• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Resiliensi pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai di Bandung."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian dengan judul Studi Deskriptif mengenai Resiliensi pada remaja yang

orangtuanya bercerai di Bandung ini memiliki variabel Resiliensi dengan pemilihan

sample menggunakan metode purposive sampling dengan ukuran sample 15 orang

remaja.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah non-eksperimental, yaitu suatu

penelitian tanpa melakukan erlakuan atau pengontrolan terhadap sasaran penelitian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriotif dengan

menggunakan survey. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner Resiliensi yang

disusun peneliti berdasarkan empat kategori Resiliensi dari Teori Benard(2004) yaitu

Social competence, Problem solving skills, Autonomy, dan Sense of purpose yang

berjumlah 72 item yang telah valid. Dengan reliabilitas sebesar 0.968.

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti maka diperoleh hasil

penelitian bahwa remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung masih mampu

memanifestasikan kategori-kategori Resiliensinya.

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian adalah bahwa kategori-kategori

Resiliensi di manifestasikan dalam kekuatan yang beragam namun dengan penyebaran

yang hampir merata.

Manifestasi Resiliensi bersumber dari Protective factors, yaitu Caring

relationship, High Expectations, Opportinities for participations and contributions dari

keluarga, sekolah, dan komunitas. Manifestasi kategori-kategori Resiliensi akan optimal

jika Protective factorsnya optimal. Demikian sebaliknya, manifestasi kategori-kategori

Resiliensi yang kurang optimal bersumber dari dari Protective factors yang kurang

optimal.

(2)

DAFTAR ISI

Lembar judul

Lembar pengesahan

Abstrak………i

Kata Pengantar………ii

Daftar isi………..vii

Daftar tabel...

Daftar bagan...

Daftar lampiran...

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah………... 1

1.2 Identifikasi Masalah………... 9

1.3 Maksud dan Tujuan……….. 9

1.4 Kegunaan Penelitian………..9

1.5 Kerangka Pemikiran………... 10

1.6 Asumsi………. 18

BAB II TINJAUAN TEORITIS………..………....19

2.1

Resiliency………...…..19

2.1.1

Definisi

Resiliency………19

2.1.2

Aspek

Resiliency………..19

2.1.3

Protective

factors………...27

(3)

2.2.1

Pengertian

Remaja………...36

2.2.2 Batasan-batasan masa remaja………...36

2.2.3 Perubahan dasar masa remaja………37

2.2.4 Konteks social remaja………...39

2.2.5

Tugas-tugas

perkembangan………..42

2.3 Keluarga bercerai……….43

2.3.1 Akibat perceraian terhadap anak………45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….. ..53

3.1 Rancangan Penelitian………...53

3.2 Variabel penelitian dan Definisi operasional……….53

3.2.1

Variabel

penelitian………..

..53

3.2.2

Definisi

operasional………....54

3.3 Alat ukur penelitian………... ...58

3.3.1

Kuesioner

………58

3.3.2 Prosedur pengisian kuesioner………65

3.3.3

Data

penunjang………65

3.3.4 Validitas dan Reliabilitas alat ukur………65

3.4 Populasi sasaran………..67

3.4.1

Populasi

sasaran………..…...67

3.4.2

Karakteristik

populasi………...68

3.4.3 Teknik penarikan sampel...68

3.5 Teknik Analisis data………..68

(4)

4.1

Karakteristik

responden………70

4.1.1

Jenis

kelamin………70

4.1.2

Usia………70

4.2 Gambaran mengenai Resiliensi……….71

4.2.1

Gambaran

Social

competence……….71

4.2.2 Gambaran Problem solving skills………...72

4.2.3

Gambaran

Autonomy………...73

4.2.4 Gambaran Sense of purpose……….74

4.3 Gambaran manifestasi kategori Resiliensi……….75

4.4 Pembahasan manifestasi Resiliensi dalam kategorinya………….75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...85

5.1

Kesimpulan...85

5.2

Saran...86

5.2.1

Saran

Teoritis...86

5.2.2

Saran

Praktis...86

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RUJUKAN

(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Angket ini berisi daftar pernyataan yang berhubungan dengan penelitian yang

kami lakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai resiliency

pada remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon kesediaan Anda agar bersedia

meluangkan waktu untuk mengisi angket ini. Harapan kami, angket ini dapat diisi dengan

sebenar-benarnya dan sejujurnya. Anda tidak perlu khawatir atau takut, karena kami akan

menjamin kerahasiaan identitas maupun jawaban Anda.

Sekian dari kami, atas kesediaan Anda untuk mengisi angket ini kami

mengucapkan terima kasih. Selamat mengisi.

Hormat kami,

(8)

Kuesioner Data Penunjang

Identitas Pribadi

Nomor

:

Usia

:

Jenis Kelamin :

Faktor Protektif

1.

Family Protective Factor / Keluarga

Caring Relationship : Bagaimana hubungan kamu dengan anggota keluargamu ?

Siapa yang paling dekat dengan kamu ? Mengapa ?

High Expectations : Apakah anggota keluarga kamu memberikan dorongan dan

kata-kata membangun terhadap kemampuanmu?

Opportinities for participation and contribution : Apakah dalam keluarga kamu

selalu diberi kesempatan untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah

sendiri ?

2.

School Protective Factor / Sekolah

Caring Relationship : Bagaimana hubungan kamu dengan Guru-guru dan

teman-teman di lingkungan sekolahmu ?

