Perpustakaan STAIN Salatiga
u i in i n i ii i i ii n i ii g i ii i n ii i
06TD1010115.01
KONSEPSI IMAM AL-GHAZALI TENTANG
TAFAKUR IMPLIKASINYA DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana ( S .P d .l)
Dalam Ilmu Tarbiyah
O leh:
RUCHANI
11404022
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
DEPARTEMEN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA JL . TENTARA PELAJAR 02 TELP. (0298) 323706323433 Fax. 323433 Salatiga 50721
Website : www.stainsalatiaa.ac.id E-mail: administrasi^stainsalatiga.ac.id
Drs. Juz’an, M. Hum
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI Salatiga, SALATIGA
Kepada
Yth. Ketua STAIN SALATIGA
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
NOTA PEMBIMBING Lamp : 2 ( dua ) exemplar Hal : NASKAH SKRIPSI
Sdr. Ruchani
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka
kami kirimkan skripsi saudara :
Nama : Ruchani
NIM : 11404022
Judul : KONSEPSI IMAM AL-GHAZALI
TAFAKUR IMPLIKASINYA
PENDIDIKAN ISLAM
TENTANG
DALAM
Dan mohon skripsi tersebut segera dimunaqosahkan.
Demikian atas perhatiaannya kami ucapkan banyak terima kasih
D E P A R T E M E N A G A M A RI
S E K O L A H T I N G G I A G A M A IS L A M N E G E R I (S T A IN ) S A L A T IG A
JL Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 W ebsite: www.stainsalatiga.ac.id E-m ail: administrasi@stainsalatiga.ac.id
P E N G E S A H A N
Skripsi Saudara : RUCHANI dengan Nomor Induk Mahasiswa : 114 04 022
yang berjudul : "KONSEPSI IMAM AL-GHAZALI TENTANG TAFAKUR
IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM", Telah dimunaqasahkan
dalam sidang panitia ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Salatiga pada hari : Rabu, 06 September 2006 yang bertepatan dengan
tanggal 13 Sya’ban 1427 H dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat
untuk memperoleh gelar Saijana dalam Ilmu Tarbiyah.
06 September 2006 M Salatiga,
---13 Sya'ban 1427 H
MOTTO
( T' 'Y :
l j xIUjiJlS
j j a J I
U
j
)
A rtin y a : * Sesungguhnya kehidupan dunia
hanyalah perm ainan dan senda gurau ”
( Q S . Muham m ad : 3 6 )
( ) 4j j C j £ i j
Artinya :"Setiap kamu adalah
pemimpin, dan setiap kamu
bertanggungjawab terhadap yang
P E R S E M B A H A N
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
> Ayah dan ibu tercinta yang telah memberikan motivasi dan do'a
restu
> Mas Abdullah Hasan sekeluarga. Mas Nur Salim sekeluarga, Mbak
Mu’azizah sekeluarga, Mas Muh Karli Sekelurga yang telah
mendukung dan memotivasi penulis dalam meyelesaikan skripsi ini
> Calon istriku tercinta Sri Manuninpsih yang telah menemaniku dalam keadaan suka dan duka.
> Abah Kyai Ali Imron Al-Khafid sekeluarga dan Keluarga besar
pondok pesantren * Nurul Amin " Manggar Wetan, Godong,
Grobogan.
> Keluarga besar MI Al-Mahmud Kumpulrejo 01 Salatiga
> Dan seluruh temen-temen angkatan ‘04 PAI Ekstensi yang tidak
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Segala puji penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah
memberikan kenikmatan baik material maupun spiritual. Sholawat seria salam
penulis sampaikan kepada junjungan kita nabi akhiruzzaman Muhammad SAW
semoga kita mendapatkan syafaatnya sampai yaumul qiyamah nanti. Dengan
Rahmat dan Inayah Allah sajalah penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai
kelengkapan syarat terselesainya jenjang pendidikan strata pada fakultas tarbiyah
STAIN Salatiga.
Juga tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak
yang sangat membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini serta penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ketua STAIN salatiga yang telah memberikan izin dan restu dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Juz’an, M. Hum. Sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini
yang telah banyak mencurahkan perhatian dan meluangkan waktu pada
penulis guna membimbing dan mengarahkan penyusunan skripsi ini.
3. Para bapak dan Ibu dosen serta civitas akademika yang membantu sejak awal
hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.
4. Keluarga besar Bapak Ridlwan dan Bapak Burhanudin yang telah
memberikan do’a restu dan motivasi, sehingga terselesainya skripsi ini.
5. Teman sejawat, kolega dan semua pihak yang telah membantu dan memberi
Dalam penulisan skripsi ini pula tentunya banyak sekali kesalahan baik
dalam penyusunan maupun penggunaan bahasa yang kurang dari sempurna,
karena hal itu teijadi akibat keterbatasan kemampuan penulis yang dimiliki, untuk
itu pula penulis mohon maaf serta kritik dan saran yang sifatnya membangun akan
penulis terima dengan senang hati.
Akhirnya semoga skripsi ini ada manfaatnya bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Amin, Yarobbal ‘alamin
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
MOTTO... iv
PERSEMBAHAN... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... vii
Bab I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Penegasan Istilah... 4
C. Rumusan Masalah... 6
D. Tujuan Penelitian... 7
E. Manfaat Penelitian... 7
F. Metodologi Penelitian... 8
G. Sistematika Penulisan... 11
Bab II : IMAM AL-GHAZALI DAN PEMIKIRANNYA A. Biografi Imam Al-Ghazali dan Pendidikannya... 12
C. Karya-karya Imam Ghozali 37
Bab III : PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG TAFAKUR
A. Pengertian Tafakur... 40
B. Keutamaan Tafakur... 42
C. Hakikat Tafakur dan Buahnya... 46
D. Penjelasan Jalan-jalan Fikiran... 50
E. Penjelasan Cara-cara Berfikir Tentang Makhluk A llah... 60
Bab IV : IMPLIKASI PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG
TAFAKUR DALAM PENDIDIKAN ISLAM
C. Implikasi Tafakur dalam Pendidikan Islam...
Bab V : PENUTUP
A. Kesimpulan... 99
B. Saran-saran... 100
C. Kata penutup... 101
DAFTAR PUSTAKA
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah yang sulit
didefinisikan secara komprehensif. Kesulitan ini didasarkan atas adanya
perbedaan-perbedaan penekanan yang sesuai dengan bidang keilmuwan
masing-masing baik dari segi fisiologis, psikologis maupun sosiologis. Dari
segi fisiologis manusia diartikan sebagai makhluk yang tersusun atas organ-
organ tubuh yang saling tersusun secara sistematis sehingga mampu
beraktifitas dengan alat inderanya dan mampu mengenali lingkungannya.
Dengan alat indera itulah manusia mendapatkan pengetahuan, baik melalui
pengamatan dan penglihatan sehingga mendapatkan pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam tentang segala sesuatu .
Dari segi psikologis/ jiwa manusia diartikan sebagai makhluk yang
mampu berfikir, memahami dan membedakan antara perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan baik berdasarkan doktrin agama,
norma atupun aturan yang ada disekitamya, sehingga manusia mampu
memilih kehidupannya sesuai dengan hati nuraninya. Dari segi sosiologis
manusia mampu melakukan inovasi-inovasi dengan kemampuan dan
pengetahuaannya dalam rangka untuk berinteraksi dengan lingkungan baik
Manusia merupakan makhluk Allah yang secara biologis adalah
sama dengan hewan baik anatomi tubuh dan susunan tetapi ada yang
membedakan dari hewan yaitu segi psikologis yaitu manusia diberi intelektual
yang berupa akal untuk berfikir yang dapat membedakan antara yang baik dan
yang buruk sebagai manusia yang normal, sehingga dalam ilmu mantiq (
logika ) manusia disebut juga “ Al Hayawatiun Natiqun “ yang berarti manusia adalah hewan yang berfikir.1
Dengan akal atau pikiran itulah manusia mampu mengadakan
perubahan-perubahan dalam bidang apapun sehingga mampu untuk
dimanfaatkan untuk menghadapi kemajuan zaman yang semakin menuntut
adanya modernitas baik dalam pendidikan, teknologi maupun social. Tuntutan
modernitas ini mau tidak mau harus dilakukan untuk mengimbangi adanya
kemajuan yang penuh tantangan supaya umat manusia khususnya umat islam
tidak ketinggalan zaman dalam arti gagap teknologi.
