SOLIDARITAS SOSIAL DI KALANGAN PEMUDA MUSLIM
(Kajian Terhadap Mafia Sholawat Ponorogo)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam
Program Studi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Studi Islam dan Kepemudaan
Oleh:
Mohammad Atabik Faza F52915022
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
ABSTRAK
Mohammad Atabik Faza, F52915022, Solidaritas Sosial di Kalangan Pemuda Muslim (Kajian terhadap Mafia Sholawat Ponorogo). Tesis, Konsentrasi Studi Islam dan Kepemudaan Prodi Dirosah Islamiyah Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Pada tahun 2013 tanggal 9 Nopember, Kelompok Sholawat yang
menamakan diri “Mafia Sholawat” datang ke kabupaten Ponorogo. Mafia
Sholawat memiliki nama panjang “Manunggaling Fikiran lan Ati ing dalem
Sholawat” (bersatunya fikiran dan hati di bawah naungan sholawat). Sebagai kelompok sholawat yang beda dengan kelompok sholawat yang lain,jamaah asuhan Muhammad Ali Shodiqin ini memiliki basis pengikut dari pemuda yang tersingkirkan dari masyarakat. Dari problem yang ada menarik untuk ditelusuri faktor apakah yang menjadikan solidaritas para pemuda itu kuat, bagaimanakah latar belakangnya, dan bagaimana pula mereka memaknai solidaritas tersebut.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, sementara teori yang digunakan adalah Teori solidaritas sosial. Teori solidaritas terbagi menjadi dua bagian; solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik dan organik memiliki kesamaan dalam hal historisitas anggota, untuk perbedaannya solidaritas mekanik memiliki homogenitas anggota, kekuatan yang muncul dari dalam dan hukum yang berlaku adalah represif, sementara solidaritas organik memiliki heterogenitas anggota, kekuatan ada karena tekanan dari luar, dan hukum yang berlaku adalah restitutif.
Dari penelitian lapangan, pemuda yang tergabung dalam jamaah Mafia Sholawat ini memiliki karakter solidaritas sosial mekanik berupa; historisitas yang sama, homogenitas anggota dan kekuatan muncul dari dalam. Untuk karakter solidaritas organik anggota jamaah ini heterogen dari asal geografisnya dan hukum yang diterapkan adalah restitutif atau pemulihan.
Daftar Isi
SAMPUL DEPAN... i
SAMPUL DALAM... ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PERNYATAAN KEASLIAN... iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI... v
MOTTO... vi
ABSTRAK... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 14
C. Rumusan Masalah ... 15
D. Tujuan Penelitian ... 15
E. Manfaat Penelitian... 15
F. Kerangka Teoritik ... 16
G. Penelitian Terdahulu ... 21
H. Metode Penelitian ... 24
BAB II : KAJIAN TEORI... 31
A. Kajian Solidaritas Sosial ... 31
1. Pengerian Solidarias Sosial ... 31
2. Teori soliaritas Sosial ... 32
3. Pembagian Solidaritas Sosial ... 40
a. Solidaritas Mekanik ... 42
b. Solidaritas Organik ... 45
4. Bentuk – bentuk Solidaritas Sosial ... 48
a. Gotong Royong ... 48
b. Kerjasama ... 49
B. Kajian Pemuda Muslim ... 51
C. Solidaritas Sosial sebagai Pisau Analisis Pemuda Muslim Jamaah Mafia Sholawat ... 53
BAB III : SETTING PENELITIAN... 55
A. Nama Mafia Sholawat di Pandangan Pemuda Muslim ... 55
B. Kehadiran Mafia Sholawat dan Sambutan Pemuda Muslim ... 59
C. Media Dakwah Mafia Sholawat di Mata Pemuda Muslim ... 61
1. Media Dakwah ... 61
2. Tanggapan Pemuda Terhadap Dakwah Mafia Sholawat .. 66
D. Pemuda dan Selera Metode Dakwah ... 68
1. Gelaran di Lapangan Terbuka ... 69
3. Sholawat dengan Iringan Musik ... 73
4. Tarian Sufi sebagai Daya Tarik Pemuda ... 75
5. Sapaan dengan Slogan ... 77
6. Peanaman Aspek Simbolik Mafia Sholawat ... 80
E. Model Mauidzah Hasanah ... 82
F. Gambaran Umum Kabupaten Ponorogo ... 83
G. Karakter Jamaah Mafia Sholawat ... 84
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 87
A. Implementasi Solidaritas Sosial Pada Pemuda Muslim ... 87
1. Tujuan Terbentuknya Solidaritas Sosial ... 87
2. Latar Belakang Soidaritas Sosial ... ... 88
3. Karakter Solidaritas Sosial ... ... 89
4. Analisis Tujuan ... 90
5. Analisis Latar Belakang ... 91
6. Analisis Karakter ... 92
B. Analisis Unsur – unsur Solidaritas Sosial Mekanik pada Pemuda Muslim Jamaah Mafia Sholawat ... 93
1. Analisis Solidaritas Sosial Pemuda Muslim ... 93
BAB V PENUTUP ... 104
A. Kesimpulan ... 104
B. Rekomendasi ... 106
DAFTAR PUSTAKA... 108
LAMPIRAN ... 110
A. Hasil Wawancara ... 110
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2013 bertepatan hari Sabtu tanggal 9 Nopember, sekelompok
sholawat datang dengan menamakan diri “Mafia Sholawat” ke Kabupaten
Ponorogo.1 Kelompok salawat ini diketuai oleh KH. Drs. Muhammad Ali
Shodiqin dari Semarang, dimana selain sebagai tokoh sentral dalam kelompok
Mafia Sholawat, beliau juga menjabat sebagai pengasuh Pondok Pesantren
“Darun Nikmah” Semarang. Dalam kurun waktu tiga tahun Mafia Sholawat telah
berhasil menghimpun puluhan ribu pengikut di kota Ponorogo, eksistensi pengikut
jamaah Mafia Sholawat ini diisi dari berbagai latar belakang, terutama pemuda.
Sebagai kelompok Sholawat yang nyleneh, lantaran diikuti oleh para
pemuda yang memiliki catatan negatif di tengah masyarakat, Mafia Sholawat
konsisten mewadahi para pemuda untuk bersholawat bersama, seperti mereka dari
lintas perguruan pencak silat, mantan preman, pengangguran, putus sekolah,
pengguna narkoba, dan sejenisnya. Kelompok ini juga diikuti dari berbagai lintas
usia, baik mereka usia sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, para
mahasiswa, organisasi kepemudaan, bahkan kelompok pengajian baik dari kaum
ibu di pelosok kampung.2 Keterlibatan dari golonngan jamaah memang terhitung
1
Muhammad Furqon, wawancara, Ponorogo, 14 September 2016. 2
2
sedikit, oleh karena itu jamaah Mafia Sholawat didominasi oleh kalangan
pemuda.3
Arti kata Mafia Sholawat menurut kelompok ini dideskripsikan sebagai
berikut; “Mafia” merupakan ringkasan dari struktur kalimat “Manunggaling
Fikiran lan Ati” (atau Bersatunya Fikiran dan Hati manusia). Sementara “Sholawat” bermakna bacaan sholawat kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga
makna yang terlahir dari rangkaian kata “Mafia Sholawat” adalah Manunggaling
Fikiran lan Ati ing Dalem Sholawat”; (bersatunya antara Fikiran dan Hati
manusia di bawah naungan Sholawat).4 Arti kata ini seiring dengan kegiatan yang
mereka lakukan yaitu berdakwah ke masyarakat luas dengan menggunakan
sholawat sebagai medianya. Jamaah yang ada di dalamnya membaca sholawat
kepada Nabi Muhammad saw dengan kombinasi alat musik, varian lagu, kriteria
tertentu, urutan tertentu, sesuai yang KH. Muhammad Ali Shodiqin ajarkan.
