• Tidak ada hasil yang ditemukan

Damat Diversifikasi Pangan 6 Mei 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Damat Diversifikasi Pangan 6 Mei 2009"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DIVERSIFIKASI PANGAN BERBASIS PANGAN LOKAL UNTUK

MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Oleh:

Dr. Ir. Damat, MP*)

A. Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan dasar dan merupakan hak azazi bagi setiap manusia. Oleh sebab itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia (Sawit, 2000 dalam Widowati, 2003). Fakta menunjukkan bahwa bencana kelaparan pada suatu negara dapat merambah ke ranah politik dan dapat menjadi penyebab jatuhnya suatu rezim pemerintahan. Oleh karena itu upaya penyediaan bahan pangan harus mendapatkan prioritas utama guna mewujudkan ketahanan pangan.

Menurut Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan, yaitu tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri atau sumber lainnya.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia berubah cenderung lebih banyak mengkonsumsi beras dan terigu. Menurut data susenas telah terjadi peningkatan konsumsi terigu sebesar 3 kg/kap/thn dalam kurun waktu satu tahun (2006–2007). Terjadi perubahan pola konsumsi ke arah beras dan terigu. Sementara cara pandang masyarakat terhadap sumber pangan pokok dalam kurun waktu 25 tahun kebelakang seolah-olah digiring kedalam pandangan yang lebih sempit bahwa sumber pangan pokok masyarakat hanya beras. Buktinya seluruh pegawai pemerintah memperoleh pembagian beras sebagai sumber bahan pangan pokoknya, tanpa

(2)

memandang asal daerah. Walaupu daerah tersebut memiliki bahan pangan pokok lokal selain beras (Histifarina, 2008).

Data lain menujukkan bahwa sampai saat ini upaya pemenuhan konsumsi kalori dan protein bangsa Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian, sedangkan kelompok umbi-umbian dan kacang-kacangan masing-masing kontribusinya masih sangat rendah. Pada tahun 2004 dari konsumsi 1986 kalori, 1024 kalori (51%) dipenuhi dari padi-padian, sedangkan umbi-umbian dan kacang-kacangan hanya menyumbang 56 dan 64 kalori atau 3,36% dan 3,13%. Demikian juga teradap konsumsi protein sebagian besar (44%) dipenuhi dari padi-padian. Umbi-umbian hanya memberi sumbangan sebesar 0,9% dan 10,10% (Kasno, Saleh, dan Ginting, 2006). Sampai saat ini upaya pemenuhan kalori bagi masyarakat Indonesia masih didominasi beras (151,00 kg per kepala per tahun) (Tabel 1). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan kedua setelah Bangladesh dalam konsumsi beras.

Tabel 1. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999 (dalam kg per kepala per tahun)

Wilayah Gandum Beras Jagung Sorgum Millet

Amerika Tengah dan Utara 70,90 10,80 40,10 1,20 0,00 Amerika Serikat 86,80 8,60 13,80 1,10 0,00 Amerika Tengah 37,10 9,40 112,10 1,80 0,00 Amerika Selatan 55,50 31,80 21,80 0,00 0,00 Brazil 47,40 39,50 18,00 0,00 0,00 Eropa Barat 97,60 4,80 5,80 0,00 0,00 Rusia 131,70 4,90 0,30 0,00 2,90 Afrika 46,30 17,80 41,40 19,50 12,90 Sekitar sahara 15,90 17,50 38,90 24,90 16,90 Asia 69,90 86,40 13,90 2,80 3,00 Cina 82,60 91,60 19,70 1,10 0,80 India 57,30 75,80 8,80 8,00 9,10 Indonesia 16,30 151,00 34,40 0,00 0,00 Bangladesh 19,00 161,00 0,30 0,00 0,40 Pasifik 66,90 15,20 3,40 0,60 0,00

Rata-rata Dunia 70,80 57,80 19,00 4,30 3,50

(3)

Bila dilihat dari komposisi gizi, umbi-umbian terutama ubi jalar diketahui memiliki nilai kalori dan protein yang setara dengan beras (Tabel 2). Bertolak pada angka kecukupan gizi (AKG), maka sesungguhnya ubi jalar tersebut dapat digunakan sebagai suplemen beras dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan kalori.

