NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN GENDHING JAWI
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1)
Filsafat Agama
OLEH: M. DWI ILHAMI
NIM: E71211039
PRODI FILSAFAT AGAMA
JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN
GENDHING JAWI
Skripsi
Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Filsafat Agama
Oleh :
Mochamad Dwi Ilhami E71211039
PROGRAM STUDI FILSAFATAGAMA JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
MOTTO
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat nama Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi
tentram.”
KATA PENGANTAR
Segenap puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya, skripsi ini telah terselesaikan dengan lancar dan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap penyusunan.
Sholawat serta salam atas kehadirat junjungan umat manusia, baginda Nabi
Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, pembawa risalah suci yang penulis harap-harapkan
syafaatnya.
Seiring dengan itu penulis sangat berterima kasih kepada kedua orang tua secara
lahir dan batin, karena kesuksesan ini dapat penulis peroleh tidak lepas dari segala
pengorbanannya, baik materil maupun spiritual, yang selalu menuntun dan mengarahkan
penulis dalam memaknai hidup.
Ucapan terima kasih dengan rasa hormat, juga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul A’la, S.Ag., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya.
2. Bapak Dr. Muhid, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
3. Bapak Helmi Umam, M. Hum, selaku ketua Program Studi Filasafat Agama yang
telah memberi izin dan persetujuan hingga penelitian ini dapat diuji pada level
program pencapaian gelar sarjana.
4. BapakDrs. Tasmuji, M. Ag.selaku Dosen Pembimbingyang berkenan meluangkan
waktu dan tenaganya guna memberikan bimbingan, petunjuk, ilmu, nasehat dan saran
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel
Surabaya, yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
sangat berharga bagi penulis.
6. Staf-staf akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya,
atas kelancaran dalam penanganan administrasinya.
7. Staf-staf perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah sudi meminjamkan
buku-buku yang sangat membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan, khususnya
dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Kedua Orangtuaku tercinta dan kakak-ku tersayang, Bapak H. Mchamad Ilyas dan
Ibu Hj. Suherti Ningsih serta Saudari Elyani Inggar Sari, yang tiada lelah
membimbing dan mendidik dari kecil hingga dewasa kini, serta lautan do’a, perhatian
dan semangat di setiap waktu untukku.
9. Terimakasih kepada para pemikir dan cendekiawan yang telah menyumbangkan
pengetahuan dan wawasan kepada penulis.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun dan semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.
Surabaya, 31 Januari 2016
ABSTRAK
Mochamad Dwi Ilhami, NIM. E71211039, 31 Januari 2016. (Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi). Skripsi Program Studi Filsafat Agama Jurusan Pemikiran Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Kata kunci: Tembang, Gendhing Jawi, Spiritualitas
Skripsi dengan judul “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi” ini adalah hasil penelitian pustaka untuk mengetahui bagaimanakah Nilai-nilai spiritualitas yang ada dalam kesenian Tembang dan Gendhing Jawi dan apa saja unsur-unsur dalam Tembang dan Gendhing Jawi yang menjadi pengaruhnya terhadap spiritualitas itu sendiri. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan secara deskriptif-historis, yakni menggambarkan Tembang dan Gendhing Jawi yang menjadi pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat Jawa karena nilai-nilai spiritualitas didalamnya. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan selama proses penelitian ini adalah dengan teknik pengumpulan data-data dari beberapa literatur atau buku-buku.
Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa, adapun hal-hal yang berhubungan dengan spiritualitas sebenarnya sangat banyak, akan tetapi dalam penulisan skripsi ini penulis lebih menekankan hal-hal yang menjadi pengaruh spiritualitas dari ranah seni, yaitu Tembang dan Gendhing Jawi yang lebih mempunyai kesan yang berbeda dengan nuansa spiritualitas yang berbeda pula. Semua itu dikarenakan, Tembang dan Gendhing Jawi adalah musik atau kesenian yang berkembang dari hasil interrelasi agama dan akulturasi budaya lokal, baik itu Hindu-Buda, Islam dan adat-istiadat masyarakat jawa sendiri.
DAFTAR ISI
COVER DALAM ...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
PERSEMBAHAN... xii
MOTTO ...xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 7
F. Definisi Operasional ... 8
G. Tinjauan Pustaka ... 9
H. Metode Penelitian ... 10
BAB II SPIRITUALITAS DAN MACAM-MACAMNYA ... 15
A. Pengertian Spiritualitas ... 15
B. Macam-macam Spiritualitas ... 22
1. Spiritualitas Islam ... 22
2. Spiritualitas Dalam Kajian Barat dan Timur ... 25
BAB III TEMBANG DAN GENDHING JAWI SERTA NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DI DALAMNYA ... 27
A. Pengertian Tembang ... 27
B. Sejarah Perkembangan Tembang ... 28
C. Macam-macam Jenis Tenbang ... 30
D. Pengertian Gendhing Jawi ... 35
E. Sejarah Perkembangan Gendhing Jawi ... 36
F. Laras (tangga nada) Dalam Kesenian Gendhing... 39
G. Macam-macam dan Pengelompoakan Gendhing Jawi ... 42
H. Fungsi-fungsi Gendhing ... 45
I. Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang dan Gendhing Jawi ... 49
BAB IV ALASAN YANG MENDASARI TEMBANG DAN GENDHING JAWI BERPENGARUH TERHADAP SPIRITUALITAS ... 68
A. Masyarakat Jawa Dalam Agama dan Seni Budaya ... 68
2. Ritualitas Masyarakat Jawa Yang Lahir Dari Akulturasi Budaya Islam
Dan Jawa ... 75
B. Hal-hal Yang Melandasi Seni Kebudayaan Jawa Dalam Ranah Nilai-nilai Spiritualitas ... 79
1. Pengaruh Islam Yang Melebur Dalam Sastra Dan Penyerapan Bahasa Jawa……….79
2. Esensi Ritual Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi………85
BAB V PENUTUP ... 91
A. Kesimpulan ... 91
B. Saran ... 92
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Musik memang tak akan bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.1
Dengan demikian dalam sejarah perkembanganya, musik seringkali
dideskripsikan sebagai sebuah bentuk ekspresi jiwa manusia untuk menyampaikan
sesuatu yang disajikan dalam kesatuan nada dan irama juga dengan bahasa yang
berbeda berupa sajak, syair, puisi banyak hal lainnya.
Bahkan musik tak hanya mengilhami jiwa pemusik. Setiap bayi setelah
dilahirkan ke dunia mulai menggerakan lengan dan kaki kecilnya dengan ritme
musik, kehidupan bergantung pada ritme musik karena bila diteliti pada setiap
manusia sendiri akan menemukan bahwa denyut nadi, jantung, hembusan nafas,
hirupan nafas, semuanya adalah pekerjaan ritmis. Demikian pula yang
disimbolkan dalam Islam, setiap bayi lahir ke dunia akan selalu diperdengarkan
adzan yang juga mempunyai unsur ritme.2 Tetapi sampai pada saat ini musik
semakin banyak berkembang dengan berbagai corak dan warna yang beragam,
bila dikaji dalam setiap jenis musik yang lahir dan terbentuk dari latarbelakang
budaya, adat-istiadat maupun agama. Maka, musik akan menjelaskan bahwa pada
dasarnya ia mempunyai fungsi dan nilainya masing-masing. Terlebih lagi bila kita
mendengar istilah tentang ”spiritualitas tanpa agama”, tentunya dalam hal
1
Yusuf Al-Qardhawi, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, (Bandung: Mujahid Press, t.th),
hal. 9.
