1
ARTIKEL
JURNAL WIDYA SARI
PENGEMBANGAN MODEL
PENGELOLAAN ANGGARAN SEKOLAH BERBASIS PARTISIPASI
Bambang Ismanto, Entri Sulistari, dan Gustin TanggulunganAbstract
This study aims to identify the best practices of school -based budget management stakeholder participation. Participatory budget management model be an alternative in the preparation of the program and the establishment of the school budget. The study was conducted with a qualitative approach to data collection methods of focus group discussions, depth interviews, and documentary study of the school budget management practices. Subjects were Public and private schools in Salatiga includes elementary, junior high, high school and vocational school. Research sources include document management school budgets, and budget management consists School Principal, School Committee teacher, and parents. Research shows that the management of the school budget either elementary, junior high, high school and vocational school has been involved parties such a s the School Committee, teachers and principals . The policy of 9-year compulsory education ( elementary and secondary ) schools in an obstacle free (no cost) involve parents and the community in meeting the needs of the budget. While the source of revenue of the budget for the School of Public and Private portion can not meet the needs in the development of quality school programs. Limited sources of additional revenue resulting area of the School Operational Assistance / BOS have not been able to meet the operational needs of school students and personnel . Management of the school budget from the Government ( Budget) and the Local Government ( budget ) is implemented in accordance areas of financial regulation . While financial resources are managed according to the principles of community stakeholders agreement . Community participation is necessary to solve the school budget needs to ensure the implementation of programs that can improve the quality of education . Various needs and proposed solutions are described and socialized school budgets transparently to stakeholders to obtain a solution solving .
2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi best practices pengelolaan anggaran sekolah berbasis partisipasi pemangku kepentingan. Model pengelolaan anggaran yang partisipatif menjadi alternatif dalam penyusunan program dan penetapan anggaran sekolah. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data Focus Group Discussion, depth interview dan studi dokumentasi praktek pengelolaan anggaran sekolah. Subjek penelitian adalah Sekolah negeri dan swasta di Kota Salatiga meliputi SD, SMP, SMA dan SMK. Sumber penelitian meliputi dokumen pengelolaan anggaran sekolah, dan Manajemen anggaran Sekolah terdiri Kepala Sekolah, guru Komite Sekolah, dan Orang tua. Penelitian menunjukkan bahwa Pengelolaan anggaran sekolah baik SD, SMP, SMA dan SMK telah melibatkan pihak-pihak seperti Komite Sekolah, Guru dan Kepala Sekolah. Penetapan wajib belajar 9 tahun (SD dan SMP) gratis menjadi kendala sekolah dalam melibatkan orang tua dan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan anggaran. Sementara itu sumber penerimaan dari APBD bagi Sekolah Negeri dan sebagian Swasta belum dapat memenuhi kebutuhan dalam pengembangan program sekolah yang bermutu. Keterbatasan sumber Pendapatan Asli daerah berakibat tambahan Bantuan Operasional Sekolah / BOS belum dapat memenuhi kebutuhan operasional sekolah dan personil peserta didik. Pengelolaan anggaran sekolah yang bersumber dari Pemerintah (APBN) dan Pemerintah Daerah (APBD) dilaksanakan sesuai regulasi keuangan daerah. Sedangkan sumber-sumber keuangan yang dari masyarakat dikelola berdasarkan prinsip kesepakatan para pemangku kepentingan. Partisipasi masyarakat diperlukan untuk memecahkan kebutuhan anggaran sekolah yang dapat menjamin pelaksanaan program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai kebutuhan dan usulan pemecahan anggaran sekolah dijelaskan dan disosialisasikan secara transparan kepada pemangku kepentingan untuk mendapatkan solusi pemecahan.
3
PENDAHULUAN
Pergeseran pemerintahan sentralistik mengarah ke desentralistik di Indonesia sekitar Tahun 2001 membawa implikasi perubahan tata kelola pendidikan di Kabupaten / Kota. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan mengelola pendidikan sesuai potensi, dan aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pemecahan masalah pemerataan, akses dan mutu pendidikan dilakukan sejak tahapan perencanaan, implementasi dan pengawasan program-program pendidikan. Partisipasi masyarakat dalam hal ini pemangku kepentingan seperti orang tua, Komite Sekolah, Tokoh Masyarakat, mendinamiskan Kepala Sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan dalam memberdayakan potensi sekolah dan masyarakat.
Anggaran sekolah merupakan salah satu agenda dalam pemecahan masalah manajemen sekolah. Keterbatasan sumber-sumber penerimaan sekolah dari siswa (orang tua), Pemerintah (Daerah) dan masyarakat menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan seiring perkembangan teknologi informasi dan arus globalisasi. Sumber penerimaan dari Pemerintah baik APBN dan APBD diatur secara ketat sesuai regulasi administrasi keuangan Negara. Upaya mengembangkan sumber-sumber penerimaan dari masyarakat khususnya orang tua murid pada SD/MI dan SMP/MTs terkendala eforia pendidikan gratis wajib belajar 9 tahun. PerMendiknas No: 44 Tahun 2012 melarang SD/MI dan SMP/MTs untuk menarik pungutan pendidikan dari orang tua murid. Kendala ini memerlukan dukungan dan masyarakat untuk peningkatan mutu pendidikan.
