• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku dan Proses Mencerdaskan Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buku dan Proses Mencerdaskan Bangsa"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Buku dan Proses Mencerdaskan Bangsa

Oleh

MAMAN SURYAMAN

Beberapa bulan terakhir ini, secara rutin dilaporkan oleh berbagai media massa cetak dan elektronik tentang tanggapan publik terhadap buku pelajaran. Beberapa hal yang disorot adalah tentang kuota buku, kuota penerbit, harga buku, dan penetapan masa pakai buku. Salah satu pernyataan yang mengemuka adalah peraturan tentang buku pelajaran hendaknya mengatur kuota pemasukan buku dari para penerbit ke sekolah. Tanpa kuota, para penerbit akan

berupaya keras merebut hati para kepala sekolah dengan sejumlah kompensasi. Oleh karena itu, yang terpenting adalah bagaimana mengembangkan buku yang berkualitas dengan harga murah.

Sementara itu, muncul pula keraguan akan terpecahkannya praktik bisnis buku di sekolah sepanjang regulasi buku tidak segera disahkan. Akibatnya, praktik gonta-ganti buku terus berlanjut. Di pihak lain, tanpa pergantian buku setiap tahun akan menimbulkan kemandekan transformasi dinamika ilmu pengetahuan. Masalah lain adalah kuota penerbit yang hanya terpusat di Jawa. Diperlukan pula pemikiran agar penerbit di luar Jawa berdaya.

Regulasi ulang

Berawal dari reformasi di negeri ini, masalah perbukuan juga menjadi bagian yang harus diregulasi ulang. Buku-buku pelajaran selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah dalam bentuk buku wajib. Di pihak lain, swasta juga diberi kewenangan untuk mengadakan buku yang bersifat suplemen.

(2)

Yang terjadi di lapangan adalah munculnya dualisme penggunaan buku pelajaran.

Sekolah-sekolah di Indonesia secara formal harus menggunakan buku wajib. Namun, pada praktiknya, penerbit swasta memasukkan buku-buku suplemen yang statusnya justru menjadi buku wajib. Akibatnya, buku wajib dari pemerintah tidak digunakan. Belum lagi, penerbit swasta juga menyediakan lembar kerja siswa (LKS) sehingga ada tiga perangkat yang harus dimiliki siswa, yakni buku pelajaran wajib, suplemen, dan LKS. Orang tua dari seluruh kalangan pun harus mengeluarkan dana besar untuk buku pelajaran.

Dari sinilah awal mula praktik bisnis buku berkembang. Para penerbit berlomba-lomba memikat para birokrat sekolah, terutama kepala dinas, kepala sekolah, dan guru dengan berbagai

kompensasi, seperti uang diskon (diskon tidak pernah dinikmati siswa), perangkat keras, dan lunak untuk sekolah. Pemandangan ini akan tampak pada awal tahun ajaran, seperti saat ini.

Kebijakan mekanisme pengadaan buku yang diserahkan kepada swasta merupakan tuntutan publik yang kemudian dikaji pemerintah. Pertama, agar tidak terjadi dualisme buku pelajaran di sekolah. Kedua, anggaran untuk buku pelajaran yang tadinya tidak termanfaatkan oleh siswa karena lebih memilih buku suplemen (ini disebabkan "tekanan" penerbit agar bukunya dijadikan buku wajib sehingga buku gratis dari pemerintah tidak digunakan) dikerahkan untuk membeli buku-buku yang diterbitkan oleh swasta. Hal ini menggambarkan bahwa tidak semua siswa harus membeli buku pelajaran, terutama siswa dari kalangan ekonomi lemah.

Ketiga, penyerahan kewenangan pengadaan buku kepada swasta tidak serta merta

membebaskan swasta dari kontrol. Buku yang diterbitkan swasta harus melalui standarisasi. Keempat, mekanisme pembelian buku terstandar diserahkan kepada sekolah berdasarkan data-data sekolah, terutama dari segi ekonomi dan geografis, melalui tim pemilihan buku, seperti guru, kepala sekolah, komite sekolah, pakar pendidikan setempat dalam bentuk block

grand .

Proses pembelian dilakukan melalui tender di masing-masing daerah.

Penyerahan sebagian mekanisme kepada pasar tidak pula dengan serta merta kuota penerbit yang dapat tender hanya penerbit kuat. Ada mekanisme untuk mengontrolnya, yakni tim pemilihan buku di daerah, dengan kriteria buku-buku yang telah terstandar dipilih berdasarkan kesesuaian buku untuk daerah tersebut, terutama dari konteks sosial budaya; kesesuaian ini dengan sendirinya berimplikasi kepada kesesuaian buku dengan program sekolah

masing-masing, khususnya dalam pengembangan potensi lokal yang berdimensi nasional dan global.