Sosok KH. Muhammad Ali Shodikin (akrab dipanggil dengan “Abah Ali”)
yang menjadi panutan atau sekaligus tokoh sentral dalam Jamaah mereka, Mafia
Sholawat, memiliki kharisma tinggi diantara pengikut setianya. Beliau juga
memiliki pengalaman jauh dari unsur keagamaan di masa mudanya, setelah
menjelajah ke berbagai daerah dan berguru ke berbagai Ulama, perlahan
kesadaran beliau untuk menutup pengalaman buruk berubah ke pengalaman lebih
baik tumbuh. Setelah memiliki modal yang cukup, baik dari materi, keilmuan, dan
kesempatan, Abah Ali bertekad mendirikan lembaga pendidikan berupa pesantren
3Informasi digali dari salah satu personel musik yang mengatas namakan diri “Semut Ireng” (terj: Semut Hitam). Kelompok musik yang mengiringi kemanapun Mafia Sholawat berdakwah. 4
3
di daerahnya. Jika pesantren pada umumnya memiliki karakter tersendiri yang
bisa mereka banggakan,5 pesantren asuhan Abah Ali ini lebih banyak mengambil
spesialisasi menampung mereka para mantan preman, pengguna narkoba,
pengangguran, dan sebagainya.
Kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren asuhannya lebih
menekankan aplikasi ibadah, adapun praktik ibadah yang menjadi rutinan di
dalam pesantren beliau adalah; manaqib, sholawat, dibaan, barzanji, tahlil, dzikir,
adapun kajian kitab seimbangdengan ibadah terapan. Dengan pola ajaran pesanren
demikian justru menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian golongan masyarakat,
terutama bagi mereka yang tidak memiliki kecenderungan nalar logika yang
rumit, atau tuntutan dengan capaian target yang harus dilewati.6
Berawal dari pesantren inilah perjuangan beliau bermula, oleh karena
karakter pesantren adalah memperbaiki mereka yang buruk maka kajian yang ada
di dalamnya menyesuaikan dengan spirit berubah dari mental negatif ke arah
mental optimis. Kitab seperti al – hikam, nasoihul ibad, riyadussolihin, serta kitab
yang berafiliasi pada peningkatan pahala serta ketenangan hidup diajarkan di
pesantren ini.7 Pembiasaan untuk terus melantunkan sholawat dengan media
5
Corak pesantren dengan karakternya memiliki keunikan tersendiri, ada Pesantren yang fokus pada penguatan ilmu alat (Bahasa Asing), Pesantren dengan spesifikasi Kajian Kitab Kuning, Pesantren dengan spesialisasi Fiqih, pesantren yang fokus pada Hapala Al – Qur’an, dan seterusnya. Keberadaan Pesantren dengan berbagai macam keunikan ini tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
6
Sugeng, wawancara, Ponorogo, 21, Januari 2017. 7
4
jamaah diwujudkan berupa kelompok Mafia Sholawat. Ada alasan tersendiri
mengapa lebih memilih untuk membacakan Sholawat secara bersama, nalar
ideologis yang Ali Shodiqin tanamkan kepada segenap pengikutnya adalah bahwa
makhluk yang paling mulia di sisi Tuhan Allah swt adalah Nabi Muhammad saw.
Dan dalam ajaran Islam mengajarkan bahwa barangsiapa yang membaca sholawat
kepada beliau sekali saja, maka Allah akan memberikan kepada pembaca sepuluh
kali lipat. Ajaran ideologi sholawat juga mengajarkan pemahaman bahwa dengan
semakin mendekatkan diri kepada makhluk yang paling sempurna di Alam
semesta inilah maka pertolongan di hari kiamat berupa Syafaat8 akan diberikan
oleh Allah swt kepada hamba serta umat Nabi Besar Muhammad saw.9
Disamping penanaman berupa ideologi sholawat, Ali Sadikin juga
mengkombinasikan dengan berbagai simbol yang mewarnai saat dakwah
berlangsung. Banyak simbol yang melatarbelakangi prosesi dakwah, baik berupa
simbol fisik berupa pakaian hitam, salah satu contohnya; tulisan beberapa pilihan
huruf arab (hijaiyah) yang terletak di berbagai media, beberapa penari sufi ala
ibadah seperti di atas diajarkan untuk memompa semangat pengikutnya meniti jalan yang benar sesuai agama Islam.
8
Terminologi syafaat adalah kepercayaan umat Islam di hari kiamat bahwa ada satu kesempatan yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad untuk menyelamatkan hambanya yang hendak masuk ke neraka tempat penyiksaan. Syafaat atau pertolongan tersebut diberikan salah satunya kepada mereka para pengikut setianya, dengan secara rutin membaca sholawat maka syafaat atau bantuan yang dimintakan oleh nabi kepada Tuhan akan terwujud kelak.
9
Kesadaran demikian terus dipupuk lantaran adanya sama latarbelakang terjerumus ke dalam kebiasaan negatif dan perlu kembali ke jalan yang ideal, dalam ajaran agama Islam ada konsep
“taubat” dimana seorang hamba ketika melakukan sebuah kesalahan atupun dosa besar kemudian
5
Jalaludin Rumi yang tampil saat acara atau simbol berupa gerakan fisik seperti
tangan yang diangkat, simbol jari metal, dan sebagainya. Slogan verbal juga
menjadi bagian dari strategi dakwah yang beliau lakukan, seperti menanamkan
paham cinta tanah air, pentingnya sholawat bagi kehidupan setelah kematian, dan
pentingnya taubat sebeum ajal datang. Ali Sadikin menggaungkan slogan tersebut
dengan kalimat berikut ;” NKRI Harga mati, Sholawat Sampai mati, Taubat
sebelum Mati”.
Bertambahnya pengikut ini didukung dengan semakin rutinnya jadwal
pengajian Mafia Sholawat di kabupaten Ponorogo dari satu desa ke desa lain, atau
dari satu masjid ke masjid yang lain, dengan rutinan ini pengikut semakin
bertambah banyak.10 Meski pada awalnya kelompok ini mengakomodir mereka
yang menginginkan untuk berubah, dan berbatas pada anggota yang tidak banyak,
namun kian hari minat masyarakat dalam mendengarkan, mendapatkan
pemahaman keagamaan ala Ali Sadikin sampaikan, jamaah tersebut kian banyak.
Oleh karena banyaknya permintaan dari berbagai elemen masyarakat dari
berbagai lapisan masyarakat, maka majlis atau kelompok kajian keagamaan ini
membuka diri untuk masyarakat umum. Sehingga dari sinilah yang pada awalnya
terbatas pada kelompok orang – orang yang nalar keagamaan sedikit dan
keseharian yang jauh dari keagamaan menjadi wadah semua masyarakat.
10
Pada tahun 2015 atau dua tahun setelah deklarasi di Kabupaten Ponorogo massa yang menjadi pengikut jamaah Mafia Sholawat ini menyentuh angka puluhan ribu, sehingga penyelenggaraan yang semula berada di dalam ruangan beralih ke lapangan terbuka atau di jalan utama. Oleh karena waktu dakwah Mafia Sholawat ini malam hari, maka acara biasa dimulai pukul 19.00 WIB atau
setelah isya’ dan berakhir pada waktu menjelang subuh. Pada tahun 2015 akhir regulasi peraturan
6
Kelompok yang memiliki nama panjang Manunggaling Fikiran Lan Ati
Ing Dalem Sholawat (bersatunya fikiran dan hati di bawah naungan sholawat) ini
memiliki karakter pengikut yang berbeda dari umumnya kelompok Sholawat.
Mafia Sholawat memiliki pengikut dengan karakter individu yang dinilai negatif
di tengah masyarakat, individu yang memiliki cacat moral, individu yang
terasingkan dari norma – norma masyarakat, seperti; preman, pengangguran, dan
mereka yang identik dengan dunia kemaksiatan. Namun, meski memiliki berbagai
ragam latar belakang pengikut, Mafia Sholawat mempu mengakomodir dan
menjadi media bagi mereka sekaligus bertujuan untuk menanamkan rasa cinta
perdamaian dan persatuan umat melalui media Sholawat.
Menurut salah satu sumber dari santri kepecayaannya,11 pada dasarnya
mereka yang memiliki kebiasaan dengan dunia penyelewengan norma sosial
memiliki keinginan untuk mendalami norma – norma agama. Akan tetapi
keinginan mereka terbentur dengan tidak adanya media yang bisa mewadahi
hasrat untuk mendalami norma – norma keagamaan. Maka dari itu, Mafia
Sholawat hadir memberikan wadah bagi mereka yang memiliki latar belakang
demikian. Dalam pelaksanaan dakwhnya, Mafia Sholawat mengusung misi
persatuan karena pengikutnya berasal dari berbagai ragam tipikal masyarakat.12
11
Informan bersama Sugeng, beliau adalah koordinator Mafia Sholawat yang mengatur jadwal rutinan Jamaah Mafia Sholawat di Kabupaten Ponorogo, jadwal rutinan antar kota, jadwal rutinan antar provinsi.