2
Haszrat Inayah Khan, Dimensi Mistik Musik Dan Bunyi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2
pencapaian spiritualitas yang seperti ini akan membutuhkan banyak komponen
yang lebih luas lagi dan tak terbatas sebagai alat pencapaianya yang cenderung
bersifat universal.3 Akan tetapi dewasa kini lebih marak munculnya musik di
kalangan masyarakat yang hanya menonjolkan unsur hiburan dan terkesan tanpa
muatan positif bila ditelaah lebih dalam untuk konsumen musik itu sendiri,
padahal bila dilihat dari antusias masyarakat akan perkembangan industri musik
baik luar maupun dalam negeri sangatlah pesat, tentu sangat di sayangkan bila
fenomena yang seperti ini tidak dimanfaatkan dengan baik sebagai jalan untuk
member pengaruh terhadap orang lain untuk mengarah pada hal yang lebih positif,
baik sikologi maupun spiritualitas masyarakat modern saat ini. Munculnya
gagasan dalam penulisan judul ini contohnya, berawal dari hal kecil di akhir
pekan pada pagi hari ketika menyeduh kopi hitam dibawah pohon asem nan
rindang di warung kopi depan rumah, tiba-tiba muncul dalam benak yang
mempertanyakan tentang banyakya tempat hiburan seperti studio karaoke maupun
warung kopi pinggir-pinggir jalan yang tak terhitung banyaknya. Hal itu
nampaknya selalu jadi pelarian bagi masyarakat baik yang tua ataupun muda
untuk melepas penat di padatnya aktivitas keseharian mereka, bahkan bukan
hanya itu saja, sebagian tempat yang juga menyodorkan sarana menikmati
berbagai khas musik seperti warung kopi ataupun studio karaoke ini juga
mempunyai kesan sebagai sarana relaksasi bagi para konsumenya untuk
menenangkan diri, seolah-olah hal ini terlihat sudah menjadi mediasi bagi mereka
untuk mendapatkan semacam ketenangan batin secara praktis.
3
Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad
3
Pada zaman modern seperti saat ini, keadaan hidup yang opsional dan
semakin berkembang bidang teknologinya maka, akan semakin mempengaruhi
cara berfikir manusia yang semakin menginginkan hal praktis pula. Bahkan dalam
bagian terintim dalam hidup, yaitu “spiritualitas”. Maka dalam hal inilah musik
mempunyai peran penting sebagai opsi praktis manusia untuk mempengaruhi
keadaan kebatinanya sehingga dapat mencapai taraf spiritualitas tertentu
(ketenangan jiwa) yang sudah jarang ditemukan dalam kehidupan yang penuh
polemik seperti saat ini. Yang menjadi pertanyaanya, bagaimanakah musik dapat
mempengaruhi keadaan batin seseorang?. Yang jelas, hal inilah yang menjadi
pembahasan pokok dalam penulisan skripsi kali ini bahwa musik-musik tertentu
dan syair-syairnya juga bisa digunakan sebagai hal yang mempengaruhi spiritual
diri seseorang karena adanya nilai-nilai spiritual yang diusung, dalam pandangan
umum bisa dijelaskan bahwa batin adalah sesuatu yang lembut maka, secara
spontanitas ia akan menangkap pula hal-hal yang lembut yang ada disekitarnya
sehingga menimbulkan suasana kebatinan yang berbeda-beda sesuai dengan apa
yang ditangkapnya.4 Musik yang mendayu-dayu akan memberi nuansa sedih,
musik yang keras akan memberi nuansa berapi-api, musik yang terkesan mistik
akan membawa nuansa yang menakutkan bagi pendengarnya, beginilah dengan
mudahnya musik membawa pengaruh dan perubahan besar dalam diri seseorang.5
Terlebih lagi jika kita melihat bagaimana para sufi dan yogi dalam
mencapai spiritualitasnya dengan mediasi musik pada setiap ritualnya. Menurut
mereka musik adalah perahu yang dapat mengusung berbagai bentuk maksud
4
Ibid, hal 52. 5
Ibid, hal 36.
4
batin mereka dengan nuansa yang lebih dalam dan intim melewati penangkapan
pengindraan atau pendengaran, dikarenakan dengan mediasi musik yang
mempunyai resonansi tertentu semua keadaan tubuh manusia akan meng-iyakan
maksud atau sejalan dengan hati dan fikiran yang pada ahirnya akan mencapai
pada taraf ekstase.6 Dalam keadaan yang seperti inilah manusia akan dihantarkan
pada berbagai macam keadaan batin sesuai dengan apa yang diilustrasikan
olehnya, seperti sedih, keluh kesah, penyesalan penderitaan, harapan dan lain
sebagainya sebelum mencapai kebahagiaan tertinggi yang sebenarnya.
Bila dicontohkan, tentunya banyak terlihat ataupun terdengar tentang
beberapa kelompok atau jama’ah dzikir tertentu di sekitar kita yang melalukan
ritual peribadatan keagamaanya secara bersama-sama, mereka membunyikan dan
melantunkan suatu kalimat, do’a atau dzikir dari mulut mereka yang ditujukan
pada Tuhan Maha Esa secara berulang-ulang dengan menggeleng-gelengkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri atau bahkan ada yang sampai menangis
terseduh-seduh seakan mereka telah merasakan sebuah pencerahan yang luar biasa dalam
hatinya. Nah, dalam hal inipun dapat dicermati bahwasanya apa yang mereka
lakukan dalam prosesi ritualnya adalah mengandung unsur musik juga,
keselarasan mereka melantunkan dzikir dengan serempak yang beralun-alun
hingga merdu terdengar bila sampai ke telinga masing-masing dengan
penghayatan maknanya yang dalam akan merubah suasana menjadi hening dan
hanyut dengan diikuti gerak tubuh yang terus bersambutan hingga mereka merasa
rileks seperti telah lepas semua beban-beban, itulah yang membuat tercucurnya air
6
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 234.
5
mata karena mereka sudah dalam fase ekstase. Semua ini tentunya sangat
berkaitan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan dari musik itu sendiri yang
selaras dan alami.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.”(QS ar-Ra’du:28). 7
Sebenarnya bila mengingat kembali tentang banyaknya peninggalan
kebudayaan Nusantara khususnya di daerah Jawa, maka akan diketahui bahwa
Indonesia mempunyai salah satu peninggalan kesenian musik kuno yang sangat
berpengaruh dengan masalah spiritualitas yaitu “Gendhing Jawi dan tembang”,
namun sayangnya kesenian yang mulai luntur terkikis zaman ini semakin jarang
dan lepas dari perhatian publik, padahal sebetulnya banyak hal positif yang dapat
diambil jika mau mentelaahnya lebih dalam.
Gaya musiknya yang khas dan mempunyai karakter tersendiri sangatlah
berpengaruh untuk perkembangan moral dan peradaban manusia pada zaman
kejayaanya, musik yang penuh dengan falsafah hidup dan unsur keagamaan yang
sangat kental itulah yang mengubah secara perlahan namun pasti pada cara
berfikir dan laku orang-orang jawa terdahulu dan pula secara efisien mengikis
ketegangan dan meredam perbedaan suku, ras maupun agama, hal inilah yang
7
6
menjadi senjata dakwah bagi tokoh-tokoh agama pada masa itu (Wali Songo)
untuk menyebarkan dan mengembangkan spiritualitas keagamaan di tanah jawa.8
Jika orang-orang terdahulu sebelumnya dapat mengmbangkan konsep spiritualitas
dengan baik melalui Tembang dan Gendhing jawi, maka apa peradaban manusia
yang berada di zaman modern ini tidak mau menengok kebelakang dan mau
mengambil pelajaran penting yang mestinya juga diterapkan pada saat ini?.
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas telah diketahui, bahwa dalam
kehidupan sehari-hari musik (khususnya Tembang dan Gendhing Jawi) pada
dasarnya memiliki berbagai macam perkembangan dan bentuk yang dapat
mempengaruhi keadaan diri seseorang, di antaranya sosial, mental, psikologi dan
tingkat spiritualnya. Khususnya dikalangann tertentu yang menjadikannya sebagai
alat utama atau mediasi untuk menuju pencapaian ketenangan batin. Akan tetapi,
bagaimanakah musik (Tembang dan Gendhing Jawi) itu bila dikaji secara khusus
sebagai hal yang berpengaruh karena mempunyai nilai-nilai spiritualitas dan
sejauh mana signifikansi pengaruhnya bila dikembangkan dan di kaji secara
universal, sehingga musik (khususnya Tembang dan Gendhing Jawi) dapat
menjadi pilihan konkrit dan praktis yang relevan untuk keadaan masyarakat pada
saat ini, disamping itu juga bernilai positif untuk tetap mempertahankan
peninggalan kebudayaan Nusantara.
