• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN GENDHING JAWI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN GENDHING JAWI."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN GENDHING JAWI

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1)

Filsafat Agama

OLEH: M. DWI ILHAMI

NIM: E71211039

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TEMBANG DAN

GENDHING JAWI

Skripsi

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Filsafat Agama

Oleh :

Mochamad Dwi Ilhami E71211039

PROGRAM STUDI FILSAFATAGAMA JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO

฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀

฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀

฀฀฀฀

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat nama Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi

tentram.”

(7)

KATA PENGANTAR

Segenap puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas rahmat

dan hidayah-Nya, skripsi ini telah terselesaikan dengan lancar dan mulai dari

perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap penyusunan.

Sholawat serta salam atas kehadirat junjungan umat manusia, baginda Nabi

Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, pembawa risalah suci yang penulis harap-harapkan

syafaatnya.

Seiring dengan itu penulis sangat berterima kasih kepada kedua orang tua secara

lahir dan batin, karena kesuksesan ini dapat penulis peroleh tidak lepas dari segala

pengorbanannya, baik materil maupun spiritual, yang selalu menuntun dan mengarahkan

penulis dalam memaknai hidup.

Ucapan terima kasih dengan rasa hormat, juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul A’la, S.Ag., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya.

2. Bapak Dr. Muhid, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

3. Bapak Helmi Umam, M. Hum, selaku ketua Program Studi Filasafat Agama yang

telah memberi izin dan persetujuan hingga penelitian ini dapat diuji pada level

program pencapaian gelar sarjana.

4. BapakDrs. Tasmuji, M. Ag.selaku Dosen Pembimbingyang berkenan meluangkan

waktu dan tenaganya guna memberikan bimbingan, petunjuk, ilmu, nasehat dan saran

(8)

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel

Surabaya, yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang

sangat berharga bagi penulis.

6. Staf-staf akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya,

atas kelancaran dalam penanganan administrasinya.

7. Staf-staf perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, yang telah sudi meminjamkan

buku-buku yang sangat membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan, khususnya

dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kedua Orangtuaku tercinta dan kakak-ku tersayang, Bapak H. Mchamad Ilyas dan

Ibu Hj. Suherti Ningsih serta Saudari Elyani Inggar Sari, yang tiada lelah

membimbing dan mendidik dari kecil hingga dewasa kini, serta lautan do’a, perhatian

dan semangat di setiap waktu untukku.

9. Terimakasih kepada para pemikir dan cendekiawan yang telah menyumbangkan

pengetahuan dan wawasan kepada penulis.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun dan semoga

tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin.

Surabaya, 31 Januari 2016

(9)

ABSTRAK

Mochamad Dwi Ilhami, NIM. E71211039, 31 Januari 2016. (Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi). Skripsi Program Studi Filsafat Agama Jurusan Pemikiran Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci: Tembang, Gendhing Jawi, Spiritualitas

Skripsi dengan judul “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi” ini adalah hasil penelitian pustaka untuk mengetahui bagaimanakah Nilai-nilai spiritualitas yang ada dalam kesenian Tembang dan Gendhing Jawi dan apa saja unsur-unsur dalam Tembang dan Gendhing Jawi yang menjadi pengaruhnya terhadap spiritualitas itu sendiri. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan secara deskriptif-historis, yakni menggambarkan Tembang dan Gendhing Jawi yang menjadi pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat Jawa karena nilai-nilai spiritualitas didalamnya. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan selama proses penelitian ini adalah dengan teknik pengumpulan data-data dari beberapa literatur atau buku-buku.

Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa, adapun hal-hal yang berhubungan dengan spiritualitas sebenarnya sangat banyak, akan tetapi dalam penulisan skripsi ini penulis lebih menekankan hal-hal yang menjadi pengaruh spiritualitas dari ranah seni, yaitu Tembang dan Gendhing Jawi yang lebih mempunyai kesan yang berbeda dengan nuansa spiritualitas yang berbeda pula. Semua itu dikarenakan, Tembang dan Gendhing Jawi adalah musik atau kesenian yang berkembang dari hasil interrelasi agama dan akulturasi budaya lokal, baik itu Hindu-Buda, Islam dan adat-istiadat masyarakat jawa sendiri.

(10)

DAFTAR ISI

COVER DALAM ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

PERSEMBAHAN... xii

MOTTO ...xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Definisi Operasional ... 8

G. Tinjauan Pustaka ... 9

H. Metode Penelitian ... 10

(11)

BAB II SPIRITUALITAS DAN MACAM-MACAMNYA ... 15

A. Pengertian Spiritualitas ... 15

B. Macam-macam Spiritualitas ... 22

1. Spiritualitas Islam ... 22

2. Spiritualitas Dalam Kajian Barat dan Timur ... 25

BAB III TEMBANG DAN GENDHING JAWI SERTA NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DI DALAMNYA ... 27

A. Pengertian Tembang ... 27

B. Sejarah Perkembangan Tembang ... 28

C. Macam-macam Jenis Tenbang ... 30

D. Pengertian Gendhing Jawi ... 35

E. Sejarah Perkembangan Gendhing Jawi ... 36

F. Laras (tangga nada) Dalam Kesenian Gendhing... 39

G. Macam-macam dan Pengelompoakan Gendhing Jawi ... 42

H. Fungsi-fungsi Gendhing ... 45

I. Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang dan Gendhing Jawi ... 49

BAB IV ALASAN YANG MENDASARI TEMBANG DAN GENDHING JAWI BERPENGARUH TERHADAP SPIRITUALITAS ... 68

A. Masyarakat Jawa Dalam Agama dan Seni Budaya ... 68

(12)

2. Ritualitas Masyarakat Jawa Yang Lahir Dari Akulturasi Budaya Islam

Dan Jawa ... 75

B. Hal-hal Yang Melandasi Seni Kebudayaan Jawa Dalam Ranah Nilai-nilai Spiritualitas ... 79

1. Pengaruh Islam Yang Melebur Dalam Sastra Dan Penyerapan Bahasa Jawa……….79

2. Esensi Ritual Dalam Tembang Dan Gendhing Jawi………85

BAB V PENUTUP ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Musik memang tak akan bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.1

Dengan demikian dalam sejarah perkembanganya, musik seringkali

dideskripsikan sebagai sebuah bentuk ekspresi jiwa manusia untuk menyampaikan

sesuatu yang disajikan dalam kesatuan nada dan irama juga dengan bahasa yang

berbeda berupa sajak, syair, puisi banyak hal lainnya.

Bahkan musik tak hanya mengilhami jiwa pemusik. Setiap bayi setelah

dilahirkan ke dunia mulai menggerakan lengan dan kaki kecilnya dengan ritme

musik, kehidupan bergantung pada ritme musik karena bila diteliti pada setiap

manusia sendiri akan menemukan bahwa denyut nadi, jantung, hembusan nafas,

hirupan nafas, semuanya adalah pekerjaan ritmis. Demikian pula yang

disimbolkan dalam Islam, setiap bayi lahir ke dunia akan selalu diperdengarkan

adzan yang juga mempunyai unsur ritme.2 Tetapi sampai pada saat ini musik

semakin banyak berkembang dengan berbagai corak dan warna yang beragam,

bila dikaji dalam setiap jenis musik yang lahir dan terbentuk dari latarbelakang

budaya, adat-istiadat maupun agama. Maka, musik akan menjelaskan bahwa pada

dasarnya ia mempunyai fungsi dan nilainya masing-masing. Terlebih lagi bila kita

mendengar istilah tentang ”spiritualitas tanpa agama”, tentunya dalam hal

1

Yusuf Al-Qardhawi, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, (Bandung: Mujahid Press, t.th),

hal. 9.