12
7
Selain berdakwah dengan menanamkan ideologi shalawat, Ali Sadikin
juga menyelipkan misi membendung masyarkat dari berbagai ragam paham
radikal serta paham yang memiliki potensi untuk memecah belah masyarakat.13
Isu global seperti kekacauan Timur Tengah, isu terorisme yang meresahkan
masyarakat, dan sebagainya mendapat perhatian dalam komunitas ini. Mafia
Sholawat merasa perlu mengambil peran dalam meluruskan paham kesatuan
Negara Republik Indonesia bagi jamaahnya disamping salah satu misi utama yang
terdapat dalam simbol adalah “NKRI harga mati”, mafia Sholawat lebih memilih
untuk menciptakan gelombang kelompok yang membela negara.
Dalam mewujudkan misi mempersatukan berbagai aliran dan golongan
yang mengikutinya, Mafia Sholawat memiliki keunikan saat acara berlangsung.
Adanya simbol pakaian yang melekat pada tokoh sentral,14 tarian sufi,15dan
iringan musik dari kelompok musik yang menamakan diri semut ireng (semut
hitam). Mafa Sholawat menyelenggarakan acara pada malam hari, dengan diawali
melantunkan sholawat secara bersamaan16 dan ditutup dengan doa bersama di
13
Menurut wawancara penulis dengan salah satu informan paham radikal yang disampaikan adalah paham wahabi, (MTA) majelis tafsir al – Qur’an, paham Komunis, bahkan paham pendirian negara Khilafah (HTI), paham pendirian Negara Islam (ISIS) yang mana sangat jelas motivasinya untuk memecah belah masyarakat dari harmonisasi yang sudah terjalin. Untuk penjelasan lebih terperinci seperti apakah definisi paham radikal tersebut akan penulis ulas di kesempatan berikut.
14
Dalam semua kesempatan acara yang diselenggarakan Mafis Sholawat, KH. Drs. Ali Sadikin selalu menggunakan jubah berwarna Hijau dengan peci khas berbentuk kerucut berwarna hitam, di lehernya teruntai sorban panjang, dan mengenakan tasbih di tangannya.
15
Tarian Sufi ini mengiringi saat acara sholawat berlangsung, tarian memutarkan badan yang berasal dari Turki ini diperagakan oleh santrinya baik dari laki – laki maupun perempuan.
16
8
penghujung acara.17 Mafia Sholawat membuat nuansa demikian karena untuk
menampung golongan jamaah yang memiliki kecenderungan negatif namun
menginginkan siraman wawasan keagamaan.
Peletakan simbol – simbol yang melekat pada tokoh sentral ini
memberikan nuansa beda pada jamaahnya. Ali Sadikin tidak sembarang menaruh
model serta pola berpakaian yang ia kenakan, ada alasan khsus serta rinci di setiap
bagian pakaian yang ia kenakan mulai dari tutup kepala sampai alas kaki. Dan
mulai yang beliau kenakan dan aksesoris keagamaan lainnya, bahkan pada
beberapa kesempatan beliau memberikan gestur dengan mengacungkan tangan
melambangkan tanda “metal” kepada pada jamaah. Sapaan ini kerap ia berikan
saat pentas acara berlangsung, dengan harapan model komunikatif dengan para
jamaah berjalan dengan baik.
Dari rasio pengikutnya, Mafia Sholawat mayoritas diikuti oleh para kaum
pemuda, hal ini ditandai dengan banyaknya pemuda yang hadir ketika acara itu
berlangsung. Lebih lanjut, pemuda yang mengikuti acara ini lebih banyak diikuti
oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang wawasan keagamaan yang baik.
Adanya segmen mayoritas dari kalangan pemuda diiringi minimnya wawasan
mereka tentang keagamaan begitu juga dengan adanya perbedaan karakter, akan
memungkinkan menimbulkan konflik antar kelompok pemuda, hal ini menjadi
17
9
tantangan tersendiri bagi Mafia Sholawat untuk bisa merangkul semua
pengikutnya dan membawa kepada satu perspektif untuk bisa bersatu.18
Respon yang lahir dari masyarakat sangat ragam, secara umum terbagi
menjadi tiga; mereka yang mendukung dan menilai positif terhadap kelompok
Mafia Sholawat ini, kelompok kedua merupakan antitesa dari pertama, yaitu
mereka yang tidak sepakat adanya kegiatan ini di kabupaten Ponorogo dengan
berbagai argumen yang mereka miliki, dan kelompok terakhir adalah mereka yang
apatis dengan kegiatan ini, sehingga mereka tidak merasa ada kepentingan
maupun tidak ada kepedulian terhadap gejalan yang ada di tubuh masyarakat ini.
Terlepas dari respon yang lahir dari tubuh masyarakat ini, gerakan Mafia
Sholawat berjalan konsisten dan memiliki pengikut masif di Kabupaten Ponorogo.
Perkembangan Mafia Sholawat di bumi Ponorogo terhitung melesat cepat.
Dalam waktu singkat dua dan tiga tahun jamaah Mafia Sholawat di kota Ponorogo
mencapai ribuah bahkan puluhan ribu.19 Secara persebaran, acara rutinan Mafia
Sholawat di kota Ponorogo sudah terselenggara di berbagai desa, bahkan hampir
seluruh kecamatan yang ada di Ponorogo pernah dikunjungi dan mengadakan
acara dari Ulama Kharismatik Semarang ini.
Secara geografis Kota Ponorogo terletak di provinsi Jawa Timur, berada di
daerah paling barat dan berbatasan langsung dengan Wonogiri Jawa Tengah dan
bagian selatan berbatasan dengan kota Pacitan, praktis kota Ponorogo tergolong
18
Definisi pemuda menurut undang – undang nomor 40 tahun 2009, batasan usia pemuda adalah antara 18 sampai 30 tahun.
19
10
wilayah jawa bagian selatan. Dalam khazanah persebaran keagamaan Islam di
Jawa, area selatan pulau jawa berbeda degan area Jawa bagian utara. Secara
historis peta Jawa bagian selatan dahulu dibawah pemerintahan Mataram Islam,
wilayah kekuasaan Mataram yang membentang dari barat kota Kebumen, dan
timur sampai Blitar memiliki jajaran kota semisal Tulungagung, Kediri, Nganjuk,
Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Magetan, Pacitan, Ngawi, Bojonegoro, Wonogiri,
Surakarta, Klaten, Gunung Kidul, Bantul, Sleman, Boyolali, Salatiga,
Kulonprogo, Purworejo dan seterusnya yang masih menjadi bekas wilayah
kesultanan Mataram Islam.
Secara umum karakter keislaman antara pesisir jawa utara dengan jawa
selatan, keislaman jawa bagian selatan masih banyak nuansa majisnya. Nuansa
majis inilah yang membentuk kecenderungan ke ranah negatif jika tidak memiliki
kemampuan keagamaan yang kuat. Sehingga kreatifitas atau hal unik untuk
menarik perhatian pemuda bisa berupa pemberian tanda simbol keagamaan yang
ragam, baik itu berupa secarik kain, seikat sabuk, gaman, apresiasi terhadap benda
– benda yang dipandang memiliki nilai lebih berada di posisi yang tinggi,tu-ah20,
benda seperti cincin batu akik, tongkat, bahkan warna suatu kain, dan seterusnya.
Dengan keadaan masyarakat demikian, maka karakter mengandalkan
barang, dan memberikan kepercayaan atau tu-ah yang ada di dalam barang
muncul. Benda seolah memiliki nilai lebih dan memiliki pengaruh pada
kehidupan seseorang, adanya acara rutinan dari tradisi mataram berupa bersih
20
11
desa, membagikan hasil bumi, menjaga pohon besar, dan ritual campuran lain
yang tersebar di daerah bekas Mataraman membentuk suatu lingkungan yang
mengapresiasi ke arah benda, dengan diikuti tradisi atau acara yang melibatkan
masyarakat serta mengakulturasikan antara budaya keagamaan dan budaya yang
ada di masyarakat menanamkan nalar majis yang lebih.
