1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Alasan Pemilihan Judul
Penulis memilih judul “Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum dalam Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia dalam Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 2006/No.9 tahun 2006 dan
Putusan No.41/G/2008/PTUN-BDG serta Putusan No.127 PK/TUN/2009,”
karena materi muatan dalam Peraturan Bersama Menteri1 Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 8 tahun 2006/No. 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat, menarik untuk dikaji.
Penilaian atau pengujian (review) apakah isi PBM sudah sesuai ataukah
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya di bawah Hukum,
norma hukum, atau asas hukum, misalnya seperti penilaian yang dilakukan oleh
1
2
hakim apakah isi PBM sesuai dengan prinsip „lex superior derogate lex inferiore‟,
khususnya penilaian atas Pasal-Pasal PBM yang mengatur tentang pendirian
rumah ibadat terhadap asas hukum atau prinsip hukum, dalam hal ini Penulis
fokuskan kepada asas persamaan perlakuan di depan hukum adalah perlu dan
menarik sebagai bahan kajian dan suatu eksersais keilmuan dalam bidang hukum.
Satu diantara Pasal dari PBM yang menarik untuk diuji secara ilmiah
adalah Pasal yang mensyaratkan adanya dukungan masyarakat2 setempat paling
sedikit enam puluh orang, sebelum suatu ijin pendirian rumah ibadat dapat
diterbitkan oleh aparat yang berwenang kepada mereka sebagai pemohon yang
berhak untuk melaksanakan kebebasan beragama mereka, beribadat di suatu
rumah ibadat. Ada kesan, bahwa Pasal tersebut kemungkinan dapat menyulitkan
kelompok minoritas agama yang hendak mendirikan rumah ibadat di suatu daerah
tertentu dengan mayoritas masyarakatnya beragama lain. Sehingga, manakala
kesan bakal ada kemungkinan kesulitan itu terjadi, maka dapat saja orang
berpendapat bahwa, terjadi kesenjangan perlakuan hukum kepada kelompok
minoritas agama oleh yang berwenang dibandingkan dengan perlakuan terhadap
kelompok mayoritas agama dengan menyandera (hijacking) pendirian suatu
rumah ibadat. Bahkan, yang lebih parah lagi, hijacking seperti itu dapat saja
dimanfaatkan oleh para petualang politik yang doyan menggunakan isu agama
supaya mendapat tiket menuju ke kekuasaan. Dengan kata lain, dapat dikatakan
adanya kemungkinan terjadinya diskriminasi, yang dalam skripsi ini disebut
sebagai ketiadaan atau pengabaian prinsip hukum, baik yang dilakukan dengan
sengaja maupun pembiaran (ommision), persamaan perlakuan di depan hukum
2
3
dalam PBM. Hal inilah yang membuat Penulis tertarik memilih judul
sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Meskipun harus Penulis akui, bahwa topik sejenis sudah pernah ditulis
oleh mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga,3 yang mengkaji tentang
peraturan tersebut di atas, namun kajian dalam skripsi yang pernah ditulis itu
berbeda dengan penelitian Penulis ini. Perbedaan tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut. Bahwa karya tulis ini hanya memuat kajian atas prinsip hukum
dalam PBM yang mengatur pendirian suatu rumah ibadat4. Soal atau isu yang ada
adalah apakah eksis persamaan perlakuan penerapan PBM. Dengan kata lain
apakah ada nilai asas persamaan di hadapan hukum di balik Putusan hakim yang
mengadili dan memutus perkara yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadat?
Penulis pastikan, bahwa isu seperti ini belum pernah dibicarakan oleh
penulis-penulis skripsi di Fakultas Hukum UKSW Salatiga sebelumnya.
Aspek yang belum dibicarakan oleh penulis dalam karya tulis terdahulu
adalah bahwa dalam perspektif Ilmu Hukum, adanya persyaratan bagi ilmuan
hukum (jurists), bahwa dalam suatu pengkajian ilmiah dalam bidang hukum, para
pengkaji itu harus, paling kurang mengkaji kaedah dan asas dalam suatu
keputusan badan peradilan, yang dalam hal ini kajian mengenai bagaimana
penerapan PBM oleh hakim dalam mengadili dan memutus perkara konkret yang
berkaitan dengan boleh tidaknya didirikan rumah ibadat.
3
Budi Wahyudiono Purnomo Wibowo, S.H., Implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 tahun 2006 tentang Hak Kebebasan Beragama dan Beribadat,Studi Kasus Gereja Kerasulan Baru Indonesia Guwokajen dan Gereja Kristen Jawa Karang Duren Sawit Boyolali, FH UKSW, 2011.
