• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solidaritas sosial di kalangan pemuda muslim : kajian terhadap Mafia sholawat Ponorogo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Solidaritas sosial di kalangan pemuda muslim : kajian terhadap Mafia sholawat Ponorogo."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SOLIDARITAS SOSIAL DI KALANGAN PEMUDA MUSLIM

(Kajian Terhadap Mafia Sholawat Ponorogo)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam

Program Studi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Studi Islam dan Kepemudaan

Oleh:

Mohammad Atabik Faza F52915022

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Mohammad Atabik Faza, F52915022, Solidaritas Sosial di Kalangan Pemuda Muslim (Kajian terhadap Mafia Sholawat Ponorogo). Tesis, Konsentrasi Studi Islam dan Kepemudaan Prodi Dirosah Islamiyah Program Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Pada tahun 2013 tanggal 9 Nopember, Kelompok Sholawat yang

menamakan diri “Mafia Sholawat” datang ke kabupaten Ponorogo. Mafia

Sholawat memiliki nama panjang “Manunggaling Fikiran lan Ati ing dalem

Sholawat” (bersatunya fikiran dan hati di bawah naungan sholawat). Sebagai kelompok sholawat yang beda dengan kelompok sholawat yang lain,jamaah asuhan Muhammad Ali Shodiqin ini memiliki basis pengikut dari pemuda yang tersingkirkan dari masyarakat. Dari problem yang ada menarik untuk ditelusuri faktor apakah yang menjadikan solidaritas para pemuda itu kuat, bagaimanakah latar belakangnya, dan bagaimana pula mereka memaknai solidaritas tersebut.

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, sementara teori yang digunakan adalah Teori solidaritas sosial. Teori solidaritas terbagi menjadi dua bagian; solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik dan organik memiliki kesamaan dalam hal historisitas anggota, untuk perbedaannya solidaritas mekanik memiliki homogenitas anggota, kekuatan yang muncul dari dalam dan hukum yang berlaku adalah represif, sementara solidaritas organik memiliki heterogenitas anggota, kekuatan ada karena tekanan dari luar, dan hukum yang berlaku adalah restitutif.

Dari penelitian lapangan, pemuda yang tergabung dalam jamaah Mafia Sholawat ini memiliki karakter solidaritas sosial mekanik berupa; historisitas yang sama, homogenitas anggota dan kekuatan muncul dari dalam. Untuk karakter solidaritas organik anggota jamaah ini heterogen dari asal geografisnya dan hukum yang diterapkan adalah restitutif atau pemulihan.

(7)

Daftar Isi

SAMPUL DEPAN... i

SAMPUL DALAM... ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI... v

MOTTO... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 14

C. Rumusan Masalah ... 15

D. Tujuan Penelitian ... 15

E. Manfaat Penelitian... 15

F. Kerangka Teoritik ... 16

G. Penelitian Terdahulu ... 21

H. Metode Penelitian ... 24

(8)

BAB II : KAJIAN TEORI... 31

A. Kajian Solidaritas Sosial ... 31

1. Pengerian Solidarias Sosial ... 31

2. Teori soliaritas Sosial ... 32

3. Pembagian Solidaritas Sosial ... 40

a. Solidaritas Mekanik ... 42

b. Solidaritas Organik ... 45

4. Bentuk – bentuk Solidaritas Sosial ... 48

a. Gotong Royong ... 48

b. Kerjasama ... 49

B. Kajian Pemuda Muslim ... 51

C. Solidaritas Sosial sebagai Pisau Analisis Pemuda Muslim Jamaah Mafia Sholawat ... 53

BAB III : SETTING PENELITIAN... 55

A. Nama Mafia Sholawat di Pandangan Pemuda Muslim ... 55

B. Kehadiran Mafia Sholawat dan Sambutan Pemuda Muslim ... 59

C. Media Dakwah Mafia Sholawat di Mata Pemuda Muslim ... 61

1. Media Dakwah ... 61

2. Tanggapan Pemuda Terhadap Dakwah Mafia Sholawat .. 66

D. Pemuda dan Selera Metode Dakwah ... 68

1. Gelaran di Lapangan Terbuka ... 69

(9)

3. Sholawat dengan Iringan Musik ... 73

4. Tarian Sufi sebagai Daya Tarik Pemuda ... 75

5. Sapaan dengan Slogan ... 77

6. Peanaman Aspek Simbolik Mafia Sholawat ... 80

E. Model Mauidzah Hasanah ... 82

F. Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo ... 83

G. Karakter Jamaah Mafia Sholawat ... 84

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 87

A. Implementasi Solidaritas Sosial Pada Pemuda Muslim ... 87

1. Tujuan Terbentuknya Solidaritas Sosial ... 87

2. Latar Belakang Soidaritas Sosial ... ... 88

3. Karakter Solidaritas Sosial ... ... 89

4. Analisis Tujuan ... 90

5. Analisis Latar Belakang ... 91

6. Analisis Karakter ... 92

B. Analisis Unsur – unsur Solidaritas Sosial Mekanik pada Pemuda Muslim Jamaah Mafia Sholawat ... 93

1. Analisis Solidaritas Sosial Pemuda Muslim ... 93

(10)

BAB V PENUTUP ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Rekomendasi ... 106

DAFTAR PUSTAKA... 108

LAMPIRAN ... 110

A. Hasil Wawancara ... 110

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2013 bertepatan hari Sabtu tanggal 9 Nopember, sekelompok

sholawat datang dengan menamakan diri “Mafia Sholawat” ke Kabupaten

Ponorogo.1 Kelompok salawat ini diketuai oleh KH. Drs. Muhammad Ali

Shodiqin dari Semarang, dimana selain sebagai tokoh sentral dalam kelompok

Mafia Sholawat, beliau juga menjabat sebagai pengasuh Pondok Pesantren

“Darun Nikmah” Semarang. Dalam kurun waktu tiga tahun Mafia Sholawat telah

berhasil menghimpun puluhan ribu pengikut di kota Ponorogo, eksistensi pengikut

jamaah Mafia Sholawat ini diisi dari berbagai latar belakang, terutama pemuda.

Sebagai kelompok Sholawat yang nyleneh, lantaran diikuti oleh para

pemuda yang memiliki catatan negatif di tengah masyarakat, Mafia Sholawat

konsisten mewadahi para pemuda untuk bersholawat bersama, seperti mereka dari

lintas perguruan pencak silat, mantan preman, pengangguran, putus sekolah,

pengguna narkoba, dan sejenisnya. Kelompok ini juga diikuti dari berbagai lintas

usia, baik mereka usia sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, para

mahasiswa, organisasi kepemudaan, bahkan kelompok pengajian baik dari kaum

ibu di pelosok kampung.2 Keterlibatan dari golonngan jamaah memang terhitung

1

Muhammad Furqon, wawancara, Ponorogo, 14 September 2016. 2

(12)

2

sedikit, oleh karena itu jamaah Mafia Sholawat didominasi oleh kalangan

pemuda.3

Arti kata Mafia Sholawat menurut kelompok ini dideskripsikan sebagai

berikut; “Mafia” merupakan ringkasan dari struktur kalimat “Manunggaling

Fikiran lan Ati” (atau Bersatunya Fikiran dan Hati manusia). Sementara “Sholawat” bermakna bacaan sholawat kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga

makna yang terlahir dari rangkaian kata “Mafia Sholawat” adalah Manunggaling

Fikiran lan Ati ing Dalem Sholawat”; (bersatunya antara Fikiran dan Hati

manusia di bawah naungan Sholawat).4 Arti kata ini seiring dengan kegiatan yang

mereka lakukan yaitu berdakwah ke masyarakat luas dengan menggunakan

sholawat sebagai medianya. Jamaah yang ada di dalamnya membaca sholawat

kepada Nabi Muhammad saw dengan kombinasi alat musik, varian lagu, kriteria

tertentu, urutan tertentu, sesuai yang KH. Muhammad Ali Shodiqin ajarkan.

