• Tidak ada hasil yang ditemukan

Miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Depok Kabupaten Sleman.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Depok Kabupaten Sleman."

Copied!
221
0
0

Teks penuh

(1)

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

Oleh:

Luciana Puput Indriati 121134003

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya miskonsepsi IPA Fisika pada siswa SD Kelas V khususnya semester 2 di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survei. Data penelitian dikumpulkan dengan cara tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi. Tes tertulis dilakukan dengan mengerjakan soal tipe pilihan ganda dan esai. Tes tertulis bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami oleh siswa dalam pelajaran IPA Fisika. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1301. Sampel penelitian dihitung dengan menggunakan tabel Krejcie (tingkat kepercayaan 95%, margin of

eror 5%), dan cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.

Berdasarkan perhitungan menggunakan tabel Krejcie jumlah sampel yang digunakan adalah 297 siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif. Data hasil tes tertulis tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan dan mendeskripsikan miskonsepsi yang dialami siswa. Data miskonsepsi dan data tentang tingkat pendidikan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua. Data tersebut diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok. Konsep-konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang gaya, pesawat sederhana, cermin, cahaya, pelapukan (proses pembentukan tanah), dan struktur bumi. Jika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua, tidak ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD.

(2)

ABSTRACT

PHYSICS MISCONCEPTION OF THE FIFTH GRADE OF ELEMENTARY SCHOOL SECOND SEMESTER IN

DEPOK SUBDISTRICT SLEMAN DISTRICT By:

Luciana Puput Indriati 121134003

The research is grounded by the existance of the physics misconception on the elementary students of the fifth grade. This research is to describe the physics misconception of the fifth grade of elementary school of the second semester in Depok subdistrict and to know whether there is or there is not difference of physics seen from the education level of parents students of the fifth grade elementary students of the second semester in Depok subdistrict.

The kind of the research is quantitative using survey method. The data of the research was collected by using return test, interview, and documentation. The written test was carried out by doing multiple choise and essays. The written test is to know the misconception undergone by the students in physics science lesson. The population in this research is 1301. The sample of the research was counted

using Krejcie’s table (the level of trust 95 % , the margin of error 5%), and the

way the sample collection use simple random sampling. Based on the calculation of use table krejcie the sample of the used is 297 students. The technique of the data analys in the research was using descriptive statistic. The data of the result of the return test then was analys to find and describe the misconception undergone by the students. Data misconception and data on the level of education obtained then analyzed to know whether there was misconception different or not viewed from the education level of parents students. The data was analys quantitative by using SPSS program.

The result of the research showed that it happened physics science misconception on the fifth grade of elementary students in the second semester in Depok subdistrict. The concepts in risk to undergo the misconception is the concept were about force, simple plane, mirror, radiance, weathering, and earth structure. If it was viewed the education level of parents students, there is no difference of physics misconception on the elementary students of the fifth grade.

(3)

i

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh :

Luciana Puput Indriati 121134003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa menjaga dan

melindungiku.

2. Kedua orang tuaku Petrus Sumarjiyono dan Iskaryati yang selalu

menyayangi, mendoakan, dan memotivasi dalam setiap perjalanan

hidupku.

3. Kedua kakakku Anastasia Wahyu Widayati dan Christina Desti

Widyaningrum yang selalu mendoakan dan memotivasiku.

4. Penyemangatku Yoseph Bravian Aderika Sinaba.

5. Keluarga besar dan semua sahabat yang selalu mendukungku.

(7)

v

MOTTO

Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan

memperoleh harta yang berharga.

(Amsal, 12:27)

Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi sering ketakutanlah

yang sering membuat kita jadi sulit jadi, jangan mudah menyerah.

(Joko Widodo)

Ketika kegagalan datang menghampirimu yang perlu kamu lakukan

hanya terus mencoba, karena keberhasilan terletak kepada mereka

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar referensi, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 22 Januari 2016

Penulis,

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Luciana Puput Indriati

Nomor Mahasiswa : 121134003

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

beserta perangkat yang digunakan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 22 Januari 2016 Yang Menyatakan,

(10)

viii

ABSTRAK

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

Oleh:

Luciana Puput Indriati 121134003

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya miskonsepsi IPA Fisika pada siswa SD Kelas V khususnya semester 2 di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survei. Data penelitian dikumpulkan dengan cara tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi. Tes tertulis dilakukan dengan mengerjakan soal tipe pilihan ganda dan esai. Tes tertulis bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami oleh siswa dalam pelajaran IPA Fisika. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1301. Sampel penelitian dihitung dengan menggunakan tabel Krejcie (tingkat kepercayaan 95%, margin of

eror 5%), dan cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.

Berdasarkan perhitungan menggunakan tabel Krejcie jumlah sampel yang digunakan adalah 297 siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif. Data hasil tes tertulis tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan dan mendeskripsikan miskonsepsi yang dialami siswa. Data miskonsepsi dan data tentang tingkat pendidikan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua. Data tersebut diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok. Konsep-konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang gaya, pesawat sederhana, cermin, cahaya, pelapukan (proses pembentukan tanah), dan struktur bumi. Jika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua, tidak ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD.

(11)

ix

ABSTRACT

PHYSICS MISCONCEPTION OF THE FIFTH GRADE OF ELEMENTARY SCHOOL SECOND SEMESTER IN

DEPOK SUBDISTRICT SLEMAN DISTRICT difference of physics seen from the education level of parents students of the fifth grade elementary students of the second semester in Depok subdistrict.

The kind of the research is quantitative using survey method. The data of the research was collected by using return test, interview, and documentation. The written test was carried out by doing multiple choise and essays. The written test is to know the misconception undergone by the students in physics science lesson. The population in this research is 1301. The sample of the research was counted using Krejcie’s table (the level of trust 95 % , the margin of error 5%), and the way the sample collection use simple random sampling. Based on the calculation of use table krejcie the sample of the used is 297 students. The technique of the data analys in the research was using descriptive statistic. The data of the result of the return test then was analys to find and describe the misconception undergone by the students. Data misconception and data on the level of education obtained then analyzed to know whether there was misconception different or not viewed from the education level of parents students. The data was analys quantitative by using SPSS program.

The result of the research showed that it happened physics science misconception on the fifth grade of elementary students in the second semester in Depok subdistrict. The concepts in risk to undergo the misconception is the concept were about force, simple plane, mirror, radiance, weathering, and earth structure. If it was viewed the education level of parents students, there is no difference of physics misconception on the elementary students of the fifth grade.

Keywords: misconception, physics, education level.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat, karunia, serta penyertaan-Nya, sehingga penyusunan skripsi dengan judul

“Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri Se-Kecamatan Depok Kabupaten Sleman” ini dapat terlaksana dengan lancar. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan pihak-pihak lain, penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Romo Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S.S., B.S.T., M.A. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

3. Ibu Maria Melani Ika Susanti, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing II yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Romo Prof. Paul Suparno, SJ., Ibu Ir. Sri Agustini Sulandari, M.Si, Ibu Ari

Trisnawati, S.Pd, dan Bapak Agustinus Tarmadi, S.Pd selaku validator yang telah mengoreksi, mengevaluasi, dan memberikan saran untuk memperbaiki instrumen penelitian yang telah dibuat.

