UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
PREEKLAMPSIA PADA IBU HAMIL
(STUDI KASUS DI RSUD KABUPATEN BREBES TAHUN 2014)
Nuning Saraswati , Mardiana
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima Januari 2015 Disetujui Januari 2015 Dipublikasikan April 2016 ________________ Keywords:
Risk factors; Preeclampsia; Pregnant women ____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Kejadian preeklampsia di Kabupaten Brebes meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 sebanyak 215 kasus (1.547 persalinan), tahun 2012 sebanyak 170 kasus (1.957 persalinan), tahun 2013 sebanyak 225 kasus (1.811 persalinan) dan tahun 2014 sampai dengan bulan September sebanyak 180 kasus (1.316 persalinan). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di RSUD Kabupaten Brebes tahun 2014. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan case control. Sampel sejumlah 145 orang untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol yang diambil dengan teknik simple random sampling. Analisis data menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan (α) = 0,05. Hasil penelitian menunujukan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia adalah umur (p value = 0,0001; OR = 15,731), status gravida (p value = 0,009; OR = 2,173), riwayat keturunan (p value = 0,033; OR = 2,618), pemeriksaan antenatal (p value = 0,0001; OR = 17,111), riwayat preeklampsia (p value = 0,0001; OR = 20,529), riwayat hipertensi (p value = 0,0001; OR = 6,026). Variabel yang tidak berhubungan adalah jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, riwayat diabetes mellitus, dan riwayat kehamilan ganda.
Abstract
___________________________________________________________________
The incidence of preeclampsia in Brebes District was increasing from year to year. In 2011 there were 215 cases (1,547 births), in 2012 there were 170 cases (1,957 births), in 2013 there were 225 cases (1,811 births) and until September 2014 there were 180 cases (2,316 births). The purpose of this research was to determine the risk factors associated with the incidence of preeclampsia in pregnant women from Brebes district hospital in 2014. This research was an analytical survey with case control approach. The total sample was 145 people for each case and control group which was taken with simple random sampling technique. The data was analyzed using chi-square test with α = 0,05. The results of this research showed that the risk factors associated with the incidence of preeclampsia was age (p value = 0,0001; OR = 15,731), gravida status (p value = 0,009; OR = 2,173), heredity profile (p value = 0,033; OR = 2,618), antenatal examination (p value = 0,0001; OR = 17,111), history of preeclampsia (p value = 0,0001; OR = 20,529), history of hypertension (p value = 0,0001; OR = 6,026). The variables that were not related was the type of work, level of education, history of diabetes mellitus, and history of multiple pregnancy.
© 2016 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah hipertensi pada kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam (Nugroho, 2012: 1). Pada kondisi berat preeklampsia
dapat menjadi eklampsia dengan
penambahan gejala kejang-kejang (Angsar, 2009: 532). Preeklampsia merupakan penyebab ke-2 kematian ibu di dunia setelah
pendarahan (Saifuddin, 2009: 54).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2008, angka kejadian preeklampsia di seluruh dunia berkisar 0,51%-38,4%. Di negara maju, angka kejadian preeklampsia berkisar 5%–6%, frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak faktor yang mempengaruhi. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10%, sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5%. Di Indonesia, preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang tinggi disamping pendarahan dan infeksi, yaitu perdarahan mencapai 28%, preeklampsia sebesar 24%, infeksi sebesar 11%, komplikasi peuperium sebesar 8%, partus lama sebesar 5%, dan abortus sebanyak 5% (Depkes RI, 2012).
Prevalensi kasus preeklampsia di Jawa Tengah mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari tahun 2008 sebesar 1,87%, tahun 2009 sebesar 2,02%, tahun 2010 sebesar 3,30%, dan pada tahun 2011 sebesar 3,41% (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah 2012). Di Jawa Tengah
preeklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu dengan presentase sebesar 23,9% kemudian di ikuti dengan pendarahan sebesar 17,22% dan infeksi sebesar 4,04% (Depkes RI, 2013).
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes tahun 2013, sebesar 33% preeklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu se-kabupaten Brebes. Proporsi kematian ibu berdasarkan sebab kematian tahun 2013 yaitu preeklampsia sebesar 33%, kemudian di ikuti dengan pendarahan sebesar 23%, Decomp Cordis sebesar 19%, meningitis sebesar 7%, oedem paru sebesar 5%, infeksi sebesar 3%, gagal ginjal 3%,
kehamilan etopik 3%, dehidrasi
(hiperemesis) 2%, asbes hepar 2%, dan lain-lain sebesar 2% (Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2013).
RSUD kabupaten Brebes merupakan rumah sakit rujukan bagi bidan atau klinik di wilayah kabupaten Brebes sehingga RSUD kabupaten Brebes sebagai pusat rujukan Pelayanan Obstetric Neonatal Emergency Komprehensif (PONEK) di Kabupaten Brebes. Berdasarkan studi pendahuluan di
RSUD Kabupaten Brebes kejadian
preeklampsia pada tahun 2011 sebanyak 215 kasus (1.547 persalinan), tahun 2012 sebanyak 170 kasus (1.957 persalinan), tahun 2013 sebanyak 225 kasus (1.811 persalinan) dan tahun 2014 sampai dengan bulan September sebanyak 180 kasus (1.316 persalinan).
Penyebab pasti preeklampsia masih belum diketahui secara pasti, sehingga preeklampsia disebut sebagai ‘’the disease of theories’’. Menurut Angsar (2009: 532)
beberapa faktor risiko terjadinya
preeklampsia meliputi: primagravida,
primipaternitas, hiperplasentosis (mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus, bayi besar), riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia, penyakit-penyakit ginjal yang sudah ada sebelum hamil sedangkan menurut Norwitz dan Schorge (2008: 88) meliputi: nuliparitas, ras,
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) riwayat preeklampsia sebelumnya, umur ibu
yang ekstrim (<20 atau >35 tahun), riwayat preeklampsia dalam keluarga, kehamilan kembar, hipertensi kronik, penyakit ginjal kronik.
Gambaran klinik preeklampsia mulai dengan kenaikan berat badan diikuti edema kaki atau tangan, kenaikan tekanan darah,
dan terakhir terjadi proteinuria.
Preeklampsia merupakan komplikasi
kehamilan yang berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk dapat menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan
urin untuk menentukan proteinuria.
Kejadian preeklampsia dapat dicegah dengan memberikan nasehat tentang diet makanan, cukup istirahat dan pengawasan antenatal (Manuaba, 2010).
