• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 5. Larva P. maxima stadia bentuk-d diantara telur-telur, ditemukan pertama kali antara jam setelah menetas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 5. Larva P. maxima stadia bentuk-d diantara telur-telur, ditemukan pertama kali antara jam setelah menetas."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Hasil dan Pembahasan

Perkembangan Larva

Pengamatan terhadap perkembangan larva P. maxima menunjukkan, bahwa akhir perkembangan embriogenesis yaitu stadia trokofore terjadi sekitar 18–20 jam setelah menetas. Pada saat itulah dimulainya perkembangan larva veliger atau bentuk-D dan ditemukan di antara telur-telur (Gambar 5). Sekitar 22 jam setelah menetas ditemukan larva yang bagian lambungnya sudah berwarna, sehingga diduga waktu itu organ pencernaan sudah ada dan larva pertama kali makan. Larva mulai makan ketika berumur 22–24 jam setelah menetas. Hasil penelitian yang agak berbeda dikemukakan Minaur (1969), stadia awal larva P. maxima (bentuk-D) dijumpai setelah 24 jam, larva mempunyai cangkang prodissocanch I dengan ukuran kira-kira 75 x 70 μm (panjang x tinggi). Cangkang larva masih transparan, mempunyai apical flagella dan velum, pada umur 48 jam telah terbentuk gigi engsel, perut dan otot retraktor.

Pada hari ke-5 umbo mulai berkembang, sehingga disebut stadia umbo awal. Perkembangan larva dari stadia bentuk-D sampai umbo akhir (pediveliger) berlangsung secara bertahap. Stadia umbo berakhir pada umur 20 hari, selanjutnya memasuki tahap stadia plantigrade. Tahapan perkembangan larva P. maxima didiskripsikan dalam Tabel 2 dan Gambar 6ab.

Gambar 5. Larva P. maxima stadia bentuk-D diantara telur-telur, ditemukan pertama kali antara 18–20 jam setelah menetas.

bentuk-D

(2)

Tabel 2. Diskripsi tahapan perkembangan larva sampai spat P. maxima

Umur Stadia Keterangan

18–20 jam 22 jam 24 jam 28 jam 30–32 jam 5–7 hari 10 hari 12–14 hari 16–17 hari 18–20 hari 20–22 hari 25 hari Veliger (bentuk-D) Bentuk−D Bentuk−D Bentuk−D Bentuk−D Umbo awal Umbo Umbo (middle umbo) Eye spot Umbo akhir (Pediveliger) Plantigrade Spat

Awal larva berbentuk huruf D, tubuhnya tertutup oleh sepasang cangkang tipis-transparan, sehingga nampak jaringan/organ berwarna abu-abu dan banyak globul-globul kecil.Apical flagellum, velum, otot retraktor kelihatan jelas dan dapat dibedakan. Ukuran lebar 78 μm (AP); tinggi 70 μm (DV)

Warna lambung pertama kali dapat diobservasi Ukuran lebar (AP) x tinggi (DV) : 80 μm x 74 μm Terbentuk 4 gigi engsel pada bagian tengah dorsal Ukuran (AP x DV) : 84 x 78 μm

Terbentuk flagella belum permanent

Umbo mulai berkembang. Ukuran D6: 106 x 93 μm Tonjolan umbo berkembang melewati garis lurus engsel. Ukuran 117 x 105 μm

Umbo nampak menonjol sekitar 8-10 μm di bawah garis engsel, bergerak dengan menggunakan velum. Lembaran-lembaran mantel berkembang. Sepasang cangkang sama bentuknya.Ukuran D12: 135 x 130 μm Ukuran larva D14 : 165 x 155 μm

Terdapat bintik hitam (Eye spot) pada bagian bawah primordial kaki. Ukuran larva D16 : 210 x 200 μm. Kaki makin berkembang.Biasanya mulai mencari tempat untuk menempel dan menetap. Berenang dan gerakan berputar dilakukan dengan velum dan kaki. Ukuran larva D18 : 220 x 210 μm.

Fase transisi atau akhir kehidupan planktonis, ditandai dengan berkembangnya lapisan cangkang baru di sepanjang periphery dan mulai memproduksi benang-benang bisus untuk menempelkan diri pada substrat. Ukuran larva D20 : 246 x 225 μm.

Garis engsel, ujung bawah anterior dan posterior berkembang dan lubang bisus berbentuk spesifik. Bentuknya sudah menyerupai tiram mutiara dewasa, hanya garis-garis pertumbuhannya masih terlihat jelas dan cangkang masih tipis. Ukuran: 330 x 300 μm.

(3)

Gambar 6a. Tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade A B C D E F 80 x 74 µm 106 x 93 µm 135 x 130 µm 210 x 200 µm 220 x 210 µm 246 x 225 µm Eye-spot

(4)

Gambar 6b. Sketsa tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B) Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir (pediveliger); (F) Plantigrade

Penemuan yang hampir sama disampaikan Tanaka dan Kumeta (1981), larva P. maxima stadia bentuk-D terjadi pada umur 20 jam. Alagarswami et al. (1989) juga menemukan hal yang sama pada larva P. margaritifera yaitu setelah 20 jam larva mencapai stadia awal bentuk-D (D-shape) veliger, dengan ukuran panjang antero-posterior (AP) 75 μm dan ukuran dorso-ventral (DV) 60 µm. Velar yang belum sempurna ditemukan pada beberapa individu, velum tersembul bentuknya tunggal seperti lidah. Perkembangan stadia veliger ditandai dengan adanya formasi

A B C D F E Silia Velum Umbo Kaki Eye-spot Kaki Globula

Perut & saluran pencernaan Perut & saluran

pencernaan Umbo Garis pertumbuhan Mantel Viceral cavity Mantel Mantel Mulut

(5)

garis engsel lurus, mantel, silia-silia pada velum dan hilangnya apical flagellum, pita-pita silia pada bagian luar lubang mulut (preoral) dan setelah lubang mulut (postoral).