4
4
Dalam skripsi terdahulu, belum dibahas suatu keputusan peradilan. Ada
memang, seperti telah Penulis kemukakan di atas, penulis yang hanya
membangun argumen tentang kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat menurut
pandangan subyektif dari pengelola rumah-rumah ibadat tertentu. Namun,
bangunan argumen itu tidak ada contoh konkret sebagaimana yang dilakukan
Penulis terhadap Putusan-Putusan Hakim yang dikaji dalam skripsi ini.
Semestinya, kalaupun pandangan seperti penulis skripsi di atas, yaitu argumen
hasil temuan bahwa ada kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat, dan apabila hal
seperti itu harus distudi, maka demi obyektifitas dan persyaratan penelitian hukum
yang valid, pandangan-pandangan yang obyektif, yang dimuat di dalam suatu
putusan pengadilanlah yang seharusnya distudi. Karena, pandangan-pandangan itu
telah dikemukakan di dalam ruang persidangan yang terbuka untuk umum.
Sedangkan skripsi tersebut sangat subyektif, membangun argumen dengan tidak
mengikutsertakan pandangan atau pendapat, bahkan keputusan boleh tidaknya ijin
pendirian rumah ibadat tersebut diterbitkan dari sudut pandang aparat setempat
yang ada dalam suatu surat keputusan, apalagi pandangan tersebut bukanlah
pejabat pembuat putusan pengadilan, atau hakim.
Sedangkan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah yang argumennya
akan dibangun oleh skripsi ini mendasarkan diri pada keputusan hakim
(obyektifitas) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkraht van gewijde). Dalam
hal ini, keputusan hakim itu adalah satuan amatan penelitian Penulis yaitu
Putusan No. 41/G/2008/PTUN-BDG dan Putusan No. 127 PK/TUN/2009.
Dengan kata lain, dapat Penulis katakan bahwa skripsi sebagaimana ditulis oleh
5
obyektif karena mengkaji suatu putusan pengadilan yang dibuat oleh instansi
berwenang (having the power and capacity to contract).
Sedikit lebih menarik, dan yang juga perlu Penulis kemukakan di sini yaitu
bahwa perbedaan antara skripsi ini dengan skripsi sebelumnya5 adalah bahwa
skripsi ini ilmu hukum murni sedangkan skripsi sebelumnya skripsi yang
berdimensi sosiologi hukum6.
Selanjutnya, hal yang juga penting untuk dikemukakan pada bagian awal
skripsi ini adalah bahwa skripsi ini juga berdimensi judicial review yang per
definisi dirumuskan sebagai berikut :
“the simplified procedure by which, since 1977, prerogative and other remedies have been obtainable in the high court against
inferior courts, tribunals, and administrative authorities on an
application for the judicial review of a decision, the court may
grant *Certiorari, *Mandamus, *Prohibition, a *Declaration, or
an *Injunction; it may also award damages.”7
Judicial review merupakan suatu konsep yang berasal dari sistem hukum
Inggris. Dimaksudkan dengan judicial review, sebagaimana rumusan pengertian
di atas, adalah penyerderhanaan prosedur (hukum acara) yang oleh karena hak
luar biasa dan penyelesaian lainnya yang menjadi wewenang suatu pengadilan
5
Lihat Catatan kaki No.1. supra.
6
Dr. Jeferson Kameo SH., LL.M., mengatakan bahwa tidak salah apabila seorang jurist
memelajari Sosiologi Hukum, namun, Kameo mengingatkan bahwa Sosiologi Hukum itu bukan Ilmu Hukum. Sosiologi Hukum itu Ilmu sosial yang mengkaji hukum sebagai obyek. Seorang Jurist tidak mengkaji hukum dalam pengertian mengobok-obok hukum, atau kemudian menggunakan hukum menjadi alat menjadi kaya atau mencari makan, namun memelajarinya untuk dipatuhi.
7
6
tinggi. Pengadilan yang lebih tinggi itu menilai (review) bahwa ada hal yang
bertentangan. Review juga dilakukan oleh pengadilan terhadap keputusan tata
usaha negara maupun badan peradilan seperti berbagai tribunal dengan berbagai
pemberian ganti rugi apabila ternyata pengadilan menemukan adanya perbuatan
melawan hukum.
Dimaksud dengan judicial review dalam skripsi ini dapat dilihat dalam
Putusan No. 41/G/2008/PTUN-BDG8 jo. No. 241/B/2008/PT TUN. JKT9 jo. No.