Berdasarkan National Institute for Health and Clinical Excellence (2010) gangguan hipertensi pada kehamilan membawa dampak bagi bayi. Di Inggris dilaporkan kematian perinatal yaitu 1 dari 20 kelahiran bayi mengalami bayi lahir mati tanpa kelainan kongenital yang terjadi pada wanita dengan preeklampsia. Kelahiran prematur juga terjadi pada ibu hamil dengan preeklampsia yaitu 1 dari 250 wanita pada kehamilan pertama mereka akan melahirkan sebelum 34 minggu, dan 14-19 % pada wanita dengan preeklampsia mengalami bayi berat lahir rendah (BBLR).
Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes untuk mengurangi angka kejadian preeklampsia yang dapat menyebabkan kematian ibu yaitu dengan pembentukan Maternal and Child Health Crisis Center (MCH CC) atas
keputusan bupati Brebes nomor 440/667 tahun 2013. MCH CC mendorong agar setiap desa memiliki peraturan desa (Perdes) kesehatan ibu dan anak sebagai bentuk
pemberdayaan masyarakat, termasuk
penguatan fungsi PKD. Sementara upaya yang telah dilakukan RSUD Kabupaten Brebes untuk mengurangi jumlah kasus preeklampsia yaitu upaya peningkatan fasilitas ruangan dan alat kesehatan di unit
maternal risiko tinggi agar dapat
meningkatkan pelayanan maternal sehingga
dapat mengurangi angka kejadian
preeklampsia, rumah sakit juga melayani pemeriksaan antenatal yang dilayani oleh bidan dan dokter spesialis kebidanan dan kandungan, serta pelaksanaan home visite yang dilakukan pada ibu hamil yang tidak datang kontrol sesuai dengan anjuran terutama pada kehamilan risiko tinggi.
Berdasarkan latar belakang di atas, menjadikan alasan bagi penulis untuk meneliti faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di RSUD Kabupaten Brebes.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik,
dengan rancangan penelitian yang
digunakan adalah kasus kontrol (case control) yaitu penelitian epidemiologi analitik observasional yang menelah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Desain penelitian kasus kontrol digunakan untuk meneliti berapa besarkah peran faktor risiko dalam penyakit (Sudigdo Sastroasmoro, 2011).
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah sebagian ibu hamil yang menderita preeklampsia yang tercatat dalam catatan medik di RSUD Kabupaten Brebes periode
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) 1 Januari – 30 September 2014 yaitu
sebanyak 145 kasus. Sedangkan sampel kontrol dalam penelitian ini adalah sebagian
ibu hamil yang tidak menderita
preeklampsia yang tercatat dalam data catatan medik di RSUD Kabupaten Brebes periode 1 Januari – 30 September 2014 yaitu sebanyak 145 kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan uji statistik yang digunakan adalah chi square (α=0,05).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Simple Random Sampling, dimana setiap sampel dari sejumlah populasi sampel yang mungkin mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih (Lemeshow et al, 1997: 102). Hal ini dimaksudkan agar setiap individu pada populasi kasus maupun populasi kontrol mendapatkan peluang yang sama sebagai sampel penelitian, sehingga hasil yang didapatkan dapat mewakili keseluruhan populasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Distribusi Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu hamil
No. Variabel Kejadian Preeklampsia Total p. value Kasus Kontrol n % n % n % 1. Umur Berisiko 102 84,29 19 15,71 121 100 0,0001 Tidak Berisiko 43 25,44 126 74,56 169 100 2. Status Gravida Berisiko 39 65,00 21 35,00 60 100 0,009 Tidak Berisiko 106 46,10 124 53.90 230 100 3. Riwayat Keturunan Berisiko 17 70,83 7 29,17 24 100 0,033 Tidak Berisiko 128 48,12 138 51,88 266 100 4. Pemeriksaan Antenatal Berisiko 91 87.50 13 12,50 104 100 0,0001 Tidak Berisiko 54 29,03 132 70,97 186 100 5. Riwayat Preeklampsia Berisiko 91 89,21 11 10,79 102 100 0,0001 Tidak Berisiko 54 28,72 134 71,28 188 100 6. Riwayat Hipertensi Berisiko 105 70,47 44 29,53 149 100 0,0001 Tidak Berisiko 40 28,37 101 71,63 141 100 7. Jenis Pekerjaan Berisiko 86 52,77 77 47,23 163 100 0,287 Tidak Berisiko 59 46,46 68 53,54 127 100 8. Tingkat Pendidikan Berisiko 56 57,14 42 42,86 98 100 0,082 Tidak Berisiko 89 46,36 103 53,64 192 100
9. Riwayat Diabetes Mellitus
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Tidak Berisiko 133 49,07 138 50,93 271 100 10 Riwayat Kehamilan Ganda
Berisiko 8 57,14 6 42,86 14 100
Tidak Berisiko 137 49,64 139 50,36 276 100 0,584 Hubungan Umur dengan Kejadian
Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang di peroleh p value = 0,0001 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,0001 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara umur dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 15,731 artinya bahwa responden yang berumur <20 dan >35 tahun mempunyai
risiko 15,731 mengalami kejadian
preeklampsia dibandingkan dengan
responden yang berumur 20 – 35 tahun. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuril dkk (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,020 (<0,05) dan OR =2,71.
Hasil penelitian ini membuktikan teori Norwitz (2008) yang menyatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Kehamilan pada umur ibu yang ekstrem (<20 dan >35 tahun) merupakan kehamilan berisiko tinggi yang dapat menyebabkan
komplikasi dalam kehamilan. Hasil
penelitian ini juga membuktikan teori Nugroho (2012) yang menyatakan bahwa komplikasi utama kehamilan dibawah umur <20 dan >35 tahun ini yakni terjadinya preeklampsia. Ibu mengalami hipertensi disertai kaki bengkak dan ditemukan protein pada air seni.
Hubungan Status Gravida dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gravida dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang di peroleh p value = 0,009 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,009 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara status gravida dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 2,173 artinya bahwa responden yang primigravida mempunyai risiko 2,173 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang multigravida.
Hasil penelitian ini membuktikan teori Angsar (2009) yaitu teori imunologik antara ibu dan janin yang menyatakan bahwa primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia) jika dibandingkan dengan multigravida. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gafur dkk (2011), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara status gravida dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,010 (<0,05) dan OR =2,263.