6. UPT Pelayanan Pendidikan Kecamatan Depok atas bantuan dan kerjasamanya.

(13)

xi

8. Orang tuaku Petrus Sumarjiyono, Iskaryati, dan kedua kakakku Anastasia Wahyu Widayati dan Christina Desti Widyaningrum yang selalu memberikan dukungan baik spiritual maupun materi, dan memotivasi penulis sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

9. Penyemangatku Yoseph Bravian Aderika Sinaba yang selalu setia memotivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 10. Teman-teman kelompok payung atas kerjasama dan kebersaman dalam

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

11. Teman-teman Program Studi PGSD angkatan 2012, yang telah membantu penulis dalam skripsi ini.

12. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua yang membacanya.

Yogyakarta, 22 Januari 2016 Penulis

(14)

xii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...

A. Latar Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ...

BAB II. LANDASAN TEORI ...

A. Kajian Pustaka ... 1. Konsep ... 2. Konsepsi ... 3. Miskonsepsi ... 4. Hakikat Pembelajaran IPA ... 5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ...

(15)

xiii

6. Pembelajaran IPA di SD Kelas V Semester 2 ... 7. Tingkat Pendidikan Orang Tua ... B. Hasil Peneltian yang Relevan ... C. Kerangka Berpikir ... D. Hipotesis Penelitian ...

BAB III. METODE PENELITIAN ...

A. Jenis Penelitian ... B. Waktu dan Tempat Penelitian ... C. Populasi dan Sampel ... D. Variabel Penelitian ... E. Teknik Pengumpulan Data ... F. Instrumen Penelitian ... G. Teknik Pengujian Instrumen ... H. Teknik Analisis Data ...

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

(16)

xiv

Tabel Penyebab Kesalahan Dari Siswa ... Tabel Penyebab Kesalahan Dari Konteks ... Tabel Penyebab Kesalahan Dari Cara Mengajar ... Populasi Penelitian ... Tabel Krejcie ... Sampel Penelitian ... Kisi-kisi Soal ... Data Tingkat Pendidikan Orang Tua ... Pedoman Wawancara Guru ... Ketentuan Pelaksanaan Revisi Instrumen ... Hasil Validasi Para Ahli ... Hasil Validasi Muka ... Tabel R Product Moment ... Hasil Validasi Soal Pilihan Ganda ... Hasil Validasi Soal Esai ... Realibilitas Soal Pilihan Ganda ... Realibilitas Soal Esai ... Data Mengenai Tingkat Pendidikan Orang Tua ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 5.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 5.2 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 6.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 6.2 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 7.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 7.3 ... Data Miskonsepsi Siswa Soal Pilihan Ganda ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Gaya Magnet ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Cahaya ...

(17)

xv

Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Cermin ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pesawat Sederhana ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pelapukan ... Data Miskonsepsi Siswa Soal Esai ... Uji Normalitas Tes Pilihan Ganda ... Uji Normalitas Tes Esai ... Hasil Output Uji Homogenitas Tes Pilihan Ganda ... Hasil Output Uji Homogenitas Tes Esai ... Hasil Uji Kruskal Wallis Soal Pilihan Ganda ... Hasil Uji Kruskal Wallis Soal Esai ... Miskonsepsi Siswa yang Terjadi pada Soal Tipe Pilihan Ganda ... Miskonsepsi Siswa yang Terjadi pada Soal Tipe Esai ...

(18)

xvi

Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Pertama ... Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Kedua ... Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Ketiga ... Contoh Penggunaan Katrol Tetap ... Katrol Bebas ... Histogram Uji Normalitas Soal Pilihan Ganda ... Histogram Uji Normalitas Soal Esai ...

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Surat Ijin Penelitian ... Soal Sebelum Revisi ... Rekap Hasil Validasi ... Validitas dan Reliabilitas ... Soal Setelah Revisi ... Hasil Jawaban Siswa ... Data Miskonsepsi Siswa ... Hasil Wawancara Siswa dan Guru ... Hasil Uji SPSS ... Foto Penelitian ...

(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab I membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,

batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara (UU

Sisdiknas No.20 Tahun 2003). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan,

dibutuhkan guru atau pengajar yang berkualitas, sehingga diharapkan

menghasilkan siswa yang berkualitas pula. Salah satu cara mencapai tujuan

tersebut, terutama untuk mengembangkan keterampilan siswa dapat dilatih

melalui mata pelajaran IPA.

IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sudah diajarkan dari

tingkat Sekolah Dasar. James dalam Samatowa (2011: 1) mengatakan bahwa

IPA atau sains adalah suatu deretan konsep serta skema konseptual yang

berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi

dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimentasi lebih lanjut.

(21)

berbagai metode ilmiah dan sikap ilmiah yang diajarkan, dimana semuanya

itu sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Namun, sangat disayangkan prestasi Indonesia di bidang Sains

cenderung menurun. Hal itu terlihat dari hasil Trends in Mathematics and

Science Study (TIMSS) pada tahun 2011. Penilaian yang dilakukan

International Association for the Evaluation of Educational Achievement

Study Center Boston College ini diikuti 600.000 siswa dari 63 negara. Dalam

bidang Sains, Indonesia berada di urutan ke-40 dari 42 negara (sumber: surat

kabar Kompas, tanggal 14 Desember 2012). Hal tersebut menunjukkan

rendahnya prestasi belajar siswa di bidang IPA. Selain itu, dari penelitian

yang dilakukan oleh Wardani (2014), menunjukkan bahwa dari 34 butir soal,

85% butir soal (konsep) dijawab salah dan hanya 15% butir soal (konsep)

dijawab benar. Miskonsepsi adalah salah konsep atau kesalahan anak dalam

mempelajari suatu konsep. Miskonsepsi banyak dialami oleh siswa, mulai

dari siswa Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi.

Miskonsepsi dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari siswa itu

sendiri, guru, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Penyebab dari siswa

dapat disebabkan oleh banyak hal yaitu: prakonsepsi, pemikiran assosiatif,

pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap/salah, intuisi yang salah,

tahap perkembangan kognitif siswa, kemampuan siswa, dan minat belajar

siswa (Suparno, 2005:29). Begitu juga untuk penyebab yang lain, dimana

dalam suatu penyebab tersebut masih ada penyebab khusus yang membuat

(22)

Peneliti memilih meneliti siswa kelas V SD untuk mencari tahu ada

tidaknya miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Siswa kelas V SD dipilih

karena siswa kelas V berada pada tahap operasional konkret yaitu pada umur

7-11 tahun. Menurut Piaget, pada tahap ini anak sudah dapat membentuk

operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki (Yusuf, 2009:

7). Mereka dapat menambah, mengurangi, dan mengubah sehingga

memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.

Miskonsepsi dialami oleh siswa kelas V SD, hal itu dilihat berdasarkan

hasil wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di Kecamatan Depok.