Tabel 2. Komposisi energi, protein, lemak dan karbohidrat dari beragai macam tepung (dalam 100 g)

No. Jenis Tepung Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)

1. Beras 364 7,0 0,5 80,0

2. Singkong 359 2,9 0,7 84,9 3. Ubijalar putih 355 5,2 2,0 80,6 4. Ubijalar merah 363 5,3 2,1 83,3 5. Ubijalar ungu 337 4,9 1,9 76,4

6. Tales 186 3,6 0,4 45,0

7. Kacang hijau 389 23,7 1,3 45,0 8. Kacang

tunggak

410 27,5 1,3 73,9

9. Kedelai 40,0 20,0 35,0

Sumber: Marudut dan Sundari (2000) dalam Kasno, Saleh, dan Ginting (2006)

Upaya pemenuhan kebutuhan kalori yang hanya bertumpu pada beras dan tepung terigu akan berdampak pada tingkat ketahanan pangan masyarakat yang rentan, sehingga masalah ikutan dari rendahnya ketahanan pangan masyarakat dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Selain itu juga dapat menyebabkan negara kita masuk kedalam ”perangkap pangan” atau food trap negara maju. Food Trap dapat menjadi salah satu faktor yang menggerogoti devisa negara dan membawa bangsa ini menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia. Sebagai ilustrasi, semenjak Amerika Serikat memberikan bantuan gandum dalam jumlah besar, dan diikuti dengan dibangunnya pabrik gandum terbesar sedunia di Indonesia, kita menjadi bangsa yang terjajah oleh gandum. Mie dan roti pun seakan tak lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Padahal gandum sebagai bahan dasar tepung terigu hingga saat ini belum bisa dibudidayakan secara komersial di Indonesia.

(4)

bahan pangan sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin maupun mineral. Iklim tropis di Indonesia menjadikan wilayah Indonesia sangat kaya akan sumber bahan pangan pokok selain beras. Misalnya, potensi umbi-umbian dan serealia yang beragam sebagai sumber karbohidrat dapat tumbuh dengan subur dan beragam jenisnya seperti; ubi jalar, ubi kayu, gembili, garut, ganyong dan lain-lain. Apabila ditinjau dari segi nutrisi, tanaman umbi-umbian mempunyai nilai nutrisi yang rendah dibandingkan dengan beras maupun kacang-kacangan, terutama kandungan protein dan lemak, namun cukup tinggi pada kandungan karbohidratnya. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkungan yang majemuk dan memiliki anekaragam kebudayaan dan potensi sumber pangan spesifik, strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya pangan wilayah.

Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan salah satu jalan keluar yang cukup rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan (khususnya sumber karbohidrat). Menurut Widowati (2003), melalui penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan nasional.

B. Status Gizi Masyarakat

(5)

Menurut Budianto (2000) krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 mengakibatkan makin rapuhnya ketahanan pangan, karena aksesibilitas pangan yang makin merosot. Hal ini disebabkan karena makin meningkatnya jumlah pengangguran, penduduk miskin bertambah, pendapatan riil masyarakat menurun dan terjadi peningkatan harga pangan di pasar.

Pembangunan pangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus dilakukan secara adil dan merata buat kesejahteraan seluruh penduduk Indonesia (Sawit 2000). Pengkajian dan penggalian peran bahan. Penurunan ketahanan pangan di Indonesia juga diakibatkan oleh menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri karena berbagai hal. Jumlah penduduk yang kini mencapai 219,20 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,34% per tahun (BPS 2004) dan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 151,0 kg merupakan tantangan yang tidak ringan. Sementara produksi padi dihadapkan pada masalah penciutan lahan, penurunan kualitas lahan, terjadi levelling-off dari peningkatan produktivitas dan berbagai masalah lain (Budianto 2000).

Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, penganekaragaman/ diversifikasi pangan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan permasalahan kebutuhan pangan (khususnya karbohidrat). Penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan (padi), memungkinkan tumbuhnya ketahanan pangan pada masing-masing keluarga yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.

(6)

C. Pentingnya Diversifikasi Pangan Berbasis Pangan Lokal

Untuk mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, maka langkah penting yang cukup rasional yang perlu ditempuh adalah dengan melakukan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal guna mencegah terjadinya krisis pangan. Bila tidak maka negara kita berpotensi menghadapi krisis sosial, ekonomi dan politik yang sangat serius dimasa-masa yang akan datang. Krisis pangan dunia yang terjadi pada tahun 2008 yang lalu bukan tidak mungkin akan terjadi di masa-masa yang akan datang. Apabila terjadi krisis pangan dunia, bisa dipastikan negara kita akan tekena dampaknya, mengingat beberapa jenis komoditi masih harus import, seperti gandum, jagung, kedelai, dll.

Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis pangan dunia, yaitu (i) Jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada tahun 2000 jumlah penduduk dunia mencapai 6,1 milyar, dan pada tahun 2025 diperkirakan menjadi 8,0 milyart, sehingga akan makin meningkatkan permintaan bahan pangan. (ii) Makin meningkatnya berbagai produk hasil pertanian yang dikonversi menjadi biofuel sebagai akibat tingginya harga minyak mentah dunia. Pada awalnya biofule ini diproduksi dari limbah hasil pertanian, akan tetapi dengan semakin melambungnya harga minyak mentah dunia dan semakin meningkatnya permintaan biofule, maka kini biofule diproduksi dengan menggunakan jagung, gandum, dan beberapa jenis biji-bijian lainnya, yang mestinya digunakan bahan pangan untuk konsumsi manusia. (iii) Bencana alam. Karena cuaca dan bencana alam, panen padi turun di Vietnam dan India dan membuat pemerintah mereka membatasi impor beras dari dua negara tersebut untuk cadangan dalam negeri. Akibatnya pasokan beras di pasar komodiiti dunia pun menurun. Bahkan Filipina yang dulu dikenal sebagai pengekspor beras beberapa tahun terakhir beralih menjadi negara pengimpor beras terbesar karena penurunan produksi padi mereka.

Walaupun negara Indonesia adalah negara agraris, akan tetapi bila terjadi krisis pangan dunia juga berpotensi berimbas pada krisis pangan di negara kita. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, antara lain adalah:

1. Ketahanan pangan yang rapuh

(7)

karena untuk pemenuhan kebutuhan bahan pangan, Negara kita masih mengandalkan impor. Untuk memenuhi kebutuhan beras misalnya, sejak tahun 1961 Indonesia telah mengimpor beras dalam jumlah yang cukup besar (Tabel 3) dan merupakan pengimpor gandum terbesar kelima, dengan volume impor gandum mencapai 4,5 juta ton (Tabel 4).

Tabel 3. Impor dan ekspor beras Indonesia (juta ton)

No. Tahun Impor Ekspor

1. 1970 956.13

-2. 1980 2011.71 10,00

3. 1985 33.85 258,71

4. 1990 49.58 1,91

5. 1995 3157.70 0,01

6. 2000 1355.04 1,19

7. 2001 642.17 3,95

8. 2002 1798.50 4,15

9. 2003 1625.75 0,70

10. 2004 390.83 0,91

Sumber: www.faostat.2006

Tabel 4. Sepuluh Negara terbesar eksportir dan importir gandum di dunia

No.

Ekspor Impor

Negara (Juta Ton)Jumlah Negara (Juta Ton)Jumlah

1. Amerika Serikat 30,2 Mesir 6,8 2. Kanada 13,5 Uni Eropa 6,3 3. Rusia 10,6 Brasilia 6,1 4. Uni Eropa 9,9 Jepang 5,1 5. Argentina 9,3 Indonesia 4,5

6. Kazkhstan 8,9 Algeria 3,7 7. Australia 6,5 Maroko 3,3

8. Cina 2,3 Meksiko 3,3

9. Pakistan 1,5 Nigeria 2,8 10 Ukrania 1,4 Korea Selatan 2,8

(8)

2. Meningkatnya konsumsi terigu dan menurunnya konsumsi ubi dan ubi jalar.

Pada tahun 1990, jumlah orang yang mengkonsumsi jagung dan ubi kayu masing-masing adalah 9,3% dan 32,1% di kota, serta 19,0% dan 49,6% di desa. Pada tahun 1999, jumlah tersebut menurun, masing-masing menjadi 4,8% dan 28,6% di kota dan 10,1% dan 39,8% di desa. Sebaliknya gandum dan produk olahannya, seperti mie mempunyai tingkat partisipasi konsumsi yang terus meningkat, bahkan lebih besar daripada jagung dan ubi kayu, sementara untuk jagung dan ubi kayu terus menurun. Selama tahun 1990-1999, laju perubahan jumlah penduduk Indonesia yang mengkonsumsi mie di kota mencapai 56,4% di kota dan 67,0% di desa (Anonymous, 2003).

Berdasarkan fakta tersebut, maka diversifikasi pangan perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan keluarga menuju ketahanan pangan nasional yang tangguh. Diversifikasi produksi pangan bermanfaat bagi upaya peningkatan pendapatan petani dan memperkecil resiko berusaha. Diversifikasi produksi secara langsung ataupun tidak juga akan mendukung upaya penganekaragaman pangan (diversifikasi konsumsi pangan) yang merupakan salah satu aspek penting dalam ketahanan pangan. Menurut Suryana (2005), ada dua bentuk diversifikasi produksi yang dapat dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan, yaitu:

1. Diversifikasi horizontal; yaitu mengembangkan usahatani komoditas unggulan sebagai “core of business” serta mengembangkan usahatani komoditas lainnya sebagai usaha pelengkap untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam, modal, dan tenaga kerja keluarga serta memperkecil terjadinya resiko kegagalan usaha.