Hubungan Riwayat Keturunan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
riwayat keturunan dengan kejadian
preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,033 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,033 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
riwayat keturunan dengan kejadian
preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 2,618 artinya bahwa responden yang memiliki riwayat keturunan mempunyai risiko 2,618 kali mengalami kejadian
preeklampsia dibandingkan dengan
responden yang tidak memiliki riwayat keturunan. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara keturunan dengan kejadian preeklampsia dengan p value = 0,001 (<0,05) dan OR = 5,8.
Hasil penelitian ini membuktikan teori Norwitz (2008) yang menyatakan bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia atau mempunyai riwayat preeklampsia dalam keluarga. Faktor genetik/keturunan merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia.
Hubungan Pemeriksaan Antenatal dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,0001 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,0001 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 17,111 artinya bahwa responden yang tidak
melakukan pemeriksaan antenatal
mempunyai risiko 17,111 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang melakukan pemeriksaan antenatal.
Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuryani dkk (2013), yang menyatakan
bahwa ada hubungan pemeriksaan antenatal dengan kejadian preeklampsia dengan p value = 0,01 (<0,05). Departemen Kesehatan RI (2007) menyatakan bahwa melalui pemeriksaan antenatal dapat mencegah perkembangan preeklampsia, karena salah satu tujuan dari pemeriksaan antenatal adalah mengenali secara diri adanya penyulit-penyulit atau komplikasi yang terjadi pada masa kehamilan.
Hubungan Riwayat Preeklampsia dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat preeklampsia dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada analisis dengan uji chi square yang di peroleh p value = 0,0001 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,0001 < 0,05) yang artinya ada hubungan antara riwayat preeklampsia dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 20,529 artinya bahwa responden yang memiliki riwayat preeklampsia sebelumnya mempunyai risiko 20,5 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat preeklampsia. Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara riwayat preeklampsia dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,001 (<0,05) dan OR =8,81.
Hubungan Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
riwayat hipertensi dengan kejadian
preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,0001 dimana nilai p lebih kecil dari 0,05 (0,0001 <
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) 0,05) yang artinya ada hubungan antara
riwayat hipertensi dengan kejadian
preeklampsia pada ibu hamil dan nilai OR = 6,026 artinya bahwa responden yang memiliki riwayat hipertensi sebelumnya mempunyai risiko 6,026 kali mengalami kejadian preeklampsia dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat hipertensi.
Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuril dkk (2012) dan penelitian Guerrier et al (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia dengan nilai p value = 0,001 (<0,05), OR =4,148 dan p value = 0,001 (<0,05), OR =10,5.
Hubungan Jenis Pekerjaan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi squre yang diperoleh nilai p value = 0,287 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,287 > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, responden yang memiliki jenis pekerjaan yang berisiko (Ibu rumah tangga tanpa menggunakan mesin, buruh, petani, dan pedagang) pada kelompok kasus sebanyak 86 responden (59,3%) sementara pada kelompok kontrol responden yang memiliki jenis pekerjaan yang berisiko (Ibu rumah tangga tanpa menggunakan mesin, buruh, petani, dan pedagang) sebanyak 77 responden (53,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara jenis pekerjaan dengan kejadian preeklampsia
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada analisis dengan uji chi square yang diperoleh p value = 0,082 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,082 > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan dengan kejadian
preeklampsia pada ibu hamil.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dilapangan, responden yang menderita preeklampsia yang berpendidikan rendah belum tentu memiliki pengetahuan yang rendah pula, hal ini dikarenakan
mereka mendapat pengetahuan dari
penyuluhan yang dilakukan oleh bidan desa dalam acara PKK desa atau arisan desa yang biasa dilakukan setiap sebulan sekali sehingga mereka cenderung memperhatikan
kesehatannya dengan melakukan
pemeriksaan antenatal secara lengkap sehingga tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian preeklampsia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian preeklampsia.
Hubungan Riwayat Diabetes Mellitus dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifkan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh nilai p value = 0,235 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,235 >
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) 0,05) yang artinya tidak ada hubungan
antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, responden yang memiliki riwayat diabetes mellitus pada kelompok kasus sebanyak 12 responden (8,3%) sementara pada kelompok kontrol responden yang memiliki riwayat diabetes mellitus sebanyak 7 responden (4,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak
Berdasarkan penelitian Hosler et al (2011) menyatakan bahwa ibu hamil yang berumur ≥35 tahun berisiko 4,05 kali untuk
menderita diabetes melitus pada
kehamilannya dibandingkan dengan umur ibu hamil <35 tahun. Sementara penelitian yang telah saya lakukan dilapangan responden yang berumur <35 tahun sebanyak 187 (64,4%) lebih besar jika dibandingkan responden yang berumur <35 tahun yaitu 103 (35,6%) sehingga tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat diabetes mellitus dengan kejadian preeklampsia.
Hubungan Riwayat Kehamilan Ganda dengan Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil
Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa tidak tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. Hal ini didasarkan pada hasil analisis dengan uji chi square yang diperoleh p value = 0,584 dimana nilai p lebih besar dari 0,05 (0,584 > 0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeklampsia. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat kehamilan ganda dengan kejadian preeclampsia,
Hasil penelitian ini bertentangan dengan teori Norwitz (2008) yang menyatakan bahwa kehamilan kembar atau ganda merupakan salah satu penyebab preeklampsia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dilapangan, responden yang memiliki riwayat kehamilan ganda pada kelompok kasus hanya sebanyak 8 responden (5,5%) sementara pada kelompok kontrol responden yang memiliki riwayat kehamilan ganda sebanyak 6 responden (4,1%), selain itu mereka juga tidak memiliki riwayat keturunan dari keluarga yang pernah mengalami kehamilan ganda sehingga tidak ada hubungan antara riwayat
kehamilan ganda dengan kejadian
preeklampsia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rozikhan (2007), yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat
kehamilan ganda dengan kejadian
preeklampsia.
Kelemahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kasus kontrol yang ditelusuri secara
restropektif, sehingga mempunyai
kelemahan recall bias, dimana responden harus mengingat kembali pada kejadian yang telah lalu untuk dapat memberikan jawaban. Dengan memberikan pertanyaan yang terdahulu dengan kata-kata yang
mudah dipahami oleh responden
diharapkan dapat membantu responden untuk mengingat kembali dengan baik.