(9)

Opportinities for participation and contribution : Apakah kamu mendapat

kesempatan untuk berperan serta dalam aktivitas-aktivitas di sekolah ? Kegiatan

apa saja ?

3.

Community Protective Factor / Komunitas

Caring Relationship : Apakah kamu dekat hubungannya dengan orang-orang yang

ada di sekitar lingkunganmu ?

(10)

Pilihlah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut berdasarkan :

)

Sangat tidak sesuai dengan saya

)

Tidak sesuai dengan saya

)

Sesuai dengan saya

)

Sangat sesuai dengan saya

Beri tanda (

) pada salah satu kolom yang tersedia.

No

Pertanyaan / item

Sangat

tidak

sesuai

Tidak

sesuai

Sesuai Sangat

sesuai

1

Saya mampu berteman dengan siapapun, termasuk orang-orang

yang baru saya kenal.

2

Saya tidak merencanakan untuk mencapai masa depan yang

lebih baik.

3

Saya pantas mendapatkan kemenangan di setiap perlombaan

yang saya ikuti.

4

Saya yakin tidak akan ada orang yang peduli dengan masa

depan pendidikan saya.

5

Saya akan menolak ajakan-ajakan buruk dari teman-teman saya.

6

Saya tidak berusaha untuk keluar dari masalah yang saya hadapi.

7 Saya mampu mengatur pola makan dengan baik sehingga

kesehatan saya tetap terjaga.

8 Saya tidak pernah ikut program keterampilan dalam bidang

apapun.

9

Saya bisa merasakan kepedulian orang lain terhadap diri saya.

10 Saya pernah mencoba merokok dan menggunakan obat-obatan

terlarang untuk menyelesaikan masalah yang saya hadapi.

11 Saya yakin dapat mengerjakan semua pekerjaan dengan baik.

12 Saya malas mempersiapkan masa depan dengan keharusan

belajar secara akademik maupun keterampilan.

13 Saya dapat berbagi sesuatu dengan teman-teman saya.

14 Saya langsung mempercayai informasi-informasi terbaru di

media massa tanpa mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.

15 Saya tidak suka ikut-ikutan teman yang mencontek saat ujian.

16 Saya setuju dengan kehidupan pergaulan bebas.

17 Saya tidak yakin dengan kekuatan doa kepada Tuhan.

(11)

19 Saya menerima dengan baik bantuan dari orang lain.

20 Saya tidak peduli dengan kehidupan masa depan.

21 Setiap ada perlombaan yang saya ikuti, saya yakin bisa menang.

22 Saya sering berpikir untuk hidup lebih baik tapi tanpa melakukan

apa-apa.

23 Saya tidak terpengaruh oleh ajakan teman untuk mencontek.

24 Saya mudah menyerah saat menghadapi masalah.

25 Saya mengikuti berbagai macam kegiatan yang sangat berguna

bagi saya.

26

Saya tidak pernah menyalurkan bakat-bakat yang saya miliki.

27 Saya dapat turut merasakan kesusahan yang sedang dialami

teman atau keluarga saya.

28 Saya

tidak

mampu

mempertahankan diri lagi saat masalah yang

saya hadapi begitu berat.

29 Saya memiliki bakat seni (misalnya menyanyi, bermain musik,

dll) lebih baik dari pada teman-teman saya.

30 Saya berpikir masa depan saya tidak jauh berbeda dengan

keadaan saya saat ini.

31 Saya memaafkan orang-orang yang pernah menyinggung

perasaan saya.

32 Saya menerima penjelasan Guru yang kurang dapat saya

mengerti, saya menerima saja dan enggan bertanya.

33 Saya menjauhi teman-teman yang merokok atau mengkonsumsi

narkoba agar saya tidak terpengaruh

34 Saya tidak yakin bahwa Tuhan berkuasa untuk mengubah

kehidupan manusia.

35 Saya berusaha memahami pemikiran teman-teman saya yang

sedang berselisih pendapat.

36 Saya

tidak

mampu

menghibur

teman-teman saya yang sedang

bersedih atau tertimpa musibah.

37 Saya ingin bersekolah setinggi mungkin.

38 Saya takut ditertawakan teman saya jika saya ikut perlombaan.

39 Saya ingin sekolah sampai jenjang yang tinggi.

40 Saya menolak untuk menjalin hubungan dengan orang baru.

41 Saya mencoba mengerjakan keterampilan yang saya miliki

dengan sebaik mungkin.

42 Saya tidak termotivasi melihat prestasi-prestasi teman-teman

saya.

43 Saya meminta bantuan teman dan orang-orang terdekat jika saya

tidak dapat menyelesaikan masalah saya sendiri.

(12)

45 Saya optimis bila rajin belajar, maka akan memperoleh prestasi

akademis yang baik.

46 Saya tidak memiliki bakat apapun.

47 Saya menceritakan masalah-masalah saya pada teman dekat atau

orang yang saya percayai.

48

Saya bertingkah laku yang mengecewakan orang-orang di sekitar

saya.

49 Saya menjalankan ibadah dan keyakinan dengan rasa tanggung

jawab.

50 Saya setuju dengan kehidupan pergaulan bebas.

51 Saya tidak membuang sampah sembarangan di selokan karena

bisa menyebabkan selokan tersumbat dan mengakibatkan banjir.

52 Saya tidak dapat membantu dan peduli terhadap orang lain.

53 Saya mampu menghibur teman-teman saya yang sedang

bersedih.