Sosok KH. Muhammad Ali Shodikin (akrab dipanggil dengan “Abah Ali”)

yang menjadi panutan atau sekaligus tokoh sentral dalam Jamaah mereka, Mafia

Sholawat, memiliki kharisma tinggi diantara pengikut setianya. Beliau juga

memiliki pengalaman jauh dari unsur keagamaan di masa mudanya, setelah

menjelajah ke berbagai daerah dan berguru ke berbagai Ulama, perlahan

kesadaran beliau untuk menutup pengalaman buruk berubah ke pengalaman lebih

baik tumbuh. Setelah memiliki modal yang cukup, baik dari materi, keilmuan, dan

kesempatan, Abah Ali bertekad mendirikan lembaga pendidikan berupa pesantren

3Informasi digali dari salah satu personel musik yang mengatas namakan diri “Semut Ireng” (terj: Semut Hitam). Kelompok musik yang mengiringi kemanapun Mafia Sholawat berdakwah. 4

(13)

3

di daerahnya. Jika pesantren pada umumnya memiliki karakter tersendiri yang

bisa mereka banggakan,5 pesantren asuhan Abah Ali ini lebih banyak mengambil

spesialisasi menampung mereka para mantan preman, pengguna narkoba,

pengangguran, dan sebagainya.

Kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren asuhannya lebih

menekankan aplikasi ibadah, adapun praktik ibadah yang menjadi rutinan di

dalam pesantren beliau adalah; manaqib, sholawat, dibaan, barzanji, tahlil, dzikir,

adapun kajian kitab seimbangdengan ibadah terapan. Dengan pola ajaran pesanren

demikian justru menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian golongan masyarakat,

terutama bagi mereka yang tidak memiliki kecenderungan nalar logika yang

rumit, atau tuntutan dengan capaian target yang harus dilewati.6

Berawal dari pesantren inilah perjuangan beliau bermula, oleh karena

karakter pesantren adalah memperbaiki mereka yang buruk maka kajian yang ada

di dalamnya menyesuaikan dengan spirit berubah dari mental negatif ke arah

mental optimis. Kitab seperti al – hikam, nasoihul ibad, riyadussolihin, serta kitab

yang berafiliasi pada peningkatan pahala serta ketenangan hidup diajarkan di

pesantren ini.7 Pembiasaan untuk terus melantunkan sholawat dengan media

5

Corak pesantren dengan karakternya memiliki keunikan tersendiri, ada Pesantren yang fokus pada penguatan ilmu alat (Bahasa Asing), Pesantren dengan spesifikasi Kajian Kitab Kuning, Pesantren dengan spesialisasi Fiqih, pesantren yang fokus pada Hapala Al – Qur’an, dan seterusnya. Keberadaan Pesantren dengan berbagai macam keunikan ini tersebar di seluruh penjuru Indonesia.

6

Sugeng, wawancara, Ponorogo, 21, Januari 2017. 7

(14)

4

jamaah diwujudkan berupa kelompok Mafia Sholawat. Ada alasan tersendiri

mengapa lebih memilih untuk membacakan Sholawat secara bersama, nalar

ideologis yang Ali Shodiqin tanamkan kepada segenap pengikutnya adalah bahwa

makhluk yang paling mulia di sisi Tuhan Allah swt adalah Nabi Muhammad saw.

Dan dalam ajaran Islam mengajarkan bahwa barangsiapa yang membaca sholawat

kepada beliau sekali saja, maka Allah akan memberikan kepada pembaca sepuluh

kali lipat. Ajaran ideologi sholawat juga mengajarkan pemahaman bahwa dengan

semakin mendekatkan diri kepada makhluk yang paling sempurna di Alam

semesta inilah maka pertolongan di hari kiamat berupa Syafaat8 akan diberikan

oleh Allah swt kepada hamba serta umat Nabi Besar Muhammad saw.9

Disamping penanaman berupa ideologi sholawat, Ali Sadikin juga

mengkombinasikan dengan berbagai simbol yang mewarnai saat dakwah

berlangsung. Banyak simbol yang melatarbelakangi prosesi dakwah, baik berupa

simbol fisik berupa pakaian hitam, salah satu contohnya; tulisan beberapa pilihan

huruf arab (hijaiyah) yang terletak di berbagai media, beberapa penari sufi ala

ibadah seperti di atas diajarkan untuk memompa semangat pengikutnya meniti jalan yang benar sesuai agama Islam.

8

Terminologi syafaat adalah kepercayaan umat Islam di hari kiamat bahwa ada satu kesempatan yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad untuk menyelamatkan hambanya yang hendak masuk ke neraka tempat penyiksaan. Syafaat atau pertolongan tersebut diberikan salah satunya kepada mereka para pengikut setianya, dengan secara rutin membaca sholawat maka syafaat atau bantuan yang dimintakan oleh nabi kepada Tuhan akan terwujud kelak.

9

Kesadaran demikian terus dipupuk lantaran adanya sama latarbelakang terjerumus ke dalam kebiasaan negatif dan perlu kembali ke jalan yang ideal, dalam ajaran agama Islam ada konsep

“taubat” dimana seorang hamba ketika melakukan sebuah kesalahan atupun dosa besar kemudian

(15)

5

Jalaludin Rumi yang tampil saat acara atau simbol berupa gerakan fisik seperti

tangan yang diangkat, simbol jari metal, dan sebagainya. Slogan verbal juga

menjadi bagian dari strategi dakwah yang beliau lakukan, seperti menanamkan

paham cinta tanah air, pentingnya sholawat bagi kehidupan setelah kematian, dan

pentingnya taubat sebeum ajal datang. Ali Sadikin menggaungkan slogan tersebut

dengan kalimat berikut ;” NKRI Harga mati, Sholawat Sampai mati, Taubat

sebelum Mati”.

Bertambahnya pengikut ini didukung dengan semakin rutinnya jadwal

pengajian Mafia Sholawat di kabupaten Ponorogo dari satu desa ke desa lain, atau

dari satu masjid ke masjid yang lain, dengan rutinan ini pengikut semakin

bertambah banyak.10 Meski pada awalnya kelompok ini mengakomodir mereka

yang menginginkan untuk berubah, dan berbatas pada anggota yang tidak banyak,

namun kian hari minat masyarakat dalam mendengarkan, mendapatkan

pemahaman keagamaan ala Ali Sadikin sampaikan, jamaah tersebut kian banyak.

Oleh karena banyaknya permintaan dari berbagai elemen masyarakat dari

berbagai lapisan masyarakat, maka majlis atau kelompok kajian keagamaan ini

membuka diri untuk masyarakat umum. Sehingga dari sinilah yang pada awalnya

terbatas pada kelompok orang – orang yang nalar keagamaan sedikit dan

keseharian yang jauh dari keagamaan menjadi wadah semua masyarakat.

10

Pada tahun 2015 atau dua tahun setelah deklarasi di Kabupaten Ponorogo massa yang menjadi pengikut jamaah Mafia Sholawat ini menyentuh angka puluhan ribu, sehingga penyelenggaraan yang semula berada di dalam ruangan beralih ke lapangan terbuka atau di jalan utama. Oleh karena waktu dakwah Mafia Sholawat ini malam hari, maka acara biasa dimulai pukul 19.00 WIB atau

setelah isya’ dan berakhir pada waktu menjelang subuh. Pada tahun 2015 akhir regulasi peraturan

(16)

6

Kelompok yang memiliki nama panjang Manunggaling Fikiran Lan Ati

Ing Dalem Sholawat (bersatunya fikiran dan hati di bawah naungan sholawat) ini

memiliki karakter pengikut yang berbeda dari umumnya kelompok Sholawat.

Mafia Sholawat memiliki pengikut dengan karakter individu yang dinilai negatif

di tengah masyarakat, individu yang memiliki cacat moral, individu yang

terasingkan dari norma – norma masyarakat, seperti; preman, pengangguran, dan

mereka yang identik dengan dunia kemaksiatan. Namun, meski memiliki berbagai

ragam latar belakang pengikut, Mafia Sholawat mempu mengakomodir dan

menjadi media bagi mereka sekaligus bertujuan untuk menanamkan rasa cinta

perdamaian dan persatuan umat melalui media Sholawat.

Menurut salah satu sumber dari santri kepecayaannya,11 pada dasarnya

mereka yang memiliki kebiasaan dengan dunia penyelewengan norma sosial

memiliki keinginan untuk mendalami norma – norma agama. Akan tetapi

keinginan mereka terbentur dengan tidak adanya media yang bisa mewadahi

hasrat untuk mendalami norma – norma keagamaan. Maka dari itu, Mafia

Sholawat hadir memberikan wadah bagi mereka yang memiliki latar belakang

demikian. Dalam pelaksanaan dakwhnya, Mafia Sholawat mengusung misi

persatuan karena pengikutnya berasal dari berbagai ragam tipikal masyarakat.12

11

Informan bersama Sugeng, beliau adalah koordinator Mafia Sholawat yang mengatur jadwal rutinan Jamaah Mafia Sholawat di Kabupaten Ponorogo, jadwal rutinan antar kota, jadwal rutinan antar provinsi.