Hanushek, Eric A. (1996), menilai bahwa pendidikan merupakan investasi sumber
daya manusia. Amerika Serikat memiliki komitmen untuk mengalokasikan anggaran negaranya baik dari pemerintah federal, negara bagian dan pemerintah lokal guna meningkatkan akses dan mutu pendidikan. Sumber daya pendidikan yang terdapat disekolah diarahkan agar dapat dipergunakan siswa bersama guru dalam meningkatkan kompetensinya.
Desentralisasi keuangan daerah perlu mendapatkan respon positif dari manajemen sekolah baik SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK dalam menyusun program yang relevan dengan peningkatan mutu dan daya saing lulusan. Menurut Ismanto (2011),
keterbatasan pengalaman manajerial dan administrasi keuangan Kepala Sekolah serta tidak
adanya dukungan tenaga administrasi SD di Kota Salatiga Provinsi Jawa Tengah menjadi hambatan dan kendala dalam pengelolaan sumber daya keuangan sekolah. Tata kelola keuangan Sekolah swasta relatif lebih maju. Manajemen Sekolah terdiri Kepala Sekolah dibantu Wakil dan difasilitasi tenaga Tata Usaha, Putakawan bahkan laboran.
Implikasi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan anggaran sekolah adalah implementasi MBS. Pengelolaan dana bersumber APBN/APBD Sekolah diwajibkan melaksanakan administrasi keuangan sesuai regulasi keuangan daerah. Tata kelola anggaran sekolah berbasis partisipasi perlu melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan sekoah sejak perencanaan, implementasi dan pengawasan anggaran sekolah.
Model pengelolaan anggaran sekolah tidak cukup dikembangkan berdasarkan
regulasi keuangan daerah sebagai dasar pengelolaan APBD. Partisipasi masyarakat perlu
4
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : (1) Mengetahui praktek (tata kelola) pengelolaan penganggaran sekolah sesuai ketentuan pengelolaan keuangan daerah, (2)Memahami peran serta kepala sekolah, guru, orang tua/wali murid, komite sekolah, tokoh agama dan masyarakat dalam proses perencanaan penatausahaan & pertanggungjawaban anggaran sekolah, (3)Mengidentifikasikan kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala dalam strategi pengelolaan anggaran sesuai regulasi APBD (4)Mengidentifikasikan sumber daya pemangku kepentingan sekolah dalam pengelolaan anggaran (tahap perencanaan, penatausahaan & pertanggungjawaban) (5)Apakah indikator kunci peran pemangku kepentingan dalam proses penganggaran sekolah yang relevan dengan peningkatan mutu dan daya saing lulusan, (6)Bagaimanakah model proses penganggaran, penatausahaan dan pertanggungjawaban anggaran sekolah berbasis partisipasi pemangku kepentingan
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008, Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan yang meliputi: biaya satuan pendidikan; biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan biaya pribadi peserta didik. Prinsip pengelolaan anggaran sekolah diharapkan dapat menjamin keadilan (tanpa diskriminasi), efisiensi (kewajaran), transparan (terbuka), dan akuntabilitas publik (dapat dipertanggungjawabkan). Secara administratifi pengelolaan dana pendidikan oleh satuan pendidikan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga penyelenggara atau satuan pendidikan, serta peraturan satuan pendidikan.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat. Hal ini sesuai amanat pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.Perencanaan partisipatif dalam anggaran sekolah dapat mengembangkan fungsi kognitif, instrumental, politik dan sosial. Fungsi Kognitif: menghasilkan keputusan yang rasional mempertimbangkan kajian akademis, masukan, kritik kelompok terkait, alokasi sumber daya. Fungsi Instrumental; Alat mempertemukan berbagai kepentingan dalam pengambilan keputusan. Fungsi politik: mengurangi resistensi keputusan berdasarkan keputusan bersama, legitimasi public. Fungsi sosial; mengidentifikasi kebutuhan riil di masyarakat dan menyelesaikan problem utama.
5
Proses partisipasi publik perlu disusun sejak perencanaan, implementasi, pengawasan dan pertanggungjawaban penggunaan dana pendidikan. Hal ini relevan dengan penelitian Louis Volante (2007) di Kanada yang menjelaskan bahwa tanggung-jawab bidang pendidikan adalah tiga stake holder kunci yaitu Wajib pajak, pemilih resmi (rakyat dewasa), dan guru. Tidak berlebihan jika pada level dasar, wajib pajak ingin 'know-how' sistem pendidikan yang sedang berlangsung dan mengharapkan pemerintah serta sekolah untuk menyediakan bukti di terhadap nilai investasi mereka.
