• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802011103 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802011103 Full text"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KESIAPAN BELAJAR MANDIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TUNTANG

OLEH

APRILINA GUSTIYANI 802011103

TUGAS AKHIR

Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KESIAPAN BELAJAR MANDIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 TUNTANG

Aprilina Gustiyani Heru Astikasari S. Murti

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan positif yang signifikan antara

kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri pada siswa kelas XI SMA

Negeri 1 Tuntang. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Tuntang dengan subjek

para siswa kelas XI yang berjumlah 98 siswa. Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini dengan menggunakan teknik sampling jenuh. Untuk mengukur kecerdasan

emosional, menggunakan teori dari Salovey dan Mayer (dalam Schutte dkk, 1998).

Skala kecerdasan emosional dengan 25 aitem valid dan reliabilitasnya adalah 0,868.

Sementara untuk mengukur kesiapan belajar mandiri menggunakan teori Guglielmino

(1991). Skala kesiapan belajar mandiri dengan 35 aitem valid dan reliabilitasnya 0,888.

Nilai koefisien korelasi yang diperoleh dengan menggunakan rumus korelasi pearson

product moment sebesar rxy = 0,693, p = 0,000 (p<0,05) maka Ho ditolak dan H1

diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara

kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri pada siswa kelas XI SMA

Negeri 1 Tuntang.

(9)

Abstract

The purpose of this study was to determine the significant positive relationship between

emotional intelligence and self-directed learning readiness in class XI student of SMAN

1 Tuntang. This research was conducted in SMA Negeri 1 Tuntang with the subject of

class XI students totaling 98 students. The sampling technique in this study using

saturated sampling technique. To measure emotional intelligence, using the theory of

Salovey and Mayer (in Schutte et al, 1998). Emotional intelligence scale with 25 item

valid and reliability is 0.868. Meanwhile, to measure self-directed learning readiness

using Guglielmino theory (1991). Self-directed learning readiness scale with 35 item

valid and reliability 0.888. The correlation coefficient obtained by using the formula

Pearson product moment correlation of r xy = 0.693, p = 0.000 (p < 0.05), then Ho is

rejected and H1 accepted. It shows that there is a significant positive relationship

between emotional intelligence and self-directed learning readiness in class XI student

of SMAN 1 Tuntang.

(10)

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah salah satu usaha yang dilakukan dengan sengaja dan

terencana secara baik dengan dimaksudkan untuk mengubah maupun

mengembangkan perilaku-perilaku yang diinginkan oleh seseorang. Sekolah

sebagai lembaga formal merupakan salah satu sarana yang bisa digunakan dalam

rangka memenuhi tujuan dari pendidikan tersebut. Melalui proses-proses yang

dijalani di sekolah, siswa belajar berbagai macam hal. Kegiatan belajar dalam

sebuah proses pendidikan di sekolah memang merupakan kegiatan yang paling

fundamental. Ini memang berarti bahwa adanya tujuan dan bagaimana hasil dari

tujuan tersebut. Berhasil atau tidaknya tujuan tersebut bergantung kepada

bagaimana kesiapan dalam proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak

didik di sekolah. Proses belajar menjadi salah satu hal yang dapat menimbulkan

terjadinya perubahan dalam sebuah tingkah laku yang menyangkut kognitif,

afektif dan psikomotorik. Ada empat hal penting yang berpengaruh dalam

sebuah pembelajaran, yakni persiapan (preparation), penyampaian

(presentasion), pelatihan (practice), dan penampilan hasil (performance). Oleh

karena itu untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal diperlukan kesiapan

siswa dalam belajar yang baik dan matang (Meier, 2002).

Proses belajar yang terjadi pada individu adalah sesuatu yang penting

karena melalui proses belajar itu individu dapat mengerti dan memahami apa

saja yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Ketika individu mampu

memahami lingkungannya, maka mereka mudah beradaptasi. Menurut Irwanto

(1997) belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu

(11)

mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Untuk mendapatkan hasil belajar yang

baik dan maksimal diperlukan persiapan siswa dalam belajar yang baik pula.

Kesiapan belajar siswa merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Selain

itu, siswa harus mampu mempunyai kesiapan belajar mandiri tanpa harus setiap

waktu diingatkan oleh guru terlebih dahulu.