54 Saya tidak peduli dengan teman-teman saya yang sedang

memiliki masalah.

55 Saya percaya selama manusia berusaha, maka akan menemukan

jalan yang lebih baik.

56 Saya mengabaikan orang yang menghibur saat saya sedang

bersedih.

57 Saya membuka diri terhadap kegiatan apapun yang bisa

membawa saya untuk mencapai masa depan yang lebih baik

58 Saya tidak dapat menolak dengan tegas setiap bujukan teman

yang merugikan.

59 Saya mencoba menyalurkan bakat-bakat yang saya miliki

(misalnya menyanyi) dengan mengikuti berbagai lomba yang

diadakan di sekolah maupun luar sekolah.

60

Saya tidak mampu berbuat apapun melihat teman yang tertimpa

musibah.

61 Saya tidak mampu mempertahankan hubungan baik dengan

orang lain.

62 Saya tidak mempertahankan hubungan baik dengan orang-orang

di sekitar saya.

63

Saya sering ikut-ikutan mencontek agar tidak dianggap alim oleh

teman-teman saya.

64 Saya sangat peduli dengan kehidupan masa depan.

65 Saya tidak bisa menyelesaikan masalah atau pekerjaan dengan

baik.

(13)

67 Saya tidak memiliki minat dalam bidang apapun.

68 Saya meminta saran dari orang-orang terdekat bila sedang

menghadapi masalah.

69 Saya tidak mengikuti perlombaan yang diadakan di sekolah

maupun lingkungan rumah karena malu.

70 Saya mampu memahami setiap pernyataan yang dilontarkan

orang lain maupun pernyataan yang saya baca di media masa.

71 Saya mampu menciptakan gurauan yang bisa membuat

teman-teman saya tertawa.

(14)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keluarga mencakup seorang ayah, ibu, dan anak, mereka saling berkaitan

dekat sekali dan menyusun satu sub pembagian atau peran tertentu. Peran ayah di

dalam keluarga adalah menjadi kepala rumah tangga, sedangkan peran ibu adalah

mendampingi ayah dalam melaksanakan perannya dalam keluarga. Peran anak

adalah belajar/berprestasi, hormat dan patuh pada ayah-ibu. Jika peran setiap

individu berjalan dengan baik, maka fungsi dari keluarga dapat optimal.

Fungsi keluarga adalah memberikan kasih sayang, memberikan rasa aman

dan perasaan bahwa individu diterima secara pribadi, memberikan kepuasan

dalam hal rasa aman, pemenuhan kebutuhan sekunder dan kebutuhan

masing-masing individu untuk memiliki tujuan dalam menjalani hidup, memberikan

keyakinan pada individu bahwa adanya penerimaan di dalam keluarga baik

senang maupun susah, menjamin kelangsungan sosialisasi setiap individu dengan

lingkungan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat, menanamkan

pemahaman tentang norma-norma dan kontrol mengenai yang benar dan yang

salah melalui belajar (Singgih D. Gunarsa, dalam Psikologi remaja, 1990).

Terkadang ada fungsi-fungsi dari keluarga yang terabaikan, misalnya

karena ada pertengkaran. Pertengkaran-pertengkaran yang terjadi dalam keluarga

disebabkan oleh krisis ekonomi, perbedaan pendapat, masalah-masalah sosial,

(15)

2

Universitas Kristen Maranatha

terbengkalai, tidak adanya waktu berkomunikasi, sulitnya menemukan waktu

untuk berkumpul, kurang kasih sayang, kurang perhatian. Apabila fungsi-fungsi di

dalam keluarga tidak dapat berjalan dengan baik maka akan mempengaruhi dan

berdampak pada seluruh anggota keluarga sehingga peran masing-masing anggota

dalam keluarga menjadi terabaikan. Apabila tidak ditemukan jalan keluar yang

baik, menyebabkan suasana kehidupan keluarga menjadi kurang nyaman dan

dapat berakhir dengan perceraian. Salah satu yang paling merusak hubungan

keluarga adalah perceraian suami istri (Havemann, 1986).

Seorang anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan

bantuan dan uluran tangan dari kedua orangtuanya. Orangtualah yang paling

bertanggung jawab dalam perkembangan keseluruhan eksistensi anak, sehingga

anak dapat tumbuh dan berkembang ke arah kepribadian yang harmonis dan

matang. Gambaran anak yang memiliki kepribadian yang harmonis dan matang

lebih banyak dapat tercapai bila pernikahan orangtuanya harmonis. Suasana

keluarga yang utuh dan lengkap akan membantu anak dalam mengadakan

modelling terhadap kedua orang tuanya. Hasil penelitian yang dilakukan ahli

psikologi yang mengatakan bahwa keluarga memberikan kontribusi terbesar

dalam pembentukan gambaran diri individu (Fitts, 1971: 31).

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 2003 terjadi 1.683.979

pernikahan dan 133.306 perceraian. Jumlah tersebut menunjukan bahwa tingkat

perceraian di Indonesia diperkirakan sebesar 7.92%. Di provinsi Jawa Barat

terjadi 26.105 kasus perceraian dari 308.613 pernikahan. Perceraian adalah

(16)

3

Universitas Kristen Maranatha

sosial terkecil yang bernama keluarga. Angka perceraian ini cukup

mengkhawatirkan mengingat adanya efek-efek negatif yang timbul karenanya.