2

Haszrat Inayah Khan, Dimensi Mistik Musik Dan Bunyi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi,

(14)

2

pencapaian spiritualitas yang seperti ini akan membutuhkan banyak komponen

yang lebih luas lagi dan tak terbatas sebagai alat pencapaianya yang cenderung

bersifat universal.3 Akan tetapi dewasa kini lebih marak munculnya musik di

kalangan masyarakat yang hanya menonjolkan unsur hiburan dan terkesan tanpa

muatan positif bila ditelaah lebih dalam untuk konsumen musik itu sendiri,

padahal bila dilihat dari antusias masyarakat akan perkembangan industri musik

baik luar maupun dalam negeri sangatlah pesat, tentu sangat di sayangkan bila

fenomena yang seperti ini tidak dimanfaatkan dengan baik sebagai jalan untuk

member pengaruh terhadap orang lain untuk mengarah pada hal yang lebih positif,

baik sikologi maupun spiritualitas masyarakat modern saat ini. Munculnya

gagasan dalam penulisan judul ini contohnya, berawal dari hal kecil di akhir

pekan pada pagi hari ketika menyeduh kopi hitam dibawah pohon asem nan

rindang di warung kopi depan rumah, tiba-tiba muncul dalam benak yang

mempertanyakan tentang banyakya tempat hiburan seperti studio karaoke maupun

warung kopi pinggir-pinggir jalan yang tak terhitung banyaknya. Hal itu

nampaknya selalu jadi pelarian bagi masyarakat baik yang tua ataupun muda

untuk melepas penat di padatnya aktivitas keseharian mereka, bahkan bukan

hanya itu saja, sebagian tempat yang juga menyodorkan sarana menikmati

berbagai khas musik seperti warung kopi ataupun studio karaoke ini juga

mempunyai kesan sebagai sarana relaksasi bagi para konsumenya untuk

menenangkan diri, seolah-olah hal ini terlihat sudah menjadi mediasi bagi mereka

untuk mendapatkan semacam ketenangan batin secara praktis.

3

Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad

(15)

3

Pada zaman modern seperti saat ini, keadaan hidup yang opsional dan

semakin berkembang bidang teknologinya maka, akan semakin mempengaruhi

cara berfikir manusia yang semakin menginginkan hal praktis pula. Bahkan dalam

bagian terintim dalam hidup, yaitu “spiritualitas”. Maka dalam hal inilah musik

mempunyai peran penting sebagai opsi praktis manusia untuk mempengaruhi

keadaan kebatinanya sehingga dapat mencapai taraf spiritualitas tertentu

(ketenangan jiwa) yang sudah jarang ditemukan dalam kehidupan yang penuh

polemik seperti saat ini. Yang menjadi pertanyaanya, bagaimanakah musik dapat

mempengaruhi keadaan batin seseorang?. Yang jelas, hal inilah yang menjadi

pembahasan pokok dalam penulisan skripsi kali ini bahwa musik-musik tertentu

dan syair-syairnya juga bisa digunakan sebagai hal yang mempengaruhi spiritual

diri seseorang karena adanya nilai-nilai spiritual yang diusung, dalam pandangan

umum bisa dijelaskan bahwa batin adalah sesuatu yang lembut maka, secara

spontanitas ia akan menangkap pula hal-hal yang lembut yang ada disekitarnya

sehingga menimbulkan suasana kebatinan yang berbeda-beda sesuai dengan apa

yang ditangkapnya.4 Musik yang mendayu-dayu akan memberi nuansa sedih,

musik yang keras akan memberi nuansa berapi-api, musik yang terkesan mistik

akan membawa nuansa yang menakutkan bagi pendengarnya, beginilah dengan

mudahnya musik membawa pengaruh dan perubahan besar dalam diri seseorang.5

Terlebih lagi jika kita melihat bagaimana para sufi dan yogi dalam

mencapai spiritualitasnya dengan mediasi musik pada setiap ritualnya. Menurut

mereka musik adalah perahu yang dapat mengusung berbagai bentuk maksud

4

Ibid, hal 52. 5

Ibid, hal 36.

(16)

4

batin mereka dengan nuansa yang lebih dalam dan intim melewati penangkapan

pengindraan atau pendengaran, dikarenakan dengan mediasi musik yang

mempunyai resonansi tertentu semua keadaan tubuh manusia akan meng-iyakan

maksud atau sejalan dengan hati dan fikiran yang pada ahirnya akan mencapai

pada taraf ekstase.6 Dalam keadaan yang seperti inilah manusia akan dihantarkan

pada berbagai macam keadaan batin sesuai dengan apa yang diilustrasikan

olehnya, seperti sedih, keluh kesah, penyesalan penderitaan, harapan dan lain

sebagainya sebelum mencapai kebahagiaan tertinggi yang sebenarnya.

Bila dicontohkan, tentunya banyak terlihat ataupun terdengar tentang

beberapa kelompok atau jama’ah dzikir tertentu di sekitar kita yang melalukan

ritual peribadatan keagamaanya secara bersama-sama, mereka membunyikan dan

melantunkan suatu kalimat, do’a atau dzikir dari mulut mereka yang ditujukan

pada Tuhan Maha Esa secara berulang-ulang dengan menggeleng-gelengkan

kepalanya ke kanan dan ke kiri atau bahkan ada yang sampai menangis

terseduh-seduh seakan mereka telah merasakan sebuah pencerahan yang luar biasa dalam

hatinya. Nah, dalam hal inipun dapat dicermati bahwasanya apa yang mereka

lakukan dalam prosesi ritualnya adalah mengandung unsur musik juga,

keselarasan mereka melantunkan dzikir dengan serempak yang beralun-alun

hingga merdu terdengar bila sampai ke telinga masing-masing dengan

penghayatan maknanya yang dalam akan merubah suasana menjadi hening dan

hanyut dengan diikuti gerak tubuh yang terus bersambutan hingga mereka merasa

rileks seperti telah lepas semua beban-beban, itulah yang membuat tercucurnya air

6

Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 234.

(17)

5

mata karena mereka sudah dalam fase ekstase. Semua ini tentunya sangat

berkaitan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan dari musik itu sendiri yang

selaras dan alami.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan

mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi

tenteram.”(QS ar-Ra’du:28). 7

Sebenarnya bila mengingat kembali tentang banyaknya peninggalan

kebudayaan Nusantara khususnya di daerah Jawa, maka akan diketahui bahwa

Indonesia mempunyai salah satu peninggalan kesenian musik kuno yang sangat

berpengaruh dengan masalah spiritualitas yaitu “Gendhing Jawi dan tembang”,

namun sayangnya kesenian yang mulai luntur terkikis zaman ini semakin jarang

dan lepas dari perhatian publik, padahal sebetulnya banyak hal positif yang dapat

diambil jika mau mentelaahnya lebih dalam.

Gaya musiknya yang khas dan mempunyai karakter tersendiri sangatlah

berpengaruh untuk perkembangan moral dan peradaban manusia pada zaman

kejayaanya, musik yang penuh dengan falsafah hidup dan unsur keagamaan yang

sangat kental itulah yang mengubah secara perlahan namun pasti pada cara

berfikir dan laku orang-orang jawa terdahulu dan pula secara efisien mengikis

ketegangan dan meredam perbedaan suku, ras maupun agama, hal inilah yang

7

(18)

6

menjadi senjata dakwah bagi tokoh-tokoh agama pada masa itu (Wali Songo)

untuk menyebarkan dan mengembangkan spiritualitas keagamaan di tanah jawa.8

Jika orang-orang terdahulu sebelumnya dapat mengmbangkan konsep spiritualitas

dengan baik melalui Tembang dan Gendhing jawi, maka apa peradaban manusia

yang berada di zaman modern ini tidak mau menengok kebelakang dan mau

mengambil pelajaran penting yang mestinya juga diterapkan pada saat ini?.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas telah diketahui, bahwa dalam

kehidupan sehari-hari musik (khususnya Tembang dan Gendhing Jawi) pada

dasarnya memiliki berbagai macam perkembangan dan bentuk yang dapat

mempengaruhi keadaan diri seseorang, di antaranya sosial, mental, psikologi dan

tingkat spiritualnya. Khususnya dikalangann tertentu yang menjadikannya sebagai

alat utama atau mediasi untuk menuju pencapaian ketenangan batin. Akan tetapi,

bagaimanakah musik (Tembang dan Gendhing Jawi) itu bila dikaji secara khusus

sebagai hal yang berpengaruh karena mempunyai nilai-nilai spiritualitas dan

sejauh mana signifikansi pengaruhnya bila dikembangkan dan di kaji secara

universal, sehingga musik (khususnya Tembang dan Gendhing Jawi) dapat

menjadi pilihan konkrit dan praktis yang relevan untuk keadaan masyarakat pada

saat ini, disamping itu juga bernilai positif untuk tetap mempertahankan

peninggalan kebudayaan Nusantara.

8

Djohan, Psikologi Musik, (Yogyakarta: Buku Baik, 2003), hal. 7-8.

(19)

7

C. Rumusan Masalah

Latar belakang dan identifikasi masalah di atas menghasilkan beberapa

perumusan masalah yang nantinya akan menjadi pembahasan dalam tiap bab di

dalam karya tulis ilmiah ini. Adapun rumusan masalah yang dihasilkan adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah spiritualitas dan macam-macamnya?

