• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai pendidikan tauhid menurut Imam al-Ghazali serta implikasinya dalam pendidikan agama Islam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai pendidikan tauhid menurut Imam al-Ghazali serta implikasinya dalam pendidikan agama Islam."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI PENDIDIKAN TAUHID MENURUT IMAM AL-GHAZALI SERTA

IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SKRIPSI

Oleh:

ABDUL FATAH NIM. D01211035

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Abdul Fatah, D01211035, 2016. Nilai Pendidikan Tauhid Menurut Imam Al-Ghazali Serta Implikasinya Dalam PAI. Skripsi program studi pendidikan agama islam UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci: Nilai, Pendidikan Tauhid, Al-Ghazali, Pendidikan Agama Islam

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang nilai pendidikan tauhid menurut Al-Ghazali serta implikasinya dalam PAI. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dari beberapa pemikiran-pemikiran Al-Ghazali yang banyak

tercermin dalam beberapa karyanya terutama kitab Ihya’ Ulumuddin. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan observasi dan studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan analisis isi.

Secara umum pendidikan tauhid berarti suatu proses pendidikan yang didasarkan pada pengertian tauhid secara keseluruhan. Nilai pendidikan tauhid adalah konsepsi abstrak yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang tentang apa yang baik, benar, bijaksana dan yang berguna setelah dibimbing oleh pendidik secara bertahap sehingga berkembang seluruh potensi yang ada pada peserta didik untuk mengajarkan kepada sesamanya untuk berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk di sekelilingnya yang sesuai dengan ajaran Islam.

(8)

DAFTAR ISI

Cover Dalam ... i

Surat Pernyataaan Keaslian Karya ... ii

Lembar Pengesahan Pembimbing ... iii

Lembar Pengesahan Penguji ... iv

Lembar Persetujuan Publikasi ... v

Abstrak ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Definisi Operasional... 7

F. Batasan Masalah... 9

G. Metode Penelitian ... 9

H. Sistematika Pembahasan ... 15

(9)

2. Macam-macam Nilai ... 18 3. Pendekatan Penanaman Nilai ... 20 B. Pendidikan Tauhid

1. Pengertian Pendidikan Tauhid ... 22 2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Tauhid ... 22 3. Makna dan Nilai Dalam Pendidikan Tauhid ... 27 BAB III NILAI PENDIDIKAN TAUHID MENURUT IMAM AL-GHAZALI SERTA IMPLIKASINYA DALAM PAI

A. Biografi Imam Al-Ghazali

1. Latar Belakang Keluarga Imam Al-Ghazali ... 36 2. Karya-Karya Imam Al-Ghazali ... 39 3. Latar Belakang Pemikiran Imam Al-Ghazali ... 41 4. Karya Imam Al-Ghazali

B. Konsep Nilai dan Pendidikan Tauhid Dalam Pendidikan Agama Islam Menurut Imam Al-Ghazali.

1. Konsep Nilai Menurut Imam Al-Ghazali ... 49 2. Pendidikan Agama Islam Menurut Imam Al-Ghazali ... 50 3. Pendidikan Tauhid Menurut Imam Al-Ghazali ... 54 BAB IV Analisa

(10)

B. Implikasi Pendidikan Tauhid Dalam Pendidikan Agama Islam Menurut Imam Al-Ghazali ... 65 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan dalam dunia pendidikan Islam menjadi tanggung jawab bagi seluruh umat Islam terutama pada akademisi yang berkecimpung dan mempelajari pendidikan Islam. Berbagai teori dan penemuan melalui riset telah banyak ditemukan oleh tokoh dan pakar pendidikan Islam serta cendekiawan muslim di belahan dunia manapun, masing-masing mempunyai keunggulan dan karekateristik sendiri bagi wilayah territorial yang mereka temukan. Apalagi jika melihat proses perjalanan zaman hingga sekarang telah banyak terjadi pergeseran budaya, moral dan sebagainya yang menimbulkan kekhawatiran akan eksistensi pendidikan Islam.

(12)

2

yang sangat perlu diperhatikan menuju terwujudnya kualitas karakter bangsa yang diharapkan.

Sasaran pembangunan pendidikan di Indonesia adalah untuk mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotic, berdisiplin, kreatif, produktif, dan professional demi tetap mantapnya budaya bangsa yang beradap, bermartabat, kehidupan yang harmonis dan pada nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan di sekolah. Namun, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai keberagaman atau majemuk dalam berbagai pengertian mulai etnis, ras, keagamaan, maka secara otomatis mempunyai kerangka nilai yang berbeda-beda. Sehingga relative sulit untuk menemukan dan mengembangkan nilai-nilai universal yang merupakan nilai-nilai bersama.

Walaupun demikian, pendidikan yang mempunyai nilai universal dalam masyarakat merupakan proses belajar terus-menerus bagi semua orang dan semua golongan, karena hal ini sesuai dengan hadits :

اق ه ع ها يضر كلام نب سنأ نع

ملسو هيلع ها ىلص ها لوسر لاق ل

:

ىلع ةضيرف ملعلا بلط

ةملسم و ملسم لك

)

هجام نبإ اور

(

Dari Anas bin Malik RA. Berkata, Rasulullah SAW. Bersabda “Menuntut ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslimim dan muslimat” (H.r. Ibn Majah).1

1Aba ‘Abd’l

(13)

3

Sehingga pada kali ini penulis akan banyak memfokuskan pada pendidikan nilai dalam aspek agama (Islam) sesuai dengan bidang yang sedang ditekuni penulis dijurusan Pendidikan Islam, Sehingga ada sinergitas antara pendidikan nilai yang masih bersifat universal tersebut dengan pendidikan Islam.

Berbicara tentang Pendidikan Islam, kita tidak bisa melepaskan dari struktur bangunan Islam itu sendiri. Islam sendiri mempunyai kepentingan dan komitmen untuk menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai landasan dan praktik dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mempunyai landasan tauhid ini adalah pendidikan yang mempunyai landasan kuat terhadap nilai ilahiayah (teologi) sebagai acuan normative-etis dan nilai-nilai insaniah dan alamiah sebagai acuan praksis.2

Sehingga dari pandangan ini, tauhid tidak dijadikan sebagai “materi pelajaran” tetapi lebih sebagai system ataupun konsep yang mendasari keseluruhan

system pendidikan Islam. Dengan kata lain tauhid akan menjadi basis yang melandasi keseluruhan aktivitas dari proses pendidikan Islam. Seperti dalam Al-Qur’an : 











...

2
(14)

4

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang

lurus…” (QS. Al-Bayyinah : 5) 3

Karena subyek utama dalam pendidikan adalah manusia, maka dengan tauhid ini pendidikan hendak mengarahkan anak didik menjadi “manusia tauhid”, dalam arti manusia yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap Tuhannya dan menjaga hubungan baik dengan sesama dan lingkungannya.4 Oleh karena itu pendidikan Islam harus dibangun atas landasan yang kuat dan benar dari pandangan dunia tauhid.

Dalam makna lain, tujuan pendidikan Islam adalah proses sesuatu yang terikat oleh nilai-nilai ketuhanan (teistik) atau ketauhidan. Karena itu, pemaknaan pendidikan merupakan perpaduan antara keunggulan spiritual dengan cultural. Dengan demikian, budaya akan berkembang dengan berlandaskan nilai-nilai agama, yang mana pada gilirannya akan melahirkan hasil cipta, karya, rasa dan karsa manusia yang sadar akan nilai-nilai ilahiah (keimanan-ketauhidan).5

Kesadaran tinggi akan keberagamaan yang mengkristal dalam pribadi orang yang beriman dan bertaqwa adalah wujud dari kepatuhannya terhadap Allah SWT. Kepatuhan ini dilandasi oleh keyakinan dalam diri seseorang mengenahi pentingnya seperangkat nilai religius yang dianut. Karena kepatuhan maka niat,

3 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, CV. Karya Insan Indonesia, 2004, hlm.207 4

Muh.Irfan, op.cit. h.x

5

(15)

5

ucapan, tindakan, perilaku dan tujuan senantiasa diupayakan berada dalam lingkup nilai-nilai yang diyakini. Apabila hal ini dikaitkan dengan pendidikan Islam maka akan mempunyai peran yang sangat signifikan dalam pencapaian tujuan dari pendidikan Islam.

Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi pada penulis untuk lebih jauh mengungkap pendidikan yang sarat akan nilai-nilai luhur, karena sesuai dengan bidang yang sedang ditekuni oleh penulis adalah pendidikan Islam maka kajian tentang nilai ini kemudian dispesifikkan atau dikhususkan pada aspek nilai ketauhidan, yang sekaligus sebagai landasan dalam pengembangan pendidikan Islam. Sehingga penulis memberi judul penulisan ini dengan judul: ‘’NILAI PENDIDIKAN TAUHID MENURUT IMAM

AL-GHAZALI SERTA IMPLIKASINYA DALAM PAI’’.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pusat perhatian dalam sebuah penelitian. Untuk itu, sesuai latar belakang masalah sebagaimana di jabarkan di atas, maka masalah penelitian ini adalah berusaha menjawab persoalan tentang :

(16)

6

C. Tujuan Penelitian

1. Penulis ingin mengetahui bagaimana pemikiran Al Ghazali tentang Pendidikan Tauhid.

2. Mengetahui implikasi Pendidikan Tauhid menurut pemikiran Al Ghazali.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna: 1. Secara teoritis:

a. Memberikan kontribusi keilmuan dalam bidang Pendidikan Islam terutama berkaitan dengan pemikiran Al Ghazali dalam bidang Pendidikan Tauhid. b. Mengkaji pemikiran Al Ghazali dalam bidang Pendidikan terutama ilmu

tauhid karena dengan mengkaji nilai serta implikasinya, maka dapat dijadikan sebagai modal untuk kemudian diterapkan dalam perkembangan pendidikan dan masyarakat saat ini dan kemudian hari.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan bangunan ilmu pengetahuan dan mengembangkan Pendidikan Agama Islam. Khususnya di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dan masyarakat Indonesia umumnya.

(17)

7

a. Sebagai bahan bacaan dan referensi bagi peneliti berikutnya terkait gagasan-gagasan Al Ghazali.

b. Hasil rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah dan masyarakat.

E. Definisi Operasional

Untuk lebih memudahkan dalam memahami penggunaan istilah dalam penelitian ini, akan dijelaskan beberapa istilah sebagai penjelasan agar nanti tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan dan memahami berbagai istilah tersebut. Istilah-istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Nilai adalah Harga yang diberikan terhadap sesuatu berdasarkan keyakinan ataupun norma dan standarisasi yang berlaku dalam sebuah komunitas. Bisa berupa keharusan, larangan atau anjuran.

2. Pendidikan Tauhid, berarti suatu pendidikan yang diarahkan kepada Tauhid, sedangkan tauhid secara terminologis, mempunyai artian keesaan (berasal dari kata wahida yang berarti satu atau esa). Secara religius, tauhid mempunyai artian pengakuan atas keesaan Tuhan, keyakinan atas “kehadiran” peran

(18)

8

tanpa diikuti eksistensi pelaksanaan praktis.6 Tauhid pun tidak hanya terbatas pada definisi serta perdebatan golongan filosof dan teolog, mengenai inti pokok ketuhanan dalam islam, tetapi tauhid lebih kepada keyakinan serta pengalaman religius yang mampu melingkupi wilayah transenden dan praktis sekaligus secara bersamaan tanpa adanya konflik.

3. Implikasi dalam Kamus Filsafat adalah mengandung dampak atau pengaruh terhadap sesuatu.7

4. Pendidikan Islam, menurut Zakiah Darajat adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itui sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.8

Dalam konsep Islam tentang tauhid ini sebenarnya sudah terformulasi secara sederhana dalam kalimat lailaha illa Allah tiada illah (tuhan) kecuali Allah (Tuhan) atau yang lebih dikenal dengan shahadat, kalimat persaksian akan adanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan.

Diskursus tentang ketauhidan ini akan banyak disingungkan dengan aspek kemanusiaan atau dalam aspek wilayah antropo-sosiologis dan

6

Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid,Bandung: Pustaka, 1988.h.1

7

Tim Penyusun Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 155.

8

(19)

9

kosmologisnya dengan tetap berpegangan pada makna dari tauhid sendiri yang berarti mengesakan Allah meliputi segala pengesaannya, kesatuan Tuhan dan kesatuan kebenaran.

F. Batasan Masalah

Agar tidak terjadi mis-undertansding atau salam pemahaman dalam memahami hasil dari penulisan ini nanti, maka penulis perlu untuk menjelaskan batasan pembahasannya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan mengungkapkan nilai pendidikan yang mana didalamnya mencakup tentang nilai-nilai religius spiritual yang didalamnya terkandung nilai religius-teistik (ketauhidan) yang didasarkan dalam pengertian tasawuf. Kemudian pendidikan nilai disini akan disinergiskan dengan pendidikan agama Islam, yang didalamnya juga dilandasi oleh nilai ketauhidan.

Sehingga pada akhirnya penulisan ini adalah mengungkap bagaimana nilai ketauhidan (religius-spiritual) yang kemudian diterapkan dalam kehidupan manusia atau aspek kemanusian (antropo-sosiologis). Dari sini diharapkan bahwa nilai ketauhidan mampu memberi landasan yang kuat bagi seseorang (muslim) dalam kehidupan sehari-harinya dengan akhlak ataupun moral yang bagus.

(20)

10

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research). Berpacu pada definisi penelitian kepustakaan sendiri ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.9Iskandar menjelaskan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berpegang pada paradigma naturalistik atau fenomenologi10. Ini karena penelitian kualitatif senantiasa dilakukan dalam setting alamiah terhadap suatu fenomena.11 Lebih jauh Sugiyono menjelaskan penelitian kualitatif digunakan untuk kepentingan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah untuk meneliti sejarah perkembangan kehidupan seorang tokoh atau masyarakat akan dapat dilacak melalui metode kualitatif. Dengan menggunakan data dokumentasi, wawancara mendalam kepada pelaku atau orang yang dipandang tahu.12 Berkaitan dengan judul skripsi ini Nilai Pendidikan Tauhid menurut Imam Al-Ghazali serta implikasinya dalam PAI maka tokoh yang diteliti adalah Imam Al-Ghazali.

2. Pendekatan Penelitian

9

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), Cet. Ke- 3, h. 3.

10

Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2002), hlm. 9.

11

Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kualitatif dan Kuantitatif), (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), hlm. 187-188.

12

(21)

11

Penelitian ini tergolong penelitian pustaka atau literer, maka penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan pendekatan deskriptif13 analitis, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan data secara kuantitatif. 3. Sumber yang Digunakan

Karena penelitian ini adalah kajian kepustakaan maka sumber data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.14 Jadi secara tidak lansung karya yang ditulis oleh tokoh tersebut disebut juga dengan data utama (primer). Sedangkan sumber data bantu atau tambahan (sekunder) adalah kajian-kajian yang berkaitan dengan tema ini.

a. Sumber Primer

1. Ahmad Syamsudin, Kehidupan, Riwayat, dan Falsafah Alghazali. Darul Kitab Ilmiah, Lebanon, 1990.

2. Al-Ghazali, Neraca Kebenaran.Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003.

3. Al-Ghazali, Ringkasan Ajaran Tasawuf.Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003. 4. Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin.Gitamedia Press, Yogyakarta,

2003.

13

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2002),hlm.6

14

(22)

12

5. Abidin Ibn Rusyn, pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1998

b. Sumber Sekunder

1. Mujamil Qomar, Epistemologi pendidikan Islam, Erlangga, Jakarta, 2005.

2. Muhammad Zaini, membumikan Tauhid, Pustaka Ilmu,Yogyakarta, 2011)

3. Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015.

4. Syafi’I Ma’arif, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1995)

5. Dan referensi lainya yang berkaitan dengan judul yang penulis angkat.

4. Teknik Pengumpulan Data

(23)

13

rapat, leger, dan sebagainya.15 penulis juga menggunakan teknik pengumpulan yang merujuk sumber primer baik sumber itu ditulis langsung oleh Al-Ghazali maupun sumber-sumber sekunder terkait kajian orang lain yang membahas pemikiran tokoh yang penulis angkat dalam penelitian ini.