2. Diversifikasi regional; yaitu mengembangkan komoditas pertanian unggulan spesifik lokasi dalam kawasan yang luas menurut kesesuaian kondisi agro ekosistemnya, dengan demikian akan mendorong pengembangan sentra-sentra produksi pertanian di berbagai wilayah serta mendorong pengembangan perdagangan antar wilayah.

D. Kendala Diversifikasi Pangan dan Alternatif Penyelesaiannya

(9)

dibandingkan dengan serealia (beras). Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yang pada akhirnya menghambat upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, yaitu: 1. Pada umumnya masyarakat Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi

pada beras untuk dimasak menjadi nasi. Hal ini mudah dimengerti karena dibandingkan sumber karbohidrat lain, nasi dari beras lebih mudah disiapkan, lebih luwes dengan beragam lauk pauk dan memiliki kandungan kalori dan protein yang cukup tinggi. Walaupun demikian sebenarnya berbagai jenis bahan pangan, seperti ubi jalar tidak saja sebagai sumber karbohidrat, akan tetapi diketahui banya mengandung antioksidan dan merupakan prebiotik yang dapat memberikan efek yang menyehatkan bagi yang mengkonsumsinya.

2. Ada anggapan dari sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap belum makan bila belum makan nasi, walaupun kecukupan kalori dan protein dapat dipenuhi dari sumber karbohidat lain non beras.

3. Selama ini umbi-umbian dan buah-buahan kaya karbohidrat belum dibudidayakan secara maksimal, seperti halnya petani menanam padi. Tuntutan untuk mengoptimalkan produksi umbi-umbian belum ada karena demand di pasaran juga belum muncul. Apalagi, selama ini umbi-umbian hanya dikenal sebagai snack, kecuali di pedalaman Papua yang konsumsi utama masyarakatnya adalah ubi jalar. Hal ini disebabkan karena kebijakan pengembangan komoditas pangan, termasuk teknologinya hanya terfokus pada beras, dan telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat lainnya.

4. Pangan lokal diberbagai wilayah sehingga belum dapat dikembangkan dalam skala industri. Disaping itu berbagai hasil olahan pangan lokal yang ada, dilihat dari sisi mutu dan keamanan pangan masih rendah, kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higiens dalam pengolahan serta penyajiannya.

5. Ketidak seragaman produk dan cita rasa serta kandungan gizi yang kadang-kadang kurang seimbang.

6. Kurang terbentuknya citra produk yang menarik dalam persepsi konsumen karena kurang memperhatikan tampilan dan kepraktisan dalam penyajian.

7. Kurang memperhatikan aspek pemasaran, penyimpanan dan promosi.

(10)

volume, bila dibandingkan dengan beras lebih rendah. Hal ini menyebabkan biaya penanganan, transportasi dan penyimpanan relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan beras. (ii) Umbi-umbian dan buah-buahan umumnya memiliki kadar air tinggi (60-80%), sehingga mudah rusak, dan beaya pengeringannya relatif mahal. (iii) Produksi umbi-umbian dan buah-buahan lebih banyak tergantung musim. Hal ini menyebabkan fluktuasi harga tinggi. (iv) Institusi pemasaran dan jasa penunjang bagi produk palawija, termasuk buah-buahan tidak sebaik yang tersedia pada beras.

Walaupun menghadapi berbagai kendala, upaya diversifikasi pangan berbasis pangan lokal harus tetap dijalankan dengan melibatkan semua pihak yang terkait, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, kalangan perguruan tinggi, dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Tanpa dukungan dari semua pihak rasanya cukup sulit untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Selama ini program diversifikasi pangan guna mewujudkan ketahanan pangan yang tangguh, perannya masih banyak didominasi oleh Departemen Pertanian, sedangkan departemen atau lembaga lainnya belum mengambil peran secara optimal.