2. Bagaimana Tembang dan Gendhing Jawi serta nilai-nilai spiritualitas di

dalamnya?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian dalam karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui bagaimana spiritualitas dan macam-macamnya.

2. Untuk mengetahui Tembang dan Gendhing Jawi serta nilai-nilai spiritualitas

di dalamnya.

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pemaparan di atas, diharapkan pembuatan karya tulis ilmiah

ini akan bermanfaat dan berguna sebagai tambahan wawasan khazanah keilmuan

khususnya dalam ranah musik (Tembang dan Gendhing Jawi) yang juga

mempunyai nilai-nilai spiritualitas yang dapat berpengaruh pula terhadap

spiritualitas, yang mana telah diketahui oleh masyarakat luas bahwasannya musik

memang cuma sebagai hiburan saja tanpa mengetahui adanya manfaat yang

(20)

8

karya tulis ilmiah ini akan memberi manfaat bagi para pembaca dari seluruh

kalangan masyarakat dan dapat menjadi sumbangsi yang berarti dalam ranah

spiritualitas.

F. Penegasan Judul

Untuk memperjelas penulisan penilitian ini serta menghindari adanya

kesalahpahaman, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai maksud dari

masing-masing kata yang tedapat dalam judul penelitian ini, yaitu sebagaimana

berikut:

spiritualitas: Berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani,

batin).9

Tembang: Sebuah bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional yang

dilantunkan dalam bahasa Jawan yang setiap baitnya

mempunyai baris kalimat (gatra) tertentu dan disetiap gatra

mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu.10

Gendhing Jawi: Alunan musik atau irama yang disajikan untuk mengiringi

tembang-tembang jawa juga sebagai pengiring dalam

pagelaran pewayangan atau juga ludruk.11

Musik (Tembang dan Gendhing Jawi) bukan hanya sebagai sarana

mendengar atau menyanyikan lagu saja, namun Gendhing juga dapat menjadi

9

Departemen Pendidikan Nasional, (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,

Jakarta:2008), hal. 1373. 10

F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta, 2009, penerbit Wedatama Widya

Sastra. hal. 74

11

Esther L. Siagian, Goong, (Jakarta, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 1970), hal.8.

(21)

9

pengaruh besar terhadap spiritualitas bagi para musisi Gendhing Jawi. Namun

demikian, pengaruh spiritualitas dari musik sendiri masih awam dalam

masyarakat mayoritas yang notabene pemikirannya musik adalah sarana untuk

hiburan saja. Sedangkan masyarakat minoritas yang mengetahui bahwa adanya

musik juga sebenarnya berpengaruh besar terhadap spiritualitas, pemikirannya

musik adalah mediasi untuk mengantarkan ketenangan batin. Sehingga dalam

tahap tertentu dapat mencapai pada fase ekstase yang menjadikannya berada

dalam keadaan yang paling intim.

G. Telaah Pustaka

Pada penelitian sebelumnya, sebenarnya telah ditemukan beberapa karya

ilmiah dalam bentuk skripsi yang mengakaji tentang musik sebagai metode

pencapaian spiritualitas, diantaranya ialah:

1. Spiritualitas Musik Dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr yang ditulis oleh

Muhamad Muzayin di Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2008. Akan tetapi dalam penelitian tersebut

membahas tentang pandangan Seyyed Hossein Nasr mengenai relevansi

spiritualitas Islam dalam apresiasi musik.

2. Musik sebagai sarana sufi mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam

pemikiran Hazrat Inayat Khan yang ditulis oleh M. Taajuddin Muslim di

Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2006. Pada penelitian ini,

M. Taajuddin mengkaji musik dalam pandangan Hazrat Inayat Khan yang

mana menjelaskan pendekatan pada Tuhan yang Maha Esa masih secara

(22)

10

3. Serat Sastra Gendhing Dalam Kajian Strukturalisme Semiotik oleh Aldila

Syarifatul Na’im di Universitas Negri Semarang Fakultas Bahasa dan Seni

Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa pada tahun 2010. Akan tetapi Aldila

Syarifatul Na’im pada penulisan skripsinya hanya focus mengarah pada

kesusastraan bahasanya dan strukturalisme semiotik.

Oleh karena itu, penelitian yang berjudul “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam

Tembang Dan Gendhing Jawi” ini merupakan karya ilmiah yang baru dalam

penulisan skripsi ini, karena dalam penelitian ini membahas tentang beberapa

pengaruh yang mendasar dalam Gendhing Jawi terhadap spiritualitas serta

Gendhing Jawi.

H. Metode Penelitian

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah

metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam

dan interpretatif.12

Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis

terkait persoalan tentang permasalahan yang diteliti. Perspektif ke dalam

adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semulanya

didapatkan dari pembahasan umum. Sedang interpretatif adalah

penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam

mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat, atau pertanyaan.

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2012), hal.2.

(23)

11

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan library research

(kajian pustaka). Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya

diolah melelui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku,

dan catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian.

3. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data tentang nilai-nilai spiritualitas dalam Tembang

dan Gendhing Jawi dapat pula menggunakan metode-metode penelitian

sebagai berikut:

a. Deskriptif, adalah bersifat menggambarkan, menguraikan sesuatu hal

menurut apa adanya atau karangan yang melukiskan sesuatu.

Pendiskripsian ini digunakan oleh penulis dalam memaparkan hasil

data-data yang diperoleh dari literatur kepustakaan. 13

b. Adapun metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis yaitu

suatu metode yang bermaksud menjelaskan dari berbagai aspek. 14

4. Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan

menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai hal-hal atau

variabel berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya. Melalui metode

dokumentasi, diperoleh data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan

konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

13

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Alquran, cet III (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005), hal.31.

14

Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan (Jakarta:

(24)

12

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisa data memakai pendekatan metode

deskriptif-analitis. Penelitian yang bersifat tematik memaparkan data-data

yang diperoleh dari permasalahan pokok. Dengan metode ini akan

dideskripsikan mengenai musik Gendhing Jawi sebagai pengaruh terhadap

spiritualitas.

6. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini

diantaranya adalah:

a. Sumber data primer

Sebagai sumber primer dalam penelitian ini data yang digunakan

adalah dengan kajian pustaka yang juga dikombinasikan terhadap

berbagai pokok permasalahan yang ada dalam masalah Musik Spiritual.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yang dimaksud di sini adalah

sumber-sumber data yang mengacu pada buku-buku teks Dimensi Musik Mistik

dan Bunyi, Kidung Rumi, Tasyawuf Revolusi Mental Zikir Mengolah Jiwa

dan Raga, Psikologi Sufi Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh dan sumber

data lainnya yang berfungsi untuk melengkapi sumber data primer.

Sumber data sekunder dalam penelitian ini, penulis juga merujuk pada

pendapat para tokoh tentang metode-metode pencapaian spiritualitas serta

(25)

13

I. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan

ini disusun atas lima bab, sebagai berikut:

yang mana dalam bab yang pertama berisikan tentang latar belakang

masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan

penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematiak

pembahasan. Dalam bab satu ini berisikan hal tersebut karena untuk memudahkan

pembaca mengetahui apa masalah dan isi tentang “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam

Tembang Dan Gendhing Jawi” dalam skripsi ini.

Dalam bab dua berisi tentang spiritualitas dan macam-macamnya. Dalam

hal ini dibahas didalamnya beberapa hal, yaitu: Pengertian spiritualitas,

spiritualitas dalam Islam dan yang terahir adalah spiritualitas dalam kajian barat

dan timur.

Kemudian dalam bab tiga berisikan tentangTembang dan Gendhing Jawi

yang mencaku pada beberapa hal, yaitu: Pengertian Tembang dan Gendhing Jawi,

sejarah perkembangan Tembang dan Gendhing Jawi, macam-macam dan

pengelompokan Tembang dan Gendhing Jawi, serta yang terahir adalah nilai-nilai

spiritualitas dalam Tembang dan Gendhing Jawi.

Dalam bab empat sendiri adalah analisis yang berisikan alasan yang

mendasari Tembang dan Gendhing jawi berpengaruh terhadap spiritualitas yang

mana dalam bab ini adalah inti dari penulisan skripsi. Dalam pembahasanya

mencakup beberapa hal, yaitu: Masyarakat Jawa dalam agama dan seni,

(26)

14

Terakhir dalam bab lima berisi tentang kesimpulan dan saran dalam

penulisan skripsi “Nilai-nilai Spiritualitas Dalam Tembang dan Gendhing Jawi”

(27)

15

BAB II

SPIRITUALIATAS DAN MACAM-MACAMNYA A. Pengertian Spiritualitas

Spiritual berasal dari kata spirit yang berarti “semangat, jiwa, roh,

sukma, mental, batin, rohani dan keagamaan”.1 Sedangkan Anshari dalam kamus

psikologi mengatakan bahwa spiritual adalah asumsi mengenai nilai-nilai

transcendental2. Dengan begini maka, dapat di paparkan bahwa makna dari

spiritualitas ialah merupakan sebagai pengalaman manusia secara umum dari

suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas.