Wawancara pertama dilakukan dengan Ibu Kanthy Lestari guru kelas V di SD

Negeri Nanggulan pada tanggal 14 Juli 2015, jam 10.42 WIB. Beliau

mengatakan bahwa siswa masih banyak yang mengalami miskonsepsi/salah

konsep pada beberapa materi. Miskonsepsi yang dialami siswa tersebut

menyebabkan prestasi belajar IPAnya rendah. Dari KKM yang ditentukan

oleh sekolah untuk mata pelajaran IPA yaitu 75, hanya sebesar 61,5 % saja

yang memenuhi KKM atau dari 26 siswa hanya 16 siswa yang memenuhi

KKM. Sementara itu, beliau mengatakan konsep yang rentan mengalami

miskonsepsi adalah konsep tentang cahaya dan cermin.

Pada tanggal 2 Juli 2015 jam 08.55 WIB, peneliti melakukan

wawancara dengan Ibu Resti, guru kelas V di SD Negeri Karangwuni.

Menurut beliau, dari 9 siswa hanya 4 siswa atau hanya 44,4 % yang mencapai

KKM saat ulangan harian IPA untuk materi pesawat sederhana. KKM yang

(23)

Berdasarkan wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di

Kecamatan Depok, dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa SD kelas V

yang mengalami miskonsepsi. Hal itu terlihat dari rendahnya prestasi belajar

IPA dan penguasaan konsep IPA yang kurang baik. Rata-rata nilai IPA siswa

kelas V dari data yang diperoleh adalah 67.

Terjadinya miskonsepsi juga diperkuat melalui hasil wawancara dengan

beberapa siswa kelas V SD. Mereka mengatakan bahwa mereka masih belum

memahami beberapa materi yang diajarkan. Materi yang paling sulit dan

susah untuk dipahami adalah materi tentang cahaya dan cermin. Sifat-sifat

cahaya, cermin dan penerapannya sering kali membuat siswa bingung dan

susah dipahami, meskipun sudah dijelaskan oleh guru.

Miskonsepsi yang terjadi sebenarnya dapat dideteksi atau diidentifikasi.

Dengan mengetahui miskonsepsi apa saja yang dialami oleh siswa dan

penyebab terjadinya miskonsepsi tersebut, maka dapat dengan lebih mudah

dalam membantu menangani miskonsepsi. Cara yang dapat digunakan untuk

mendeteksi miskonsepsi adalah dengan peta konsep, tes multiple choice

dengan reasoning terbuka, tes esai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi

dalam kelas, dan praktikum dengan tanya jawab (Suparno, 2005: 121).

Berdasarkan hal di atas, miskonsepsi merupakan hal yang harus segera

diatasi. Miskonsepsi selain dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar

siswa juga dapat menjadi kesalahan yang fatal, yaitu salah konsep sejak kecil

dan akan berlanjut sampai ia dewasa jika tidak segera diatasi/dibenarkan. Hal

(24)

mengajarkan konsep dari tingkat pendidikan paling rendah yaitu tingkat SD.

Oleh karena itu, guru sebaiknya harus memahami konsep yang benar,

sehingga ia tidak salah konsep dalam mengajarkan ke siswa dan tidak

menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

Untuk mengatasi miskonsepsi bukan merupakan hal yang mudah.

Sebelumnya harus diketahui penyebab siswa mengalami miskonsepsi.

Dengan demikian, dapat ditemukan cara yang cocok untuk membantu siswa

mengatasi miskonsepsi yang dialaminya.

Miskonsepsi terjadi di semua jenjang pendidikan dan dapat terjadi di

mana-mana (Suparno, 2005: 135). Miskonsepsi yang terjadi dapat

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan adalah tahapan

pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,

tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan (Ihsan,

2001: 22). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang

atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya

dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,

ilmu pengetahuan yang dimilikinya pastinya akan semakin bertambah

(Wulandari, 2014:21). Namun tingginya tingkat pendidikan orang tua siswa,

tidak sepenuhnya menjamin siswa tersebut tidak akan mengalami

miskonsepsi. Miskonsepsi yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal,

yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Suparno, 2005:

(25)

kemampuan dan minat anak dalam belajar kurang, maka hal itu dapat

menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang miskonsepsi IPA

Fisika pada siswa kelas V SD di Kecamatan Depok. Tujuannya adalah untuk

mengetahui ada tidaknya miskonsepsi yang dialami siswa kelas V SD di

Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan

miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD di

Kecamatan Depok.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka

peneliti mengungkapkan beberapa masalah yang mendasari penelitian ini

yaitu:

1. Prestasi belajar IPA Fisika siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Depok

Kabupaten Sleman yang masih tergolong rendah.

2. Penguasaan konsep IPA yang kurang baik, sehingga masih terjadi

miskonsepsi.

C. Batasan Masalah

Sehubungan dengan keterbatasan waktu, peneliti membatasi lingkup

permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan meneliti

tentang miskonsepsi IPA siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok,

(26)

6.1 tentang cahaya, KD 6.2 tentang membuat karya/model dengan

menerapkan sifat-sifat cahaya, KD 7.1 tentang proses pembentukan tanah,

dan KD 7.3 tentang struktur bumi. Adapun SD yang akan diteliti adalah SD

Negeri yang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2

se-Kecamatan Depok?

2. Apakah ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat

pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk

1. Mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2

se-Kecamatan Depok.

2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari

tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan

(27)

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menambah pengetahuan

bidang pendidikan dasar terutama tentang miskonsepsi yang dialami

siswa SD kelas V pada mata pelajaran IPA, untuk mengetahui

kompetensi dasar-kompetensi dasar yang rentan mengalami

miskonsepsi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan

pengalaman serta dapat dijadikan acuan agar tidak terjadi

miskonsepsi saat kelak mengajar pada pelajaran IPA.

b. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan

tentang miskonsepsi IPA di SD.

c. Bagi Guru

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan

tentang miskonsepsi dan untuk mengetahui kompetensi

dasar-kompetensi dasar yang rentan mengalami miskonsepsi.

d. Bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan

(28)

G. Definisi Operasional

Agar tidak menimbulkan pertanyaan dan tafsiran istilah yang

dikemukakan, maka perlu adanya definisi operasional. Definisi operasional

berisi tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Definisi

operasional yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Konsep adalah hasil atau perolehan yang penting dalam memahami

suatu hal terutama yang bersifat abstrak.

2. Konsepsi adalah kemampuan seseorang dalam memahami suatu konsep

yang diperolehnya.

3. Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang

diakui para ahli dalam bidang itu.

4. IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara

umum terbatas pada gejala-gejala alam, perkembangannya tidak hanya

ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi juga oleh adanya metode

ilmiah dan sikap ilmiah.

5. Miskonsepsi IPA Fisika adalah salah konsep yang terjadi pada satu atau

beberapa konsep IPA Fisika yang ada.

6. Siswa kelas V SD adalah anak berusia antara 10-11 tahun yang sedang

mengikuti pendidikan tingkat pertama atau jenjang Sekolah Dasar (SD).

7. Kecamatan Depok adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten

Sleman, Yogyakarta yang terdiri dari 3 desa yaitu Catur Tunggal,

Condong Catur, dan Maguwoharjo. Kecamatan Depok di sebelah utara

(29)

dengan kota Yogyakarta, di sebelah barat berbatasan dengan

Kecamatan Mlati dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan

Kalasan.

8. Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang yang ditempuh orang tua

dalam mengembangkan potensi diri baik secara intelektual maupun

(30)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II pada penelitian ini membahas tentang empat sub bab yaitu kajian

pustaka, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

A. Kajian Pustaka

1. Konsep

Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang

mempunyai ciri-ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu

mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi (Bahri, 2011:

30-31). Sementara itu, menurut Dahar (2011:62) konsep merupakan suatu

abstraksi mental yang mewakili suatu stimulus, yang menjadi dasar bagi

proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip dan

generalisasi.

Konsep merupakan perolehan makna yang penting dari belajar.

Makna atau arti konsep tersebut diperoleh dari kejadian yang dialaminya

baik kejadian positif maupun negatif. Sekali memperoleh konsep, siswa

akan mampu mengenal hal atau kejadian dan mampu memberikan

penjelasan dari konsep tersebut (Blaseman dan Mappa, 2011: 67).

Suatu konsep akan terbentuk jika dua atau lebih objek dapat

dibedakan berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk atau sifat-sifatnya. Konsep

(31)

berhubungan satu sama lain. Suatu konsep dikatakan objektif apabila

konsep tersebut dapat dikonfirmasikan dengan kenyataannya, artinya

simbol yang ada dalam konsep tersebut dapat ditelusuri keberadaannya di

alam nyata. Oleh sebab itu, konsep dapat diartikan sebagai hasil pemikiran

manusia tentang alam nyata yang dinyatakan dengan simbol atau bahasa.

Berdasarkan bentuknya konsep dapat dibedakan menjadi 3 jenis

menurut Amien (1987: 18) yaitu konsep klasifikasional, konsep

korelasional, dan konsep teoritik. Konsep klasifikasional adalah suatu

bentuk konsep yang didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta dalam bagan

yang terorganisir. Konsep korelasional adalah konsep yang mencakup

kejadian-kejadian khusus yang saling berhubungan, atau

observasi-observasi yang terdiri dari dugaan terutama bentuk formulasi

prinsip-prinsip umum. Sementara itu, konsep teoritik adalah bentuk konsep yang

mempermudah dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian

dalam sistem yang terorganisir.

Dari berbagai pengertian tentang konsep di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa konsep adalah hasil atau perolehan yang penting

dalam memahami suatu hal terutama yang bersifat abstrak.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah hasil pemikiran atau pemahaman yang berbeda satu

sama lain tentang suatu konsep. Konsepsi dapat pula diartikan sebagai

(32)

Sementara itu Budi (1992: 114-115) mengatakan bahwa konsepsi

merupakan kemampuan seseorang dalam memahami konsep, baik yang

diperoleh melalui alat indera maupun dari kondisi lingkungan. Misalnya

konsep meja, meja dapat ditafsirkan oleh seorang anak sebagai tempat

meletakkan benda, terbuat dari kayu dan permukaannya berbentuk persegi.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

konsepsi merupakan kemampuan seseorang dalam memahami suatu

konsep yang diperoleh, dimana pemahaman masing-masing orang akan

konsep tersebut berbeda-beda.

3. Miskonsepsi

a. Pengertian Miskonsepsi

Miskonsepsi merupakan istilah yang digunakan untuk

menunjukkan adanya salah konsep atau konsep yang tidak sesuai

dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diakui para ahli dalam

bidang itu. Sementara itu Novak (dalam Suparno, 2005: 4),

mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep

dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.

Brown (dalam Suparno, 2005: 4) menjelaskan bahwa

miskonsepsi merupakan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan

pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Hal yang tidak jauh

(33)

menurutnya miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang

tidak benar antara konsep-konsep.

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep

yang diakui para ahli dalam bidang itu.

b. Cara Mendeteksi Miskonsepsi

Siswa mengalami miskonsepsi dalam kegiatan belajar yang

dialaminya. Tidak mudah mengetahui siapa saja siswa yang

mengalami miskonsepsi. Untuk itu, diperlukan cara-cara yang dapat

digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi. Dengan demikian, kita

dapat mengetahui lebih dahulu miskonsepsi apa saja yang dipunyai

siswa dan apa penyebabnya, sehingga kita dapat membantu

mengatasinya. Berikut ini adalah beberapa alat deteksi yang dapat

digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi (Suparno,

2005: 121) yaitu:

1)Peta Konsep

Peta konsep adalah peta yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep yang ada dalam suatu materi, menekankan

pada gagasan-gagasan pokok yang disusun secara hirarkis. Peta

konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa,

melalui identifikasi atau melihat apakah hubungan antara

(34)

dapat lebih mengetahui tentang miskonsepsi yang dialami siswa,

penggunaan peta konsep ini dapat dipadukan dengan wawancara

klinis.

2)Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Tes pilihan ganda adalah suatu alat ukur yang digunakan

yang terdiri atas satu kalimat pernyataan atau kalimat pertanyaan

dan beberapa pilihan jawaban. Amir (dalam Suparno, 2005: 123)

menggunakan tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka di

mana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai

jawaban seperti itu.

3)Tes Esai Tertulis

Tes esai adalah tes yang berbentuk suatu pertanyaan atau

perintah, biasanya dalam kalimat pendek, yang menuntut siswa

untuk memberikan jawaban yang terurai (Azwar, 1996: 106). Guru

dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep

yang memang hendak diajarkan atau yang sudah diajarkan. Melalui

tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang dialami siswa dan

dalam bidang apa.

4)Wawancara Diagnosis

Wawancara dilakukan untuk melihat ada tidaknya

miskonsepsi siswa. Guru memilih beberapa konsep yang

diperkirakan sulit dimengerti siswa, atau konsep-konsep yang telah

(35)

yang telah ia pilih, kemudian mengajak siswa untuk

mengekspresikan atau mengungkapkan gagasan-gagasan mereka

mengenai konsep-konsep tersebut. Dari wawancara inilah dapat

diketahui miskonsepsi yang dialami siswa dan bagaimana ia

mendapatkan konsep tersebut.

5)Diskusi dalam Kelas

Diskusi adalah kegiatan mengungkapkan ide, pendapat atau

gagasan yang dimiliki seseorang kepada orang lain. Dalam kelas,

siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang

konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari

diskusi inilah dapat dideteksi apakah gagasan yang mereka

sampaikan itu sudah tepat atau tidak.