Kesiapan belajar mandiri individu membawa individu itu untuk siap

memberikan respon terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Kesiapan

belajar dan kesiapan belajar mandiri adalah sebuah hal yang sama karena garis

besar yang penting mengenai kesiapan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan

oleh Slameto (2010) kesiapan belajar adalah kondisi keseluruhan dalam diri

individu yang membuatnya siap untuk memberikan respon atau jawaban di

dalam cara tertentu terhadap situasi tertentu. Kondisi tertentu itu adalah kondisi

fisik dan psikisnya yang seimbang. Pernyataan itu didukung oleh Djamarah

(2002) bahwa kesiapan untuk belajar tidak hanya diterjemahkan siap dalam arti

fisik, tetapi juga psikis dan materiil. Kesiapan psikis misalnya ada hasrat untuk

belajar, dapat berkonsentrasi dan ada motivasi intrinsik. Kesiapan materiil

misalnya ada bahan yang dipelajari atau dikerjakan berupa buku bacaan, catatan

pelajaran, modul dan job sheet. Kesiapan siswa dalam belajar merupakan

kondisi siswa yang telah dipersiapkan untuk melakukan suatu kegiatan belajar.

Cross (Lowry, 1989) mengemukakan bahwa 70% kegiatan belajar yang

dilakukan oleh orang dewasa adalah kegiatan belajar mandiri. Hal ini cukup

masuk akal karena rata-rata orang dewasa sudah bisa belajar dengan inisiatif dari

dirinya sendiri. Moore (1986) mengatakan bahwa sifat anak-anak yang

(12)

baik orang tua maupun guru dikatakan sebagai ketidakmandirian dalam belajar.

Hiemistra (1994) mengungkapkan bahwa jika seseorang mampu belajar secara

mandiri adalah mereka yang mampu merencanakan belajarnya sendiri,

melaksanakan proses belajar dan mengevaluasi hasil belajarnya.

Kesiapan dalam individu dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor

eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi bagaimana lingkungan sekolah

memberikan rasa nyaman dan bahan pembelajaran yang mendukung, sedangkan

untuk faktor internal adalah kecerdasan (intelektual dan emosional), motivasi

dan kemampuan pengendalian emosi dirinya. Kesiapan belajar yang baik

membuat siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan aktif dan mudah untuk

menyerap materi yang diberikan gurunya. Mempersiapkan diri untuk mengikuti

pelajaran adalah hal yang perlu diperhatikan siswa, sebab dengan persiapan yang

matang siswa merasa mantap dalam belajar sehingga memudahkan dalam

berkonsentrasi (Prayitno, 1997).

Semua orang pasti ingin berhasil. Hal tersebut dapat diwujudkan dan

dikembangkan tidak hanya melalui inteligensi saja tetapi bagaimana

kemampuan emosinya. Pendidikan yang baik harus mampu menyeimbangkan

keduanya. Kedua hal itu memang sulit untuk dipisahkan, terutama untuk

pencapaian siswa di sekolah (Goleman, 2000). Dari kesiapan belajar mandiri

siswa hingga hasil akhir adalah suatu hal yang kompleks dan menyeluruh,

sehingga orang berfikir bahwa orang yang akan berhasil adalah

orang-orang yang mempunyai kemampuan inteligensi yang tinggi. Banyak orang-orang

meyakini bahwa untuk mencapai kesiapan belajar yang baik, seorang siswa

(13)

mereka mengikuti proses pembelajaran dengan baik bagaimanapun keadaannya.

Pada kenyataannya, siswa yang mempunyai IQ lebih tinggi tidak lebih berhasil

dan mempunyai kesiapan belajar yang baik dibandingkan dengan siswa yang

hanya mempunyai IQ rata-rata atau sedang. Menurut Goleman (2000),

kemampuan kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang sekitar 20% bagi

kesuksesan seseorang, sedangkan 80% adalah berdasarkan kekuatan-kekuatan

lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI).

Kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memotivasi diri, mengatasi

frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati

serta kemampuan untuk bekerja sama.

Pada penelitian sebelumnya mengenai kesiapan belajar mandiri yang

dilakukan oleh Samsul (2010) bahwa kesiapan belajar mandiri berhubungan

dengan kecerdasan emosional sebagai salah satu faktor yang berperan di

dalamnya. Penelitian itu didukung oleh Brocket (1985) yang menyatakan bahwa

kesiapan belajar mandiri sangat berorientasi pada pendidikan formal di sekolah

karena siswa mampu mengatur emosinya sehingga terdapat konsentrasi yang

baik di dalam dirinya.