Walaupun perceraian sebagai suatu tindakan individual, namun permasalahan

yang ditimbulkan oleh perceraian akan dapat mempengaruhi kehidupan semua

anggota keluarga, terutama anak. Akibat yang ditimbulkan oleh perceraian tidak

hanya terkait dengan masalah ekonomi, sosial atau hal pengasuhan, tetapi juga

dalam aspek psikologis, bahkan dari perceraian ini anak harus tinggal dengan

salah satu dari orangtuanya baik ayah atau ibu.

Perceraian dapat memberikan dampak yang sangat luas dan sangat

mendalam bagi perkembangan dan pertumbuhan seorang anak. Walaupun begitu,

ada anak yang dapat mengerti mengapa orangtuanya bercerai, bahwa perceraian

adalah jalan keluar yang terbaik bagi sebuah hubungan antara dua orang yang

tidak bisa lagi mengatasi masalahnya. Ada juga anak yang tidak bisa menerima

perceraian orangtuanya akan memperlihatkan tingkah laku yang asosial, seperti

mencari rasa aman dengan menggunakan obat-obatan terlarang, melakukan seks

bebas(Matra, 2004). Artinya perceraian orangtua, akan mendorong anak untuk

memunculkan tingkah laku yang negatif karena menafsirkan bahwa mereka

diabaikan dan tidak diakui.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Judith Wallerstein & Joan Kelly,

1974 (Santrock & Yussen, 1984 : 366) terhadap 131 anak dan remaja dari

keluarga bercerai, hanya sekitar 21% remaja menyatakan bahwa perceraian

orangtua bukanlah peristiwa yang sangat menyakitkan atau mengacaukan

(17)

4

Universitas Kristen Maranatha

sebagai suatu keadaan yang menyakitkan dan memalukan. Dari latar belakang

status yang dimilikinya, sudah tentu akan mempengaruhi pembentukan identitas

diri. Pembentukan identitas diri ini kemudian menjadi sangat penting dan berarti

manakala mencapai usia remaja, hal ini terjadi karena masa remaja aadalah suatu

masa yang kritis dalam pencarian identitas diri (Hurlock, 1994 : 208).

Kenyataan bahwa perceraian orangtua adalah sebuah peristiwa yang

terjadi di luar kendali anak, perceraian dirasakan sebagai sesuatu yang sangat

menekan. Tekanan-tekanan tersebut merupakan kondisi yang tidak dapat

dikendalikan anak karena tekanan tersebut merupakan konsekuensi dari pilihan

yang diambil oleh orangtua dan bukan oleh diri si anak. Terlebih lagi anak yang

berada pada usia remaja, karena pada usia remaja seseorang mulai mencari

identitas dirinya sebagai dasar untuk mengembangkan diri di masa depan. Untuk

dapat bertahan menghadapi situasi yang menekan akibat terjadinya perceraian

orangtua, seorang remaja memerlukan kemampuan penyesuaian diri terhadap

tekanan-tekanan yang dihadapinya. Waktu yang dibutuhkan oleh seseorang,

khususnya remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan peristiwa perceraian

orangtua sangat bervariasi antara satu remaja dengan remaja lainnya (Lasswell &

Lasswell, 1991). Lamanya waktu yang dibutuhkan seorang remaja untuk dapat

menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut salah satunya adalah besar kecilnya

kapasitas penyasuaian diri yang dimiliki remaja. Remaja harus memiliki kapasitas

yang besar untuk dapat menghadapi situasi yang penuh tekanan tersebut.

Resiliensi merujuk kepada kemampuan seseorang untuk dapat beradaptasi

(18)

5

Universitas Kristen Maranatha

halangan dan rintangan (Benard, 1991 ). Resiliensi merupakan proses yang

dinamis dalam diri individu. Resiliensi mengubah remaja yang orangtuanya

bercerai yang berada dalam keadaan tertekan menjadi seorang remaja yang

tangguh dan membuat mereka dapat berkembang sesuai dengan tugas-tugas

perkembangannya. Secara umum, resiliensi tercermin dalam empat kategori, yaitu

social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose (

Benard, 1995 ).

Social competence merujuk kepada seberapa besar kemampuan remaja

yang orangtuanya bercerai untuk menjalin hubungan dekat dengan orang lain dan

tidak merasa dirinya kurang berarti. Problem solving skills merujuk kepada

seberapa besar kemampuan remaja yang orangtuanya bercerai untuk dapat

menyelesaikan pelbagai masalah sehari-hari, termasuk menjalankan tugas-tugas

yang dibebankan secara bertanggung jawab. Autonomy merujuk kepada seberapa

besar kemampuan remaja yang orangtuanya bercerai dalam mengerjakan segala

keperluannya sendiri. Remaja yang orangtuanya bercerai diharapkan dapat dapat

bertindak dan mengambil keputusan atas inisiatf sendiri namun secara

bertanggung jawab. Sense of purpose merujuk kepada seberapa besar kemampuan

remaja yang orangtuanya bercerai untuk dapat memahami keadaan keluarganya

yang bercerai. Memahami keadaan tersebut akan membantu proses penyesuaian

diri di masyarakat tanpa menyisakan dampak trauma secara psikologis.