8
Djohan, Psikologi Musik, (Yogyakarta: Buku Baik, 2003), hal. 7-8.
7
C. Rumusan Masalah
Latar belakang dan identifikasi masalah di atas menghasilkan beberapa
perumusan masalah yang nantinya akan menjadi pembahasan dalam tiap bab di
dalam karya tulis ilmiah ini. Adapun rumusan masalah yang dihasilkan adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah spiritualitas dan macam-macamnya?
2. Bagaimana Tembang dan Gendhing Jawi serta nilai-nilai spiritualitas di
dalamnya?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian dalam karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui bagaimana spiritualitas dan macam-macamnya.
2. Untuk mengetahui Tembang dan Gendhing Jawi serta nilai-nilai spiritualitas
di dalamnya.
E. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, diharapkan pembuatan karya tulis ilmiah
ini akan bermanfaat dan berguna sebagai tambahan wawasan khazanah keilmuan
khususnya dalam ranah musik (Tembang dan Gendhing Jawi) yang juga
mempunyai nilai-nilai spiritualitas yang dapat berpengaruh pula terhadap
spiritualitas, yang mana telah diketahui oleh masyarakat luas bahwasannya musik
memang cuma sebagai hiburan saja tanpa mengetahui adanya manfaat yang
8
karya tulis ilmiah ini akan memberi manfaat bagi para pembaca dari seluruh
kalangan masyarakat dan dapat menjadi sumbangsi yang berarti dalam ranah
spiritualitas.
F. Penegasan Judul
Untuk memperjelas penulisan penilitian ini serta menghindari adanya
kesalahpahaman, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai maksud dari
masing-masing kata yang tedapat dalam judul penelitian ini, yaitu sebagaimana
berikut:
spiritualitas: Berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani,
batin).9
Tembang: Sebuah bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional yang
dilantunkan dalam bahasa Jawan yang setiap baitnya
mempunyai baris kalimat (gatra) tertentu dan disetiap gatra
mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu.10
Gendhing Jawi: Alunan musik atau irama yang disajikan untuk mengiringi
tembang-tembang jawa juga sebagai pengiring dalam
pagelaran pewayangan atau juga ludruk.11
Musik (Tembang dan Gendhing Jawi) bukan hanya sebagai sarana
mendengar atau menyanyikan lagu saja, namun Gendhing juga dapat menjadi
9
Departemen Pendidikan Nasional, (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,
Jakarta:2008), hal. 1373. 10
F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta, 2009, penerbit Wedatama Widya
Sastra. hal. 74
11
Esther L. Siagian, Goong, (Jakarta, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 1970), hal.8.
9
pengaruh besar terhadap spiritualitas bagi para musisi Gendhing Jawi. Namun
demikian, pengaruh spiritualitas dari musik sendiri masih awam dalam
masyarakat mayoritas yang notabene pemikirannya musik adalah sarana untuk
hiburan saja. Sedangkan masyarakat minoritas yang mengetahui bahwa adanya
musik juga sebenarnya berpengaruh besar terhadap spiritualitas, pemikirannya
musik adalah mediasi untuk mengantarkan ketenangan batin. Sehingga dalam
tahap tertentu dapat mencapai pada fase ekstase yang menjadikannya berada
dalam keadaan yang paling intim.
G. Telaah Pustaka
Pada penelitian sebelumnya, sebenarnya telah ditemukan beberapa karya
ilmiah dalam bentuk skripsi yang mengakaji tentang musik sebagai metode
pencapaian spiritualitas, diantaranya ialah:
1. Spiritualitas Musik Dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr yang ditulis oleh
Muhamad Muzayin di Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2008. Akan tetapi dalam penelitian tersebut
membahas tentang pandangan Seyyed Hossein Nasr mengenai relevansi
spiritualitas Islam dalam apresiasi musik.
2. Musik sebagai sarana sufi mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam
pemikiran Hazrat Inayat Khan yang ditulis oleh M. Taajuddin Muslim di
Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2006. Pada penelitian ini,
M. Taajuddin mengkaji musik dalam pandangan Hazrat Inayat Khan yang
mana menjelaskan pendekatan pada Tuhan yang Maha Esa masih secara
10
3. Serat Sastra Gendhing Dalam Kajian Strukturalisme Semiotik oleh Aldila
Syarifatul Na’im di Universitas Negri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni
Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa pada tahun 2010. Akan tetapi Aldila
Syarifatul Na’im pada penulisan skripsinya hanya focus mengarah pada
kesusastraan bahasanya dan strukturalisme semiotik.
Oleh karena itu, penelitian yang berjudul “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam
Tembang Dan Gendhing Jawi” ini merupakan karya ilmiah yang baru dalam
penulisan skripsi ini, karena dalam penelitian ini membahas tentang beberapa
pengaruh yang mendasar dalam Gendhing Jawi terhadap spiritualitas serta
Gendhing Jawi.
H. Metode Penelitian
1. Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah
metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam
dan interpretatif.12
Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis
terkait persoalan tentang permasalahan yang diteliti. Perspektif ke dalam
adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semulanya
didapatkan dari pembahasan umum. Sedang interpretatif adalah
penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam
mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat, atau pertanyaan.
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012), hal.2.
11
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan library research
(kajian pustaka). Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya
diolah melelui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku,
dan catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian.
3. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data tentang nilai-nilai spiritualitas dalam Tembang
dan Gendhing Jawi dapat pula menggunakan metode-metode penelitian
sebagai berikut:
a. Deskriptif, adalah bersifat menggambarkan, menguraikan sesuatu hal
menurut apa adanya atau karangan yang melukiskan sesuatu.
Pendiskripsian ini digunakan oleh penulis dalam memaparkan hasil
data-data yang diperoleh dari literatur kepustakaan. 13
b. Adapun metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis yaitu
suatu metode yang bermaksud menjelaskan dari berbagai aspek. 14
4. Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai hal-hal atau
variabel berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya. Melalui metode
dokumentasi, diperoleh data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan
konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
13
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, cet III (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hal.31.
14
Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan (Jakarta:
12
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisa data memakai pendekatan metode
deskriptif-analitis. Penelitian yang bersifat tematik memaparkan data-data
yang diperoleh dari permasalahan pokok. Dengan metode ini akan
dideskripsikan mengenai musik Gendhing Jawi sebagai pengaruh terhadap
spiritualitas.
6. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini
diantaranya adalah:
a. Sumber data primer
Sebagai sumber primer dalam penelitian ini data yang digunakan
adalah dengan kajian pustaka yang juga dikombinasikan terhadap
berbagai pokok permasalahan yang ada dalam masalah Musik Spiritual.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yang dimaksud di sini adalah
sumber-sumber data yang mengacu pada buku-buku teks Dimensi Musik Mistik
dan Bunyi, Kidung Rumi, Tasyawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa
dan Raga, Psikologi Sufi Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh dan sumber
data lainnya yang berfungsi untuk melengkapi sumber data primer.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini, penulis juga merujuk pada
pendapat para tokoh tentang metode-metode pencapaian spiritualitas serta
13
I. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan
ini disusun atas lima bab, sebagai berikut:
yang mana dalam bab yang pertama berisikan tentang latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematiak
pembahasan. Dalam bab satu ini berisikan hal tersebut karena untuk memudahkan
pembaca mengetahui apa masalah dan isi tentang “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam
Tembang Dan Gendhing Jawi” dalam skripsi ini.
Dalam bab dua berisi tentang spiritualitas dan macam-macamnya. Dalam
hal ini dibahas didalamnya beberapa hal, yaitu: Pengertian spiritualitas,
spiritualitas dalam Islam dan yang terahir adalah spiritualitas dalam kajian barat
dan timur.