Untuk mengembangkan hal tersebut memerlukan pendidikan
supaya manusia dapat memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya
insani ( fitroh ) agar mampu menghadapi perubahan-perubahan zaman, hal itu
terkait dengan fitrohnya untuk mencari kebenaran baik melalui aql maupun
naql Menurut Mustofa Ai-Maroghi fitroh berarti kemampuan untuk menerima
kebenaran.2 Untuk mencari kebenaran ini memerlukan pendidikan yang pada
dasarnya sebagai instrumen awal untuk mempertajam akal / pikiran manusia
sehingga mampu menghadapi modernitas yang semestinya memerlukan
1 H. Endang Shaefiiddin Anshori, M A .Jlm u Filsafat dan Agam a ” Pt. Bina Ilmu, Surabaya, 198 7JHal 15
pemikiran yang komplek. Pemikiran-pemikiran yang selanjutnya melekat pada
ilmu itu akan membantu manusia untuk mencapai kesempurnaan ( insan kamil
) yaitu kesempurnaan yang sesuai dengan ajaran islam dengan memanfaatkan
kehidupan dunia untuk kehidupan akherat yang berdasarkan pemahaman
ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam Al-Qur’an dan
Hadist.3
Untuk mengembangkan jati diri manusia, terdapat beberapa tokoh
pemikir atau ilmuwan yang pada dasarnya ingin menyumbangkan
pemikirannya demi perkembangan masyarakat pada umumnya. Salah satu
diantara tokoh besar di abad ke-V M yaitu Imam Al-Ghazali yang
menyumbangkan pemikirannya yang tertuang dalam karyanya Ihya’
Ulumuddin. Beliau menegaskan dalam kitabnya bahwa benar-benar Allah
SWT telah memerintahkan untuk berfikir dan mengambil ibarat di dalam
kitab-Nya Allah yang Mulia yaitu dengan tujuan untuk mendapatkan jalan
yang lurus sesuai garis yang telah ditentukan Allah dalam kitab-Nya.4
Imam Al-Ghazali merupakan ulama’ sekaligus ilmuwan yang
secara terang-terangan menguraikan tentang kondisi manusia baik dari segi
akal maupun hati dengan maksud supaya mendapatkan generasi yang mampu
untuk mengaplikasikan ajaran01am di kehidupan sehari-hari tidak hanya
melalui penghafalan tetapi juga menggunakan daya pikirnya untuk mengambil
ibarat yang ada di lingkungan manusia dengan cara pendidikan yang bertumpu
kepada nash Al-Qur’an dan Hadits sebagau rujukan yang pertama dan utama.
3 Muhaimin, et.al, ParadigmaPendidikan Islam, Pt. Remaja Rosdakaiya,Bandung, 2002, hal 30
Dengan alasan diatas, maka penulis tergugah untuk menulis sebuah
skripsi dalam rangka untuk mendalami hal tersebut, dengan begitu penulis
mengambil judul KONSEPSI IMAM AL-GHAZALI TENTANG
TAFAKUR IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM ” Yang
pada intinya menjabarkan tentang eksistensi tafakur ( berfikir ) dan
ketelibatannya terhadap pendidikan islam yang selama ini mengalami
kemerosotan / kemunduran. Dengan adanya kajian tersebut supaya tergugah
pemikiran -pemikiran umat islam pada umumnya.
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari adanya pemahaman yang berbeda dengan
maksud utama penulis dalam penggunaan kalimat atau kata pada judul
penelitian ini, maka penulis menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan
dengan judul diatas yang dianggap penting. Adapun istilah-istilah yang
penulis anggap perlu untuk dijelaskan adalah .
1. Konsepsi
Yang dimaksud dengan konsepsi adalah pendapat, paham,
pandangan, pengertian, cita-cita yang telah terlintas ( ada ) dalam pikiran.5
Yang dimaksud penulis dengan kata konsepsi di atas adalah pendapat Imam
Al-Ghazali tentang tafakur yang ada dalam kitab ihya’ Ulumudin dan
dikaitkan dengan keterlibatannya dalam pendidikan islam pada zaman
sekarang. 3
2. Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Ghazali adalah Abu Hamid Imam Al-
Ghazali, beliau adalah ulama' yang amat berpengaruh didunia islam. Beliau
dilahirkan di desa Ghazalen, dekat Tus, Iran Utara pada tahun 1058 M (450 H
). Gelarnya antara lain Hujjat Al-Islam, yang mengandung arti bukti
kebenaran islam. Beliau wafat dalam usia 55 tahun ( 1111 M / 505 H )°
3. Tafakur
Tafakur dalam bahasa Indonesia diartikan berfikir yaitu
menggunakan akal budi untuk menemukan jalan keluar; mempertimbangkan
. 1
atau memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dalam hati. Yang penulis
maksud dengan tafakur adalah dengan akalnya manusia dapat berfikir dan
menimbang , membedakan mana yang baik dan mana yang buruk , salah dan
benar , mudorot dan manfaat, laba dan rugi juga dapat mencari jalan dan daya
upaya untuk menghindarkan bahaya dan mengatasi sesulitan demi kelancaran
dalam kehidupan.
4. Implikasi
o
Implikasi adalah keterlibatannya atau keadaan terlibat. Yang
penulis maksud dengan kata implikasi adalah keterlibatan pemikiran Imam
Al-Ghazali tentang tafakur dalam pendidikan islam supaya dapat
diformulasikan sehingga menuju pemikiran yang kritis dan inovatif sesuai
konsep islam. 6 * 8
6 Harun Nasution,et.al., Eksiklopedi Islam Indonesia, Djambatan,Jakarta, 1992, hal.257 ' E.M. Zul Fajri, et.al. O pC it., hal. 653
5. Pendidikan
Yang dimaksud dengan pendidikan adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik 9 Yang dimaksud adalah pengubahan pemikiran dan
wawasan klasik terhadap fenomena yang ada menuju pemikiran yang dinamis
sehingga mengintegralkan yang klasik dengan perkembangan pemikiran dan
zaman.
6. Islam
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Rosul-
Nya untuk disampaikan kepada umat manusia sepanjang masa dan setiap
persada,yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist nabi Muhammad SAW.10
Dengan begitu pendidikan islam adalah pendidikan yang bersumber dari nash
yang ada dalam islam, yang merupakan titik focus pengembangan pendidikan
pada umumnya yang bercirikan islam.
C. Rumusan Masalah
Dalam menulis sebuah skripsi ditentukan beberapa permasalahan
yang harus dibahas dan dianalisis sehingga mendapat pemahaman baru. Oleh
karena itu Penulis dalam menulis skripsi ini merumuskan beberapa masalah
yang akan dibahas adalah :
9 Ib id , hal.263
1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazali dan pemikirannya ?
2. Bagaimana pendapat atau pemikiran Imam AI-Ghazali tentang Tafakur ?
3. Bagaimana implikasi dan pengembangan pemikiran Imam Al-Ghazali
tentang Tafakur dalam pendidikan Islam ?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan-tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Imam Al-Ghazali dan pemikirannya
2. Untuk mengetahui dan memahami pemikiran Imam Al-Ghazali tentang
tafakur.
3. Untuk mengetahui sejauhmana keterlibatan pemikiran Imam Al-Ghazali
tentang tafakur terhadap pendidikan Islam.
E. Manfaat Penelitian
Adapun yang penulis harapkan dalam penelitian ini, semoga dapat
memberi manfaat dari segi:
a. Intelektual
Dari segi intelektual yang penulis harapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap pemikir-pemikir pendidikan khususnya mahasiswa dan
pada umumnya pakar pendidikan, untuk mampu memahami bahwa pemikiran
itu harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan melihat
perkembangan zaman, sehingga kaum intelektual mampu memformulasikan
globalisasi / modernitas. Yang semula pendidikan islam hanya terkonsentrasi
pada teks yang ada, maka setelah memiliki pemikiran yang baru dapat
menyesuaikan dengan konteksnya dalam arti mampu menciptakan teknologi
yang sesuai dengan ajaran dalam Al-Quran maupun sunah nabi-Nya
b. Pendidikan
Dari segi pendidikan, umat islam mampu membentuk sebuah
pendidikan yang mampu mengembangkan baik moral, keilmuwan maupun
teknologi. Sehingga pendidikan tidak terfokus pada moral dan bersifat teoritis
, tetapi juga mulai berkembang dalam era modem yang semakin hari islam
memerlukan penteijemahan yang praktis, kritis dan inovatif.
c. Sosial
Dari segi sosial, diharapkan umat islam mulai berfikir yang sesuai
dengan realita yang ada, dan kritis akan adanya doktrin yang memerlukan
pemikiran yang mendalam, karena dikhawatirkan kalau umat islam tidak
memahami adanya gejala tersebut, umat islam hanya sebagai boneka diera
modernis ini. Oleh karena itu, perlu adanya perombakan paradigma yang
semula hanya sebagai penonton yang akhirnya sebagai pemain yang tetap
bertolak kepada sumber ajaran islam yang mulia.
F. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah sebuah cara atau jalan untuk memulai
sebuah penelitian, sehingga penelitian tersebut mudah dilakukan dan tersusun
1. Sumber data
Yang penulis lakukan pada penelitian ini adalah jenis penelitian
literer {Library research) atau metode kepustakaan yaitu mengumpulkan bahan-bahan dari literature yang ada kaitannya dengan pokok bahasan serta
mengumpulkan dengan cara sistematis. Khusus untuk membahas tentang
pokok di atas, penulis menggunakan referensi primer yaitu kitab yang
dikarang Imam Al-Ghazali yaitu Ihya ’ Ulumitddin dan teijemahannya yang diterbitkan oleh Asy-Syifa’ , Semarang tahun penerbitan 1994. Dan untuk
menganalisis penulis mengambil teori / tulisan dari buku-buku sekunder yaitu
yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan, filsafat, agama dan tasawuf,
ahli tafsir Al-Qur’an.
2. Metode Pembahasan
Kelaziman dalam penelitian literer adalah menggunakan metode
deduktif, induktif, reflektif, deskriptif dan interpretasi. Dalam metode deduktif
penulis mengambil atau bertolak dari teori-teori umum atupun doktrin agama
kemudian menuju keteori-teori yang lebih parsial baik tentang peristiwa, kasus
dan fenomena yang ada, hal ini dilakukan penulis untuk mempermudah
penulis dalam membahasnya yang lebid mendetail11. Metode induktif adalah
metode yang mengambil dari fakta-fakta yang ada kemudian digeneralisasikan
sehingga mendapatkan sebuah kesimpulan akhir, hal ini penulis lakukan
untuk mensingkronkan antara teori yang ada dengan fakta yang ada, selain itu
juga berfikir induktif berangkat dari fakta-fakta yang khusus,
peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta atau peristiwa yang khusus
konkret itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum12.
Metode reflektif penulis gunakan sebagai pencurahan pikiran
terhadap obyek yang ada kemudian menelaah aspek lahir dan substansinya ,
serta menempatkan obyek pada, peristiwa pada konteks baru yang sesuai
dengan situasi zamannya. Melalui metode reflektif seseorang menyikapi data,
obyek, fakta dihidupkan kembali kedalam pikirannya untuk dicermati aspek-
aspek detailnya sehingga teks tersebut dapat tewujud dalam konteks yang ada.
Sedangkan metode deskripsi penulis gunakan untuk menyatukan antara bahasa
dan pikiran sehingga dalam menganalisis melahirkan pemahaman baru
tentang tafakur dan pembahasan menurut kekonkretan dan kekhususannya
dapat terbuka menjadi pemahaman umum, yang bisa menyatukan antara
berfikir dengan perkembangan pendidikan secara global, sehingga umat islam
mampu untuk berfikir yang lebih realistis.13
Metode yang selanjutnya adalah metode interpretasi yang
merupakan sebuah pemahaman terhadap fakta, data ataupun gejala untuk
dapat diintegralkan menjadi suatu bentuk yang nyata, untuk metode ini penulis
gunakan untuk mempertajam pemikiran tentang ciptaan Allah dan integralkan
dengan teknologi yang ada, sehingga pendidikan islam tidak hanya teoritis
tetapi juga secara praktis.14
12 Ib id hal.42
" Anton Bakker, et.al., M etodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 41
G . S istem atik a P enu lisan
Dalam penulisan skripsi terdapat sistematika penulisan supaya
dapat mempermudah cara penyusunannya. Adapun sistematikanya terdiri atas
lima bab, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah, penegasan
istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan
Bab II Menjelaskan tentang riwayat hidup Imam Al-Ghazali yang terdiri
dari : biografi Imam Al-Ghazali , pemikiran-pemikiran Imam Al-
Ghazali dalam pendidikan, dan karya-karya Imam Ghazali
Bab IH Menjelaskan tentang pemikiran Imam Al-Ghazali tentang tafakur
yang terdiri dari : pengertian tafakur, keutamaan tafakur, hakikat
tafakur dan buahnya, penjelasan jalan-jalan fikiran, penjelasan cara-
cara berfikir tentang makhluk Allah
Bab IV Implikasi pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Tafakur dalam
pendidikan Islam yang terdiri dari : pengertian pendidikan islam,
faktor -faktor pendidikan islam, implikasi tafakur terhadap
pendidikan islam.
Bab V Merupakan bagian akhir penulisan yang tercakup didalamnya
BAB n
IMAM AL-GHAZALI DAN PEMIKIRANNYA
A. Biografi Imam At-Ghazali dan pendidikannya
Nama kecil Imam Al-Ghazali adalah Abu Kamid Muhammad
bin Muhammad Al-Ghazali, yang dilahirkan pada tahun 450 H / 1058 M1 di
sebuah kampung yang bernama Ghozalah, Thusia, suatu kota di Khurasan,
Persia.2 Al-Ghazali mendapat sebutan Abu Hamid Al-Ghazali diambil dari
nama anaknya laki-laki yang meninggal ketika masih kecil yang bernama
Hamid, sedangkan Al-Ghazali diambii dari kampung Al-Ghazali yang
bernama Ghazalah. Ayahnya adalah seorang miskin yang taat beragama
dan sangat menghormati ulama’ , maka dalam hatinya berdoa semoga
dikaruniai anak yang mempunyai ilmu yang berguna bagi kemajuan dan
mercusuar agama, negara dan dunia.
Sebelum ayahnya menyaksikan kedua anaknya dewasa dan
memiliki pengetahuan yang mendalam beliau meninggal dunia, sebelum
meninggal dunia sempat menitipkan Ghazali dan adiknya kepada seorang
sufi supaya merawat dan mendidik dengan warisan yang ditinggalkannya.
Karena terbatasnya harta yang ditinggalkan ayahnya maka seorang sufi
tersebut memasukkan kesebuah madrasah demi untuk mewujudkan cita-cita
orang tuanya.
1 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali, Al-Maarif, Bandung, 1986, hal. 13
Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang yang cinta
akan ilmu pengetahuan dan haus akan pengetahuan-pengetahuan untuk
mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun AI-Ghazali mengalami duka cita
dan duka nestapa. Hal ini dibuktikan Al-Ghazali dengan mempelajari
pengetahuan dari beberapa aliran yang berbeda baik dari ulama’ sealiran
maupun berbeda aliran, tak segan-segan Al-Ghazali mengkritik aliran-aliran
yang tidak sesuai agama sehingga menimbulkan kontroversi dalam
pemikiran masa itu, namun dengan tekun dan rajin Al-Ghazali mampu
menguasai bahkan mengomentari dan menjelaskan kesalahan-kesalahan
yang menyimpang dari ajaran mereka.