12

(17)

7

Selain berdakwah dengan menanamkan ideologi shalawat, Ali Sadikin

juga menyelipkan misi membendung masyarkat dari berbagai ragam paham

radikal serta paham yang memiliki potensi untuk memecah belah masyarakat.13

Isu global seperti kekacauan Timur Tengah, isu terorisme yang meresahkan

masyarakat, dan sebagainya mendapat perhatian dalam komunitas ini. Mafia

Sholawat merasa perlu mengambil peran dalam meluruskan paham kesatuan

Negara Republik Indonesia bagi jamaahnya disamping salah satu misi utama yang

terdapat dalam simbol adalah “NKRI harga mati”, mafia Sholawat lebih memilih

untuk menciptakan gelombang kelompok yang membela negara.

Dalam mewujudkan misi mempersatukan berbagai aliran dan golongan

yang mengikutinya, Mafia Sholawat memiliki keunikan saat acara berlangsung.

Adanya simbol pakaian yang melekat pada tokoh sentral,14 tarian sufi,15dan

iringan musik dari kelompok musik yang menamakan diri semut ireng (semut

hitam). Mafa Sholawat menyelenggarakan acara pada malam hari, dengan diawali

melantunkan sholawat secara bersamaan16 dan ditutup dengan doa bersama di

13

Menurut wawancara penulis dengan salah satu informan paham radikal yang disampaikan adalah paham wahabi, (MTA) majelis tafsir al – Qur’an, paham Komunis, bahkan paham pendirian negara Khilafah (HTI), paham pendirian Negara Islam (ISIS) yang mana sangat jelas motivasinya untuk memecah belah masyarakat dari harmonisasi yang sudah terjalin. Untuk penjelasan lebih terperinci seperti apakah definisi paham radikal tersebut akan penulis ulas di kesempatan berikut.

14

Dalam semua kesempatan acara yang diselenggarakan Mafis Sholawat, KH. Drs. Ali Sadikin selalu menggunakan jubah berwarna Hijau dengan peci khas berbentuk kerucut berwarna hitam, di lehernya teruntai sorban panjang, dan mengenakan tasbih di tangannya.

15

Tarian Sufi ini mengiringi saat acara sholawat berlangsung, tarian memutarkan badan yang berasal dari Turki ini diperagakan oleh santrinya baik dari laki – laki maupun perempuan.

16

(18)

8

penghujung acara.17 Mafia Sholawat membuat nuansa demikian karena untuk

menampung golongan jamaah yang memiliki kecenderungan negatif namun

menginginkan siraman wawasan keagamaan.

Peletakan simbol – simbol yang melekat pada tokoh sentral ini

memberikan nuansa beda pada jamaahnya. Ali Sadikin tidak sembarang menaruh

model serta pola berpakaian yang ia kenakan, ada alasan khsus serta rinci di setiap

bagian pakaian yang ia kenakan mulai dari tutup kepala sampai alas kaki. Dan

mulai yang beliau kenakan dan aksesoris keagamaan lainnya, bahkan pada

beberapa kesempatan beliau memberikan gestur dengan mengacungkan tangan

melambangkan tanda “metal” kepada pada jamaah. Sapaan ini kerap ia berikan

saat pentas acara berlangsung, dengan harapan model komunikatif dengan para

jamaah berjalan dengan baik.

Dari rasio pengikutnya, Mafia Sholawat mayoritas diikuti oleh para kaum

pemuda, hal ini ditandai dengan banyaknya pemuda yang hadir ketika acara itu

berlangsung. Lebih lanjut, pemuda yang mengikuti acara ini lebih banyak diikuti

oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang wawasan keagamaan yang baik.

Adanya segmen mayoritas dari kalangan pemuda diiringi minimnya wawasan

mereka tentang keagamaan begitu juga dengan adanya perbedaan karakter, akan

memungkinkan menimbulkan konflik antar kelompok pemuda, hal ini menjadi

17

(19)

9

tantangan tersendiri bagi Mafia Sholawat untuk bisa merangkul semua

pengikutnya dan membawa kepada satu perspektif untuk bisa bersatu.18

Respon yang lahir dari masyarakat sangat ragam, secara umum terbagi

menjadi tiga; mereka yang mendukung dan menilai positif terhadap kelompok

Mafia Sholawat ini, kelompok kedua merupakan antitesa dari pertama, yaitu

mereka yang tidak sepakat adanya kegiatan ini di kabupaten Ponorogo dengan

berbagai argumen yang mereka miliki, dan kelompok terakhir adalah mereka yang

apatis dengan kegiatan ini, sehingga mereka tidak merasa ada kepentingan

maupun tidak ada kepedulian terhadap gejalan yang ada di tubuh masyarakat ini.

Terlepas dari respon yang lahir dari tubuh masyarakat ini, gerakan Mafia

Sholawat berjalan konsisten dan memiliki pengikut masif di Kabupaten Ponorogo.

Perkembangan Mafia Sholawat di bumi Ponorogo terhitung melesat cepat.

Dalam waktu singkat dua dan tiga tahun jamaah Mafia Sholawat di kota Ponorogo

mencapai ribuah bahkan puluhan ribu.19 Secara persebaran, acara rutinan Mafia

Sholawat di kota Ponorogo sudah terselenggara di berbagai desa, bahkan hampir

seluruh kecamatan yang ada di Ponorogo pernah dikunjungi dan mengadakan

acara dari Ulama Kharismatik Semarang ini.

Secara geografis Kota Ponorogo terletak di provinsi Jawa Timur, berada di

daerah paling barat dan berbatasan langsung dengan Wonogiri Jawa Tengah dan

bagian selatan berbatasan dengan kota Pacitan, praktis kota Ponorogo tergolong

18

Definisi pemuda menurut undang – undang nomor 40 tahun 2009, batasan usia pemuda adalah antara 18 sampai 30 tahun.

19

(20)

10

wilayah jawa bagian selatan. Dalam khazanah persebaran keagamaan Islam di

Jawa, area selatan pulau jawa berbeda degan area Jawa bagian utara. Secara

historis peta Jawa bagian selatan dahulu dibawah pemerintahan Mataram Islam,

wilayah kekuasaan Mataram yang membentang dari barat kota Kebumen, dan

timur sampai Blitar memiliki jajaran kota semisal Tulungagung, Kediri, Nganjuk,

Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Magetan, Pacitan, Ngawi, Bojonegoro, Wonogiri,

Surakarta, Klaten, Gunung Kidul, Bantul, Sleman, Boyolali, Salatiga,

Kulonprogo, Purworejo dan seterusnya yang masih menjadi bekas wilayah

kesultanan Mataram Islam.

Secara umum karakter keislaman antara pesisir jawa utara dengan jawa

selatan, keislaman jawa bagian selatan masih banyak nuansa majisnya. Nuansa

majis inilah yang membentuk kecenderungan ke ranah negatif jika tidak memiliki

kemampuan keagamaan yang kuat. Sehingga kreatifitas atau hal unik untuk

menarik perhatian pemuda bisa berupa pemberian tanda simbol keagamaan yang

ragam, baik itu berupa secarik kain, seikat sabuk, gaman, apresiasi terhadap benda

– benda yang dipandang memiliki nilai lebih berada di posisi yang tinggi,tu-ah20,

benda seperti cincin batu akik, tongkat, bahkan warna suatu kain, dan seterusnya.

Dengan keadaan masyarakat demikian, maka karakter mengandalkan

barang, dan memberikan kepercayaan atau tu-ah yang ada di dalam barang

muncul. Benda seolah memiliki nilai lebih dan memiliki pengaruh pada

kehidupan seseorang, adanya acara rutinan dari tradisi mataram berupa bersih

20

(21)

11

desa, membagikan hasil bumi, menjaga pohon besar, dan ritual campuran lain

yang tersebar di daerah bekas Mataraman membentuk suatu lingkungan yang

mengapresiasi ke arah benda, dengan diikuti tradisi atau acara yang melibatkan

masyarakat serta mengakulturasikan antara budaya keagamaan dan budaya yang

ada di masyarakat menanamkan nalar majis yang lebih.

Keadaan ini juga mendapat perhatian dari mafia Sholawat, Mafia Sholawat

membaca keadaan ini ke dalam media dakwah yang digunakan, pelaksanaan

dakwah Mafia Sholawat melalui serangkaian seremonial sekaligus diiringi

beberapa aksesoris yang mendukung berjalannya dakwah. Salah satunya adalah

adanya pentas tarian sufi, kombinasi tarian sufi yang terdapat di tengah – tengah

acara Mafia Sholawat menjadikan acara ini kian menarik. Meski secara tampak

memberikan variasi dan ragam pola dakwah, akan tetapi muatan nilai yang

terkandung di dalam tarian itulah yang ingin Abah Ali kenalkan kepada para

jamaah. tarian sufi yang memiliki gerakan berputar dengan bertumpu pada satu

kaki kemudian memusatkan perhatian seseorang tadi kepada nalar ketuhanan.