Spiritualitas atau jiwa sebagaimana yang telah digambarkan oleh

tokoh-tokoh sufi adalah suatu alam yang tak terukur besarnya, ia adalah keseluruhan

alam semesta, karena ia adalah salinan dari-Nya segala hal yang ada di dalam

alam semesta terjumpai di dalam jiwa, hal yang sama segala apa yang terdapat di

dalam jiwa ada di alam semesta, oleh sebab inilah, maka ia yang telah menguasai

alam semesta, sebagaimana juga ia yang telah diperintah oleh jiwanya pasti

diperintah oleh seluruh alam semesta.

‘Jiwa’ adalah ‘ruh’ setelah bersatu dengan jasad penyatuan ruh dengan jasad

melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh. Sebab dari

pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh

ruh. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan subjek dari kegiatan

“spiritual”. Penyatuan dari jiwa dan ruh itulah untuk mencapai kebutuhan akan

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 857.

2

(28)

16

Tuhan. Dalam rangka untuk mencerminkan sifat-sifat Tuhan dibutuhkan

standarisasi pengosongan jiwa, sehingga eksistensi jiwa dapat memberikan

keseimbangan dalam menyatu dengan ruh3.

Ruh merupakan jagat spiritualitas yang memiliki dimensi yang terkesan

Maha Luas, tak tersentuh (untouchable), jauh di luar sana (beyond). Disanalah ia

menjadi wadah atau bungkus bagi sesuatu yang bersifat rahasia. Dalam bahasa

sufisme ia adalah sesuatu yang bersifat esoterisme (bathiniah) atau spiritual.

Dalam esoterisme mengalir spiritualitas agama-agama. Dengan melihat sisi

esoterisme ajaran agama atau ajaran agama kerohanian, maka manusia akan

dibawa kepada apa yang merupakan hakikat dari panggilan manusia. Dari sanalah

jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan

kebahagiaan setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara

tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan, dengan

melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan.

Dalam dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan pusat

vital organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus,

merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk

pribadi. Para sufi mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat

dekat kepada apa yang ada dalam al-Qur'an dan ekspresi ringkas terpadu mereka

yang telah mencakup seluruh esensi ajaran. Kebenaran-kebenaran ajarannya

mudah mengarah pada perkembangan tanpa batas dan karena peradaban Islam

telah menyerap warisan budaya pra Islam tertentu, para guru sufi dapat

3

Sa’id Hawa, Jalan Ruhaniah, terj : Drs. Khairul Rafie’ M. dan Ibnu Tha Ali, (Mizan,

Bandung, 1995), hlm. 63

(29)

17

mengajarkan warisannya dalam bentuk lisan atau tulisan. Mereka menggunakan

gagasan-gagasan pinjaman yang telah ada dari warisan-warisan masa lalu cukup

memadai guna menyatakan kebenaran-kebenaran yang harus dapat diterima

jangkauan akal manusia waktu itu dan yang telah tersirat dalam simbolisme sufi

yang ketat dalam suatu bentuk praktek yang singkat.

Dari warisan-warisan yang telah ada yaitu kebenaran-kebenaran hakiki dari

para kaum sufi, maka terciptalah prilaku-prilaku yang memiliki tujuan objektif

(Tuhan) tidak lain seperti halnya esoterisme dalam agama-agama tertentu, langkah

awal untuk menjadikan umatnya mencari tujuan yang objektif, mereka memiliki

metode-metode khusus untuk menggali tingkat spiritualitasnya. Oleh karena itu,

penelitian mengenai pengalaman keagamaan merupakan kegiatan yang tidak

pernah surut dari sejarah. Hal ini disebabkan karena pengalaman keagamaan,

tidak akan pernah hilang, dan tidak pernah selesai untuk diteliti. Dari

pengalaman-pengalaman keagamaan (religiusitas) itulah akan memberikan dampak positif bagi

individu yang menjalaninya.

Sebagaimana telah tampak bahwa kegersangan spiritual semakin meluas hal

itu terdapat pada masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan semakin

didambakan orang untuk mendapatkan manisnya spiritualitas the taste of

spirituality. The taste of spirituality, bukanlah diskursus pemikiran, melainkan ia

merupakan diskursus rasa dan pengalaman yang erat kaitannya dengan makna

hidup.4 Dalam khazanah Islam, pengalaman keagamaan tertinggi yang pernah

4

Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik ; Pengalaman Keagamaan Jama’ah

Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bekerja Sama dengan Walisongo Press, Semarang, 2003), hlm. 17

(30)

18

berhasil dicapai oleh manusia adalah peristiwa “mi’raj” Nabi Muhammad SAW.,

sehingga peristiwa ini menjadi inspirasi yang selalu dirindukan hampir semua

orang, bahkan apapun agamanya.

Di sinilah muncul salah satu alasan bahwa pengalaman spiritualitas sangat

didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan bentuknya. Dan untuk

menggapai pengalaman-pengalaman spiritualits itu, maka diperlukan

upacara-upacara khusus guna mencapainya. Sebab dari pengalaman keagamaan itu,

umumnya muncul hati yang mencintai yang ditandai dengan kelembutan dan

kepekaan. Sehingga sifat cinta itu akan melahirkan “kasih” kepada sesama

makhluk tanpa membedakan ras serta keberagamaan yang berbeda. Secara

substansi (esoterisme) agama-agama pada hakekatnya sama dan satu.

Perbendaannya terletak pada aplikasi dari esoterisme yang kemudian

memunculkan “eksoterisme” agama. Pada aspek eksoterik inilah muncul pluralitas

agama. Di mana setiap agama memiliki tujuan yang sama dan objektif yaitu untuk

mencapai kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Antropologi spiritual Islam memperhitungkan empat aspek dalam diri manusia,

yaitu meliputi5:

1. Upaya dan perjuangan “psiko-spiritual” demi pengenalan diri dan disiplin.

2. Kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya.

3. Hubungan individu dengan Tuhan.

4. Hubungan dimensi sosial individu manusia.

5

M.W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, (Penerbit Qalam, Yogyakarta,

2000), hlm. 7

(31)

19

Jika dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam

pandangan Islam hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk terlibat

jihad setiap saat dan dalam berbagai tingkat. Model analisis klasik tentang jiwa

manusia meletakkan “hati” manusia sebagai pusat perjuangan, yakni tarik

menarik yang ketat antara “spirit” (kebaikan) dan “ego” (kejahatan).

Kebutuhan manusia akan Tuhan-nya merupakan fitrah yang tidak bisa

dinisbatkan manusia. Jika manusia menisbatkan fitrahnya itu berarti manusia

tersebut telah memarjinalkan potensi beragamanya atau spiritualnya. Seperti

halnya firman Allah SWT dalam surat ar-Ruum ayat 30 ;

฀฀฀฀฀฀฀฀

Artinya : “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah

SWT)., (tetaplah atas) fitrah Allah SWT., yang telah menciptakan manusia menurut fitrah

itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah SWT., itulah agama yang lurus ; tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (Q.S. ar-Ruum : 30).6

Jiwa atau ruh merupakan hakikat pada diri manusia yang abadi, yang

perenial, dan tidak akan berubah sepanjang masa, yaitu fitrahnya, yang membuat

selamanya merindukan kebenaran, dengan puncaknya ialah kerinduan kepada

Tuhan. Seperti yang telah digambarkan dalam al-Qur'an surat al-Fajr ayat 27-30.

6

(32)

Artinya : “Hai jiwa yang tenang ! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang

puas lagi diridhai-Nya. Kemudian, masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan

masuklah ke dalam surga-Ku”. (Q.S. al-Fajr: ayat 27-30).7

Oleh karena itu, pengalaman keagamaan, dalam arti merasakan kenikmatan

religiusitas sangat didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini terjadi karena

pengalaman keagamaan terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan (puncak)

kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang bersifat universal,

yaitu yang merupakan kebutuhan kodrati setelah kebutuhan-kebutuhan fisik

terpenuhi, yakni kebutuhan cinta dan mencintai Tuhan, dan kemudian melahirkan

kesediaan pengabdian kepada Tuhan. Hal ini yang kemudian disinyalir sebagai

jiwa keagamaan atau kejiwaan agama. Para peneliti saling berbeda pendapat

tentang darimana sumber jiwa keagamaan yang menimbulkan keinginan untuk

mengabdi kepada Tuhan tersebut. Namun secara umum terdapat tiga teori

psikologi agama yang mencoba untuk memberikan jawaban atas persoalan di atas.