Dimasa kanak-kanak Al-Ghazali mulai belajar ilmu Fiqih syafi’i
dan teologo Asy’ari dari seorang guru yang bernama Ahmad bin
Muhammad Ar-Rozikani di Thusia. Inilah awal Al-Ghazali bergumul
dengan dunia ilmu, yang digelutinya sampai akhir hayatnya. Dalam usia
yang belum mencapai umur 20 tahun, dia melanjutkan studinya ke Jmjan ,
yang mempunyai madrasah lebih besar dibawah pimpinan seoTang ulama’
besar bernama Abu Nasr al- Isma’ili. Selain belajar ilmu agama Al-Ghazali
juga giat mempelajari bahasa Arab dan Persia.3
Selain mempelajari ilmu fiqih diatas Al-Ghazali juga belajar
ilmu tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian Al-Ghazali melanjutkan
belajarnya ke sekolah tinggi Nidhomiyah di Nisabur dan di sinilah
Ghazali bertemu dengan Imam Haromain ( w. 475 H / 1085 M )4 dan belajar
kepada beliau diantaranya ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan
agama lainnya.5 Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut:
Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih, mantiq dan ushul, dan dipelajarinya antara lain : filsafat dan risalah-risalah Ihwanus Shofa karangan Al-Farabi, Ibnu Maskawaih. Sehingga dengan melalui ajaran-ajaran filsafat itu, sehingga Al-Ghazali dapat menyelami paham-paham Aristoteles dan Pemikir Yunani yang lain. Juga ajaran-ajaran Imam Syafi’I, Harmalah, Jambad, Al- Muhasibi dan lain-lain, bukan tidak berbekas pada pendidikan Al-Ghazali. Begitu juga Imam Abu Ali Al Faramzi, bekas murid Al-Qusyairi yang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar ilmu Tasauf pada Al-Ghazali. Ia juga mempelajari agama-agama lain yaitu agama Masehi “ 6
Dengan kecerdasan dan kemauan yang luar biasa Al-Juwaini
kemudian memberikan gelar bahrum mughriq ( laut yang menenggelamkan ) kepada Al-Ghazali, hal ini dibuktikan sejak Al-Ghazali menjadi seorang
pelajar sudah menggemparkan pemikiran-pemikiran dengan faham skeptis
yang selalu mengkritisi pemikiran-pemikiran para ilmuwan pada masanya.
Dalam rangka untuk mencari kebenaran dan kesalahan dibalik pemikiran-
pemikiran mereka , Al-Ghazali ikut masuk menyelam dilautan berbagai
aliran sehingga Al-Ghazali faham apa dan bagaimana corak ajaran aliran
tersebut, setelah memahami dan menghayati kesalahan mereka barulah Al-
Ghazali memberikan komentar dan mengkritisi kesalahan kesalahan mereka.
Pada tahun 478 H/1085 M., Al-Ghazali meninggalkan kota
Nisabur pergi menuju Mu’askar, karena guru yang sangat berjasa bagi
4 Imam Harmain adalah nama lain dari Imam Al Juwaini yang wafat pada tahun 478 H / 1085 M H. AbudinNata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 82
perkembangan intelektualnya, al Juwaini telah meninggal . Dia menuju ke
Mu’askar untuk bergabung dengan para intelektual disana dalam majlis
seminar yang didirikan oleh Nidham al Mulk, wazir Saljuk pecinta ilmu dan
ulama’. Kehadiran Al-Ghazali dalam majlis itu sangat menggemparkan
karena ketajaman pikirannya, kedalaman ilmunya dan ketajaman
analisisnya, sehingga para partisipan mengakui akan keunggulannnya.
Dengan demikian Al-Ghazali mendapat sebutan “ Imam ” atau anutan para
intelektual Khurosan waktu itu. Setelah melihat reputasi ilmiyahnya itu
Nidhom Al Mulk mengangkat sebagai guru besar dan sekaligus pemimpin
perguruan Nidhomiyah di kota Baghdad pada tahun 484 H /1091 M.7 8
Di tengah - tengah kesibukannya mengajar di Bagdad , Al-
Ghazali masih sempat mengarang beberapa kitab yang sampai sekarang
masih dikaji dan digali keilmuannya, diantara kitab yang dikarang adalah :
Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajib, Khulashoh Ilmu Fiqh, Al-Munqilfil Ilmil al-Jadal ( Ilmu Berdebad ), M a’khadz Al-Kholaf, Lubab An-Nadhar,Tasbin Al M a’akhidz, Nashihat Al Mulk, A l-‘Ulum Al Laduniyyah, Risalah Al-Qudsiyah, Al-Ma’khadz,Al Amali dan Al-Mabadi Ghayat f i Farm al-Khalaf. Di tengah kesibukannya dalam mengarang kitab, Al-Ghazali juga masih sempat mengkritik dan mencari solusi atas adat dan warisan nenek
O
moyang yang menyimpang dari ajaran Islam.
Selama kehidupannya, Al-Ghazali selain mengajar dia tetap
menimba dan mendalami banyak ilmu, dan juga filsafat. Dia mempelajari
ilmu-ilmu tersebut barang kali untuk menghilangkan keraguannya yang
muncul sejak dia mengajar. Tapi ternyata ilmu-ilmu yang dipelajarinya itu
tidak memberikan ketenangan jiwa, tapi sebaliknya kegelisahan jiwanya
malah semakin menggelora, kemudian untuk menjernihkan hatinya Al-
Ghazali meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di perguruan al-
Nizhamiah, dan kemudian hidup menyendiri. Hal itu dilakukan Al-Ghazali
karena hendak bersifat jujur terhadap dirinya sendiri sebab dia sadar
motivasinya dalam mengajarkan ilmunya tidak lain hanyalah untuk
mencapai jabatan serta membuatnya terkenal. Karena itu, kini dia sadar
betapa rendah motivasinya dan berusaha untuk melepaskan dari sikap itu .
Setelah menjalani suatu kehidupan baru dengan menjauhi dan
menghindari hawa nafsu, pemutusan hubungan kalbu dengan dunia,
menjauhi bangunan tipu daya dengan ketaqwaan dan mendekatkan diri pada
bangunan keabadian, serta menerima Allah dengan sepenuh hati. Maka Al-
Ghazali menyusun suatu dasar metodologis, yang diungkapkan dengan
kalimat ilmu yakin, sehingga dengannya tidak ada lagi keraguan dan
kemuungkinan keliru. Pada tahun 488 H Al-Ghozali keluar dari Baghdad
untuk menunaikan ibadah haji. Selesai ibadah haji, tahun 489 H, dia pergi
Syam serta tinggal di Damaskus, mengajar di ruangan sebelah barat masjid
kota itu. Dari situ lalu dia pergi ke Baitul Maqdis untuk beribadah.
Diriwayatkan dari sana beliau kemudian ke Mesir dan untuk beberapa lama
tinggal di Iskandariyah, dan kemudian kembali ke Thus untuk menulis
bagi para pengikutnya untuk menyebarkan ilmunya disana, kemudian
menghabiskan waktunya untuk kebajikan dan berbuat yang bermanfaat,
seperti mengkhatamkan Al-Qur’an, bertemu dengan para sufi serta mengajar
sampai Al-Ghazali meninggal di Kota Thush pada hari senin, 14 Jumadil
Akhir pada tahun 505 H / 1111 M dan sekaligus Al-Ghazali dimakamkan
disana.9
B. Pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali dalam pendidikan
Al-Ghazali merupakan ulama’ yang mempunyai beberapa
disiplin ilmu tidak hanya Filsafat, Tasawuf, Fiqih, Ushul Fiqh, Akhlak dan
lain-lain, tetapi juga Al-Ghazali sebagai ahli pendidikan yang mempunyai
pengaruh sangat besar karena Al-Ghazali mempunyai pengetahuan tentang
Psikologi, Sosiologi serta mengetahui rahasia hati dan pengobatannya,
sehingga mampu untuk merubah ( mendidik) seseorang menjadi orang yang
mempunyai ilmu pengetahuan dan moral yang tinggi. Oleh Syeh Musthofa
Al-Maraghi diakui;
“ Al-Ghazali ahli didalam berbagai lapangan pengetahuan, yaitu ahli ilmu ushul yang mahir, ahli fiqih yang berpikiran merdeka, ahli teologi yang menjadi imam ahli sunah, ahli sosiologi yang luas pengertiannya tentang masyarakat, ahli psikologi yang luas pandangannya tentang rahasia jiwa manusia, ahli filsafat yang berani membongkar segala kesesalan filsafat, ahli pendidik yang ulung, dan seorang sufi yang sangat
zuhud, anda berhak menamakannya laki-laki yang menjadi Eksiklopedi ‘ hidup dari zamannya, lelaki yang haus untuk mengetahui segala sesuatu, yang dahaga mencari kebenaran didalam segala cabang pengetahuan “10
9, Abu Al-Wafa al-Ghonimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman Ke Zaman. Pustaka, Bandung, 1985 hal 153
Untuk mengetahui pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan
maka perlu mengkaji yang berkaitan dengan aspek pendidikan, yaitu aspek
tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid, karena
hal itu merupakan sesuatu yang integral. Untuk lebih spesifiknya akan
dijelaskan dibawah in i:
1. Tujuan Pendidikan
Untuk membentuk manusia yang mampu menghadapi perubahan
yang semakin membutuhkan kreatifitas, pemikiran dan keefektifan dalam
mengarungi dan menyelesaikan problem dalam kehidupan ini, maka
manusia memerlukan pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu cara
untuk mengembangkan potensi manusia dalam rangka untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Sebelum menjelaskan tentang tujuan pendidikan
untuk mengetahui dan memahami terminology tujuan pendidikan terlebih
dahulu dijelaskan apa itu “ tujuan “ dan “ pendidikan “ . Secara etimologi,
tujuan adalah “ Arah, , haluan, maksud''11. Sedangkan tujuan secara
terminologis berarti sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sebuah usaha
atau kegiatan selesai, sehingga tujuan-tujuan itu mampu merespon berbagai
aspek yang saling terintegrasi12.
Tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai untuk keberhasilan
sesuatu tindakan, sesuatu itu harus mempunyai perangkat-perangkat yang
mendukung adanya keberhasilan tujuan tersebut. Sedangkan “ pendidikan “
secara etimologi berasal dari kata dasar “ didik “ yang berarti memelihara
11 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cil., hal. 1216
dan memberi latihan ( ajaran, tuntunan, pimpinan ) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran13. Kemudian mendapat imbuhan pen-an sehingga
menjadi “ pendidikan “ yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan latihan14. Menurut pakar pendidikan Marimba
menyatakan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap pengembangan jasmani dan rohani anak didik untuk
terbentuknya kepribadian yang utama15.
Rumusan tujuan pendidikan merupakan rumusan pemikiran yang
mendalam tentang pendidikan yang disertai dengan ilmu-ilmu lain yang
mendukung. Salah satu pakar yang mempunyai berbagai keilmuwan tersebut
Imam Al-Ghazali yang merupakan pakar pendidikan pada abad ke-V dan
masih digunakan sampai sekarang. Pemikiran Al-Ghazali mengenai tujuan
akhir yang ingin dicapai dalam proses kegiatan pendidikan ada dua.
Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akherat16. Karena itu Al-Ghazali bercita-cita
mengajarkan kepada manusia supaya menuju sasaran-sasaran yang sesuai
dengan Islam tanpa mengabaikan adanya kehidupan dunia untuk akherat.
Tujuan ini sangat agamis dan sesuai dengan moril manusia yang selalu ingin
mendapatkan kebahagiaan yang sempurna.
13 Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., hal. 263 14 Ibid.
15 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam P erspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, hal. 24
Pendidikan merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan
dalam rangka untuk mendekatkan kepada Allah. Kesempurnaan yang selalu
dicari dan digali baik melalui ilmu maupun realita yang ada didunia ini
memerlukan pemahaman dan pemikiran. Al-Ghazali dalam hal ini
memandang bahwa ilmu merupakan langkah awal dalam rangka untuk
mengenal Allah, manusia tidak mampu mengenal Tuhannya tanpa memiliki
ilmu, ilmu mempunyai keutamaan dan keindahan melebihi
segala-galanya.17 18 Dari segi akal, jelaslah ilmu itu sesuatu yang utama, karena
dengan ilmu manusia sampai kepada Allah dan menjadi dekat pada-Nya, hal
ini dapat dibuktikan ketika manusia memiliki ilmu dapat memahami
ayat-ayat Allah baik tektual maupun kontekstual, tanpa adanya ilmu manusia
tidak akan pernah mengetahui bahwa Allah itu Maha Pencipta, karena
manusia tidak tahu atau memahami ayat-ayat tersebut. Dengan ilmu Allah
ditaati, disembah dan diesakan, dengan ilmu manusia berhati-hati dalam
mengamalkan agama dan memelihara hubungan kekeluargaan. Ilmu adalah
pemimpin dan amal adalah pengikutnya. Orang yang mendapat ilmu adalah
orang yang bahagia dan orang yang tidak mendapat ilmu adalah orang yang
18 sengsara.
Dalam kaitannya dengan pendidikan tidak hanya bertujuan untuk
kehidupan dunia, tetapi juga demi kebahagiaan akherat. Menurut Al-Ghazali
dunia adalah tanaman akherat yaitu sebagai ladang perkebunan untuk
mencapai kepada kehidupan setelah hancurnya dunia menuju kehidupan
17 H. Abudin Nata, Op Ci/., hal. 86
yang hakiki.19 Dengan dunia tersebut supaya digunakan untuk menanam
kebaikan-kebaikan yang sebenarnya yaitu kebaikan yang tidak akan
berkurang, baik berkaitan dengan Aiiah, sesama manusia maupun aiain
sekitar. Akhlak merupakan salah satu cara untuk menanam kebaikan
tersebut, sebagai contoh yang berkaitan dengan Allah, manusia mempunyai
akhlak ketika hendak melakukan ibadah yaitu dengan berwudlu ,
menyucikan tempat dan tidak bergurau, sehingga dengan akhlak dan
kekhusyuan tersebut diterima ibadahnya oleh Allah. Yang berkaitan dengan
manusia, ketika berhubungan atau berinteraksi kepada sesama manusia
dapat menasehati dalam kebaikan dan mencegah dari kemungkaran serta
dapat memberikan tauladan atau contoh yang baik, sehingga manusia yang
lain dapat meniru dan mengamalkannya supaya terhindar dari pertengkaran,
tanpa disertai rasa ujub ataupun riya’. Yang berkaitan dengan alam semesta,
yaitu dengan mengatur dan tidak merusak keindahan alam serta menjaga
kestabilan alam raya in i.
2. Kurikulum
Pendidikan adalah proses yang berjalan secara kontinu yang
sesuai dengan tingkat kemampuan anak, sehingga memerlukan kurikulum
yang mampu diterima secara akal dan mampu diaplikasikan. Kurikulum
merupakan perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga
pendidikan.20 Jadi kurikulum lebih menekankan kepada bahan pelajaran
yang ada dalam suatu lembaga, dalam arti yang menjadi titip pusat dari
19 Ibid.
sebuah pendidikan. Sebagai pakar pendidikan Al-Ghazali mengemukakan
pendapatnya tentang kurikulum sangat erat kaitannya dengan konsep ilmu
pengetahuan21 22.
Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi kepada tiga bagian
• Y)
yaitu :
Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun akherat, seperti
ilmu nujum, ilmu sihir dan ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu itu tercela
, karena kadang -kadang mengakibatkan mudharat ( kesusahan ) baik bagi
yang memilikinya maupun orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat
mengakibatkan kesengsaraaan kepada orang banyak, dapat memisahkan
antara sesama manusia dan dapat menimbulkan pertengkaran, pertikaian,
menyebabkan rasa sakit hati, permusuhan dan lain-lain. Selanjutnya Al-
Ghazali ilmu nujum yang tidak tercela dapat dibagai dua, ilmu nujum yang
berdasarkan perhitungan ( hisab ) dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly
yaitu semacam astronomi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang.
Ilmu nujum yang kedua inilah menurut Al-Ghazali adalah yang tercela
menurut syara’ , karena dapat menyebabkan manusia ragu pada Allah,lalu
mempercayai ilmu nujum itu dengan penuh keyakinan, sehingga ia menjadi
kafir.
Menurut Al-Ghazali pula bahwa mempelajari filsafat bagi setiap
orang tidaklah wajib, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat
zl H. Abudin Nata, Op. Cit., hal.88
mempelajari ilmu itu dengan baik, karena dapat membingungkan dan
membahayakan bagi yang tidak kuat menerimanya. Menurut Al-Farabi (950
M ) filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan
bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya.23
Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Yaitu
ilmu yang berkaitan dengan penyucian hati yang dapat menghindarkan dari
perbuatan dosa serta ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan
amaliah yang dilakukaknya, supaya mendapat ridho-Nya dan menunjuk dan
membekali hidupnya di akherat.
Terhadap ilmu model kedua ini, Al-Ghazali membaginya
kedalam dua bagian, yaitu wajib ‘aini dan wajib kifayah. Ilmu-ilmu yang
wajib ‘aini bagi setiap Muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala
jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadah yang pokok dan sebagainya. Ilmu
wajib ‘aini adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib, siapa
yang mengetahui ilmu yang wajib, maka ia akan mengetahui kapan waktu
wajibnya. Sedangkan ilmu wajib kifayah adalah semua ilmu yang mungkin
diabaikan untuk kelancaran semua urusan.24
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dapat menimbulkan
kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan., serta dapat
membawa kekafiran.seperti ilmu filsafat. Mengenai ilmu filsafat Al-Ghazali
23 Endang Saifudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 83
membagi menjadi ilmu matemaika, ilmu-ilmu logika, ilmu ilahiyah, ilmu
fisika, ilmu politik dan ilmu etika25
3. Metode Pengajaran
Dalam kamus besar bahasa Indonesia metode adalah cara teratur
yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuatu
dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.26 Metode
merupakan suatu cara untuk mencapi keberhasilan yang berkaitan dengan
proses atau penggunaan sesuatu.