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Ada hubungan antara faktor (umur p. value 0,0001; status gravida dengan p value 0,009; riwayat keturunan dengan p value 0,033; pemeriksaan antenatal dengan p value 0,0001; riwayat preeklampsia dengan p value 0,0001; riwayat hiperetnsi dengan p value 0,0001) terhadap kejadian preeklampsia pada ibu hamil (studi kasus di RSUD Kabupaten Brebes tahun 2014).
Tidak ada hubungan antara faktor (jenis pekerjaan dengan p value 0,287; tingkat pendidikan dengan p value 0,083; riwayat diabetes mellitus dengan p value 0,235; riwayat kehamilan ganda dengan p value 0,584) terhadap kejadian preeklampsia pada ibu hamil (studi kasus di RSUD Kabupaten Brebes tahun 2014.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan
kepada Kepala KesbangPolinmas
Kabupaten Brebes, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, Kepala BAPPEDA
Kabupaten Brebes, Direktur RSUD
Kabupaten Brebes, serta seluruh responden yang terlibat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Angsar, MD, 2009, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007,
Pedoman Pelayanan Antenatal, Dirjen Binkesmas Depkes RI, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012,
Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012,
Laporan pws kia kab kota, AKI AKB, (Online),
diakses pada tanggal 1 Mei 2014, (http://ilmukebidananstikeskendedesmalang. blogspot.com/2012/11/laporan-pws-kia-kabkota aki-akb.html).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013,
Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2012, Profil
Kesehatan Jawa Tengah.
Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2013, Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Kabupaten Brebes, Brebes.
Gafur, Abdul dkk, 2011, Hubungan antara Primigravida
dengan Preeklampsia yang dilaksanakan di beberapa Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan yaitu RSKD Ibu dan Anak Pertiwi Makassar, RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah, RSU Haji Makassar, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Makasar.
Guerrier, G et al, 2013, Factors Associated with Severe
Preeclampsia and Eclampsia in Jahun, Nigeria, (Online), International Journal of Women’s Health
2013:5 , diakses 9 Januari 2014,
(http://www.f_IJWH-47056-factors- associated-with-severe-pre-eclampsia-and-eclampsia-081713-17115.pdf).
Hosler et al, 2011, Stressful Events, Smoking Exposure and
Other Maternal Risk Factors Associated with Gestational Diabetes Mellitus, Journal of Paediatric and Perinatal Epidemiology 2011: 25, hal 566– 574.
Lemeshow, Stanley et al, 1997, Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan,Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Manuaba, Ide Ayu Chandranita dkk, 2010, Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta.
National Institute for Health and Clinical for Excellence (NHS), 2010, Hypertension in
Pregnancy, (Online), hal 1-53, diakses 14 Januari 2014, (www.nice.org.uk/cg107). Norwitz E dan Schorge J, 2008, At a Glance Obstetri dan
Ginekologi, Terjemahan oleh Diba Artsiyanti EP, Erlangga, Jakarta.
Nuning Saraswati dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Nugroho, Taufan, 2012, Patologi Kebidanan, Nuha Medika, Yogyakarta.
Nuril, MA dkk, 2012, Pengaruh Faktor Usia, Paritas,
Keturunan, Riwayat Preeklampsia, Riwayat Hipertensi, Status Gizi, Kenaikan Berat Badan selama Hamil, dan ANC terhadap Kejadian Preeklampsia (di RSUD dr. Sayidiman Magetan Tahun 2011), (Online), Volume II, No. 3, hal 117-125, diakses 17 Mei 2014, (http://2trik.webs.com/trik2-3.pdf).
Nuryani, Ade dkk, 2013, Hubungan Pola Makan, Sosial
Ekonomi, Antenatal Care dan Karakteristik Ibu Hamil dengan Kasus Preeklampsia di Kota
Makassar, (Online), Volume II, No. 2, hal 104-112, diakses 23 Mei 2014, (http://450-684-1-SM(2).pdf).
Rozikhan, 2007. Faktor-faktor Risiko Terjadinya
Preeklamsia Berat Di Rumah Sakit Dr. H. Soewondo Kendal, Tesis, Universitas Diponegoro Semarang.
Saifuddin, AB, 2009, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Sastroasmoro, S, 2011, Dasar-Dasar Metodologi
Klinis (Edisi ke-4), CV. Sagung Seto, Jakarta. WHO, 2008, World Health Statistic
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
ANALISIS FAKTOR PENGHAMBAT PEMANFAATAN RUANG
MENYUSUI DI TEMPAT KERJA PADA PEKERJA WANITA DI PT. DAYA
MANUNGGAL
Dwi Mukti Pratiwi , Mardiana
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima Juli 2015 Disetujui Juli 2015 Dipublikasikan April 2016 ________________ Keywords:
Utilization; Female Worker Breastfeed; Breastfeeding Room
____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Berdasarkan data jumlah ibu menyusui di PT. Daya Manunggal hanya 22,6% saja yang menggunakan ruang menyusui.Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja pada pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Jenis penelitian ini adalah penelitian explanatory research, dan rancangan penelitiannya adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini pekerja wanita menyusui di PT. Daya Manunggal berjumlah 84 orang. Sampel berjumlah 33 pekerja wanita menyusui. Teknik pengambilan sampel dengan teknik Random Sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan (a) = 0,05. Hasil Penelitian dan pembahasan, menunjukan ada hubungan antara dukungan keluarga (p=0,042) dan dukungan atasan kerja (p=0,042) dengan pemanfaatan ruang menyusui di PT. Daya Manunggal. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan (p=0,212), pengetahuan (p=0,521), kondisi kesehatan (p=0,343), kebijakan perusahaan (p=0,448), ketersediaan fasilitas (p=0,351), dukungan petugas kesehatan di tempat kerja (p=0,675), dukungan rekan kerja (p=0,479) dengan pemanfaatan ruang menyusui di PT.Daya Manunggal
Abstract
___________________________________________________________________ Based on data of the number female workers which being on breastfeed at PT. Daya Manunggal only 22.6% are using breastfeeding room. The aim of this study is to analyze the inhibiting factor of breastfeeding room utilization usage of female workers at PT. Daya Manunggal.This type of research explanatory research, with cross sectional study design. The population in this study were female workers whose being on breastfeed at PT. Daya Manunggal which amount to 84 worker. The number of sample are 33 female workers. The technique which used in this research was Random Sampling. Instruments used in this study was a questionnaire. Data analysis performed using univariate and bivariate Chi Square test with degrees of significance of 0,05. The result of the research and the discussion show that there is correlation between family support (p = 0.042) and supervisor support (p = 0.042) with the usage of breastfeeding room at PT. Daya Manunggal. There is no relationship between the level of education (p = 0.212), knowledge (p = 0.521), health conditions (p = 0.343), company policies (p = 0.448), the availability of facilities (p = 0.351), support health officer in the workplace (p = 0.675), support co-workers (p = 0.479) with the usage of breastfeeding room at PT.Daya Manungga. Suggestions can be submitted to female workers which being on breastfeed is to improve self-motivated to utilize the breastfeeding room in the workplace in order to support exclusive breastfeeding program. For the Company appealed to the supervisor in each of department to give better support of exclusive breastfeeding programs such as giving a special time to squeeze breast milk so they can utiliz breastfeed room in the workplace. For families provide support and motivation in order to willing to give exclusive so they got motivated to utilize the breastfeeding room in the workplace.
