• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon T2 942011004 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesenjangan Keberadaan Perempuan Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon T2 942011004 BAB II"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.Manajemen Pendidikan Dalam Kaitannya

Dengan Kesenjangan Gender

Usaha pembahasan secara bermakna tentang dinamika relasi kepemimpinan pendidikan dengan manajemen pendidikan, selanjutnya dikaitkan dengan prespektif gender, bukanlah suatu yang mudah. Istilah kepemimpinan pendidikan dan manajemen pendidikan memang dalam praktek sehari-hari merupakan dua konsep yang sering dipertentangkan.

(2)

ditetapkan sebelumnya. Sedangkan kepemimpinan sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi perubahan. Artinya pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan menginspirasi orang-orang tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Sehingga Kotter menganggap, baik kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan faktor penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi.

Lebih lanjut (Bush dan Coleman, 2006) mengungkapkan bahwa kepemimpinan diidentikan dengan visi dan nilai, sedangkan manajemen diidentikan dengan proses yang berkaitan dengan struktur. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa manajemen pendidikan adalah suatu proses pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang akan ditetapkan.

(3)

masih bersifat birokratis, atau dilaksanakan layaknya mengelolah sebuah pabrik dalam rutinitas sehari-hari. Jika dalam pelaksanaan manajemen pendidikan seperti demikian berarti telah merendahkan manajemen pendidikan itu sendiri, pada waktu yang sama juga menghalangi diterapkannya pengembangan ke-pemimpinan pendidikan yang benar. Oleh karena itu, sudah seharusnya seorang kepala sekolah tidak hanya berperan sebagai pemimpin pendidikan yang baik, namun sekaligus juga seorang manajer dengan kinerja yang bagus.

Paradigma baru manajemen pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas secara efektif dan efisien, sesungguhnya perlu didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pengembangan kualitas SDM tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan, namun juga menyangkut pemanfaatan kemampuan, proses pengembangan SDM tersebut seharusnya juga dapat menyentuh berbagai aspek kehidupan sekolah yang tercermin pada kepribadian pemimpin pendidikan terutama kepala sekolah.

(4)

menentukan cara pencapaian tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan. Oleh karena itu kepala sekolah harus mengetahui dengan pasti tugasnya sebagai seorang kepala sekolah. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006) tugas kepala sekolah dapat digolongkan menjadi tujuh bidang yaitu:

1. Sebagai Educator (pendidik)

(5)

peserta didik untuk lebih giat bekarja, dan hasilnya diumumkan secara terbuka. (3) menggunakan waktu belajar secara efektif di sekolah.

2. Sebagai Manajer

Tugas kepala sekolah sebagai manajer yaitu: (1) memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau kooperatif untuk meningkatkan tenaga profesional di lingkungan sekolah. (2) memberi kesempatan kepada tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya. (3) mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan pada setiap kegiatan.

3. Sebagai Administrator.

(6)

keuangan. Untuk menjalankan tugas sebagai administrator, kepala sekolah kini harus bisa mengembangkan layanan berbasis teknologi modern guna memudahkan pengelolaan administrasi. Sehingga administrasi sekolah betul-betul tampak profesional dan berjalan secara efektif dan efesien.

4. Sebagai Supervisor

Tugas kepala sekolah sebagai supervisor yaitu memberi masukan kepada tenaga kependidikan yang masih dirasa perlu dibenahi, dibina dan ditingkatkan kemampuan dan ketrampilannya. Tindakan ini perlu dilakukan untuk mencegah agar para tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati melaksanakan pekerjaannya.

5. Sebagai Leader

(7)

tahu kondisi dan karakteristik peserta didik, menyusun program pengambangan tenaga kependidikan, menerima masukan, saran kritik dari pihak lain. (3) memiliki pengalaman dan pengetahuan profesional, serta (4). Memiliki pengetahuan administrasi dan pengawasan.

6. Sebagai Innovator

Sebagai innovator, kepala sekolah harus memiliki staregi yang tepat untuk menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang innovatif. Kepala sekolah sebagai innovator akan terlihat dari bagaimana ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional dan objektif, pragmatis, keteladanan, adaptable dan fleksibel. Sebagai innovator juga harus mampu mencari, menemukan dan melaksanakan berbagai pembaruan di sekolah.

7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan

(8)

seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirausahaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.