Al-Ghazali dalam bidang metode lebih ditujukan pada metode
khusus bagi pengajaran agama anak-anak yaitu dengan metode keteladanan
bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat
keutamaan pada diri mereka. Anak-anak cenderung meneladani gurunya dan
menjadikannya contoh dalam segala hal, karena secara psikologis anak-anak
adalah peniru yang ulung.27 Sebagaimana pada firman Allah surat Al-Ahzab
(3 3 ); 21;
jiV l 4^1 i y j auI j tjk fSA Sbl
( y > ) 1
Artinya : “ Dan sesungguhnya pada diri Rosulullah itu ada tauladan yang baikbagi orang -orang yang mengharapkan ( bertemu dengan )
hal. 226
25 Ib id , hal. 91
26 Departemen Pendidikan Nasional, Op. C it., hal. 740
Allah dan hari kemudian dan yang mengingat Allah sebanyak-banyaknya”. ( Al-Ahzab (33 ); 21 )“8
Peihatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan
dengan kecenderungan pendidikan secara umum, yaitu pendidikan adalah
sebagai keija yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu
guru dan murid, sehingga factor keteladanan merupakan yang terpenting
dalam pendidikan.28 29 Menurutnya keteladanan dikaitkan dengan
pandangannya kepada tugas mengajar menurut Al-Ghazali mengajar adalah
pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus tugas yang paling agung.30
4. Guru
Pendidikan dalam perkembangan tidak bisa mengabaikan guru
atau pendidik, karena guru atau pendidik sangat dibutuhkan dalam
pengembangan dan pentranferan ilmu secara teoritis maupun praktis. Peran
guru sangat besar dalam pengembangan , hal ini dapat dilihat seseorang
menjadi saijana, bisnismen ataupun pengusaha yang mampu
mengembangkan profesinya tidak terlepas dari peran pendidik.
Menurut Madyo Ekosusilo, yang dimaksud dengan guru atau
pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam memberikan
bimbingan, pengarahan secara sadar terhadap perkembangan kepribadian
dan kemampuan anak didik baik secara jasmani maupun rohani, sehingga
28 Departeman Agama Republik Indonesia, A l-O ur'an dan Terjemahanya, PT. Kusumadasmoro Grafindo, Semarang, 1994, hal. 670
anak didik mampu mandiri dan dapat memenuhi tugasnya segabai makhluk
pribadi maupun makhluk social.31
Guru yang dapat membimbing dan mendidik anak haruslah
mempunyai ilmu yang mampu untuk merealisasikan tugas dan
tanggungjawab dengan sempurna, baik dari segi teoritis maupun praktis hal
ini dilakukan supaya guru tidak mengalami kesusahan dan kesulitan dalam
mendidik. Dalam sabda Nabi seseorang yang telah mempunyai ilmu wajib
atas dirinya menyampaikan ilmunya kepada orang lain :
( j j i U l l 1 ^ kt JliuAH <j a <Ute- i l l jVl Uk- UIlc- ^ 1 ^ 3 U
dyajlj V j Artinya : “ Tidak diberikan oleh Allah kepada seseorang yang berilmu akan ilmu, melainkan telah diambil-Nya janji seperti yang diambil-Nya kepada nabi-nabi, bahwa mereka akan menerangkan ilmu itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya”.32
Sejalan dengan uraian tersebut diatas, Al-Ghazali sampai kepada
kriteria guru yang baik. Menurutnya guru yang mampu diserahi tugas
mengajar adalah guru yang selain dilihat dari fisik juga dilihat dari psikis,
yaitu yang mempunyai kecerdasan dan akal yang sempurna, mempunyai
akhlak yang baik dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal seorang
guru mampu mendalami dan memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam
baik dari segi pendidikan, psikologi anak, psikologi perkembangan dan
sosilogi sehingga dalam mendidik anak mempunyai pandangan yang
universal. Dengan akhlaknya yang baik guru mampu menjadi tauladan atau
J1 Ramayulis, Op. C it. , hal. 50
uswah bagi para anak didik, karena guru bagi anak adalah sebagai model
untuk ditiru dan gugu, dalam arti diikuti tingkah lakunya atau akhlaknya dan
dipercaya perkataannya. Sedangkan dari segi fisik, guru dapat menjalankan
tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak didiknya.33
Menurut Imam Al-Ghazali guru adalah yang memberikan
kegunaan hidup akherat yang abadi yakni guru yang mengajar ilmu akherat
ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akherat34. Maka
guru atau pendidik harus mempunyai tugas sebagai berikut:
Pertama, untuk melaksanakan tugas guru baik mengajar, medidik dan mengarahkan anak kepada ilmu pengetahuan, sikap yang harus dimiliki
pertama kali adalah kasih sayang kepada murid, dengan adanya kasih sayang
, murid akan merasa tenteram dan terbina dengan baik, karena dengan
adanya kasih sayang guru akan lebih mudah untuk mentrasfer ilmu dan
diterima murid dengan senang hati dan tenteram tanpa adanya paksaan dari
siapapun. Dengan kasih sayang guru, lebih mudah mengidentifikasi murid
yang mengalami kesusahan dalam belajar, sehingga murid dapat dilakukan
remidi dalam belajar melalui pendekatan personal dengan
memperlakukannya sebagai anak. Rosulullah bersabda :
» 4 j! i» j» Jla f&l U La
Artinya Sesungguhnya aku bagi kalian adalah bagaikan bapak terhadap anaknya “35
33 H. AbudinNata, Op. C i t., hal. 96 34 H. Abudin Nata, Op. Cit., hal.213
Kedua, mengajar merupakan tugas yang sangat mulia dan merupakan tugas agama yang harus dilakukan agi orang yang mempunyai
ilmu, maka seorang guru tidak boleh meminta upah atas jerih payahnya
mengajar itu. Seorang guru harus meniru apa yang dituntunkan oleh
rosulullah yaitu mengajar karena Allah, karena dengan niat yang ikhlas akan
mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan tujuan itu seorang guru tidak boleh
minta dikasihani dan dihormati oleh muridnya, karena guru haruslah
berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya
apabila ia berhasil membina mentalnya, seperti orang yang meminjami tanah
untuk anda tanami, maka hasil manfaat yang anda peroleh dari tanah itu juga
menambah kebaikan kepada pemilik tanah., oleh karena itu, janganlah
meminta upah kecuali dari Allah. '6
Firman Allah dalam Surat Hud ayat 29 :
( H : ■> > )....
Artinya : Dan ( dia berkata ) Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu ( sebagai upah ) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah...( Hud : 29 )3'
Ketiga, seorang guru hendakah berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Yaitu
mengarahkan murid untuk mempelajari ilmu yang lebih rendah dulu
kemudian ilmu yang lebih tinggi, karena hal ini terkait dengan penguasaan
yauga dilakukan murid. Murid tidak akan mampu mempelajari ilmu yang 36 37
36 Ibid, hal. 21
tinggi sebelum mempelajari ilmu yang rendah, hal ini dikaitkan dengan
potensi anak / mund. Dan juga guru harus mengingatkan kepada murid
untuk mendahulukan ilmu yang jelas sebelum ilmu yang tersembunyi.