Kemampuan resiliensi diperlukan oleh remaja yang orangtuanya bercerai

agar dapat bertahan, melawan tekanan dengan cara yang sehat, hingga dapat

(19)

6

Universitas Kristen Maranatha

memerlukan resiliensi agar mereka tidak terpuruk dalam keadaan tertekan,

mengingat masa depan mereka masih panjang. Remaja harus dapat meyakinkan

diri mereka bahwa mereka dapat bangkit dan melawan keadaan tertekan, agar

mereka dapat tetap berkarya di kemudian hari (www.kompas.com).

Remaja yang resilience akan mampu melakukan social competence,

problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose, yang mencakup

kemampuan berelasi dengan baik, dapat menyelesaikan tugas sehari-hari secara

bertanggung jawab, dapat bersikap mandiri, dan dapat memahami keadaan

keluarga yang bercerai. Mereka akan dapat menjalani kehidupan sebagai anak dari

orang tua yang bercerai dengan tetap melakukan hal-hal positif dan tidak

mengalami trauma secara psikologis.

Remaja yang kurang resilience akan kurang mampu juga dalam

melakukan social competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of

purpose, yaitu kurang mampu berelasi dengan baik, kurang mampu

menyelesaikan tugas-tugas secara bertanggung jawab, kurang bisa mandiri, dan

kurang mampu memahami keadaan keluarganya.

Berdasarkan wawancara terhadap empat orang remaja yang orangtuanya

bercerai diperoleh pernyataan :

T (18 tahun), ia mengungkapkan bahwa perceraian orangtuanya adalah

kejadian yang sangat mengejutkan, karena sebelumnya T jarang melihat

orangtuanya bertengkar. T menghayati kejadian tersebut sangat menyedihkan dan

membuatnya tidak semangat lagi melakukan aktivitas sehari-hari, seperti sekolah

(20)

7

Universitas Kristen Maranatha

sebagai peristiwa yang cukup memalukan, apalagi saat T berada di lingkungan

teman-teman yang memiliki keluarga harmonis. Namun T mampu berinteraksi

secara positif dengan lingkungannya, T mampu berpikir kritis dan mengenali

dengan baik sumber daya yang dimilikinya. Di sisi lain, T kurang mampu

mengendalikan situasi atau keadaan yang dihadapi dalam kesehariannya. T juga

kurang yakin bahwa dirinya masih memiliki masa depan yang berarti dan penuh

makna.

Begitu juga dengan I (17 tahun), ia menghayati perceraian orangtuanya

sebagai peristiwa yang paling mengerikan dalam hidupnya. I juga

mengungkapkan jika dirinya berdoa dan berusaha sebisa mungkin agar perceraian

orangtuanya tidak terjadi, namun I tidak berdaya mencegah peristiwa itu. I sangat

sedih harus berpisah dengan Ayahnya, I sering menghayati dirinya sebagai remaja

yang paling malang karena memiliki keluarga yang tidak lengkap, apalagi I adalah

anak tunggal. Namun I memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara positif

dengan lingkungannya, I mampu menunjukan empati terhadap situasi tidak

menyenangkan yang dihadapi orang lain. I mampu bertindak secara independent

dan mampu mengendalikan lingkungan yang dihadapi dalam kesehariannya. Di

sisi lain, I kurang menghayati sumber daya yang dimilikinya, kurang fleksibel,

kurang mampu menyusun rencana-rencana. I juga kurang optimis dalam mencapai

target-target di masa depannya, ia kurang yakin bahwa dirinya memiliki masa

depan yang cerah.

E (16 tahun) juga menghayati perceraian orangtua membuatnya cukup

(21)

8

Universitas Kristen Maranatha

banyak mendengar komentar-komentar negatif dari lingkungan sekitar seperti

tetangga atau kerabat dekat. E juga menghayati perceraian tersebut sebagai

peristiwa yang menguras pikirannya sehingga dirinya tidak bisa konsentrasi dalam

belajar dan dalam melakukan tugas-tugasnya yang lain. Namun E mampu

melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya dan peduli dengan situasi tidak

menguntungkan yang dialami orang lain. E juga memiliki keyakinan mendalam

bahwa kehidupannya tetap memiliki makna yang berarti meskipun orangtuanya

bercerai. Di sisi lain, E kurang fleksibel dalam menghayati sumber daya yang

dimilikinya, ia kurang mampu memunculkan insight-insight dan kurang fleksibel.

E juga kurang memiliki kemampuan untuk mengendalikan lingkungannya.

Begitu juga dengan S (17 tahun), ia merasa malu karena perceraian

orangtuanya, S menjaga jarak dengan teman-temannya sejak orangtuanya

bercerai, S pernah merasa sangat malu saat pengambilan raport ke sekolah yang

harus diambil oleh orangtua, ibu S datang sendiri untuk mengambil raport

sedangkan orangtua dari teman-teman S datang dengan suami/istri

masing-masing. S merasa tertekan dan sangat sedih karena orangtuanya bercerai. Hal

tersebut membuat S merasa minder dalam berelasi dengan lingkungannya. Namun

S mampu menyusun rencana-rencana dan cukup mampu berpikir kritis, ia juga

mampu bertindak secara independent dalam kesehariannya. Namun S kurang

optimis dalam meraih tujuan masa depannya.