Bila dihubungkan dengan perspektif gender, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan manajemen pendidikan dikaitkan dengan data dan masalah kesenjangan gender dalam kepemimpinan pendidikan. Arti dari kesenjangan gender dalam konteks ini, adalah menunjuk kepada fakta yang timpang, tidak seimbang atau adanya gap antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan representasi atau keterwakilan, cara menghadirkan diri maupun munculnya berbagai dampak negatif kesenjangan gender.

(9)

kepantasan. Model ini menekankan kepada keberadaan perempuan dan model penghargaan yang pantas atau kepatutan perempuan itu sendiri yang dianggap menjadi penyebab adanya kesenjangan gender di bidang kepemimpinan. Model ini mempunyai tekanan atau berorientasi kepada aspek psikis, misalnya: sifat-sifat pribadi, ciri–ciri pribadi, kemampuan atau kualitas diri. Demikian juga sikap pribadi yang tercermin pada citra diri serta rasa percaya diri, motivasi, aspirasi kesemuanya termasuk pada model ini. Pendapat yang melatar-belakangi model ini adalah adanya anggapan bahwa perempuan tidak cukup tegas, tidak menginginkan kekuasaan, kurang percaya diri, tidak memiliki aspirasi untuk posisi kepemimpinan, tidak menghendaki terlibat dalam permainan maupun kerja di dalam sistem. Disamping itu mereka tidak melamar menjadi pemimpin pendidikan.

(10)

Kedua, Organizational or discrimination model/

model perspektif organisasi atau model diskriminasi. Model ini berfokus kepada sistem pendidikan. Adanya perbedaan aspirasi karier dan berbagai pencapaian pekerjaan antara laki – laki dan perempuan, menurut model ini, merupakan suatu akibat dari kesempatan yang terbatas yang dihadapi oleh perempuan. Model ini menjelaskan bagaimana struktur dan praktek organisasi pendidikan telah mendiskriminasi perempuan. Kelihatannya laki–laki memang lebih diuntungkan dan diunggulkan dalam praktik promosi ke aras yang lebih tinggi karena mereka sering mendapat perlakuan istimewa, sementara perempuan sulit mencapai aras lebih tinggi meskipun mereka sudah berusaha dengan sungguh-sungguh.

Ketiga, woman’s place or social perspective

(11)

2.2.Teori Pembagian Kerja Berbasis Gender

Salah satu faktor signifikan dari fenomena kesenjangan gender, adalah karena ada fakta pembagian kerja berbasis gender. Untuk menjelaskan adanya pembagian kerja berbasis gender, akan dipilih tiga teori dasar yang dapat digunakan, yaitu nature, nurture dan fungsional

a. Teori Nature Dan Nurture

Teori ini pada gilirannya juga digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan posisi atau kedudukan, peran dan sifat-sifat dari laki-laki dan perempuan.

(12)

alami atau nature tersebut. Sementara untuk laki-laki dengan kodrat biologis yang dimilikinya memperlihatkan kekuatan, ketegaran bahkan kekerasan. Dengan kodrat tersebut, laki-laki dibentuk dengan peran selalu berada di dunia publik yang keras dan kompleks. Laki-laki yang selalu membuat kontak-kontak dengan dunia luas, dengan kedudukan lebih tinggi dari perempuan, sekaligus untuk melindungi perempuan sebagai istri dan anak-anak yang lemah. Sehingga pada saat yang sama kedudukan perempuan disubordinasikan di bawah laki-laki.

(13)

b. Teori Fungsionalis: Keserasian Rumah Tangga Dan Masyarakat.

Teori fungsionalis diungkapkan di sini karena dianggap mempunyai kaitan dengan kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Teori ini berpendapat bahwa pembagian kerja berbasis gender merupakan kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk masyarakat secara keseluruhan (Budiman,1985). Teori ini pada hakikatnya merupakan upaya bantahan terhadap teori Freudian yang secara tidak langsung menyatakan bahwa pembagian kerja berdasar perbedaan gender merupakan akibat wajar dari “kodrat perempuan” itu sendiri, yang membuat perempuan jadi kurang aktif dibanding dengan laki-laki.

(14)

memberi rasa tenang bagi keduanya dalam keluarga, dan sekaligus menjadi tonggak penopang bagi keserasian (harmoni) masyarakat.