Diantaranya teorimonistik, teori faculty dan Teori the Four Whises.

1. Teori Monistik (mono = satu)

Teori ini berpendapat bahwa hanya terdapat satu sumber kejiwaan

(sumber tunggal) dalam keagamaan. Dari teori ini disebutkan sumber kejiwaan

agama adalah sebagai hasil proses berfikir oleh Thomas Van Aquino dan

Fredrick Hegel, rasa ketergantungan kepada yang mutlak (sense of depend)

7

(33)

21

oleh Fredrick Schleimaceher, perasaan kagum yang berasal dari “yang sama

sekali lain” (the wholly other) Rudolf Otto yang kemudian diistilahkan

numinous. Proses libido sexuil atas proses odepus complex dan father image

oleh Sigmund Freud, dan karena sekumpulan instink pada diri manusia oleh

William Mac Dougall. Namun pandangan William ini dipandang lemah oleh

para psikolog.8

2. Teori Faculti (faculty theory)

Teori ini yang memandang bahwa sumber kejiwaan agama bukan

bersifat tunggal, namun terdiri dari berbagai fungsi. Menurut teori ini sumber

jiwa keagamaan berasal dari cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).

Dari teori dasar ini, para psikologi aliran ini menyebutkan bahwa sumber

kejiwaan keagamaan adalah adanya konflik pada diri manusia yang diperlopori

G. M. Straton, sebagai akibat gabungan dari enam kebutuhan pokok, yaitu rasa

kasih sayang, rasa aman, harga diri, bebas, sukses, ingin tahu, dalam hal ini

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itulah manusia memerlukan agama

menurut Zakiyah Daradjat.9

3. Teori the Four Whises

Melalui teori ini W. H. Thomas mengemukakan bahwa sumber kejiwaan

agama adalah karena adanya empat macam keinginan dasar dalam diri

manusia, yaitu: keselamatan (security), mendapat penghargaan (recognition),

8

Drs. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada, Jakarta,

2004), hal. 54-56.

9

Ibid, 59-62

(34)

22

untuk ditanggapi (response), dan keinginan akan pengetahuan atau pengalaman

baru (new experience).

Dari ketiga teori mengenai sumber jiwa keberagamaan di atas pada

kenyataannya, antara satu sumber dengan sumber yang lain, kadang saling terkait,

kadang juga saling berbeda antara satu orang dengan orang lain. Jadi tidak bisa

dipastikan sumber mana yang paling kuat dan dominan. Tapi terdapat pengaruh

antar sumber jiwa keagamaan dengan sikap beragama yang ditempuh, dan juga

akan menghasilkan pengalaman yang berbeda, akan memunculkan kembali

sikap-sikap yang berbeda pula.

B. Macam-macam Spiritualitas 1. Spiritualitas Islam

Secara tidak langsung spiritualitas Islam muncul sejak pada abad ke-7 M

diawali dari pencerahan Nabi Muhammad saw kepada seluruh pengikutnya.

Beliau memberikan pencerahan itu mengenai nilai-nilai moral dan spiritual

yang telah diperoleh dari Allah SWT. Apa yang telah ditanamkan oleh Nabi

saw kepada para pengikutnya yang awal, dalam tingkatan-tingkatan yang

berbeda, adalah perasaan yang mendalam pada pertanggungjawaban di

hadapan pengadilan Tuhan, yang mengangkat perilaku mereka dari alam

duniawi dan kepatuhan yang mekanis kepada hukum, kepada alam kegiatan

moral.10 Nilai-nilai moral dan spiritual yang telah diajarkan Nabi ternyata

dapat memberikan perubahan bagi umat manusia hususnya Islam dalam

mencapai derajat tertinggi (kehidupan hakiki). Pengalaman-Pengalaman

10

Ibid, hal. 184

(35)

23

spiritual tersebut dapat memberikan posisi kehidupan yang lebih baik dan

dapat dirasakan dan dinikmati kalayak muslim (Islam).

Akhirnya apa yang telah dibawa Nabi saw itu dijadikan sebagai

“sendi” dalam Islam guna mencapai kedekatan diri kepada Allah SWT. Lima

sendi itu yang sering kita kenal dengan sebutan “Rukun Islam” dan kelima hal

itu tetap berguna selama seseorang ingat bahwa dasar-dasar tersebut

merupakan bagian kepercayaan dan bukan hanya suatu ibadah singkat yang

diangkat.11 Lima sendi rukun Islam tersebut adalah: Pertama, Percaya bahwa

tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT.

Kedua, Shalat wajib lima kali dalam sehari semalam. Ketiga, Membayar Zakat

kepada yang berhak menerimanya. Keempat, Puasa dari matahari terbit hingga

terbenam selama tiga puluh hari pada bulan kesembilan, “Ramadhan” dan

Kelima, Ibadah Haji ke Makkah sekali seumur hidup jika mampu secara

materi dan sehat jasmani.

Dari lima sendi itulah yang akan membawa manusia pada tingkatan

tertinggi dari agama Islam ketika manusia itu mau melaksanakan dan mencari

titik temu dalam segi keagamaan. Karena dalam ajaran Islam tingkatan

teritinggi terletak pada tingkat kesalehan manusia. Dimana kunci dari

kesalehan ini adalah “takut kepada Tuhan” atau tanggung jawab kepada cita

moral, atau yang sering disebut dengan istilah “taqwa”.12

Konsep al-Qur'an tentang berserah diri kepada Tuhan (taqwa),

sebagaimana telah ditekankan oleh paham kesalehan dalam arti etisnya,

11

Ibid, hal. 5

12

Ibid, hal. 184

(36)

24

berkembang dalam kelompok-kelompok tertentu menjadi suatu doktrin

ekstrim tentang pengingkaran dunia. Maka dalam perilaku atau motivasi dari

seseorang harus berlandaskan kesucian. Begitupun dalam semua aktifitas

kegiatan manusia, hendaklah harus memiliki kesadaran akan pengawasan

Tuhan. Taqwa merupakan salah satu kata yang paling tinggi nilainya, yang

memiliki arti kurang lebih ‘kemuliaan’ dan ‘kedermawanan’. Hingga pada

akhirnya yang akan membawa manusia pada tingkat esoterisme atau yang

tidak lain disebut dengan tingkat “spiritualitas”. Spiritualitas Islam itu

senantiasa identik dengan upaya menyaksikan yang satu, mengungkap yang

satu, dan mengenali yang satu, sang tunggal itu yang ditegaskan dalam

al-Qur'an adalah dengan nama “Allah SWT”.13 Oleh karena itu, seseorang ketika

ingin mencapai tingkatan spiritualitas harus membersihkan hijab-hijab yang

telah menghalangi penyatuan diri manusia dengan Tuhannya.

Dalam bahasa tasawuf untuk mencapai tingkat spiritual ada tiga

tahapan yang perlu diperhatikan, yakni Petama, mengosongkan dan

membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawiaan yang tercela (takhalli).14

Kedua, upaya mengisi atau menghasi dengan jalan membiasakan diri dengan

sikap, prilaku, dan akhlak terpuji (tahalli).15 Ketiga, lenyapnya sifat-sifat

kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan (tajalli). Dalam

13

Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari HAMKA ke Aa Gym, (Pustaka Nuun,

Semarang, 2004), hal. 4

14

Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi ; Telaah Pemikiran

Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Atas Kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002), hal. 9

15

Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtqar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (cv.

(37)

25

tradisi tasawuf, banyak sekali teori yang menyebut karakterkarakter keluhuran

yang seharusnya dimiliki oleh manusia.