Sehingga seorang yang sedang melakukan rangkaian tarian ini kian terfokuskan

pada dialog personal dia dengan pencipta, sementara keadaan tubuhnya yang terus

beputar menjadi sarana untuk melepaskan segala ketergantungan dia dari unsur

dunia.

Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa kegelisahan akademik ini perlu

untuk diteliti lebih serius. Pertama sebagai kelompok yang memiliki ragam

pengikut yang mayoritas dari kalangan pemuda dengan dunia kemaksiatan,cacat

(22)

12

berbeda dengan mayoritas kelompok keagamaan yang memiliki pengikut dengan

ragam tidak cacat moral dan sosial.21

Berikunya, penulis ingin menelusuri bagaimanakah para pemuda memiliki

minat dan daya tarik kepada dakwah yang dibawakan oleh Abah Ali ini, apalagi

komposisi pemuda yang ikut dalam kajian dakwah Abah Ali adalah mereka yang

didominasi dengan sematan negatif di tengah masyarakat. Kegelisahan ini

dikembangkan dengan seperti apakah latar belakang solidaritas para pemuda

dalam ikut serta kajian Mafia Sholawat yang nyeleh itu, dan apa makna solidaritas

bagi para pemuda dalam ikut serta kajian Mafia Sholawat.

Kehidupan yang global mengenalkan kepada masyarakat lintas informasi

yang cepat dan tak terbendung. Fakta sosial ini memberikan peluang besar bagi

para pemuda untuk tahu bahkan mengikuti satu infomrasi yang mereka dapat.

Dalam diskursus keagamaan, aliran atau paham radikal dari suatu kelompok yang

berasal dari luar negara terhitung menjadi ancaman bagi keutuhan Negara. Hal ini

menjadi perhatian khusus mengingat landasan atau dasar suatu tindakan kekerasan

yang jauh dari etika sosial masyarakat Indonesia adalah agama. Sementara jika

pintu pertama mereka mengenal agama tanpa ada landasan kuat maka akan mudah

baginya untuk terpengaruh dengan paham lain, sangat disayangkan jika

perkenalan yang dia lakukan adalah pemahaman keras dan memberikan dampak

disharmonis di tengah masyaakat.

21

(23)

13

Potensi untuk memecah kesatuan Negara indonesia sangat besar, berawal

dari komposisi masyarakat yang terdiri dari berbagai ratusan suku, ras, dan

berbagai agama serta kepercayaan menjadikan perbedaan sebuah peluang

perpecahan. Apalagi didukung semakin kerasnya laju globalisasi tentu jika tidak

ada penguatan kapasitas intelektual, serta peningkatan nalar melek teknologi, dan

juga mampu mengakomodirnya dengan baik akan berdampak pada

kecenderungan negatif. Mafia Sholawat menaruh perhatian besar dalam rangka

membentengi negara dengan memberikan wawasan dasar kepada jamaahnya

untuk senantiasa memerangi hal yang berpotensi memecah belah masyarakat.

Dengan memberikan pengetahuan dan mengintegrasikan wawasan kenegaraan

dengan wawasan keagamaan, maka potensi untuk memecah belah umat bisa

dikikis.

Pemuda menjadi pengikut paling mendominasi di jamaah Mafia Sholawat

ini, berbagai latar belakang ikut dalam jamaah Mafia Sholawat. Perlu penelitian

lebih dalam untuk mengetahui motif keikutseertaan mereka dalam Mafia

Sholawat, karena jumalah terbanyak dari segi pengikut berasal dari kota Ponorogo

dan basis kepengurusan juga berada di sana. Pemuda juga memiliki masa untuk

menentukan arah kehidupan, adanya masa transisi inilah yang membuka peluang

dampak globalisasi masuk ke dalam pemahaman mereka. Jika berada dalam

koridor pemahman keagamaan yang santun dan harmonis, maka akan

memberikan keselarasan bagi keberlangsungan negara, namun jika pemahaman

(24)

14

ketidakstabilan sosial maka pemahaman keagamaan itu perlu disikapi dengan

benar.

Dari sedikit ulasan latarbelakang diatas, penulis berinisiatif mengkaji lebih

lanjut dengan judul penelitian, “Solidaritas Sosial di Kalangan Pemuda Muslim,

Kajian terhadap Mafia Sholawat Ponorogo”.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memberikan

identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Jamaah Mafia Sholawat yang beda dengan Jamaah Sholawat pada

umumnya.

2. Ragam pengikut jamaah Mafia Sholawat yang mayoritas pemuda dengan

latar belakang sedikit wawasan keagamaan di Kabupaten Ponorogo

3. Para pengikut Mafia Sholawat yang mayoritas pemuda dengan sedikit

wawasan memiliki ketertarikan sama dalam kajian Mafia Sholawat

4. Apa makna dibalik pengikut Mafia Sholawat yang didominasi oleh

pemuda

5. Pemuda dan masyarakat dengan label minim norma keagamaan ini

berkenan untuk ikut ke jamaah Mafia Sholawat

6. Mafia Sholawat mewadahi ragam pengikut yang didominasi oleh pemuda

(25)

15

C. Rumusan masalah

Dari latar belakang di atas serta dengan memberikan ruang batasan

masalah maka dapat ditarik sebuah poin rumusan masalah demikian

1. Bagaimana gambaran solidaritas pemuda muslim Ponorogo terhadap

Mafia Sholawat ?

2. Bagaimana latar belakang solidaritas pemuda muslim Ponorogo terhadap

jamaah Mafia Sholawat ?

3. Bagaimanamakna solidaritas bagi pemuda muslim Ponorogo kepada Mafia

Sholawat ?

D. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah;

1. Untuk mengetahuigambaran solidaritas pemuda muslim Ponorogo

terhadap Mafia Sholawat

2. Untuk mengetahuilatar belakang solidaritas pemuda muslim Ponorogo

terhadap jamaah Mafia Sholawat

3. Untuk mengetahuimakna solidaritas bagi pemuda muslim Ponorogo

kepada Mafia Sholawat

E. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti khususnya, dan

(26)

16

Pascasarjana konsentrasi Studi Islam dan Kepemudaan guna

pengembangan keilmuan sosial.

b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum

terutama mereka pemerhati aspek sosial dan pegiat jamaah

sholawat

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan

b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi yang efektif dan menjadi

bahan evaluasi dalam menyikapi berbagai kasus sosial yang terjadi

di tengah masyarakat Ponorogo

F. Kerangka Teoritik

Berangkat dari fakta sosial yang ada di tengah pemuda dan masyarakat

Ponorogo, dimana Fakta sosial berupa wujud cara bertindak, berfikir, dan merasa

yang ada di luar individu dan memiliki daya paksa atas dirinya. Fakta Sosial

memiliki dua ragam, yaitu material dan non-material, material seperti adanya

tatanan perkampungan, pos jaga masyarakat, penempatan tempat ibadah, struktur

jalan, fasilitas umum, aturan adat maupun kesepakatan hukum. Sementara Fakta

Sosial yang non-material seperti sifat bawaan yang muncul dalam diri manusia

atau individu seperti egoisme, emosi, estetika, keramahan, dan seterusnya.22

Fakta sosial tidak terbatas pada struktur atau tatanan masyarakat saja,

dalam kasus kelompok sosial, komunitas ataupun organisasi akan berlaku

22

(27)

17

bagaimanakah fakta sosial itu hidup. Dalam kasus mafia sholwat, fakta sosial

yang melekat di dalamnya bisa dalam bentuk kepercayaan, moral, tata cara

berpakaian jamaah dan sebagainya. Bentuk atau implementasi dari fakta sosial ini

memang ragam. Sebuah kelompok yang berjalan dan eksis menjalankan

aktifitasnya hampir dipastikan memiliki kecenderungan fakta sosial yang sama

pada anggotanya. Jika ada kelompok pengajian kampung, maka ada kesamaan

fakta sosial baik itu yang materiil maupun non material, materiil berasal dari satu

daerah yang sama, baik letak geografis maupun kondisi sosio kultural jamaah

pengajian tersebut.