2.3

Model

Model Kesenjangan Gender Dan

Dampaknya

Masalah utama yang berkaitan dengan fenomena gender di Indonesia adalah karena masyarakat kita menganut hukum hegemoni patriarkhi (Handayani dan Sudiarti,2002). Sistem patriarkhi menggambarkan dominasi laki – laki atas perempuan dan anak–anak di dalam keluarga (Russel, 1996), dominasi tersebut berlanjut di semua ruang lingkup kehidupan masyarakat. Patriarkhi adalah konsep bahwa laki–laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, antara lain di bidang pemerintahan, militer, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama, termasuk bidang pendidikan. Hukum hegemoni patriarkhi ternyata juga telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Penjabarkan hal ini akan dijelaskan melalui model terjadinya kesenjangan/ “gender gap”, dan dampak ketidakadilan gender yang terutama dialami oleh perempuan.

(15)

perempuan dalam organisasi pendidikan. Pertama, Individual or Meritocrasy model/ model individual atau model kepantasan. Model ini menekankan kepada keberadaan perempuan dan model penghargaan yang pantas atau kepatutan, dimana perempuan sendiri yang dianggap menjadi penyebab adanya kesenjangan gender di bidang kepemimpinan. Model ini berorientasi kepada aspek psikis, misalnya: sifat-sifat pribadi, cirri-ciri pribadi, kemampuan atau kualitas diri, rasa percaya diri, motivasi, dan harapan. Pendapat yang melatar-belakangi model ini adalah adanya anggapan bahwa perempuan tidak cukup tegas, tidak menginginkan kekuasaan, kurang percaya diri, tidak memiliki harapan untuk posisi kepemimpinan, dan mereka menolak untuk melamar menjadi pemimpin pendidikan.

Kedua, Organiztional or Discrimination Model/

(16)

perlakuan istimewa, sementara perempuan sulit mencapai aras lebih tinggi meskipun mereka sudah berusaha dengan sungguh-sungguh.

Ketiga, Woman’s place or social perspective

model/ model tempat perempuan atau model perspektif sosial. Model ini menekankan kepada norma budaya dan sosial. Norma budaya dan sosial diidentifikasi telah mendorong terjadinya praktek diskriminasi kepada perempuan.

2.3.1.Teori Ketidakadilan Gender

Di samping model kesenjangan gender yang diungkap Chliwniak di atas, penyisihan kepada perempuan juga dapat diidentifikasi oleh teori ketidakadilan gender. Sebetulnya sistim dan struktur yang tidak adil gender tidak hanya merugikan perempuan namun juga laki–laki. Meskipun demikian rupanya perempuan lebih mengalami dampak negatif yang parah. Beberapa teori ketidakadilan gender dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Menyisihkan hak – hak perempuan

(17)

revolusi hijau yang memfokuskan pada pengembangan pertanian yang ditangani oleh laki–laki mengakibatkan perempuan tersisih dan menjadi miskin. Untuk para guru taman kanak–kanak dan pekerja pabrik, perempuan biasanya diberi upah yang rendah. Adanya anggapan bahwa perempuan sebagai istri harus bekerja di bidang domestik menyebabkan banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk bekerja dan menerima upah di sektor publik, misalnya di bidang ekonomi, politik, maupun pendidikan. Hal ini juga menjadikan perempuan tergantung secara ekonomi kepada suaminya (Yaqin,2005).

b. Gender dan Subordinasi

Pelaksanaan peran gender cenderung menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi

karena adanya realita “dominasi”, dan

(18)

“pekerjaan produksi” yang dikuasai atau didominasi oleh laki–laki (Mutali’in,2001)

c. Gender dan “triple peran”

Pada masyarakat Indonesia, perempuan sebagai istri harus mengerjakan berbagai pekerjaan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, dalam perkembangan keadaan terutama untuk mengisi pembangunan, perempuan juga harus menyumbangkan tenaganya sekaligus mencari nafkah bagi keluarga, namun perannya hanya dihargai sebagai pencari nafkah tambahan. Akibatnya, perempuan harus berperan sebagai istri sekaligus ibu, pengelola rumah tangga, dan sebagai tenaga kerja; perempuan harus berperan rangkap tiga atau juga disebut sebagai “triple peran”. Curahan waktu dan tenaga yang dihabiskan oleh perempuan untuk mengerjakan tiga bidang pekerjaan tersebut jauh lebih berat dibandingkan dengan laki–laki. Meskipun demikian, secara ekonomi dan secara sosial statusnya di dalam masyarakat dianggap kurang berharga dan rendah (Mutali’in 2001,Handayani dan Sugiaarti,2002).

d. Gender dan pelabelan

(19)

terutama yang berkaitan dengan penandaan citra negatif kepada perempuan. Misalnya terdapat anggapan budaya bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut, sabar, tekun, penurut, emosional, irasional, keibuan, cantik. Oleh karena itu, perempuan identik dengan pekerjaan–pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga. Misalnya Pembantu Rumah Tangga (PRT), perawat, sekretaris, pengasuh, guru TK, pengelola salon kecantikan. Dengan demikian peluang perempuan untuk bekerja di luar bidang–bidang yang sudah ditentukan atau dilabelkan menjadi terbatas, dianggap “sebagai bukan pekerjaan perempuan”, atau setidaknya mereka mengalami prasangka dan kecurigaan terhadap kompetensi yang dimiliki (Handayani dan Sugiarti,2002).