6)Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru

dengan siswa yang melakukan praktikum dapat digunakan untuk

mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep

pada praktikum itu atau tidak.

c. Penyebab Miskonsepsi

Miskonsepsi yang dialami setiap siswa dalam satu kelas dapat

berbeda dan penyebabnya pun berbeda-beda pula. Miskonsepsi yang

terjadi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu siswa, guru, buku teks,

(36)

1) Siswa

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat disebabkan oleh siswa

itu sendiri. Penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa antara

lain:

a) Prakonsepsi atau konsep awal siswa

Prakonsepsi atau konsep awal adalah pengetahuan siswa

tentang suatu hal sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di

sekolah. Konsep awal biasanya diperoleh dari orang tua,

teman, sekolah awal, dan pengalaman yang diperolehnya dari

lingkungan. Konsep awal yang dimiliki siswa sering kali

mengandung miskonsepsi atau salah konsep. Adanya

miskonsepsi dalam konsep awal ini akan menyebabkan

terjadinya miskonsepsi pada saat mengikuti pelajaran

berikutnya sampai kesalahan tersebut diperbaiki.

b) Pemikiran asosiatif

Asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari

terkadang juga membuat miskonsepsi. Kata dan istilah yang

digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran

diasosiasikan/diartikan lain oleh siswa, karena dalam

kehidupan mereka kata dan istilah itu mempunyai arti yang

lain. Asosiasi sering terjadi karena siswa sudah mempunyai

konsep tertentu dengan arti tertentu sebelum mengikuti

(37)

c) Pemikiran humanistik

Siswa kerap kali memandang semua benda dari

pandangan manusiawi. Tingkah laku benda dipahami seperti

tingkah laku manusia yang hidup sehingga tidak cocok.

d) Reasoning yang tidak lengkap/salah

Comins (dalam Suparno, 2005: 38) mengatakan bahwa

miskonsepsi dapat juga disebabkan oleh reasoning atau

penalaran yang tidak lengkap/salah. Reasoning yang tidak

dapat disebabkan oleh kurang tidak lengkapnya informasi dan

data yang didapatkan. Selain itu dapat juga disebabkan karena

logika yang salah dalam mengambil kesimpulan atau dalam

menggeneralisasi. Penyebab lain terjadinya reasoning yang

salah adalah pengamatan yang tidak lengkap dan teliti. Hal

tersebut dapat menyebabkan seseorang salah dalam

menyimpulkan atau menggeneralisasikan dan mengakibatkan

miskonsepsi.

e) Intuisi yang salah

Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang

secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang

sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti.

Pengertian atau pemikiran intuitif itu biasanya berasal dari

pengamatan akan benda atau kejadian yang terus-menerus.

(38)

yang muncul dalam benak seseorang adalah pengertian

spontan itu.

f) Tahap perkembangan kognitif siswa

Perkembangan kognitif siswa juga dapat menjadi

penyebab terjadinya miskonsepsi. Perkembangan kognitif

siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat

menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi. Untuk menghindari

hal tersebut sebaiknya konsep-konsep yang ada disajikan

sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa.

g) Kemampuan siswa

Miskonsepsi yang dialami siswa juga dapat disebabkan

oleh kemampuan yang mereka miliki. Siswa yang kurang

berbakat atau kurang mampu dalam mempelajari bidang ilmu

tertentu akan kesulitan menangkap konsep yang benar dalam

proses belajar. Siswa yang IQ-nya rendah juga dapat

menyebabkan terjadinya miskonsepsi karena mereka

mengalami kesulitan dalam mengontruksi pengetahuan yang

didapat.

h) Minat belajar siswa

Minat belajar seseorang juga berpengaruh pada

terjadinya miskonsepsi. Siswa yang berminat dalam pelajaran

fisika cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah

(39)

Siswa yang menyukai fisika akan lebih menaruh perhatian

lebih saat guru menjelaskan, mempunyai minat dalam

membaca buku-buku yang ada dengan lebih teliti dan

mendalam sehingga mereka dapat menangkap konsep dengan

lebih lengkap dan mendalam. Hal yang sebaliknya terjadi pada

siswa yang kurang berminat dalam mempelajari fisika.

2) Guru

Miskonsepsi siswa terjadi bukan hanya disebabkan oleh

siswa itu sendiri, tetapi dapat juga disebabkan oleh guru. Guru

yang tidak menguasai bahan atau memahami konsep dengan baik

akan menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi. Selain itu bisa

juga disebabkan oleh guru bukan lulusan dari bidang ilmu yang

diajarkan, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide,

serta relasi yang kurang baik yang terjadi antara guru dengan

siswa. Sebelum mengajarkan konsep kepada siswa, guru sebaiknya

harus memahami konsep tersebut dengan benar dan menjelaskan

konsepnya dengan benar kepada siswa.

3) Buku teks

Buku teks juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Hal itu

disebabkan oleh penjelasan yang keliru/salah, bahasanya sulit

dipahami, terjadinya salah tulis terutama dalam hal rumus, tingkat

kesulitan penulisan buku yang terlalu tinggi bagi siswa, siswa tidak

(40)

konsepnya menyimpang demi menarik pembaca, serta gambar

kartun yang sering memuat miskonsepsi.

4) Konteks

Miskonsepsi juga disebabkan oleh pengalaman siswa. Dari

pengalaman yang dialami siswa, mereka dapat menyimpulkan

hal/konsep tertentu, namun konsep tersebut masih salah/keliru,

sehingga terjadilah miskonsepsi. Selain pengalaman, bahasa sehari

hari yang digunakan oleh siswa juga turut menjadi penyebab

terjadinya miskonsepsi. Misalnya konsep tentang suhu dan panas.

Dalam bahasa sehari-hari siswa tidak pernah membedakan

pengertian antara suhu dan panas, mereka menganggap keduanya

mempunyai arti yang sama. Hal yang menyebabkan terjadinya

miskonsepsi dari segi konteks yang lainnya adalah teman lain dan

keyakinan/ajaran agama. Keduanya berpengaruh pada pemahaman

mereka, dan sering kali menyebabkan miskonsepsi.

5) Metode mengajar

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru dapat

memunculkan miskonsepsi siswa. Misalnya metode ceramah,

dimana guru hanya menjelaskan dan siswa hanya mendengarkan,

seringkali meneruskan dan menumpuk miskonsepsi, terlebih pada

(41)

Penggunaan analogi dalam mengajarkan konsep sebenarnya

baik dan membantu memudahkan siswa dalam memahami konsep,

tetapi terkadang juga menimbulkan miskonsepsi yang baru.

Metode praktikum juga dapat menimbulkan miskonsepsi,

karena siswa hanya menangkap sejauh yang didapat/dialami dalam

praktikum. Abstraksi yang lebih luas sering sulit ditangkap karena

data-data yang ditemukan dalam praktikum sangat terbatas.

Metode demonstrasi yang selalu menampilkan yang benar,

karena sudah direkayasa, dapat juga membuat siswa salah

mengerti.

d. Cara Mengatasi Miskonsepsi

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa

mengatasi miskonsepsi dalam bidang fisika. Unsur yang penting

sebelum membantu mengatasi miskonsepsi siswa adalah mengetahui

penyebab miskonsepsi, sehingga dapat digunakan cara yang tepat.

Secara garis besar langkah yang digunakan untuk membantu

mengatasi miskonsepsi adalah (Suparno, 2005: 55):

1) Mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa.

2) Mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut.

3) Mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi.

Miskonsepsi dapat disebabkan oleh hal yang berbeda-beda.

(42)

juga berbeda-beda, tergantung pada penyebab terjadinya miskonsepsi.