Disamping dokumenter teknik pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode:

a) Reading, yaitu dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur yang berkenaan dengan tema penelitian.

b) Writing, yaitu mencatat data yang berkenaan dengan penelitian.

c) Editing, yaitu pemeriksaan data secara cermat dari kelengkapan referensi, arti dan makna, istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan dan semua catatan data yang telah dihimpun.

d) Untuk semua data yang dibutuhkan agar terkumpul, maka dilakukan analisis data yang bersifat kualitatif yang bermaksud mengorganisasikan data. Setelah data terkumpul, maka proses analisis data dimulai dari menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.16

5. Teknik Analisis Data

Adapun tehnik analisis data dari penelitian ini adalah menggunakan instrument analisis deduktif dan content analysis atau analisa isi. Dengan menggunakan analisis deduktif, langkah yang penulis gunakan dalam penelitian

15

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 206.

16

(24)

14

ini ialah dengan cara menguraikan beberapa data yang bersifat umum yang kemudian ditarik ke ranah khusus atau kesimpulan yang pasti.17 Sedangkan content analysis penulis pergunakan dalam pengolahan data dalam pemilahan

pembahasan dari beberapa gagasan atau yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikelompokan dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya penulis pergunakan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.18

Maksud penulis dalam penggunanaan teknik Content analisis ialah untuk mempertajam maksud dan inti data-data yang menyangkut pemaknaan dan mencari arti diangkat dari intensitas kejadiannya,19 sehingga secara langsung memberikan ringkasan padat tentang fokus utama konsep pemikiran Al-Ghazali, analisis ini penting untuk dijadikan rambu-rambu agar uraian yang ditulis dalam penelitian ini tidak jauh melebar dari fokus inti pembahasan.

17

Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. Ke- 10, h.18.

18

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, hlm. 103.

19

(25)

15

H. Sistematika Pembahasan

BAB I : Pendahuluan yang berisikan tentang, latar belakang, alasan memilih judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian meliputi: (jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data dan teknik analisa data, sistematika pembahasan.

BAB II : Kajian Pustaka yang berisi tentang nilai dan pendidikan tauhid.

BAB III : Pemaparan Hasil Penelitian yang berisi tentang biografi dan riwayat Imam Al-Ghazali serta pemikirannya

BAB IV : Analisa yang berisi tentang nilai dan implikasinya.

(26)

16

BAB II

Konsep Nilai dalam Pendidikan Tauhid

A. Nilai

1. Pengertian Nilai

Nilai diuraikan dalam dua gagasan yang saling berseberangan. Di satu sisi, nilai dibicarakan sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai produk, kesejahteraan dan harga, dengan penghargaan yang demikian tinggi pada hal yang bersifat material. Sementara di lain hal, nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang tak terukur dan abstrak itu antara lain keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian, dan persamaan. Dikemukakan pula, sistem nilai merupakan sekelompok nilai yang saling berkaitan satu dengan lainnya dalam sebuah sistem yang saling menguatkan dan tidak terpisahkan. Nilai-nilai itu bersumber dari agama maupun dari tradisi humanistik. Karena itu perlu dibedakan secara tegas antara nilai sebagai kata benda abstrak dengan cara perolehan nilai sebagai kata kerja. Dalam beberapa hal sebenarnya telah ada kesepakatan umum secara etis mengenai pengertian nilai, walaupun terdapat perbedaan dalam memandang etika perilaku.

(27)

17

yang komplek dan sulit ditentukan batasannya. Bahkan, karena sulitnya itu Kosttaf, memandang bahwa nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat

didefinisikan, tetapi hanya dapat dialami dan dipahami secara langsung.1

Aneka ragam pengertian nilai yang telah dihasilkan oleh sebagian dari para ahli sengaja dihadirkan dalam bahasan ini dalam rangka memperoleh pengertian yang lebih utuh.

Gazalba menjelaskan bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, bukan benda kongkrit, bukan fakta, bukan hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak di kehendaki, disenangi dan tidak disenangi.2

Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan ciri-ciri individu atau kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, definisi itu memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dalam pengertian yang lebih spesifik andaikata dikaji secara lebih mendalam. Namun Brameld dalam bukunya tentang landasan-landasan budaya pendidikan hanya mengungkapkan enam implikasi penting, yaitu: (1) Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logic dan rasional) dan proses atektik (ketertarikan atau penolakan menurut kata hati); (2) Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna apabila diverbalisasi; (3) Apabila hal itu berkenaan dengan budaya,

1

Thoha Chatib. Kapita Selekta Pendidikan Islam.( Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hlm.61

2

(28)

18

nilai diungkapkan dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok; (4) Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa nilai pada dasarnya disamakan (equated) dari pada diinginkan, ia didefinisikan berdasarkan keperluan sistem kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial; (5) Pilihan diantara nilai-nilai alternatif dibuat dengan konteks ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends); dan (6) Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang disadari.3

Dari beberapa pengertian tentang nilai di atas dapat difahami bahwa nilai itu adalah suatu kualitas tertentu yang mempunyai keberhargaan yang harus diapresiasikan dan dimiliki manusia, baik individu maupun sosial. Nilai tersebut bersifat normatif, objektif dan universal, yang merupakan cita-cita kehidupan baik individual maupun komunal.4

2. Macam-macam Nilai

Nilai jika dilihat dari segi pengklasifikasian terbagi menjadi bermacam-macam, diantaranya:

a. Dilihat dari segi Sumbernya maka nilai terbagi menjadi dua, yaitu Nilai yang turun bersumber dari Allah SWT yang disebut dengan nilai

3

Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 8-11.

(29)

19

ilahiyyah dan nilai yang tumbuh dan berkembang dari peradaban manusia sendiri yang disebut dengan nilai insaniah. Kedua nilai tersebut selanjutnya membentuk norma-norma atau kaidah-kaidah kehidupan yang dianut dan melembaga pada masyarakat yang mendukungnya.5 b. Kemudian didalam analisis teori nilai dibedakan menjadi dua jenis nilai

pendidikan yaitu:

1. Nilai instrumental yaitu nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain.

2. Nilai instrinsik ialah nilai yang dianggap baik, tida untuk sesuatu yang lain melainkan didalam dan dirinya sendiri.

Nilai instrumental dapat juga dikategorikan sebagai nilai yang bersifat relatif dan subjektif , dan nilai instrinsik keduanya lebih tinggi daripada nilai instrumental.

c. Sedangkan nilai dilihat dari segi sifat nilai itu dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Nilai Subjektif adalah nilai yang merupakan reaksi subjek dan objek. Hal ini sangat tergantung kepada masing-masing pengalaman subjek tersebut.

2. Nilai subjektif rasional (logis) yakni nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang dapat diketahui melalui akal sehat,

5

(30)

20

seperti nilai kemerdekaan, nilai kesehatan, nilai keselamatan, badan dan jiwa, nilai perdamaian dan sebagainya.

3. Nilai yang bersifat objektif metafisik yaitu nilai yang ternyata mampu menyusun kenyataan objektif seperti nilai-nilai agama.

3. Pendekatan Penanaman Nilai

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) yaitu suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pendekatan penanaman nilai ini memiliki dua tujuan yaitu diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh peserta didik, dan berubahnya nilai-nilai peserta didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan mengarahkan pada perubahan yang lebih baik.

Ada beberapa pendekatan penanaman nilai yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran, antara lain yaitu pendekatan: pengalaman, pembiasaan, emosional, rasional, fungsional, dan keteladanan.

Pertama, pendekatan pengalaman. Pendekatan pengalaman merupakan proses penanarnan nilai-nilai kepada siswa melalui pemberian pengalaman langsung. Dengan pendekatan ini siswa diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman spiritual baik secara individual maupun kelompok.

(31)

21

dan berlaku begitu saja tanpa dipikirkan lagi. Dengan pembiasaan pembelajaran memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan konsep ajaran nilai-nilai universal, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, pendekatan emosional. Pendekatan emosional adalah upaya untuk menggugah perasaan dan emosi siswa dalam meyakini konsep ajaran nilai-nilai universal serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Keempat, pendekatan rasional. Pendekatan rasional rnerupakan suatu pendekatan mempergunakan rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran nilai-nilai universal yang di ajarkan

Kelima, pendekatan fungsional. Pengertian fungsional adalah usaha menanamkan nilai-nilai yang menekankan kepada segi kemanfaatan bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkatan perkembangannya.