Kemudian dalam bab tiga berisikan tentangTembang dan Gendhing Jawi
yang mencaku pada beberapa hal, yaitu: Pengertian Tembang dan Gendhing Jawi,
sejarah perkembangan Tembang dan Gendhing Jawi, macam-macam dan
pengelompokan Tembang dan Gendhing Jawi, serta yang terahir adalah nilai-nilai
spiritualitas dalam Tembang dan Gendhing Jawi.
Dalam bab empat sendiri adalah analisis yang berisikan alasan yang
mendasari Tembang dan Gendhing jawi berpengaruh terhadap spiritualitas yang
mana dalam bab ini adalah inti dari penulisan skripsi. Dalam pembahasanya
mencakup beberapa hal, yaitu: Masyarakat Jawa dalam agama dan seni,
14
Terakhir dalam bab lima berisi tentang kesimpulan dan saran dalam
penulisan skripsi “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang dan Gendhing Jawi”
15
BAB II
SPIRITUALIATAS DAN MACAM-MACAMNYA A. Pengertian Spiritualitas
Spiritual berasal dari kata spirit yang berarti “semangat, jiwa, roh,
sukma, mental, batin, rohani dan keagamaan”.1 Sedangkan Anshari dalam kamus
psikologi mengatakan bahwa spiritual adalah asumsi mengenai nilai-nilai
transcendental2. Dengan begini maka, dapat di paparkan bahwa makna dari
spiritualitas ialah merupakan sebagai pengalaman manusia secara umum dari
suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas.
Spiritualitas atau jiwa sebagaimana yang telah digambarkan oleh
tokoh-tokoh sufi adalah suatu alam yang tak terukur besarnya, ia adalah keseluruhan
alam semesta, karena ia adalah salinan dari-Nya segala hal yang ada di dalam
alam semesta terjumpai di dalam jiwa, hal yang sama segala apa yang terdapat di
dalam jiwa ada di alam semesta, oleh sebab inilah, maka ia yang telah menguasai
alam semesta, sebagaimana juga ia yang telah diperintah oleh jiwanya pasti
diperintah oleh seluruh alam semesta.
‘Jiwa’ adalah ‘ruh’ setelah bersatu dengan jasad penyatuan ruh dengan jasad
melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh. Sebab dari
pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh
ruh. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan subjek dari kegiatan
“spiritual”. Penyatuan dari jiwa dan ruh itulah untuk mencapai kebutuhan akan
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 857.
2
16
Tuhan. Dalam rangka untuk mencerminkan sifat-sifat Tuhan dibutuhkan
standarisasi pengosongan jiwa, sehingga eksistensi jiwa dapat memberikan
keseimbangan dalam menyatu dengan ruh3.
Ruh merupakan jagat spiritualitas yang memiliki dimensi yang terkesan
Maha Luas, tak tersentuh (untouchable), jauh di luar sana (beyond). Disanalah ia
menjadi wadah atau bungkus bagi sesuatu yang bersifat rahasia. Dalam bahasa
sufisme ia adalah sesuatu yang bersifat esoterisme (bathiniah) atau spiritual.
Dalam esoterisme mengalir spiritualitas agama-agama. Dengan melihat sisi
esoterisme ajaran agama atau ajaran agama kerohanian, maka manusia akan
dibawa kepada apa yang merupakan hakikat dari panggilan manusia. Dari sanalah
jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan
kebahagiaan setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara
tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan, dengan
melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan.
Dalam dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan pusat
vital organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus,
merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk
pribadi. Para sufi mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat
dekat kepada apa yang ada dalam al-Qur'an dan ekspresi ringkas terpadu mereka
yang telah mencakup seluruh esensi ajaran. Kebenaran-kebenaran ajarannya
mudah mengarah pada perkembangan tanpa batas dan karena peradaban Islam
telah menyerap warisan budaya pra Islam tertentu, para guru sufi dapat
3
Sa’id Hawa, Jalan Ruhaniah, terj : Drs. Khairul Rafie’ M. dan Ibnu Tha Ali, (Mizan,
Bandung, 1995), hlm. 63
17
mengajarkan warisannya dalam bentuk lisan atau tulisan. Mereka menggunakan
gagasan-gagasan pinjaman yang telah ada dari warisan-warisan masa lalu cukup
memadai guna menyatakan kebenaran-kebenaran yang harus dapat diterima
jangkauan akal manusia waktu itu dan yang telah tersirat dalam simbolisme sufi
yang ketat dalam suatu bentuk praktek yang singkat.
Dari warisan-warisan yang telah ada yaitu kebenaran-kebenaran hakiki dari
para kaum sufi, maka terciptalah prilaku-prilaku yang memiliki tujuan objektif
(Tuhan) tidak lain seperti halnya esoterisme dalam agama-agama tertentu, langkah
awal untuk menjadikan umatnya mencari tujuan yang objektif, mereka memiliki
metode-metode khusus untuk menggali tingkat spiritualitasnya. Oleh karena itu,
penelitian mengenai pengalaman keagamaan merupakan kegiatan yang tidak
pernah surut dari sejarah. Hal ini disebabkan karena pengalaman keagamaan,
tidak akan pernah hilang, dan tidak pernah selesai untuk diteliti. Dari
pengalaman-pengalaman keagamaan (religiusitas) itulah akan memberikan dampak positif bagi
individu yang menjalaninya.
Sebagaimana telah tampak bahwa kegersangan spiritual semakin meluas hal
itu terdapat pada masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan semakin
didambakan orang untuk mendapatkan manisnya spiritualitas the taste of
spirituality. The taste of spirituality, bukanlah diskursus pemikiran, melainkan ia
merupakan diskursus rasa dan pengalaman yang erat kaitannya dengan makna
hidup.4 Dalam khazanah Islam, pengalaman keagamaan tertinggi yang pernah
4
Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik ; Pengalaman Keagamaan Jama’ah
Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bekerja Sama dengan Walisongo Press, Semarang, 2003), hlm. 17
18
berhasil dicapai oleh manusia adalah peristiwa “mi’raj” Nabi Muhammad SAW.,
sehingga peristiwa ini menjadi inspirasi yang selalu dirindukan hampir semua
orang, bahkan apapun agamanya.
Di sinilah muncul salah satu alasan bahwa pengalaman spiritualitas sangat
didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan bentuknya. Dan untuk
menggapai pengalaman-pengalaman spiritualits itu, maka diperlukan
upacara-upacara khusus guna mencapainya. Sebab dari pengalaman keagamaan itu,
umumnya muncul hati yang mencintai yang ditandai dengan kelembutan dan
kepekaan. Sehingga sifat cinta itu akan melahirkan “kasih” kepada sesama
makhluk tanpa membedakan ras serta keberagamaan yang berbeda. Secara
substansi (esoterisme) agama-agama pada hakekatnya sama dan satu.
Perbendaannya terletak pada aplikasi dari esoterisme yang kemudian
memunculkan “eksoterisme” agama. Pada aspek eksoterik inilah muncul pluralitas
agama. Di mana setiap agama memiliki tujuan yang sama dan objektif yaitu untuk
mencapai kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Antropologi spiritual Islam memperhitungkan empat aspek dalam diri manusia,
yaitu meliputi5:
1. Upaya dan perjuangan “psiko-spiritual” demi pengenalan diri dan disiplin.
2. Kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya.
3. Hubungan individu dengan Tuhan.
4. Hubungan dimensi sosial individu manusia.
5
M.W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, (Penerbit Qalam, Yogyakarta,
2000), hlm. 7
19
Jika dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam
pandangan Islam hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk terlibat
jihad setiap saat dan dalam berbagai tingkat. Model analisis klasik tentang jiwa
manusia meletakkan “hati” manusia sebagai pusat perjuangan, yakni tarik
menarik yang ketat antara “spirit” (kebaikan) dan “ego” (kejahatan).