Berdasarkan wawancara terhadap empat orang remaja yang orangtuanya

bercerai, maka diperoleh fakta bahwa perceraian orangtua merupakan adversity

(22)

9

Universitas Kristen Maranatha

diketahui bahwa terdapat kemampuan resiliensi yang berbeda-beda pada remaja

yang orangtuanya bercerai di Bandung.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui resiliensi

yang dimiliki oleh remaja yang orangtuanya bercerai di kota Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui “seperti apakah keadaan

resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung”.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai

resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai

resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung melalui empat

kategori, yaitu social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of

purpose.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Ilmiah

Memberikan sumbangan ilmu yang dapat menjadi bahan informasi,

terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Keluarga

(23)

10

Universitas Kristen Maranatha ● Memberikan tambahan informasi serta ide kepada peneliti lain yang

ingin meneliti lebih lanjut mengenai resiliensi pada remaja yang orangtuanya

bercerai.

1.4.2. Kegunaan Praktis

● Melalui penelitian ini diharapkan remaja yang orangtuanya bercerai

mendapatkan gambaran mengenai resiliensi yang dimilikinya, sehingga dapat

menjadi masukan agar dapat membantu remaja untuk membentuk resiliency yang

tinggi.

● Memberikan informasi kepada orangtua, khususnya orangtua yang

bercerai mengenai resiliensi anak remajanya, sehingga informasi ini diharapkan

agar orangtua lebih mendukung dan memperhatikan anaknya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pada tahap perkembangan remaja terdapat tiga perubahan(transisi) yang

fundamental, perubahan pertama berkenaan dengan pubertas (bilogical

transitions), perubahan yang kedua berkenaan dengan peningkatan kemampuan

berpikir (cognitive transitions), perubahan yang ketiga berkenaan dengan peranan

baru di masyarakat (social transitions) (Steinberg, 2002). Selain itu pada tahap

perkembangan remaja juga terdapat lima perangkat issues perkembangan

psikososial yaitu identity, autonomy, intimacy, sexuality, dan achievement

(Steinberg, 2002). Baik ketiga transisi fundamental maupun kelima issues

(24)

11

Universitas Kristen Maranatha

bahwa pada tahap perkembangan ini remaja mengalami satu periode saat

seseorang harus mengenali dan mengembangkan dirinya sesuai dengan perubahan

biologis, psikologis dan sosial. Hasil dari proses pengenalan dan pengembangan

diri yang terjadi pada tahap perkembangan ini akan menjadi landasan bagi tahap

perkembangan selanjutnya. Terdapat empat konteks yang berhubungan erat dan

mempengaruhi remaja, yaitu keluarga, teman sebaya, sekolah, dan kerja

(Steinberg, 2002). Sebagai salah satu konteks remaja, keluarga memegang

peranan penting pada tahap perkembangan ini karena tahap perkembangan remaja

adalah sebuah periode perubahan dan reorganisasi dalam relasi keluarga dan

interaksi sehari-hari (Steinberg, 2002).

Salah satu permasalahan penting yang mungkin terjadi di dalam sebuah

keluarga adalah perceraian orangtua. Perceraian orangtua merupakan suatu

periode perubahan dan reorganisasi relasi keluarga, setiap anggota keluarga,

bukan hanya orangtua, harus dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang

terjadi. Apabila seorang individu berada di dalam sebuah keluarga yang

mengalami perceraian pada saat individu tersebut sedang berada pada tahap

perkembangan remaja maka ia mengalami dua bentuk perubahan yang terjadi

secara bersamaan dan keduanya menuntut adanya kemampuan penyesuaian diri.

Kemampuan penyesuaian diri terhadap situasi yang penuh tekanan tersebut

disebut resiliensi.

Menurut Benard (2004), resiliensi adalah suatu kapasitas manusia untuk

menghadapi, mengatasi, dan dikuatkan atau bahkan ditransformasikan oleh

(25)

12

Universitas Kristen Maranatha

dimiliki individu tertentu, melainkan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang

sejak lahir. Masten (2001, dalam Benard, 2004) mengatakan “ Resilience does

not come from rare and special qualities, but from the everday magic or ordinary,

normative human resources in the minds, brains, and bodies of children, in their

families and relationship, and in their communities”. Secara umum Benard (2004)

mengemukakan empat kategori resiliency yaitu social competence, problem

solving skills, autonomy, dan sense of purpose.

Social competence merupakan kemampuan sosial mencakup karakteristik,

kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan untuk membangun suatu relasi dan

kedekatan yang positif terhadap orang lain. Social competence yang tinggi dalam

diri remaja yang orangtuanya bercerai akan memampukan remaja tersebut untuk

menjalin relasi sosial. Dengan rasa percaya diri, remaja yang orangtuanya bercerai

secara aktif menjalin relasi dengan orang-orang di sekitar mereka seperti saudara,

teman, tetangga, guru atau tokoh agama. Seiring dengan waktu relasi tersebut

bertambah dalam dan mereka memiliki kemampuan membangun dan

mempertahankan relasi yang menyenangkan. Remaja yang orangtuanya bercerai

juga memiliki kemampuan komunikasi untuk dapat menyampaikan pendapat dan

kemampuan untuk menunjukan wibawa tanpa menyakiti orang lain. Selain itu

mereka memiliki kemampuan mengetahui bagaimana perasaan orang lain dan

mengerti pandangan orang lain, memiliki kemampuan komunikasi sosial untuk

membangun hubungan interpersonal dan relasi sosial dengan orang lain.

Selanjutnya remaja yang orangtuanya bercerai akan menampilkan compassion,

(26)

13

Universitas Kristen Maranatha

memiliki keinginan untuk peduli dan membantu mengurangi kesulitan atau

kesengsaraan orang lain serta mampu untuk memaafkan orang yang melakukan

kesalahan padanya.