Perkembangan umbo terjadi melalui tiga tahap yaitu stadia umbo awal, umbo tengah (middle umbo) dan umbo akhir. Stadia umbo awal sudah dapat diamati mulai hari ke-5, selanjutnya pada hari ke-10 tonjolan umbo terus berkembang hingga melewati garis lurus engsel, bentuk larva agak membulat, ukuran 117 x 105 μm. Stadia umbo tengah dimulai pada hari ke-12 sampai hari ke-15, tonjolan umbo semakin berkembang hingga melewati garis engsel. Diantara stadia umbo tengah dan umbo akhir atau pada hari ke-16 ditemukan adanya bintik hitam (spot) pada bagian tengah larva dan biasa disebut “stadia eye-spot”, ukuran 210 x 200 μm dan organ ctenidial berkembang. Pada larva P. fucata stadia eye-spot bekembang pada hari ke-15 dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al. 1987). Pernyataan yang berbeda disampaikan Minaur (1969); Tanaka dan Kumeta (1981) dalam penelitiannya tidak menjumpai adanya stadia eye-spot pada larva P. maxima dan penelitian Minaur (1969) hanya sampai stadia pediveliger umur 16 hari karena semua larvanya mati. Stadia umbo akhir atau stadia pediveliger terjadi mulai hari ke 18–20, ditandai dengan berkembangnya organ kaki yang berfungsi untuk bergerak-berenang dan mulai aktif mencari tempat untuk menempel.

Plantigrade merupakan stadia akhir kehidupan planktonis larva. Stadia ini dijumpai pada hari ke 20–22, ditandai dengan pertumbuhan awal cangkang di sepanjang bagian tepi ventral, bentuknya tipis, transparan, tersusun oleh selaput tipis conchiolin, sehingga kelihatan membentuk garis-garis pertumbuhan cangkang. Pada saat yang sama kelenjar bisus akan mensekresikan benang-benang bisus untuk menempel. Organ lain yang berkembang adalah labial palp dan insang (CMFRI 1991). Larva plantigrade akan bermetamorfose menjadi spat yang hidup sebagai hewan sesil bentik (Alagarswami at al. 1987).

Aktivitas Makan

Pengamatan terhadap aktivitas makan larva P. maxima menunjukkan, bahwa aktivitas makan berlangsung sepanjang hari, dan mencapai puncak pada waktu pagi hari pukul 8.00 dan sore hari sekitar pukul 18.00(Gambar 7).

(6)

0 100 200 300 400 500 600 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 J a m Ju ml ah P ak an ( se l/m l) Larva D1 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 J a m Ju m la h P aka n ( se l/m l) Larva D6 Larva D14 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 J a m Ju m lah P ak an ( se l/m l) Larva D20 0 500 1000 1500 2000 2500 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 J a m Ju ml ah P ak an ( se l/m l)

Gambar 7. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) larva P. maxima pada berbagai tingkatan stadia.

Kecenderungan larva untuk makan lebih banyak pada waktu pagi dan sore hari, diduga berkaitan dengan aktivitas metabolisme larva. Pada waktu pagi (pukul 8.00–10.00) dan sore hari (pukul 14.00–18.00) suhu air di dalam tempat pemeliharaan relatif konstan yaitu antara 27,5–28,5 oC, tetapi pada waktu siang hari pukul 12.00–14.00 suhu lebih berfluktuasi dan dapat mencapai 29–30 oC, sebaliknya malam hari dari pukul 24.00–4.00 suhu air dalam bak turun sampai sekitar 25,5–26,5

oC. Menurut Hisada and Komatsu (1985); Shokita et al. (1991) suhu air sangat

berpengaruh dalam pengendalian proses metabolisme. Pada suhu 24–30 oC tiram mutiara P. margaritifera aktif melakukan metabolisme, tetapi pada suhu 10–20 oC tidak aktif lagi. Kisaran suhu pagi (pukul 8.00) dan sore hari (pukul 18.00) diduga secara alami merupakan suhu optimum bagi kehidupan larva P. maxima sehingga laju metabolisme menjadi meningkat, pengaruh yang terlihat yaitu larva lebih banyak mengkonsumsi pakan di pagi dan sore hari dibanding siang hari. Sebaliknya pada waktu malam hari (pukul 24.00–4.00) suhu air relatif rendah jika dikaitkan dengan aktivitas metabolisme, sehingga tingkat konsumsi pakan menurun dan persentasenya paling rendah jika dibandingkan dengan waktu makan yang lain. Ghiretti (1966) juga menyampaikan bahwa laju metabolisme moluska umumya berkaitan dengan suhu. Bahkan tiram mutiara P. martensii tidak mau makan manakala suhu air meningkat

(7)

lebih tinggi dari 13 oC (Kobayashi and Watanabe 1959) dan pada tiram Crassostrea

virginica serta kerang Mytilus edulis aktivitas makan akan berhenti saat suhu air turun sampai 5 oC (Wilbur 1964). Selama pemeliharaan larva P. margaritifera, suhu air di dalam bak antara 26–28 oC (Alagarswami et al. 1989; Southgate and Ito 1998). Hasil pengamatan terhadap aktivitas makan spat P. maxima menunjukkan bahwa spat mengkonsumsi makanan sepanjang hari, dengan puncak konsumsi pakan pada waktu pagi hari pukul 8.00–10.00 dan sore hari dari pukul 16.00–20.00 (Gambar 8; Lampiran 3).

Pola aktivitas makan spat D25–D33 relatif sama dengan larva, tetapi pada D35 menunjukkan pola makan yang berbeda. Spat D35 lebih banyak mengkonsumsi pakan pada sore hari antara pukul 16.00–20.00. Diduga, hal ini berkaitan dengan intensitas cahaya dan suhu. Spat lebih menyukai kondisi lingkungan dengan intensitas cahaya rendah dan pada sore hari suhu di dalam ruangan dapat mencapai kondisi optimum untuk aktivitas makan.

D25 0 200 400 600 800 1000 1200 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 J a m Ju m la h P ak an ( se l/m l) D30 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 J a m Ju m la h P ak an ( se l/m l) D35 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 2 4 J a m Ju ml ah P ak an ( se l/m l)

Gambar. 8. Jumlah pakan yang dikonsumsi (sel/ml) spat tiram mutiara P. maxima pada berbagai tingkat umur.

Walaupun secara umum puncak konsumsi pakan di sore hari (pukul 18.00) lebih rendah dibanding pagi hari (pukul 8.00–10.00), namun dilihat dari jumlah

(8)

pakan yang dikonsumsi masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan waktu makan sepanjang malam dan siang hari. Peningkatan suhu di sore hari terjadi akibat adanya akumulasi panas dari kondisi ruangan yang tertutup rapat sehingga sirkulasi udara relatif kecil. Dugaan ini diperkuat oleh hasil pengamatan suhu harian, dimana suhu rata-rata pada pukul pukul 18.00 antara 28–29 oC. Menurut Kestomon and Baras (2001) pakan yang dikonsumsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu, setelah mencapai puncak (optimum) kemudian mulai menurun, bahkan penurunan pakan dapat terjadi secara dramatis utamanya pada suhu supra-optimal. Laju metabolisme terus menunjukkan peningkatan sampai pada batas suhu upper-thermal untuk pertumbuhan. Jelaslah bahwa pada suhu tinggi dapat menekan nafsu makan, sedangkan pada suhu optimum tingkat konsumsi dan efisiensi konversi pakan dapat maksimum.