(32)

22

B. Pendidikan Tauhid

1. Pengertian Pendidikan Tauhid

Pendidikan tauhid adalah proses pendidikan yang berorientasi pada tauhid. Sedangkan pengertian tauhid, dilihat dari segi Etimologis yaitu berarti

”Keesaan Allah”, mentauhidkan bearti mengakui keesaan Allah, mengesakan

Allah.6Mempercayai bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pencipta, pemelihara, penguasa, dan pengatur Alam Semesta.7

Definisi tauhid secara tasawuf adalah sikap mengesakan Allah dalam segala aspeknya yang didasarkan pada keadaan empiris. Bertauhid kepada Allah adalah tidak menjadikan sesuatu selain-Nya untuk dijadikan tempat bersandar didalam hidup ini.8 Sedangkan tauhid dalam ilmu kalam adalah pembahasan tentang sifat-sifat yang wajib ada pada Allah.

Demikianlah pengertian tauhid yang intinya adalah keyakinan akan Esa-nya ketuhanan Allah SWT, dan ikhlasEsa-nya peribadatan haEsa-nya kepada-Nya, dan keyakinan atas nama-nama serta sifat-sifat-Nya.

2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Tauhid

Dalam konteks pengembangan umat, tauhid berfungsi mentransformasikan setiap individu agar menjadi manusia yang lebih ideal

6

Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989) hal. 907.

7

Abdul Latief, M. Alu, DR. Abdul Aziz. Pelajaran Tauhid Untuk Tingkat Lanjutan, (Jakarta: Darul Haq, 1998) hal. 9.

8

(33)

23

dalam arti memiliki sifat-sifat mulia yang membebaskan dirinya dari setiap belenggu sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Adapun fungsi dan tujuan pendidikan tauhid adalah:

1. Membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk. Sampai sekarang masih banyak manusia, termasuk umat muslim yang cenderung mengikuti tradisi dan keyakinan nenek moyangnya. Tidak hanya itu, mereka juga banyak yang menyerah dan tunduk begitu saja kepada para pemimpin mereka, tanpa daya pikir kritis serta keberanian untuk mengkritik. Padahal Al- Qur’an telah mengingatkan bahwa orang- orang yang tidak bersikap kritis terhadap para pemimpin mereka akan kecewa dan mengeluh di hari akhir.

Firman Allah SWT SWT dalam Al-Qur’an :

                                

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula)

(34)

24

mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka

menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Q.S Al Ahzab : 66-67)9

Fungsi ini dirujukkan pada kalimat “LaailaahaillAllah” ( tidak ada Tuhan

selain Allah). Kalimat ini merupakan kalimat pembebasan bagi manusia. Dengan mengucapkan “ tidak ada Tuhan selain Allah” berarti seorang muslim telah memutlakkan Allah SWT Yang Maha Esa sebagai Kholiq, maka umat muslim

mengemban tugas untuk melaksanakan “tahrirunnasi min ‘ibadatil ‘ibad ila

‘ibadatillahi ” atau membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia

kepada menyembah Allah SWT semata.

2. Menjaga manusia dari nilai-nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan-kesenangan sensual belaka. Suatu kehidupan yang didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan, dan penumpukan kekayaan dapat mengeruhkan akal sehat dan menghilangkan pikiran jernih. Sebenarnya telah dengan tajam Al- Qur’an menyindir orang-orang seperti dalam Al-Qur’an :

                                                  

(35)

25

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa

nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara

atasnya?,Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar

atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan

mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.S Al Furqan: 43 -44)10

3. Sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Maksudnya ialah bahwa tauhid menjadi kerangka pemikiran dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Sehingga manusia tidak melampaui batas dalam pemahaman suatu keilmuan yang membuat dirinya lalai dan merasa benar hingga akhirnya membawa mereka kepada kesombongan yang pasti berakhir dengan kehancuran. Contoh Hitler dengan tentara Nazinya, dengan ilmunya Hitler merasa bahwa gagasan yang dia miliki mampu membawa umat manusia menuju peradaban yang lebih maju, namun karena ilmu tersebut tidak dilandasi dengan Aqidah, maka yang terjadi adalah kehancuran rezim yang dimilikinya.

4. Sebagai pondasi keimanan yang juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten. Dengan menjadikan tauhid sebagai pegangan dalam hidup, serta merealisasikan perintah yang ada, maka akan terwujud suatu

10

(36)

26

kebahagiaan serta kedamaian hidup yang tak terhingga. Karena telah di tancapkan dalam hati bahwa tidak ada yang memiliki kekuatan maupun kekuasaan selain Ilahirabbi.

5. Mengajarkan kepada umat islam supaya menjadikan Allah SWT sebagai pusat kesadaran intelektual mereka. Dengan kata lain, kita meyakini bahwa semua aktivitas yang kita lakukan maupun kejadian yang terjadi merupakan atas kehendak Allah SWT, semua itu telah diatur dengan sempurna oleh-Nya. Karena Dia lah pemilik seluruh isi alam ini, Dia mengetahui segala hal yang ghoib (abstrak) maupun yang dzohir, yang tersembunyi maupun yang tampak, Dia lah Tuhan yang patut untuk disembah dan tiada Tuhan selain Dia. Dengan demikina akan terwujud keyakinan yang kukuh dan konsekuen, sehingga tidak mudah terombang- ambing oleh perkembangan zaman dan tidak terpengaruh keyakinan yang menyesatkan.

(37)

27

3. Makna dan Nilai Dalam Pendidikan Tauhid

Pendidikan Islam tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai tauhid karena hakikat ilmu bersumber dari Allah. Dia mengajari manusia melalui al-qalam dan

al-‘ilm. Al-qalam adalah konsep tulis-baca yang memuat simbol penelitian dan

eksperimentasi ilmiah. Sedangkan al-‘ilm adalah alat yang mendukung manusia untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Melalui konsep

tarbiyyah, ta‘līm dan ta’dīb yang telah dikembangkan selama ini oleh para ahli

semuanya mengacu kepada bagaimana membina umat manusia untuk berhubungan dengan Allah.

Dapat dipastikan bahwa essensi dari peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan essensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, yang kemudian terformulasikan dalam kalimat shahadat. Tauhid adalah yang memberikan identitas pada peradaban Islam, mengikat semua unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsure-unsur tersebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang kita sebut sebagai peradaban. Karenanya berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan fondamen dari keseluruhan kesalehan.11

Bentuk dari persaksian seorang muslim adalah “kalimat thoiyibah” La

illaha illa Allah yang kemudian terformulasikan kedalam kalimat sahadat ashadu an Lailaha illa Allah wa ashadu anna Muhammad al Rosulullah (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Kalimat yang sederhana namun mempunyai makna yang

11

(38)

28

sangat fundamental dalam kehidupan seorang muslim. Kalimat yang menjadikannya masuk dan diakui sebagai seorang Muslim dan mengantarkannya kepada Allah dalam keadaan tunduk patuh kepada-Nya. Kalimat ini adalah ruh hidup dan matinya seorang muslim.

Melihat pengertian Lailaha illa Allah ini dapat difahami bahwa seluruh orientasi kehidupan seseorang Muslim adalah Allah. Namun persaksian yang benar dalam Islam tidak cukup hanya berhenti pada ucapan lisan dan pembenaran hati, begitu juga tidak hanya dengan memahami makna secara benar, tetapi harus disertai dengan mengamalkan segala ketentuannya, baik secara lahiriah maupun bathiniyah. Dengan Laillaha illa Allah seorang muslim tidak hanya meniadakan sesembahan selain Allah, tetapi sekaligus menetapkan sesembahan bagi Allah semata. Kalimat tauhid ini mencakup loyalitas dan bersih diri serta al nafy atau menegasikan kepada tuhan- tuhan lain dan afirmasi kepada Tuhan yang satu (Allah).