Keadaan ini juga mendapat perhatian dari mafia Sholawat, Mafia Sholawat
membaca keadaan ini ke dalam media dakwah yang digunakan, pelaksanaan
dakwah Mafia Sholawat melalui serangkaian seremonial sekaligus diiringi
beberapa aksesoris yang mendukung berjalannya dakwah. Salah satunya adalah
adanya pentas tarian sufi, kombinasi tarian sufi yang terdapat di tengah – tengah
acara Mafia Sholawat menjadikan acara ini kian menarik. Meski secara tampak
memberikan variasi dan ragam pola dakwah, akan tetapi muatan nilai yang
terkandung di dalam tarian itulah yang ingin Abah Ali kenalkan kepada para
jamaah. tarian sufi yang memiliki gerakan berputar dengan bertumpu pada satu
kaki kemudian memusatkan perhatian seseorang tadi kepada nalar ketuhanan.
Sehingga seorang yang sedang melakukan rangkaian tarian ini kian terfokuskan
pada dialog personal dia dengan pencipta, sementara keadaan tubuhnya yang terus
beputar menjadi sarana untuk melepaskan segala ketergantungan dia dari unsur
dunia.
Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa kegelisahan akademik ini perlu
untuk diteliti lebih serius. Pertama sebagai kelompok yang memiliki ragam
pengikut yang mayoritas dari kalangan pemuda dengan dunia kemaksiatan,cacat
12
berbeda dengan mayoritas kelompok keagamaan yang memiliki pengikut dengan
ragam tidak cacat moral dan sosial.21
Berikunya, penulis ingin menelusuri bagaimanakah para pemuda memiliki
minat dan daya tarik kepada dakwah yang dibawakan oleh Abah Ali ini, apalagi
komposisi pemuda yang ikut dalam kajian dakwah Abah Ali adalah mereka yang
didominasi dengan sematan negatif di tengah masyarakat. Kegelisahan ini
dikembangkan dengan seperti apakah latar belakang solidaritas para pemuda
dalam ikut serta kajian Mafia Sholawat yang nyeleh itu, dan apa makna solidaritas
bagi para pemuda dalam ikut serta kajian Mafia Sholawat.
Kehidupan yang global mengenalkan kepada masyarakat lintas informasi
yang cepat dan tak terbendung. Fakta sosial ini memberikan peluang besar bagi
para pemuda untuk tahu bahkan mengikuti satu infomrasi yang mereka dapat.
Dalam diskursus keagamaan, aliran atau paham radikal dari suatu kelompok yang
berasal dari luar negara terhitung menjadi ancaman bagi keutuhan Negara. Hal ini
menjadi perhatian khusus mengingat landasan atau dasar suatu tindakan kekerasan
yang jauh dari etika sosial masyarakat Indonesia adalah agama. Sementara jika
pintu pertama mereka mengenal agama tanpa ada landasan kuat maka akan mudah
baginya untuk terpengaruh dengan paham lain, sangat disayangkan jika
perkenalan yang dia lakukan adalah pemahaman keras dan memberikan dampak
disharmonis di tengah masyaakat.
21
13
Potensi untuk memecah kesatuan Negara indonesia sangat besar, berawal
dari komposisi masyarakat yang terdiri dari berbagai ratusan suku, ras, dan
berbagai agama serta kepercayaan menjadikan perbedaan sebuah peluang
perpecahan. Apalagi didukung semakin kerasnya laju globalisasi tentu jika tidak
ada penguatan kapasitas intelektual, serta peningkatan nalar melek teknologi, dan
juga mampu mengakomodirnya dengan baik akan berdampak pada
kecenderungan negatif. Mafia Sholawat menaruh perhatian besar dalam rangka
membentengi negara dengan memberikan wawasan dasar kepada jamaahnya
untuk senantiasa memerangi hal yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Dengan memberikan pengetahuan dan mengintegrasikan wawasan kenegaraan
dengan wawasan keagamaan, maka potensi untuk memecah belah umat bisa
dikikis.
Pemuda menjadi pengikut paling mendominasi di jamaah Mafia Sholawat
ini, berbagai latar belakang ikut dalam jamaah Mafia Sholawat. Perlu penelitian
lebih dalam untuk mengetahui motif keikutseertaan mereka dalam Mafia
Sholawat, karena jumalah terbanyak dari segi pengikut berasal dari kota Ponorogo
dan basis kepengurusan juga berada di sana. Pemuda juga memiliki masa untuk
menentukan arah kehidupan, adanya masa transisi inilah yang membuka peluang
dampak globalisasi masuk ke dalam pemahaman mereka. Jika berada dalam
koridor pemahman keagamaan yang santun dan harmonis, maka akan
memberikan keselarasan bagi keberlangsungan negara, namun jika pemahaman
14
ketidakstabilan sosial maka pemahaman keagamaan itu perlu disikapi dengan
benar.
Dari sedikit ulasan latarbelakang diatas, penulis berinisiatif mengkaji lebih
lanjut dengan judul penelitian, “Solidaritas Sosial di Kalangan Pemuda Muslim,
Kajian terhadap Mafia Sholawat Ponorogo”.
B. Identifikasi Dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memberikan
identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Jamaah Mafia Sholawat yang beda dengan Jamaah Sholawat pada
umumnya.
2. Ragam pengikut jamaah Mafia Sholawat yang mayoritas pemuda dengan
latar belakang sedikit wawasan keagamaan di Kabupaten Ponorogo
3. Para pengikut Mafia Sholawat yang mayoritas pemuda dengan sedikit
wawasan memiliki ketertarikan sama dalam kajian Mafia Sholawat
4. Apa makna dibalik pengikut Mafia Sholawat yang didominasi oleh
pemuda
5. Pemuda dan masyarakat dengan label minim norma keagamaan ini
berkenan untuk ikut ke jamaah Mafia Sholawat
6. Mafia Sholawat mewadahi ragam pengikut yang didominasi oleh pemuda
15
C. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas serta dengan memberikan ruang batasan
masalah maka dapat ditarik sebuah poin rumusan masalah demikian
1. Bagaimana gambaran solidaritas pemuda muslim Ponorogo terhadap
Mafia Sholawat ?
2. Bagaimana latar belakang solidaritas pemuda muslim Ponorogo terhadap
jamaah Mafia Sholawat ?
3. Bagaimanamakna solidaritas bagi pemuda muslim Ponorogo kepada Mafia
Sholawat ?
D. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah;
1. Untuk mengetahuigambaran solidaritas pemuda muslim Ponorogo
terhadap Mafia Sholawat
2. Untuk mengetahuilatar belakang solidaritas pemuda muslim Ponorogo
terhadap jamaah Mafia Sholawat
3. Untuk mengetahuimakna solidaritas bagi pemuda muslim Ponorogo
kepada Mafia Sholawat
E. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti khususnya, dan
16
Pascasarjana konsentrasi Studi Islam dan Kepemudaan guna
pengembangan keilmuan sosial.
b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat umum
terutama mereka pemerhati aspek sosial dan pegiat jamaah
sholawat
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan
b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi yang efektif dan menjadi
bahan evaluasi dalam menyikapi berbagai kasus sosial yang terjadi
di tengah masyarakat Ponorogo
F. Kerangka Teoritik
Berangkat dari fakta sosial yang ada di tengah pemuda dan masyarakat
Ponorogo, dimana Fakta sosial berupa wujud cara bertindak, berfikir, dan merasa
yang ada di luar individu dan memiliki daya paksa atas dirinya. Fakta Sosial
memiliki dua ragam, yaitu material dan non-material, material seperti adanya
tatanan perkampungan, pos jaga masyarakat, penempatan tempat ibadah, struktur
jalan, fasilitas umum, aturan adat maupun kesepakatan hukum. Sementara Fakta
Sosial yang non-material seperti sifat bawaan yang muncul dalam diri manusia
atau individu seperti egoisme, emosi, estetika, keramahan, dan seterusnya.22
Fakta sosial tidak terbatas pada struktur atau tatanan masyarakat saja,
dalam kasus kelompok sosial, komunitas ataupun organisasi akan berlaku
22
17
bagaimanakah fakta sosial itu hidup. Dalam kasus mafia sholwat, fakta sosial
yang melekat di dalamnya bisa dalam bentuk kepercayaan, moral, tata cara
berpakaian jamaah dan sebagainya. Bentuk atau implementasi dari fakta sosial ini
memang ragam. Sebuah kelompok yang berjalan dan eksis menjalankan
aktifitasnya hampir dipastikan memiliki kecenderungan fakta sosial yang sama
pada anggotanya. Jika ada kelompok pengajian kampung, maka ada kesamaan
fakta sosial baik itu yang materiil maupun non material, materiil berasal dari satu
daerah yang sama, baik letak geografis maupun kondisi sosio kultural jamaah
pengajian tersebut.