Sementara fakta sosial non material bisa berupa keseragaman mental kaum

pedesaan, keseragaman mentaltas masyarakat perkotaan atau ragam lain dari

faktor non material lainnya. Fakta sosial yang terkandung dalam diri Mafia

Sholawat bersifat kolektif dan memberikan pengaruh terhadap individu untuk

menuntun ke arus yang se-paham tersebut.Begitu juga fakta sosial yang terdapat

dalam pengikutnya inilah baik berupa latar belakang yang terpinggirkan, individu

yang terasingkan, masyarakat yang minim wawasan keagamaan, dan sebagainya.

Tentu fakta sosial ini mengacu pada pembagian baik berupa material ataupun

non-material yang nantinya akan menjadi objek kajian dalam penelitian ini.23

Mafia Sholawat memiliki pengikut dalam jumah banyak serta memiliki

sisi perbedaan dalam komposisi jamaah keagamaan dari yang lain. Dengan

komposisi lebih didominasi para pemuda, adanya solidaritas sosial yang tumbuh

dari mereka memberikan loyalitas untuk mengikuti kajian Mafia Sholawat. Ada

23

(28)

18

kesamaan diantara mereka dalam selera, karakter, latar belakang, dan cara

memaknai suatu objek sehingga mengantarkan mereka untuk membentuk satu

cara pandang yang sama.

Dalam teori Solidaritas Sosial, ada tawaran untuk meneropong kasus ini

dengan kajian ilmiah. Sehingga pertanyaan yang bermuatan probematik di atas

akan terpotret dengan payung teori solidaritas sosial. Ini karena teori Solidaritas

Sosial menawarkan cara baca masyarakat atau kelompok yang memiliki rasa

solidaritas yang sama, memiliki latarbelakang yang sama, serta terikat dengan

minat yang sama pula. Dengan cara demikian makamasyarakat atau kelompok

yang menjadi bagian jamaah Mafia Sholawat akan terbaca.

Durkheim, tokoh yang masuk dalam kategori Paradigma Fakta Sosial,

mengenalkan cara baca masyarakat dengan teori Solidaritas Sosial, menurut dia

solidaritas sosial teragi menjadi dua; pertama adalah Solidaritas Mekanis dan

kedua Solidaritas Organis, secara definitif beda antara Solidaritas Mekanik dan

Solidaritas Organik24 terletak pada intensitas ketergantungan antara komunitas.

Dimana dalam masyarakat yang memiliki ikatan Solidaritas Mekanik aspek

ketergantungan tidak sebanyak yang terjadi dalam Solidaritas Organik.

1. Solidaritas Mekanik

Memiliki karakter adanya persamaan, rasa, historistas, dan

kecenderungan yang sama. Sehingga Solidaritas Mekanik ini menggiring

masyarakat dalam pembentukan komunitas yang mereka sepakati dan

24

(29)

19

mereka jalankan. Durkheim memberikan keterangan bahwa dalam

Solidaritas Mekanik ini intervensi atau tekanan komunitas kepada individu

untuk bergabung di dalamnya memiliki peran untuk menggerakkan minat

individu tersebut. Aspek intervensi ini mewakili aspek eksternal atau yang

datang dari luar individu dimana aspek eksternal tersebut mampu

memberikan dampak pada individu tersebut untuk masuk ke dalam

komunitas yang ia pilih.25

2. Solidaritas Organik.

Berbeda dengan Solidaritas Mekanik, Solidaritas Organik lebih

komplek. Dengan asas saling membutuhkan serta menguntungkan maka

komunitas atau otonom yang memiliki interaksi di dalamnya lebih banyak,

begitu juga dalam rentan masa dan waktu ketergantungan antara kelompok

atau otonom lebih cenderung variatif. Solidaritas Organik diindikasikan

dengan wujud masyarakat yang kontemporer dan memiliki jaringan

komunikasi yang luas. Solidaritas Organik lebih kompleks dengan indikasi

adanya persatuan diatas perbedaan di antara orang, dimana masing dari

individu memiliki kewajiban berbeda.26

Dalam penelitian ini, teori solidaritas sosial tersebut akan berhadapan

dengan aspek agama, sehingga aspek yang melatarbelakangi solidaritas tersebut

baik yang mekanik maupun organik akan dituntut untuk menjawab kasus Mafia

Sholawat sebagai komunitas keagamaan. Secara implisit Emile Durkheim

25

Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi; Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 95-97.

26

(30)

20

menekankan bahwa adanya Solidaritas Sosial itulah tekanan yang dimaksud untuk

mempersatukan orang dalam komunitas moral atau agama bisa berjalan efektif.27

Sehingga dalam kasus ini, kelompok agama akan memiliki peluang untuk

meningkatkan kekompakan dan rasa solidaritas sosial diantara anggotanya.

Dalam kelompok Mafia Sholawat, jika melihat kaca mata Solidaritas

Mekanik Durkheim maka akan tampak solidaritas yang terdapat di Mafia

Sholawat adalah adanya sama rasa serta sama latar belakang, dengan adanya

kesamaan latar belakang sebagai pemuda dalam masyarakat yang memiliki

kapasitas wawasan keagamaan yang sedikit, komunitas yang terpinggirkan dan

terasingkan dalam tatanan masyarakat. Keadaan demikian membawa masyarakat

tersebut untuk memiliki kesamaan sama rasa yaitu merasa terwadahi dengan

adanya keterlibatan mereka di Mafia Sholawat ini.

Namun, jika menggunakan kaca mata Solidaritas Organik, maka pengikut

Mafia Sholawat yang terdiri dari berbagai ragam profesi dan ragam masyarakat

seperti berbagai perguruan pencak silat, anak jalanan, pengangguran, pecandu

minuman keras dan narkoba bisa terwadahi dalam Mafia Sholawat ini. Meski

membangun asumsi demikian sedikit mustahil namun menurut jamaah Mafia

Sholawat mereka yang terjerumus dalam jurang kenistaan juga mengharap akan

adanya sapaan keagamaan maupun siraman kerohanian bagi mereka.

Ada banyak kelompok atau jamaah Sholawat, namun sebagaimana yang

dijelaskan diawal, dimana Mafia Sholawat merupakan komunitas yang memiliki

27

(31)

21

pengikut berbeda dibanding beberapa kelompok atau jamaah Sholawat pada

umumnya. Adanya perbedaan latar belakang dan juga berbagai profesi didalam

pengikut kelompok ini memberikan pertanyaan apakah Mafia Sholawat

merupakan kelompok yang berjalan dengan latar belakang Solidaritas Mekanis

atau Solidaritas Organis. Pada satu sisi Mafia Sholawat adalah komunitas yang

memiliki pengikut berbeda, dan pada kesempatan lain kelompok agama ini hidup

dan berkembang di tengah beberapa kelompok agama yang lain.

Dengan mengkombinasikan antara temuan sementara di lapangan yang

terdapat pada kelompok Mafia Sholawat ini serta teori Solidaritas Sosial maka

sedikit terang apa dan bagaimana solidaritas pemuda muslim Ponorogo kepada

Mafia Sholawat.

G. Penelitian terdahulu

Untuk membatasi dalam kajian penelitian terdahulu, penulis memberikan

garis besar tentang sisi inti pembahasan dan sisi perbedaan dari riset ini nantinya.

Sehingga sejauh pembacaan serta penelusuran penulis, beberapa penelitian

terdahulu yang sudah mengulas Mafia Sholawat tersebut antara lain; pertama

penelitian yang membahas tentang latar belakang berdirinya jamaah Mafia

Sholawat, Skripsi dengan Judul “Makna Tarian Sufi Jalaluddin Rumi Di Pondok

Pesantren Raoudlotun Nikmah Kalicari Semarang” ditulis oleh Ahmad Roisul

Falah.28 Falah merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo

Semarang, dia mengulas tentang sisi cikal bakal lahirnya Mafia Sholawat. Tulisan

28

(32)

22

ini memfokuskan pada ranah tarian sufi yang terdapat di dalam media Mafia

Sholawat. Hasil temuan Falah dalam riset tersebut mengatakan bahwa kelompok

keagamaan dengan nama Mafia Sholawat ini berasal dari Semarang dan memiliki

instansi pendidikanbernama Pondok Pesantren Roudlotun Nikmah. Titik tekan

dari riset tersebut setelah membahas instansi pendidikan beralih ke tahap makna

Tarian Sufi Jalaludin Rumi. Konsep tasawuf yang digagas sosok Jalaludin Rumi

beserta meditasi dengan melalui jalur tarian berputas menjadi fokus pembahasan.