© 2016 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) PENDAHULUAN
Golden Standard of Infant Feeding ( Standar Emas Makanan Bayi) berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF yang tercantum dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (WHO dan UNICEF, 2003) terdiri atas 4 hal dimana salah satunya adalah Air Susu Ibu (ASI). Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan terbaik untuk bayi merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat ditiru oleh para ahli makanan di manapun. ASI mempunyai komposisi yang selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan bayi dari hari ke hari. Hal ini sangat tepat
dan ideal bagi pertumbuhan dan
perkembangan bayi selama 4 bulan pertama di kehidupannya. Saat ibu memberi ASI kepada bayi berarti ibu telah memberikan kasih sayang terbesar, imunisasi terbaik, gizi terlengkap, minuman tersehat dan air kehidupan (Johnson – Johnson dalam Utami Roesli, 2000: 36).
Di Indonesia, program pemberian ASI khususnya ASI eksklusif dijadikan prioritas utama. Pemberian ASI eksklusif secara nasional pada tahun 2010-2012 hanya 33,6-35% (Bayu Kurniawan, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2013 menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif sekitar 52,99%.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dengan menggunakan desain survei potong lintang (cross sectional) yang besifat deskriptif, didapatkan hasil yaitu ibu yang memberikan ASI eksklusif untuk bayi selama 6 bulan sebanyak 39%. Sedangkan hasil Riskesdas tahun 2010 hanya mencapai 15,5% dan hasil Riskesdas tahun 2013 yaitu sebanyak 30,2% saja ibu yang memberikan ASI eksklusif. Dari data di atas dapat dilihat pemberian ASI eksklusif belum mencapai target MDG’s yaitu sebesar 80% .
Banyak alasan yang menjadi faktor penyebab kenapa ibu tidak memberikan ASI ekslusif kepada bayinya. Alasan pekerjaan menjadi salah satu penyebab yang cukup besar.. Ibu tidak dapat memberikan ASI ekslusif dengan alasan pada umumnya perkantoran tempat ibu bekerja tidak menyediakan tempat untuk menyusui dan tidak menyediakan tempat untuk memompa ASI yang layak dan memenuhi standar kesehatan, sehingga tidak jarang para ibu ini memerah ASInya di dalam toilet yang dikhawatirkan akan banyak tercemar oleh kuman-kuman yang bertebaran di toilet sehingga tidak dapat menyimpan ASI tersebut dalam botol untuk diberikan kepada bayi (Siregar, 2004).
Berdasarkan peraturan pemerintah No.33 tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu eksklusif khususnya pasal 31 sampai 35 yang mengatur mengenai kewajiban tersedianya ruang khusus menyusui di tempat publik, yakni di tempat kerja dan sarana umum maka di perusahaan yaitu PT. Daya Manunggal menyediakan fasilitas khusus untuk ibu menyusui berupa ruang menyusui.
Ruang menyusui di PT. Daya Manunggal ini dibuat pada Juli 2012. PT. Daya Manunggal menyediakan ruang menyusui untuk memfasilitasi para pekerja wanita yang sedang memberikan ASI kepada anaknya sehingga dapat membantu program pemberian ASI eksklusif. Ruang menyusui di PT. Daya Manunggal memiliki ukuran 2,5 x 2 meter dimana di dalamnya terdapat meja, kursi, wastafel, lemari pendingin, poster, pompa ASI, serta alat
kelengkapan memerah ASI lainnya.
Berdasarkan surat yang diterbitkan oleh
Menteri Kesehatan No.
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Fasilitas dari Ruang Menyusui yaitu ruang
menyusui di PT. Daya Manunggal ini merupakan ruang tipe 4. Berdasarkan data bulan November tahun 2014 jumlah karyawan PT. Daya Manunggal sejumlah 2250 yang terdiri dari 1001 karyawan wanita dan 1249 karyawan laki-laki yang tersebar dalam 16 departemen.
Berdasarkan data jumlah ibu
menyusui di PT. Daya Manunggal terhitung dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Oktober 2014 tercatat sebanyak 84 orang yang menyusui. Sedangkan berdasarkan data penggunaan ruang menyusui terhitung dari bulan Juli 2012 sampai dengan Oktober 2014 tercatat sebanyak 19 orang atau hanya 22,6% saja yang menggunakan ruang menyusui. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis faktor penghambat
pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja pada pekerja wanita di PT. Daya manunggal.
METODE
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian explanatory research, dan
rancangan penelitiannya adalah cross
sectional dengan menggunakan uji statistik (SPSS). Populasi dalam penelitian ini adalah Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah ibu yang sedang menyusui di PT. Daya Manunggal dari bulan Juli 2012 sampai Oktober 2014 sebanyak 84 orang dan sampelnya adalah pekerja wanita menyusui sejumlah 33 orang dengan menggunakan teknik Random sampling.
Teknik pengambilan data dalam
penelitian ini adalah melakukan
pengambilan data dengan menggunakan kuesioner. Analisis data yang digunakan
adalah analisis univariat untuk
mendeskripsikan semua variabel penelitian dalam bentuk tabel. Analisis bivariat dilakukan untuk mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang disesuaikan dengan skala data yang ada. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik chi-square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian dengan uji chi-square didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Tabulasi Silang Faktor Penghambat Pemanfaatan Ruang Menyusui pada Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
No.