127 PK/TUN/200910. Penulis berpendapat bahwa di dalam perkara tersebut
terlihat dengan jelas dimensi pengujian (review) terhadap keputusan administrasi
negara oleh lembaga kehakiman/hakim (judicial) (PTUN) yang dibuat dalam
rangka pembangunan pendirian rumah ibadat. Satu dari alat pengukur dalam
pengujian yang dilakukan oleh para Majelis Hakim yang mengadili perkara itu
adalah PBM. Dengan kata lain dalam skripsi ini terdapat satu dimensi judicial
review yang terdapat dalam putusan pengadilan.
Adanya pengujian (review) oleh hakim (judicial), dan yang paling penting,
menuruti definisi judicial review sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas
adalah bahwa pengujian itu dilakukan terhadap putusan administrasi negara
(beschiking). Dari tulisan ilmiah ini diharapkan dapat ditemukan kembali suatu
kaedah yang mengatur mengenai suatu perbuatan (something to do), dalam hal ini,
perbuatan pemberian ijin pendirian rumah ibadat di daerah yang mayoritas
8
Selanjutnya dalam skripsi ini disingkat dengan Putusan 41.
9
Selanjutnya dalam skripsi ini disingkat dengan Putusan 241.
10
7
masyarakatnya beragama berbeda dengan kelompok minoritas yang akan
mendirikan rumah ibadat.
1.2. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara Hukum.11 Tiga ciri penting dalam setiap
negara hukum (the rule of law) seperti diungkapkan oleh A.V. Dicey yaitu
supremasi hukum (supremacy of law), persamaan perlakuan di depan hukum12
(equality before the law) dan asas legalitas (due process of law).
Sebagai negara yang mengakui rule of law, mengingat Konstitusi
Indonesia menyebut negara Indonesia adalah negara hukum, persamaan
kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, diakui di dalam
konstitusi Indonesia. Dengan adanya asas persamaan dan pengakuan seperti itu,
maka sudah barang tentu, segala sikap, bentuk dan tindakan diskrimitatif yang
memanifestasi, termasuk di dalam beschiking Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat
TUN) adalah merupakan sikap dan tindakan yang terlarang, tidak terkecuali
tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara sekalipun, yang dinamakan
affirmative actions.13 Prinsip ini dimuat dalam Pasal 27 Ayat (1) Konstitusi
Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa:
11
Pasal 1 Ayat (3) Ketetapan MPR tgl 9 November 2001 tentang Perubahan Ketiga UUD Negara Republik Indonesia.
12
Seperti telah Penulis kemukakan di atas, hal inilah yang menjadi vocal point atau pusat kajian skripsi ini.
13
8 “segala warga Negara bersamaan kedudukannya di depan
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Ketentuan Konstitusional di Indonesia sebagaimana Penulis kemukakan di
atas itu, mengkristalisasikan pandangan dan sekaligus keyakinan setiap orang
bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara Republik Indonesia
dalam penegakan peraturan perundang-undangan,14 demikian pula memberi
kesempatan untuk aktif di dalam urusan pemerintahan dengan syarat-syarat yang
berlaku sama bagi setiap orang.15 Pasal 28I Ayat (2) TAP-MPR tentang
Perubahan kedua UUD 1945 juga mencerminkan prinsip persamaan perlakuan di
depan hukum, yaitu bahwa:
“setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskrimitatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimitatif itu”.
Demikian pula dengan pengaturan yang ada di dalam pengakuan
bangsa-bangsa beradab di muka bumi misalnya dalam Article 7 Universal Declaration of
Human Right, ditegaskan bahwa:
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to
equal protection against any discrimination in violation of this
Declaration and against any incitement to such discrimination.”
14
Dalam skripsi ini fokus studi akan dilakukan terhadap PBM, Putusan Pengadilan.
15
9 Semua orang adalah sama di muka hukum dan tanpa
diskriminasi apa pun berhak atas perlindungan hukum yang
sama. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama tanpa
diskriminasi apa pun yang melanggar Deklarasi ini dan dari
hasutan apapun untuk melakukan diskriminasi.
Ketentuan tersebut di atas mencakup tiga aspek. Aspek yang pertama
adalah persamaan di depan hukum. Aspek kedua yaitu perlindungan hukum yang
sama. Dan, aspek yang ketiga adalah perlindungan tidak adanya perlakuan yang
diskriminatif.16
Hal lain yang sangat penting dalam negara hukum (rechtsstaat) adalah
bahwa negara hukum itu merupakan suatu tempat dimana hak asasi manusia dapat
tumbuh subur, karena hanya di negara hukumlah keberadaan hak asasi manusia
dijamin.17 Hal itu dapat dilihat dari tujuan negara hukum, yaitu melindungi
hak-hak dan kebebasan asasi manusia warga negaranya untuk mewujudkan
kesejahteraan umum dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang.18 Asas
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia merupakan asas pokok,
prinsip utama yang menentukan bahwa suatu negara merupakan negara hukum.