Ulasan lebih mendalam bagaimana tarian sufi dan ajaran tasawauf ini mewarnai

mentalitas santri asuhannya. Riset ini tidak mengambil peran teori sosial manapun

untuk dijadikan pisau analisa. Sehingga meski memiliki nilai hisorisitas Mafia

Sholawat, akan tetapi pembahasan tentang teori Solidaritas pengikut jamaah

didalamnya tidak terbahas.

Penelitian kedua dengan judul “Solidaritas Emile Durkheim dalam

kehidupan masyarakat Gresik Putih”.29

Tulisan ini berasal dari Universitas islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya. Meski penelitian ini juga menggunakan teori dari

Durkheim, namun objek kajian yang diteliti adalah masyarakat di kota Gresik.

Ulasan penelitian ini lebih pada bagaimanakah penerapan teori solidaritas

Durkheim kapada masyarakat Gresik Putih, konteks masyarakat menetap dengan

kelompok yang hidup dari berbagai unsur masyarakat tentu berbeda. Masyarakat

Gresik Putih adalah masyarakat yang menetap dan memiliki tatanan sosial yang

sudah melekat dan mereka jalankan serta terpelihara. Objek riset ini tentu berbeda

dengan kelompok sosial yang berangkat dari berbagai unsur latar belakang.

29

(33)

23

Pembahasan secara umum memang memberikan ruang bahwa struktur masyarakat

nantinya akan terpetakan ke dalam dua hal, baik itu mereka yang masuk kategori

Mekanik maupun mereka yang masuk kategori Organik. Temuan dalam riset ini

menitikberatkan bahwa masyarakat dengan tipikal Solidaritas Mekanik terdapat di

dalam tubuh masyarakat Gresik Putih. Namun sekali lagi, objek dari riset ini tentu

berbeda dengan Mafia Sholawat baik dari sisi latar belakang maupun eksistensi

keberadaannya sekarang.

Riset selanjutnya datang dari Ibnu Muchlis, mahasiswa pascasarjana

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tulisan dengan judul

Ideologisasi Salawat (kajian living Qur’an dalam Mafia Sholawat Ponorogo)

ikut mengambil bagian dalam mewarnai penelitian Mafia Sholawat sebagai

objek.30 Penelitian yang ditulis Muchlis menitikberatkan pada konsep ideologi

Sholawat dengan menelusuri akar ideologi tersebut dari aspek ayat Al- Qur’an.

Ayat yang memiliki redaksi “sesungguhnya Allah swt beserta para malaikat

melimpahkan rahmat kepada Nabi Muhammad saw, oleh karenanya kalian wahai

orang mukmin bersholawatlah kalian kepada nabi Muhammad dan mohonkan

limpahan rahmat kepadanya”ini dalam penelitiannya memiliki substansi seruan

untuk membacakan sholawat kepada Nabi Muhammad.

Oleh karena landasan keilmuan adalah studi Qur’an maka riset tersebut

menyoroti bagaimanakah masyarakat mengapresiasi pemaknaan ayat al – Quran

dalam wujud kegiatan yang sudah hidup di tengah masyarakat, dengan mengkaji

30

(34)

24

ranah Salawat yang disampaikan dalam media dakwahnya tentu penelitian ini

tidak menyinggung keilmuan sosial seperti Solidaritas Sosial Durkheim.

Meskipun objek kajian juga sama masyarakat, namun dalam kerangka

pembahasan tidak terdapat aspek keilmuan sosial yang terdapat di dalamnya.

Sehigga bisa disimpulkan sementara bahwa tulisan Ibnu Mukhlis ini tidak

menyinggung kerangka teori Solidaritas sosial Durkheim atau kerangka teori

sosial manapun.

Dari beberapa ulasan di atas, maka sejauh ini penulis menyimpulkan

belum ada riset yang serius membahas tentang Solidaritas Pemuda Muslim dalam

jamaah Mafia Sholawat di Kabupaten Ponorogo.

H. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, dari lima macam ragam

pendekatan kualitatif yang ada,31 pendekatan kualitatif studi fenomenologis

sebagai pisau analisisnya. Sebagaimana diketahui, fenomenologis

mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai

pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena. Fenomenlogis

bertujuan untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi

tentang esensi atau intisari universal. Dalam penelitian fenomenologis hal yang

31

(35)

25

melingkupinya bisa berupa fenomena, baik berupa insomnia, kesendirian,

kemarahan, dukacita, atau pengalaman empirik lainnya..32

1. Jenis penelitian dan ciri utama Fenomenologis

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan tipe

fenomenologis. Pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan yang

berlandaskan pada filsafat positivisme yang digunakan untuk meneliti pada

kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana

peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data

dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan

trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankn makna dari pada generalisasi.

Sedangkan penelitian kualitatif fenomenologis adalah pengembangan dari

segenap pengalaman hidup individu, lebih dalam tentang sudut pandang

subjektifitas individu tersebut.33

2. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang secara khas melibatkan wawncara

terhadap individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Akan tetapi, ini

bukan ciri yang universalkarena sebagian studi fenomenologis melibatkan

32

John W Creswell, terj. Penelitian Kualitatif dan Disain Riset, memilih dianara lima pendekatan. Ahad Lintang Lazuardi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),

33

(36)

26

berbagai sumber data, misalnya lagu, syair, puisi, pengamatan, dan

dokumentasi.34 Adapun rangkaian penelitian fenomenologis yaitu;

a. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik.

Penggunaan wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hal- hal dari subyek data yang lebih mendalam, dengan cara mengajukan

pertanyaan kepada subyek lalu subyek menjawabnya dan pada akhirnya

hasil wawancara tersebut disimpulkan dan dideskripsikan oleh peneliti.

Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laoporan tentang diri

sendiri atau self- report, atau setidaknya pada pengetahuan dan atau

keyakinan pribadi.35

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah mengumpulkan data dengan cara mengalir atau

mengambil data-data dari catatan, dokumentasi, administrasi yang sesuai

dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini dokumentasi diperoleh melalui

dokumen-dokumen atau arsip-arsip Mafia Sholawat, yang berupa catatan,

transkip, buku, surat, majalah dan sebagainya.36

Proses selanjutnya adalah analisis data, analisis data yang dapat mengikuti

prosedur sistematis yang bergerak dari satuan analisis yang sempit (misalnya,

34

Ibid, 115-120 35

Ibid, 120-130 36

(37)

27

pernyataan penting) menuju satuan yang lebih luas (misalnya satu makna)

kemudian menuju deskripsi yang detail yang merangkum dua unsur, yaitu “apa”

yang telah dialami oleh ndividu dan “bagaiman” mereka mengalaminya.

Fenomenologis diakhiri dengan bagian deskriptif yang membahas esensi

dari pengalaman yang dialami individu tersebut dengan melibatkan “apa” yang

telah mereka alami dan “bagaimana” mereka mengalaminya. “Esensi” atau intisari

adalah aspek puncak dari studi fenomenologis.

I. Sistematika pembahasan

Dalam sistematika pembahasan ini penulis akan menguraikan secara

mendetil dan sistematis dari satu bab ke bab selanjutnya, sehingga peneliti akan

membagi pembahasan ini ke dalam beberapa bagian, yaitu;

Bab I berisikan pendahuluan, dalam bab ini akan diulas antara lain;

latarbelakang masalah, berisikan bagaimana kronologi permasalahan pertama

muncul dan menjadi layak untuk dikaji lebih dalam. Kemudian identifikasi,

merupakan kinerja pemilahan bagian manakah yang menjadi pembahasan dan

bagian mana yang tidak masuk penelitian. Ketiga batasan masalah diikuti

rumusan masalah, dimana menjadi fokus penelitian inti yang akan mengulas

mengapa masalah ini layak untuk ditinjau. Berikutnya tujuan penelitian dan

manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kemudian sstematika penulisan.

Bab II adalah kajian teori, kajian teori difokuskan pada Solidaritas Sosial,

pembahasan selanjutnya mengenai, penjelasan teori Solidaritas serta pembagian

(38)

28

Bab III mengulas tentang Pemuda Muslim yang tergabung dalam Mafia

Sholawat Kabupaten Ponorogo, aspek yang melatarbeakangi keikutsertaan peuda,

simbol – sibol yang menjadi daya tarik dakwah bagi pemuda, respon pemuda atas

Mafia Sholawat, media yang digunakan mafia Sholawat dalam mewadahi para

pengikut sekaligus para jamaah. Dalam bab ini juga dijelaskan secara singkat

seperti apakah profil kabupaten Ponorogo.

