MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN
Oleh:
Luciana Puput Indriati 121134003
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya miskonsepsi IPA Fisika pada siswa SD Kelas V khususnya semester 2 di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survei. Data penelitian dikumpulkan dengan cara tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi. Tes tertulis dilakukan dengan mengerjakan soal tipe pilihan ganda dan esai. Tes tertulis bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami oleh siswa dalam pelajaran IPA Fisika. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1301. Sampel penelitian dihitung dengan menggunakan tabel Krejcie (tingkat kepercayaan 95%, margin of
eror 5%), dan cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.
Berdasarkan perhitungan menggunakan tabel Krejcie jumlah sampel yang digunakan adalah 297 siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif. Data hasil tes tertulis tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan dan mendeskripsikan miskonsepsi yang dialami siswa. Data miskonsepsi dan data tentang tingkat pendidikan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua. Data tersebut diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok. Konsep-konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang gaya, pesawat sederhana, cermin, cahaya, pelapukan (proses pembentukan tanah), dan struktur bumi. Jika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua, tidak ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD.
ABSTRACT
PHYSICS MISCONCEPTION OF THE FIFTH GRADE OF ELEMENTARY SCHOOL SECOND SEMESTER IN
DEPOK SUBDISTRICT SLEMAN DISTRICT By:
Luciana Puput Indriati 121134003
The research is grounded by the existance of the physics misconception on the elementary students of the fifth grade. This research is to describe the physics misconception of the fifth grade of elementary school of the second semester in Depok subdistrict and to know whether there is or there is not difference of physics seen from the education level of parents students of the fifth grade elementary students of the second semester in Depok subdistrict.
The kind of the research is quantitative using survey method. The data of the research was collected by using return test, interview, and documentation. The written test was carried out by doing multiple choise and essays. The written test is to know the misconception undergone by the students in physics science lesson. The population in this research is 1301. The sample of the research was counted
using Krejcie’s table (the level of trust 95 % , the margin of error 5%), and the
way the sample collection use simple random sampling. Based on the calculation of use table krejcie the sample of the used is 297 students. The technique of the data analys in the research was using descriptive statistic. The data of the result of the return test then was analys to find and describe the misconception undergone by the students. Data misconception and data on the level of education obtained then analyzed to know whether there was misconception different or not viewed from the education level of parents students. The data was analys quantitative by using SPSS program.
The result of the research showed that it happened physics science misconception on the fifth grade of elementary students in the second semester in Depok subdistrict. The concepts in risk to undergo the misconception is the concept were about force, simple plane, mirror, radiance, weathering, and earth structure. If it was viewed the education level of parents students, there is no difference of physics misconception on the elementary students of the fifth grade.
i
MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh :
Luciana Puput Indriati 121134003
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa menjaga dan
melindungiku.
2. Kedua orang tuaku Petrus Sumarjiyono dan Iskaryati yang selalu
menyayangi, mendoakan, dan memotivasi dalam setiap perjalanan
hidupku.
3. Kedua kakakku Anastasia Wahyu Widayati dan Christina Desti
Widyaningrum yang selalu mendoakan dan memotivasiku.
4. Penyemangatku Yoseph Bravian Aderika Sinaba.
5. Keluarga besar dan semua sahabat yang selalu mendukungku.
v
MOTTO
Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan
memperoleh harta yang berharga.
(Amsal, 12:27)
Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi sering ketakutanlah
yang sering membuat kita jadi sulit jadi, jangan mudah menyerah.
(Joko Widodo)
Ketika kegagalan datang menghampirimu yang perlu kamu lakukan
hanya terus mencoba, karena keberhasilan terletak kepada mereka
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar referensi, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 22 Januari 2016
Penulis,
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Luciana Puput Indriati
Nomor Mahasiswa : 121134003
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN
beserta perangkat yang digunakan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 22 Januari 2016 Yang Menyatakan,
viii
ABSTRAK
MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN
Oleh:
Luciana Puput Indriati 121134003
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya miskonsepsi IPA Fisika pada siswa SD Kelas V khususnya semester 2 di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.
Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survei. Data penelitian dikumpulkan dengan cara tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi. Tes tertulis dilakukan dengan mengerjakan soal tipe pilihan ganda dan esai. Tes tertulis bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami oleh siswa dalam pelajaran IPA Fisika. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1301. Sampel penelitian dihitung dengan menggunakan tabel Krejcie (tingkat kepercayaan 95%, margin of
eror 5%), dan cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.
Berdasarkan perhitungan menggunakan tabel Krejcie jumlah sampel yang digunakan adalah 297 siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif. Data hasil tes tertulis tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan dan mendeskripsikan miskonsepsi yang dialami siswa. Data miskonsepsi dan data tentang tingkat pendidikan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua. Data tersebut diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok. Konsep-konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang gaya, pesawat sederhana, cermin, cahaya, pelapukan (proses pembentukan tanah), dan struktur bumi. Jika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua, tidak ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD.
ix
ABSTRACT
PHYSICS MISCONCEPTION OF THE FIFTH GRADE OF ELEMENTARY SCHOOL SECOND SEMESTER IN
DEPOK SUBDISTRICT SLEMAN DISTRICT difference of physics seen from the education level of parents students of the fifth grade elementary students of the second semester in Depok subdistrict.
The kind of the research is quantitative using survey method. The data of the research was collected by using return test, interview, and documentation. The written test was carried out by doing multiple choise and essays. The written test is to know the misconception undergone by the students in physics science lesson. The population in this research is 1301. The sample of the research was counted using Krejcie’s table (the level of trust 95 % , the margin of error 5%), and the way the sample collection use simple random sampling. Based on the calculation of use table krejcie the sample of the used is 297 students. The technique of the data analys in the research was using descriptive statistic. The data of the result of the return test then was analys to find and describe the misconception undergone by the students. Data misconception and data on the level of education obtained then analyzed to know whether there was misconception different or not viewed from the education level of parents students. The data was analys quantitative by using SPSS program.
The result of the research showed that it happened physics science misconception on the fifth grade of elementary students in the second semester in Depok subdistrict. The concepts in risk to undergo the misconception is the concept were about force, simple plane, mirror, radiance, weathering, and earth structure. If it was viewed the education level of parents students, there is no difference of physics misconception on the elementary students of the fifth grade.
Keywords: misconception, physics, education level.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat, karunia, serta penyertaan-Nya, sehingga penyusunan skripsi dengan judul
“Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri Se-Kecamatan Depok Kabupaten Sleman” ini dapat terlaksana dengan lancar. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan pihak-pihak lain, penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Romo Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S.S., B.S.T., M.A. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
3. Ibu Maria Melani Ika Susanti, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing II yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Romo Prof. Paul Suparno, SJ., Ibu Ir. Sri Agustini Sulandari, M.Si, Ibu Ari
Trisnawati, S.Pd, dan Bapak Agustinus Tarmadi, S.Pd selaku validator yang telah mengoreksi, mengevaluasi, dan memberikan saran untuk memperbaiki instrumen penelitian yang telah dibuat.