2. Spiritualitas Dalam Kajian Barat Dan Timur

Spiritualitas dalam pangdangan barat tidak selalu berkaitan dengan

penghayatan agama bahkan Tuhan. Spiritualitas yang ada dalam pandangan

mereka lebih mengarah pada bentuk pengalaman psikis yang pada ahirnya

dapat member makna yang mendalam pada individu tersebut. Sebaliknya

dalam pandangan orang-orang timur spiritualitas lebih mengarah dan terkait

pada penghayatan religiusitas terhadap Tuhan dengan berbagai ajaran dan

aturan didalamnya. Pada pandangan barat dan timur tentang spiritualitas pada

ahirnya dapat mendasari penilaian dan perlakuan terhadap seni khususnya

musik.16 Dalam sikologi barat, dikatakan bahwasanya puncak kesadaran

manusia seutuhnya ditekankan terhadap tingkat rasionalitasnya, sedangkan

dalam ranah kesufian orang-orang timur tidaklah begitu, kesadaran yang

hanya diukur dari aspek rasionalitas sepertihalnya “tidur dalam sadar”,

dikarenakan sisi spiritualitas dalam pendekatan diri terhadap tuhan tak pernah

bisa terukur dengan hanya menggunakan ukuran rasionalitas.17

Beberapa contoh spiritualitas barat yang merefleksikan kesulitan orang

barat dalam hal emosional dan seksualitas adalah aktris ternama Madona yang

menjadi ikon seksualitas musik pop didunia barat, ekspresi yang digelar

16

Jhon Storey, pengantar komperhensif teori dan metode, hal.126.

17

Robert Frager, Ph.D. Psikologi Sufi, trasformasi hati, jiwa dan ruh. (Zaman, 2014

Jakarta Timur), hal.38.

(38)

26

menyerukan kebutuhan untuk menjalani hidup secara langsung dan intens.18

Hal tersebut sekaligus mencerminkan kurangnya suatu autentisitas, terlebih

lagi autentisitas terhadap pemaknaan musik dan fungsinya. Hal tersebut

menggambarkan tergadap kita bahwa musik yang dikonsumsi oleh barat

secara fungsional hanya mengarah pada sebuah kepuasan yang tidak lebih dari

ranah fenomena psikis yaitu seksualitas dan emosional.

18

Sayyed Hossein Nasr, menjelajah dunia modern, hal,112.

(39)

27

BAB III

TEMBANG DAN GENDHING JAWI SERTA NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DI DALAMNYA

A. Pengertian Tembang

Tembang yang sering kali kita dengar sebagai sebuah kesenian masyarakat

Jawa yang masih dan mampu bertahan sampai sekarang agaknya mempunyai

makna dan pengertian yang cukup rumit, Tembang sendiri dalam budaya Jawa

berpengertian sebagai, “sebuah bentuk puisi, sajak atau syair Jawa tradisional

yang dilantunkan dalam bahasa Jawan yang setiap baitnya mempunyai baris

kalimat (gatra) tertentu dan disetiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru

wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir (guru lagu; guru suara

tertentu).1 Cara membawakan Tembang pun terbilang unik dan mempunyai

pakem-pakem tertentu dalam melagukanya.

Suwardi Endrawara dalam bukunya yang berjudul Tradisi Lisan Jawa:

Warisan Abadi Budaya Leluhur menggolongkan tembang dalam genre tradisi

lisan Jawa sebagai salah satu bentuk puisi.2 Menurutnya, puisi, sebagai tradisi

lisan yang berupa syair-syair rakyat memiliki beberapa bentuk, di antaranya

adalah: (a). Nyanyian rakyat, yaitu puisi yang dilagukan rakyat seperti halnya

lagu dolanan anak, (b). parikan (pantun Jawa), yaitu sajak semi terikat, dan

(c). tembang, yaitu puisi yang terikat oleh aneka aturan, seperti tembang gehe

dan macapat. Sedangkan makna istilah Tembang yang terdapat dalam Kamus

1

F.X. Rahyono, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta, 2009, penerbit Wedatama Widya

Sastra. hal. 94

2

Suwardi Endraswara, Tradisi Jawa Lisan: Warisan Abadi Budaya Leluhur. Yogyakarta,

(40)

28

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua makna, yang pertama bermakna

syair yang diberi berlagu (untuk dinyanyikan) dan yang kedua bermakna puisi.

Jadi, makna tembang Jawa dalam pandangan umum adalah lagu Jawa.

B. Sejarah Perkembangan Tembang

Perkembangan sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu,

Budha, Medang, Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit,

Demak, Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Pada awal abad 20

sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat pengaruh dari metrum-metrum

kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra merupakan produk masyarakat Jawa

yang sudah berusia sangat panjang.3

Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada

paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi

setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India

secara riel mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem

kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan

umum. Pengaruh sastra Hindu dari India terhadap karya sastra Jawa ditandai

dengan munculnya karya sastra Jawa kekawin dan kitab-kitab parwa.4 Karya ini

banyak memakai kata-kata bahasa Sansekerta. Akibatnya, banyak karya sastra

Jawa itu memuat ajaran agama Hindu. Bangsa India menilai kitab-kitab Hindu itu

suci karena berisi ajaran religius seperti kitab Ramayana dan Mahabarata, mereka

juga menilai bahwa kitab-kitab mereka juga berlaku pada masyarakat Jawa.

3

Purwadi. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta, 2006, penerbit Panji Pustaka. hal. 13

4

Ibid. hal. 14

(41)

29

Bahkan penamaan kitab-kitab sastra itu menunjukan penghormatan terhadap

karya-karya tersebut.

Sementara itu, menjelang berakhirnya pemerintahan Majapahit, sekitar

abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 pengaruh agama Islam semakin meluas,

sehingga munculah karya-karya sastra yang bernuansa Islam. Karya sastra Jawa

yang asalnya dari karya kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang

macapat maupun tembang gede. Pada era selanjutnya, aspek historis dalam sastra

Jawa semakin kuat dengan munculnya karya-karya babad (sastra sejarah) yang

muncul pada pertengahan abad ke-17. Karya sastra Jawa sebelum abad ke-19,

sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ranggawarsita kebanyakan

berupa manuskrip.5 Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa memasuki babak baru

sebagai pengaruh akibat budaya barat yang mana berakibat munculnya karya

sastra modern dari berbagai jenis sastra atau genre sastra. Pengaruh tersebut

bersamaan dengan berlangsungnya pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa.

Pengarang sastra Jawa modern dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru

seperti Mas Kuswadiharjo, Raden Mas Wiryasusastro, Mas Reksatanaya, dan Mas

Prawirasudirya.6

Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para

siswa sekolah. Sedangkan pada awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang

berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi tersebut masih terkesan mengutamakan

pesan-5

Ibid, hal. 14 6

Ibid, hal. 17

(42)

30

pesan pendidikan.7 Pada abad itu pula balai pustaka juga menerbitkan karya

sastra dari kalangan non guru yang biasanya ditulis oleh pegawai pamong praja

yang karyanya antara lain, Serat Panutan (Prawirasudirja), Rukun Arja

(Samuel Martaatmaja), Kartimay (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa (Prawirasudirja),

dan Darma Sanyata (Raden Ngabei Kartasiswaya). Sastra Jawa modern periode

1920 sampai dengan perang kemerdekaan memiliki kaitan sejarah dengan periode

sebelumnya. Periode tersebut dapat dikatakan sebagai masa pertumbuhan genre

Barat ke dalam Sastra Jawa. Menurut Rass genre barat masuk kedalam sastra jawa

sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa kedalam masyarakat Jawa. Selain itu

pemerintah kolonial secara perlahan-lahan berusaha mewujudkan sastra-sastra

Jawa melalui lembaga-lembaga, baik yang murni pemerintah maupun swasta.

Lembaga-lembaga ini amat berperan dalam usaha menyediakan bahan bacaan dan

pengembangan sastra Jawa.8 Sastra Jawa sejak tahun 1920 sampai dengan perang

kemerdekaan terus berkembang, hal ini ditandai dengan pengaruh dari sastra barat

dalam bentuk pengenalan genre baru.

C. Macam-macam Jenis Tembang

Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh para ahli, di Jawa terdapat

beberapa jenis tembang yang masih bisa dilacak jejak-jejak keberadaannya,

diantara jenis-jenis Tembang Jawa ialah sebagai berikut:9

7

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta, 1995, penerbit Gajah Mada

Univercity Press. hal. 28

8

http://dari-enol.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-perkembangan-sastra-jawa.html

9

Ki Rejomulyo, Pengenalan Sekilas Tentang Tembang Jawa. Yogyakarta, 2001,

DinasPendidikan dan Kebudayaan Sleman. hal. 67

(43)

31

1. Tembang Kawi (kakawin)

Kakawin adalah karya sastra puisi pada jaman sastra Jawa Kuna. Oleh

karena itu menggunakan media bahasa Jawa Kuna atau disebut juga bahasa

Kawi. Jenis karya sastra ini tergolong tembang karena memiliki aturan

tertentu, serta pembacaannya menggunakan lagu.10 Adapun aturan

penyusunannya adalah:

a) satu bait terdiri dari empat baris. b) jumlah suku kata tiap baris sama. c)

pola metrum tiap baris sama. d) berbahasa Jawa Kuna.