Tingkat Konsumsi Pakan

Berdasarkan data tingkat konsumsi pakan harian, diketahui bahwa larva menunjukkan pola konsumsi makan yang berfluktuasi. Konsumsi pakan menurun pada hari ke-5 sampai 7, selanjutnya meningkat dan menurun kembali pada hari ke-5 sampai hari ke-16. Pakan monospesies I. galbana mulai diberikan pada awal stadia bentuk-D (D1) hingga hari ke-13. Sebagai alternatif atau pakan pendamping dapat diberi pakan P. lutheri mulai hari ke-5 atau lebih baik hari ke-8. Pakan multi spesies yaitu campuran I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %) mulai diberikan pada hari ke-14 (Dke-14) (Gambar 9) (Lampiran 4). 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Hari ke K ons um si P ak an (s el /I nd /h r) I. galbana P. lutheri I. galbana+P. lutheri

Gambar 9. Tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima dari stadia veliger (D1) sampai stadia plantigrade (D20).

(9)

Dilihat dari tingkat konsumsi pakan harian larva P. maxima ada kecenderungan semakin besar ukuran larva maka konsumsi pakan makin meningkat. Peningkatan konsumsi pakan harian yang cukup tinggi terjadi dari stadia veliger bentuk-D (D1) sampai stadia umbo akhir (D14), peningkatan sebesar 14.53 % terjadi pada stadia veliger (66,53 %) ke stadia umbo awal (81,09 %) dan peningkatan yang lebih tinggi hingga 18,38 % terjadi dari stadia umbo awal sampai stadia umbo akhir (99,47 %). Namun sebaliknya, mulai stadia pediveliger (D20) konsumsi pakan mengalami penurunan sampai 6,81 %. Tingkat konsumsi pakan yang relatif tinggi pada stadia awal larva bentuk-D, diduga berkaitan dengan metamorfose dan transisi pakan. Metamorfose, utamanya dari stadia trokofore menjadi larva stadia bentuk-D (veliger) dan pada stadia ini untuk pertama kali membutuhkan asupan pakan dari luar (eksogenous), karena cadangan makanan dari dalam (endogenous) sudah habis, sehingga membutuhkan energi yang sangat besar dan ketersediaan energi hanya dapat diperoleh dari pakan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Anwar (2005) bahwa larva P. maxima stadia D-shape sangat tergantung pada nutrisi yang tersedia dalam kuning telur, utamanya terjadi selama periode nutrisi endogenous, sampai terbentuk organ pencernaan secara lengkap sehingga mampu mencerna makanan dari luar (eksogenous). Tetapi ada pernyataan Anwar (2005) yang berbeda yaitu larva baru memanfaatkan makanan dari luar menjelang hari ke 3 setelah menetas dan pada saat itulah terjadi perubahan makanan dari kuning telur beralih ke sumber nutrisi dari luar tubuh.

Menurut Nybakken (1988) salah satu stragi larva planktotrofik adalah menghasilkan telur dalam jumlah banyak dan berukuran kecil. Telur-telur tersebut cepat menetas menjadi larva dan berenang bebas sebagai plankton. Oleh karena di dalam telur hanya tersedia sedikit kuning telur, maka nutrisi larva sangat tergantung pada pakan plankton di perairan. Telur bivalvia planktotrofik mempunyai cadangan lemak, protein dan glikogen yang menjadi sumber energi pada stadia awal perkembangan larva, saat cadangan makanan ini habis maka larva mulai membutuhkan makanan dari dari luar (Gosling 2004). Hasil kajian Alagarswami et al. (1989) pada P. margaritifera dan Gosling (2004) meneliti Crassostrea virginica, keduanya menemukan pencernaan larva sudah terbentuk pada awal stadia veliger atau larva bentuk-D saat berumur 24 jam. Untuk mencapai perkembangan dan

(10)

pertumbuhan optimum, larva veliger planktotrofik sangat tergantung pada energi bersih yang berasal dari pakan fitoplankton (Bayne 1983).

Pada kajian ini pakan pertama kali diberikan umur 18 jam dan setelah 6 jam kemudian dilakukan pengambilan sampel untuk mengetahui jumlah sisa pakan, ternyata jumlahnya sudah berkurang. Jumlah pakan jenis I. galbana yang tersisa sekitar 34 %, P. lutheri 99,82 % dan kombinasi jenis pakan I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %) masih 97,25 %. Berkurangnya jumlah pakan I. galbana yang diberikan diduga dimakan oleh larva, karena setiap kali sebelum melakukan penghitungan sisa jumlah pakan, terlebih dahulu diamati kondisi fitoplankton yang masih bergerak aktif atau hidup dan baru dimatikan saat akan dihitung. Diketahui bahwa persentase pakan P. lutheri yang tersisa paling tinggi, diduga pakan tidak dimakan karena ukurannya lebih besar dari bukaan mulut larva. Sedangkan berkurangnya jumlah pakan campuran diduga karena yang dikonsumsi hanya I. galbana. Sebagai jastifikasi juga dilakukan pengambilan sampel di dasar bak, teryata tidak ditemukan ke dua jenis fitoplankton tersebut, jadi dipastikan berkurangnya jumlah fitoplankton bukan karena mati. Merujuk pernyataan Alagarswami et al. (1987); CMFRI (1991), sebagian besar embrio P. fucata mencapai stadia bentuk-D (straight-hinge) setelah 20 jam dan larva mulai diberi makan pada stadia ini. Pada stadia veliger telah berkembang organ mantel, velum dan mulut (oral). Nell dan Holliday (1988) memberikan pakan pada larva Saccostrea commercialis dan Crassostrea gigas pada hari pertama stadia bentuk-D (straight-hinge). Hal yang sama disampaikan BBL (2001); Winanto (2004) larva P. maxima pertama kali diberi pakan jenis I. galbana atau P. lutheri pada umur 18–20 jam atau pada awal stadia bentuk-D

Tingkat konsumsi pakan larva yang diamati selama pemeliharaan menunjukkan pola yang berfluktuasi. Penurunan konsumsi pakan terjadi diduga karena larva mengalami metamorfose. Pada umur 5–7 hari larva mengalami metamorfose dari stadia bentuk-D menjadi stadia umbo awal, pada stadia tersebut terjadi penonjolan umbo pada bagian tengah dorsal cangkang kiri dan kanan. Sedangkan pada umur 15–16 hari terbentuk primordia kaki dan larva memasuki tahap stadia umbo akhir, sehingga kondisi kesehatannya terganggu dan berdampak pada berkurangnya nafsu makan. Menurut Gosling (2004) tingkat konsumsi pakan larva bivalvia akan menurun setelah perkembangan cangkang dan velum. Selanjutnya

(11)

Alagarswami et al. (1989); CFMRI (1991); Gosling (2004) menerangkan pada hari ke-6 sampai 7 umbo mulai berkembang dan pada hari ke-15 sampai 16 mulai terbentuk eye-spot, serta berkembangnya organ ctenidial.