Menurut Gaffar (2008), terdapat enam tahap penyusunan kebijakan publik yaitu : (1)Problem identification (identifikasi masalah), (2) Criteria (penetapan criteria alternatif pemecahan masalah), (3)Alternatif Solutions (penyusunan alternatif pemecahan masalah), (4)Evaluation of alternative (evaluasi alternatif pemecahan masalah), (5)Exhibit the decision (pengambilan keputusan) dan (6) Monitoring outcome (Monitor outcome/hasil). Dunn (2003), berpendapat bahwa setiap analisis kebijakan berorientasi pada Masalah. Perumusan masalah, dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat tahap yang saling tergantung, yaitu pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Untuk mengatasi situasi masalah harus mengenali situasi yang merupakan isu publik yang terjadi di masyarakat. Meta masalah yaitu masalah diatas masalah atau juga dikenal sebagai tuntutan masalah yang belum terstruktur. Masalah substantif didefinisikan dari meta masalah, yaitu dipilih dari masalah ekonomi, masalah sosial budaya, masalah politik, dan lain-lain.
Dunn (2003), mengklasifikasikan model-model analisis kebijakan meliputi : model diskriptif, model normatif, model simbolik dan model prosedural. Dalam hal ini Suharto (2005) menyatakan bahwa setiap model perumusan kebijakan terdapat tiga tahapan yang saling terkait yaitu identifikasi, evaluasi dan implementasi. Dalam hal ini, Santoso (2010), model kebijakan publik memiliki karakteristik yaitu sederhana dan jelas (clear), ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan (precise), menolong untuk pengkomunikasian (communicable), usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik (managable) dan memberikan penjelasan dan memprediksi konsekuensi (consequences).
Revitalisasi desentralisasi pendidikan pada satuan pendidikan diwujudkan dalam Manajemen Berbasis Sekolah. Dalam konsepsi manajemen ini, Sekolah memberdayakan potensi lingkungan internal dan eksternal untuk mendukung pencapaian visi, misi dan program yang ditetapkan. Dalam hal ini, Rohiat (2008:55) menyatakan bahwa MBS merupakan model manajemen yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas / keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat mewujudkan mutu pendidikan.
6
pendidikan. Keduanya, di tingkat lokal dan pusat, desentralisasi nampak untuk mempromosikan komersialisasi dan privatisasi dalam bidang pendidikan.
MBS juga merupakan salah satu model manajemen strategik. Hal ini berarti meningkatkan pencapaian tujuan melalui pengerahan sumber daya internal dan eksternal. Menurut Thomas Wheelen dan J. David Hunger (1995), empat langkah utama dalam menerapkan perencanaan strategik yaitu (1) memindai lingkungan internal dan eksternal (2)
merumuskan strategi yang meliputi perumusan visi-misi, tujuan organisasi, strategi, dan
kebijakan (3) implementasi strategi meliputi penyusunan program, penyusunan anggaran, dan penetapan prosedur (4) mengontrol dan mengevaluasi kinerja.
Sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah (Umaedi:1999) Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang relevan dengan pengembangan model pengelolaan anggaran sekolah berbasis partisipasi adalah kualitatif. Pemahaman fenomenologis tentang alokasi anggaran pendidikan dari APBD dan APBN menjadi titik tolak perlunya kehadiran pemangku kepentingan dalam pengelolaan sekolah. Subyek penelitian adalah Sekolah Negeri yang meliputi 5 unit SD Negeri (SD Salatiga 1, SD 2, SD Argomulyo, SD Tingkir, SD Blotongan), 5 SMP (SMP 2, 3, 4, 7, dan 9) dan 5 SMA/SMAN (SMAN 2, SMAN 3, SMK 1, 2, 3). Pemilihan subyek penelitian mempertimbangkan lokasi perdesaan dan perkotaan sebagai representasi keswadayaan social.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, Focus Group Discussion (FGD) dan Depth Interview. Setiap metode pengumpulan data didukung panduan pelaksanaan kegiatan pengumpulan data. Studi dokumentasi dilakukan atas dokumen RAPBS, serta Pelaksanaan dan Pertanggung jawaban APBS.
7
perpanjangan waktu pengumpulan data sesuai situasi kondisi sosial pemnagku kepentingan sekolah.
HASIL PENELITIAN
Kota Salatiga termasuk salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah yang menunjukkan keberhasilan dalam pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di Provinsi Jawa Tengah (target APM SD/MI sekitar 96,04 % dan APK SMP/MTs sekitar 99,72 %). APK Kota Salatiga tingkat SD/MI mencapai 101,92%, APK SMP/MTs mencapai 108,63%, APK SMA/MA/SMK mencapai 106,33 %. Sedangkan APM SD/MI mencapai 100,66% APM SMP/MTs mencapai 78,86%, APM SMU/MA mencapai 73,49%. Anggaran Sekolah menjadi bagian dalam Pengelolaan Keuangan Daerah dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena seluruh sekolah di Kota Salatiga sejak SD, SMP, SMA dan SMK baik negeri dan swasta mendapatkan alokasi pembiayaan pendidikan dari APBD. Terutama Satuan pendidikan SD dan SMP sebagai pelaksanaan wajib belajar 9 tahun mendapatkan alokasi anggaran yang relatif besar dari APBD Kota Salatiga. Pada tabel berikut tampak bahwa total biaya penyelenggaraan pendidikan Tahun 2011 pendidikan SD di Kota Salatiga sebesar Rp 32.062.062.000, SMP sebesar Rp.24.829.279.000 dan SMA sebesar: Rp 8.322.152.000; serta SMK sebesar Rp 7.280.973.000. Ini berarti bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan tertinggi di SD dan terendah di SMK.