6. UPT Pelayanan Pendidikan Kecamatan Depok atas bantuan dan kerjasamanya.
xi
8. Orang tuaku Petrus Sumarjiyono, Iskaryati, dan kedua kakakku Anastasia Wahyu Widayati dan Christina Desti Widyaningrum yang selalu memberikan dukungan baik spiritual maupun materi, dan memotivasi penulis sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
9. Penyemangatku Yoseph Bravian Aderika Sinaba yang selalu setia memotivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 10. Teman-teman kelompok payung atas kerjasama dan kebersaman dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman Program Studi PGSD angkatan 2012, yang telah membantu penulis dalam skripsi ini.
12. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua yang membacanya.
Yogyakarta, 22 Januari 2016 Penulis
xii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...
A. Latar Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ...
BAB II. LANDASAN TEORI ...
A. Kajian Pustaka ... 1. Konsep ... 2. Konsepsi ... 3. Miskonsepsi ... 4. Hakikat Pembelajaran IPA ... 5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ...
xiii
6. Pembelajaran IPA di SD Kelas V Semester 2 ... 7. Tingkat Pendidikan Orang Tua ... B. Hasil Peneltian yang Relevan ... C. Kerangka Berpikir ... D. Hipotesis Penelitian ...
BAB III. METODE PENELITIAN ...
A. Jenis Penelitian ... B. Waktu dan Tempat Penelitian ... C. Populasi dan Sampel ... D. Variabel Penelitian ... E. Teknik Pengumpulan Data ... F. Instrumen Penelitian ... G. Teknik Pengujian Instrumen ... H. Teknik Analisis Data ...
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...
xiv
Tabel Penyebab Kesalahan Dari Siswa ... Tabel Penyebab Kesalahan Dari Konteks ... Tabel Penyebab Kesalahan Dari Cara Mengajar ... Populasi Penelitian ... Tabel Krejcie ... Sampel Penelitian ... Kisi-kisi Soal ... Data Tingkat Pendidikan Orang Tua ... Pedoman Wawancara Guru ... Ketentuan Pelaksanaan Revisi Instrumen ... Hasil Validasi Para Ahli ... Hasil Validasi Muka ... Tabel R Product Moment ... Hasil Validasi Soal Pilihan Ganda ... Hasil Validasi Soal Esai ... Realibilitas Soal Pilihan Ganda ... Realibilitas Soal Esai ... Data Mengenai Tingkat Pendidikan Orang Tua ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 5.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 5.2 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 6.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 6.2 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 7.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 7.3 ... Data Miskonsepsi Siswa Soal Pilihan Ganda ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Gaya Magnet ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Cahaya ...
xv
Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Cermin ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pesawat Sederhana ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pelapukan ... Data Miskonsepsi Siswa Soal Esai ... Uji Normalitas Tes Pilihan Ganda ... Uji Normalitas Tes Esai ... Hasil Output Uji Homogenitas Tes Pilihan Ganda ... Hasil Output Uji Homogenitas Tes Esai ... Hasil Uji Kruskal Wallis Soal Pilihan Ganda ... Hasil Uji Kruskal Wallis Soal Esai ... Miskonsepsi Siswa yang Terjadi pada Soal Tipe Pilihan Ganda ... Miskonsepsi Siswa yang Terjadi pada Soal Tipe Esai ...
xvi
Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Pertama ... Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Kedua ... Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Ketiga ... Contoh Penggunaan Katrol Tetap ... Katrol Bebas ... Histogram Uji Normalitas Soal Pilihan Ganda ... Histogram Uji Normalitas Soal Esai ...
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Surat Ijin Penelitian ... Soal Sebelum Revisi ... Rekap Hasil Validasi ... Validitas dan Reliabilitas ... Soal Setelah Revisi ... Hasil Jawaban Siswa ... Data Miskonsepsi Siswa ... Hasil Wawancara Siswa dan Guru ... Hasil Uji SPSS ... Foto Penelitian ...
1
BAB I PENDAHULUAN
Bab I membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara (UU
Sisdiknas No.20 Tahun 2003). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan,
dibutuhkan guru atau pengajar yang berkualitas, sehingga diharapkan
menghasilkan siswa yang berkualitas pula. Salah satu cara mencapai tujuan
tersebut, terutama untuk mengembangkan keterampilan siswa dapat dilatih
melalui mata pelajaran IPA.
IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sudah diajarkan dari
tingkat Sekolah Dasar. James dalam Samatowa (2011: 1) mengatakan bahwa
IPA atau sains adalah suatu deretan konsep serta skema konseptual yang
berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi
dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimentasi lebih lanjut.
berbagai metode ilmiah dan sikap ilmiah yang diajarkan, dimana semuanya
itu sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, sangat disayangkan prestasi Indonesia di bidang Sains
cenderung menurun. Hal itu terlihat dari hasil Trends in Mathematics and
Science Study (TIMSS) pada tahun 2011. Penilaian yang dilakukan
International Association for the Evaluation of Educational Achievement
Study Center Boston College ini diikuti 600.000 siswa dari 63 negara. Dalam
bidang Sains, Indonesia berada di urutan ke-40 dari 42 negara (sumber: surat
kabar Kompas, tanggal 14 Desember 2012). Hal tersebut menunjukkan
rendahnya prestasi belajar siswa di bidang IPA. Selain itu, dari penelitian
yang dilakukan oleh Wardani (2014), menunjukkan bahwa dari 34 butir soal,
85% butir soal (konsep) dijawab salah dan hanya 15% butir soal (konsep)
dijawab benar. Miskonsepsi adalah salah konsep atau kesalahan anak dalam
mempelajari suatu konsep. Miskonsepsi banyak dialami oleh siswa, mulai
dari siswa Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi.
Miskonsepsi dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari siswa itu
sendiri, guru, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Penyebab dari siswa
dapat disebabkan oleh banyak hal yaitu: prakonsepsi, pemikiran assosiatif,
pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap/salah, intuisi yang salah,
tahap perkembangan kognitif siswa, kemampuan siswa, dan minat belajar
siswa (Suparno, 2005:29). Begitu juga untuk penyebab yang lain, dimana
dalam suatu penyebab tersebut masih ada penyebab khusus yang membuat
Peneliti memilih meneliti siswa kelas V SD untuk mencari tahu ada
tidaknya miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Siswa kelas V SD dipilih
karena siswa kelas V berada pada tahap operasional konkret yaitu pada umur
7-11 tahun. Menurut Piaget, pada tahap ini anak sudah dapat membentuk
operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki (Yusuf, 2009:
7). Mereka dapat menambah, mengurangi, dan mengubah sehingga
memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.
Miskonsepsi dialami oleh siswa kelas V SD, hal itu dilihat berdasarkan
hasil wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di Kecamatan Depok.