Bab IV adalah bagian inti dimana teori Solidaritas Sosial yang terbagi

dalam Solidaritas Mekanis dan Solidaritas Organis sebagai pisau analisis dalam

membaca Solidaritas Pemuda Muslim yang tergabung dalam Mafia Sholawat di

kabupaten Ponorogo. Dari rumusan masalah yang ada akan diartikulasikan dengan

sintesa teori solidaritas mekanik dengan hasil penelitian di lapangan yang meliputi

motif solidaritas pemuda, latar belakang solidaritas pemuda, dan bagaimana para

pemuda memaknai solidaritas.

Bab V Penutup berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil dari

ekstrak penjelasan yang bermula dari proses awal sampai pada pembahasan akhir

sementara saran berisikan masukan dan kritik untuk menyempurnakan tulisan ini

(39)

31

Bab II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Solidaritas Sosial 1. Pengertian Solidaritas Sosial

Solidaritas Sosial berasal dari dua suku kata, pertama adalah kata

“solidaritas”, dan kedua adalah “sosial”. Arti kata Solidaritas ngkapan,

perasaan yang keluar dari dalam seseorang, sementara “sosial” sekumpulan

baik itu berupa interaksi, tatanan kemasyarakatan. Sehingga jika dua suku

kata tersebut dirangkai akan menghasilkan satuan makna; “perasaan atau

ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan

bersama”.1 Dalam perjalanan perkembangan masyarakat ada fase masyarakat

awal yang lebih dikenal dengan konsep primitif, dan ada fase masyarakat

maju atau setelah fase primitif. Dalam kajian solidaritas sosial, fase

masyarakat Primitif ini lebih diistilahkan dengan Solidaritas Mekanik.

Sementara kriteria untuk masyarakat yang maju dengan nama Solidaritas

Organik.2

Sebuah tanda yang mengindikasikan bahwa suatu masyarakat masih

tergolong primitif adalah belum kompleknya pembagian kerja yang terdapat

di dalam masyarakat. Sementara suatu tanda yang mengindikasikan

masyarakat yang memiliki solidaritas organik adalah dengan adanya

1

John Scott, Teori Sosial; masalah – masalah pokok dalam sosiologi. terj. Ahmad Lintang Lazuardi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.) 78 – 85.

2

(40)

32

pembagian kerja dala masyarakat tersebut. Lahirya masyarakat dengan taraf

Solidaritas Organik dengan perkembangan masyarakat yang kian pesat,

kebutuhan masyarakat yang kian ragam, dan kemajemukan dalam kegiatan

semakin banyak plihan.3

2. Teori Solidaritas Sosial

Pembagian kerja memiliki imlikasi yang sangat besar terhadap struktur

masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara dimana

solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara- cara masyarakat

bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang

utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi solidaritas

menjad solidaritas mekanik dan organik. Masyarakat yang ditandai oleh

solidaritas mekanik menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah

generalis. Ikatan masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktifitas dan

juga tipe pekerjaan yang sama dn memiliki tanggung jawab yang sama.

Sebaliknya, masyarakat yang dittandai oleh solidaritas organik bertahan

bersama justru karena adanya perbedaan yang aa didalamnya, dengan fakta

bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda –

beda. 4

Emile Durkheim dalam pengelompokan keilmuan sosial masuk dalam

kategori Fakta Sosial, fakta sosial ini mendominasi ide besar Durkheim

3

Ibid. 4

(41)

33

dengan gagasan utama dia berupa kecenderungan individu serta

kecenderungan kolektif.5 Sebelum mengerucut kepada pembagian Solidaritas

Mekanik dan Solidaritas Organik,6 gagasan Durkheim tentang masyarakat

adalah mengamati sisi sosial suatu individu dengan segenap hal yang

mengiringinya. Indikator dari fakta sosial adalah unsur material dan

non-material, sebagaimana dijelaskan diatas, maka fakta sosial berupa

bagaimanakah seorang anak itu dibesarkan serta dididik dengan pola

lingkungan yang dia miliki. Segala aktifitas yang berhubungan dengan

individu seorang anak baik berupa pembiasaan menggunaka tangan kanan,

menunduk ketika berada di depan orang yang lebih tua, mengucapkan salam,

mandi disaat pagi dan sore, sarapan di waktu tertentu, istirahat atau tidur di

waktu malam hari, dan segala hal yang berkaitan dengan pembiasaan pada

diri seseorang dinamakan dengan fakta sosial.7

Faktor lain yang mendukung bahwa paradigma yang digagas Durkheim

ini adalah fakta sosial dengan adanya sebuah tawaran “jiwa kelompok” yang

bisa mempengaruhi sosok individu. Jika di awal tadi menegaskan

bagaimanakah sosok individu itu tumbuh berkembang dengan rutinan yang ia

terima, maka dalam konsep jiwa kelompok ini adalaha bagaimana interaksi

sosok individu tadi dengan lingkup masyarakat yang ada di lingkungannya.8

Konsep yang hidup dalam masyarakat ini tidak bisa dijelaskan dengan

5

Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010) 89 6

George Ritzer, The wiley blackwell companion to sociology, Terj. Daryatno. (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013) 137.

7

Hotman M. Siahaan, Pengantar ke arah sejarah dan teori sosiologi,( Jakarta: Penerbit Eirlangga, 1986) 35.

8

(42)

34

keterangan biologis maupun psikologis dari seorang secara individu.

Kesulitan ini disebabkan karena fakta sosial yang bersifat eksternal atau

diluar dari individu tadi sehingga objek yang dimiiki oleh fakta sosial

independent atau terlepas dari individu. Padahal dalam pandangan Durkheim

individu dengan fakta sosial yang berada di posisi eksternal adalah dua hal

yang berbeda.9

Emile Durkheim, sosok yang memiliki kerangka teori Solidaritas Sosial

yang mumpuni menawarkan alternatif teori solidaritas untuk pisau analisa

objek kajian ini. Solidaritas yang dikembangkan oleh Emile Durkheim

tercantuk dalam maha karyanya yang berjudul “The Division of Labour in

Society”. Dalam istilah yang digunaka oleh Durkheim, masyarakat dengan

taraf kehidupan yang masih menggunakan Solidaritas Mekanik cenderung

masyarakat yang memiliki tanda kehidupan yang sederhana, Durkheim

memberinya istilah dengan masyarakat “segmental”.10

Dalam pernyataannya Durkheim demikian:

“Dalam masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain. Masing – masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing – masing tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Masing – masing anggota pada umumya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh anggota lain; pembagian kerja belum berkembang dan semua anggota sama, sehingga ketidaksadaran seorang anggota kelompok tidak mempengaruhi kelangsungan hidup

9

George Ritzer, Teori Sosiologi; dari sosiologi kasik sampai perkembangan terakhir postmodern, terj. Saut Parasibu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) 133.

10

(43)

35

kelompok, karena peran anggota tersebut dapat dijalankan orang lain”.11

Istilah solidaritas kian kuat manakala sebagai kumpulan yang menjadi

landasan kelompok dalam masyarakat. Ada beberapa hal atau unsur yang

melatar belakangi adanya sistem Solidaritas, semisal;

a. persamaan agama,

b. persamaan bahasa,

c. adanya taraf perekonomian yang sama,

d. saling memiliki bantuan serta kerjasama,

e. memiliki akar sejarah atau pengalaman yang sama,

f. serta memiliki tidakan atau pilihan kehidupan yang sama pula.12

Dalam pernyaaannya Durkheim menuliskan

“Durkheim melihat solidaritas sosial sebagai suatu gejala moral. Hal ini terutama dilihat dari ikatan kelompok desa. Adanya ketertiban sosial atau tertib sosial yang sedikit di kota di bandingkan dengan gangguan ketertiban di desa, menurut Durkheim disebabkan karena faktor pengikat di desa ditingkatkan menjadi moralitas masyarakat. Fakta ini terutama adalah;

a. Kontrol sosial masyarakat desa

b. Stabilitas keluarga13

Dalam pandangan Durkheim, suatu kelompok yang tertutup yang terbiasa

untuk bersaing adalah mereka masyarakat di perkotaan. Sementara apa yang

ditemukan oleh Durkheim di masyarakat desa adalah tidak adanya alternatif

11

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi,(Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2004), 135 12

I. B. Wirawan, teori – teori sosial dalam tiga paradigma (fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial), Jakarta: Prenada Media Group, 2012)., 17 - 20

13

Phiastrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Jakarta: Bina Cipta, 1983) 112

(44)

36

serta wujud kerja kolektif karena faktor terpencil dari masyaakat desa itu

sendiri. Oleh karenanya Durkheim memberikan istilah dengan sebutan

Solidaritas Solial Mekanik.