(39)

29

Setidaknya ada tiga makna dalam pemahaman Tauhid, yang pertama adalah, tauhid melahirkan pengakuan pada kenyataan bahwa hanya ada satu Tuhan yang menciptakan, yang memelihara segala sesuatu yang menjaga dunia. Karenanya, segala bentuk kemusrikan tidak dibenarkan dan amat bertentangan dengan faham tauhid. Yang kedua adalah, Tuhan memiliki sifat-sifat unik, suatu sifat yang tidak dimiliki oleh sesuatu selain Dia. Sedangkan aspek ketiga adalah, tauhid mengarahkan manusia pada tujuan hidup yang lebih jelas.12

Dalam perspektif ini, pemahaman terhadap tauhid mengantarkan kita untuk lebih memahami konsep rubbubiyah Allah dan ulluhiya-Nya. Rubbubiyah Allah adalah mengesakan Allah sebagai satu-satunya pencipta segala yang ada dan akan ada, sedangkan tauhid ulluhiyah adalah suatu pernyataan tegas dari hamba-Nya yang menyatakan bahwa Dialah al-Haq, Tiada Tuhan selain Allah, sehingga seringkali tauhid ulluhiyah disebut juga tauhid ibadah.

a. Tauhid Rububiyah

Konsep ini mengandung pengertian bahwa Allah adalah pelaku mutlak dalam setiap kejadian, misalnya penciptaan, pengaturan, perubahan, penambahan, pengurangan, menghidupkan dan mematikan dll. Konsep tauhid ini lebih menekankan kepada wujud Tuhan dan atau eksistensi Tuhan yang biasanya diikuti dengan penyebutan sifat-sifat Tuhan lainya. Dengan kata lain tauhid rubbubiyah yang menyangkut tauhid tentang dzat Tuhan (Allah) dan penciptaan

12

(40)

30

sebagaimana diungkapkan oleh Ja’far Subhani yang disinyalir dari pemikiran

Muhammad abdul Wahab (pendiri faham Wahabiyah).13

Konsep rububiyah seperti ini oleh kalangan ulama dan oleh kalangan intelektual kalangan muslimin selalu di hubungkan dengan teologi (tauhid) asyariah yang cenderung bersifat fatalistik. Sehingga tauhid yang seperti ini terasa jauh dari dunia praktis, dalam dunia problematika kemanusiaan bahkan terasa steril dan mandul. Sebab pemahaman tauhid yang seperti ini tidaklah membuahkan gairah hidup (lan vital) tidak melahirkan kekuatan batin baik moral maupun spiritual.

Meskipun begitu, tauhid asyariah yang diatas harus mendapat penilain positif. Dalam perspektif sejarah teologi tersebut menurut max weber sebagaimana yang telah dikutip oleh Asghar Ali Engineer, teologi seperti ini masih mampu untuk menumbuhkan karakter kepribadian berwiraswasta yang tangguh. Rahasianya adalah seorang jabariah (fatalistik) justru terdorong untuk mencari takdir tuhan dengan mengembangkan sifat-sifat yang luhur. Ketika ia menjalankan yang dianggapnya sebagai perintah tuhan ia merasa dirinya sebagai orang yang terpanggil. Inilah yang menimbulkan karakter kepribadian disiplin, kerja keras, hemat sebagi dasar otak kewiraswastaan (kemandirian).14

Dengan demikian konsep tauhid rububiyah erat juga dengan kaitanya ayat-ayat kauniyyah dan berbagai sunnatullah atau hukum alam yang sudah pasti

13

M. dawam Raharjo, Intelektual-Intelegensia Dan Perilaku Politik Bangsa:Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan,1993.h.432

14

(41)

31

rasional dan konsisten. Dengan perkataan yang sederhana melalui tauhid rubbubiyah ini manusia diajarkan berfikir rasional, impiris, matematis dengan jalan observasi dan eksperiment.

Dalam kaitanya dengan pendidikan dapat kita lihat pada wahyu allah yang diturunkan pertama kali yakni surat al-alaq 1-5.15 Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa tuhan yang pertama kali ditampilkan dalam al-Quran menggunakan kata” rab” sebagai pencipta manusia. Kemudian dilanjutkan dengn

keterangan sebab kemuliaannya yang megajarkan manusia untuk menulis dan mempergunakan kalam, yang dahulu disebut sebagai pena, dalam konteks sekarang bias juga disebut sebagai alat komunikasi.

b. Tauhid Ulluhiyah

Tauhid ulluhiyah adalah tauhid yang menjelaskan tentang perlunya atau keharusan untuk beribadah hanya untuk tuhan. Tauhud ulluhiyah mengajarkan pada manusia bersifat bebas, sikap kritis tanpa memandang siapa diatasnya, selain Allah. Dari sini timbul sifat keberanian untuk mengatakan yang benar dalam rangka mengkritisi setiap keadaan yang berbentuk ritus, kultus, rasialisme dan otoriterisme.

Pendidikan sebagai upaya pengembangan dan pembentukan karater manusia, maka manusia perlu diberi pengertian, dilatih ketrampilanya, dikembangkan persepsinya mengenai moralitas, dan dibentuk kepribadianya baik

15

(42)

32

langsung maupun tidak langsung serta diberi pengertiaan tentang asal usul dan tujuan hidup berdasrkan keimanan keesaan Allah.16

Dalam konsep tauhid uluhiyah (transendensi Tuhan) adalah urusan semua orang. Islam menegaskan Tuhan telah menciptakan semua manusia dalam keadaan mampu mengenal-nya dalam transendensi-nya. Ini adalah anugrah bawaan manusia sejak lahir, suatu fitrah atau sensus communis, yang dimiliki oleh semua orang. Keadaananya adalah seperti suatu fakultas dengan nama manusia mengenal ultimasi, keesaan dan transendensi tuhan. Islam dengan demikian tidak menerima diskriminasi ala hindu antara orang-orang yang berhak merenungkan yang mutlak dalam transendensi-nya dan lain atau berhala-berhala. Karena pengakuan transendensi tuhan adalah suatu yang melekat dalam diri manusia dan karenanya merupakan hal yang sudah semestinya, maka Islam menisbatkan semua penyimpangan dari pengakuan tersebut kepada factor pendidikan dan sejarah. Ke alpaan, kemalasan mental, hawa nafsu dan kepentingan pribadi, menurut Islam, adalah sebab-sebab penyimpangan semacam itu yang diturunkan dari satu budaya ke budaya lainya, dari generasi ke generasi berikutnya.17

Inilah penegasan pertama dari pernyataan Islam yang menyatakan bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang harus difahami oleh para kaum muslimin

sebagai pengingkaran terhadap setiap sekutu Tuhan dalam kepenguasaan dan kehakimanNya atas alam semesta, dan juga sangkalan terhadap kemungkinan

16

Al-Qur’an dan Terjemah.Op Cit., surat adz-zariat ayat 56

17

(43)

33

bagi setiap makhluk untuk merepresentasikan, mempersonifikasikan, atau dengan cara apa pun untuk mengungkapkan wujud Ilahi. Jadi, dengan tauhid uluhiyah, tujuan hidup manusia diperjelas. Manusia tidak patut untuk tunduk mengabdi kepada selain Allah. Inilah yang mengankat dan memelihara derajat manusia, sebagai kholifah di muka bumi.

Percaya kepada rububiyah Allah harus disertai dengan percaya pada uluhiyahNya karena antara tauhid rububiyah dan ulluhiyah tidak bisa dipisahkan. Inilah alasan mengapa orang-orang musrik yang menyatakan beriman kepada Allah itu tidak dapat dikatakan orang yang bertauhid, karena mereka bertauhid hanya pada aspek rububiyahnya dan tidak disertai dengan uluhiyahnya.

Allah adalah tujuan akhir, yakni akhir dimana semua kaitan berakhir dan berhenti. Setiap tujuan dikejar untuk dilanjutkan dengan tujuan yang kedua pada giliranya dilanjutkan oleh tujuan ketiga dan seterusnya sampai menuju tujuan yang terakhir.











“dan sesungguhnya kepada Tuhamulah kesudahannya (segala sesuatu)”

(QS.An-Najm : 42)

(44)

34

unik (tersendiri) mukholafatu lil khawadist. Karena itu jika tidak, tentu akan timbul masalah mengenai prioritas atau ultimasi yang satu atas yang lainya. Sudah menjadi sifat dari suatu tujuan akhir bahwa dia itu unik, sebagaimana halnya unik menjadi sifat dari suatu sebab akhir.