Mencermati data tingkat konsumsi pakan harian, maka dapat dijadikan sebagai pedoman kapan larva P. maxima diberi pakan monospesies dan multispesies. Pakan monospesies I. galbana diberikan mulai dari stadia awal perkembangan larva bentuk-D (D1) sampai umur 13–14 hari. Sebagai alternatif atau pakan pendamping dan diberikan secara bergantian dapat digunakan P. lutheri mulai hari ke-5 atau lebih baik lagi mulai hari ke-8. Pakan multi spesies yaitu campuran I. galbana + P. lutheri mulai diberikan pada umur 14 hari (D14). Waktu pemberian pakan yang berbeda dilakukan (Baker 1994) pada larva C. virginica yaitu pakan I. galbana diberikan sampai satu minggu (7 hari) setelah itu larva diberi pakan campuran I. galbana dan diatom Thalassiosira weissflogii. Selama masa pemeliharaan larva hingga menjadi spat P. margaritifera diberikan pakan dua jenis flagelata I. galbana dan P. lutheri yang berasal dari kultur murni, pemberian pakan dilakukan secara bergantian bebas (Alagarswami et al. 1989). Mikroalga merupakan sumber makanan utama bagi bivalvia termasuk tiram mutiara (Knauer and Southgate 1999). Tidak seperti larva ikan dan krustasea, bivalvia makan mikroalga secara langsung. Konsekuensinya, perkembangan dan pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan alami yaitu fitoplankton yang sesuai (Robert and Trintignac 1997).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa spat umur 25–27 hari lebih banyak mengkonsumsi pakan campuran I. galbana dan P. lutheri. Setelah hari ke-28 hingga hari ke-35, spat cenderung banyak mengkonsumsi pakan campuran I. galbana, P. lutheri dan T. Tetrathele (Gambar 10; Lampiran 5).

Berbeda dengan pola konsumsi makan larva, spat menunjukkan peningkatan konsumsi makan mulai umur 28 hari. Diduga spat membutuhkan banyak energi untuk memproduksi benang-benang bisus, sehingga tingkat konsumsi pakan cenderung tetus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Memproduksi benang bisus merupakan suatu konsekuensi dari kehidupan bentik yang harus menetap dengan cara melekatkan diri pada substrat. Alokasi energi yang direfleksikan dengan tingkat konsumsi makanan, menunjukkan bahwa sebagian besar energi digunakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, salah satunya dengan cara

(12)

memproduksi benang-benang bisus. Faktor lingkungan termasuk pakan, berpengaruh terhadap kelangsungan komunitas dan populasi tiram serta keberhasilannya menemukan tempat untuk menempel (Creekman 1977).

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11

Umur (hari ke)

K ons um si P aka n ( se l/ Ind/ ha ri ) I. galbana + T tetrathele P. lutheri + T. Tetrathele

I. galbana + P. lutheri + T. tetrathele

28 29 30 31 32 33 34 35

27 26 25

Gambar 10. Tingkat konsumsi pakan harian spat P. maxima dari umur 25–35 hari.

Hasil studi Devakie dan Ali (2000) pada Crassostrea iredalei menunjukkan bahwa jumlah penempelan spat meningkat seiring dengan meningkatnya densitas pakan sampai 100 x 103 sel/ml, tetapi kemudian menurun dengan terus meningkatnya densitas pakan. Densitas pakan yang tinggi dapat meningkatkan formasi lapisan biofilm yang merupakan stimulan larva menempel hingga menjadi spat (Tritar et al. 1992; Parsons et al. 1993).

Pengamatan Winanto (2000) pada formasi jumlah benang bisus spat P. maxima menunjukkan, bahwa spat memproduksi benang bisus paling banyak pada awal minggu pertama dan pada minggu berikutnya relatif stabil. Pada awal menemukan substrat untuk menempel, spat akan mengalokasikan sebagian besar energinya untuk bertahan menetap dengan cara memproduksi benang bisus sebanyak-banyaknya.

Sintasan dan Laju Pertumbuhan Larva

Hasil percobaan menunjukkan bahwa sintasan larva stadia I tertinggi terjadi pada perlakuan jenis pakan I. galbana dengan densitas 4.000 sel/ml (90,47 %) dan terendah pada perlakuan pakan campuran I. galbana dan P. latheri, densitas 10.000 sel/ml (18,97 %). Sintasan larva stadia II, tertinggi terjadi pada perlakuan jenis pakan

(13)

I. galbana, densitas 7.000 sel/ml (82,28 %), dan terendah pada perlakuan pakan campuran I. galbana dan P. latheri densitas 4.000 sel/ml (31,67 %). Sintasan larva stadia III, tertinggi terjadi pada perlakuan kombinasi jenis I. galbana dan P. latheri densitas 10.000 sel/ml (62,50 %) dan terendah pada perlakuan jenis pakan P. lutheri densitas 4.000 sel/ml BD (12,40 %) (Tabel 3).

Tabel 3. Sintasan (%) larva P. maxima stadia veliger sampai stadia plantigrade (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.