Faktor Penghambat Pemanfaatan Ruang menyusui
Kategori
Pemanfaatan Ruang Menyusui
p Memanfaat-kan Tidak Memanfaat-kan Jumlah f % f % f %
Pendidikan Pendidikan Tinggi Pendidikan Dasar 8 2 26,7 66,7 22 1 73,3 33,3 30 3 100 100 0,212 Pengetahuan Tinggi Rendah 9 1 29 50 22 1 71 50 31 2 100 100 0,521 Kondisi Kesehatan Tidak ada Masalah
Ada Masalah 4 6 40 26,1 6 17 60 73,9 10 23 100 100 0,343 Dukungan Keluarga Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
7 3 50 15,8 7 16 50 84,2 14 19 100 100 0,042
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Kebijakan Perusahaan Mendukung Tidak Mendukung 6 4 33.3 26,7 12 11 66,7 73,3 18 15 100 100 0,488 Ketersediaan Fasilitas Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
8 2 27,6 50 21 2 72,4 50 29 4 100 100 0,351 Dukungan Petugas Kesehatan di Tempat Kerja Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
9 1 30 33,3 21 2 70 66,7 30 3 100 100 0,675 Dukungan Rekan Kerja Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
10 0 32.3 0 21 2 67,7 100 31 2 100 100 0,479 Dukungan Atasan Kerja Ada Dukungan Tidak ada Dukungan
7 3 50 15,8 7 16 50 84,2 14 19 100 100 0,042 .
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manungga
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,212 lebih besar dari 0,05 (0,212>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pekerja wanita menyusui yang memiliki pendidikan perguruan tinggi dan SMA cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui, begitu pula dengan pendidikan SMP dan SD. Hal ini berarti Tingkatan pendidikan tidak
mempengaruhi responden untuk
memanfaatkan ruang menyusui karena, responden dari masing-masing tingkat pendidikan cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui. Responden dengan pendidikan tinggi seharusnya memiliki tingkat kesadaran untuk memanfaatkan ruang menyusui namun, berdasarkan wawancara singkat diketahui bahwa
responden kurang tertarik untuk
menggunakan ruang menyusui dikarenakan
kurangnya motivasi serta keinginan dari dalam diri responden sendiri untuk memanfaatkan ruang menyusui.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2004) di Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang menunjukkan bahwa persentase kegagalan pemberian ASI Eksklusif pada ibu yang berpendidikan dasar hampir sama banyaknya dengan ibu yang berpendidikan lanjutan. Pola ini menggambarkan tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kegagalan pemberian ASI Eksklusif.
Hubungan antara Pengetahuan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak
ada hubungan antara pengetahuan
responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,521 lebih besar dari 0,05 (0,521>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi dan sedang cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) ruang menyusui, begitu pula responden
dengan pengetahuan rendah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan ruang menyusui oleh responden. Berdasarkan keadaan di tempat penelitian terdapat Kegiatan perusahaan untuk mempromosikan ruang menyusui yaitu bahwa perusahaan mengadakan kegiatan khusus untuk ibu hamil dimana di dalamnya, juga menjelaskan mengenai pentingnya pemberian ASI Eksklusif serta penjelasan mengenai ruang menyusui di tempat kerja. Serta di wajibkan bagi pekerja wanita yang sedang mengandung untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Sehingga pada dasarnya pengetahuan pekerja wanita menyusui mengenai ASI Eksklusif serta ruang menyusui seharusnya sudah baik namun 77,4% dari pekerja wanita menyusui tidak mempraktikan pengetahuannya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Elsera Ike .T. (2013) mengenai pemberian ASI eksklusif yaitu tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif yang menyatakan bahwa masyarakat mampu memahami pengertian dan maksut dari adanya program ASI eksklusif. Pada kenyataanya hal ini mungkin bisa terjadi karena tidak semua responden memiliki pengetahuan yang diwujudkan dalam suatu tindakan.
Hubungan antara Kondisi Kesehatan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi kesehatan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,343 lebih besar dari 0,05 (0,343>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat kondisi
kesehatan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa baik responden yang memiliki gangguan kesehatan maupun tidak sama-sama cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kondisi kesehatan responden dengan pemanfaatan ruang menyusui. Responden yang tidak memiliki gangguan kesehatan seharusnya dapat memanfaatkan ruang menyusui namun, berdasarkan hasil wawancara
singkat diketahui bahwa tanggapan
responden mengenai adanya ruang
menyusui dirasa kurang begitu baik
meskipun reponden tidak memiliki
gangguan kesehatan, responden masih cenderung tidak memanfaatkan ruang menyusui untuk mendukung pemberian ASI eksklusif.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukakan oleh Siti Fatimah dkk (2013) Yang menyatakan subyek setuju ASI tidak diberikan saat ibu sakit /payudara sakit, yang seharusnya tetap saja harus diberikan walaupun ibu dalam kondisi sakit, asalkan tidak sakit berat yang
menurut pendapat medis dapat
membahayakan kesehatan ibu dan bayinya.
Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,042 lebih kecil dari 0,05 (0,042<0,05) yang artinya ada hubungan antara dukungan keluarga dengan
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja
wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini responden dalam hal ini pekerja wanita menyusui yang mendapatkan dukungan keluarga 50%-nya memanfaatkan ruang menyusui dan 50% yang lain tidak memanfaatkan ruang menyusui, sedangkan yang tidak mendapatkan dukungan keluarga lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Sehingga dalam hal ini dukungan keluarga dibutuhkan agar pekerja
wanita lebih termotivasi untuk
memanfaatkan ruang menyusui. Jadi ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan ruang menyusui.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anggorowati (2011) dalam hasil penelitianya menunjukan adanya hubungan
antara dukungan keluarga dengan
pemberian ASI eksklusif dimana dalam penelitian ini dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif sebanyak 18 (52,9%) responden dengan kategori baik. Sebagian besar responden memberikan ASI tidak eksklusif sebanyak 25 (73,5%) dimana p value yang di dapatkan sebesar 0,003.
Hubungan antara Kebijakan Perusahaan dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara kebijakan perusahaan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,488 lebih besar dari 0,05 (0,488>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara kebijakan perusahaan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui responden yang menyatakan
kebijakan perusahaan mendukung maupun yang menyatakan kebijakan perusahaan tidak mendukung sama-sama lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Perusahaan menerapkan kebijakan berupa pemberian waktu istirahat selama satu jam serta memberikan ijin istirahat pulang bagi pekerja wanita menyusui yang memiliki rumah dekat dengan perusahaan. Dalam hal ini pekerja wanita menyusui diberikan waktu untuk dapat memanfaatkan ruang menyusui oleh perusahaan namun dalam praktiknya pekerja wanita masih tidak
memanfaatkan ruang menyusui.