Kebutuhan manusia akan Tuhan-nya merupakan fitrah yang tidak bisa
dinisbatkan manusia. Jika manusia menisbatkan fitrahnya itu berarti manusia
tersebut telah memarjinalkan potensi beragamanya atau spiritualnya. Seperti
halnya firman Allah SWT dalam surat ar-Ruum ayat 30 ;
Artinya : “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah
SWT)., (tetaplah atas) fitrah Allah SWT., yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah SWT., itulah agama yang lurus ; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (Q.S. ar-Ruum : 30).6
Jiwa atau ruh merupakan hakikat pada diri manusia yang abadi, yang
perenial, dan tidak akan berubah sepanjang masa, yaitu fitrahnya, yang membuat
selamanya merindukan kebenaran, dengan puncaknya ialah kerinduan kepada
Tuhan. Seperti yang telah digambarkan dalam al-Qur'an surat al-Fajr ayat 27-30.
6
Artinya : “Hai jiwa yang tenang ! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Kemudian, masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku”. (Q.S. al-Fajr: ayat 27-30).7
Oleh karena itu, pengalaman keagamaan, dalam arti merasakan kenikmatan
religiusitas sangat didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini terjadi karena
pengalaman keagamaan terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan (puncak)
kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang bersifat universal,
yaitu yang merupakan kebutuhan kodrati setelah kebutuhan-kebutuhan fisik
terpenuhi, yakni kebutuhan cinta dan mencintai Tuhan, dan kemudian melahirkan
kesediaan pengabdian kepada Tuhan. Hal ini yang kemudian disinyalir sebagai
jiwa keagamaan atau kejiwaan agama. Para peneliti saling berbeda pendapat
tentang darimana sumber jiwa keagamaan yang menimbulkan keinginan untuk
mengabdi kepada Tuhan tersebut. Namun secara umum terdapat tiga teori
psikologi agama yang mencoba untuk memberikan jawaban atas persoalan di atas.
Diantaranya teorimonistik, teori faculty dan Teori the Four Whises.
1. Teori Monistik (mono = satu)
Teori ini berpendapat bahwa hanya terdapat satu sumber kejiwaan
(sumber tunggal) dalam keagamaan. Dari teori ini disebutkan sumber kejiwaan
agama adalah sebagai hasil proses berfikir oleh Thomas Van Aquino dan
Fredrick Hegel, rasa ketergantungan kepada yang mutlak (sense of depend)
7
21
oleh Fredrick Schleimaceher, perasaan kagum yang berasal dari “yang sama
sekali lain” (the wholly other) Rudolf Otto yang kemudian diistilahkan
numinous. Proses libido sexuil atas proses odepus complex dan father image
oleh Sigmund Freud, dan karena sekumpulan instink pada diri manusia oleh
William Mac Dougall. Namun pandangan William ini dipandang lemah oleh
para psikolog.8
2. Teori Faculti (faculty theory)
Teori ini yang memandang bahwa sumber kejiwaan agama bukan
bersifat tunggal, namun terdiri dari berbagai fungsi. Menurut teori ini sumber
jiwa keagamaan berasal dari cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Dari teori dasar ini, para psikologi aliran ini menyebutkan bahwa sumber
kejiwaan keagamaan adalah adanya konflik pada diri manusia yang diperlopori
G. M. Straton, sebagai akibat gabungan dari enam kebutuhan pokok, yaitu rasa
kasih sayang, rasa aman, harga diri, bebas, sukses, ingin tahu, dalam hal ini
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itulah manusia memerlukan agama
menurut Zakiyah Daradjat.9
3. Teori the Four Whises
Melalui teori ini W. H. Thomas mengemukakan bahwa sumber kejiwaan
agama adalah karena adanya empat macam keinginan dasar dalam diri
manusia, yaitu: keselamatan (security), mendapat penghargaan (recognition),
8
Drs. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada, Jakarta,
2004), hal. 54-56.
9
Ibid, 59-62
22
untuk ditanggapi (response), dan keinginan akan pengetahuan atau pengalaman
baru (new experience).
Dari ketiga teori mengenai sumber jiwa keberagamaan di atas pada
kenyataannya, antara satu sumber dengan sumber yang lain, kadang saling terkait,
kadang juga saling berbeda antara satu orang dengan orang lain. Jadi tidak bisa
dipastikan sumber mana yang paling kuat dan dominan. Tapi terdapat pengaruh
antar sumber jiwa keagamaan dengan sikap beragama yang ditempuh, dan juga
akan menghasilkan pengalaman yang berbeda, akan memunculkan kembali
sikap-sikap yang berbeda pula.
B. Macam-macam Spiritualitas 1. Spiritualitas Islam
Secara tidak langsung spiritualitas Islam muncul sejak pada abad ke-7 M
diawali dari pencerahan Nabi Muhammad saw kepada seluruh pengikutnya.
Beliau memberikan pencerahan itu mengenai nilai-nilai moral dan spiritual
yang telah diperoleh dari Allah SWT. Apa yang telah ditanamkan oleh Nabi
saw kepada para pengikutnya yang awal, dalam tingkatan-tingkatan yang
berbeda, adalah perasaan yang mendalam pada pertanggungjawaban di
hadapan pengadilan Tuhan, yang mengangkat perilaku mereka dari alam
duniawi dan kepatuhan yang mekanis kepada hukum, kepada alam kegiatan
moral.10 Nilai-nilai moral dan spiritual yang telah diajarkan Nabi ternyata
dapat memberikan perubahan bagi umat manusia hususnya Islam dalam
mencapai derajat tertinggi (kehidupan hakiki). Pengalaman-Pengalaman
10
Ibid, hal. 184
23
spiritual tersebut dapat memberikan posisi kehidupan yang lebih baik dan
dapat dirasakan dan dinikmati kalayak muslim (Islam).
Akhirnya apa yang telah dibawa Nabi saw itu dijadikan sebagai
“sendi” dalam Islam guna mencapai kedekatan diri kepada Allah SWT. Lima
sendi itu yang sering kita kenal dengan sebutan “Rukun Islam” dan kelima hal
itu tetap berguna selama seseorang ingat bahwa dasar-dasar tersebut
merupakan bagian kepercayaan dan bukan hanya suatu ibadah singkat yang
diangkat.11 Lima sendi rukun Islam tersebut adalah: Pertama, Percaya bahwa
tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT.
Kedua, Shalat wajib lima kali dalam sehari semalam. Ketiga, Membayar Zakat
kepada yang berhak menerimanya. Keempat, Puasa dari matahari terbit hingga
terbenam selama tiga puluh hari pada bulan kesembilan, “Ramadhan” dan
Kelima, Ibadah Haji ke Makkah sekali seumur hidup jika mampu secara
materi dan sehat jasmani.
Dari lima sendi itulah yang akan membawa manusia pada tingkatan
tertinggi dari agama Islam ketika manusia itu mau melaksanakan dan mencari
titik temu dalam segi keagamaan. Karena dalam ajaran Islam tingkatan
teritinggi terletak pada tingkat kesalehan manusia. Dimana kunci dari
kesalehan ini adalah “takut kepada Tuhan” atau tanggung jawab kepada cita
moral, atau yang sering disebut dengan istilah “taqwa”.12
Konsep al-Qur'an tentang berserah diri kepada Tuhan (taqwa),
sebagaimana telah ditekankan oleh paham kesalehan dalam arti etisnya,
11
Ibid, hal. 5
12
Ibid, hal. 184
24
berkembang dalam kelompok-kelompok tertentu menjadi suatu doktrin
ekstrim tentang pengingkaran dunia. Maka dalam perilaku atau motivasi dari
seseorang harus berlandaskan kesucian. Begitupun dalam semua aktifitas
kegiatan manusia, hendaklah harus memiliki kesadaran akan pengawasan
Tuhan. Taqwa merupakan salah satu kata yang paling tinggi nilainya, yang
memiliki arti kurang lebih ‘kemuliaan’ dan ‘kedermawanan’. Hingga pada
akhirnya yang akan membawa manusia pada tingkat esoterisme atau yang
tidak lain disebut dengan tingkat “spiritualitas”. Spiritualitas Islam itu
senantiasa identik dengan upaya menyaksikan yang satu, mengungkap yang
satu, dan mengenali yang satu, sang tunggal itu yang ditegaskan dalam
al-Qur'an adalah dengan nama “Allah SWT”.13 Oleh karena itu, seseorang ketika
ingin mencapai tingkatan spiritualitas harus membersihkan hijab-hijab yang
telah menghalangi penyatuan diri manusia dengan Tuhannya.