Wawancara pertama dilakukan dengan Ibu Kanthy Lestari guru kelas V di SD
Negeri Nanggulan pada tanggal 14 Juli 2015, jam 10.42 WIB. Beliau
mengatakan bahwa siswa masih banyak yang mengalami miskonsepsi/salah
konsep pada beberapa materi. Miskonsepsi yang dialami siswa tersebut
menyebabkan prestasi belajar IPAnya rendah. Dari KKM yang ditentukan
oleh sekolah untuk mata pelajaran IPA yaitu 75, hanya sebesar 61,5 % saja
yang memenuhi KKM atau dari 26 siswa hanya 16 siswa yang memenuhi
KKM. Sementara itu, beliau mengatakan konsep yang rentan mengalami
miskonsepsi adalah konsep tentang cahaya dan cermin.
Pada tanggal 2 Juli 2015 jam 08.55 WIB, peneliti melakukan
wawancara dengan Ibu Resti, guru kelas V di SD Negeri Karangwuni.
Menurut beliau, dari 9 siswa hanya 4 siswa atau hanya 44,4 % yang mencapai
KKM saat ulangan harian IPA untuk materi pesawat sederhana. KKM yang
Berdasarkan wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di
Kecamatan Depok, dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa SD kelas V
yang mengalami miskonsepsi. Hal itu terlihat dari rendahnya prestasi belajar
IPA dan penguasaan konsep IPA yang kurang baik. Rata-rata nilai IPA siswa
kelas V dari data yang diperoleh adalah 67.
Terjadinya miskonsepsi juga diperkuat melalui hasil wawancara dengan
beberapa siswa kelas V SD. Mereka mengatakan bahwa mereka masih belum
memahami beberapa materi yang diajarkan. Materi yang paling sulit dan
susah untuk dipahami adalah materi tentang cahaya dan cermin. Sifat-sifat
cahaya, cermin dan penerapannya sering kali membuat siswa bingung dan
susah dipahami, meskipun sudah dijelaskan oleh guru.
Miskonsepsi yang terjadi sebenarnya dapat dideteksi atau diidentifikasi.
Dengan mengetahui miskonsepsi apa saja yang dialami oleh siswa dan
penyebab terjadinya miskonsepsi tersebut, maka dapat dengan lebih mudah
dalam membantu menangani miskonsepsi. Cara yang dapat digunakan untuk
mendeteksi miskonsepsi adalah dengan peta konsep, tes multiple choice
dengan reasoning terbuka, tes esai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi
dalam kelas, dan praktikum dengan tanya jawab (Suparno, 2005: 121).
Berdasarkan hal di atas, miskonsepsi merupakan hal yang harus segera
diatasi. Miskonsepsi selain dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar
siswa juga dapat menjadi kesalahan yang fatal, yaitu salah konsep sejak kecil
dan akan berlanjut sampai ia dewasa jika tidak segera diatasi/dibenarkan. Hal
mengajarkan konsep dari tingkat pendidikan paling rendah yaitu tingkat SD.
Oleh karena itu, guru sebaiknya harus memahami konsep yang benar,
sehingga ia tidak salah konsep dalam mengajarkan ke siswa dan tidak
menyebabkan terjadinya miskonsepsi.
Untuk mengatasi miskonsepsi bukan merupakan hal yang mudah.
Sebelumnya harus diketahui penyebab siswa mengalami miskonsepsi.
Dengan demikian, dapat ditemukan cara yang cocok untuk membantu siswa
mengatasi miskonsepsi yang dialaminya.
Miskonsepsi terjadi di semua jenjang pendidikan dan dapat terjadi di
mana-mana (Suparno, 2005: 135). Miskonsepsi yang terjadi dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan adalah tahapan
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan (Ihsan,
2001: 22). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
ilmu pengetahuan yang dimilikinya pastinya akan semakin bertambah
(Wulandari, 2014:21). Namun tingginya tingkat pendidikan orang tua siswa,
tidak sepenuhnya menjamin siswa tersebut tidak akan mengalami
miskonsepsi. Miskonsepsi yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Suparno, 2005:
kemampuan dan minat anak dalam belajar kurang, maka hal itu dapat
menyebabkan terjadinya miskonsepsi.
Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang miskonsepsi IPA
Fisika pada siswa kelas V SD di Kecamatan Depok. Tujuannya adalah untuk
mengetahui ada tidaknya miskonsepsi yang dialami siswa kelas V SD di
Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD di
Kecamatan Depok.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
peneliti mengungkapkan beberapa masalah yang mendasari penelitian ini
yaitu:
1. Prestasi belajar IPA Fisika siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Depok
Kabupaten Sleman yang masih tergolong rendah.
2. Penguasaan konsep IPA yang kurang baik, sehingga masih terjadi
miskonsepsi.
C. Batasan Masalah
Sehubungan dengan keterbatasan waktu, peneliti membatasi lingkup
permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan meneliti
tentang miskonsepsi IPA siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok,
6.1 tentang cahaya, KD 6.2 tentang membuat karya/model dengan
menerapkan sifat-sifat cahaya, KD 7.1 tentang proses pembentukan tanah,
dan KD 7.3 tentang struktur bumi. Adapun SD yang akan diteliti adalah SD
Negeri yang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2
se-Kecamatan Depok?
2. Apakah ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat
pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
1. Mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2
se-Kecamatan Depok.
2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari
tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menambah pengetahuan
bidang pendidikan dasar terutama tentang miskonsepsi yang dialami
siswa SD kelas V pada mata pelajaran IPA, untuk mengetahui
kompetensi dasar-kompetensi dasar yang rentan mengalami
miskonsepsi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan
pengalaman serta dapat dijadikan acuan agar tidak terjadi
miskonsepsi saat kelak mengajar pada pelajaran IPA.
b. Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan
tentang miskonsepsi IPA di SD.
c. Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan
tentang miskonsepsi dan untuk mengetahui kompetensi
dasar-kompetensi dasar yang rentan mengalami miskonsepsi.
d. Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan
G. Definisi Operasional
Agar tidak menimbulkan pertanyaan dan tafsiran istilah yang
dikemukakan, maka perlu adanya definisi operasional. Definisi operasional
berisi tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Definisi
operasional yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Konsep adalah hasil atau perolehan yang penting dalam memahami
suatu hal terutama yang bersifat abstrak.
2. Konsepsi adalah kemampuan seseorang dalam memahami suatu konsep
yang diperolehnya.
3. Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang
diakui para ahli dalam bidang itu.
4. IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara
umum terbatas pada gejala-gejala alam, perkembangannya tidak hanya
ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi juga oleh adanya metode
ilmiah dan sikap ilmiah.
5. Miskonsepsi IPA Fisika adalah salah konsep yang terjadi pada satu atau
beberapa konsep IPA Fisika yang ada.
6. Siswa kelas V SD adalah anak berusia antara 10-11 tahun yang sedang
mengikuti pendidikan tingkat pertama atau jenjang Sekolah Dasar (SD).
7. Kecamatan Depok adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten
Sleman, Yogyakarta yang terdiri dari 3 desa yaitu Catur Tunggal,
Condong Catur, dan Maguwoharjo. Kecamatan Depok di sebelah utara
dengan kota Yogyakarta, di sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Mlati dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Kalasan.
8. Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang yang ditempuh orang tua
dalam mengembangkan potensi diri baik secara intelektual maupun
11
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab II pada penelitian ini membahas tentang empat sub bab yaitu kajian
pustaka, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
A. Kajian Pustaka
1. Konsep
Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang
mempunyai ciri-ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu
mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi (Bahri, 2011:
30-31). Sementara itu, menurut Dahar (2011:62) konsep merupakan suatu
abstraksi mental yang mewakili suatu stimulus, yang menjadi dasar bagi
proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip dan
generalisasi.
Konsep merupakan perolehan makna yang penting dari belajar.
Makna atau arti konsep tersebut diperoleh dari kejadian yang dialaminya
baik kejadian positif maupun negatif. Sekali memperoleh konsep, siswa
akan mampu mengenal hal atau kejadian dan mampu memberikan
penjelasan dari konsep tersebut (Blaseman dan Mappa, 2011: 67).
Suatu konsep akan terbentuk jika dua atau lebih objek dapat
dibedakan berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk atau sifat-sifatnya. Konsep
berhubungan satu sama lain. Suatu konsep dikatakan objektif apabila
konsep tersebut dapat dikonfirmasikan dengan kenyataannya, artinya
simbol yang ada dalam konsep tersebut dapat ditelusuri keberadaannya di
alam nyata. Oleh sebab itu, konsep dapat diartikan sebagai hasil pemikiran
manusia tentang alam nyata yang dinyatakan dengan simbol atau bahasa.
Berdasarkan bentuknya konsep dapat dibedakan menjadi 3 jenis
menurut Amien (1987: 18) yaitu konsep klasifikasional, konsep
korelasional, dan konsep teoritik. Konsep klasifikasional adalah suatu
bentuk konsep yang didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta dalam bagan
yang terorganisir. Konsep korelasional adalah konsep yang mencakup
kejadian-kejadian khusus yang saling berhubungan, atau
observasi-observasi yang terdiri dari dugaan terutama bentuk formulasi
prinsip-prinsip umum. Sementara itu, konsep teoritik adalah bentuk konsep yang
mempermudah dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian
dalam sistem yang terorganisir.
Dari berbagai pengertian tentang konsep di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa konsep adalah hasil atau perolehan yang penting
dalam memahami suatu hal terutama yang bersifat abstrak.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah hasil pemikiran atau pemahaman yang berbeda satu
sama lain tentang suatu konsep. Konsepsi dapat pula diartikan sebagai
Sementara itu Budi (1992: 114-115) mengatakan bahwa konsepsi
merupakan kemampuan seseorang dalam memahami konsep, baik yang
diperoleh melalui alat indera maupun dari kondisi lingkungan. Misalnya
konsep meja, meja dapat ditafsirkan oleh seorang anak sebagai tempat
meletakkan benda, terbuat dari kayu dan permukaannya berbentuk persegi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
konsepsi merupakan kemampuan seseorang dalam memahami suatu
konsep yang diperoleh, dimana pemahaman masing-masing orang akan
konsep tersebut berbeda-beda.
3. Miskonsepsi
a. Pengertian Miskonsepsi
Miskonsepsi merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan adanya salah konsep atau konsep yang tidak sesuai
dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diakui para ahli dalam
bidang itu. Sementara itu Novak (dalam Suparno, 2005: 4),
mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep
dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.
Brown (dalam Suparno, 2005: 4) menjelaskan bahwa
miskonsepsi merupakan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan
pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Hal yang tidak jauh
menurutnya miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang
tidak benar antara konsep-konsep.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep
yang diakui para ahli dalam bidang itu.
b. Cara Mendeteksi Miskonsepsi
Siswa mengalami miskonsepsi dalam kegiatan belajar yang
dialaminya. Tidak mudah mengetahui siapa saja siswa yang
mengalami miskonsepsi. Untuk itu, diperlukan cara-cara yang dapat
digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi. Dengan demikian, kita
dapat mengetahui lebih dahulu miskonsepsi apa saja yang dipunyai
siswa dan apa penyebabnya, sehingga kita dapat membantu
mengatasinya. Berikut ini adalah beberapa alat deteksi yang dapat
digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi (Suparno,
2005: 121) yaitu:
1)Peta Konsep
Peta konsep adalah peta yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep yang ada dalam suatu materi, menekankan
pada gagasan-gagasan pokok yang disusun secara hirarkis. Peta
konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa,
melalui identifikasi atau melihat apakah hubungan antara
dapat lebih mengetahui tentang miskonsepsi yang dialami siswa,
penggunaan peta konsep ini dapat dipadukan dengan wawancara
klinis.
2)Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka
Tes pilihan ganda adalah suatu alat ukur yang digunakan
yang terdiri atas satu kalimat pernyataan atau kalimat pertanyaan
dan beberapa pilihan jawaban. Amir (dalam Suparno, 2005: 123)
menggunakan tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka di
mana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai
jawaban seperti itu.
3)Tes Esai Tertulis
Tes esai adalah tes yang berbentuk suatu pertanyaan atau
perintah, biasanya dalam kalimat pendek, yang menuntut siswa
untuk memberikan jawaban yang terurai (Azwar, 1996: 106). Guru
dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep
yang memang hendak diajarkan atau yang sudah diajarkan. Melalui
tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang dialami siswa dan
dalam bidang apa.
4)Wawancara Diagnosis
Wawancara dilakukan untuk melihat ada tidaknya
miskonsepsi siswa. Guru memilih beberapa konsep yang
diperkirakan sulit dimengerti siswa, atau konsep-konsep yang telah
yang telah ia pilih, kemudian mengajak siswa untuk
mengekspresikan atau mengungkapkan gagasan-gagasan mereka
mengenai konsep-konsep tersebut. Dari wawancara inilah dapat
diketahui miskonsepsi yang dialami siswa dan bagaimana ia
mendapatkan konsep tersebut.
5)Diskusi dalam Kelas
Diskusi adalah kegiatan mengungkapkan ide, pendapat atau
gagasan yang dimiliki seseorang kepada orang lain. Dalam kelas,
siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang
konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari
diskusi inilah dapat dideteksi apakah gagasan yang mereka
sampaikan itu sudah tepat atau tidak.
6)Praktikum dengan Tanya Jawab
Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru
dengan siswa yang melakukan praktikum dapat digunakan untuk
mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep
pada praktikum itu atau tidak.
c. Penyebab Miskonsepsi
Miskonsepsi yang dialami setiap siswa dalam satu kelas dapat
berbeda dan penyebabnya pun berbeda-beda pula. Miskonsepsi yang
terjadi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu siswa, guru, buku teks,
1) Siswa
Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat disebabkan oleh siswa
itu sendiri. Penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa antara
lain:
a) Prakonsepsi atau konsep awal siswa
Prakonsepsi atau konsep awal adalah pengetahuan siswa
tentang suatu hal sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di
sekolah. Konsep awal biasanya diperoleh dari orang tua,
teman, sekolah awal, dan pengalaman yang diperolehnya dari
lingkungan. Konsep awal yang dimiliki siswa sering kali
mengandung miskonsepsi atau salah konsep. Adanya
miskonsepsi dalam konsep awal ini akan menyebabkan
terjadinya miskonsepsi pada saat mengikuti pelajaran
berikutnya sampai kesalahan tersebut diperbaiki.
b) Pemikiran asosiatif
Asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari
terkadang juga membuat miskonsepsi. Kata dan istilah yang
digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran
diasosiasikan/diartikan lain oleh siswa, karena dalam
kehidupan mereka kata dan istilah itu mempunyai arti yang
lain. Asosiasi sering terjadi karena siswa sudah mempunyai
konsep tertentu dengan arti tertentu sebelum mengikuti
c) Pemikiran humanistik
Siswa kerap kali memandang semua benda dari
pandangan manusiawi. Tingkah laku benda dipahami seperti
tingkah laku manusia yang hidup sehingga tidak cocok.
d) Reasoning yang tidak lengkap/salah
Comins (dalam Suparno, 2005: 38) mengatakan bahwa
miskonsepsi dapat juga disebabkan oleh reasoning atau
penalaran yang tidak lengkap/salah. Reasoning yang tidak
dapat disebabkan oleh kurang tidak lengkapnya informasi dan
data yang didapatkan. Selain itu dapat juga disebabkan karena
logika yang salah dalam mengambil kesimpulan atau dalam
menggeneralisasi. Penyebab lain terjadinya reasoning yang
salah adalah pengamatan yang tidak lengkap dan teliti. Hal
tersebut dapat menyebabkan seseorang salah dalam
menyimpulkan atau menggeneralisasikan dan mengakibatkan
miskonsepsi.
e) Intuisi yang salah
Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang
secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang
sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti.
Pengertian atau pemikiran intuitif itu biasanya berasal dari
pengamatan akan benda atau kejadian yang terus-menerus.
yang muncul dalam benak seseorang adalah pengertian
spontan itu.
f) Tahap perkembangan kognitif siswa
Perkembangan kognitif siswa juga dapat menjadi
penyebab terjadinya miskonsepsi. Perkembangan kognitif
siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat
menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi. Untuk menghindari
hal tersebut sebaiknya konsep-konsep yang ada disajikan
sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa.
g) Kemampuan siswa
Miskonsepsi yang dialami siswa juga dapat disebabkan
oleh kemampuan yang mereka miliki. Siswa yang kurang
berbakat atau kurang mampu dalam mempelajari bidang ilmu
tertentu akan kesulitan menangkap konsep yang benar dalam
proses belajar. Siswa yang IQ-nya rendah juga dapat
menyebabkan terjadinya miskonsepsi karena mereka
mengalami kesulitan dalam mengontruksi pengetahuan yang
didapat.
h) Minat belajar siswa
Minat belajar seseorang juga berpengaruh pada
terjadinya miskonsepsi. Siswa yang berminat dalam pelajaran
fisika cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah
Siswa yang menyukai fisika akan lebih menaruh perhatian
lebih saat guru menjelaskan, mempunyai minat dalam
membaca buku-buku yang ada dengan lebih teliti dan
mendalam sehingga mereka dapat menangkap konsep dengan
lebih lengkap dan mendalam. Hal yang sebaliknya terjadi pada
siswa yang kurang berminat dalam mempelajari fisika.
2) Guru
Miskonsepsi siswa terjadi bukan hanya disebabkan oleh
siswa itu sendiri, tetapi dapat juga disebabkan oleh guru. Guru
yang tidak menguasai bahan atau memahami konsep dengan baik
akan menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi. Selain itu bisa
juga disebabkan oleh guru bukan lulusan dari bidang ilmu yang
diajarkan, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide,
serta relasi yang kurang baik yang terjadi antara guru dengan
siswa. Sebelum mengajarkan konsep kepada siswa, guru sebaiknya
harus memahami konsep tersebut dengan benar dan menjelaskan
konsepnya dengan benar kepada siswa.
3) Buku teks
Buku teks juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Hal itu
disebabkan oleh penjelasan yang keliru/salah, bahasanya sulit
dipahami, terjadinya salah tulis terutama dalam hal rumus, tingkat
kesulitan penulisan buku yang terlalu tinggi bagi siswa, siswa tidak
konsepnya menyimpang demi menarik pembaca, serta gambar
kartun yang sering memuat miskonsepsi.
4) Konteks
Miskonsepsi juga disebabkan oleh pengalaman siswa. Dari
pengalaman yang dialami siswa, mereka dapat menyimpulkan
hal/konsep tertentu, namun konsep tersebut masih salah/keliru,
sehingga terjadilah miskonsepsi. Selain pengalaman, bahasa sehari
hari yang digunakan oleh siswa juga turut menjadi penyebab
terjadinya miskonsepsi. Misalnya konsep tentang suhu dan panas.
Dalam bahasa sehari-hari siswa tidak pernah membedakan
pengertian antara suhu dan panas, mereka menganggap keduanya
mempunyai arti yang sama. Hal yang menyebabkan terjadinya
miskonsepsi dari segi konteks yang lainnya adalah teman lain dan
keyakinan/ajaran agama. Keduanya berpengaruh pada pemahaman
mereka, dan sering kali menyebabkan miskonsepsi.
5) Metode mengajar
Beberapa metode mengajar yang digunakan guru dapat
memunculkan miskonsepsi siswa. Misalnya metode ceramah,
dimana guru hanya menjelaskan dan siswa hanya mendengarkan,
seringkali meneruskan dan menumpuk miskonsepsi, terlebih pada
Penggunaan analogi dalam mengajarkan konsep sebenarnya
baik dan membantu memudahkan siswa dalam memahami konsep,
tetapi terkadang juga menimbulkan miskonsepsi yang baru.
Metode praktikum juga dapat menimbulkan miskonsepsi,
karena siswa hanya menangkap sejauh yang didapat/dialami dalam
praktikum. Abstraksi yang lebih luas sering sulit ditangkap karena
data-data yang ditemukan dalam praktikum sangat terbatas.
Metode demonstrasi yang selalu menampilkan yang benar,
karena sudah direkayasa, dapat juga membuat siswa salah
mengerti.
d. Cara Mengatasi Miskonsepsi
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa
mengatasi miskonsepsi dalam bidang fisika. Unsur yang penting
sebelum membantu mengatasi miskonsepsi siswa adalah mengetahui
penyebab miskonsepsi, sehingga dapat digunakan cara yang tepat.
Secara garis besar langkah yang digunakan untuk membantu
mengatasi miskonsepsi adalah (Suparno, 2005: 55):
1) Mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa.
2) Mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut.
3) Mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi.
Miskonsepsi dapat disebabkan oleh hal yang berbeda-beda.
juga berbeda-beda, tergantung pada penyebab terjadinya miskonsepsi.
Berikut ini adalah cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa
mengatasi miskonsepsi (Suparno, 2005: 56), yaitu:
1) Mengungkap, Mencari Penyebab, dan Bertindak
Secara umum, cara yang tepat untuk membantu siswa
mengatasi miskonsepsi adalah mencari bentuk kesalahan yang
dimiliki siswa itu, mencari penyebabnya, sehingga dapat
menemukan cara yang sesuai. Langkah pertama yang dilakukan
untuk mengatasi miskonsepsi adalah dengan mengetahui kerangka
berpikir siswa. Langkah kedua adalah mencari tahu penyebab dari
miskonsepsi. Dan yang terakhir adalah mencari cara bagaimana
memperbaiki miskonsepsi siswa.
2) Penyebab Kesalahan dari Siswa
Penyebab kesalahan dari siswa dapat disebabkan oleh banyak
hal yaitu prakonsepsi atau konsep awal sampai dengan minat
belajar siswa. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi
miskonsepsi yang disebabkan oleh hal-hal di atas, dapat dilihat
pada tabel di bawah ini (Suparno, 2005: 57-64).
Tabel 2.1 Penyebab kesalahan dari siswa
Penyebab Cara Mengatasi
Prakonsepsi Dihadapkan pada kenyataan
Pemikiran asosiatif Dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa anomali Pemikiran humanistik Dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa anomali
Reasoning tidak lengkap Dilengkapi, dihadapkan pada kenyataan
Penyebab Cara Mengatasi
Perkembangan kognitif siswa
Diajar sesuai dengan level perkembangan; mulai dengan yang konkret kemudian menuju konsep abstrak
Kemampuan siswa Dibantu pelan-pelan, melalui proses yang bertahap.
Minat belajar siswa Motivasi, variasi pembelajaran
Sumber: Suparno (2005: 81-82)
Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa cara
mengatasi miskonsepsi itu berbeda-beda, tergantung dari penyebab
miskonsepsi itu sendiri. Untuk yang disebabkan oleh prakonsepsi,
cara mengatasinya adalah dengan dihadapkan dengan kenyataan.
Siswa yang konsep awalnya tidak tepat perlu dihadapkan pada
pengalaman baru yang berbeda. Dengan melihat dan mengalami
pengalaman yang tidak sesuai dengan prakonsepsi mereka, siswa
akan bingung dan diharapkan akan mengubah konsep awalnya
dengan konsep yang tepat.
Miskonsepsi karena pemikiran asosiatif, pemikiran
humanistik siswa dan intuisi yang salah diatasi dengan cara
dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa/pengalaman anomali.
Pengalaman anomali adalah pengalaman nyata yang dihadapkan
pada siswa, yang berbeda dengan konsep yang mereka yakini
benar. Selanjutnya untuk reasoning yang tidak tepat, cara
mengatasinya adalah dengan melengkapi data/informasi yang
diperlukan untuk mengambil kesimpulan serta dihadapkan pada
kognitif siswa, maka guru harus mengajarkan materi/konsep sesuai
dengan level perkembangan, yaitu dari hal yang konkret menuju
hal yang bersifat abstrak.
Sementara itu, bagi siswa yang kemampuan dan minat
belajarnya kurang perlu diberi motivasi dan dibantu dengan pelan,
melalui proses yang bertahap. Selain itu, dalam mengajarkan
materi juga perlu dilakukan variasi pembelajaran agar siswa lebih
tertarik dan berminat dalam mengikuti pembelajaran.
3) Penyebab Kesalahan dari Guru
Penyebab miskonsepsi juga dapat berasal dari guru yang
mengajar. Kesalahan atau kekurangan guru dalam mengajar
biasanya ada dua yaitu guru tidak menguasai konsep yang benar
dari bahan fisika dan guru keliru dalam menjelaskan, meskipun
konsep yang diajarkan sudah dikuasainya. Guru yang tidak
menguasai konsep yang benar dapat diatasi dengan cara belajar lagi
dan lebih memahami akan konsep yang benar dari bahan yang akan
diajarkan. Selain itu, akan lebih baik jika guru yang mengajar
adalah guru yang kompeten atau lulusan pendidikan fisika/bidang
yang diajarkan.
Kekeliruan guru dalam menjelaskan konsep juga dapat
menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Guru sebaiknya dapat
menggunakan cara atau metode yang tepat, agar siswa dapat
hal yang telah disebutkan tadi, ternyata miskonsepsi juga dapat
disebabkan oleh relasi yang kurang baik antara siswa dengan guru.
Relasi yang kurang baik dengan guru dapat menyebabkan siswa
takut, grogi, dan tidak dapat berkonsentrasi. Akibatnya siswa akan
sulit menangkap konsep yang telah diajarkan. Untuk mengatasi hal
tersebut, guru harus dapat membangun relasi yang baik, dengan
melakukan pendekatan dengan siswa (Suparno, 2005: 65-70).
4) Penyebab Kesalahan dari Buku Teks
Miskonsepsi siswa juga dapat disebabkan oleh buku teks
yang digunakan. Buku teks merupakan salah satu sumber belajar
yang pasti digunakan dalam pembelajaran. Oleh karena itu,
kebenaran isi dan konsep yang ada pada buku teks menjadi hal
yang sangat penting. Beberapa bentuk kesalahan yang ada pada
buku teks adalah penjelasan yang keliru, salah tulis, level kesulitan
tulisan yang kadang tidak sesuai dengan perkembangan siswa,
buku fiksi sains keliru konsep, kartun salah konsep, serta
ketidaktahuan siswa dalam menggunakan buku teks.
Penyebab-penyebab di atas dapat diatasi dengan cara dikoreksi dengan teliti,
dibenarkan, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa dan
guru hendaknya melatih siswa tentang cara menggunakan buku
5) Penyebab Kesalahan dari Konteks
Miskonsepsi dapat disebabkan oleh pengalaman siswa yang
keliru, bahasa yang digunakan sehari-hari dan lain-lain. Penyebab
miskonsepsi dan cara mengatasinya secara umum dapat dilihat
pada tabel di bawah ini (Suparno, 2005: 72-74).
Tabel 2.2 Penyebab kesalahan dari konteks
Penyebab Cara Mengatasi
Pengalaman siswa yang keliru Dihadapkan pada pengalaman baru yang sesuai konsep fisika
Bahasa yang digunakan sehari-hari yang berbeda
Dijelaskan perbedaannya dengan contoh
Teman diskusi keliru Mengungkapkan hasil dan dikritisi guru
Keyakinan agama Dijelaskan perbedaannya
Sumber: Suparno (2005: 82)
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk
pengalaman siswa yang keliru, guru dapat mengatasinya dengan
memberikan pengalaman baru yang sesuai dengan konsep fisika,
sehingga konsep awal yang salah dapat diperbaiki dengan
mengetahui konsep yang benar. Bahasa sehari-hari yang berbeda
dapat diatasi dengan mendefinisikan istilah-istilah dan
konsep-konsep dengan jelas dan tidak menggunakan bahasa yang ambigu.
Selain dengan menjelaskan perbedaannya akan lebih baik jika guru
melengkapinya dengan contoh sehingga siswa akan lebih paham.
Teman diskusi yang keliru dapat menyebabkan terjadinya
miskonsepsi. Untuk memperbaiki kesalahan yang berasal dari
teman belajar dapat dilakukan dengan cara berikut ini. Pertama,
diungkapkan di depan kelas. Jika sudah diungkapkan, guru
mengkritisi konsep yang tidak benar dengan memberikan alasan
dan contoh nyata untuk dimengerti siswa. Kemudian guru
membetulkan konsep yang keliru. Sementara itu untuk miskonsepsi
yang disebabkan oleh keyakinan agama sebaiknya guru harus dapat
menjelaskan perbedaannya antara ajaran agama dengan konsep
nyata yang ada melalui contoh yang diberikan.
6) Penyebab Kesalahan dari Cara Mengajar
Ada beberapa kesalahan dan kelemahan beberapa metode
pembelajaran yang digunakan guru dalam mengajar. Hal itu
menyebabkan terjadinya miskonsepsi yang dialami siswa.
Penyebab-penyebab terjadinya miskonsepsi dari segi cara mengajar
dan cara mengatasinya (Suparno, 2005: 74–80) adalah sebagai
berikut.
Tabel 2.3 Penyebab kesalahan dari cara mengajar
Penyebab Cara Mengatasi Guru hanya dengan metode ceramah
dan menulis di papan tulis
Pembelajaran harus dilakukan dengan lebih bervariasi, siswa dirangsang untuk berpikir melalui pertanyaan. Dalam mengajarkan langsung ke
bentuk matematika (rumus)
Dalam menjelaskan hendaknya dimulai dengan gejala nyata baru setelah itu diajarkan rumus.
Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa.
Guru memberi kesempatan siswa mengungkapkan gagasan
PR tidak dikoreksi Dikoreksi cepat dan ditunjukkan salahnya.
Model analogi Ditunjukkan kemungkinan salah konsep
Model praktikum Dingkapkan hasilnya dan dikomentari Model diskusi Diungkapkan hasilnya dan
dikomentari
Non multiple intelegences Multiple intelegences
Tabel di atas menunjukkan berbagai penyebab kesalahan dari
cara mengajar dan cara mengatasi penyebab tersebut. Secara umum
setiap metode mengajar mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Dalam mengajar guru harus memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya dan
cara mengajar yang digunakan lebih bervariasi.
4. Hakikat Pembelajaran IPA
a. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam
1) Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu
Pengetahuan atau Sains (Trianto, 2012: 136). Sains berasal dari
bahasa latin yaitu scientia yang berarti saya tahu. Sains dapat
dibagi menjadi 2 yaitu social science (ilmu pengetahuan sosial)
dan natural science (ilmu pengetahuan alam). Namun, dalam
perkembangannya sains hanya diartikan sebagai IPA saja.
IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan,
yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan
pada pengamatan dan deduksi (Trianto, 2012: 136).
Kardi dan Nur dalam Trianto (2013: 136) mengatakan
bahwa IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik
makhluk hidup maupun benda mati yang diamati. IPA merupakan
benda-benda yang ada di permukaan bumi, baik yang dapat
diamati dengan indera maupun yang tidak dapat diamati dengan
alat indera.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Wahyana (dalam
Trianto, 2013: 136), menurut beliau IPA merupakan suatu
kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam
penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat peneliti
simpulkan bahwa IPA adalah sebuah ilmu pengetahuan yang
tersusun secara sistematis, secara umum penerapannya terbatas
pada gejala-gejala alam, yang lahir dan berkembang melalui
metode ilmiah serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu,
jujur, terbuka, dan sebagainya.
2) Hakikat IPA
IPA pada hakikatnya dibangun atas dasar produk ilmiah,
proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang juga
sebagai proses, produk, dan prosedur.
a) IPA sebagai Proses
IPA sebagai proses diartikan sebagai semua kegiatan
ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam
maupun untuk menemukan pengetahuan baru (Trianto, 2012:
b) IPA sebagai Produk
IPA sebagai produk diartikan sebagai hasil proses,
berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar
sekolah ataupun sebagai bahan bacaan untuk penyebaran
pengetahuan (Trianto, 2012: 137).
c) IPA sebagai Prosedur
IPA sebagai prosedur artinya dalam IPA terdapat
langkah-langkah dari suatu rangkaian kegiatan/proses/kerja
yang dapat dijadikan sebagai panduan atau metodologi untuk
mengetahui sesuatu (Trianto, 2012: 137).
d) IPA sebagai Sikap
IPA sebagai sikap yaitu sikap ilmiah harus
dikembangkan dalam pembelajaran sains. Hal ini sesuai
dengan sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan dalam
melakukan penelitian dan mengomunikasikan hasil
penelitiannya (Susanto, 2013:167).
3) Nilai-nilai IPA
IPA tidak hanya sebagai proses, produk dan prosedur, IPA
juga mengandung nilai-nilai tertentu yang berguna bagi
masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam IPA antara lain
a) Nilai Praktis
Nilai praktis adalah sesuatu yang bermanfaat dan
berharga dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan dari
penemuan-penemuan IPA telah menciptakan sebuah teknologi
baru yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari,
dan dapat membantu mengembangkan penemuan baru.
b) Nilai Intelektual
Nilai intelektual yang dimaksud adalah metode ilmiah
yang digunakan dalam IPA dapat memberikan kepuasan
intelektual. Kepuasan intelektual tesebut dapat terjadi jika
seseorang berhasil memecahkan masalah. Metode ilmiah
dalam IPA dapat digunakan untuk memecahkan masalah
melalui berbagai keterampilan dan sikap ilmiah yang
diajarkan.
c) Nilai Sosial-Budaya-Ekonomi-Politik
IPA mempunyai nilai-nilai sosial-ekonomi-politik berarti
kemajuan IPA dan teknologi suatu bangsa menyebabkan
bangsa tersebut memperoleh kedudukan yang kuat dalam
percaturan ekonomi-sosial-politik internasional.
d) Nilai Kependidikan
IPA memiliki nilai pendidikan karena IPA dapat menjadi
alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Nilai-nilai yang
berpikir secara teratur dan sistematis menurut metode ilmiah;
keterampilan dalam mengadakan pengamatan dan
mempergunakan peralatan untuk memecahkan masalah, serta
memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan
masalah.
b. Hakikat Pembelajaran IPA
Hakikat pembelajaran IPA merujuk pada hakikat IPA.
Nilai-nilai IPA yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran IPA menurut
Trianto (2012: 141):
1) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis
menurut langkah-langkah metode ilmiah.
2) Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan,
mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan masalah.
3) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan
masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun
kehidupan.
Hakikat dan tujuan pembelajaran IPA (Depdiknas; 2003: 2) yaitu:
1) Memberikan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk
meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan YME.
2) Memberikan pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep,
fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan
3) Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan,
memecahkan masalah dan melakukan observasi.
4) Sikap ilmiah antara lain skeptis, kritis, sensitif, obyektif, jujur,
terbuka, benar, dan dapat bekerja sama.
5) Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif
dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk
menjelaskan berbagai peristiwa alam.
6) Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari
keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam
teknologi.
Dari uraian di atas, semakin jelas bahwa hakikat pembelajaran
IPA lebih ditekankan pada keterampilan proses, sehingga siswa dapat
menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan
sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif
terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan.
5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dan
sangat bermanfaat bagi siswa dalam mempelajari dirinya dan alam
sekitarnya. Beberapa kompetensi yang harus dicapai siswa kelas III-VI
menurut Permendikbud No. 64 Tahun 2013 antara lain: 1) menunjukkan
sikap ilmiah: rasa ingin tahu, jujur, logis, kritis, dan disiplin; 2)
pengamatan obyek IPA dengan menggunakan panca indera; 4)
menceritakan hasil pengamatan IPA dengan bahasa yang jelas.
Pembelajaran IPA untuk tingkat SD dilakukan melalui pengamatan
langsung, sehingga siswa dapat lebih paham dan akan memperkuat ingatan
siswa. Pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan
kehidupan sehari-hari (Samatowa, 2011: 6). Guru memberikan kesempatan
bagi siswa agar mereka dapat mengeluarkan ide/gagasan dan dapat
mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum mereka pahami,
membangun rasa ingin tahu siswa, membangun dan melatih siswa agar
menguasai keterampilan yang diajarkan. Selain itu, guru juga harus
memvariasi pembelajaran dengan menggunakan metode yang cocok dan
menggunakan media yang menarik perhatian siswa.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran IPA di SD harus dapat membuka kesempatan bagi siswa
untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa melalui pembelajaran,
observasi, dan eksperimen yang dilakukan. Hal tersebut dapat membantu
siswa dalam mengembangkan keterampilan siswa terutama keterampilan
proses.
6. Pembelajaran IPA di SD kelas V semester 2
Berikut ini merupakan materi IPA yang dipelajari pada kelas V SD
a. Konsep Gaya
Azmiyawati (2008:82-93) menyatakan beberapa macam gaya
berdasarkan sumbernya antara lain:
1) Gaya Gravitasi
Gaya gravitasi adalah kekuatan atau tarikan yang dimiliki
oleh benda yang memiliki massa. Faktor-faktor yang
mempengaruhi gaya gravitasi yaitu:
a) Gaya gravitasi dapat menimbulkan energi gerak.
b) Kekuatan gaya gravitasi bumi terhadap benda tergantung pada
jarak benda dari pusat. Semakin jauh jarak benda dari bumi,
gaya gravitasi yang memengaruhinya semakin kecil.
c) Benda yang lebih luas permukaannya akan lebih lambat jatuh
ke bawah.
d) Arah gaya gravitasi berlawanan dengan gaya gesek. Gaya
gesek bersifat menahan gerak benda sehingga gerak jatuhnya
benda lebih lambat. Arah gaya gesek berlawanan dengan gaya
yang ditahannya.
2) Gaya Gesek
Gaya gesek adalah gaya yang dihasilkan oleh permukaan
kasar untuk melawan gaya yang menggerakkan suatu benda.
a) Pada permukaan licin, gaya gesekan yang terjadi juga kecil.
Akibatnya, benda itu semakin mudah bergerak pada
permukaan tersebut.
b) Memperhalus permukaan benda yang bergesekan dapat
memperkecil gaya gesek.
c) Benda yang lebih halus akan menimbulkan gaya gesek yang
lebih kecil.
d) Semakin kecil luas permukaan benda yang bersentuhan, gaya
geseknya semakin kecil.
3) Gaya Magnet
Gaya magnet adalah gaya yang ditimbulkan oleh magnet.
Magnet adalah sejenis logam yang dapat menarik atau menempel
pada logam besi atau baja. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya
magnet yaitu:
a) Magnet hanya menarik benda-benda tertentu, yaitu benda yang
terbuat dari logam.
b) Apabila magnet didekatkan pada benda yang terbuat dari
logam, akan timbul gaya gerak sehingga benda tersebut tertarik
menuju magnet atau tertolak menjauhi magnet.
c) Apabila antara benda logam dengan magnet terdapat
penghalang, pengaruh gaya magnet dipengaruhi oleh ketebalan
penghalang, jarak antara benda logam dengan magnet, dan
b. Konsep Pesawat Sederhana
Pesawat adalah alat-alat yang dapat memudahkan pekerjaan
manusia. Pesawat dapat memperkecil gaya yang dikeluarkan. Pesawat
ada yang rumit dan ada yang sederhana. Pesawat rumit tersusun atas
pesawat-pesawat sederhana. Pesawat sederhana adalah alat-alat bantu
sederhana yang membantu meringankan pekerjaan manusia.
Pada prinsipnya, pesawat sederhana terbagi menjadi empat
macam, yaitu pengungkit, bidang miring, katrol, dan roda berporos.
Fungsi pesawat sederhana adalah untuk mengubah energi, mengubah
arah gaya, memindahkan energi, menghemat energi, menghemat
waktu, serta memudahkan pekerjaan manusia (Hermana,
2009:122-126).
1) Tuas atau Pengungkit
Tuas disebut juga pengungkit. Pada pengungkit terdapat
kuasa, beban, dan titik tumpu. Kuasa adalah gaya yang bekerja
pada pengungkit. Beban adalah berat benda. Titik tumpu adalah
tempat beban bertumpu.
a) Pengungkit Jenis Pertama
Pengungkit jenis pertama adalah pengungkit dengan jenis
posisi titik tumpu berada di antara beban dan kuasa. Contoh
pengungkit jenis pertama adalah jungkat-jungkit, pompa air
tangan, gunting, linggis pencabut paku, pemotong kuku, dan
Gambar 2.1 Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Pertama
Sumber: Azmiyawati (2008:99)
Gambar di atas menunjukkan prinsip kerja pengungkit
pertama, dimana posisi titik tumpu berada di antara beban dan
kuasa
b) Pengungkit Jenis Kedua
Pengungkit jenis kedua adalah pengungkit dengan jenis
beban berada di antara titik tumpu dan kuasa. Contoh
pengungkit jenis kedua adalah alat pembuka tutup botol,
gerobak dorong, pemecah biji-bijian, pemotong kertas, dan
pembuka kaleng.
Gambar 2.2 Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Kedua