Untuk mewujudkan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, maka perlu langkah-langkah yang strategis, yaitu:

1. Dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, perlu dilakukan kajian sosiologis untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang beras, terigu dan jenis makanan pokok spesifik lokasi tertentu. Melalui kajian tersebut diharapkan diperoleh metode untuk merubah paradigma bahwa beras bukan merupakan satu-satunya sumber karbohidrat untuk memenuhi kebutuhan kalori masyarakat. 2. Intervensi mengenalkan diversifikasi pangan pada anak-anak sejak usia dini, ibu

(11)

3. Melakukan kapanye dan promosi secara komprehensif untuk mendorong masyarakat untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan ubi-ubian sebagai sumber tepung untuk berbagai produk olahan pangan dan secara bertahap mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu.

4. Fasilitasi pengembangan pangan lokal dan pengembangan industri pangan dengan bahan bahan pangan lokal.

5. Sosialisasi dan penerapan standart mutu keamanan pangan pada UKM pangan berbasis pangan lokal.

6. Mengembangkan kredit mikro, bantuan dana bergulir serta memfasilitasi kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan besar-menengah dengan perusahaan kecil dan rumah tangga yang mengolah berbagai produk pangan berbasis pangan lokal.

7. Mengoptimalkan peran Perum Perhutani dan LMDH (lembaga masyarakat desa hutan) dalam penyediaan lahan untuk penanaman berbagai jenis umbi-umbian potensial dalam rangka penyediaan bahan pangan lokal.

8. Penyediaan permodalan bagi UKM pengolahan produk pangan, terutama yang berbasis sumber pangan lokal (umbi-umbian).

9. Pemberian insentif khusus bagi industri pangan yang menggunakan bahan baku lokal (bukan import)

Kesimpulan

(12)

diversifikasi pangan harus diarahkan sebagai upaya untuk memenuhi angka kecukupan gizi (AKG).

Daftar Pustaka

Ariani, M. 2003. Tren konsumsi pangan produk gandum di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

BBC News. 8 April 2008

Champagne, E.T. 2003. Rice: Chemistry and Technology 3ed. American Association of Cereal Chemists, Inc., St. Paul, Minnesota, USA.

FAO Database 2001. FAO, Rome. (FAO last update 20 November 2001).

Jacinto F. Fabiosa, J.F. 2006. Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesia. Working Paper 06-WP 422. Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University Ames, Iowa 50011-1070.

Kasno, A., N. Saleh, dan E. Ginting. 2006. Pengembangan pangan berbasis kacang-kacangan dan umbi-umbian guna pemantapan ketahanan pangan nasional. Bul. Palawija No. 12: 43–51.

Kate Smith, K. and R. Edwards. 2008. The year of global food crisis. http://www. sundayherald.com/ews/heraldnews/display.

McIvor, K. 2008. UNICEF cautions against the abolishment fortification in Indonesia. MEDIA RELEASE, UNICEF

Miller, V. 2008. Biofules. www. Guardian.co.uk. Donwload tanggal 21 April 2008.

Sawit, M.H. 2000. arah Pembangunann Pangan dan Gizi. Makalah pada Diskusi Round Table Peningkatan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Suryana, A. 2005. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi, Faperta, IPB, Bogor.

Gambar

Tabel 1. Konsumsi padi-padian di beberapa wilayah dunia tahun 1997-1999 (dalam kg per kepala per tahun)
Tabel 2. Komposisi energi, protein, lemak dan karbohidrat dari beragai macam tepung (dalam 100 g)
Tabel 3.  Impor dan ekspor beras Indonesia (juta ton)

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (R&D) dengan model penelitian 4D yaitu tahap pendefinisian (Define), tahan perancangan (Design), tahan

Produksi nyata alat adalah hasil yang dapat dicapai suatu alat dalam realitas kerjanya pada saat alat itu dioperasikan.. Produksi teoritis merupakan hasil terbaik

This error occurs when the students use an item that must not appear in well formed utterances. There are three types of addition errors, namely double marking, regularization,

Tisu-tisu aerenkima (tisu-tisu lembut yang mempunyai ruang udara yang besar diantara sel) dalam tangkai dan daun-daun membolehkan ketimbulan supaya tumbuh-tumbuhan boleh

Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji persoalan mengenai “Perkawinan Madureso” yang terjadi di Desa Trimulyo Kecamatan Guntur Kabupaten Demak

Selain itu masih dengan memperhatikan asosiasi kedua unsur ini dapat diketahui pula asal batuan sumber dari sedimen-sedimen dimana mineral tersebut terakumulasi, karena

proses analisis data secara keseluruhan, oleh karena itu dalam penelitian yang dilakukan, peneliti kemudian mempersiapkan data-data tersebut untuk dapat dianalisis,

Relay menggunakan prinsip elektromagnetik untuk menggerakkan kontak saklar sehingga dengan arus listrik yang kecil dapat menghantar listrik yang bertegangan lebih