Tabel 1. Biaya dan Sumber Pembiayaan Pendidikan SD, SMP, SMA dan SMK Di Kota Salatiga
NO
Sumber
SD
SMP
SMA
SMK
1
APBN
7.092.515
6.984.196
710.478
1.000.044
2
Yayasan
1.095.954
300.584
675.839
1.187.779
3
Orang Tua
4.807.808
4.019.899
4.870.400
3.887.574
4
APBD Jateng
1.141.758
50.000
43.698
0
5
APBD Salatiga
17.325.307
12.911.132
1.416.485
0
6
Lainnya
598.720
563.468
605.253
1.205.576
Jumlah Biaya
32.062.062
24.829.279
8.322.152
7.280.973Jumlah Siswa
16.905
8.589
4.327
9.005
Unit cost
1.896,60
2.890,82
1.923,31
808,55
Sumber : Profil Pendidikan Kota Salatiga Tahun 2011 (diolah)
8
orang tua sebesar Rp3.887.574 dan Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Salatiga tidak membantu anggaran pendidikan SMK.
Pada tabel di atas, memperlihatkan jumlah siswa SD sebanyak 16.905 jiwa, SMP :8.589 jiwa, SMA : 4.327 jiwa dan SMK sebanyak : 9.005. Berdasarkan data ini, maka unit cost (biaya pendidikan per anak setahun) pada tingkat SD sebesar Rp 1.896.600, SMP sebesar Rp 2.890.820, SMA sebesar Rp 1.923.310 dan SMK sebesar Rp 808.550. Ini berarti bahwa unit cost biaya pendidikan tertinggi di Kota Salatiga pada tingkat SMP.
Pemerintah Kota Salatiga mulai Tahun 2009 mengalokasikan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Alokasi BOSDA SD/SDLB setiap sekolah per tahun Rp 10.000.000; dan SMP/SMPLB sebesar Rp. 20.000.000; per tahun. Sedangkan bantuan biaya peserta didik SD/SDLB per bulan Rp 4.000 dan SMP/SMPLB sebesar Rp 12.000 per bulan. Kebijakan ini sebagai upaya mendukung biaya penyelenggaraan satuan pendidikan yang selama ini bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah.
Seperti yang tampak pada gambar berikut, alokasi anggaran pendidikan / sekolah integral dalam APBD Kota Salatiga, ditetapkan pada Peraturan Daerah. APBD dijabarkan berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) hasil Musrenbang sejak tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kota Salatiga. Partisipasi masyarakat dimulai sejak Musrenbang, pembahasan Dn penetapanan Kebijakan Umum Anggaran, Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan APBD oleh DPRD dan Walikota Salatiga. Dalam pembahasan KUA PPAS dan RAPBD, masyarakat dapat memberikan masukan dan pertimbangan pembahsan anggaran pendidikan / sekolah melalui Komisi yang yang membidangi pendidikan, Badan Anggaran dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Terbatasnya sumber-sumber penerimaan APBD Kota Salatiga tampaknya tidak bisa mencukupi kebutuhan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Dalam penyelenggaraan pendidikan dasar SD dan SMP sebagai implementasi wajib belajar 9 tahun, Pemerintah dan Pemda semestinya mengalokasikan dana melalui APBN dan APBD serta direncanakan sejak Musrenbang dan penetapan KUA PPAS. Alur penyusunan dan pengelolaan anggaran sekolah sesuai regulasi keuangan daerah, disajikan dalam gambar berikut :
RPJMD
Renstra SKPD
Renja SKPD
RKPD
KUA PPAS
PEDOMAN PENYUSUNAN
RKA-SKPD
RAPERDA APBD
TAPD RKA-SKPD
Dibahas bersama DPRD
5 tahun 5 tahun
1 tahun
1 tahun
RKP RPJM
NOTA KESEPAKATAN PIMPINAN DPRD WALI KOTA SALATIGA
1 tahun 1 tahun 5 tahun
1 tahun
MUSRENBANG SEKOLAH
9
Pengalaman beberapa sekolah baik negeri dan swasta yang telah menyusun program dan anggaran sesuai dengan Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan ternyata penyusunan anggaran dalam bentuk RKAS memiliki nilai tambah dibandingkan RAPBS. Oleh karena, penyusunan RKAS menerapkan prinsip-prinsip : (1)Demand driven (berdasarkan kebutuhan, (2)Data driven, realistik sesuai dengan hasil analisis konteks, (3)Dapat memperbaiki prestasi belajar peserta didik, (4)Membawa perubahan yang lebih baik (peningkatan/ pengembangan), dan (5)Sistematis, terarah, terpadu (saling terkait & sepadan), dan menyeluruh, dan (6)Tanggap terhadap perubahan,(7)Bersifat partisipasif, keterwakilan, dan transparansi, dan (8)Berdasarkan pada hasil review dan evaluasi.