Dalam kaitan dengan uraian di atas, hak asasi manusia adalah hak-hak
yang telah melekat pada pribadi manusia sejak manusia dilahirkan, bersifat
inheren. Walaupun hak asasi manusia itu sudah ada sejak adanya manusia itu,
16
Peter Baehr, Pieter van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak, Instrumen Internasional Pokok Hak - Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, 2001, Ed.II, Jakarta, hlm., 200.
17
Dr. Khrisna Harahap, SH., MH., Ham dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafiti Budi, 2003, Bandung, hlm., 22.
18
10
tetapi suatu hak atau kebebasan yang dimiliki oleh orang tidak bisa terasa
manfaatnya selama ia belum dapat leluasa menikmati hak-hak itu tanpa gangguan.
Ia baru merasa manfaat hak asasi manusia kalau hak-hak itu tidak terhilang atau
yang sempat tidak terjamin menjadi terjamin lagi.19
Indonesia sebagai negara hukum tentu saja memiliki tujuan bernegara
yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial, dengan
menjamin hak-hak warga negaranya. Jaminan atas hak asasi manusia seperti telah
dikemukakan di atas tertuang dalam beberapa TAP-MPR tentang perubahan
Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan perundang-undangan juga harus
mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan tunduk pada
prinsip-prinsip hak asasi manusia, satu diantara hak-hak itu adalah persamaan perlakuan
di depan hukum.
Asas persamaan perlakuan di depan hukum menjadi dasar dari semua
peraturan perundang-undangan.20 Sesuatu yang dianggap penting oleh
keseluruhan pihak yang terkait, harus sedapat mungkin diatur bersama-sama
dengan para pihak yang bersangkutan, melalui wakil-wakilnya, dan diatur sejauh
materinya memungkinkan untuk itu, dengan cara yang sama bagi para pihak
tersebut. Peraturan tidak boleh ditunjukan kepada suatu kelompok tertentu yang
dipilih, di dalam suatu peraturan tidak boleh adanya pembedaan semuanya, efek
suatu peraturan tidak boleh menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi), dan
dalam hubungan antara suatu peraturan dan peraturan lainnya tidak boleh timbul
19
Ibid, hlm., 45.
20
11
ketidaksamaan (kontradiksi). Tidak boleh adanya Peraturan Perundang-undangan
yang ditunjukkan kepada sekelompok orang tertentu. Karena, bila hal ini terjadi
maka akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di
depan hukum.21
Kebebasan beragama sebagai HAM di Indonesia, yang dijamin dalam
Konstitusi Negara Republik Indonesia Pasal 29 Ayat (2)22, serta Pasal 22
Undang-Undang No.39 tahun 1999 Ayat (1) dan (2)23, harus dilaksanakan sesuai dengan
prinsip persamaan perlakuan di depan hukum. Peraturan Perundang-undangan
yang berkenaan dengan hak beragama tidak boleh menimbulkan diskriminasi
antara umat beragama dalam menjalankan ibadat menurut agama dan
kepercayaannya, termasuk juga dalam pendirian rumah ibadat yang diatur dalam
PBM. Meskipun perlindungan dan jaminan diakui di dalam rumusan kertas
perundangan di Indonesia seperti telah penulis kemukakan di atas, namun
demikian belum tentu suatu tindakan, misalnya suatu tindakan (beschiking)
Pejabat TUN tidak lagi akan menimbulkan diskriminasi, pengesampingan dan
ketiadaan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum.
Oleh karena itulah diperlukan judicial review, dalam pengertian
sebagaimana dianut di dalam skripsi ini dan sudah dikemukakan di atas, dengan
tujuan untuk memastikan bahwa kekuasaan pemerintah tetap berada di dalam
21
Prof. Dr. Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, RajaGrafindo Persada, 2011, Cetakan ke-3, Jakarta hlm.,149.
22“N
egara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
23
12
batas-batas hukumnya masing-masing (to keep the powers of government within
their legal bounds)24 dalam arti memertahankan prinsip-prinsip hukum.