Kemudian mengingatkan bahwa mencari ilmu tidak untuk mencari
kekuasaan, harta dan kedudukan tetapi untuk mendekatkan diri kepada
Allah.38
Keempat, dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya guru menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan
kekerasan,cacian, tidak mencela, mencaci maki dan menyebarkan kesalahan
anak didik didepan umum, karena cara itu anak dapat mengakibatkan jiwa
yang keras, menantang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dengan cara
yang halus dan simpatik akan mengakibatkan anak menyadari dengan
sepenuh hati dan merubahnya tanpa adanya paksaan dan kekangan dari
siapapun. Selain itu cara mencegah secara tidak langsung akan membuat
jiwa yang baik, dan pikiran yang cerdas cenderung untuk menyimpulkan
berbagai maknanya.39
Kelima, hendaklah sebagai seorang guru tidak mencela ilmu - ilmu yang tidak ditekuninya. Dalam hal ini guru harus mempunyai
pandangan yang luas yaitu bahwa semua ilmu adalah berasal dari Allah dan
semuanya diperuntukkan bagi manusia. Seorang guru harus mampu
mempelajari ilmu semampunya dan bersikap tolerir kepada ilmu-ilmu lain,
karena dengan ilmu yang tidak ditekuninya itu akan menambah wawasan
38 H. Abudin Nata, Op.Cit., hal.97
tentang keilmuwan itu. Untuk mendapatkan pengetahuan yang maksimal,
guru harus menyadari akan keterbatasan pengetahuannya, hendaklah guru
menyuruh kepada muridnya untuk belajar kepada guru yang lain yang
ilmunya dikuasainya dengan cara memberikan jalan untuk menempuhnya
supaya wawasan anak didik lebih luas.
Keenam, guru yang baik pula menurut Al-Ghazali adalah mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki setiap anak didik secara
individual, sehingga memperlakukan anak didik sesuai dengan perbedaan
potensi, tidak menyampaikan kepadanya apa yang tidak bisa dijangkau oleh
kemampuan akalnya agar tidak membuatnya enggan atau memberatkan
akalnya dan membuat kebingungan bagi anak didiknya, sehingga tujuan dari
pendidikan tersebut akan terganggu.. Ibnu Mas’ud sebagaimana
diriwayatkan Muslim berkata.
AUS £t£ VI SjSfr V d j ^ 1 U
Artinya Tidaklah seseorang berbicara kepada suatu kaum dengan sesuatu pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka”.40
Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Ghazali pula di samping memahami tingkatan perbedaan kemampuan dan kecerdasan
murid, juga harus memahami perbedaan bakat, minat, dan kejiwaan
muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Murid yang mempunyai
pemahaman yang rendah hendaklah diberikan pelajaran yang jelas, yang
layak baginya. Jangan diterangkan bahwa dibalik yang diterangkan ini ada
lagi pembahasan yang mendalam yang disimpan dan tidak dijelaskan,
karena hal itu akan mengurangi minat belajar anak didik dan mengacaukan
pikirannya. Dan juga menurut beliau, tidak layak orang awam dibawa
berkecimpung kedalam ilmu rahasia, seperti ilmu hakikat yang pelik-pelik.
Tetapi cukuplah dengan mengajari peribadatan, mengajari amanah dalam
pekeijaannya sehari-hari atau yang bersifat praktis tanpa menimbulkan
pemikiran yang rumit.41
Kedelapan, guru hendaklah menyesuaikan apa yang dikatakan dengan realita yang ada. Janganlah perkataannya membohongi
perbuatannya, karena ilmu dilihat dari mata hati sedangkan perbuatan dilihat
dari mata kepala, sedangkan mata kepala adalah lebih banyak lebih banyak.
Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru janganlah
sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentanga dengan prinsip yang di
kemukakannya. Guru merupakan model bagi anak didik, sehingga apa yang
dikatakan dan dilakukannya menjadi perhatian anak didik. Oleh karena itu,
guru dalam perkataannya harus sesuai dengan perbuatanya, jika hal itu
dilakukan tanpa ada keserasian, maka akan seorang guru akan kehilangan
kewibaannya dan menimbulkan kehinaan dan ejekan, sehingga guru tidak
akan lagi dapat mengatur anak didiknya.42 Ketika melakukan perbuatan itu
tidak hanya menerima hinaan dari manusia Allahpun akan membenci-Nya
seperti yang difirmankan dalam Al-Qur’an surat Shaf ayat 2 :
41 42
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?_ Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu keijakan.
Dengan keterangan diatas jelaslah apabila manusia merasa
beriman, percaya kepada Allah dan yang ghoib hendaklah melakukan apa
yang dikatakan. Sebelum manusia mengatakan suatu hal harus dipikirkan
dulu apakah dia sudah melaksanakannya atau belum. Dalam hal melakukan
sesuatu perbuatan asalkan tidak melanggar norma islam yang ada, maka
harus dilaksanakannya secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Guru
yang mempunyai ilmu akan menjadi teladan bagi orang banyak, maka
hendaklah menyesuaikan perkataan dengan perbuatannya, karena apabila
tidak dilakukan akan dibenci Allah, dan ilmunya akan menghancurkan
dirinya, seperti lilin yang menyala mampu menerangi sekitarnya tetapi
dirinya terbakar, manusia seperti itu alangkah kasihan dan sia-sia dalam
mencari ilmu dengan susah payah.
5. Murid
Disamping guru harus memiliki kemampuan, sikap dan tugas-
tugas yang berat. Dalam proses pendidikan tidaklah berjalan tanpa adanya
peserta didik ( murid ). Murid dalam hal ini adalah manusia yang menjadi
obyek sekaligus subyek yang harus dikembangkan potensinya melalui
pendidikan. Murid menjadi obyek, karena murid menerima ilmu atau
keterangan dari guru yang mau tidak mau harus didengarkan dan
diperhatikan, sehingga guru dalam memberikan pelajaran mempunyai rasa
senang dan ikhlas. Sedangkan murid sebagai subyek, karena murid
dipandang mampu untuk berkomentar dan bertanya serta mempunyai
potensi internal, sehingga hal itu perlu tindakan kreatif baik dari murid
sendiri ataupun guru supaya anak mendapatkan pengetahuan yang
maksimal.
Menurut Al-Ghazali murid atau peserta didik harus mempunyai
beberapa criteria atau sifat-sifat, sehingga murid dalam mencari ilmu sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah mendapatkan ilmu yang benar-benar
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Seorang murid yang baik adalah
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, mendahulukan kesucian bathin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. Karena ilmu merupakan ibadah hati, hanya dengan
kejernihan hati ilmu dapat diserap dengan sempurna tanpa ada yang
menghalanginya. Murid harus mempunyai jiwa bersih menghindarkan dari
sifat-sifat tercela. Menuntut ilmu adalah ibadah hati, shalat hati sebagaimana
shalat dhahir yaitu harus menghindarkan dari hal-hal yang kotor yang dapat
mengurangi bahkan membuat shalatnya tidak sah atau tidak diterima disisi
Allah. Dalam menuntut ilmu pula harus dilakukan dengan hati yang bersih
menghindarkan dari sifat-sifat tercela yang dapat mengotori hati, seperti
marah, sakit hati, takabur danlain-lain. Karena dengan menghindari sifat
tersebut hati akan terhindar dari kotoran yang akan menutup hati, sehingga
hati tidak mampu menyerap dan memahami ilmu dengan sebenarnya, seperti
Kedua, mengurangi keterikatan dengan kesibukan dunia, karena hal itu akan memalingkannya dari konsentrasi mencari ilmu dan
menyebabkan ikatan-ikatan yang menyibukkan diri dan terpisahnya pikiran
kedalam hal-hal selain ilmu.
( * : ^ <> ^»1 J»» U
Artinya : “ Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia dua hati dalam rongga tubuhnya”.
Apabila pikiran itu telah terbagi-bagi, maka kesanggupan untuk
mengetahui hakikat dari ilmu itu akan berkurang dan sulit untuk mendalami
ilmu itu dengan baik. Dari itu dikatakan : ilmu itu tidak menyerahkan
kepadamu sebagian dari padanya sebelum kamu menyerahkan sepadanya
seluruh jiwa ragamu. Apabila kamu sudah menyerahkan seluruhnya jiwa
raga engkau, maka penyerahan ilmu yang sebagaian itu juga masih dalam
bahaya. Pikiran yang dibagi-bagi dengan hal yang lain, bagaikan anak
sungai yang dibagi-bagi kedalam beberapa cabang. Sebagian airnya diserap
oleh tanah dan sebagian lagi menguap keudara, sehingga tidak ada lagi yang
digunakan untuk pertanian.44
Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya tidak menyombongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang guru. Yakni
dengan rendah hati dan tawadu’ kepada guru, yaitu dengan sepenuh hati
menerima dan mendengarkan nasehatnya, walaupun pada kenyataannya
murid lebih mengetahui ilmu itu. Tawadu’ disini mempunyai arti
menyerahkan urusan ilmu kepada gurunya, mendengarkan nasehat dan
arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat
dokternya.*0
Keempat, khusus kepada murid yang baru janganlah mempelajari ilmu atau pendapat yang bertentangan atau saling berlawanan. Seorang
murid yang baru hendaknya mempelajari aliran-aliran yang sepadan terlebih
dahulu, setelah menguasainya dengan baik, barulah mempelajari yang
aliran-alairan yang bertentangan. Hal itu dilakukan supaya murid tidak
mengalami kebingungan ,kekacauan dan kejenuhan akan sesuatu hal yang
tidak difahami, sehingga murid dengan seenaknya mencari yang termudah
tanpa mengetahui dasarnya. Dengan kematangan yang dimiliki itu murid
akan menempatkan atau memahami dengan arif tanpa mencampur
adukkan,baik itu ilmu keduniaan maupun ilmu keakheratan.