Sementara fakta sosial non material bisa berupa keseragaman mental kaum
pedesaan, keseragaman mentaltas masyarakat perkotaan atau ragam lain dari
faktor non material lainnya. Fakta sosial yang terkandung dalam diri Mafia
Sholawat bersifat kolektif dan memberikan pengaruh terhadap individu untuk
menuntun ke arus yang se-paham tersebut.Begitu juga fakta sosial yang terdapat
dalam pengikutnya inilah baik berupa latar belakang yang terpinggirkan, individu
yang terasingkan, masyarakat yang minim wawasan keagamaan, dan sebagainya.
Tentu fakta sosial ini mengacu pada pembagian baik berupa material ataupun
non-material yang nantinya akan menjadi objek kajian dalam penelitian ini.23
Mafia Sholawat memiliki pengikut dalam jumah banyak serta memiliki
sisi perbedaan dalam komposisi jamaah keagamaan dari yang lain. Dengan
komposisi lebih didominasi para pemuda, adanya solidaritas sosial yang tumbuh
dari mereka memberikan loyalitas untuk mengikuti kajian Mafia Sholawat. Ada
23
18
kesamaan diantara mereka dalam selera, karakter, latar belakang, dan cara
memaknai suatu objek sehingga mengantarkan mereka untuk membentuk satu
cara pandang yang sama.
Dalam teori Solidaritas Sosial, ada tawaran untuk meneropong kasus ini
dengan kajian ilmiah. Sehingga pertanyaan yang bermuatan probematik di atas
akan terpotret dengan payung teori solidaritas sosial. Ini karena teori Solidaritas
Sosial menawarkan cara baca masyarakat atau kelompok yang memiliki rasa
solidaritas yang sama, memiliki latarbelakang yang sama, serta terikat dengan
minat yang sama pula. Dengan cara demikian makamasyarakat atau kelompok
yang menjadi bagian jamaah Mafia Sholawat akan terbaca.
Durkheim, tokoh yang masuk dalam kategori Paradigma Fakta Sosial,
mengenalkan cara baca masyarakat dengan teori Solidaritas Sosial, menurut dia
solidaritas sosial teragi menjadi dua; pertama adalah Solidaritas Mekanis dan
kedua Solidaritas Organis, secara definitif beda antara Solidaritas Mekanik dan
Solidaritas Organik24 terletak pada intensitas ketergantungan antara komunitas.
Dimana dalam masyarakat yang memiliki ikatan Solidaritas Mekanik aspek
ketergantungan tidak sebanyak yang terjadi dalam Solidaritas Organik.
1. Solidaritas Mekanik
Memiliki karakter adanya persamaan, rasa, historistas, dan
kecenderungan yang sama. Sehingga Solidaritas Mekanik ini menggiring
masyarakat dalam pembentukan komunitas yang mereka sepakati dan
24
19
mereka jalankan. Durkheim memberikan keterangan bahwa dalam
Solidaritas Mekanik ini intervensi atau tekanan komunitas kepada individu
untuk bergabung di dalamnya memiliki peran untuk menggerakkan minat
individu tersebut. Aspek intervensi ini mewakili aspek eksternal atau yang
datang dari luar individu dimana aspek eksternal tersebut mampu
memberikan dampak pada individu tersebut untuk masuk ke dalam
komunitas yang ia pilih.25
2. Solidaritas Organik.
Berbeda dengan Solidaritas Mekanik, Solidaritas Organik lebih
komplek. Dengan asas saling membutuhkan serta menguntungkan maka
komunitas atau otonom yang memiliki interaksi di dalamnya lebih banyak,
begitu juga dalam rentan masa dan waktu ketergantungan antara kelompok
atau otonom lebih cenderung variatif. Solidaritas Organik diindikasikan
dengan wujud masyarakat yang kontemporer dan memiliki jaringan
komunikasi yang luas. Solidaritas Organik lebih kompleks dengan indikasi
adanya persatuan diatas perbedaan di antara orang, dimana masing dari
individu memiliki kewajiban berbeda.26
Dalam penelitian ini, teori solidaritas sosial tersebut akan berhadapan
dengan aspek agama, sehingga aspek yang melatarbelakangi solidaritas tersebut
baik yang mekanik maupun organik akan dituntut untuk menjawab kasus Mafia
Sholawat sebagai komunitas keagamaan. Secara implisit Emile Durkheim
25
Ambo Upe, Tradisi Aliran dalam Sosiologi; Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 95-97.
26
20
menekankan bahwa adanya Solidaritas Sosial itulah tekanan yang dimaksud untuk
mempersatukan orang dalam komunitas moral atau agama bisa berjalan efektif.27
Sehingga dalam kasus ini, kelompok agama akan memiliki peluang untuk
meningkatkan kekompakan dan rasa solidaritas sosial diantara anggotanya.
Dalam kelompok Mafia Sholawat, jika melihat kaca mata Solidaritas
Mekanik Durkheim maka akan tampak solidaritas yang terdapat di Mafia
Sholawat adalah adanya sama rasa serta sama latar belakang, dengan adanya
kesamaan latar belakang sebagai pemuda dalam masyarakat yang memiliki
kapasitas wawasan keagamaan yang sedikit, komunitas yang terpinggirkan dan
terasingkan dalam tatanan masyarakat. Keadaan demikian membawa masyarakat
tersebut untuk memiliki kesamaan sama rasa yaitu merasa terwadahi dengan
adanya keterlibatan mereka di Mafia Sholawat ini.
Namun, jika menggunakan kaca mata Solidaritas Organik, maka pengikut
Mafia Sholawat yang terdiri dari berbagai ragam profesi dan ragam masyarakat
seperti berbagai perguruan pencak silat, anak jalanan, pengangguran, pecandu
minuman keras dan narkoba bisa terwadahi dalam Mafia Sholawat ini. Meski
membangun asumsi demikian sedikit mustahil namun menurut jamaah Mafia
Sholawat mereka yang terjerumus dalam jurang kenistaan juga mengharap akan
adanya sapaan keagamaan maupun siraman kerohanian bagi mereka.
Ada banyak kelompok atau jamaah Sholawat, namun sebagaimana yang
dijelaskan diawal, dimana Mafia Sholawat merupakan komunitas yang memiliki
27
21
pengikut berbeda dibanding beberapa kelompok atau jamaah Sholawat pada
umumnya. Adanya perbedaan latar belakang dan juga berbagai profesi didalam
pengikut kelompok ini memberikan pertanyaan apakah Mafia Sholawat
merupakan kelompok yang berjalan dengan latar belakang Solidaritas Mekanis
atau Solidaritas Organis. Pada satu sisi Mafia Sholawat adalah komunitas yang
memiliki pengikut berbeda, dan pada kesempatan lain kelompok agama ini hidup
dan berkembang di tengah beberapa kelompok agama yang lain.
Dengan mengkombinasikan antara temuan sementara di lapangan yang
terdapat pada kelompok Mafia Sholawat ini serta teori Solidaritas Sosial maka
sedikit terang apa dan bagaimana solidaritas pemuda muslim Ponorogo kepada
Mafia Sholawat.
G. Penelitian terdahulu
Untuk membatasi dalam kajian penelitian terdahulu, penulis memberikan
garis besar tentang sisi inti pembahasan dan sisi perbedaan dari riset ini nantinya.
Sehingga sejauh pembacaan serta penelusuran penulis, beberapa penelitian
terdahulu yang sudah mengulas Mafia Sholawat tersebut antara lain; pertama
penelitian yang membahas tentang latar belakang berdirinya jamaah Mafia
Sholawat, Skripsi dengan Judul “Makna Tarian Sufi Jalaluddin Rumi Di Pondok
Pesantren Raoudlotun Nikmah Kalicari Semarang” ditulis oleh Ahmad Roisul
Falah.28 Falah merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang, dia mengulas tentang sisi cikal bakal lahirnya Mafia Sholawat. Tulisan
28
22
ini memfokuskan pada ranah tarian sufi yang terdapat di dalam media Mafia
Sholawat. Hasil temuan Falah dalam riset tersebut mengatakan bahwa kelompok
keagamaan dengan nama Mafia Sholawat ini berasal dari Semarang dan memiliki
instansi pendidikanbernama Pondok Pesantren Roudlotun Nikmah. Titik tekan
dari riset tersebut setelah membahas instansi pendidikan beralih ke tahap makna
Tarian Sufi Jalaludin Rumi. Konsep tasawuf yang digagas sosok Jalaludin Rumi
beserta meditasi dengan melalui jalur tarian berputas menjadi fokus pembahasan.