Berikut ini adalah cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa

mengatasi miskonsepsi (Suparno, 2005: 56), yaitu:

1) Mengungkap, Mencari Penyebab, dan Bertindak

Secara umum, cara yang tepat untuk membantu siswa

mengatasi miskonsepsi adalah mencari bentuk kesalahan yang

dimiliki siswa itu, mencari penyebabnya, sehingga dapat

menemukan cara yang sesuai. Langkah pertama yang dilakukan

untuk mengatasi miskonsepsi adalah dengan mengetahui kerangka

berpikir siswa. Langkah kedua adalah mencari tahu penyebab dari

miskonsepsi. Dan yang terakhir adalah mencari cara bagaimana

memperbaiki miskonsepsi siswa.

2) Penyebab Kesalahan dari Siswa

Penyebab kesalahan dari siswa dapat disebabkan oleh banyak

hal yaitu prakonsepsi atau konsep awal sampai dengan minat

belajar siswa. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi

miskonsepsi yang disebabkan oleh hal-hal di atas, dapat dilihat

pada tabel di bawah ini (Suparno, 2005: 57-64).

Tabel 2.1 Penyebab kesalahan dari siswa

Penyebab Cara Mengatasi

Prakonsepsi Dihadapkan pada kenyataan

Pemikiran asosiatif Dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa anomali Pemikiran humanistik Dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa anomali

Reasoning tidak lengkap Dilengkapi, dihadapkan pada kenyataan

(43)

Penyebab Cara Mengatasi

Perkembangan kognitif siswa

Diajar sesuai dengan level perkembangan; mulai dengan yang konkret kemudian menuju konsep abstrak

Kemampuan siswa Dibantu pelan-pelan, melalui proses yang bertahap.

Minat belajar siswa Motivasi, variasi pembelajaran

Sumber: Suparno (2005: 81-82)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa cara

mengatasi miskonsepsi itu berbeda-beda, tergantung dari penyebab

miskonsepsi itu sendiri. Untuk yang disebabkan oleh prakonsepsi,

cara mengatasinya adalah dengan dihadapkan dengan kenyataan.

Siswa yang konsep awalnya tidak tepat perlu dihadapkan pada

pengalaman baru yang berbeda. Dengan melihat dan mengalami

pengalaman yang tidak sesuai dengan prakonsepsi mereka, siswa

akan bingung dan diharapkan akan mengubah konsep awalnya

dengan konsep yang tepat.

Miskonsepsi karena pemikiran asosiatif, pemikiran

humanistik siswa dan intuisi yang salah diatasi dengan cara

dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa/pengalaman anomali.

Pengalaman anomali adalah pengalaman nyata yang dihadapkan

pada siswa, yang berbeda dengan konsep yang mereka yakini

benar. Selanjutnya untuk reasoning yang tidak tepat, cara

mengatasinya adalah dengan melengkapi data/informasi yang

diperlukan untuk mengambil kesimpulan serta dihadapkan pada

(44)

kognitif siswa, maka guru harus mengajarkan materi/konsep sesuai

dengan level perkembangan, yaitu dari hal yang konkret menuju

hal yang bersifat abstrak.

Sementara itu, bagi siswa yang kemampuan dan minat

belajarnya kurang perlu diberi motivasi dan dibantu dengan pelan,

melalui proses yang bertahap. Selain itu, dalam mengajarkan

materi juga perlu dilakukan variasi pembelajaran agar siswa lebih

tertarik dan berminat dalam mengikuti pembelajaran.

3) Penyebab Kesalahan dari Guru

Penyebab miskonsepsi juga dapat berasal dari guru yang

mengajar. Kesalahan atau kekurangan guru dalam mengajar

biasanya ada dua yaitu guru tidak menguasai konsep yang benar

dari bahan fisika dan guru keliru dalam menjelaskan, meskipun

konsep yang diajarkan sudah dikuasainya. Guru yang tidak

menguasai konsep yang benar dapat diatasi dengan cara belajar lagi

dan lebih memahami akan konsep yang benar dari bahan yang akan

diajarkan. Selain itu, akan lebih baik jika guru yang mengajar

adalah guru yang kompeten atau lulusan pendidikan fisika/bidang

yang diajarkan.

Kekeliruan guru dalam menjelaskan konsep juga dapat

menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Guru sebaiknya dapat

menggunakan cara atau metode yang tepat, agar siswa dapat

(45)

hal yang telah disebutkan tadi, ternyata miskonsepsi juga dapat

disebabkan oleh relasi yang kurang baik antara siswa dengan guru.

Relasi yang kurang baik dengan guru dapat menyebabkan siswa

takut, grogi, dan tidak dapat berkonsentrasi. Akibatnya siswa akan

sulit menangkap konsep yang telah diajarkan. Untuk mengatasi hal

tersebut, guru harus dapat membangun relasi yang baik, dengan

melakukan pendekatan dengan siswa (Suparno, 2005: 65-70).

4) Penyebab Kesalahan dari Buku Teks

Miskonsepsi siswa juga dapat disebabkan oleh buku teks

yang digunakan. Buku teks merupakan salah satu sumber belajar

yang pasti digunakan dalam pembelajaran. Oleh karena itu,

kebenaran isi dan konsep yang ada pada buku teks menjadi hal

yang sangat penting. Beberapa bentuk kesalahan yang ada pada

buku teks adalah penjelasan yang keliru, salah tulis, level kesulitan

tulisan yang kadang tidak sesuai dengan perkembangan siswa,

buku fiksi sains keliru konsep, kartun salah konsep, serta

ketidaktahuan siswa dalam menggunakan buku teks.

Penyebab-penyebab di atas dapat diatasi dengan cara dikoreksi dengan teliti,

dibenarkan, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa dan

guru hendaknya melatih siswa tentang cara menggunakan buku

(46)

5) Penyebab Kesalahan dari Konteks

Miskonsepsi dapat disebabkan oleh pengalaman siswa yang

keliru, bahasa yang digunakan sehari-hari dan lain-lain. Penyebab

miskonsepsi dan cara mengatasinya secara umum dapat dilihat

pada tabel di bawah ini (Suparno, 2005: 72-74).

Tabel 2.2 Penyebab kesalahan dari konteks

Penyebab Cara Mengatasi

Pengalaman siswa yang keliru Dihadapkan pada pengalaman baru yang sesuai konsep fisika

Bahasa yang digunakan sehari-hari yang berbeda

Dijelaskan perbedaannya dengan contoh

Teman diskusi keliru Mengungkapkan hasil dan dikritisi guru

Keyakinan agama Dijelaskan perbedaannya

Sumber: Suparno (2005: 82)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk

pengalaman siswa yang keliru, guru dapat mengatasinya dengan

memberikan pengalaman baru yang sesuai dengan konsep fisika,

sehingga konsep awal yang salah dapat diperbaiki dengan

mengetahui konsep yang benar. Bahasa sehari-hari yang berbeda

dapat diatasi dengan mendefinisikan istilah-istilah dan

konsep-konsep dengan jelas dan tidak menggunakan bahasa yang ambigu.

Selain dengan menjelaskan perbedaannya akan lebih baik jika guru

melengkapinya dengan contoh sehingga siswa akan lebih paham.