Perpaduan aturan kedua dan keempat menghasilkan metrum (nama-nama)

tembang. Beberapa contoh metrum (nama) tembang kakawin:

- Asambhada - Kuwalayakusuma - Kumudasara - Wrsabhagati wilasita -

Sagaralango - Basantatilaka.

Tradisi pembacaan kakawin dengan lagu khusus, meskipun di Jawa

sendiri sudah tidak ada, tetapi di Bali masih terus berlangsung hingga kini.

Tradisi itu disebut dengan makakawin. Kakawin tertua yang ditemukan adalah

Kakawin Ramayana yang diperkirakan dibuat pada masa pemerintahan Dyah

Balitung (820-832 Saka).11 Tradisi penulisan kakawin masih berlanjut hingga

kini di Bali, meskipun hanya sebatas penyalinan dari lontar-lontar kuna.

Beberapa contoh karya sastra yang berbentuk kakawin: kakawin Ramayana

yang tidak diketahui pengarangnya; kakawin Arjunawiwaha karya Kanwa;

10

R.S Subalidinata, Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: 1994, Yayasan Pustaka

Nusatama. hal. 112

11

Ibid, hal.116

(44)

32

kakawin Gatotkacasraya karya Panuluh; kakawin Bharatayuddha karya Sedah

dan Panuluh; kakawin Nagarakrtagama karya Prapanca.

2. Tembang Gedhe

Kesusatraan jaman Surakarta, oleh Poerbatjaraka disebut sebagai

jaman pembangunan dan juga jaman pembuatan karya-karya baru. Pada masa

ini banyak sekali karya sastra Jawa Kuna yang digubah ulang dalam bahasa

Jawa Baru. Gubahan itu menghasilkan bentuk karya sastra yang baru pula.

Salah satunya adalah tembang gedhe atau sekar ageng.12 Bentuk ini

merupakan derivasi dari kakawin, oleh karena itu beberapa aturan kakawin

masih terlihat, yaitu jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris.

Selengkapnya aturan dalam penggubahan tembang gedhe ini adalah:13

a) setiap satu bait (sapada) terdiri dari empat baris atau empat pada pala,

b) setiap dua pada pala disebut satu pada dirga,

c) empat pada pala disebut satu padeswara,

d) jumlah suku kata setiap pada pala sama, dikenal sebagai laku ataulampah.

Berdasarkan jumlah suku kata setiap pada pala atau satu laku, tembang gedhe

dibagi menjadi empat:

1) 10 suku kata atau kurang disebut salisir,

2) 11 sampai 20 suku kata disebut siliran atau siriran,

3) 21 sampai 30 suku kata disebut raketan,

4) 31 suku kata atau lebih disebut dhendha atau simparan.

12

Ibid, hal. 122

13

Zoetmulder, Selayang Pandang Sastra Jawa Kuna. Terjemahan Dick Hartoko.

Jakarta:1983, Djambatan. hal. 97

(45)

33

Beberapa contoh tembang gedhe:14

Sudirawicitra, Maduretna, Merak nguwuh, Kuswarini, Candrakusuma,

Manggalagita, Pamularsih, Sikarini, Kuswaraga.

Sampai saat ini tembang gedhe masih sering dilagukan. Jenis tembang ini

tidak asing bagi para praktisi karawitan, karena banyak di antaranya

digunakan sebagai cakepan bawa maupun gerongan.

3. Tembang Tengahan

Tembang tengahan merupakan turunan dari bentuk karya sastra Jawa

Tengahan yang bernama Kidung. Bentuk karya sastra ini timbul pada jaman

Majapahit, kemudian tradisi penulisannya dilanjutkan di Bali. Kidung sendiri

tidak dimasukkan dalam golongan tembang karena tidak dapat dilacak

jejak-jejak penggunaan lagu dalam pembacaannya.15 Sedangkan tembang tengahan

masih dapat didengarkan pelantunannya, karena memiliki fungsi yang sama

dengan tembang gedhe dalam dunia karawitan. Penggubahan tembang

tengahan adalah ditentukan oleh:

a). jumlah gatra (baris) setiap pada (baris), b). jumlah suku kata

setiap gatra atau setiap pada lingsa (baris), disebutguru wilangan, c). suara

vokal setiap akhir gatra (baris), disebut guru wilangan.

Beberapa contoh metrum tembang tengahan:16

Balabak, Wirangrong, Juru demung, Dudukwuluh, Gambuh, Lontang,

Palugon.

14

Ibid, hal. 124

15

Tuntunan Sekar Tengahan, Sekar Ageng dan Gendhing Ki Nartosabdo. Sukoharjo:2006, penerbit Cenderawasih. Hal.44

15

Ibid, hal. 47

(46)

34

4. Tembang Dhagelan

Tembang dhagelan dulu berdiri sebagai jenis tembang tersendiri. Pada

perkembangannya tembang ini hanya merupakan varian dari tembang

tengahan. Bahkan sekarang tidak dibedakan lagi dari tembang tengahan.

Contoh: tembang dhagelan adalah tembang balabak.17

5. Tembang Macapat

Tembang macapat disebut juga tembang cilik.18 Jenis tembang ini

mulai terkenal sejak jaman Surakarta awal. Banyak karya sastra jaman

Surakarta yang digubah dalam bentuk tembang macapat. Satu karya sastra

jaman Surakarta yang sangat terkenal yang digubah dalam bentuk tembang

macapatadalah Serat Rama, gubahan Yasadipura.19 Penggubahan tembang

macapat didasari oleh:

1) guru gatra: jumlah gatra (baris) setiap bait (pada)

2) guru lagu: suara vokal setiap akhir gatra

3) guru wilangan: jumlah suku kata setiap gatra (baris)

Nama-nama tembang macapat adalah:

Asmaradana, Dhandhanggula, Durma, Kinanthi, Maskumambang, Mijil,

Pangkur, Pucung, Sinom.

Dari lima jenis tembang tersebut, saat ini di Jawa hanya tinggal dikenal

tiga: tembang gedhe; tembang tengahan dan tembang macapat.

17

Ibid, hal.56 18

Nanang Windardi, Suluk, Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Sukoharjo: 2002,

Cenderawasih. hal. 52 19

Tentrem Warsena, Tuntunan Sekar Macapat. Sukoharjo:2006, Cenderawasih, hal.28

(47)

35

D. Pengertian Gendhing Jawi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian Gendhing itu sendiri

berarti “alunan musik, instrumentalia atau irama atau langgem yang digunakan

sebagai pengiring tembang-tembang yang berbahasa jawa”.20 Gendhing sendiri

selalu identik dengan seni kebudayaan Jawa, namun dalam penulisan ini

menggunakan istilah Jawi agar tidak keluar jauh dari pembahasan yang nantinya

juga mengarah pada aspek kebahasaan, bila dikaji lagi dalam kebiasaan orang

jawa didalam penyebutan Jawa dan Jawi sangatlah jauh berbeda sekalipun itu

dalam arti atau makna yang masih sama. Dalam unsur kebahasaan orang jawa

mereka mempunyai strtifikasi atau tingkatan-tingkatan bahasa yang juga

kegunaanya berbeda-beda, diantaranya: Boso Ngoko, Ngoko Alus dan Kromo

Inggil.21 Hal yang demikian ini dimaksudkan agar secara kebahasaan dalam

berkomunikasi mempunyai unggah-ungguh dan dapat membedakan lawan bicara

yang tua atau muda. Sedangkan pemilihan kata jawi sendiri dalam penulisan

skripsi ini tergolong masuk pada tata kebahasaan Kromo Inggil dalam pandangan

orang jawa.

Dapat disederhanakan lagi bahwasanya pengertian Gendhing yang lebih

umum lagi yang biasa dipahami oleh masyarakat jawa ialah suatu insterumentalia

musik yang penyajiannya menggunakan tetabuhan-tetabuhan sebagai pengiring

tembang-tembang jawa atau pengiring pada pagelaran pewayangan juga pada

kesenian ludruk, dalam hal ini tetabuhan yang dimaksudkan tidaklah terbatas pada

20

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat,

Jakarta:2008), hal.952.

21

Khusnin. Unggah-Unggah Bahasa Jawa Dan Implikasinya Pada Masyarakat.

(Yogyakarta;2008), hal.26.