Problem solving skills adalah kemampuan individu untuk dapat berpikir

kreatif dan fleksibel terhadap suatu masalah, membuat rencana dan tindakan apa

yang akan dilakukan dalam menghadapi masalah. Problem solving skills dibangun

oleh berbagai kemampuan, yaitu kemampuan merencanakan hal-hal yang

berkaitan dengan keinginan mereka untuk mengontrol dan memiliki harapan akan

masa depannya. Remaja yang orangtuanya bercerai juga mempunyai kemampuan

melihat alternatif dan berusaha mencari solusi alternatif baik pada masalah

kognitif maupun masalah sosial, termasuk di dalamnya kemampuan untuk

mencari jalan lain dan tidak terpaku pada satu jalan saja saat menghadapi masalah.

Lebih lanjut, remaja yang orangtuanya bercerai memiliki kemampuan

mempertahankan diri, melibatkan sumber daya eksternal, seperti meminta bantuan

teman, saudara, orang tua, guru, dan figur-figur penting lainnya saat mereka

menghadapi masalah yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri. Problem solving

skills yang tinggi dalam diri remaja yang orangtuanya bercerai juga memampukan

mereka untuk menganalisis pemikiran yang terselubung dan berusaha mengerti

arti dari suatu kejadian, pernyataan atau situasi.

Autonomy melibatkan kemampuan untuk bertindak dengan bebas dan

untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungannya, merasakan bebas dan

berkehendak dalam melakukan suatu tindakan. Remaja yang orangtuanya bercerai

(27)

14

Universitas Kristen Maranatha

pula, memiliki komitmen yang kuat untuk bersekolah dengan baik, memiliki rasa

percaya diri, memiliki prestasi akademis yang tinggi, memiliki kemampuan untuk

menjadi termotivasi dalam mengarahkan perhatian dan usaha untuk mencapai goal

yang menantang. Remaja yang orangtuanya bercerai juga memiliki perasaan

bahwa mereka dapat melakukan sesuatu secara benar, menyadari bahwa mereka

bukanlah penyebab dari perceraian orangtua mereka, mampu mengubah

kemarahan dan kesedihan menjadi tawa serta membantu orang lain untuk jauh

dari penderitaan.

Sense of purpose merupakan kemampuan untuk fokus terhadap masa

depan yang positif dan kuat secara konsisten telah diidentifikasikan dengan sukses

secara akademis, identitas diri yang positif, dan sedikitnya tingkah laku yang

beresiko terhadap kesehatan. Remaja yang orangtuanya bercerai yang memiliki

sense of purpose tinggi akan memiliki motivasi untuk memperbaiki keadaannya

dan berprestasi dalam akademik, dapat menemukan minat khusus yang dapat

mengalihkan perhatian mereka dari masalahnya, memiliki optimisme dan harapan

akan masa depan.

Dalam perkembangannya, keempat kategori resiliency yang dimiliki

remaja yang orangtuanya bercerai sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal

yang ada di sekitar mereka. Faktor-faktor tersebut dikategorikan menjadi dua,

yang pertama adalah Risk Factor, yang merupakan faktor-faktor yang hadir dalam

kehidupan individu yang meningkatkan kemungkinan adanya negative outcome

(Richman and Fraser, 2003). Perceraian orangtua merupakan salah satu bentuk

(28)

15

Universitas Kristen Maranatha

Factors yaitu karakteristik atau keadaan yang meniadakan risk factor yang

dihadapi remaja (Richman and Fraser, 2003). Faktor-faktor yang termasuk

Protective Factors yaitu Caring relationship, High expectations, dan

Opportinities for participation and contribution. Ketiga Protective Factors

masing-masing terdapat di lingkungan sosial remaja, yaitu keluarga, sekolah dan

masyarakat (Benard, 2004).

Caring Relationship dalam keluarga terutama diwujudkan melalui pola

pengasuhan yang berempati, hangat, dan mendukung remaja tersebut, misalnya

berupa adanya hubungan yang dekat antara anggota keluarga, tetap mendapat

perhatian dari orangtua serta anggota keluarga lainnya. High Expectations dalam

keluarga diwujudkan dengan positive belief dalam diri orangtua bahwa anak

remaja akan sukses dan bahwa mereka memiliki apa yang mereka perlukan.

Opportinities for participation and contribution dari keluarga dapat diberikan

kepada remaja yang orangtuanya bercerai dengan memberi kesempatan kepada

remaja tersebut untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalahnya

sendiri.

Caring relationship di sekolah diwujudkan melalui perhatian yang

diberikan oleh guru kepada remaja yang orangtuanya bercerai, misalnya dengan

mendengarkan permasalahan yang dialami remaja tersebut. High expectation di

sekolah berupa dorongan dan kata-kata membangun yang diberikan oleh sekolah

akan kemampuan remaja tersebut. Opportinities for participation and

(29)

16

Universitas Kristen Maranatha

dengan memberi kesempatan untuk berperan serta dalam aktivitas-aktivitas yang

ada di sekolah.