(20)

organisasi; kehadiran dan peran perempuan “kurang dianggap sah” dan kurang diterima dibandingkan dengan laki–laki. Keengganan komunitas pendidikan untuk menerima peran kepemimpinan perempuan dan sekaligus menduduki tempat yang dianggap signifikan, mungkin ada dasarnya, tetapi keadaan tersebut sebetulnya bersumber kepada kesempatan yang kurang dan lingkungan yang ada, dan bukan pada soal hakiki yang menyangkut potensi dan bakat perempuan.

Model–model kesenjangan gender yang diungkap oleh Chliwniak dan dipadu dengan teori dampak bias gender, serta hegemoni petriarkhi yang banyak disorot pada konteks Indonesia, tentu saja menjadi acuan yang berharga bagi analisa kesenjangan gender untuk penelitian yang dilakukan. Baik secara langsung ataupun tidak, apa yang diutarakan di atas pasti ada pengaruhnya pada bidang kepemimpinan pendidikan. Untuk mengatasi kesenjangan gender di bidang pendidikan memang merupakan tugas yang sulit. Meskipun demikian, pemahaman terhadap berbagai teori dan model–model yang dikemukakan, kiranya dapat memandu untuk melihat berbagai sisi dari kehidupan para korban dan kerugian organisasi, yang seharusnya tidak terjadi di bidang pendidikan.

(21)

dikemukakan. Pada akhirnya diharapkan dapat menawarkan alternatif ataupun solusi, supaya bidang pendidikan menjadi arena pelayanan dan karya yang lebih adil, setara dan menghargai hak–hak asasi manusia. Penelitian pendidikan ini dilakukan karena tanggungjawab kepada masyarakat dalam penyediaan kualitas layanan, pada giliranya juga ingin merumuskan cara–cara untuk meningkatkan mutu layanan dengan menghilangkan dampak ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender.

Pola pikir yang tidak tepat berimplikasi kompleks sehingga guru-guru perempuan tidak berkembang untuk menjadi lebih lagi dari pada hanya profesi seorang guru. Perempuan sendiri yang tidak yakin dengan kemampuan mereka, pola pikir mereka masih sangat kental terhadap budaya patriakal, mereka menganggap bahwa laki-laki lebih pantas untuk menjadi pemimpin, sedangkan perempuan lebih baik hanya ada di bawah laki-laki dan perempuan juga harus tahu tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga, oleh sebab itu untuk dapat mengakses kemampuan mereka pada level yang lebih tinggi, guru perempuan sudah tidak memiliki motivasi dari dalam diri.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Dari pendapat tersebut telah jelas bahwa tujuan dari mengamati adalah untuk mengetahui apa-apa yang terdapat pada suatu objek, dengan kata lain kegiatan mengamati

Daftar Tenaga Terampil Perusahaan, Sekretariat dan Tenaga Pendukung yang disertai Ijazah asli atau foto copy. ijazah yang telah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang dan

Merupakan alat yang digunakan untuk mengurangi HCO 3 - dengan. menginjeksikan udara kemudian CO2 yang dihasilkan dibebaskan

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan dan beberapa permasalahan di atas, maka perlu dilaksanakan penelitian dengan judul pengembangan bahan ajar berbasis model pembelajaran

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian persediaan bahan baku air kelapa yang dilakukan oleh PT Keong Nusantara Abadi belum

Kandungan sia yang relatif tinggi pada kolostrum (susu yang diperoleh pada awal masa laktasi, ≈ 1,415 mg/mL) dibandingkan dengan susu yang diperoleh pada 7 bulan masa laktasi (

proses pembelajaran dapat diketahui bahwa penyampaian materi pemanasan guru olahraga kurang. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, kemampuan seorang guru pendidikan

Cara belajar siswa yang kurang teratur dapat terlihat pada hasil pengisian kuesioner yang telah diberikan pada responden rata-rata adalah 30,05 yang berarti