Ulasan lebih mendalam bagaimana tarian sufi dan ajaran tasawauf ini mewarnai
mentalitas santri asuhannya. Riset ini tidak mengambil peran teori sosial manapun
untuk dijadikan pisau analisa. Sehingga meski memiliki nilai hisorisitas Mafia
Sholawat, akan tetapi pembahasan tentang teori Solidaritas pengikut jamaah
didalamnya tidak terbahas.
Penelitian kedua dengan judul “Solidaritas Emile Durkheim dalam
kehidupan masyarakat Gresik Putih”.29
Tulisan ini berasal dari Universitas islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya. Meski penelitian ini juga menggunakan teori dari
Durkheim, namun objek kajian yang diteliti adalah masyarakat di kota Gresik.
Ulasan penelitian ini lebih pada bagaimanakah penerapan teori solidaritas
Durkheim kapada masyarakat Gresik Putih, konteks masyarakat menetap dengan
kelompok yang hidup dari berbagai unsur masyarakat tentu berbeda. Masyarakat
Gresik Putih adalah masyarakat yang menetap dan memiliki tatanan sosial yang
sudah melekat dan mereka jalankan serta terpelihara. Objek riset ini tentu berbeda
dengan kelompok sosial yang berangkat dari berbagai unsur latar belakang.
29
23
Pembahasan secara umum memang memberikan ruang bahwa struktur masyarakat
nantinya akan terpetakan ke dalam dua hal, baik itu mereka yang masuk kategori
Mekanik maupun mereka yang masuk kategori Organik. Temuan dalam riset ini
menitikberatkan bahwa masyarakat dengan tipikal Solidaritas Mekanik terdapat di
dalam tubuh masyarakat Gresik Putih. Namun sekali lagi, objek dari riset ini tentu
berbeda dengan Mafia Sholawat baik dari sisi latar belakang maupun eksistensi
keberadaannya sekarang.
Riset selanjutnya datang dari Ibnu Muchlis, mahasiswa pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tulisan dengan judul
“Ideologisasi Salawat (kajian living Qur’an dalam Mafia Sholawat Ponorogo)”
ikut mengambil bagian dalam mewarnai penelitian Mafia Sholawat sebagai
objek.30 Penelitian yang ditulis Muchlis menitikberatkan pada konsep ideologi
Sholawat dengan menelusuri akar ideologi tersebut dari aspek ayat Al- Qur’an.
Ayat yang memiliki redaksi “sesungguhnya Allah swt beserta para malaikat
melimpahkan rahmat kepada Nabi Muhammad saw, oleh karenanya kalian wahai
orang mukmin bersholawatlah kalian kepada nabi Muhammad dan mohonkan
limpahan rahmat kepadanya”ini dalam penelitiannya memiliki substansi seruan
untuk membacakan sholawat kepada Nabi Muhammad.
Oleh karena landasan keilmuan adalah studi Qur’an maka riset tersebut
menyoroti bagaimanakah masyarakat mengapresiasi pemaknaan ayat al – Quran
dalam wujud kegiatan yang sudah hidup di tengah masyarakat, dengan mengkaji
30
24
ranah Salawat yang disampaikan dalam media dakwahnya tentu penelitian ini
tidak menyinggung keilmuan sosial seperti Solidaritas Sosial Durkheim.
Meskipun objek kajian juga sama masyarakat, namun dalam kerangka
pembahasan tidak terdapat aspek keilmuan sosial yang terdapat di dalamnya.
Sehigga bisa disimpulkan sementara bahwa tulisan Ibnu Mukhlis ini tidak
menyinggung kerangka teori Solidaritas sosial Durkheim atau kerangka teori
sosial manapun.
Dari beberapa ulasan di atas, maka sejauh ini penulis menyimpulkan
belum ada riset yang serius membahas tentang Solidaritas Pemuda Muslim dalam
jamaah Mafia Sholawat di Kabupaten Ponorogo.
H. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, dari lima macam ragam
pendekatan kualitatif yang ada,31 pendekatan kualitatif studi fenomenologis
sebagai pisau analisisnya. Sebagaimana diketahui, fenomenologis
mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai
pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena. Fenomenlogis
bertujuan untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi
tentang esensi atau intisari universal. Dalam penelitian fenomenologis hal yang
31
25
melingkupinya bisa berupa fenomena, baik berupa insomnia, kesendirian,
kemarahan, dukacita, atau pengalaman empirik lainnya..32
1. Jenis penelitian dan ciri utama Fenomenologis
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan tipe
fenomenologis. Pendekatan kualitatif merupakan suatu pendekatan yang
berlandaskan pada filsafat positivisme yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana
peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data
dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan
trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankn makna dari pada generalisasi.
Sedangkan penelitian kualitatif fenomenologis adalah pengembangan dari
segenap pengalaman hidup individu, lebih dalam tentang sudut pandang
subjektifitas individu tersebut.33
2. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang secara khas melibatkan wawncara
terhadap individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Akan tetapi, ini
bukan ciri yang universalkarena sebagian studi fenomenologis melibatkan
32
John W Creswell, terj. Penelitian Kualitatif dan Disain Riset, memilih dianara lima pendekatan. Ahad Lintang Lazuardi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
33
26
berbagai sumber data, misalnya lagu, syair, puisi, pengamatan, dan
dokumentasi.34 Adapun rangkaian penelitian fenomenologis yaitu;
a. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik.
Penggunaan wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hal- hal dari subyek data yang lebih mendalam, dengan cara mengajukan
pertanyaan kepada subyek lalu subyek menjawabnya dan pada akhirnya
hasil wawancara tersebut disimpulkan dan dideskripsikan oleh peneliti.
Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laoporan tentang diri
sendiri atau self- report, atau setidaknya pada pengetahuan dan atau
keyakinan pribadi.35
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mengumpulkan data dengan cara mengalir atau
mengambil data-data dari catatan, dokumentasi, administrasi yang sesuai
dengan masalah yang diteliti. Dalam hal ini dokumentasi diperoleh melalui
dokumen-dokumen atau arsip-arsip Mafia Sholawat, yang berupa catatan,
transkip, buku, surat, majalah dan sebagainya.36
Proses selanjutnya adalah analisis data, analisis data yang dapat mengikuti
prosedur sistematis yang bergerak dari satuan analisis yang sempit (misalnya,
34
Ibid, 115-120 35
Ibid, 120-130 36
27
pernyataan penting) menuju satuan yang lebih luas (misalnya satu makna)
kemudian menuju deskripsi yang detail yang merangkum dua unsur, yaitu “apa”
yang telah dialami oleh ndividu dan “bagaiman” mereka mengalaminya.
Fenomenologis diakhiri dengan bagian deskriptif yang membahas esensi
dari pengalaman yang dialami individu tersebut dengan melibatkan “apa” yang
telah mereka alami dan “bagaimana” mereka mengalaminya. “Esensi” atau intisari
adalah aspek puncak dari studi fenomenologis.
I. Sistematika pembahasan
Dalam sistematika pembahasan ini penulis akan menguraikan secara
mendetil dan sistematis dari satu bab ke bab selanjutnya, sehingga peneliti akan
membagi pembahasan ini ke dalam beberapa bagian, yaitu;
Bab I berisikan pendahuluan, dalam bab ini akan diulas antara lain;
latarbelakang masalah, berisikan bagaimana kronologi permasalahan pertama
muncul dan menjadi layak untuk dikaji lebih dalam. Kemudian identifikasi,
merupakan kinerja pemilahan bagian manakah yang menjadi pembahasan dan
bagian mana yang tidak masuk penelitian. Ketiga batasan masalah diikuti
rumusan masalah, dimana menjadi fokus penelitian inti yang akan mengulas
mengapa masalah ini layak untuk ditinjau. Berikutnya tujuan penelitian dan
manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kemudian sstematika penulisan.