Untuk mengetahui kehendak Tuhan, maka manusia memerlukan sesuatu pengetahuan yang lebih dari kapasitas manusia, karena manusia sendiri masih bersifat nisbi sedangkan Tuhan adalah absolute-mutlak. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi dalam melakukan pendekatan terhadap Tuhan, namun tidak bertentangan dengan akal, insting dan indra manusia. Sesuatu yang diperlukan itu adalah wahyu yang dalam Islam terkumpul dalam satu kompilasi Al-Qur’an, suatu pengungkapan langsung mengenai apa yang diinginkan Tuhan agar diwujudkan oleh manusia dimuka bumi.

Pengalaman “ketauhidan” dalam Islam mempunyai konsekwensi besar

(45)

35

haruslah merupakan pengakuan yang bebas dan merupakan keputusan pribadi setiap orang.

Islam mengajarkan bahwa Allah menjadi inti dari pengalaman religius sekaligus “tujuan akhir” dimana semua tujuan tertuju dan berakhir. Dari inti

pengertian pengalaman religius ini, tauhid menghendaki adanya dialektika antara keyakinan (yang masuk dalam wilayah transendental) dan pelaksanaan (yang masuk dalam wilayah praktis). Tauhid pun akhirnya menuntut adanya metodologi yang mampu mengaktivasi keyakinan menjadi kenyataan praktis dimana nilai-nilai sakral-transendentral pun mampu membumi menjadi nilai nilai natural-humanis-logis.

Tidak ada keraguan lagi bahwa inti peradaban Islam adalah “Islam” itu

(46)

36

BAB III

PEMAPARAN HASIL PENELITIAN

A. Biografi Imam Al-Ghazali 1. Riwayat Hidup al-Ghazali

Al-Ghazali nama aslinya Muhammad Ibn Muhammad Ath-Thusi, dengan nama kecil Abu Hamid, dan mempunyai gelar Zainuddin (pengikut agama).1 Ia lahir di Iran tepatnya di desa Thus pada 450/1058.2 Ayahnya adalah seorang muslim yang saleh. Sekalipun ia seorang yang miskin dangan usaha tenun idol, namun ia tergolong orang yang tekun mengikuti majlis para ulama’ dan pecinta ilmu. Ia selalu berdo’a agar putranya menjadi seorang ulama’ yang pandai dan

berguna bagi sesama manusia. Tetapi ayahnya tidak diberikan kesempatan untuk menyaksikan segala keinginan dan do’anya terkabul. Ayahnya meninggal dunia

ketika al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil. Sesaat sebelum meninggal ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang sufi agar memberikan pendidikan kepada kedua anaknya, Ahmad dan al-Ghazali.3

Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Mula-mula ia belajar agama, sebagai pendidikan dasar, kepada seorang ustadz setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi. Kemudian al-Ghazali pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nasr

1

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra. Surabaya : Pustaka Progessif,1997, hlm. 39

2

Jurnal Al-Manar Vol 2,No. 5, cet. April 2012

3

(47)

37

Ismaili. Setelah menamatkan studi di Thus dan Jurjan, al-Ghazali melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di Naisabur, dan ia bermukim di sana. Tidak seberapa lama kemudian mulailah mengajikepada al-Juwainy, salah seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain. Kepadanya al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, madzab fiqih, retorika, logika, tasawuf, dan filsafat.

Kehausan al-Ghazali akan ilmu pengetahuan sudah tampak sejak kecil. Intelektualnya sudah mulai berkembang. Ia cenderung mengetahui, memahami dan mendalami masalah-masalah yang hakiki. Hal ini dilukiskan dalam kitab sejarah perkembangan pemikirannya. al-Ghazali berkata sebagaimana dikutip oleh Abidin Ibn Rusn :

“Kehausan untuk menggali hakekat persoalan telah menjadi kebiasaanku

semenjak aku muda belia. Dan hal itu merupakan tabiat dan fitrah yang

telah diletakkan oleh Allah dalam kejadianku, bukan karena usahaku”.4

Setelah gurunya wafat (478-1054) pengembaraan intelektualnya di lanjutkan

ke daerah Ma’askar dan ia menetap di sana selama kurang lebih 5 tahun.5

Adapun kegiatan pokok yang dilakukan al-Ghazali sebelum ia terjun menjadi guru besar Nidhamiyah, adalah mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh perdana menteri Nizham al-Mulk. Keikutsertaan al-Ghazali dalam suatu diskusi

4

(48)

38

bersama sekelompok ulama dan para intelektual di hadapan Nizham al-Mulk, membawa ketenangan baginya. Yang demikian itu berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahun, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya.

Melihat kehebatan al-Ghazali dalam menghadapi cerdik, pandai saat ini maka Nizham al-Mulk sangat takjub dan kagum, seketika itu juga perdana menteri Nizham al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizhamiyah. Hal itu terjadi pada tahun 484 H/1091 M.5

Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizhamiyah. Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani, merasa hampa jiwanya. Secara diam-diam ia meninggalkan jabatannya dan menuju Syam untuk mencari ketenangan batin dengan cara berkhalwat (menyepi sambil merenung). Ini dilakukan setelah ia bergelut dengan skeptisme yang tak kunjung usai, dan konflik psikis antar kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.

Selama hampir 2 tahun al-Ghazali menjadi hamba Allah yang benar-benar mampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktunya untuk berkhalwat, beribadah dan beri’tikaf di sebuah masjid di Damaskus. Untuk melanjutkan taqarrubnya kepada Allah, al-Ghazali pindah ke Baitul maqdis dari sinilah al-Ghazali tergugah hatinya untuk memenuhi panggilan Allah menjalankan ibadah Haji. Dengan segera ia pergi ke Mekkah, Madinah dan setelah ziarah ke makam Rasulullah SAW serta makam Nabi Ibrahim a.s. ditinggallah kedua kota

5

(49)

39

suci itu dan menuju Hijaz.

Setelah melanglang buana antara Syam, Baitulmaqdis dan Hijaz selama kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk, pada tahun 499 H/1106 M al-Ghazali kembali ke Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di Universitas Nidhamiyah.6 Kali ini al-Ghazali tampil sebagai tokoh pendidikan yang benar-benar mewarisi dan mengarifi ajaran Rasulullah SAW. Ia tampil bukan sebagai guru agama semata, tapi juga sebagai sufi dan penunjuk jalan yang agamis yang sama sekali telah melepaskan motivasi kepentingan diri dalam menjalankan misinya.

Tak lama setelah tinggal di Naisabur, ia kembali ke tempat kelahirannya di Thus. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca al-Qur'an dan hadits serta mengasuh sebuah Khanaqah (semacam pesantren sufi). Pada tahun 505 H, al-Ghazali wafat di Desa Thabaran dekat Thus dalam usia kurang lebih 55 tahun.7 Tepatnya al-Ghazali wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/18 Desember 1111 M dan di makamkan di sebelah tempat khalwat atau khanaqah-nya.

2. Karya-karya al-Ghazali

Al-Ghazali seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya,

6

Abidin Ibn Rusd, Op. Cit, hlm. 12

7

(50)

40

meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan, antara lain; filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf, ahlak serta otobiografinya.

Di dalam muqaddimah kitab Ihya ‘Ulumuddin, Dr. Badawi Thabana, menulis hasil-hasil karya Ghazali yang berjumlah 47 kitab, namun di sini penulis hanya akan mencantumkan beberapa karya al-Ghazali yang terkait dengan pendidikan, antara lain:

1. al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam Aqidah)

3. al-Maqashidu Asna fi Ma’ani Asmillah al-Husna (Arti Nama-nama Tuhan Yang Hasan) al-Qathasu al-Mustaqim (Jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)

4. Khujjatu al-Khaq (Argumen yang Benar)

5. al-Muntahal fi’Ilmi al-Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Diskusi) 6. Ihya ‘Ulumiddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama)

7. Minhaju al-Abidin (Pedoman Beribadah)

8. al-Qurbatu ila Allah Azza wa Jalla (Mendekatkan Diri Kepada Allah)8

Sebenarnya masih banyak kitab Ghazali yang tidak di tulis oleh Dr. al-Badawi Thabanah tersebut di atas, akan tetapi menurut penulis, yang demikian itu telah mencukupi, karena dianggap dapat mewakili kitab-kitab karangannya yang musnah, hilang atau pun yang belum ditemukan.