Teman diskusi yang keliru dapat menyebabkan terjadinya

miskonsepsi. Untuk memperbaiki kesalahan yang berasal dari

teman belajar dapat dilakukan dengan cara berikut ini. Pertama,

(47)

diungkapkan di depan kelas. Jika sudah diungkapkan, guru

mengkritisi konsep yang tidak benar dengan memberikan alasan

dan contoh nyata untuk dimengerti siswa. Kemudian guru

membetulkan konsep yang keliru. Sementara itu untuk miskonsepsi

yang disebabkan oleh keyakinan agama sebaiknya guru harus dapat

menjelaskan perbedaannya antara ajaran agama dengan konsep

nyata yang ada melalui contoh yang diberikan.

6) Penyebab Kesalahan dari Cara Mengajar

Ada beberapa kesalahan dan kelemahan beberapa metode

pembelajaran yang digunakan guru dalam mengajar. Hal itu

menyebabkan terjadinya miskonsepsi yang dialami siswa.

Penyebab-penyebab terjadinya miskonsepsi dari segi cara mengajar

dan cara mengatasinya (Suparno, 2005: 74–80) adalah sebagai

berikut.

Tabel 2.3 Penyebab kesalahan dari cara mengajar

Penyebab Cara Mengatasi Guru hanya dengan metode ceramah

dan menulis di papan tulis

Pembelajaran harus dilakukan dengan lebih bervariasi, siswa dirangsang untuk berpikir melalui pertanyaan. Dalam mengajarkan langsung ke

bentuk matematika (rumus)

Dalam menjelaskan hendaknya dimulai dengan gejala nyata baru setelah itu diajarkan rumus.

Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa.

Guru memberi kesempatan siswa mengungkapkan gagasan

PR tidak dikoreksi Dikoreksi cepat dan ditunjukkan salahnya.

Model analogi Ditunjukkan kemungkinan salah konsep

Model praktikum Dingkapkan hasilnya dan dikomentari Model diskusi Diungkapkan hasilnya dan

dikomentari

Non multiple intelegences Multiple intelegences

(48)

Tabel di atas menunjukkan berbagai penyebab kesalahan dari

cara mengajar dan cara mengatasi penyebab tersebut. Secara umum

setiap metode mengajar mempunyai kelebihan dan kekurangan

masing-masing. Dalam mengajar guru harus memberikan

kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya dan

cara mengajar yang digunakan lebih bervariasi.

4. Hakikat Pembelajaran IPA

a. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam

1) Pengertian IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu

Pengetahuan atau Sains (Trianto, 2012: 136). Sains berasal dari

bahasa latin yaitu scientia yang berarti saya tahu. Sains dapat

dibagi menjadi 2 yaitu social science (ilmu pengetahuan sosial)

dan natural science (ilmu pengetahuan alam). Namun, dalam

perkembangannya sains hanya diartikan sebagai IPA saja.

IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan,

yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan

pada pengamatan dan deduksi (Trianto, 2012: 136).

Kardi dan Nur dalam Trianto (2013: 136) mengatakan

bahwa IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik

makhluk hidup maupun benda mati yang diamati. IPA merupakan

(49)

benda-benda yang ada di permukaan bumi, baik yang dapat

diamati dengan indera maupun yang tidak dapat diamati dengan

alat indera.

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Wahyana (dalam

Trianto, 2013: 136), menurut beliau IPA merupakan suatu

kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam

penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat peneliti

simpulkan bahwa IPA adalah sebuah ilmu pengetahuan yang

tersusun secara sistematis, secara umum penerapannya terbatas

pada gejala-gejala alam, yang lahir dan berkembang melalui

metode ilmiah serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu,

jujur, terbuka, dan sebagainya.

2) Hakikat IPA

IPA pada hakikatnya dibangun atas dasar produk ilmiah,

proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang juga

sebagai proses, produk, dan prosedur.

a) IPA sebagai Proses

IPA sebagai proses diartikan sebagai semua kegiatan

ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam

maupun untuk menemukan pengetahuan baru (Trianto, 2012:

(50)

b) IPA sebagai Produk

IPA sebagai produk diartikan sebagai hasil proses,

berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar

sekolah ataupun sebagai bahan bacaan untuk penyebaran

pengetahuan (Trianto, 2012: 137).

c) IPA sebagai Prosedur

IPA sebagai prosedur artinya dalam IPA terdapat

langkah-langkah dari suatu rangkaian kegiatan/proses/kerja

yang dapat dijadikan sebagai panduan atau metodologi untuk

mengetahui sesuatu (Trianto, 2012: 137).

d) IPA sebagai Sikap

IPA sebagai sikap yaitu sikap ilmiah harus

dikembangkan dalam pembelajaran sains. Hal ini sesuai

dengan sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan dalam

melakukan penelitian dan mengomunikasikan hasil

penelitiannya (Susanto, 2013:167).

3) Nilai-nilai IPA

IPA tidak hanya sebagai proses, produk dan prosedur, IPA

juga mengandung nilai-nilai tertentu yang berguna bagi

masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam IPA antara lain

(51)

a) Nilai Praktis

Nilai praktis adalah sesuatu yang bermanfaat dan

berharga dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan dari

penemuan-penemuan IPA telah menciptakan sebuah teknologi

baru yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari,

dan dapat membantu mengembangkan penemuan baru.

b) Nilai Intelektual

Nilai intelektual yang dimaksud adalah metode ilmiah

yang digunakan dalam IPA dapat memberikan kepuasan

intelektual. Kepuasan intelektual tesebut dapat terjadi jika

seseorang berhasil memecahkan masalah. Metode ilmiah

dalam IPA dapat digunakan untuk memecahkan masalah

melalui berbagai keterampilan dan sikap ilmiah yang

diajarkan.

c) Nilai Sosial-Budaya-Ekonomi-Politik

IPA mempunyai nilai-nilai sosial-ekonomi-politik berarti

kemajuan IPA dan teknologi suatu bangsa menyebabkan

bangsa tersebut memperoleh kedudukan yang kuat dalam

percaturan ekonomi-sosial-politik internasional.

d) Nilai Kependidikan

IPA memiliki nilai pendidikan karena IPA dapat menjadi

alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Nilai-nilai yang

(52)

berpikir secara teratur dan sistematis menurut metode ilmiah;

keterampilan dalam mengadakan pengamatan dan

mempergunakan peralatan untuk memecahkan masalah, serta

memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan

masalah.

b. Hakikat Pembelajaran IPA

Hakikat pembelajaran IPA merujuk pada hakikat IPA.

Nilai-nilai IPA yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran IPA menurut

Trianto (2012: 141):

1) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis

menurut langkah-langkah metode ilmiah.

2) Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan,

mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan masalah.

3) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan

masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun

kehidupan.

Hakikat dan tujuan pembelajaran IPA (Depdiknas; 2003: 2) yaitu:

1) Memberikan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk

meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan YME.

2) Memberikan pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep,

fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan

(53)

3) Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan,

memecahkan masalah dan melakukan observasi.

4) Sikap ilmiah antara lain skeptis, kritis, sensitif, obyektif, jujur,

terbuka, benar, dan dapat bekerja sama.

5) Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif

dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk

menjelaskan berbagai peristiwa alam.

6) Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari

keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam

teknologi.

Dari uraian di atas, semakin jelas bahwa hakikat pembelajaran

IPA lebih ditekankan pada keterampilan proses, sehingga siswa dapat

menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan

sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif

terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan.

5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dan

sangat bermanfaat bagi siswa dalam mempelajari dirinya dan alam

sekitarnya. Beberapa kompetensi yang harus dicapai siswa kelas III-VI

menurut Permendikbud No. 64 Tahun 2013 antara lain: 1) menunjukkan

sikap ilmiah: rasa ingin tahu, jujur, logis, kritis, dan disiplin; 2)

(54)

pengamatan obyek IPA dengan menggunakan panca indera; 4)

menceritakan hasil pengamatan IPA dengan bahasa yang jelas.

Pembelajaran IPA untuk tingkat SD dilakukan melalui pengamatan

langsung, sehingga siswa dapat lebih paham dan akan memperkuat ingatan

siswa. Pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan

kehidupan sehari-hari (Samatowa, 2011: 6). Guru memberikan kesempatan

bagi siswa agar mereka dapat mengeluarkan ide/gagasan dan dapat

mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum mereka pahami,

membangun rasa ingin tahu siswa, membangun dan melatih siswa agar

menguasai keterampilan yang diajarkan. Selain itu, guru juga harus

memvariasi pembelajaran dengan menggunakan metode yang cocok dan

menggunakan media yang menarik perhatian siswa.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran IPA di SD harus dapat membuka kesempatan bagi siswa

untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa melalui pembelajaran,

observasi, dan eksperimen yang dilakukan. Hal tersebut dapat membantu

siswa dalam mengembangkan keterampilan siswa terutama keterampilan

proses.

6. Pembelajaran IPA di SD kelas V semester 2

Berikut ini merupakan materi IPA yang dipelajari pada kelas V SD

(55)

a. Konsep Gaya

Azmiyawati (2008:82-93) menyatakan beberapa macam gaya

berdasarkan sumbernya antara lain:

1) Gaya Gravitasi

Gaya gravitasi adalah kekuatan atau tarikan yang dimiliki

oleh benda yang memiliki massa. Faktor-faktor yang

mempengaruhi gaya gravitasi yaitu:

a) Gaya gravitasi dapat menimbulkan energi gerak.

b) Kekuatan gaya gravitasi bumi terhadap benda tergantung pada

jarak benda dari pusat. Semakin jauh jarak benda dari bumi,

gaya gravitasi yang memengaruhinya semakin kecil.

c) Benda yang lebih luas permukaannya akan lebih lambat jatuh

ke bawah.

d) Arah gaya gravitasi berlawanan dengan gaya gesek. Gaya

gesek bersifat menahan gerak benda sehingga gerak jatuhnya

benda lebih lambat. Arah gaya gesek berlawanan dengan gaya

yang ditahannya.

2) Gaya Gesek

Gaya gesek adalah gaya yang dihasilkan oleh permukaan

kasar untuk melawan gaya yang menggerakkan suatu benda.

(56)

a) Pada permukaan licin, gaya gesekan yang terjadi juga kecil.

Akibatnya, benda itu semakin mudah bergerak pada

permukaan tersebut.

b) Memperhalus permukaan benda yang bergesekan dapat

memperkecil gaya gesek.

c) Benda yang lebih halus akan menimbulkan gaya gesek yang

lebih kecil.

d) Semakin kecil luas permukaan benda yang bersentuhan, gaya

geseknya semakin kecil.

3) Gaya Magnet

Gaya magnet adalah gaya yang ditimbulkan oleh magnet.

Magnet adalah sejenis logam yang dapat menarik atau menempel

pada logam besi atau baja. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya

magnet yaitu:

a) Magnet hanya menarik benda-benda tertentu, yaitu benda yang

terbuat dari logam.

b) Apabila magnet didekatkan pada benda yang terbuat dari

logam, akan timbul gaya gerak sehingga benda tersebut tertarik

menuju magnet atau tertolak menjauhi magnet.

c) Apabila antara benda logam dengan magnet terdapat

penghalang, pengaruh gaya magnet dipengaruhi oleh ketebalan

penghalang, jarak antara benda logam dengan magnet, dan

(57)

b. Konsep Pesawat Sederhana

Pesawat adalah alat-alat yang dapat memudahkan pekerjaan

manusia. Pesawat dapat memperkecil gaya yang dikeluarkan. Pesawat

ada yang rumit dan ada yang sederhana. Pesawat rumit tersusun atas

pesawat-pesawat sederhana. Pesawat sederhana adalah alat-alat bantu

sederhana yang membantu meringankan pekerjaan manusia.

Pada prinsipnya, pesawat sederhana terbagi menjadi empat

macam, yaitu pengungkit, bidang miring, katrol, dan roda berporos.

Fungsi pesawat sederhana adalah untuk mengubah energi, mengubah

arah gaya, memindahkan energi, menghemat energi, menghemat

waktu, serta memudahkan pekerjaan manusia (Hermana,

2009:122-126).

1) Tuas atau Pengungkit

Tuas disebut juga pengungkit. Pada pengungkit terdapat

kuasa, beban, dan titik tumpu. Kuasa adalah gaya yang bekerja

pada pengungkit. Beban adalah berat benda. Titik tumpu adalah

tempat beban bertumpu.

a) Pengungkit Jenis Pertama

Pengungkit jenis pertama adalah pengungkit dengan jenis

posisi titik tumpu berada di antara beban dan kuasa. Contoh

pengungkit jenis pertama adalah jungkat-jungkit, pompa air

tangan, gunting, linggis pencabut paku, pemotong kuku, dan

(58)

Gambar 2.1 Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Pertama

Sumber: Azmiyawati (2008:99)

Gambar di atas menunjukkan prinsip kerja pengungkit

pertama, dimana posisi titik tumpu berada di antara beban dan

kuasa

b) Pengungkit Jenis Kedua

Pengungkit jenis kedua adalah pengungkit dengan jenis

beban berada di antara titik tumpu dan kuasa. Contoh

pengungkit jenis kedua adalah alat pembuka tutup botol,

gerobak dorong, pemecah biji-bijian, pemotong kertas, dan

pembuka kaleng.

Gambar 2.2 Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Kedua

Gambar

Tabel 2.1 Penyebab kesalahan dari siswa
Tabel 2.2 Penyebab kesalahan dari konteks
Tabel 2.3 Penyebab kesalahan dari cara mengajar
Tabel di atas menunjukkan berbagai penyebab kesalahan dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

In terms of influencing factors, members of cluster 2 show no significant factors that influence them to watch art performances. However, they tend to be more influenced by the

Pndiio hi etuj@.

Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini telah berkembang begitu pesat dalam segala aspek kehidupan, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Salah satunya

[r]

sMdsu@gedld tumfdin!.

yang berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan dalam kesekretariatan.. Di dalam lingkup aktivitasnya, unit sekretariat diharuskan untuk

EKONOMICS FACULTY ANDALAS UNIVERSITV. OTVNERSHIP CONCENTL{TION AND DIVIDEND