(48)

36

alat-alat musik gamelan saja, akan tetapi alat-alat musik selain gamelan pun juga

kerap digunakan dalam pengiringan Gendhing misalnya, rebab, seruling, angklung

dan lain sebagainya. Orientasi pagelaran Gendhingan biasanya menggunakan

alat-alat musik yang bernada, akan tetapi juga ada alat-alat-alat-alat musik selain itu yang

digunakan yang tidak bernada, seperti Gedhog atau biasa disebut dengan

dog-dogan (sebuah kotak dari kayu yang biasanya dipukul oleh dalang).22

Khusus untuk penggunaan alat musik yang tidak bernada dalam

pagelaran Gendhing kali ini bila dimainkan secara personalia atau pribadi, hal ini

juga biasa digunakan oleh pemain musik Gendhing untuk menggambarkan suatu

hal yang dalam hal lain mempunyai suara yang sama dengan alat ini misalnya,

bunyian alu atau bunyian lesung bila di pukul akan mengeluarkan bunyi yang

sama pula dengan alat musik gedogan ini, sehingga dengan penggambaran seperti

itu seakan-akan si pemain musik dan rangkaian pagelaran itu mengisyaratkan atau

mengabstraksikan pada suatu suasana atau nuansa tertentu.

E. Sejarah Perkembangan Gendhing Jawi

Jika berbicara mengenai sejarah perkembangan Gendging Jawi dan asal

mula kemunculanya, maka juga akan sangat perlu terlebih dahulu mengkaji

bagaimanakah diketemukannya seperangkat alat-alat musik yang dipergunakan

didalam pagelarang Gendhing Jawi itu sendiri. Dikarenakan bila membahas

masalah Gendhing Jawi ini maka juga perlu mengenal tentang seni kebudayaan

orang Jawa yang bernama Gamelan dan Karawitan yang juga menjadi satu

kesatuan dari Gendhing Jawi itu sendiri yang termasuk didalamnya juga perlu

22

Sultan Agung, Serat Sastra Gendhing, (Surakarta: Museum Radya Pustaka 1821), hal.

405.

(49)

37

menelaah bagaimana kebudayaan dan kesenian ini berkembang dan apa yang

melatarbelakanginya.

1. Asal-usul logam sebagai alat musik di Jawa

Belum ada kejelasan yang pasti tentang sejarah yang membahas

kapankah kali pertama masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa

mulai mengenal dan membuat alat-alat dari logam (termasuk Gong, Kenongan

atau Bonang dan lain sebagainya) yang kini dipergunakan sebagai alat musik

dalam pagelaran Gendhing. Akan tetapi, pakar arkeolog, Peter Bellwood,

mengatakan bahwa terdapat bukti kegiatan pembuatan logam di Bali sebelum

tahun 200M.23

Dan di beberapa lain daerah di Indonesia seperti, Jawa, Madura,

Sumatra bagian selatan, Riau, Flores sebelum tahun 500M. perkiraan kegiatan

itu agak berdekatan dengan selisih tahun yang tak jauh dari masuknya

gendang perunggu di Indonesia.24

Dan ada teori yang mengatakan bahwa gong sebagai alat musik

merupakan transformasi dan perkembangan dari gendang perunggu. Jika

kedalaman gendang perunggu diperpendek maka, alat tersebut lebih mirip

dengan alat musik Gong datar (tanpa pencu). Saat ini, Gong datar lebih umum

dijumpai di daerah pegunungan di Vietnam dan Vilipina, daripada di

23

Ibid, hal.21.

24

Esther L. Siagian, Gong, (Jakarta 1970 : Lembaga Pendidikan Seni Nusantara), hal.

21-22.

(50)

38

Indonesia. Sedangkan Gong berpencu lebih umum diketemukan di berbagai

wilayah di Asia Tenggara.25

Benarkah asalmula adanya Gaong atau alat musik logam lainnya

berasal dari transformasi atau ubahan gendang perunggu datar hingga masuk

ke Nusantara menjadi berpencu? Yang jela para ahli arkeolong menuturkan

bahwasanya sewjak dari abad ke-12 dan sesudahnya Gong kecil berpencu

sudah menjadi alat musik di Nusantara khususnya di Jawa pada zaman itu.

Dan adapun alat itu juga pada zaman tersebut sudah digunakan dalam berbagai

acara pertunjukan seperti-halnya pagelaran Wayang Kulit. Hal tersebut juga

bisa dibuktikan dengan banyaknya relief yang diketemukan pada candi-candi

di Jawa Timur yang dibangun sejak abad ke-14 yang terdapat gambar Gong26.

2. Asal-usul perkembangan Pagelaran Seni Musik di Jawa

Jawa merupakan suatu pulau kecil dari sebagian di kepulauan

Nusantara yang begitu luas. Namun demikian Jawa merupakan pusat dari

pemerintahan, dan sekaligus juga menjadi pusat kebudayaan terbesar di

Nusantara. Semua itu tidak lepas dari kiprah kerajaan Majapahit yang pada

abad ke-14 sampai pada abad 15 mencapai puncak kejayaanya, yang mana

pengaruhnya bukan hanya merambah dan meluas di Nusantara, akan tetapi

juga merambah sampai ke kepulauan madagaskar dan afrika.

Pengaruh kerajaan Majapahit yang amat kental dengan kebudayaan

dan adat jawa terlebih lagi bisa kita jumpai di Nusantara di daerah Jawa

Tengah, Jawa Timur dan Jawa barat. Terutama tentang Kesenian Karawitan

25

Ibid,24. 26

Ferdinandus, Alat Musik Jawa Kuno, (Yayasan Mahardhika, Yogyakarta;2003), hal.26.

(51)

39

yang berwujud Gamelan, yang sampai sekarang masih hidup dan berkembang

di daerah Jawa Tengah khususnya di daerah kerajaan Surakarta dan kerajaan

Jogyakarta. Begitu pula di Jawa Barat, berupa kesenian Sunda bekas dari

kerajaan Pasundan dan kesenian di Bali yang juga bekas peninggalan kerajaan

Bali. Semua peninggalan kebudayaan tersebut tidak terlepas dari warisan

budaya dari kerajaan Majapahit yang luhur.27

Kendatipun pada ahirnya kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan,

namun para empuh karawitan masih banyak yang selamat dan melarikan diri

dengan membawa kebudayaan itu. Mereka lari keberbagai macam daerah di

Jawa, para empuh yang lari ke-arah utara mereka menuju ke daerah Lamongan

dan Gersik, mereka yang lari ke-arah timur menyebar di daerah Surabaya,

Sidoarjo sampai Pasuruan, sedangkan yang ke-arah selatan mereka berlari ke

daerah malang. Dan di daerah inilah para empuh yang masih selamat pada

ahirnya melestarikan dan mengembangkan kesenian Karawitan hingga tetap

ada sampai pada saat sekarang ini.28

F. Laras (Tangga Nada) Dalam Kesenian Gendhing

Menurut istilah Jawa, gendhing merupakan jalinan nada-nada yang

membentuk sebuah lagu. Dalam karawitan terdapat beberapa bentuk gendhing,

yaitu dari bentuk sederhana sampai pada bentuk yang rumit. Gendhing biasanya

ditulis dengan notasi kepatihan atau notasi angka, notasi ditulis dalam beberapa

27

Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 122.

28

Soetrisno. Sejarah Karawitan, (Yogyakarta: Akademi Seni Tari Yogyakarta, 1981). hal

215.

Referensi

Dokumen terkait

Lisnawati, M.Si yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini serta telah memberikan penulis kesempatan belajar banyak hal.. Daliman,

Selama dalam proses penulisan skripsi hingga selesainya skripsi ini, penulis telah sangat banyak menerima bantuan, semangat, dorongan dan kasih dari mereka yang telah

Aspek-aspek spiritualitas berhubungan dengan nilai intrinsik dan positif emosional, hal tersebut kiranya dapat mempengaruhi keberhasilan perawat dimana perawat

Begitu banyak proses yang telah dilalui penulis dalam penulisan skripsi, ada hambatan-hambatan dan juga kesulitan yang di alami dalam penulisan skripsi ini, tetapi

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi.. Semoga skripsi ini dapat

Lisnawati, M.Si yang telah memberikan masukan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini serta telah memberikan penulis kesempatan belajar banyak hal.. Daliman,

Penulis melihat bahwa pembentukan spiritualitas model Fransiskus dari Assisi menjadi sebuah jembatan dalam upaya perbaikan kerusakan lingkungan yang terjadi amat masif

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak kesalahan, akan tetapi berkat dukungan berbagai pihak sehingga dengan ijin Allah SWT, penulis dapat