8

(51)

41

3. Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali

Membicarakan pemikiran seorang tokoh senantiasa harus dihubungkan dengan keadaan yang mengitarinya, sebab al-Ghazali adalah bagian dari sejarah pemikiran Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang ikut menentukan perkembangan arah pemikirannya.

Menurut al-Ghazali merasakan bahwa manusia itu lahir kedunia tanpa agama dan aliran, dan bahwa kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.9 Ini berarti bahwa anak kecil akan mengikuti aliran agama orang tuanya apapun coraknya. Dari sini al-Ghazali memiliki keinginan untuk mengetahui hakekat fitrah manusia, hakekat aqidah-aqidah agama, aliran-aliran filsafat yang dianut manusia dengan jalan mengikuti kedua orang tua dan gurunya, kemudian membedakan mana diantaranya yang benar dan yang salah dengan tetap memelihara perbedaan sertapertentangannya. Dengan pengetahuan tentang berbagai hakekat tersebut, al-Ghazali berharap bisa sampai pada pengetahuan ilmu keyakinan secara sempurna tanpa rasa ragu, bebas dari kemungkinan keliru dan prasangka yang tak berlandaskan.

Untuk merealisasikan tekadnya itu, al-Ghazali mulai mengkaji secara mendalam dan kronologis yang terdiri atas empat disiplin ilmu. Hasil kajiannya yang termuat dalam al-Munqidz sangat berpengaruh terhadap corak pemikiran filsafatnya dalam mencapai kebenaran yang hakiki. Keempat disiplin ilmu tersebut

9

(52)

42

ialah : ilmu kalam; ilmu filsafat; ilmu kebatinan dan ilmu tasawuf.10

1. Pemikiran Teologi

Mula-mula al-Ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dari berbagai macam aliran. Buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu dikajinya dengan kritis, sehingga jelaslah dasar-dasar akidah yang dijadikan argumen oleh masing-masing aliran. Tujuan pengkajian disini adalah untuk memelihara akidah

ahli sunnah dan mempertahankannya dari rongrongan kaum bid’ah.11

Seperti aliran Mu’tazilah yang di tokohi oleh Wasil bin ‘Atha, Abu Huzail aliran ini

mendapat pengaruh kuat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Aliran

Mu’tazilah tersebut jelas tampak dalam ajaran-ajarannya seperti keyakinan

terhadap kebaruan al-Qur'an; manusia dengan akal pikirannya semata dapat mengetahui adanya Tuhan; al-Manzili Baina al-Manzilatain (tempat diantara dua tempat), untuk mempertahankan pendapat-pendapat mereka para tokoh aliran ini dengan tekun mempelajari filsafat Yunani. Inilah yangdikoreksi di kritik dan kemudian di tentang al-Ghazali. Beliau berusaha mengembalikan akidah umat Islam kepada akidah yang dianut dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. sehingga kemudian al-Ghazali mendapat gelar sebagai Mujaddid al-Khamis (pembaru ke lima) dalam Islam.

Al-Ghazali meletakkan warisan Rasul itu sebagai standar untuk menilai

10

Abidin Ibnu Rusn, Op.Cit., hlm. 13

11

(53)

43

semua madzhab dan aliran dalam kalangan Mutakallimin yang berkembang saat itu. Dan tanpa keraguan sedikitpun al-Ghazali menentang ajaran yang tidak sesuai dengan sumber Islam dan ajaran yang di terima secara taqlid. al-Ghazali berkata sebagaimana dikutip Abidin Ibn Rusn :

“Aku tidak ragu atas keberhasilan mutakallimin dalam mengadakan

pembaharuan yang hanya dapat diterima oleh sebagian kelompok. Tetapi

perlu diingat, bahwa keberhasilan itu sudah sedemikian kaburnya dan telah

bercampur aduk dengan taklid…12

Sikap al-Ghazali yang berhasil menengahi literalisme tradisional (para pengikut Hambali) dan liberalisme rasional (para pengikut Mu’tazlilah) berangkat dari metode berfikirnya yang ilmiah dan rasional serta diilhami oleh al-Qur'an.

2. Pemikiran Filsafat

Setelah mengadakan koreksi total terhadap kaum mutakallimin dengan ilmu kalamnya, al-Ghazali mulai berfikir dan mendalami filsafat. Dimana saat itu banyak muncul para filosof yang mendapat inspirasi dari filosof Yunani beserta doktrin-doktrin yang mereka anut banyak bertentangan dengan jiwa Islam. Hal itulah menjadi motivasi pertamabagi al-Ghazali untuk berusaha

12

(54)

44

meluruskan dan mengembalikannya kepada kaidah-kaidah yang benar sesuai dengan Islam.13

Dengan mendasarkan pemikirannya pada sebuah ayat Qur'an al-Ghazali menulis sebuah buku yang berjudul Fadhilat at-Tafkiru (keutamaan berfikir). Munculnya buku ini menunjukkan bahwa al-Ghazali menganjurkan dan mengharapkan kepada manusia, khususnya umat Islam untuk bersemangat dalam berfikir, dimana hal itu sejalan dengan semangat al-Qur'an dan Sunnah Rasul.

Sebagai pemikir di zaman kejayaan Islam, al-Ghazali berusaha meletakkan kaidah-kaidah berpikir yang benar yang sesuai dengan sumber dan dasar ajaran Islam karena kebenarannya bersifat mutlak. Manusia terhadap kebenaran tersebut wajib menerimanya secara utuh, sehingga apapun macamnya, aktivitas-termasuk aktivitas berfikir-haruslah bersandar dan berdasar kepadanya. Dalam kaitannya dengan hal ini, al-Ghazali menolak pemikiran yang tidak berlandaskan atas al-Qur'an dan menyimpang dari al-Qur'an. Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali menegaskan bahwa pemikiran yang disebarluaskan

oleh para penterjemah dan para komentator karya dan filsafat Aristoteles, terutama al-Farabi dan Ibnu Sina, terbagi menjadi tiga kelompok :

1. Filsafat-filsafatnya yang harus dipandang kufur. 2. Filsafat-filsafatnya yang menurut Islam bid’ah.

13

(55)

45

3. Filsafat-filsafatnya yang sama sekali tidak perlu di sangkal.14

Dalam Tahafut al-Falasifah al-Ghazali tidak mengingkari perubahan yang dilakukan oleh para filosuf kecuali dalam filsafat ke-Tuhanan atau metafisika, itupun yang harus ditolak karena dianggapsebagai kekufuran dan

pengingkaran terhadap nash syar’i. Tiga persoalan yang disangkal al-Ghazali

yaitu :

1. Pengingkaran filosuf terhadap kebangkitan jasmaniah di akherat

2. Doktrin bahwa Allah hanya mengetahui yang global, tidak yang terperinci

3. Doktrin bahwa alam itu qadim azali.15

Karya al-Ghazali dalam kitab Tahafut al-Falasifah yang sampai saat ini tidak tertenggelamkan oleh berbagai sanggahan termasuk dari Ibnu Rusyd, adalah sebagai bukti bahwa al-Ghazali adalah seorang filosuf muslim yang metode pemikirannya patut diikuti oleh para calon pemikir muslim.

3. Pemikiran Kebatinan

Sepeninggal Rasulullah tidak ada yang patut dijadikan pedoman hidup kecuali tiga perkara : al-Quran, Hadits dan Ulama. Namun disini kemudian muncul suatu persoalan seputar “ulama”, sebagian umat Islam memandang

bahwa pewaris Nabi ialah orang alim yang persis seperti Nabi; suci dari dosa (ma’sum min al-dzunub) di mana fatwa-fatwanya wajib diikuti, selain dia tidak

14

Abidin Ibnu Rusn.,ibid, hlm. 17

15

(56)

46

benar dan sesat.16 Dari situlah timbulnya kelompok-kelompok aliran yang masing-masing mempunyai imam yang dianggap sebagai manusia suci dari dosa. Kelompok aliran ini berkembang terus sampai pada zaman al-Ghazali.