Dalam bahasa tasawuf untuk mencapai tingkat spiritual ada tiga
tahapan yang perlu diperhatikan, yakni Petama, mengosongkan dan
membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawiaan yang tercela (takhalli).14
Kedua, upaya mengisi atau menghasi dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, prilaku, dan akhlak terpuji (tahalli).15 Ketiga, lenyapnya sifat-sifat
kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan (tajalli). Dalam
13
Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari HAMKA ke Aa Gym, (Pustaka Nuun,
Semarang, 2004), hal. 4
14
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi ; Telaah Pemikiran
Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Atas Kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002), hal. 9
15
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtqar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (cv.
25
tradisi tasawuf, banyak sekali teori yang menyebut karakterkarakter keluhuran
yang seharusnya dimiliki oleh manusia.
2. Spiritualitas Dalam Kajian Barat Dan Timur
Spiritualitas dalam pangdangan barat tidak selalu berkaitan dengan
penghayatan agama bahkan Tuhan. Spiritualitas yang ada dalam pandangan
mereka lebih mengarah pada bentuk pengalaman psikis yang pada ahirnya
dapat member makna yang mendalam pada individu tersebut. Sebaliknya
dalam pandangan orang-orang timur spiritualitas lebih mengarah dan terkait
pada penghayatan religiusitas terhadap Tuhan dengan berbagai ajaran dan
aturan didalamnya. Pada pandangan barat dan timur tentang spiritualitas pada
ahirnya dapat mendasari penilaian dan perlakuan terhadap seni khususnya
musik.16 Dalam sikologi barat, dikatakan bahwasanya puncak kesadaran
manusia seutuhnya ditekankan terhadap tingkat rasionalitasnya, sedangkan
dalam ranah kesufian orang-orang timur tidaklah begitu, kesadaran yang
hanya diukur dari aspek rasionalitas sepertihalnya “tidur dalam sadar”,
dikarenakan sisi spiritualitas dalam pendekatan diri terhadap tuhan tak pernah
bisa terukur dengan hanya menggunakan ukuran rasionalitas.17
Beberapa contoh spiritualitas barat yang merefleksikan kesulitan orang
barat dalam hal emosional dan seksualitas adalah aktris ternama Madona yang
menjadi ikon seksualitas musik pop didunia barat, ekspresi yang digelar
16
Jhon Storey, pengantar komperhensif teori dan metode, hal.126.
17
Robert Frager, Ph.D. Psikologi Sufi, trasformasi hati, jiwa dan ruh. (Zaman, 2014
Jakarta Timur), hal.38.
26
menyerukan kebutuhan untuk menjalani hidup secara langsung dan intens.18
Hal tersebut sekaligus mencerminkan kurangnya suatu autentisitas, terlebih
lagi autentisitas terhadap pemaknaan musik dan fungsinya. Hal tersebut
menggambarkan tergadap kita bahwa musik yang dikonsumsi oleh barat
secara fungsional hanya mengarah pada sebuah kepuasan yang tidak lebih dari
ranah fenomena psikis yaitu seksualitas dan emosional.
18
Sayyed Hossein Nasr, menjelajah dunia modern, hal,112.
27
BAB III
TEMBANG DAN GENDHING JAWI SERTA NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DI DALAMNYA
A. Pengertian Tembang
Tembang yang sering kali kita dengar sebagai sebuah kesenian masyarakat
Jawa yang masih dan mampu bertahan sampai sekarang agaknya mempunyai
makna dan pengertian yang cukup rumit, Tembang sendiri dalam budaya Jawa
berpengertian sebagai, “sebuah bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional
yang dilantunkan dalam bahasa Jawan yang setiap baitnya mempunyai baris
kalimat (gatra) tertentu dan disetiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru
wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir (guru lagu; guru suara
tertentu).1 Cara membawakan Tembang pun terbilang unik dan mempunyai
pakem-pakem tertentu dalam melagukanya.
Suwardi Endrawara dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Jawa:
Warisan Abadi Budaya Leluhur menggolongkan tembang dalam genre tradisi
lisan Jawa sebagai salah satu bentuk puisi.2 Menurutnya, puisi, sebagai tradisi
lisan yang berupa syair-syair rakyat memiliki beberapa bentuk, di antaranya
adalah: (a). Nyanyian rakyat, yaitu puisi yang dilagukan rakyat seperti halnya
lagu dolanan anak, (b). parikan (pantun Jawa), yaitu sajak semi terikat, dan
(c). tembang, yaitu puisi yang terikat oleh aneka aturan, seperti tembang gehe
dan macapat. Sedangkan makna istilah Tembang yang terdapat dalam Kamus
1
F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta, 2009, penerbit Wedatama Widya
Sastra. hal. 94
2
Suwardi Endraswara, Tradisi Jawa Lisan: Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta,
28
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua makna, yang pertama bermakna
syair yang diberi berlagu (untuk dinyanyikan) dan yang kedua bermakna puisi.
Jadi, makna tembang Jawa dalam pandangan umum adalah lagu Jawa.
B. Sejarah Perkembangan Tembang
Perkembangan sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu,
Budha, Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit,
Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20
sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-metrum
kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra merupakan produk masyarakat Jawa
yang sudah berusia sangat panjang.3
Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada
paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi
setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India
secara riel mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem
kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan
umum. Pengaruh sastra Hindu dari India terhadap karya sastra Jawa ditandai
dengan munculnya karya sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa.4 Karya ini
banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya sastra
Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu
suci karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka
juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa.
3
Purwadi. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta, 2006, penerbit Panji Pustaka. hal. 13
4
Ibid. hal. 14
29
Bahkan penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap
karya-karya tersebut.
Sementara itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar
abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas,
sehingga munculah karya-karya sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa
yang asalnya dari karya kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang
macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya, aspek historis dalam sastra
Jawa semakin kuat dengan munculnya karya-karya babad (sastra sejarah) yang
muncul pada pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19,
sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ranggawarsita kebanyakan
berupa manuskrip.5 Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa memasuki babak baru
sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat munculnya karya
sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra. Pengaruh tersebut
bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa.
Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru
seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas
Prawirasudirya.6
Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para
siswa sekolah. Sedangkan pada awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang
berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi tersebut masih terkesan mengutamakan
pesan-5
Ibid, hal. 14 6
Ibid, hal. 17
30
pesan pendidikan.7 Pada abad itu pula balai pustaka juga menerbitkan karya
sastra dari kalangan non guru yang biasanya ditulis oleh pegawai pamong praja
yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja
(Samuel Martaatmaja), Kartimay (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa (Prawirasudirja),
dan Darma Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya). Sastra Jawa modern periode
1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah dengan periode
sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa pertumbuhan genre
Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat masuk kedalam sastra jawa
sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam masyarakat Jawa. Selain itu
pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastra-sastra
Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta.
Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan
pengembangan sastra Jawa.8 Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang
kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra barat
dalam bentuk pengenalan genre baru.
C. Macam-macam Jenis Tembang
Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh para ahli, di Jawa terdapat
beberapa jenis tembang yang masih bisa dilacak jejak-jejak keberadaannya,
diantara jenis-jenis Tembang Jawa ialah sebagai berikut:9
7
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta, 1995, penerbit Gajah Mada
Univercity Press. hal. 28
8
http://dari-enol.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-perkembangan-sastra-jawa.html
9
Ki Rejomulyo, Pengenalan Sekilas Tentang Tembang Jawa. Yogyakarta, 2001,
DinasPendidikan dan Kebudayaan Sleman. hal. 67
31
1. Tembang Kawi (kakawin)
Kakawin adalah karya sastra puisi pada jaman sastra Jawa Kuna. Oleh
karena itu menggunakan media bahasa Jawa Kuna atau disebut juga bahasa
Kawi. Jenis karya sastra ini tergolong tembang karena memiliki aturan
tertentu, serta pembacaannya menggunakan lagu.10 Adapun aturan
penyusunannya adalah:
a) satu bait terdiri dari empat baris. b) jumlah suku kata tiap baris sama. c)
pola metrum tiap baris sama. d) berbahasa Jawa Kuna.