(3)

Dalam kaitannya dengan kuota penerbit yang terpusat di Jawa, pemerintah melalui Pusat Perbukuan Depdiknas juga melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada para guru di seluruh Indonesia untuk menjadi penulis buku pelajaran, para pengusaha daerah yang berminat dalam dunia penerbitan buku pelajaran, para kepala dinas dan kepala sekolah untuk memotivasi dan menjadi mediator para guru menulis, kalangan media massa cetak maupun elektronik untuk menjadi motivator dan pengontrol para penulis dan penggunaan buku pelajaran.

Sementara itu, peluang KKN di dalam pengadaan buku pelajaran di daerah semakin sempit ruang geraknya. Sebagai bukti, media massa cukup intensif memantau para pelaku pemilihan buku, seperti pengadaan buku di beberapa daerah mendapat sorotan publik karena dianggap ada penyimpangan.

Melalui mekanisme yang semakin membaik, apalagi dengan hampir diterbitkannya Peraturan Presiden tentang mekanisme pengadaan buku pelajaran, problematika buku pelajaran akan semakin terpecahkan. Keinginan dan kekhawatiran publik tiap tahun ganti buku, terwadahi dengan Perpres yang mengatur masa pakai buku. Walaupun hal ini dikhawatirkan juga oleh beberapa kalangan. Namun, kekhawatiran itu dapat divalidasi dengan standarisasi buku yang memungkinkan selama lima tahun itu dinamika keilmuan, perubahan sosial budaya, peta geografis, serta kebutuhan siswa tidak terhenti. Misalnya, secara eksplisit buku pelajaran pengetahuan sosial akan berisi informasi jumlah provinsi di Indonesia yang hanya berlaku sepanjang tidak ada perubahan.

Mata pelajaran bahasa Indonesia, misalnya, tidak lagi hanya berisi bahan bacaan serta latihan, tetapi secara memadai disusun pula materi keilmuan yang memungkinkan siswa dapat

membaca secara efektif. Siswa tidak lagi disuguhi pelajaran membaca yang identik dengan menjawab pertanyaan. Namun, betul-betul dilatih menjadi seorang pembaca yang andal.

Dalam bidang sains, misalnya, siswa tidak hanya diberi pengetahuan tentang alam, melainkan juga tentang bagaimana cara-cara menemukan sesuatu yang dekat dengan dunianya. Melalui eksperimen, siswa akan membuktikan fenomena-fenomena alam. Misalnya, siswa dikondisikan untuk membuktikan sendiri mengapa bunga yang dipotong tangkainya bisa tetap segar di dalam vas yang berisi air, apakah ada pengaruh selain air yang membuat bunga tetap segar, atau apakah cara pemotongan ranting dapat memengaruhi kesegarannya? Bahkan, akan muncul pula pengkondisian tentang hal-hal yang perlu dipertimbangkan seperti jangan

(4)

mengintimidasi subjek eksperimen. Pola demikian secara efektif membangun paradigma berpikir atas dasar kesadaran. Output yang akan dilahirkan adalah orang-orang cerdas yang bijaksana, bukan orang-orang cerdas yang suka mencuri.

Mutu buku

Paparan di atas memetakan bahwa persoalan buku pelajaran sekolah yang sangat substansial adalah masalah mutu buku. Sepanjang mutu buku terabaikan, manfaat atas sorotan tata niaga buku tidak akan berkontribusi secara signifikan terhadap pencerdasan anak bangsa. Justru yang sering tidak terlindungi atas problematika buku adalah perlindungan publik atas perolehan buku yang berkualitas. Buku-buku pelajaran yang dikonsumsi siswa seringkali

"menjerumuskan" mereka kepada suatu kondisi yang merugikan.

Buku pelajaran yang secara teoritis dipandang sebagai salah satu perangkat pembelajaran yang sangat penting dan sangat bermakna dalam memacu, memajukan, mencerdaskan, dan menyejahterakan bangsa, malahan berbanding terbalik dengan yang diperoleh siswa. Dalam bidang bahasa Indonesia, misalnya, sering disajikan meteri yang bertentangan dengan moral. Cerita "Si Kancil Anak Cerdas, Suka Mencuri Mentimun" tanpa disadari telah mengadekuasi bawah sadar siswa kita memang harus belajar agar cerdas. Namun, kecerdasannya menjadi bumerang karena hanya untuk korupsi.