Adapun beberapa karakter Solidaritas Mekanik antara lain;

a. Memiliki ikatan lebih kuat ke daam dari pada di luar

b. Memiliki perhatian skala lokal dan berpusat pada kehidupan desa

dengan segenak sikap untuk menghindari pertentangan dan lebih

banyak bersatu dengan mereka yang sependapat (like minded)

c. Kekurangan individu dirasakan sebagai kekurangan masyarakat desa

secara keseluruhan.14

Dalam ulasan yang disampaikan oleh Durkheim: dari solidaritas yang ia

maksud adalah;

“kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”15

Apa yang disebut oleh Durkheim dengan solidaritas sosial mekanik

adalah sistem komunikasi serta ikatan masyarakat yang memiliki rasa

perasaan yang sama, memiliki kecenderungan yang sama, masyarakat lebih

didominasi dengan keseragamaan atau homogen, dan jika diantara anggota

masyarakat itu ada yang hilang maka tidak memiliki pengaruh besar yang

berdampak pada diri kelompok masyarakat tersebut.

14

Jones, Pengantar Teori – Teori Sosial (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2009), 123 15

(45)

37

Pada kesempata lain Durkheim juga menjelaskan seperti apa ciri

masyarakat dengan karakter Solidaritas Mekanik;

“ciri masyarakat dengan solidaritas mekanik ini ditandai dengan adanya kesadaran kolektif, dimana mereka mempunyai kesadaran untuk hormat pada ketaatan karena nilai – nilai keagamaan yang masih sangat tinggi, taraf masyarakat yang masih sederhana, kelompok masyarakat yang tersebar, masing – masig anggota pada umumnya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh orang lain, pembagian kerja yang belum berkembang dan hukuman yang terjadi bersifat represif yang dibahas dengan penghinaan terhadap kesadaran kolektif sehingga memperkuat kekuatan diantara mereka.”16

Sementara kriteria solidaritas kedua adalah, solidaritas organik. Sedikit

berbeda dengan solidaritas mekanik, solidaritas organik lebih cenderung

diaplikasikan oleh masyarakat yang sudah komplek. Masyarakat komplek

ditandai dengan adanya bayak ragam pembagian kerja yang teratur sehingga

disatukan dengan rasa saling ketergantungan antar anggota.17 Solidaritas

organik banyak ditemukan pada masyarakat perkotaan. Seperti karakter

pembagian kerja, maka masing – masing bagian dari komponen solidaritas

organik memiliki peran yang sama pentignya. Hal ini disebabkan apa yang

muncul dari masing bagian itu berbeda akan tetapi memiliki esensi

kepentingan yang sama.

Dalam solidaritas organik, meskipun memiliki aspek kepentingan yang

berbeda namun membentuk satu saling ketergantungan. Masing individu

tidak bisa lepas antar bagian satu dengan bagian yang lain. Hukum yang

16

James N Henselin, Sosiologi dengan pendekatan membumi,(Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006), 56.

17

(46)

38

berlaku dalam solidaritas organik adalah hukum restitutif18 yang berarti

menggantikan. Yang menjadi karakter dari solidaritas organik salah satunya

adalah hubungan yang berkaitan untuk menciptakan efisiensi kerja yang ada

di dalam masyarakat.

Karakter lain yang melekat adalah hubungan ini diaplikasikan oleh

masyarakat perkotaan atau masyarakat yang modern, tata kerja serta sistem

yang berjalan begitu profesional, jika ada satu anggota yang berhalangan

maka harus menemukan individu atau partner pengganti dibidangnya, dan

terakhir masing individu memiliki semangat kinerja yang tinggi dengan

mental individualistik dalam bekerja.19

Oleh karena karakter yang terdapat di solidaritas organik beda dengan

karakter mekanik, maka spesialisasi ahli yang ada di dalam solidaritas

organik menuntut peranan yang tersendiri untuk menciptakan hubungan

berkaitan dan saling membutuhkan. Karena jika ada satu bagian yang tidak

menjalankan atau tidak bisa memenuhi apa yang terdapat dalam sistem

solidaritas organik maka harus ada person lain untuk menggantikannya.

Untuk memberikan penilain permukaan antara perbedaan solidaritas

mekanik dan solidaritas organik dengan menggunakan objek jamaah

18

Dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif karena ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Hal yang berbeda terjadi pada masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis, hukum sering kali bersifat represif dimana pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Lihat George Ritzer, Teori Sosiologi; dari sosiologi kasik sampai perkembangan terakhir postmodern, terj. Saut Parasibu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) 151 - 152

19

(47)

39

pengajian misalnya. Maka akan kita temukan jika jamaah pengajian itu diisi

oleh pembicara sentral, memiliki simbol untuk menarik gerakan jamaahnya,

ada waktu khusus dan tertentu dalam pelaksanaannya menjadi karakter

permukaan yang dimiliki masyarakat atau kelompok pengajian mekanik.

Sementara jika kelompok pengajian tersebut terjadwal dengan rapi, pengisi

kajian tersebut fleksibel dan tidak tersentralkan, tidak ada simbol khusus yang

menandai pelaksanaan kajian tersebut. Maka secara permukaan kelompok

tersebut adalah kelompok pengajian organik.

Pertimbangan lain yang bisa ditarik dari dua karakter solidaritas ini

adalah, apa yang terdapat dalam kelompok kajian mekanik lebih homogen

komposisi masyaraatnya atau pengikutnya dibadingkan dengan kelompok

kajian organik yang lebih pada heterogen.20 Kelompok kajian mekanik

banyak didominasi oleh mereka yang berada di pedesaan, dimana

homogenitas masuk dalam berbagai faktor, semacam homogenitas ragam

pekerjaan, homogenitas kepercayaan, homogenitas ideologi, homogenitas

taraf kehidupan. Hal ini akan berbeda jika berdampingan dengan kelompok

pengajian organik, kelompok pengajian organik akan melepas karakter

homogenitas mereka, sehingga ragam taraf pekerjaan berbeda, heteregon

dalam ideologi, bahkan heterogen dalam kepercayaan juga muncul.21

20

Ibid, 146 21

(48)

40

Untuk melihat sisi lain apakah masyarakat itu memiliki pola solidaritas

mekanik atau organik bisa melalui konsekuensi hukuman yang mereka

terapkan. Karena apa yang Durkheim temukan dalam masyarakat solidaritas

mekanik hukuman yang berjalan adalah represif, dimana pelaku kejahatan

atau mereka yang melanggar aturan akan mendapatkan konsekuensi hukuman

secara bersama. Hukuman yang diterapkan dalam solidaritas mekanik adalah

untuk mepertahankan keutuhan, menumbuhkan kesadaran bersama.22

Sementara apa yang terdapat dalam masyarakat solidatritas organik

hukuman bersifat restitutif. Dimana substansi hukuman yang ada bertujuan

untuk memulihkan keadaan yang normal. Skap restitutif ini dikarenakan

komposisi masyarakat yang kompleks dan memiliki kepentingan indivu

masing – masing.

3. Pembagian Solidaritas Sosial

Dalam pembahasan di depan dijelaskan bagaimana solidaritas sosial itu

terbagi menjadi solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Emile Durkheim,

sebagai bapak solidaritas sosial, menaruh solidaritas ini dalam paradigma

Fakta Sosial. Dalam penjelasan fakta sosial yang memiliki indikator material

maupun non-material, indikasi tersebut bisa muncul dalam masyarakat yang

berlainan tipikal soldaritas berupa pembagian pos kerja, bagian ahli dalam

22

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah daun bungkus ( Smilax rotundifolia ) mengandung senyawa

Realitas ini dapat diatasi ketika profesi kekal dan penahbisan tidak dianggap sebagai “kelulusan” dari sebuah formasi dan pertanggungjawaban yang tiada henti; Kesenjangan bisa

Dalam pembahasan kali ini terdapat 5 jenis masakan yang menjadi sorotan utama untuk diari lebih lanjut mengenai seluk beluknya! yaitu masakan ontinental! wester!

"Apart altogether from purely material reasons, we have right; we are born into this planet without our consent, and therefore, we may make certain demands" (p.114).

Kesimpulan akhir dari penelitian tesis ini adalah, konsep penilaian autentik sikap sosial pada siswa kelas IV di MIN 2 Kota Malang, yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan

of Petri Nets: the Free Choice Hiatus", Lecture... Formal Aspects

Namun, ketersediaan pupuk kandang terbatas sehingga pemberian PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) dapat digunakan untuk mengurangi penggunaan pupuk kandang

[r]