Perpaduan aturan kedua dan keempat menghasilkan metrum (nama-nama)
tembang. Beberapa contoh metrum (nama) tembang kakawin:
- Asambhada - Kuwalayakusuma - Kumudasara - Wrsabhagati wilasita -
Sagaralango - Basantatilaka.
Tradisi pembacaan kakawin dengan lagu khusus, meskipun di Jawa
sendiri sudah tidak ada, tetapi di Bali masih terus berlangsung hingga kini.
Tradisi itu disebut dengan makakawin. Kakawin tertua yang ditemukan adalah
Kakawin Ramayana yang diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Dyah
Balitung (820-832 Saka).11 Tradisi penulisan kakawin masih berlanjut hingga
kini di Bali, meskipun hanya sebatas penyalinan dari lontar-lontar kuna.
Beberapa contoh karya sastra yang berbentuk kakawin: kakawin Ramayana
yang tidak diketahui pengarangnya; kakawin Arjunawiwaha karya Kanwa;
10
R.S Subalidinata, Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: 1994, Yayasan Pustaka
Nusatama. hal. 112
11
Ibid, hal.116
32
kakawin Gatotkacasraya karya Panuluh; kakawin Bharatayuddha karya Sedah
dan Panuluh; kakawin Nagarakrtagama karya Prapanca.
2. Tembang Gedhe
Kesusatraan jaman Surakarta, oleh Poerbatjaraka disebut sebagai
jaman pembangunan dan juga jaman pembuatan karya-karya baru. Pada masa
ini banyak sekali karya sastra Jawa Kuna yang digubah ulang dalam bahasa
Jawa Baru. Gubahan itu menghasilkan bentuk karya sastra yang baru pula.
Salah satunya adalah tembang gedhe atau sekar ageng.12 Bentuk ini
merupakan derivasi dari kakawin, oleh karena itu beberapa aturan kakawin
masih terlihat, yaitu jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris.
Selengkapnya aturan dalam penggubahan tembang gedhe ini adalah:13
a) setiap satu bait (sapada) terdiri dari empat baris atau empat pada pala,
b) setiap dua pada pala disebut satu pada dirga,
c) empat pada pala disebut satu padeswara,
d) jumlah suku kata setiap pada pala sama, dikenal sebagai laku ataulampah.
Berdasarkan jumlah suku kata setiap pada pala atau satu laku, tembang gedhe
dibagi menjadi empat:
1) 10 suku kata atau kurang disebut salisir,
2) 11 sampai 20 suku kata disebut siliran atau siriran,
3) 21 sampai 30 suku kata disebut raketan,
4) 31 suku kata atau lebih disebut dhendha atau simparan.
12
Ibid, hal. 122
13
Zoetmulder, Selayang Pandang Sastra Jawa Kuna. Terjemahan Dick Hartoko.
Jakarta:1983, Djambatan. hal. 97
33
Beberapa contoh tembang gedhe:14
Sudirawicitra, Maduretna, Merak nguwuh, Kuswarini, Candrakusuma,
Manggalagita, Pamularsih, Sikarini, Kuswaraga.
Sampai saat ini tembang gedhe masih sering dilagukan. Jenis tembang ini
tidak asing bagi para praktisi karawitan, karena banyak di antaranya
digunakan sebagai cakepan bawa maupun gerongan.
3. Tembang Tengahan
Tembang tengahan merupakan turunan dari bentuk karya sastra Jawa
Tengahan yang bernama Kidung. Bentuk karya sastra ini timbul pada jaman
Majapahit, kemudian tradisi penulisannya dilanjutkan di Bali. Kidung sendiri
tidak dimasukkan dalam golongan tembang karena tidak dapat dilacak
jejak-jejak penggunaan lagu dalam pembacaannya.15 Sedangkan tembang tengahan
masih dapat didengarkan pelantunannya, karena memiliki fungsi yang sama
dengan tembang gedhe dalam dunia karawitan. Penggubahan tembang
tengahan adalah ditentukan oleh:
a). jumlah gatra (baris) setiap pada (baris), b). jumlah suku kata
setiap gatra atau setiap pada lingsa (baris), disebutguru wilangan, c). suara
vokal setiap akhir gatra (baris), disebut guru wilangan.
Beberapa contoh metrum tembang tengahan:16
Balabak, Wirangrong, Juru demung, Dudukwuluh, Gambuh, Lontang,
Palugon.
14
Ibid, hal. 124
15
Tuntunan Sekar Tengahan, Sekar Ageng dan Gendhing Ki Nartosabdo. Sukoharjo:2006, penerbit Cenderawasih. Hal.44
15
Ibid, hal. 47
34
4. Tembang Dhagelan
Tembang dhagelan dulu berdiri sebagai jenis tembang tersendiri. Pada
perkembangannya tembang ini hanya merupakan varian dari tembang
tengahan. Bahkan sekarang tidak dibedakan lagi dari tembang tengahan.
Contoh: tembang dhagelan adalah tembang balabak.17
5. Tembang Macapat
Tembang macapat disebut juga tembang cilik.18 Jenis tembang ini
mulai terkenal sejak jaman Surakarta awal. Banyak karya sastra jaman
Surakarta yang digubah dalam bentuk tembang macapat. Satu karya sastra
jaman Surakarta yang sangat terkenal yang digubah dalam bentuk tembang
macapatadalah Serat Rama, gubahan Yasadipura.19 Penggubahan tembang
macapat didasari oleh:
1) guru gatra: jumlah gatra (baris) setiap bait (pada)
2) guru lagu: suara vokal setiap akhir gatra
3) guru wilangan: jumlah suku kata setiap gatra (baris)
Nama-nama tembang macapat adalah:
Asmaradana, Dhandhanggula, Durma, Kinanthi, Maskumambang, Mijil,
Pangkur, Pucung, Sinom.
Dari lima jenis tembang tersebut, saat ini di Jawa hanya tinggal dikenal
tiga: tembang gedhe; tembang tengahan dan tembang macapat.
17
Ibid, hal.56 18
Nanang Windardi, Suluk, Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Sukoharjo: 2002,
Cenderawasih. hal. 52 19
Tentrem Warsena, Tuntunan Sekar Macapat. Sukoharjo:2006, Cenderawasih, hal.28
35
D. Pengertian Gendhing Jawi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian Gendhing itu sendiri
berarti “alunan musik, instrumentalia atau irama atau langgem yang digunakan
sebagai pengiring tembang-tembang yang berbahasa jawa”.20 Gendhing sendiri
selalu identik dengan seni kebudayaan Jawa, namun dalam penulisan ini
menggunakan istilah Jawi agar tidak keluar jauh dari pembahasan yang nantinya
juga mengarah pada aspek kebahasaan, bila dikaji lagi dalam kebiasaan orang
jawa didalam penyebutan Jawa dan Jawi sangatlah jauh berbeda sekalipun itu
dalam arti atau makna yang masih sama. Dalam unsur kebahasaan orang jawa
mereka mempunyai strtifikasi atau tingkatan-tingkatan bahasa yang juga
kegunaanya berbeda-beda, diantaranya: Boso Ngoko, Ngoko Alus dan Kromo
Inggil.21 Hal yang demikian ini dimaksudkan agar secara kebahasaan dalam
berkomunikasi mempunyai unggah-ungguh dan dapat membedakan lawan bicara
yang tua atau muda. Sedangkan pemilihan kata jawi sendiri dalam penulisan
skripsi ini tergolong masuk pada tata kebahasaan Kromo Inggil dalam pandangan
orang jawa.