Saya kira betapa banyak orang cerdas di Indonesia. Bahkan, jika orang-orang Indonesia

sekolah di universitas-universitas besar di Eropa dan Amerika, banyak yang dapat meraih cum-l aude.

Tapi mengapa Indonesia tidak dapat melakukan percepatan dalam membangun peradaban dan kemajuan bangsa?

Dalam bidang matematika, misalnya, buku-buku pelajaran tidak pernah membangun kesadaran bahwa pengurangan bilangan 10 oleh 2, berjumlah 8. Akan tetapi, bilangan sisa 8 bernilai sosial yang amat tinggi bagi kehidupan bangsa. Bilangan 2 sebagai pengurang pada hakikatnya

(5)

Sebagai contoh, betapa respeknya rakyat Indonesia untuk segera membantu beban derita masyarakat Aceh dan Sumatra Utara akibat bencana tsunami. Alangkah indahnya, jika para pengelola bantuan juga mampu mengemban amanat secara efektif; tidak tergoda untuk "memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan". Inilah pentingnya buku pelajaran yang mengajari siswa untuk secara sungguh-sungguh menjadi orang cerdas yang beradab. Bukan seperti selorohan orang-orang bahwa "Buku matematika telah mengajari anak untuk menyukai menambah, mengurangi, dan mengali, tetapi sangat membenci untuk membagi".

Standardisasi merupakan upaya perlindungan terhadap publik atas penggunaan buku pelajaran yang bermutu rendah, baik dari segi isi, moral, maupun pencerdasan bangsa. Pada

kenyataannya, sebagian besar buku pelajaran yang beredar selama ini masih jauh dari mutu yang memadai. Bahkan, banyak buku pelajaran yang kontraproduktif dengan hakikat buku pelajaran sebagai salah satu perangkat pembelajaran yang sangat penting dan sangat bermakna dalam memacu, memajukan, mencerdaskan, dan menyejahterakan.

Buku pelajaran yang bermutu rendah jelas tidak akan dapat dijadikan tempat menyimpan dan menyebarluaskan khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan seni yang memadai. A palagi menjadi jendela informasi dunia.

Tanpa standardisasi, publik pengguna buku pelajaran tidak akan terlindungi dari buku-buku bermutu rendah. Dampak jangka panjang, bangsa ini tidak akan mampu membangun masyarakat yang cerdas dan beradab. Akibat lanjutannya adalah bangsa ini jelas tak akan mampu membangun peradaban dirinya maupun dunia.

Kita lihat betapa rapuhnya tatanan kehidupan masyarakat kita. Ketika menghadapi bencana di depan mata, masyarakat kita bahu-membahu melakukan solidaritas. Pada saat bersamaan juga rakus untuk mengeruk kekayaan negara, dengan membabat hutan, korupsi, dan sebagainya. Y ang lebih parah lagi kita cepat lupa dengan bencana itu. Seolah-olah bencana itu hanya saat alam tidak bersahabat dengan kita. Padahal, kemiskinan, pengangguran, kebakaran hutan, serta penyakit bertebaran.

Keraguan dan kekhawatiran publik atas buku pelajaran harus terus dibangun untuk mengontrol mekanisme pengadaan buku serta kualitas buku. Inilah demokratisasi. Demokratisasi bukanlah sesuatu yang boleh dan serba sah. Demokratisasi adalah semakin tepatnya pranata-pranata untuk membangun segi-segi kemanusiaan manusia. Ketepatan ini bergantung kepada

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang dicapai di dalam analisis dan perancangan ini adalah menghasilkan sebuah sistem basis data yang terintegrasi antara bagian operasional dan staff di

Dengan mengetahui apakah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur merefleksikan kualitas

Setelah seluruh sampel telah di sintesa dengan metode mechanical alloying, dilakukan pengujian XRD yang bertujuan untuk mengetahui fasa yang terbentuk dari

[r]

Kejelasan Sasaran Anggaran terha- dap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) (4) Pengaruh Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerahterhadap Akuntabilitas Ki-

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini dengan judul “ Pengaruh

Statement  ); Fraudulent statement  meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan

Arah Barat dari makam Buyut Dukun terdapat makam istrinya yang tidak diketahui secara jelas identitasnya, dengan dilengkapi nisan bentuk pipih dan jirat bahan batu-batu alam.. Makam