Secara menyeluruh pengelolaan keuangan sekolah yang bersumber dari APBD Kota Salatiga disajikan dalam gambar berikut :
KAS/ APBS
PELAKS.
ANGGARAN Pelaporan DanPertanggung
Jawaban RKAS / RAPBS Jika ada penambahan/ pengurangan dana Sebelum tahun ajaran baru,
RKAS/RAPBS dibahas bersama antara orang tua didik, sekolah dan komite sekolah dan disahkan menjadi APBS oleh Dinas Pendidikan paling lambat akhir bulan Juli pada awal tahun pelajaran
KAS/APBSP
RKJM–RPS
4 Tahun
1. Laporan hasil kegiatan wajib dibuat 2. Laporan kegiatan selama 1 tahun anggaran disampaikan kepada diknas paling lambat tgl 5 januari tahun berikutnya Seluruh dana pendidikan sekolah dikelola sesuai sistem anggaran daerah Disiapkan Kep Sek
dan dibahas – ditetapkan bersama Komite Sekolah
Gambar 2. Pengelolaan Keuangan Sekolah yang bersumber dari APBD
10
bantuan secara profesional untuk memperbaiki kinerja. Sesuai Permendiknas No. 19 Tahun 2007 Standar Pengelolaan Pendidikan Para Kepala Sekolah menyatakan bahwa pengawasan pengelolaan sekolah meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan.
Sebagai pertanggungjawaban anggaran, Laporan Tahunan Sekolah dibahas dalam forum komite sekolah. Aspek-aspek apa saja yang perlu dilaporkan, bagaimana format laporannya, dan siapa/gugus tugas mana yang melakukannya dan perlu dibahas lebih lanjut. Yang pasti adalah bahwa laporan tahunan sekolah sangat bermanfaat bagi sekolah sendiri dan para stakeholdernya. Laporan Tahunan Sekolah merupakan kesempatan bagi sekolah untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap stakeholder sekolah (khususnya orang tua). Melalui media ini mereka memperoleh informasi yang jujur, objektif, dan dapat dipercaya mengenai kinerja sekolah dan hasil belajar murid. Laporan Tahunan Sekolah yang telah dibahas dan mendapat penerimaan sekolah, selanjutnya akan disampaikan ke Dinas Pendidikan Kota Salatiga sebagai bahan untuk melakukan review sekolah.
Dalam perwujudan good governance pengelolaan anggaran sekolah, Pemerintah Kota Salatiga memfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi karyawan. Partisipasi Pemangku kepentingan dalam Penyusunan anggaran sekolah di Kota Salatiga dengan kegiatan sebagai berikut : Mengidentifikasikan kebutuhan sekolah untuk kegiatan operasional dan peningkatan mutu lulusan, Pelibatan Guru, menyusun kegiatan yang relevan pemecahan masalah belajar dan mutu siswa, Pelibatan Tenaga kependidikan menyusun kegiatan yang relevan dengan peningkatan sarana prasarana sekolah pemecahan masalah belajatr dan mutu siswa, Pelibatan Siswa, Orang Tua dalam menyusun kegiatan pemecahan masalah belajatr dan mutu siswa, Komite Sekolah menjadi bagian prakarsa, inisiator dan Perencanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban APBS
11
WAJAR 9 TH SALATIGA (SD/MI –SMP/MTs) - UUD 1945 (Psl 31) -UU 20/2003 (Psl 6 dan 34)
-PP 47/2008 Wajar 9 Thn -PP 48/2008 Pendn Penddlk
-PP 19 2005 –PP 32 2013 -PERDA PENDIDIKAN (2009)
Pemda (APBN-APBD) -Akses -Terbatas - Politik -Kompleks Masyarakat -Persepsi Wajar - Mis konsepsi
Pungutan dan Sumbangan - Good Governance
Sekolah Visi-Misi Sekolah -Mutu -Akhlak Mulia -Keberpihakan -Daya Saing Pemenuhan Anggaran Sekolah -Kecukupan -Keadilan -Keberlanjutan Manajemen Berbasis Sekolah -Perencanaan -Implementasi -Pengawasan dan -Pengendalian
Gambar 3. Implementasi MBS Dalam Pengelolaan Anggaran Sekolah
Peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung, koordinator dan pengusul. Input dalam hal ini siswa sekolah adalah anggota masyarakat. Dan para lulusan akan kembali ke masyarakat setelah menamatkan pendidikan di sekolah. Upaya menjalin komunikasi masyarakat dilakukan para Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah di Kota Salatiga guna memperoleh dukungan dan masukan konstruktif dalam pengembangan sekolah.