Dapat disederhanakan lagi bahwasanya pengertian Gendhing yang lebih
umum lagi yang biasa dipahami oleh masyarakat jawa ialah suatu insterumentalia
musik yang penyajiannya menggunakan tetabuhan-tetabuhan sebagai pengiring
tembang-tembang jawa atau pengiring pada pagelaran pewayangan juga pada
kesenian ludruk, dalam hal ini tetabuhan yang dimaksudkan tidaklah terbatas pada
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat,
Jakarta:2008), hal.952.
21
Khusnin. Unggah-Unggah Bahasa Jawa Dan Implikasinya Pada Masyarakat.
(Yogyakarta;2008), hal.26.
36
alat-alat musik gamelan saja, akan tetapi alat-alat musik selain gamelan pun juga
kerap digunakan dalam pengiringan Gendhing misalnya, rebab, seruling, angklung
dan lain sebagainya. Orientasi pagelaran Gendhingan biasanya menggunakan
alat-alat musik yang bernada, akan tetapi juga ada alat-alat-alat-alat musik selain itu yang
digunakan yang tidak bernada, seperti Gedhog atau biasa disebut dengan
dog-dogan (sebuah kotak dari kayu yang biasanya dipukul oleh dalang).22
Khusus untuk penggunaan alat musik yang tidak bernada dalam
pagelaran Gendhing kali ini bila dimainkan secara personalia atau pribadi, hal ini
juga biasa digunakan oleh pemain musik Gendhing untuk menggambarkan suatu
hal yang dalam hal lain mempunyai suara yang sama dengan alat ini misalnya,
bunyian alu atau bunyian lesung bila di pukul akan mengeluarkan bunyi yang
sama pula dengan alat musik gedogan ini, sehingga dengan penggambaran seperti
itu seakan-akan si pemain musik dan rangkaian pagelaran itu mengisyaratkan atau
mengabstraksikan pada suatu suasana atau nuansa tertentu.
E. Sejarah Perkembangan Gendhing Jawi
Jika berbicara mengenai sejarah perkembangan Gendging Jawi dan asal
mula kemunculanya, maka juga akan sangat perlu terlebih dahulu mengkaji
bagaimanakah diketemukannya seperangkat alat-alat musik yang dipergunakan
didalam pagelarang Gendhing Jawi itu sendiri. Dikarenakan bila membahas
masalah Gendhing Jawi ini maka juga perlu mengenal tentang seni kebudayaan
orang Jawa yang bernama Gamelan dan Karawitan yang juga menjadi satu
kesatuan dari Gendhing Jawi itu sendiri yang termasuk didalamnya juga perlu
22
Sultan Agung, Serat Sastra Gendhing, (Surakarta: Museum Radya Pustaka 1821), hal.
405.
37
menelaah bagaimana kebudayaan dan kesenian ini berkembang dan apa yang
melatarbelakanginya.
1. Asal-usul logam sebagai alat musik di Jawa
Belum ada kejelasan yang pasti tentang sejarah yang membahas
kapankah kali pertama masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa
mulai mengenal dan membuat alat-alat dari logam (termasuk Gong, Kenongan
atau Bonang dan lain sebagainya) yang kini dipergunakan sebagai alat musik
dalam pagelaran Gendhing. Akan tetapi, pakar arkeolog, Peter Bellwood,
mengatakan bahwa terdapat bukti kegiatan pembuatan logam di Bali sebelum
tahun 200M.23
Dan di beberapa lain daerah di Indonesia seperti, Jawa, Madura,
Sumatra bagian selatan, Riau, Flores sebelum tahun 500M. perkiraan kegiatan
itu agak berdekatan dengan selisih tahun yang tak jauh dari masuknya
gendang perunggu di Indonesia.24
Dan ada teori yang mengatakan bahwa gong sebagai alat musik
merupakan transformasi dan perkembangan dari gendang perunggu. Jika
kedalaman gendang perunggu diperpendek maka, alat tersebut lebih mirip
dengan alat musik Gong datar (tanpa pencu). Saat ini, Gong datar lebih umum
dijumpai di daerah pegunungan di Vietnam dan Vilipina, daripada di
23
Ibid, hal.21.
24
Esther L. Siagian, Gong, (Jakarta 1970 : Lembaga Pendidikan Seni Nusantara), hal.
21-22.
38
Indonesia. Sedangkan Gong berpencu lebih umum diketemukan di berbagai
wilayah di Asia Tenggara.25
Benarkah asalmula adanya Gaong atau alat musik logam lainnya
berasal dari transformasi atau ubahan gendang perunggu datar hingga masuk
ke Nusantara menjadi berpencu? Yang jela para ahli arkeolong menuturkan
bahwasanya sewjak dari abad ke-12 dan sesudahnya Gong kecil berpencu
sudah menjadi alat musik di Nusantara khususnya di Jawa pada zaman itu.
Dan adapun alat itu juga pada zaman tersebut sudah digunakan dalam berbagai
acara pertunjukan seperti-halnya pagelaran Wayang Kulit. Hal tersebut juga
bisa dibuktikan dengan banyaknya relief yang diketemukan pada candi-candi
di Jawa Timur yang dibangun sejak abad ke-14 yang terdapat gambar Gong26.
2. Asal-usul perkembangan Pagelaran Seni Musik di Jawa
Jawa merupakan suatu pulau kecil dari sebagian di kepulauan
Nusantara yang begitu luas. Namun demikian Jawa merupakan pusat dari
pemerintahan, dan sekaligus juga menjadi pusat kebudayaan terbesar di
Nusantara. Semua itu tidak lepas dari kiprah kerajaan Majapahit yang pada
abad ke-14 sampai pada abad 15 mencapai puncak kejayaanya, yang mana
pengaruhnya bukan hanya merambah dan meluas di Nusantara, akan tetapi
juga merambah sampai ke kepulauan madagaskar dan afrika.
Pengaruh kerajaan Majapahit yang amat kental dengan kebudayaan
dan adat jawa terlebih lagi bisa kita jumpai di Nusantara di daerah Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Jawa barat. Terutama tentang Kesenian Karawitan
25
Ibid,24. 26
Ferdinandus, Alat Musik Jawa Kuno, (Yayasan Mahardhika, Yogyakarta;2003), hal.26.
39
yang berwujud Gamelan, yang sampai sekarang masih hidup dan berkembang
di daerah Jawa Tengah khususnya di daerah kerajaan Surakarta dan kerajaan
Jogyakarta. Begitu pula di Jawa Barat, berupa kesenian Sunda bekas dari
kerajaan Pasundan dan kesenian di Bali yang juga bekas peninggalan kerajaan
Bali. Semua peninggalan kebudayaan tersebut tidak terlepas dari warisan
budaya dari kerajaan Majapahit yang luhur.27
Kendatipun pada ahirnya kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan,
namun para empuh karawitan masih banyak yang selamat dan melarikan diri
dengan membawa kebudayaan itu. Mereka lari keberbagai macam daerah di
Jawa, para empuh yang lari ke-arah utara mereka menuju ke daerah Lamongan
dan Gersik, mereka yang lari ke-arah timur menyebar di daerah Surabaya,
Sidoarjo sampai Pasuruan, sedangkan yang ke-arah selatan mereka berlari ke
daerah malang. Dan di daerah inilah para empuh yang masih selamat pada
ahirnya melestarikan dan mengembangkan kesenian Karawitan hingga tetap
ada sampai pada saat sekarang ini.28
F. Laras (Tangga Nada) Dalam Kesenian Gendhing
Menurut istilah Jawa, gendhing merupakan jalinan nada-nada yang
membentuk sebuah lagu. Dalam karawitan terdapat beberapa bentuk gendhing,
yaitu dari bentuk sederhana sampai pada bentuk yang rumit. Gendhing biasanya
ditulis dengan notasi kepatihan atau notasi angka, notasi ditulis dalam beberapa
27
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 122.
28
Soetrisno. Sejarah Karawitan, (Yogyakarta: Akademi Seni Tari Yogyakarta, 1981). hal
215.