Bab II adalah kajian teori, kajian teori difokuskan pada Solidaritas Sosial,
pembahasan selanjutnya mengenai, penjelasan teori Solidaritas serta pembagian
28
Bab III mengulas tentang Pemuda Muslim yang tergabung dalam Mafia
Sholawat Kabupaten Ponorogo, aspek yang melatarbeakangi keikutsertaan peuda,
simbol – sibol yang menjadi daya tarik dakwah bagi pemuda, respon pemuda atas
Mafia Sholawat, media yang digunakan mafia Sholawat dalam mewadahi para
pengikut sekaligus para jamaah. Dalam bab ini juga dijelaskan secara singkat
seperti apakah profil kabupaten Ponorogo.
Bab IV adalah bagian inti dimana teori Solidaritas Sosial yang terbagi
dalam Solidaritas Mekanis dan Solidaritas Organis sebagai pisau analisis dalam
membaca Solidaritas Pemuda Muslim yang tergabung dalam Mafia Sholawat di
kabupaten Ponorogo. Dari rumusan masalah yang ada akan diartikulasikan dengan
sintesa teori solidaritas mekanik dengan hasil penelitian di lapangan yang meliputi
motif solidaritas pemuda, latar belakang solidaritas pemuda, dan bagaimana para
pemuda memaknai solidaritas.
Bab V Penutup berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil dari
ekstrak penjelasan yang bermula dari proses awal sampai pada pembahasan akhir
sementara saran berisikan masukan dan kritik untuk menyempurnakan tulisan ini
31
Bab II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Solidaritas Sosial 1. Pengertian Solidaritas Sosial
Solidaritas Sosial berasal dari dua suku kata, pertama adalah kata
“solidaritas”, dan kedua adalah “sosial”. Arti kata Solidaritas ngkapan,
perasaan yang keluar dari dalam seseorang, sementara “sosial” sekumpulan
baik itu berupa interaksi, tatanan kemasyarakatan. Sehingga jika dua suku
kata tersebut dirangkai akan menghasilkan satuan makna; “perasaan atau
ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan
bersama”.1 Dalam perjalanan perkembangan masyarakat ada fase masyarakat
awal yang lebih dikenal dengan konsep primitif, dan ada fase masyarakat
maju atau setelah fase primitif. Dalam kajian solidaritas sosial, fase
masyarakat Primitif ini lebih diistilahkan dengan Solidaritas Mekanik.
Sementara kriteria untuk masyarakat yang maju dengan nama Solidaritas
Organik.2
Sebuah tanda yang mengindikasikan bahwa suatu masyarakat masih
tergolong primitif adalah belum kompleknya pembagian kerja yang terdapat
di dalam masyarakat. Sementara suatu tanda yang mengindikasikan
masyarakat yang memiliki solidaritas organik adalah dengan adanya
1
John Scott, Teori Sosial; masalah – masalah pokok dalam sosiologi. terj. Ahmad Lintang Lazuardi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.) 78 – 85.
2
32
pembagian kerja dala masyarakat tersebut. Lahirya masyarakat dengan taraf
Solidaritas Organik dengan perkembangan masyarakat yang kian pesat,
kebutuhan masyarakat yang kian ragam, dan kemajemukan dalam kegiatan
semakin banyak plihan.3
2. Teori Solidaritas Sosial
Pembagian kerja memiliki imlikasi yang sangat besar terhadap struktur
masyarakat. Durkheim sangat tertarik dengan perubahan cara dimana
solidaritas sosial terbentuk, dengan kata lain perubahan cara- cara masyarakat
bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang
utuh. Untuk menyimpulkan perbedaan ini, Durkheim membagi solidaritas
menjad solidaritas mekanik dan organik. Masyarakat yang ditandai oleh
solidaritas mekanik menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah
generalis. Ikatan masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktifitas dan
juga tipe pekerjaan yang sama dn memiliki tanggung jawab yang sama.
Sebaliknya, masyarakat yang dittandai oleh solidaritas organik bertahan
bersama justru karena adanya perbedaan yang aa didalamnya, dengan fakta
bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda –
beda. 4
Emile Durkheim dalam pengelompokan keilmuan sosial masuk dalam
kategori Fakta Sosial, fakta sosial ini mendominasi ide besar Durkheim
3
Ibid. 4
33
dengan gagasan utama dia berupa kecenderungan individu serta
kecenderungan kolektif.5 Sebelum mengerucut kepada pembagian Solidaritas
Mekanik dan Solidaritas Organik,6 gagasan Durkheim tentang masyarakat
adalah mengamati sisi sosial suatu individu dengan segenap hal yang
mengiringinya. Indikator dari fakta sosial adalah unsur material dan
non-material, sebagaimana dijelaskan diatas, maka fakta sosial berupa
bagaimanakah seorang anak itu dibesarkan serta dididik dengan pola
lingkungan yang dia miliki. Segala aktifitas yang berhubungan dengan
individu seorang anak baik berupa pembiasaan menggunaka tangan kanan,
menunduk ketika berada di depan orang yang lebih tua, mengucapkan salam,
mandi disaat pagi dan sore, sarapan di waktu tertentu, istirahat atau tidur di
waktu malam hari, dan segala hal yang berkaitan dengan pembiasaan pada
diri seseorang dinamakan dengan fakta sosial.7
Faktor lain yang mendukung bahwa paradigma yang digagas Durkheim
ini adalah fakta sosial dengan adanya sebuah tawaran “jiwa kelompok” yang
bisa mempengaruhi sosok individu. Jika di awal tadi menegaskan
bagaimanakah sosok individu itu tumbuh berkembang dengan rutinan yang ia
terima, maka dalam konsep jiwa kelompok ini adalaha bagaimana interaksi
sosok individu tadi dengan lingkup masyarakat yang ada di lingkungannya.8
Konsep yang hidup dalam masyarakat ini tidak bisa dijelaskan dengan
5
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010) 89 6
George Ritzer, The wiley blackwell companion to sociology, Terj. Daryatno. (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013) 137.
7
Hotman M. Siahaan, Pengantar ke arah sejarah dan teori sosiologi,( Jakarta: Penerbit Eirlangga, 1986) 35.
8
34
keterangan biologis maupun psikologis dari seorang secara individu.
Kesulitan ini disebabkan karena fakta sosial yang bersifat eksternal atau
diluar dari individu tadi sehingga objek yang dimiiki oleh fakta sosial
independent atau terlepas dari individu. Padahal dalam pandangan Durkheim
individu dengan fakta sosial yang berada di posisi eksternal adalah dua hal
yang berbeda.9
Emile Durkheim, sosok yang memiliki kerangka teori Solidaritas Sosial
yang mumpuni menawarkan alternatif teori solidaritas untuk pisau analisa
objek kajian ini. Solidaritas yang dikembangkan oleh Emile Durkheim
tercantuk dalam maha karyanya yang berjudul “The Division of Labour in
Society”. Dalam istilah yang digunaka oleh Durkheim, masyarakat dengan
taraf kehidupan yang masih menggunakan Solidaritas Mekanik cenderung
masyarakat yang memiliki tanda kehidupan yang sederhana, Durkheim
memberinya istilah dengan masyarakat “segmental”.10
Dalam pernyataannya Durkheim demikian:
“Dalam masyarakat demikian kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain. Masing – masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka masing – masing tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok di luarnya. Masing – masing anggota pada umumya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh anggota lain; pembagian kerja belum berkembang dan semua anggota sama, sehingga ketidaksadaran seorang anggota kelompok tidak mempengaruhi kelangsungan hidup
9
George Ritzer, Teori Sosiologi; dari sosiologi kasik sampai perkembangan terakhir postmodern, terj. Saut Parasibu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) 133.
10
35
kelompok, karena peran anggota tersebut dapat dijalankan orang lain”.11
Istilah solidaritas kian kuat manakala sebagai kumpulan yang menjadi
landasan kelompok dalam masyarakat. Ada beberapa hal atau unsur yang
melatar belakangi adanya sistem Solidaritas, semisal;
a. persamaan agama,
b. persamaan bahasa,
c. adanya taraf perekonomian yang sama,
d. saling memiliki bantuan serta kerjasama,
e. memiliki akar sejarah atau pengalaman yang sama,
f. serta memiliki tidakan atau pilihan kehidupan yang sama pula.12
Dalam pernyaaannya Durkheim menuliskan
“Durkheim melihat solidaritas sosial sebagai suatu gejala moral. Hal ini terutama dilihat dari ikatan kelompok desa. Adanya ketertiban sosial atau tertib sosial yang sedikit di kota di bandingkan dengan gangguan ketertiban di desa, menurut Durkheim disebabkan karena faktor pengikat di desa ditingkatkan menjadi moralitas masyarakat. Fakta ini terutama adalah;
a. Kontrol sosial masyarakat desa
b. Stabilitas keluarga13
Dalam pandangan Durkheim, suatu kelompok yang tertutup yang terbiasa
untuk bersaing adalah mereka masyarakat di perkotaan. Sementara apa yang
ditemukan oleh Durkheim di masyarakat desa adalah tidak adanya alternatif
11
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi,(Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2004), 135 12
I. B. Wirawan, teori – teori sosial dalam tiga paradigma (fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial), Jakarta: Prenada Media Group, 2012)., 17 - 20
13
Phiastrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Jakarta: Bina Cipta, 1983) 112
36
serta wujud kerja kolektif karena faktor terpencil dari masyaakat desa itu
sendiri. Oleh karenanya Durkheim memberikan istilah dengan sebutan
Solidaritas Solial Mekanik.