Menurut Para Kepala Sekolah di Kota Salatiga, bentuk hubungan antara sekolah dengan para stakeholdernya terbagi menjadi tiga model. Model pertama adalah profesional, kedua yaitu advokasi, dan ketiga ialah kemitraan. Model Kemitraan mengandung pembagian tanggungjawab dan inisiatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat yang ditujukan pada pencapaian target kependidikan tertentu. Model profesional mengandalkan pada layanan pegawai sekolah dan para pakar, sehingga hubungan yang terjalin dengan pihak orangtua atau masyarakat umumnya hanya satu arah. Adapun model advokasi terkesan lebih mendudukkan dirinya sebagai usaha oposisi terhadap kebijakan pendidikan pada umumnya dan sekolah pada khususnya. Model kemitraan mengandalkan pada kepentingan pribadi orang tua dan anggota masyarakat yang mau tidak mau membuat mereka berpartisipasi dalam aktivitas yang berkaitan dengan sekolah.
12
memadai, artinya, tidak memenuhi kriteria kesiapan minimal, dinyatakan sebagai kelemahan bagi faktor internal atau ancaman bagi faktor eksternal. Untuk menentukan kriteria kesiapan, diperlukan standar, kecermatan, kehati-hatian, pengetahuan, dan pengalaman yang cukup agar dapat diperoleh ukuran kesiapan yang tepat. Identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala penyusunan anggaran berbasis partisipasi masyarakat tampak pada tabel berikut.
Tabel 2. Analisis Lingkungan Internal
Tahapan Lingkungan Internal
Kekuatan Kelemahan
1.Perencanaan - Pendidikan sbg prioritas
pembangunan Kota Salatiga
- Anggaran Pendidikan > 38%)
APBD Salatiga
- Keberhasilan APK Wajar > 100 %
- Komitmen DPRD dan Walikota
dalam Perencanaan APBD
- Keterbatasan skill perencana program
dan anggaran
- Plafond dan priortas APBD membatasi
kreativitas
- Proses politik APBD memperlemah
akses partisipasi sejak musrenbang
- Ketidaksiapan regulasi tata kelola
anggaran pendidikan
1. Implementasi - Dukungan skill DPPKAD
- Aplikasi Teknologi Informasi
- Keterbatasan skill penatausahaan
keuangan daerah
- Akses anggaran sekolah belum on line
menekan partisipasi
- Belum tersusunnya SPM dan SOP tata
kelola keuangan sekolah
2. Pengawasan - Komitmen Komite Sekolah
- Dinamika Supervisi dan Bimbingan
Pengawas
- Komitmen Inspektorat Dalam good
governance Sekolah
- Keterbatasan auditor internal sekolah
- Lemahnya sistem pengendalian
keuangan sekolah
- Belum disusunnya SPM dan SOP
Anggaran Sekolah
Tabel 3. Analisis Lingkungan Eksternal
Tahapan Lingkungan Internal
Peluang Ancaman-kendala
1.Perencanaan - Pendidikan mjd tanggungjawab Pemerintah, Pemda dan masyarkat - Aplikasi teknologi informasi dalam
pengelolaan anggaran - Komitmen Orang tua dan
masyarakat dalam mendukung mutu dan daya saing sekolah
- Kampanye pendidikan dasar gratis menekan program kreatif dan bermutu
- Eforia politik transparansi berarti buka-bukaan kurang mendukung kondusivitas kerja
2. Implementasi - Aplikasi teknologi informasi dalam penatausahaan
- Kerja sama Akademisi PT dalam pelaksanaan program
- Kondusivitas masyarakat Salatiga
- Moral hazard lelang proyek pendidikan menunda program sekolah
- Sistem auditing Keuangan daerah dan perpajakan yang ketat dan kompleks
3. Pengawasan - Reformasi pendidikan mendinamiskan pengawasan - Komitmen PT (UKSW) dalam
good governance sekolah
- Eforia politik menekan partisipasi pendidikan
13
Pendidikan menjadi salah satu layanan publik yang mendapatkan dukungan
Pemerintah Kota, DPRD dan masyarakat Kota Salatiga. Adanya suatu keyakinan bahwa
reformasi manajemen pendidikan persekolahan dengan menggunakan pendekatan model
MBS merupakan tuntutan yang mendesak, karena kompleksitas masa depan pendidikan
dituntut harus makin bermutu dan berkualitas sesuai dengan harapan masyarakat. Guru
menjadi bagian utama dalam pelaksanaan program sekolah. Guru menjadi kepercayaan
Komite Sekolah dalam menyusun program, merancang anggaran dan mengkoordinasikan
kegiatan (anggaran sekolah). Keterlibatan guru ini sebagai wujud tanggung jawab dan media
belajar dalam proses kaderisasi sekolah. Dari pengalaman Kepala Sekolah, keterlibatan guru
ini menjadi indikator loyalitas dan komitmen dalam pengembangan profesi.