Kelima, seorang pelajar tidaklah meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang terpuji dan tidak semacampun dari
berbagai macamnya, selain memandang maksud dan tujuan dari masing-
masing ilmu. Ilmu agama harus didahulukan karena mempunyai maksud dan
tujuan yang hakiki yaitu akherat, sedangkan ilmu dunia dipelajari hanya
demi untuk kehidupan didunia.45 46
Ilmu pengetahuan sebenarnya saling bantu- membantu, sebagian
dari padanya saling terikat dengan sebagian yang lain, yaitu orang yang
mempelajari ilmu akan terlepas dari kebodohan karena manusia adalah
45 Ibid., hal. 100
musuh dari kebodohan, maka hal itu harus dipelajari sehingga terlepas dari
kebodohan dan ketidak tahuan dengan tujuan untuk memperoleh jalan
mendekatkan pada Allah.
Keenam, seorang pelajar dalam mempelajari ilmu hendaklah dengan tertib yaitu secara sistematis dari yang terpenting ke yang tidak
penting, tidak melakukan secara serempak tanpa membedakan yang penting
dan tidak penting. Seorang pelajar adalah manusia yang mempunyai
keterbatasan dalam hidupnya yaitu dibatasi dengan waktu dan usia. Oleh
karena itu, seorang pelajar harus mendahukan pelajaran yang penting supaya
mampu untuk mempelajari dengan mendalam dan mengumpuikan seluruh
kekuatan dari pengetahuan untuk menyempurnakan suatu pengetahuan yang
termulia dari segala macam pengetahuan yaitu ilmu akherat.
Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai ilmu sebelumnya, karena suatu ilmu adalah
pengantar kepada ilmu yang lebih sulit, maka murid harus
menyelesaikannya dengan memperhatikan urutan atau pentahapan dari ilmu
itu. Artinya tidak dilampauinya suatu bidang ilmu sebelum dikuasainya
benar-benar, baik dari segi ilmiahnya maupun amaliahnya.47 48Dan tujuan
dalam segala ilmu yang ditempuhnya mendaki kepada yang lebih tinggi.
Kedelapan, seorang murid hendaknya mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengatakan bahwa
nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya.
47 Ibid
Contoh ilmu agama adalah hasilnya untuk kehidupan abadi, sedangkan ilmu
kedokteran adalah hasilnya untuk sementara, maka ilmu agama lebih mulia
dibandingkan ilmu kedokteran.49
C. Karya-karya Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya
dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku
telah ditulisnya baik dari segi filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqih, tafsir,
tasauf dan lain-lain.
Didalam mukodimah “ Ihya’ Ulumuddin “ , Dr. Badawi
Thabana, menulis karya Al-Ghazali yang beijumlah 47 kitab, yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelompok Filsafat dan Ilmu kalam, yang meliputi:
a. Maqoshid al Falasifah ( Tujuan Para Filosof) b. Tahafut al Falasifah ( Kerancuan Para Filosof) c. Al Iqtishod fi al-I’tiqod ( Moderasi Dalam Aqidah ) d. Al Munqid min al-Dholal ( Pembebas Dari Kesesatan)
e. Al Maqoshidul Asna fi Ma’ani Asmillah Al-Husna ( Arti Nama-
h. Al Mustadhiri ( Penjelasan-penjelasan ) i. Hujjatul Haq ( Argumen Yang Benar)
j. Mufsilul Khilaf fi Ushuluddin ( Memisahkan Perselisihan Dalam Usuluddin)
k. Al Muntahal fi Tlmil Jidal ( Tata Cara Dalam Ilmu Diskusi )
l. Al Madhnun bin ‘Ala Ghoiri Ahlihi ( Persangkaan Pada Bukan Ahlinya)
m. Mahkun Nadlar ( Metodologinya )
n. Asraar Tlmiddm ( Rahasia Ilmu Agama)
o. Al Arba’in fi Ushuluddin ( 40 Masalah Ushuluddin )
p. Ijmaul Awwam ‘an ‘Ilmil Kalam ( Menghalangi Orang Awam dari Ilmu Kalam)
q. Al Qulul Jamil Fir Raddi ala man Ghoyaroi Injil ( Kata yang Baik untuk Orang-orang Yang Mengubah In jil)
r. Mi’yarul ‘Ilmi ( Timbangan Ilm u) s. Al Intishar ( Rahasia- rahasia Alam ) t. Isbatun Nadlar ( Pemantapan Logika)
2. Kelompok Fiqih dan Ushul Fiqih, yang meliputi;
a. Al Bastih ( Pembahasan Yang Mendalam ) b. Al Wasit ( Perantara)
c. Al Wajiz ( Surat-surat Wasiat)
d. Khulashatul Mukhtashar ( Intisari Ringkasan Karangan ) e. Al Mustasyfa ( Pilihan)
3. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf, yang meliputi:
a. Ihya’ Ulumuddin ( Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) b. Mizanul Amal ( Timbangan Amal)
c. Kimiyaus Sa’adah ( Kimia Kebahagiaan ) d. Misykatul Anwar ( Relung-relung Cahaya ) e. Minhajul ‘Abidin ( Pedoman Beribadah)
f. Ad-Dararul Fakhiroh fi Kashfi Ulumil Akhirah ( Mutiara Penyimpan Ilmu Akhirat)
g. Al- ‘ Ainis Fi Wahdah ( Lembut-lembu Dalam Kesatuan)
h. Al Qurbah Illallahi Azza wa Jalla ( Mendekatkan Diri Kepada Allah)
i. Akhlah Al Abrar Wan Najat Minal Asrar ( Akhlak Yang Luhur Dan Menyelamatkan dari Keburukan )
j . Bidayatul Hidayah ( Permulaan Mencapai Petunjuk) k. Al Mabadi Al Ghayyah ( Permulaan dan Tujuan )
l. Talbis al Iblis ( Tipu Daya Iblis )
4. Kelompok Ilmu Tafsir, yang meliputi:
a. Yaaquutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil ( Metodologi Ta’wil di dalam Tafsir yang Diturunkan ): terdiri dari 40 jilid
b. Jawahir Al Qur’an (Rahasia Yang Terkandung dalam Al-Quran ).
Sebenarnya masih banyak lagi kitab Al-Ghazali tetapi menurut penulis
kitab-kitab itu dapat mewakili kitab yang tidak ditulis ataupun yang tidak
diketemukan atau hilang.
BAB m
PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG TAFAKUR
A. Pengertian Tafakur
Tafakur secara etimologis berasal dari bahasa arab ' J&i -jS£
yang berarti berfikir, sedangkan dari bahasa Indonesia dari kata dasar “ pikir “
yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan.1 Mendapat awalan ber- menjadi
“ berpikir “ yang berarti menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan
dan memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dalam ingatan2. Dalam kaitan
ini berfikir terletak pada kemampuan akal budi atau rasio dalam rangka untuk
mempertimbangkan segala sesuatu yang bersifat sistematis dan bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Rasio atau akal budi merupakan sesuatu yang
terdapat dalam diri manusia yang berguna untuk membedakan antara manusia
dengan makhluk yang lain. Dengan rasio ini manusia mampu membuat
perubahan-perubahan yang bertujuan untuk kemakmuran hidupnya baik yang
berkaitan dengan kehidupan dunia maupun akherat.
Dalam menjalani kehidupan diperlukan pemikiran yang sesuai
dengan perkembangan zaman yang selalu membutuhkan ilmu dan
pengetahuan serta pengalaman yang menjadikan lebih inovatif dalam
menghadapi persaingan baik budaya maupun pemikiran. Hal itu dapat
menunjukkan bahwa penggunakaan pikiran sangat penting dalam mengetahui
segala sesuatu yang ada akan menimbulkan pengetahuan dan pemahaman
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 872