Adapun beberapa karakter Solidaritas Mekanik antara lain;
a. Memiliki ikatan lebih kuat ke daam dari pada di luar
b. Memiliki perhatian skala lokal dan berpusat pada kehidupan desa
dengan segenak sikap untuk menghindari pertentangan dan lebih
banyak bersatu dengan mereka yang sependapat (like minded)
c. Kekurangan individu dirasakan sebagai kekurangan masyarakat desa
secara keseluruhan.14
Dalam ulasan yang disampaikan oleh Durkheim: dari solidaritas yang ia
maksud adalah;
“kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama”15
Apa yang disebut oleh Durkheim dengan solidaritas sosial mekanik
adalah sistem komunikasi serta ikatan masyarakat yang memiliki rasa
perasaan yang sama, memiliki kecenderungan yang sama, masyarakat lebih
didominasi dengan keseragamaan atau homogen, dan jika diantara anggota
masyarakat itu ada yang hilang maka tidak memiliki pengaruh besar yang
berdampak pada diri kelompok masyarakat tersebut.
14
Jones, Pengantar Teori – Teori Sosial (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2009), 123 15
37
Pada kesempata lain Durkheim juga menjelaskan seperti apa ciri
masyarakat dengan karakter Solidaritas Mekanik;
“ciri masyarakat dengan solidaritas mekanik ini ditandai dengan adanya kesadaran kolektif, dimana mereka mempunyai kesadaran untuk hormat pada ketaatan karena nilai – nilai keagamaan yang masih sangat tinggi, taraf masyarakat yang masih sederhana, kelompok masyarakat yang tersebar, masing – masig anggota pada umumnya dapat menjalankan peran yang diperankan oleh orang lain, pembagian kerja yang belum berkembang dan hukuman yang terjadi bersifat represif yang dibahas dengan penghinaan terhadap kesadaran kolektif sehingga memperkuat kekuatan diantara mereka.”16
Sementara kriteria solidaritas kedua adalah, solidaritas organik. Sedikit
berbeda dengan solidaritas mekanik, solidaritas organik lebih cenderung
diaplikasikan oleh masyarakat yang sudah komplek. Masyarakat komplek
ditandai dengan adanya bayak ragam pembagian kerja yang teratur sehingga
disatukan dengan rasa saling ketergantungan antar anggota.17 Solidaritas
organik banyak ditemukan pada masyarakat perkotaan. Seperti karakter
pembagian kerja, maka masing – masing bagian dari komponen solidaritas
organik memiliki peran yang sama pentignya. Hal ini disebabkan apa yang
muncul dari masing bagian itu berbeda akan tetapi memiliki esensi
kepentingan yang sama.
Dalam solidaritas organik, meskipun memiliki aspek kepentingan yang
berbeda namun membentuk satu saling ketergantungan. Masing individu
tidak bisa lepas antar bagian satu dengan bagian yang lain. Hukum yang
16
James N Henselin, Sosiologi dengan pendekatan membumi,(Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006), 56.
17
38
berlaku dalam solidaritas organik adalah hukum restitutif18 yang berarti
menggantikan. Yang menjadi karakter dari solidaritas organik salah satunya
adalah hubungan yang berkaitan untuk menciptakan efisiensi kerja yang ada
di dalam masyarakat.
Karakter lain yang melekat adalah hubungan ini diaplikasikan oleh
masyarakat perkotaan atau masyarakat yang modern, tata kerja serta sistem
yang berjalan begitu profesional, jika ada satu anggota yang berhalangan
maka harus menemukan individu atau partner pengganti dibidangnya, dan
terakhir masing individu memiliki semangat kinerja yang tinggi dengan
mental individualistik dalam bekerja.19
Oleh karena karakter yang terdapat di solidaritas organik beda dengan
karakter mekanik, maka spesialisasi ahli yang ada di dalam solidaritas
organik menuntut peranan yang tersendiri untuk menciptakan hubungan
berkaitan dan saling membutuhkan. Karena jika ada satu bagian yang tidak
menjalankan atau tidak bisa memenuhi apa yang terdapat dalam sistem
solidaritas organik maka harus ada person lain untuk menggantikannya.
Untuk memberikan penilain permukaan antara perbedaan solidaritas
mekanik dan solidaritas organik dengan menggunakan objek jamaah
18
Dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif karena ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Hal yang berbeda terjadi pada masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis, hukum sering kali bersifat represif dimana pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Lihat George Ritzer, Teori Sosiologi; dari sosiologi kasik sampai perkembangan terakhir postmodern, terj. Saut Parasibu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) 151 - 152
19
39
pengajian misalnya. Maka akan kita temukan jika jamaah pengajian itu diisi
oleh pembicara sentral, memiliki simbol untuk menarik gerakan jamaahnya,
ada waktu khusus dan tertentu dalam pelaksanaannya menjadi karakter
permukaan yang dimiliki masyarakat atau kelompok pengajian mekanik.
Sementara jika kelompok pengajian tersebut terjadwal dengan rapi, pengisi
kajian tersebut fleksibel dan tidak tersentralkan, tidak ada simbol khusus yang
menandai pelaksanaan kajian tersebut. Maka secara permukaan kelompok
tersebut adalah kelompok pengajian organik.
Pertimbangan lain yang bisa ditarik dari dua karakter solidaritas ini
adalah, apa yang terdapat dalam kelompok kajian mekanik lebih homogen
komposisi masyaraatnya atau pengikutnya dibadingkan dengan kelompok
kajian organik yang lebih pada heterogen.20 Kelompok kajian mekanik
banyak didominasi oleh mereka yang berada di pedesaan, dimana
homogenitas masuk dalam berbagai faktor, semacam homogenitas ragam
pekerjaan, homogenitas kepercayaan, homogenitas ideologi, homogenitas
taraf kehidupan. Hal ini akan berbeda jika berdampingan dengan kelompok
pengajian organik, kelompok pengajian organik akan melepas karakter
homogenitas mereka, sehingga ragam taraf pekerjaan berbeda, heteregon
dalam ideologi, bahkan heterogen dalam kepercayaan juga muncul.21
20
Ibid, 146 21
40
Untuk melihat sisi lain apakah masyarakat itu memiliki pola solidaritas
mekanik atau organik bisa melalui konsekuensi hukuman yang mereka
terapkan. Karena apa yang Durkheim temukan dalam masyarakat solidaritas
mekanik hukuman yang berjalan adalah represif, dimana pelaku kejahatan
atau mereka yang melanggar aturan akan mendapatkan konsekuensi hukuman
secara bersama. Hukuman yang diterapkan dalam solidaritas mekanik adalah
untuk mepertahankan keutuhan, menumbuhkan kesadaran bersama.22
Sementara apa yang terdapat dalam masyarakat solidatritas organik
hukuman bersifat restitutif. Dimana substansi hukuman yang ada bertujuan
untuk memulihkan keadaan yang normal. Skap restitutif ini dikarenakan
komposisi masyarakat yang kompleks dan memiliki kepentingan indivu
masing – masing.
3. Pembagian Solidaritas Sosial
Dalam pembahasan di depan dijelaskan bagaimana solidaritas sosial itu
terbagi menjadi solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Emile Durkheim,
sebagai bapak solidaritas sosial, menaruh solidaritas ini dalam paradigma
Fakta Sosial. Dalam penjelasan fakta sosial yang memiliki indikator material
maupun non-material, indikasi tersebut bisa muncul dalam masyarakat yang
berlainan tipikal soldaritas berupa pembagian pos kerja, bagian ahli dalam
22