak

An cylostoma duodenal e dan Nector amer ican us (hookworm, cacing tambang) Larva infektif menembus kulit yang utuh, masuk sirkulasi, dan terbawa ke  paru; setelah matang, larva di