Dalam lingkup sekolah di Kota Salatiga memandang MBS sebagai salah satu
alternatif pemecahan masalah di sekolah, tetapi MBS bukan satu-satunya model yang dapat
mendongkrak mutu dan kualitas pendidikan tanpa memperhatikan dukungan faktor lain. Ada
sejumlah faktor lain yang dapat menentukan dan mempengaruhi keberhasilan MBS misalnya
tingkat ekonomi masyarakat, sosial budaya, politik dan taraf pendidikan masyarakat,
kebijakan pemerintah, organisasi atau kepemimpinan kepala sekolah, strategi pembelajaran di
kelas, tata laksana sekolah, profesionalisme tenaga guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Hal tersebut merupakan komponen yang harus diperhatikan dalam konteks manajemen
sekolah. Para pihak seperti Kepala Sekolah, Guru dan Komite Sekolah di Kota Salatiga
mengusulkan persyaratan implementas MBS yaitu: a. kepala sekolah dan guru Profesional;
b. Komitmen dan partisipasi orang tua; c. Dukungan alokasi dana; d.mutu pembelajaran dan
daya saing lulusan; e. Partisipasi stakeholder pendidikan f. Implementasi Program Sekolah.
Implementasi MBS di Kota Salatiga dilaksanakan secara bertahap dengan
memperhatikan kondisi sekolah dan kondisi sosial masyarakat serta mempertimbangkan
faktor geografis, demografis, budaya setempat, dan potensi dasar yang dimiliki masyarakat
sekolah. Dalam pelaksanaan MBS, sekolah menerapkan pola pendekatan idiografik (membolehkan adanya kebebasan cara melaksanakan MBS). Walaupun demikian, masih
dapat menggunakan pendekatan nomotetik melaksanakan MBS secara “seragam” terutama pada waktu pelaksanaan program kegiatan dengan memperhatikan ketentuan standar
pelayanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemikiran para Kepala sekolah di Salatiga dalam mengakomodasi aspirasi, harapan
14
menampung dan menyalurkannya. Wadah yang dimaksudkan adalah Forum partisipasi
dimana representasi pada stakeholder sekolah terwakili secara proporsional. Komite sekolah
merupakan suatu badan yang berfungsi sebagai forum resmi untuk mengakomodasi dan
membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan kelembangan sekolah dalam penyusunan
perencanaan strategik sekolah, penyusunan perencanaan tahunan sekolah, dan memikirkan
upaya-upaya untuk memajukan sekolah, serta memantau kinerja sekolah.
Di lingkungan SD, SMP, SMA dan SMK di Kota Salatiga, Manajemen Berasis
Sekolah keberadaannya dalam membantu mewujudkan sebuah sekolah yang madiri dan
efektif sudah mendesak. Peran serta masarakat dalam membangun sekolah diperlukan, karena
mereka adalah user atau pemakai out put sekolah, apa yang mereka inginkan perlu didengar, apa yang mereka butuhkan perlu kita penuhi, agar kita tidak ditinggalkan mereka.
Managemen Berbasis Sekolah (MBS), merupakan pendekatan pembangunan sekolah yang
melibatkan masarakat secara penuh dan bertanggung jawab selalui struktur yang dibentuk
atau organisasi yang mewadahi mereka. Untuk itu diperlukan soerang kepala sekolah yang
mempunyai kemampuan manajerial, peka terhadap tuntutan dan perubahan masyarakat,
teknologi informasi, akses anggaran dan komunikasi publik untuk menjamin MBS optimal,
aspiratif dan menghasilkan program sekolah yang bermutu, kreatif dan inovatif.
PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa :
a. Pengelolaan anggaran sekolah SD, SMP, SMA dan SMK Kota Salatiga pada
umumnya direncanakan, diimplementasikan dan diawasi secara partisipatif.
Keterlibatan Komite Sekolah semakin mendinamiskan Manajermen dalam
mengembangkan program dan sumber-sumber pendanaan pendidikan
b. Pihak-pihak yang tergabung dalam Komite Sekolah dalam hal ini perwakilan
orang tua, Tokoh Masyarakat, Guru dan Kepala Sekolah telah berperan sesuai
prinsip manajemen berbasis sekolah. Kebutuhan dan potensi sekolah menjadi
acuan dalam menyusun program dan anggaran sekolah.
c. Keterbatasan skill dilingkungan sekolah menjadi kelemahan dalam pengelolaan
anggaran berbasis partisipasi. Program pendidikan gratis SD dan SMP serta
terbatasnya alokasi APBD untuk menambah BOS Provinsi dan APBN menjadi
15
d. Sumber daya Guru menjadi ujung tombak dalam pengelolaan anggaran sekolah.
Motivasi dan komitmen guru dalam merevitalisasikan Manajemen Berbasis
Sekolah sebagai proses kaderisasi dan wujud rasa tanggung jawab kepada
Sekolah. Kepala sekolah menjadi motivator dan pengarah dalam mengerahkan
guru dalam menata dan melaksanakan program dan anggaran sekolah.