Umur Faktor II Densitas Pakan Hidup (sel/ml)

Faktor I (D) 4.000 (E) 7.000 (F) 10.000 Stadia I (D1–D6) Jenis Pakan : (A) I. galbana (B) P. latheri (C) I. galbana + P. lutheri 90,47 ± 0,76 63,62 ± 0,99 32,34 ± 0,64 78,25 ± 0,78 54,70 ± 0,65 43,15 ± 0,73 56,70 ± 0,65 35,13 ± 0,60 18,97 ± 0,35 Stadia II (D7–D14) (A) I. galbana (B) P. latheri (C) I. galbana + P. lutheri 52,64 ± 0,56 51,93 ± 0,53 31,67 ± 0,88 82,28 ± 0,77 81,52 ± 0,79 71,33 ± 0,71 70,22 ± 0,59 69,55 ± 0,85 58,57 ± 0,71 Stadia III (D15–D20) (A) I. galbana (B) P. latheri (C) I. galbana + P. lutheri 16,07 ± 1,07 12,40 ± 0,93 31,50 ± 0,89 30,48 ± 0,89 27,61 ± 0,90 48,17 ± 1,20 46,92 ± 1,08 44,19 ± 1,27 62,50 ± 0,74

Laju pertumbuhan spesifik larva menunjukkan pola dan hasil yang sama dengan sintasan (Gambar 11; Lampiran 7a).

Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap sintasan dan laju pertumbuhan menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan dan antara stadia, serta interaksi antar perlakuan dan perlakuan dengan stadia. Tetapi uji Tukey pada stadia II menunjukkan bahwa perlakuan pakan I. galbana (A) tidak berbeda nyata lebih besar (P ≥ 0,05) dengan P. lutheri (B) (Lampiran 6; 7bc).

(14)

Stadia I 0 1 2 3 4 5 6 7 4000 7000 10000 Densitas (sel/ml) L aj u pe rt um buha n (% ) I. galbana P. lutheri I. galbana+P. lutheri Stadia II 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 4000 7000 10000 Densitas (sel/ml) L aj u pe rt um buha n (% ) I. galbanaP. lutheri I. galbana+P.lutheri Stadia III 0 1 2 3 4 5 6 7 8 4000 7000 10000 Densitas (sel/ml) L aju pe rt um bu ha n (% ) I. galbana P. lutheri I. galbana+P. lutheri

Gambar 11. Laju pertumbuhan spesifik (%) larva P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.

Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan harian, sintasan dan laju pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan untuk larva P. maxima (Gambar 12) sebagai berikut:

Gambar 12. Jadwal pemberian pakan larva tiram mutiara P. maxima dari umur 1–20 hari (D1–D20).

Sintasan dalam penelitian ini masih lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian Anwar (2005) yaitu pada hari ke-7 sintasan tertinggi (78,67 %) terjadi pada perlakuan kombinasi pakan hidup jenis Tetraselmis chui (10 %) + Chaetoceros

(15)

(20 %) + Pavlova lutheri (30 %) + Isochrysis galbana (40 %). Selanjutnya larva mengalami kematian missal setelah hari ke-7.

Berkaitan dengan kualitas pakan larva, maka telah dipertimbangkan untuk memberikan asupan pakan hidup (fitoplankton) yang mengandung nutrisi tinggi. Spesies fitoplankton yang digunakan dalam penelitian ini telah diseleksi berdasarkan ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva tiram mutiara P. maxima dan terutama profil biokimianya (Brown et al. 1997; Martinez-Fernandez et al. 2006), serta studi nutrisi pada spesies yang masih satu genus seperti Isochrysis dan Pavlova, keduanya diketahui mempunyai kandungan nilai nutrisi super (Delaunay et al. 1993; Thomson et al. 1993; O’Connnor and Heasman 1997; Martinez-Fernandez et al. 2006). Bertepatan dengan ukurannya yang kecil, maka spesies Isochrysis dan Pavlova biasanya digunakan sebagai pakan larva bivalvia (Jeffrey et al. 1990).

Mengingat studi ini merupakan dasar dari percobaan selanjutnya, maka pengaruh perlakuan yang diberikan akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut:

• Stadia I; terlepas dari kandungan nilai nutrisinya, ternyata larva yang diberi perlakuan pakan I. galbana menunjukkan sintasan dan laju pertumbuhan lebih baik jika dibandingkan perlakuan lain. Diduga, pada fase awal pertumbuhan larva, waktu pertama kali membutuhkan asupan pakan dari luar (eksogenous), larva menghendaki tersedianya pakan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran bukaan mulutnya. Larva lebih memilih I. galbana karena ukurannya yang sesuai dengan bukaan mulut dibanding P. lutheri. Jenis flagelata ini mempunyai sedikit silia, gerakannya relatif lambat dan warnanya kontras dengan warna air, sehingga lebih menarik minat larva. Sejumlah studi yang dilakukan Helm and Laing (1987) Southgate et al. (1998); Phatarpekar et al. (2000); Martinez-Fernandez et al. (2006); Rico-Villa et al. (2006); menunjukkan I. galbana (T-Iso) mengandung nilai nutrisi yang tinggi untuk larva P. margaritifera. Menurut Martinez-Fernandez et al. (2006) ukuran flagelata I. galbana 3 x 5 µm atau menurut Chapman and Chapman (1973) ukurannya 3,5–4 μm, sedangkan ukuran Pavlova sp 4 x 8 µm (5–8 µm). I. galbana biasanya digunakan sebagai pakan stadia awal larva, karena mempunyai keunggulan yaitu ukurannya lebih kecil dibanding jenis lain (Phatarpekar et al. 2000). Pemeliharaan larva P. margaritifera yang hanya diberi pakan Monochrysis (=Pavlova) lutheri dilaporkan larva menunjukkan gejala tidak normal (Tanaka et al. 1970). Laporannya yang lain tentang masalah

(16)

penggunaan pakan P. lutheri sebagai pakan larva P. margaritifera yaitu dalam kaitannya dengan kondisi alga yang tidak sehat (morbidity) karena suhu air kultur larva yang relative tinggi, sehingga P. lutheri banyak yang mati sebelum dimakan, akibatnya menurunkan kualitas air pemeliharaan larva. Observasi pada larva Crassostrea gigas yang diberi pakan P. lutheri tidak menunjukkan pengaruh yang negatif (Ponis et al. 2003), tetapi tingkat konsumsinya rendah (Ponis et al. 2003, 2006). Hasil studi Ponis et al. (2006) juga menjelaskan terdapat indikasi bahwa kelas Pavlovaceae tidak cocok untuk pakan larva C. gigas, karena larva menunjukkan pertumbuhan yang tidak baik dan sintasan rendah.

Stadia II; larva menunjukkan preferensi yang tinggi pada jenis pakan I. galbana, namun selisih angka konsumsi kedua jenis pakan I. galbana dan P. lutheri tersebut tidak terlalu besar, sehingga pada stadia ini diperoleh gambaran bahwa larva stadia II menyukai kedua spesies fitoplankton tersebut. Pilihan larva pada jenis pakan yang bervariasi yaitu I. galbana atau P. lutheri juga tercermin dari pengaruhnya yang siknifikan pada sintasan dan laju pertumbuhan. Berarti kedua jenis fitoplankton tersebut selain dapat menyediakan nutrisi juga dapat dicerna oleh larva. Hal ini didukung oleh pernyataan Martines-Fernandez et al. (2004) bahwa jenis mikroalga yang dapat dicerna oleh larva P. sterna hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana. Alagarswami et al. (1989) melakukan pengujian secara partial terhadap dua jenis alga I. galbana dan P. lutheri yang diberikan pada larva P. margaritifera, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa larva yang diberi makan I. galbana pertumbuhannya lebih cepat. Pada hari ke-23, larva yang makan I. galbana ukuran tinggi (DV) mencapai 244,8 μm, sedangkan yang diberi P. lutheri berukuran 202,8 µm.

Stadia III; larva lebih menyukai jenis pakan campuran I. galbana dan P. lutheri. Alagarswami et al. (1989) memelihara larva P. margaritifera sampai menempel dengan memberikan pakan campuran yang terdiri dari I. galbana dan P. lutheri. Tetapi penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, ternyata pakan campuran hanya sesuai diberikan pada larva P. maxima mulai hari ke-14 sampai larva menempel. Larva yang diberi pakan campuran menunjukkan pertumbuhan dan

(17)

sintasan lebih baik jika dibanding pakan monispesies, diduga variasi pakan yang diberikan dapat mengurangi kebosanan pada satu jenis pakan dan nutrisinya juga lebih lengkap.

I. galbana dan P. lutheri sering disebut juga dengan golden-brown flagelata, keduanya mempunyai kandungan lemak tinggi (Martinez-Fernandez et al. 2006). Lemak merupakan sumber energi utama bagi stadia awal kehidupan bivalvia (Gallager et al. 1986; Laing and Millican 1986), termasuk larva tiram mutiara P. margaritifera (Strugnell and Southgate 2003). Sejumlah studi menyebutkan bahwa yang terpenting dari kandungan protein alga adalah dalam asosiasinya dengan kompetensi nutrisi alga, karena faktor tersebut mempengaruhi perkembangan dan sintasan larva. Kandungan protein penting pengaruhnya terhadap nilai nutrisi mikroalga, terutama dalam asosiasinya dengan asam lemak dan karbohidrat, keduanya mempunyai peranan utama dalam mendeterminasi nilai nutrisi dan mempunyai peranan sekundair dalam memodifikasi kandungan nutrisi (Leonardos and Lucas 2000). Laporan yang sama disampaikan Hoffman et al (2004) tentang kualitas mikroalga, merupakan faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan sintasan larva C. gigas, dengan diskripsi membandingkan antara protein dengan lemak dan karbohidrat (Protein : Lemak + Karbohidrat). Hasil penelitian Martinez-Fernandez et al. (2006) menemukan bahwa, pertumbuhan awal larva P. margaritifera menunjukkan korelasi positif nyata dengan tingkat kandungan protein, lemak dan karbohidrat, tetapi larva dewasa menunjukkan korelasi siknifikan hanya dengan kandungan karbohidrat, namun penelitiannya tidak menemukan korelasi yang nyata antara P : L + K dengan pertumbuhan atau sintasan larva P. margaritifera.

Dalam penelitian ini, digunakan formula Walne sebagai media (pupuk) kultur I. galbana dan P. lutheri. Komposisi Walne mengandung mikronutrien yang lebih lengkap jika dibanding media pupuk lain seperti Conway dan Guillard yang biasa digunakan untuk kultur fitplankton. Walne juga mengandung vitamin, sehingga semakin melengkapi kandungan nutrisi fitoplankton yang dikultur. Menurut Jeffrey et al. (1990) vitamin yang terkandung dalam mikroalga juga memberikan kontribusi pada nilai nutrisi yang dikandungnya. Diduga kandungan nutrisi fitoplankton yang digunakan dalam penelitian sudah cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari kecepatan blooming atau pencapaian kepadatan puncak populasi dan lamanya waktu fase stasioner. Puncak blooming keduanya dicapai hari ke-5 dengan lama waktu fase

(18)

stasioner mulai hari ke 5–9. Kepadatan fitoplankton (I. galbana) yang digunakan sebagai pakan mencapai 8–9 juta sel/ml dan P. latheri 10–11 juta sel/ml. Hasil kultur murni yang sama dilakukan BBL (2002) yaitu kepadatan optimum Isochrysis sp. dan Pavlova sp. antara 5–10 juta sel/ml.

Menurut nilai nutrisinya, berbeda spesies mikroalga mempunyai kemampuan mendukung pertumbuhan yang berbeda pada tingkat atau stadia yang bervariasi. I. galbana mengandung PUFAs 20: 5w3 (7,2 mg) dan 22: 6w3 (4,3 mg), kandungan PUFAs sangat penting bagi perkembangan dan pertumbuhan organisme laut dan ini hanya dapat diperoleh dari makan alga. Khususnya PUFAs, merupakan komponen esensial pembentuk membran sel pada semua stadia kehidupan bivalvia moluska (Jeffrey et al. 1990). P. Lutheri juga sumber asam lemak yang baik, kandungan asam lemak seperti SAFA 27 mg, MUFA 8,0 mg, PUFA 72,1 mg, EPA + DHA 43,9 mg (Martinez-Fernandez et al. 2006).

Sintasan dan Laju Pertumbuhan Spat

Sintasan spat tertinggi terdapat pada perlakuan pakan I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %) densitas 15.000 sel/ml (86,53 %) dan terendah pada perlakuan P. lutheri (50 %) + T. tetrathele (50 %) densitas 10.000 sel/ml (46,30 %). Hasil analisis varian dan uji nilai tengah Tukey menunjukkan adanya beda nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan dan interaksinya (Tabel 4; Lampiran 8ab).

Tabel 4. Sintasan (%) spat P. maxima (rata-rata ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup

Faktor II Densitas Pakan Hidup (sel/ml) Faktor I (D) 10.000 (E) 15.000 (F) 20.000

Jenis Pakan :

(A) I. galbana + T. tetrathele 52,17 ± 0,62 69,32 ± 0,82 61,02 ± 0,86 (B) P. lutheri+ T. tetrathele 46,28 ± 0,68 60,09 ± 1,17 53,45 ± 1,51 (C) I. galbana + P. lutheri +

T. tetrathele

65,70 ± 0,75 86,57 ± 0,85 78,22 ± 0,84

Kajian terhadap laju pertumbuhan spesifik spat menunjukkan hasil yang sama dengan sintasan (Gambar 13; Lampiran 9a). Hasil analisis varian dan uji nilai tengah

(19)

Tukey juga menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan dan interaksinya (Lampiran 9bc).

0 5 10 15 20 25 30 10000 15000 20000 Densitas (sel/ml) L aj u pe rt um buha n (% ) Ig + TtPl + Tt Ig + Pl + Tt

Gambar 13. Laju pertumbuhan spesifik (%) spat P. maxima (rata-rata μm ± SD) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup (Ig : Isochrysis galbana, Pl : Pavlova lutheri, Tt : Tetraselmis tetrathele).

Berdasarkan data aktivitas makan, tingkat konsumsi pakan harian, sintasan dan laju pertumbuhan, maka dibuatlah jadwal pemberian pakan spat P. maxima (Gambar 14) sebagai berikut:

Gambar 14. Jadwal pemberian pakan spat tiram mutiara P. maxima dari umur 25–35 hari (D25–D35).

Hasil analisis varian dan uji nilai tengah Tukey yang menunjukkan adanya pengaruh nyata pada interaksi antara jenis dan densitas fitoplankton, mengindikasikan bahwa secara sinergi jenis dan densitas fitoplankton mempengaruhi

(20)

sintasan dan laju pertumbuhan spat. Aplikasi perlakuan jenis (multi spesies) dan densitas pakan hidup pada spat sengaja diberikan mengingat adanya kecenderungan dari stadia akhir larva yang menunjukkan lebih menyukai variasi pakan campuran dibanding pakan monospesies. Mempertimbangkan pula hasil penelitian (Chellam 1983; Winanto 1987; Anwar 2005) tentang analisis isi lambung tiram mutiara yang menemukan berbagai jenis plankton di dalam isi lambung tiram mutiara. Pertimbangan lain karena pakan multispesies lebih menjanjikan pengkayaan variasi nilai nutrisi dibanding monospesies. Dipertegas lagi oleh Jeffrey et al. (1990) untuk memastikan kecukupan nutrisi dari pakan mikroalga adalah kebiasaan untuk memberikan makanan campuran (mixed diet) yang terdiri dari dua atau lebih spesies alga yang berbeda, misalnya pada stadia setelah larva atau juvenil diberikan tambahan pakan flagelata berukuran besar seperti Tetraselmis dan Chroomonas dan jenis diatom sentris lainnya. Dengan memberikan pakan campuran dapat dipastikan telah tersedia suatu komplemen yang lengkap dengan nutrisi. Pendapat tersebut selaras dengan hasil kajian yang dilakukan yaitu spat menunjukkan sintasan tertinggi (86,53 %) pada perlakuan pakan multispesies atau kombinasi tiga jenis flagelata I. galbana (25 %) + P. lutheri (25 %) + T. tetrathele (50 %) dengan densitas 15.000 sel/ml.

Laing (1995) melakukan penelitian pada larva stadia akhir dan juvenil Ostrea edulis dan C. gigas dengan memberikan pakan standar yang terdiri dari campuran T-Iso (T-Isocrysis aff. galbana), Chaetoceros calcitrans dan Tetraselmis suecica. Dalam percobaan ini tidak digunakan C. calcitran dan T. suecica karena ukurannya relatif besar sehingga dipilih P. lutheri yang ukurannya lebih kecil dan mempunyai kandungan nutrisi lebih tinggi. Menurut Martinez-Fernandez (2004) C. calcitran berukuran 5 x 5 µm, mempunyai dinding sel kaku dan spina besar, sedangkan T. suecica berukuran 12–15 µm. Menurut Nell and Holiday (1988) C. calcitran biasanya digunakan sebagai pakan larva dan juvenil/spat tiram Crassostrea sp., Saccostrea sp dan Ostrea sp. Merujuk pernyataan dari BBL (1999; 2004) C. calcitran., T. chuii, Chlorella sp., Dunaliella sp., dan Nannochloropsis sp., umumnya digunakan sebagai green water dan pakan zooplankton (rotifer) pada pembenihan ikan laut.

Pertimbangan utama menggunakan T. tetrahele sebagai komposisi pakan campuran adalah selain ukurannya yang relatif kecil juga kandungan nilai nutrisinya

(21)

yang tinggi. Hasil analisis mikroalga T. tetrahele yang dilakukan Napolitano et al. (1990) mencatat adanya kandungan asam lemak penting dari seri w6, seperti linoleic, gamma-linolenic, dihomo-gamma-linolenic dan kandungan asam arachidonic (AA) yang relatif tinggi. Pada spesies lain AA merupakan komponen sangat minor, sehingga jarang dilaporkan. Kandungan asam lemak w6 (persen total asam lemak) yang terdiri dari 18:2w6 sebanyak 6,5 %, 18:3w6 = 0,1 %, 20:3w6 = 0,2 % dan 20:4w6 = 2,4 %.

Sintasan dan laju pertumbuhan paling rendah yang terjadi pada perlakuan jenis pakan P. lutheri (50 %) + T. Tetrathele (50 %) densitas 10.000 sel/ml (BD), diduga tidak berkaitan langsung dengan jenis pakan, tetapi densitasnya yang terlalu rendah, sehingga spat kekurangan pakan dan kondisinya jadi menurun, pertumbuhan terhambat atau bahkan mati. Ciri-ciri spat yang kondisinya lemah antara lain cangkang terbuka relatif lebar dan reaksinya lambat saat menutup cangkang. Spat yang mati umumnya masih melekat pada kolektor, cangkangnya ada yang sedikit terbuka tetapi ada juga yang tetap tertutup dan jika disentuh akan terlepas dari kolektor. Menurut Laing (1995) kebutuhan pakan baik dalam jumlah maupun konsentrasi yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan dan waktu penempelan tiram O. edulis dan C. gigas. Oleh sebab itu, untuk melihat kompetensi menempel stadia akhir larva, maka diberikan jenis pakan Tahitian I. galbana dengan kepadatan tinggi sekitar 20.000 sel/ml (Baker 1994).