Caring relationship di masyarakat diwujudkan melalui perhatian yang

diberikan oleh significant person kepada remaja yang orangtuanya bercerai,

misalnya remaja yang aktif di lingkungan gereja atau mesjid mendapat dukungan

dari pembimbing rohani yang mendengarkan permasalahan yang dialami remaja

tersebut. High expectations di lingkungan masyarakat berupa dorongan dan

kata-kata membangun yang diberikan oleh significant person terhadap kemampuan

(ability) remaja tersebut. Opportinities for participation and contribution di

masyarakat diberikan kepada remaja yang orangtuanya bercerai dengan memberi

kesempatan untuk berperan serta dalam aktivitas-aktivitas di masyarakat.

Remaja yang orangtuanya bercerai yang mendapatkan Caring

relationship, High expectations, dan Opportinities for participation and

contribution yang tinggi dari keluarga, sekolah dan masyarakat akan cenderung

memiliki kemampuan Resiliency. Sedangkan remaja yang orangtuanya bercerai

dan tidak mendapatkan Caring relationship, High expectations, dan Opportinities

for participation and contribution dari keluarga, sekolah dan masyarakat akan

(30)

17

Universitas Kristen Maranatha

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dibuat skema seperti berikut

Skema 1.1 Kerangka pikir Remaja yang

orangtuanya bercerai

Resiliency :

- Social Compentence - Problem Solving skills - Autonomy

- Sense of purpose

Resilience

Kurang Resilience

Protective Factors: -Caring Relationship -High Expectations -Opportinities for participations and contribution

Yang bersumber dari lingkungan:

(31)

18

Universitas Kristen Maranatha I.6. ASUMSI

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat ditarik sejumlah asumsi

sebagai berikut :

1. Resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung dipengaruhi

oleh Protective Factors dari keluarga, sekolah dan masyarakat yaitu

Caring Relationship, High Expectations dan Opportinities for

participation and contribution.

2. Resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung dapat diukur

melalui social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of

purpose.

3. Remaja yang orangtuanya bercerai di Bandung memanifestasikan

(32)

85 Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data dan pembahasan

yang diperoleh dari 15 responden remaja yang orangtuanya bercerai di kota

Bandung, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebesar 53 % responden masih memanifestasikan Social competence,

artinya mampu untuk mengomunikasikan dan memberikan respon positif

saat melakukan interaksi social dengan lingkungannya, mampu memahami

dan peduli dengan perasaan dan situasi tidak menguntungkan yang

dihadapi oleh orang-orang sekitarnya.

2. Sebesar 53 % responden masih memanifestasikan Problem solving skills,

artinya mampu menyusun rencana-rencana, fleksibel, mampu mengenali

dengan baik sumber daya yang dimilkinya, mampu berpikir kritis dan

mampu memunculkan insight-insight.

3. Sebesar 46 % responden masih memanifestasikan Autonomy, artinya

mampu bertindak secara independent dan mampu mengendalikan

lingkungan atau situasi yang dihadapi dalam kesehariannya.

4. Sebesar 53 % responden masih memanifestasikan Sense of purpose,

artinya memiliki keyakinan tentang makna kehidupannya, optimis dalam

(33)

86

Universitas Kristen Maranatha

5. Sebesar 6 % responden memanifestasikan tiga kategori, yaitu social

competence, problem solving skills, dan autonomy dalam derajat yang

tinggi.

6. Masing-masing remaja yang berasal dari keluarga yang orangtuanya

bercerai masih mampu memanifestasikan kategori-kategori Resiliensi nya

dalam kekuatan yang beragam namun dengan penyebaran yang hampir

merata.

5.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan saran :

5.2.1 Saran Teoritis

• Bagi peneliti lain yang tertarik untuk membahas topik Resiliensi, sebaiknya

melakukan penelitian tentang Protective factors secara lebih mendalam, dijaring

melalui alat ukur yang valid dan reliable.

5.2.2 Saran Praktis

• Dari hasil penelitian, manifestasi Autonomy masih relatif kurang optimal.

Agaknya remaja perlu diberikan peluang-peluang untuk berperan serta dalam

keluarga, sekolah dan masyarakat, khususnya agar memiliki pengalaman untuk

bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan yang dibuatnya.

• Mengoptimalkan Protective Factors agar bisa membantu remaja

(34)

37

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency What We Have Learned. San Francisco: West Ed.

Gulo, W.2002. Metodologi Penelitian. Jakarta:Grasindo.

Lasswell, Marcia, and Lasswell, Thomas. 1987. Marriage and the Family, 2

nd

ed.

Belmont, CA : Wadworth.

Papalia, Diane. Olds, Sally. And Feldman, Ruth. 2001. Human Development, 2

nd

ed. New

York : Mc Graw-Hill.

Santrock, John W. 1996. Adolescence. 6

th

ed. Times Mirror Higher Education.

Steinberg, Laurence. 1993. Adolescence. 3

rd

ed. New York : Mc Graw-Hill.

Sullivan, Harry Stack. 1995. The Interpersonal Theory of Personality. London :

Tavistock Publication Limited.

(35)

38

DAFTAR RUJUKAN

Referensi

Dokumen terkait

Pemakaian peralatan pelindung yang cocok (termasuk peralatan pelindung diri yang dirujuk dalam Bagian 8 dalam lembar data keselamatan) untuk mencegah kontaminasi terhadap kulit,

[r]

Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi.. hapus

Dalam hal kekuatan pembuktian berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan

meningkatkan prestasi belajar fisika. Pada proses pembelajaran, fungsi guru hanya sebagai fasilitator, yaitu memberikan bimbingan/pengarahan seperlunya kepada siswa.

[r]

CABANG OLAH RAGA BULU TANGKIS MI/SD PUTRA 1..