Berdasarkan hasil wawancara singkat diketahui hal tersebut terjadi karena kurangnya keinginan dan niat dari dalam diri, selain itu kompensasi pemberian ijin pulang bagi pekerja wanita menyusui juga
mempengaruhi keinginan untuk
memanfaatkan ruang menyusui
dikarenakan mereka lebih memilih pulang dari pada memanfaatkan ruang menyusui di tempat kerja.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siti Fatimah (2013) yang
menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna dukungan/kebijakan dengan pola pemberian ASI dimana p value sebesar 0,122 (p>0,05). Sesuai hasil indept interview memang tidak ada tempat khusus untuk penitipan anak saat subyek bekerja. Perusahaan memberikan fasilitas layanan kesehatan tidak hanya di tempat bekerja, tetapi juga lokasi pada cabang–cabang perusahaan yang dekat dengan pekerjanya. Waktu istirahat (± 1 jam), hak cuti melahirkan (1 ½ bulan sebelum dan setelah melahirkan) perusahaan sudah menerapkan sesuai undang – undang yang berlaku. Perusahaan juga menyediakan almari pendingin yang dapat digunakan untuk
menyimpan hasil pemompaan ASI
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016)
Hubungan antara Ketersediaan Fasilitas dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,351 lebih besar dari 0,05 (0,351>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Menurut pendapat Azrul Azwar (1996), yang menyatakan bahwa sarana (alat) merupakan suatu unsur organisasi untuk mencapai tujuan. Sarana termasuk dalam salah satu unsur dalam pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, agar pelayanan menjadi bermutu maka persyaratan ketersediaan sarana prasarana harus terpenuhi.
Berdasarkan hasil penelitian ini
diketahui bahwa responden yang
menyatakan ada dukungan ketersediaan fasilitas cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui, sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan ketersediaan fasilitas 50% nya memanfaatkan dan 50% yang lain tidak
memanfaatkan ruang menyusui.
Perusahaan sudah menyediakan fasilitas
ruang menyusui beserta dengan
kelengkapanya guna menunjang
pemanfaatan ruang meyusui. Perusahaan juga menyediakan fasilitas antar jemput dari tempat pekerja wanita menyusui bekerja menuju ke ruang menyusui namun,, dalam hal ini pemanfaatan ruang menyusui masih belum maksimal. Berdasarkan wawancara singkat diketahui bahwa hal tersebut terjadi
karena pekerja wanita menyusui dirasa
kurang memiliki motivasi untuk
memanfaatkan ruang menyusui dan lebih mengutamakan pekerjaan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Giri Inayah Abdulah (2013) yang menunjukan tidak terdapat hubungan bermakna antara ketersediaan fasilitas di kantor dengan pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan penelitian ini, keberadaan pojok ASI
ternyata tidak berhubungan dengan
pemberianASI eksklusif pada ibu pekerja. Meskipun kantor menyediakan pojok ASI, bekerja lebih memilih memerah ASI saat di rumah. Ketika di kantor, ibu menyusui tidak selalu memerah di pojok ASI, tetapi dapat melakukannya di klinik kantor, di ruang kerja, dan di mushola.
Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan di Tempat Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan di tempat kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,675 lebih besar dari 0,05 (0,675>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara dukungan petugas kesehatan di tempat kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden dalam hal ini pekerja wanita yang menyatakan ada dukungan maupun tidak ada dukungan petugas kesehatan di tempat kerja cenderung banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Petugas kesehatan yaitu dokter, bidan, perawat serta konsultan laktasi di
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) perusahaan sudah mengadakan
pelatihan-pelatihan kepada pekerja wanita menyusui mengenai cara memerah ASI, cara menyimpan ASI, serta cara memberikan ASI perah. Selain itu petugas kesehatan di tempat kerja juga menginformasikan mengenai ruang menyusui serta bagaimana cara agar tetap dapat memberikan ASI meskipun bekerja. Namun pekerja wanita menyusui masih tetap sedikit yang
memanfaatkan ruang menyusui,
berdasarkan hasil wawancara singkat hal tersebut terjadi dikarenakan sikap pekerja wanita menyusui yang kurang kooperatif dalam menanggapi dukungan dari petugas kesehatan.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rahmawati, dkk (2013) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peran petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif serta berkorelasi negatif artinya bahwa semakin tinggi peran petugas kesehatan maka semakin rendah pula pemberian ASI Eksklusif yang dilakukan.
Hubungan antara Dukungan Rekan Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,479 lebih besar dari 0,05 (0,479>0,05) yang artinya tidak ada hubungan antara dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden dalam hal ini pekerja wanita menyusui yang menyatakan ada dukungan dari rekan kerja cenderung
lebih banyak yang tidak menggunakan ruang menyusui sedangkan responden yang menyatakan tidak ada dukungan rekan kerja semuanya tidak memanfaatkan ruang menyusui. Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan responden diketahui bahwa beberapa responden menyatakan bahwa mereka mendapat informasi mengenai ruang menyusui dari rekan kerja serta terkadang
diajak untuk memanfaatkan ruang
menyusui namun, responden terkadang
merasa malas dan enggan untuk
memanfaatkan ruang menyusui karena keadaan fisik yang sudah lelah bekerja..
Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan
Rojjanasrirat (2004) dengan studi kualitatif yang berhasil mengidentifikasi beberapa hal mendukung dan menghambat wanita bekerja dalam pemberian ASI. Beberapa hal yang dapat menfasilitasi pemberian ASI pada wanita bekerja salah satunya adalah dukungan atau sikap rekan kerja yang positif terhadap pemberian ASI.