Lebih lanjut diamati, spat yang diberi pakan dengan komposisi terdapat I. galbana menunjukkan laju pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan komposisi tambahan P. lutheri. Hal ini dipertegas lagi oleh pernyataan Helm and Laing (1987) walaupun I. galbana mengandung HUFA relative kecil tetapi tetap digunakan sebagai pakan, karena sebagai pemacu pertumbuhan. Menurut Napolitano et al. (1990) I. galbana mengandung 45 komponen lemak, dengan kandungan unsur utama termasuk saturated (14:0 dan 16:0), monounsaturated (16:1w7 dan 18:1w7), polyunsaturated (18:2w6, 18:4w3, 18:5w3, 22:5w6 dan 22:6w3) dan asam lemak (90 % dari total asam lemak). Penting untuk dicatat bahwa kandungan 22:6w3 (DHA) pada I. galbana sangat berlimpah, dengan nilai rata-rata mencapai 20 %, diikuti oleh 18:4w3 sebanyak 14 %. Salah satu ciri yang mencolok dari kandungan lemak I. galbana adalah adanya asam lemak yang tidak biasa ditemukan seperti 18:5w3 atau mengandung w3-PUFA (53,6 %).

(22)

Waktu Pencapaian Stadia

Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa waktu pencapaian stadia plantigrade tercepat (19,2 hari) terdapat pada perlakuan pakan I. galbana (50 %) + P. lutheri (50 %), densitas 10.000 sel/ml (CF) dan paling lambat terjadi pada perlakuan pakan P. lutheri dengan densitas 4.000 sel/ml (28,28 hari) (Gambar 15; Lampiran 10a). Hasil analisis ragam dan uji lanjut Tukey menunjukkan terdapat perbedaan nyata (P ≤ 0,05) antar perlakuan dan interaksinya (Lampiran 10b).

0 5 10 15 20 25 30 35 4000 7000 10000 Densitas (sel/ml) W akt u ( ha ri ) I. galbana P. lutheri I. galbana + P. luitheri

Gambar 15. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade (D20) pada berbagai jenis dan densitas pakan hidup.

Hasil pengamatan terhadap waktu pencapaian stadia plantigrade, semakin mempertegas bahwa jenis dan densitas pakan terbaik untuk sintasan dan pertumbuhan larva stadia I adalah I. galbana (4.000 sel/ml) dan campuran pakan I. galbana + P. lutheri (10.000 sel/ml) baik diberikan mulai hari 14 sampai hari ke-20.

Refleksi dari kualitas pakan yang diberikan dapat dilihat dari waktu pencapaian stadia plantigrade. Menurut Tan Tiu et al. (1989) nilai nutrisi pakan berpengaruh pada lama waktu stadia larva dan kompetensi menempel. Lebih lanjut Baker (1994) menyampaikan bahwa kualitas pakan larva biasanya menjadi penyebab utama lama waktu penempelan larva C. virginica. Waktu pencapaian stadia plantigrage tercepat terdapat pada perlakuan pakan I. galbana + P. lutheri (10.000 sel/ml), diduga karena kombinasi dua spesies fitoplankton tersebut mampu menyediakan nutrisi yang lebih lengkap jika dibanding larva yang hanya diberi pakan monospesies. Menurut pendapat beberapa outhor yang dirangkum Bayne (1983),

(23)

larva yang diberi pakan campuran alga (mixed algae), menunjukkan pertumbuhan lebih cepat jika dibanding larva yang diberi pakan satu jenis alga, karena pakan campuran menyediakan nutrient esensial lebih lengkap. Lebih lanjut disampaikan Muller-Feuga et al. (2003) pakan campuran alga dapat meningkatkan perubahan pencapaian keseimbangan pakan, mikroalga umumnya sebagai penyedia nutrisi dalam ratio plurispesifik untuk bivalvia. Oleh sebab itu, produksi larva sesungguhnya akan siknifikan jika menggunakan metode pemberian pakan yang empiris. Dimana setiap penelitian atau hatchery komersial harus mempunyai berbagai spesies mikroalga dan ada fasilitas pencampuran mikroalga sendiri, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan larva (Coutteau and Sorgeloos 1992). Berkaitan dengan keanekaragaman pakan, kombinasi jenis pakan yang biasa digunakan adalah Haptophyceae dan Bacillariophyceae (Robert and Gerard 1999). Campuran jenis pakan yang terdiri dari dua Prymnesiophyta yaitu Pavlova lutheri dan Isochrysis affinis galbana (clone T. Iso), keduanya telah diketahui berperan penting dalam perkembangan dan metamorfosis Pecten maximus (Delaunay et al. 1993). Helm (1977), mendemontrasikan pemberian pakan campuran I. galbana dan T. suecica pada larva O. edulis, larva menunjukkan pertumbuhan dan waktu penempelan yang siknifikan.

Kualitas Air

Beberapa parameter kualitas air (Lampiran 11) yang diamati, masih berada pada kisaran yang memenuhi syarat untuk sintasan dan pertumbuhan larva dan spat tiram mutiara. Sehingga tidak dilakukan pembahasan lebih lanjut.

Gambar

Gambar 5. Larva P. maxima stadia bentuk-D diantara telur-telur, ditemukan pertama  kali antara 18–20 jam setelah menetas
Tabel  2. Diskripsi tahapan perkembangan larva sampai spat P. maxima
Gambar 6a. Tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B) Umbo awal;
Gambar 6b. Sketsa tahapan perkembangan larva P. maxima. (A) bentuk-D; (B)  Umbo awal; (C) Umbo tengah; (D) Eye-spot; (E)Umbo akhir  (pediveliger); (F) Plantigrade
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan 1 bibit per lubang tanam dengan pemberian pupuk Urea 120 g, SP-36 60 g dan KCl 60 g mempunyai kecenderungan menghasilkan tanaman tertinggi

Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa “Diduga ada pengaruh yang signifikan antara budaya keselamatan dan kesehatan kerja (komitmen top management, peraturan dan

Aplikasi Biofilter Horisontal pada Pengolahan Limbah Industri Skala Rumah Tangga Nur Hidayat Sri Kumalan ingsih Susinggi h Wijana Proseeding Lokakarya Nasional Pemberdaya an

Luas ruangan >80% ruang memenuhi standar.. Kondisi ruang >80% ruang

105.Seorang wanita berumur 18 tahun datang dengan keluhan nyeri pada seluruh lapangan perut, disertai muntah, sulit flatus, kembung.. Penderita mengalami panas badan sejak 2 minggu

*South Sea pearls are known for their warm, satiny luster which does not typically exhibit the same reflective qualities of other cultured pearls. – perhiasan mutiara lombok

Hal ini dikarenakan bila terjadi gangguan hubung singkat fasa ke tanah arus gangguan masih relatif  gangguan hubung singkat fasa ke tanah arus gangguan masih

Penelitian ini dilaksanakan pada club bola voli Kecamatan Loreh Tengah Desa Lempe dengan tujuan mengetahui: (1) kontribusi kelentukan togok dengan kemampuan