Dengan keadaan tersebut al-Ghazali tidaklah tinggal diam, ketidak-puasannya terhadap kebenaran filsafatnya dan penguasaan akan isi al-Quran dan Hadits serta disiplin Ilmu dalam berbagai bidang dijadikan dasar dalam mengadakan koreksi total terhadap seluruh ajaran yang ada dan mengkritik orang-orang yang hidup dalam kesesatan.

Mula-mula al-Ghazali melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum kebatinan. Kemudian hasil penelitian-nya dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dan dalam rangka memperoleh ilmu yang hak juga. Setelah itu al-Ghazali melangkah dengan menanyakan dimana tempat imam ma’sum itu dan kapan ia dapat dijumpai. Ternyata tidak ada satupun pengikut aliran kebatinan yang mampu menunjukkannya.

Ketidakmampuan pengikut-pengikut aliran kebatinan untuk menge-mukakan argumentasi dan menunjukkan bukti-bukti siapa dan dimana imam yang ma’sum, maka al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa imam ma’sum menurut kaum kebatinan hanyalah tokoh ideal saja, hanya ada dalam anggapan dan tidak ada dalam kenyataan

16

(57)

47

4. Pemikiran Sufi

Bermula dari penelitiannya terhadap kitab tasawuf al-Ghazali mulai menekuni jalan yang ditempuh para Nabi. Kajiannya mengenai tasawuf mulai di terima dengan batin, bukan hanya melalui indera atau akal sebagaimana disiplin ilmu yang telah dikaji sebelumnya. Setelah dengan seksama mengkaji ilmu ini, tibalah saatnya al-Ghazali meninggalkan aktivitas keduniaannya. Yang mendasarinya ialah, anggapannya bahwa tidak ada harapan manusia untuk menggapai kebahagiaan abadi kecuali dengan takwa dan kebersihan hati17 yaitu dengan cara memutus-kan ketergantungan hati kepada dunia dan lari dari kesibukan yang mengarah kepadanya. Oleh karena itu al-Ghazali memutuskan untuk hidup zuhud, uzlah, menyingkir dari keramaian. Dalam dunia tasawuflah al-Ghazali menemukan jalan yang mampu membebaskan dirinya dari penyakit keragu-raguan terhadap kebenaran.

Menurut al-Ghazali jalan ini (sufi) tidak bisa ditempuh kecuali dengan ilmu dan amal dan membersihkan diri dari ahlak-ahlak tercela dan sifat-sifat buruk yang dapat membawa kepada kehancuran. Ilmu tasawuf yang dapat menghindarkan dan mengosongkan hati dari gerakan dan semua yang bersifat duniawi sehingga manusia dapat memenuhi dengan dzikrullah, dzikir kepada Allah.

Selama + 10 tahun al-Ghazali menekuni tasawuf, sehingga dengan

17

(58)

48

dibukanya segala hakikat oleh Allah al-Ghazali yakin bahwa kaum tasawuflah yang benar-benar berjalan menuju Allah SWT, dan itulah sebaik-baik jalan. Akhlak mereka adalah sebaik-baik akhlak karena telah mendapat pengetahuan yang tepat melalui ilham.

Menurut al-Ghazali, untuk menjadi sufi orang tidak dapat meninggalkan jalan yang disebut taqwa. Karena taqwa tidak dapat diketahui sampai pada saatnya akan diwujudkan hakikatnya kecuali melalui syari’at, maka tasawuf beserta para sufinya yang tidak sesuai dengan syari’at adalah menyesatkan

sehingga harus di tolak.

Dengan hasil inilah al-Ghazali merasa puas dalam perhatiannya, telah dicapai apa yang menjadi cita-citanya sejak muda yakni mencapai haqqul yaqin, keyakinan yang hakiki, yang di dahului oleh ainul yaqin dan ilmu yaqin. Semua pendapatnya tentang tasawuf telah ditulis dalam bukunya yang terkenal Ihya Ulumuddin. Buku ini disusun al-Ghazali setelah sembuh dari penyakit ragu

terhadap segala persoalan dalam kepercayaan.

Menurut al-Ghazali tangga pertama menuju ketinggian martabat dihadapan Allah sebagai pangkalan pertama dalam tasawuf ialah ilmu tauhid. Dari ilmu tauhid itu akan timbul iman, dan dari iman itu akan timbul usaha

menjalankan syari’ah sebaik-baiknya. Diantara iman dan pelaksanaan syari’ah

ada satu hal yang sangat menentukan ketaatan manusia menjalankan syari’at

(59)

49

ma’rifat dan ridha.

Dewasa ini dunia tasawuf sering ditampilkan dalam wujud gagasan dan pemikiran yang hendak merembeskan ruh Islam yang ada dalam tasawuf ke dalam kehidupan, sehingga manusia berkepribadian manusia : berfikir, bertindak dan merasa secara manusiawi.

Sungguh merupakan keberuntungan dan kebahagiaan bagi seseorang yang dalam dirinya terdapat tiga unsur pembentuk tegaknya agama Allah, yakni iman, Islam dan ikhsan. Itulah unsur pembentuk kesempurnaan insan, sebagaimana termuat dalam pribadi al-Ghazali melalui usahanya yang sungguh-sungguh sebagai usaha kemanusiaan (bukan kenabian). Jadi tasawuf bukan kebatinan melainkan manifestasi iman, Islam dan Ikhsan secara kumulatif.

Dengan demikian tasawuf, dapat hidup di kalangan manusia manapun: bangsa terbelakang atau masyarakat modern. Tasawuf bukan hanya monopoli kaum papa, frustasi atau kalangan tertindas. Bahkan bagi masyarakat modern yang bercirikan positifistik, rasionalistik dan pragmatik tasawuf dapat menjadi motifator untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

B. Konsep Nilai dan Pendidikan Tauhid Dalam Pendidikan Agama Islam Menurut Imam Al-Ghazali

1. Konsep Nilai Menurut Imam Al-Ghazali

(60)

50

bijaksana, dan yang berguna. Sifatnya lebih abstrak daripada fakta dan norma. Kalau fakta berarti apa yang ada, tidak bergantung pada senang atau tidak senangnya seseorang, di dalamnya ia tidak mengandung norma, yang karenanya ia tidak dapat menyalahkan tindakan, maka norma adalah suatu aturan yang biasanya dikenal dengan istilah seperti seyogyanya, sewajarnya dan wajibnya Kemudian, nilai tersebut mempunyai sifat untuk direalisasikan dalam masyarakat, dan dinamakan nilai aktual. Ada juga nilai yang menunggu untuk direalisir, nilai tersebut dinamakan nilai ideal. Dalam prakteknya nilai aktual akan memberi isi pada kehidupan manusia, sedang nilai

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Data keaktifan belajar peserta didik kelas XI MA Al-Manshury Sungai Bakau Besar Laut sebelum melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode discovery learning yaitu

Dalam hal anggota PPPSRS telah diundang secara sah dan patut tetap tidak hadir sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, pengambilan keputusan penggantian atau

Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, penyediaan infrastruktur dihadapkan pada tantangan untuk mewujudkan suatu keterpaduan antara kebijakan nasional (top down policy)

Model pada puisi “Bitaqah Hawiyyah” karya Mahmud Darwisy pada bagian pertama yaitu يبرع انأ “Aku merupakan orang Arab”, pada bagian kedua yaitu :يناونع

APLIKASI PEMISAH DAN PENGGABUNG PDF dirancang untuk dapat melakukan proses pemisahan/pemecahan serta penggabungan PDF sesuai dengan yang dikehendaki oleh user. User tinggal

Inilah akhirnya yang menjadikan anak yang jujur akan dimusuhi dan tidak ditemani (Anonim, 2013). 5) mengemukakan penalaran moral merupakan faktor utama yang menimbulkan

Media yang mengandung BAP tinggi dan IAA rendah dapat digunakan sebagai media untuk penyelamatan embrio muda hasil penyerbukan dengan serbuk sari yang

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa pola permainan machina dan prounga pada Keroncong Tugu memiliki kesamaan dengan permainan alat musik keroncong dan tenor dalam pola permainan