Kasus paling mutakhir yang dapat memerlihatkan dengan jelas manifestasi
dari tindakan yang rule of law atau yang bernegara hukum terjadi di Indonesia
yaitu pembangunan suatu rumah ibadat25. Ijin Mendirikan Bangunan dari Rumah
Ibadat A Quo26 tersebut diterbitkan karena Rumah Ibadat A Quo telah memenuhi
segala syarat pendirian rumah ibadat yang diatur dalam PBM. Namun, ditengah
pelaksanaan pembangunan Rumah Ibadat A Quo, Kepala Dinas27 justru
menerbitkan surat No. : 503/208–DTKP perihal Pembekuan Ijin tertanggal 14
Februari 200828. Alasan diterbitkannya Pembekuan Ijin tersebut oleh karena
masyarakat se-Kota itu berkeberatan atas diterbitkannya IMB Rumah Ibadat A
Quo. Hal ini dapat membuktikan anggapan adanya intoleransi dari kelompok
mayoritas.29 Oleh karena merasa dirugikan maka pihak-pihak yang
berkepentingan, Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo mengajukan Gugatan ke
Pengadilan (PTUN Bandung) yang telah memperoleh Putusan 41. Kepala Dinas
24
Carendish Law Card, Constitutional law, Carendish Publishing Ltd, 1997,1998, pp. 47-48.
25
Uraian lengkap mengenai kasus itu Lihat Bab III Hasil Penelitian dan Analisis Skripsi ini.
26
Supaya memersingkat, tanpa menghilangkan otentisitas kasus itu, untuk selanjutnya, sejauh menyangkut rumah ibadat dalam Putusan-putusan pada Bab III, Penulis singkat dengan Rumah Ibadat A Quo, semua kata dimulai dengan huruf besar. Nama yang lebih jelas dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan yang sudah terbuka untuk umum dan Nomor-nomor Putusannya sudah dikemukakan pula oleh Penulis di dalam skripsi ini.
27
Untuk selanjutnya dalam skripsi ini, sama dengan di atas, tanpa bermaksud menghilangkan otentisitas namun untuk memermudah dan memersingkat penyebutan maka pihak itu hanya akan disebut dengan Kepala Dinas saja.
28
Selanjutnya di dalam skripsi ini hanya akan disingkat dengan Pembekuan Ijin.
29
13
yang adalah Tergugat dalam sengketa tersebut, mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali30. Kini, sengketa itu telah memperoleh putusan yang
berkekuatan hukum tetap yaitu Putusan 127. Bagaimanakah asas hukum
persamaan perlakuan di depan hukum yang ada dalam Putusan tersebut? Hal itu
jugalah yang telah menjadi latar belakang penelitian dan penulisan karya tulis ini.
1.3. Rumusan Masalah
Bagaimana Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum yang berlaku di
Indonesia dalam PBM dan dalam Putusan 41 serta 127 Mahkamah Agung yaitu
dalam sengketa TUN antara Wakil Rumah Ibadat A Quo dengan Kepala Dinas?
1.4. Tujuan Penelitian
Penulis ingin mengetahui bagaimana Asas Persamaan Perlakuan di Depan
Hukum yang berlaku di Indonesia dalam PBM dan dalam Putusan 41 serta 127
Mahkamah Agung yaitu dalam sengketa TUN antara Wakil Rumah Ibadat A Quo
dengan Kepala Dinas.
1.5. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum, bermaksud untuk mengetahui dan
menggambarkan kaedah-kaedah persamaan perlakuan di depan hukum yang ada
di Indonesia. Konkretnya, bagaimana kaedah-kaedah dan asas-asas hukum yang
berkaitan dengan perlakuan yang sama di depan hukum atau equality before the
law itu dimanifestasikan, baik di dalam peraturan perundang-undangan yang
30
14
mengatur mengenai pendirian rumah ibadat, maupun di dalam keputusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Baik peraturan, maupun
keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu menjadi satuan
amatan dalam penelitian dan akan dikemukakan sebagai suatu hasil penelitian
dalam skripsi ini.
Satuan amatan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan,
TAP-MPR tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945. Putusan MA tentang sengketa ijin pendirian rumah ibadat.
Satuan Analisis dari penelitian ini adalah Bagaimana Asas Persamaan
Perlakuan di Depan Hukum yang berlaku di Indonesia dalam Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006/No. 8 tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat serta dalam putusan Mahkamah
Agung yaitu Putusan No. 41 / G / 2008 / PTUN-BDG dan Putusan No. 127 PK/TUN/2009 dalam sengketa TUN umat beragama tertentu dengan Kepala Dinas di suatu Kota.31
31