Hubungan antara Dukungan Atasan Kerja dengan Pemanfaatan Ruang Menyusui oleh Pekerja Wanita di PT. Daya Manunggal
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa ada hubungan antara dukungan atasan kerja responden dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal. Hal ini dibuktikan oleh hasil uji fisher dimana didapatkan p value sebesar 0,042 lebih kecil dari 0,05 (0,042<0,05) yang artinya ada hubungan antara dukungan atasan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui oleh pekerja wanita di PT. Daya Manunggal.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa responden wanita yang menyatakan ada dukungan atasan kerja 50% tidak memanfaatkan ruang menyusui
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) sedangkan responden yang menyatakan
tidak ada dukungan atasan kerja cenderung lebih banyak yang tidak memanfaatkan ruang menyusui. Pada perusahaan atasan kerja di setiap departemen lebih diutamakan untuk berkonsentrasi pada pekerjaan, sedangkan untuk permasalahan seperti pemberian ASI Eksklusif dirasa kurang adanya perhatian serta dukungan. Sehingga para pekerja wanita menyusui cenderung mengutamakan pekerjaanya dan kurang memikirkan pemberian ASI Eksklusif serta
tidak menyempatkan diri untuk
memanfaatkan ruang menyusui.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian heni handayani (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan atara kebijakan atasan dengan pemberian ASI. Peran kebijakan pejabat/atasan sangat penting untuk mendukung keberhasilan ASI eksklusif. Dirasa penting karena pekerjaan yang dilakukan erat kaitanya dengan kendali pejabat/atasan. Sebagai bentuk dukungan institusi terhadap program menyusui eksklusif, Kementerian Kesehatan sudah menyediakan ruang laktasi. Namun, responden merasakan dukungan yang kurang. Pimpinan masih meminta ibu menyusui eksklusif dan tetap bekerja sesuai jam kerja serta ditugaskan ke luar kota. (2012) yang menyatakan tidak ada hubungan antara dukungan atasan kerja dengan pemberian ASI eksklusif. Dimana p value yang di dapatkan sebesar 0,383 lebih besar dari 0,05.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian analisis faktor penghambat pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya Manunggal, maka dapat di simpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dan dukungan atasan
kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya Manunggal . Serta tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan, pengetahuan, kondisi kesehatan, kebijakan
perusahaan, ketersediaan fasilitas,
dukungan petugas kesehatan di tempat kerja, dan dukungan rekan kerja dengan pemanfaatan ruang menyusui di tempat kerja oleh pekerja wanita di PT.Daya manunggal.
UCAPAN TERIMA KASIH
PT.Daya Manunggal yang telah memberikan ijin penelitian dan Kepala
bidang umum-personalia yang telah
membantu memperoleh data yang
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, R. 2004. Faktor yang Berhubungan dengan Kegalan Pemberian AIS Eksklusif di Puskesmas Padangsari Kabupaten Ungaran. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang
Anggorowati.2011. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi di Desa Bebengan Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. Skripsi Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang
Azwar, Azrul. 1996.Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Sinar Harapan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Bayu Kurniawan, 2013, Determinan Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif , Skripsi, Universitas Brawijaya.
Dwi Mukti Pratiwi dan Mardiana / Unnes Journal of Public Health 5 (2) (2016) Dinkesprov Jawa Tengah, 2012, Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang.
Elsera Ike Trisnawati.2013. faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI Eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Ngaliyan Semarang. Skripsi Ilmu Keperawatan STIKES. Semarang Giri Inayah Abdullah.2012.Determinan Perilaku
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada Ibu Pekerja.Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 7, No. 7, Februari 2013 Heni Handayani, 2012, Kendala Pemanfaatan Ruang
ASI dalam Penerapan ASI Eksklusif di Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2011, Skripsi, Universitas Indonesia.
Rahmawati,dkk.2013. Hubungan Antara Karakteristik Ibu, Peran Petugas Kesehatan Dan Dukungan Keluarga Dengan Pemberian Asi Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas
Bonto Cani Kabupaten Bone. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar
Rojjanasrirat ,W .2004. Working women’s breastfeeding experinces’, MCN, Vol. 29, No. 4, 222-227
Siregar. (2004). Pemberian ASI Eksklusif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. diakses tanggal 19 November 2014 jam 09.00 WIB http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456 789/32726/1/fkm-arifin4.pdf
Siti Fatimah, dkk. 2013. Faktor pelaksanaan kesehatan reproduksi perusahaan dan dukungan keluarga dalam penentuan pola menyusui oleh pekerja (buruh) wanita di Kabupaten Kudus. Jurnal Gizi Indonesia. Vol. 2, No. 1, Desember 2013: 24-32
Utami Roesli.2000. Pemberian ASI Eksklusif seri 1. Jakarta: TrubusAgriwidya
UJPH 5 (2) (2016)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
EFEKTIFITAS PEMBENTUKAN KADER MALARIA DESA UNTUK
MENINGKATKAN PARTISIPASI KEPALA KELUARGA DALAM UPAYA
PENGENDALIAN MALARIA DI RW I DAN RW III DESA HARGOROJO
KABUPATEN PURWOREJO
Erni Nur Faizah , Arulita Ika Fibriana
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel: Diterima November 2015 Disetujui November 2015 Dipublikasikan April 2016 ________________ Keywords: Establishment of village malaria cadre; Family’s Head Participation; Malaria ____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Pengendalian malaria akan berhasil apabila disertai partisipasi dari masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pembentukan kader malaria untuk meningkatkan partisipasi kepala keluarga dalam upaya pengendalian malaria di RW I dan RW III Desa Hargorojo Kabupaten Purworejo. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen semu dengan rancangan non equivalent control group design. Populasi penelitian ini adalah kepala keluarga di RW I dan RW III Desa Hargorojo. Pada penelitian ini digunakan purposive sampling. Jumlah sampel kelompok eksperimen adalah 20 dan kelompok kontrol 20. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (uji Mann Whitney). Dari hasil penelitian, didapatkan perbedaan yang bermakna antara posttest kelompok yang diberi intervensi pembentukan kader malaria dengan kelompok yang diberi intervensi hanya penyuluhan (p=0,000). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan kader malaria desa efektif meningkatkan partisipasi kepala keluarga dalam upaya pengendalian malaria. Saran yang diajukan bagi dinas kesehatan Kabupaten Purworejo agar membentuk kader malaria di desa lain yang merupakan daerah endemis malaria.
Abstract
___________________________________________________________________
Malaria control will be successful if accompanied by the participation of the community. The purpose of this study was to found the effectiveness of the establishment of village malaria cadre to increase the participation of family’s head in malaria control efforts in RW I and RW III Hargorojo Village Purworejo District. This research used a quasi-experimental research design with non-equivalent control group design. The population of this research included the family’s head in RW I and RW III Hargorojo village. In this study used purposive sampling. The number of samples of the experimental group and the control group were 20 and 20. Data analysis was performed using univariate and bivariate (Mann Whitney test). From the research, found significant differences between the groups were given a posttest intervention the establishment of village malaria cadre with the intervention group given only health education (p = 0.000). This shows that the estabhlisment of a village malaria cadre effectively increase participation in the family's head of malaria control efforts. Suggestions for Purworejo district health department was they should to establishment of a village malaria cadre in another village that was a malaria endemic area.
© 2016 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]