Berdasarkan kesimpulan di atas disarankan bahwa
a. Penyusunan tata kelola anggaran sekolah berbasis partisipasi dalam bentuk
penyusunan regulasi seperti Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota Salatiga
diperlukan. Dengan demikian, sekolah dan masyarakat memiliki acuan payung hukum
dalam melibatkan pihak-pihak sejak tahapan perencanaan program, anggaran,
implementasi, pengawasan dan pertanggungjawaban program sekolah.
b. Keterlibatan pihak-pihak dalam Komite Sekolah perlu lebih dinamiskan fokus pada
pemecahan masalah (kebutuhan) sekolah. Program sosialisasi, training, workshop,
dan pemberian apresiasi para Tokoh Penggiat Sekolah akan semakin meningkatkan
motif dan komitmen dalam peningkatan mutu pendidikan di Kota Salatiga
c. Penempatan tenaga administrasi terutama di SD dan peningkatan kapasitas
(kompetensi) penyusunan program dan pengelolaan anggaran baik di SD, SMP, SMA
dan SMK diperlukan guna meningkatkan mutu pengelolaan anggaran sekolah.
d. Keterlibatan guru dalam Komite Sekolah perlu diberikan apresiasi sebagai tugas
administrasi dalam pembinaan profesi guru. Dengan demikian para guru merasa
16
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Biaya Pendidikan, Biaya Operasi Sekolah Dasar,
Jakarta
Bush, Robin dan Yuna Farhan 2010, Kinerja Pengelolaan Anggaran Daerah 2009 Study di 41 Kabupaten/Kota di Indonesia, kerja sama The Asia Foundation dan FITRA
Cohen, William., A., (2002), The New Art of the Leader, (Alih Bahasa Hendrikus Leko ; Seni baru Tentang Pemimpin, Memimpin Dengan Integritas dan Kehormatan), Jakarta : PT. Prenhallindo.
Cohn, Elchanan., (1979). The Economics of Education. Revised Edition, Massachusetts: A Subsidiary of Harper & Row Publisher, Inc,
Coombs, Philip H and Jacques Hallak, (1972), Managing Educational Cost, London, Oxford University Press
Decentralized Basic Education (DBE), 2008, Panduan Fasilitasi Perhitungan Biaya Operasional
Pendidikan (BOSP) dan Penyusunan Kebijakan, Jakarta, Kerjasama MenkoKesra,
Depdikdiknas, Depag dengan Usaid. Amerika Serika Serikat.
Fattah, Nanang. (2007), Analisis Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar (Modul), Sekolah Pasca Sarjana, Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia
---,(2000). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Gaffar, M.F, (2008), Pembiayaan Pendidikan Nasional Indonesia, Tantangan, Peta Permasalahan dan Strategi Perubahan Manajemen Pembiayaan Pendidikan Nasional Indonesia, (makalah tidak dipublikasikan), Disajikan pada Konvensi Nasional pendidikan Indonesia VI, di Universitas Pendidikan Ganesha, Bandung, Hotel Aston, 17 – 19 November 2008.
Hanushek, Eric A. (1996), Measuring Investment in Education, Journal of Economic Perspectives-Volum 10, Number 4--Fall 1996-Pages 9-30,
http://links.jstor.org/sici?sici=0895-309%28199623%2910%3A4%3C9%3AMIIE%3E2.0.CO%3B2-1
Ismanto, Bambang, (2011), Kebijakan Pendanaan Pendidikan, Disertasi (tidak dipublikasikan), Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
…….., (2010), Profil APBD Kota Salatiga tahun 2005-2010, Progdi Pendidikan Ekonomi, FKIP UKSW, Salatiga
……, (2007), Kajian Peraturan Daerah Penyelenggaraan Pendidikan Kota Salatiga, Diskusi Penyusunan Raperda bersama Dewan Pendidikan Salatiga
……., (2008), Integrasi Pendanaan Pendidikan dalam APBD Kota Salatiga, Workshop Komisi I Bidang Pemerintahan/Pendidikan DPRD Kota Salatiga
Jones, Thomas,H, (1985), Introduction To School finance : Technique and Social Policy, Macmillan Company : New York
17
Lotz, Jorgen, 2005, Accountability and Control in the Financing of Local Government in Denmark, ISSN 1608-7143, OECD JOURNAL ON BUDGETING Volume 5 – No. 2
Louis Volante, Educational Quality and Accountability in Ontario dalam Canadian Journal of Educational Administration and Policy, Issue #58, January 21, 2007. © by CJEAP and the author(s).
Mulyono, 2010, Konsep Pembiayaan Pendidikan, Ar-Ruzz, Yogyakarta
Papke, (2000), National Tax Journal, Vol. 53 no. 1 (March 2000) pp. 153-168,
Thomas Wheelen dan J. David Hunger.1995. Essential of Strategic Management. Prentice-Hall. New Jersey.
Umaedi, 1999, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu,
http://www.ssep.net/director.html, Unduh 22 Maret 2012
Widodo, et.al. (2008), Peran Komite Sekolah SMP di Kota Semarang, Jurnal Media Penelitian Pendidikan, IKIP, PGRI Semarang, ISSN : 19878-936X
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas), Nomor : tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
Progdi Pendidikan Ekonomi, (2011), Masterplan Pendidikan Kabupaten Semarang Tahun 2013-2017 (Kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Semarang)
Rohiat, 2008, Manajemen Sekolah, Teori Dasar dan Praktik, PT Refika Aditama, Bandung
Undang-Undang, Nomor : 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ---, Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
---,Undang-Undang Nomor : 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
---,Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah