• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB II"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian/ Definisi Hukum Perdata Internasional1 Prof. R. H. Graveson

Prof. R. H. Graveson berpendapat bahwa:

“Conflict of laws atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum

yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta

relevan yang menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena

aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan

pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya

asing), atau masalah pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan

pengadilan asing.”

Prof. van Brakel

Prof. van Brakel dalam bukunya Grondsla gen en Beginselen van

Nederlands Internationaal Privaatrecht berpandangan bahwa:

“Hukum Perdata Internasional adalah hukum nasional yang dibuat untuk

hubungan-hubungan hukum internasional.

1

(2)

Prof. G. C. Cheshire

Prof. G. C. Cheshire (Inggris), misalnya, beranggapan bahwa:

“Private international la w is that part of English la w which comes into

operation whenever the court is faced with a claim that contains a foreign

element. It is only when this element is present that private international la w has

a function to perform.”

Dalam tulisan yang sama Cheshire menyimpulkan bahwa:

“Private international la w, then is that part of law which comes into play

when the issue before the court affects some fact, event, or transaction that is so

closely connected with a foreign system of la w as to necessitate recourse to that

system.

Prof. Sudargo Gautama

Dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internsional Indonesia, Prof.

Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai:

“… keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stetsel

hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika

hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada

suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stetsel-stetsel dan

kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan

(3)

Prof. J. G. Sauveplanne

Prof. J. G. Sauveplanne berpendapat bahwa:

“Het i.p.r omvat het samenstel van regels die privaatrechtelijke

rechtsverhoudingen met internationale elementen bestrijken, en met name

rechtsverhoudingen die zodanig met vreemde landen zijn verbonden, dat de vraag

kan rijzen om het wel juist is hen zonder meer te onderwerpen aan het interne

Nederlandse recht.”

Jadi, menurut Sauveplanne HPI adalah keseluruhan aturan yang mengatur

hubungan-hubungan hukum perdata yang mengandung elemen-elemen

internasional dan hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan

negara-negara asing sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah penundukan

langsung ke arah hukum asing itu tanpa harus menundukkan diri pada hukum

intern (Belanda).

Menurut Hardjowahono dengan mendasarkan diri pada pandangan Prof.

van Brakel, Rene van Rooij, dan Maurice van Polak beranggapan bahwa:

“The hybrid nature of private international law, … can hardly be described

more accurately than in the words of van Brakel: ‘Private International Law is

national law written for international situations’ Private International Law is

indeed, an amalgam of international and national elements. Its sources are to be

found on both an international and a national level; its subject matter is always

(4)

Pandangan yang dikemukakan terakhir di atas juga menguatkan pendapat

bahwa:

1. HPI adalah bagian dari hukum nasional (“… national law written for

”);

2. Walaupun dalam perkembangannya kaidah-kaidah HPI dapat dijumpai

di dalam sumber-sumber hukum nasional ataupun hukum internasional

(“… both an international and a national level…”); serta

3. HPI adalah bidang hukum yang masalah-masalah pokoknya selalu

difokuskan pada persoalan-persoalan yang bersifat transnasional atau

melampaui batas-batas negara („… its subject matter is always international”).

Prof. Sunaryati Hartono

Prof. Sunaryati Hartono berpandangan bahwa HPI mengatur setiap

peristiwa/hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik di bidang hukum

publik maupun hukum privat. Karena inti dari HPI adalah pergaulan hidup

masyarakat internasional, maka HPI sebenarnya dapat disebut sebagai hukum

(5)

B. Titik-titik Taut

Titik taut adalah faktor-faktor atau fakta-fakta khusus di dalam suatu

peristiwa hukum atau persoalan hukum yang menunjukkan pertalian khusus

dengan sistem aturan atau sistem hukum tertentu. Di dalam suatu peristiwa

hukum, senantiasa akan dapat dijumpai adanya fakta (-fakta) penting yang

membentuk pertalian/ pertautan antara persoalan yang dihadapi dengan suatu

aturan di dalam sistem hukum tertentu. Titik taut adalah fakta di dalam perkara

yang mengaitkan perkara tersebut kepada suatu sistem aturan atau sistem hukum

tertentu2.

Hukum perselisihan membedakan pengertian titik taut ke dalam titik taut

primer dan titik taut sekunder.

a. Titik taut primer (disebut juga sebagai titik taut pembeda)

Sudargo Gautama memaknai titik taut primer ini sebagai hal-hal yang

merupakan tanda akan adanya persoalan hukum antargolongan.

Pengertian ini tidak hanya dapat diterapkan di dalam hukum antar

golongan, tetapi juga pada bidang-bidang hukum perselisihan pada

umumnya. Titik taut primer adalah fakta yang membedakan kasus yang

dihadapi tersebut dari kasus yang sepenuhnya tunduk pada satu aturan/

sistem aturan/ sistem hukum dan karena itu menunjukkan bahwa kasus

tersebut adalah kasus hukum perselisihan. Ciri yang membedakan adalah

bahwa dengan adanya titik taut tersebut, kita mengetahui terlibatnya

2

(6)

lebih dari satu aturan hukum atau sistem hukum di dalam perkara

tersebut3.

b. Titik taut sekunder (disebut juga titik taut penentu)

Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan

hukum apa atau hukum mana yang seharusnya diberlakukan terhadap

perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum/kaidah

hukum/peraturan. Yang dianggap sebagai titik taut sekunder dalam

hukum perselisihan adalah faktor-faktor penentu, seperti:

1. Pilihan hukum yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak di

dalam perjanjian. Titik taut ini hanya diakui di bidang hukum

kekayaan dan perikatan.

2. Pilihan hukum yang disimpulkan oleh hakim/ pilihan hukum secara

diam-diam (tidak tegas). Hal ini dapat disimpulkan dari:

 Bentuk dan isi perjanjian yang dipilih para pihak.

 Suasana/lingkungan/milieu/tempat terjadinya perbuatan

hukum.

 Kedudukan salah satu pihak yang lebih penting/lebih

dominan/lebih menentukan.

3. Pembebanan hukum atau pilihan hukum yang

diperintahkan/diwajibkan pemberlakuannya oleh negara/penguasa

melalui perundang-undangan, yang mengakibatkan berlakunya suatu

sistem hukum tertentu terhadap seseorang yang seharusnya tidak

terikat pada sistem hukum tersebut.

3

(7)

4. Fakta-fakta khusus yang oleh kaidah/asas hukum perselisihan negara

tersebut ditetapkan sebagai titik taut terpenting untuk menentukan

hukum yang berlaku dalam masalah hukum perselisihan tertentu.4

Titik-titik taut dalam HPI

Sebutan lain untuk titik-titik taut di dalam pelbagai literatur HPI adalah

connecting factors (Inggris), aanknüpfungspunkte (Jerman), points of contact

(Inggris), aanknopingspunten (Belanda), dan titik-titik pertalian.5

Secara sederhana, titik-titik taut dalam HPI dapat didefinisikan sebagai:

“Fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan

pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat (dalam hal ini negara) tertentu,

dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan

kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern dari tempat itu.”6

2 (dua) jenis titik taut:

1. Titik-titik Taut Primer (Primary Points of Contact)

Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang

menunjukkan peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing (foreign

elements) dan karena itu peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa

HPI dan bukan peristiwa hukum intern/domestik semata.7

(8)

2. Titik-titik Taut Sekunder (Secondary Points of Contact)8

Yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan

hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan

HPI yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder seringkali disebut titik taut

penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah

yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam menyelesaikan

suatu perkara.

Jenis-jenis pertautan yang umumnya dianggap menentukan dalam HPI,

antara lain:

 Tempat penerbitan izin berlayar sebuah kapal (bendera kapal)

kewarganegaraan para pihak;

 Domisili, tempat tinggal tetap, tempat asal orang, atau badan hukum;  Tempat benda terletak (situs);

 Tempat dilakukannya perbuatan hukum (locus actus);

 Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum/tempat pelaksanaan perjanjian

(locus solutionis);

 Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi (locus

celebrationis); dan

 Tempat gugatan perkara diajukan/ tempat pengadilan (locus forum).

8

(9)

C. Teori-teori Kualifikasi

1. Teori Kualifikasi Lex Fori9

Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Prancis).

Baik Kahn maupun Bartin bertitik tolak dari anggapan bahwa kualifikasi

harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang mengadili

perkara (lex fori) karena sistem kualifikasi adalah bagian dari hukum

intern lex fori tersebut.

Franz Kahn, lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus

dilakukan berdasarkan lex fori karena alasan-alasan:

a. Kesederhanaan (simplicity)

Kesederhanaan (simplicity) sebab jika kualifikasi dilakukan dengan

menggunakan lex fori, pengertian, batasan, dan konsep-konsep

hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah

pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.

b. Kepastian (certainty)

Kepastian (certainty) sebab pihak-pihak yang berpekara akan telah

mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa atau hubungan hukum

apakah perkara mereka akan dikualifikasikan oleh hakim beserta

segala konsekuensi yuridiknya.

Bartin menambahkan pandangannya dengan pernyataan bahwa

kualifikasi harus dilakukan dengan menggunakan lex fori karena

sebenarnya seorang hakim telah disumpah untuk menegakkan hukumnya

sendiri dan bukan sistem hukum asing manapun. Selanjutnya, ia

9

(10)

menambahkan bahwa hakim memberlakukan suatu sistem hukum asing

dalam perkara hanya sebagai wujud kesukarelaan forum untuk

membatasi kedaulatan hukumnya. Pembatasan semacam ini pun hanya

dilakukan setelah pengertian atau konsep hukum asing yang

bersangkutan dikualifikasikan terlebih dahulu berdasarkan lex fori.

Demikian pula halnya jika hakim menghadapi lembaga-lembaga hukum

asing yang tidak dikenal di dalam lex fori, maka ia harus menerapkan

konsep-konsep hukumnya sendiri yang dianggap paling setara dengan

hukum asing itu. Para penganut teori ini umumnya sependapat bahwa

terhadap kewajiban kualifikasi berdasarkan lex fori, dimungkinkan

pengecualian-pengecualian, yaitu:

a. Apabila perkara yang dihadapi menyangkut penentuan hakikat suatu

benda sebagai benda tetap atau benda bergerak, kualifikasi dilakukan

berdasarkan ukuran-ukuran yang dikenal di dalam lex situs (hukum

dari tempat di mana benda terletak).

b. Apabila perkara menyangkut kontrak-kontrak yang dibuat melalui

korespondensi (interaabsentes), penentuan tentang saat dan sah

tidaknya pembentukan kontrak harus dilakukan berdasarkan lex loci

contractus (hukum dari tempat pembuatan kontrak) yang ditetapkan

secara objektif.

Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena

dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat

digunakannya konsep-konsep lex fori yang paling dikenal oleh hakim.

(11)

ketidakadilan (injustice) karena kualifikasi adakalanya dijalankan

dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan

sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan

menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem

hukum tersebut.

2. Teori Kualifikasi Lex Causae (Lex Fori yang Diperluas)10

Pendukung teori ini adalah Martin Wolff. Teori ini beranggapan

bahwa proses kualifikasi dalam perkara HPI dijalankan sesuai dengan

sistem serta ukuran-ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang

berkaitan dengan perkara.

Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI

mana dari lex fori yang paling erat kaitannya dengan kaidah hukum

asing yang mungkin diberlakukan. Penentuan ini harus dilakukan

dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang dilakukan dengan

memerhatikan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah kategori

yuridik dari suatu peristiwa hukum ditetapkan dengan cara itu, barulah

dapat ditetapkan kaidah HPI yang mana dari lex fori yang akan

digunakan untuk menunjuk ke arah lex causae.

Prof. Sunaryati Hartono berpendapat bahwa dalam hal kualifikasi

dilakukan berdasarkan lex causae, kesulitan mungkin akan timbul jika

sistem hukum asing tertentu ternyata tidak memiliki sistem kualifikasi

yang cukup lengkap atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga

hukum yang sedang dihadapi dalam perkara. Dalam menghadapi

10

(12)

kekosongan hukum semacam itum lanjutnya, hakim biasanya

menjalankan kostruksi-konstruksi hukum (analogi) dengan

memerhatikan cara-cara penyelesaian sengketa hukum yang serupa atau

sejenis di dalam sistem-sistem hukum yang dianggap memiliki dasar

yang sama.

Apabila cari itu belum juga dapat membantu penyelesaian perkara,

barulah kualifikasi dilakukan berdasarkan lex fori.

Prof. Cheshire melihat mekanisme berpikir kualifikasi secara agak

berbeda. Menurut pandangannya, kualifikasi dalam praktik seringkali

dijalankan berdasarkan lex fori, tetapi karena dalam HPI kualifikasi

dijalankan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung

unsur asing, maka sebenarnya kualifikasi HPI tidak selalu harus

dilakukan berdsarkan lex fori saja.

Menurut Cheshire, tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk

menyelesaikan perkara HPI dan salah satu fungsi utama HPI adalah

menetapkan aturan-aturan yang dapat diterapkan pada perkara-perkara

yang merasuk ke dalam suatu sistem hukum asing. Karena itu pula,

hakim tidak dapat terikat secara kaku (rigid) pada konsep-konsep lex

fori saja. Sikap yang demikian dapat mengakibatkan dikesampingkannya

suatu lembaga atau konsep hukum asing yang seharusnya digunakan

hanya karena alasan tidak dikenalnya lembaga atau konsep hukum asing

itu di dalam lex fori. Dengan kata lain, Cheshire menyarankan agar

konsep-konsep, seperti kontrak, perbuatan melawan hukum, dan

(13)

mencakup peristiwa/hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem

hukum asing.

3. Teori Kualifikasi Bertahap11

Teori ini dikembangkan oleh Adolph Schnitzer (Swiss) dan

didukung juga dalam pandangan-pandangan Prof. G. C. Cheshire, Prof.

Ehrenzweig, dan Prof. Sunaryati Hartono.

Teori ini bertitik tolak dari keberatan terhadap teori kualifikasi lex

causae karena kualifikasi tidak mungkin dilakukan berdasarkan hukum

yang seharusnya berlaku karena justru hukum yang hendak diberlakukan

itulah yang masih harus ditentukan dengan bantuan proses kualifikasi.

Penentuan lex causae dalam perkara HPI hanya dapat dilakukan melalui

proses kualifikasi (dengan bantuan titik-titik taut) dan pada tahap

penentuan lex causae kualifikasi mau tidak mau harus dilakukan

berdasarkan lex fori terlebih dahulu.

Demi keadilan dan ketelitian dalam proses penentuan kaidah

hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara, maka

kualifikasi harus dilakukan melalui dua tahap, yaitu:

a. Kualifikasi tahap pertama

 Disebut juga qualifikation ersten grades, primary

classification, qualificatie in de eerste graad.

 Kualifikasi ini dijalankan pada saat hakim harus menemukan

kaidah HPI atau choice of la w rule (lex fori) yang akan

digunakan untuk menentukan titik taut penentu.

11

(14)

 Kualifikasi ini dilakukan dalam rangka menetapkan lex

causae.

 Kualifikasi pada tahap ini harus dilaksanakan berdasarkan lex

fori.

 Proses kualifikasi dilakukan dengan mendasarkan diri pada

sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex fori.

Setelah lex causae dapat ditetapkan, hakim dianjurkan untuk menjalani

tahap kedua.

b. Kualifikasi tahap kedua

 Disebut juga qualifikation zweiten grades, secondary

classification, qualificatie in de tweede graad.

 Kualifikasi ini dijalankan setelah lex causae ditetapkan, dan

dalam rangka menetapkan kategori kaidah atau aturan hukum

intern apa dari lex causae yang akan digunakan untuk

menyelesaikan perkara.

 Kualifikasi pada tahap ini harus dijalankan berdasarkan

sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex causae.

 Pada tahap ini semua fakta dalam perkara harus

dikualifikasikan kembali berdasarkan kategori lex causae.

 Berdasarkan hasil kualifikasi ini maka hakim dapat

menetapkan kaidah hukum intern lex causae yang akan

(15)

4. Teori Kualifikasi Analitis/Otonom12

Tokoh-tokohnya adalah Ernst Rabel (Jerman) dan Beckett

(Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak dari penolakan mereka

terhadap asusmsi bahwa yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu

hanya hukum intern dari forum. Setiap sistem HPI sebenarnya dibentuk

untuk menciptakan keharmonisan internasional antara lex fori dan

sistem-sistem hukum lain. Karena itu, metode perbandingan hukum

untuk membangun suatu sistem kualifikasi HPI yang dapat digunakan

secara universal di forum mana pun merupakan salah satu elemen

terpenting dalam HPI.

Menurut para penganut teori ini, dalam tindakan kualifikasi

terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari

kaitannya pada suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (bersifat

otonom). Artinya, dalam HPI seharusnya dikembangkan konsep-konsep

(begrip) hukum yang khas dan dapat berlaku secara umum serta

mempunyai makna yang sama di mana pun di dunia.

Maka dari itu, untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Rabel,

haruslah digunakan metode perbandingan hukum dalam rangka

membentuk pengertian-pengertian HPI yang dapat diterima di

mana-mana. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu sistem HPI yang utuh

dan sempurna serta yang berisi konsep-konsep dasar yang bersifat

mutlak. Gagasan yang menarik dari teori ini dalam kenyataan sulit

diwujudkan karena:

12

(16)

a. Sangat sulit untuk menemukan dan merumuskan

pengertian-pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengeritan yang

berlaku umum.

b. Hakim yang hendak menggunakan pola kualifikasi ini harus

mengenal semua sistem hukum di dunia agar ia dapat memperoleh

gambaran tentang konsep-konsep hukum yang memang diakui di

seluruh dunia.

Prof. Sudargo Gautama beranggapan bahwa:

“Walaupun teori kualifikasi ini sulit dijalankan, tetapi hal yang dapat

ditarik sebagai pelajaran adalah cara pendekatan/sikap seperti itu perlu

dibina dalam HPI, walaupun seseorang akan mengualifikasikan

sekumpulan fakta berdasarkan lex fori sekalipun. Artinya,

konsep-konsep HPI jangan ditafsirkan hanya berdasarkan pengertian lex fori

saja, tetapi juga harus disandarkan pada prinsip-prinsip yang dikenal

secara umum dan dengan memerhatikan konsepsi-konsepsi di dalam

(17)

5. Teori Kualifikasi Berdasarkan Tujuan HPI13

Tokohnya adalah G. Kegel. Teori ini bertitik tolak dari pandangan

bahwa setiap kaidah HPI harus dianggap memiliki suatu tujuan HPI

tertentu yang hendak dicapai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai

melalui HPI harus diletakkan di dalam konteks kepentingan HPI, yaitu:

 Keadilan dalam pergaulan internasional

 Kepastian hukum dalam pergaulan internasional  Ketertiban dalam pergaulan internasional  Kelancaran lalu lintas pergaulan internasional

Karena itu, pada dasarnya masalah bagaimana proses kualifikasi

harus dijalankan, tidaklah dapat ditetapkan terlebih dahulu, tetapi akan

merupakan hal yang ditetapkan kemudian, setelah penentuan

kepentingan HPI apa yang hendak dilindungi oleh suatu kadiah HPI

tertentu.

13

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengendalian intern penting karena pada dasarnya setiap unit pelayanan akan mengalami banyak ancaman yang dapat menganggu tercapainya tujuan dari unit

doktrin sebagai sumber hukum yang digunakan hakim dalam memutus. kasus/perkara adalah sah

penanganan masalah tersebut yang dilakukan oleh Yayasan Kakak Arina Vidyasari (312007023) Upaya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Korban Perdagangan Orang

Selanjutnya Scuyth (dalam Haryati 2001 : 9) melihat konflik dari sisi hukum, mengemukakan bahwa konflik adalah situasi (keadaan) dimana dua atau lebih pihak

jawaban atas pertanyaan bagaimana nemo dat rule dalam Putusan 1887 adalah bahwa asas hukum perdagangan internasional atau yang dikenal lex mercatoria itu belum

B: Mungkin sedikit banyak ada, cuma apa ya e..hanya momen-momen tertentu tadi mungkin juga kita senang salah satu bagian dari proses seleksi ya dari duta wisata Salatiga sendiri

kalau sekarang di tempat kami ya lancar-lancar saja, karena itu sebagian bagian dari ikon Pancuran, apapun masyarakat itu senang, kadang-kadang nuwun sewu kalau kita

Hasil dari penelitian ini adalah menghasilkan sistem informasi dan aplikasi pada smartphone Android sebagai penyebaran informasi graffiti, sehingga dapat digunakan