Menurut Goleman (dalam Wahyuningsih, 2006), seseorang yang secara

murni hanya mempunyai taraf akademis yang tinggi saja, mereka cenderung

lebih gelisah di dalam kelas, lebih rewel bahkan terlalu kritis. Bila hal itu

didukung oleh kecerdasan emosional yang rendah maka mereka dikawatirkan

akan mengganggu proses pembelajaran karena mereka akan sulit mengendalikan

diri di dalam kelas, bahkan mereka juga memperlihatkan kurangnya kesiapan

(14)

Barron dan Harackiewich mendukung pernyataan Goleman dan mengungkapkan

bahwa emosi juga dapat membantu memecahkan sebuah masalah. Siswa yang

mendapat motivasi yang baik, pemecahan masalah seringkali dapat mengontrol

emosinya dan berkonsentrasi penuh di dalam kelas. Pernyataan itu didukung

juga oleh penelitian yang dilakukan Kadek bahwa antara kecerdasan emosioal

dengan kesiapan belajar mandiri ternyata berhubungan secara signifikan karena

satu sama lain saling terkait (Santrock, 2008).

Penelitian Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di

Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun

mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara

akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, serta

memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara

signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu

menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002). Seseorang yang dapat menahan

dorongan yang ada di dalam dirinya itu diperlukan sebagai salah satu faktor

yang diperlukan ketika seseorang mempunyai kesiapan belajar mandiri yang

baik. Selain itu, individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang

lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan

cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian,

lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami

orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik sehingga mereka

sudah mampu dan bisa dikatakan siap dalam mengikuti pembelajarannya

(15)

Penelitian yang kontras dikemukakan oleh Locke (2005) bahwa

kecerdasan emosional tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak termasuk ke

dalam bentuk kecerdasan, selain itu kecerdasan emosional memiliki definisi

yang luas dan inklusif sehingga tidak dapat dimengerti. Oleh sebab itu maka

kecerdasan emosional tidak tepat jika ditempatkan sebagai faktor yang

mempengaruhi seorang siswa dalam kesiapan belajar mandirinya. Hasil temuan

ini diperkuat oleh Gordon (dalam focus_online, 2004) yang mengemukakan

bahwa kecerdasan emosional lebih baik berhubungan dengan kepribadian dan

mood (suasana hati) seseorang saja dan bukan yang lain termasuk dalam

pendidikan formal di sekolah yang dimaksud.

Seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional yang baik, akan

terjadi kesenjangan antara perlakuan dan pikiran. Kesenjangan yang dimaksud

adalah perilaku yang dihasilkan seseorang yang tidak mempunyai kecerdasan

emosional yang baik cenderung akan ke arah yang negatif. Mereka bebas

melakukan apa saja tanpa berpikir akibatnya. Kecerdasan emosional juga

diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, serta dasar yang penting

untuk menjadikan manusia penuh dengan tanggung jawab terhadap apa yang ia

jalankan, penuh perhatian, penuh kasih sayang, melakukan sesuatu hal dengan

tempat dan suasana yang tepat, produktif serta optimis dalam segala hal

(Goleman, 2000).

Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang Guru BK yang dilakukan

pada tanggal 2 Oktober 2013, beliau menyatakan bahwa ternyata masih banyak

anak didiknya yang kurang menunjukkan kesiapan dalam proses

(16)

terlambat, siswa yang mengobrol dengan temannya saat pelajaran akan dimulai,

mengantuk dan bahkan ada beberapa siswa yang secara sengaja menaruh

kepalanya di meja saat guru mulai menerangkan. Kurangnya konsentrasi dan

sulitnya memperhatikan penjelasan guru saat pelajaran membuat teman-teman

yang lain merasa sedikit terganggu. Pernyataan itu juga didukung oleh beberapa

siswa yang pernah FGD dengan peneliti bahwa memang terkadang mereka

seenaknya sendiri di dalam kelas sehingga agak sulit mengikuti pembelajaran di

kelas. Mereka kurang bisa menahan hasrat untuk melakukan hal-hal yang

sebenarnya dilarang karena dapat mengganggu teman-teman yang lainnya.

Mereka juga mengakui bahwa gairahnya untuk mengikuti pembelajaran di

sekolah memang terkadang kurang. Mereka harus menunggu ada guru yang

menegur untuk berkonsentrasi di dalam kelas supaya mereka siap mengikuti

pembelajaran yang ada. Jika tidak ditegur maka ada kemungkinan bagi mereka

untuk mengulanginya.

Beberapa uraian di atas, memperlihatkan bahwa siswa yang berada pada

kondisi penuh tekanan, kemungkinan dapat kehilangan kontrol emosinya apalagi

di dalam kelas. Kecerdasan emosional yang baik dapat membantu siswa untuk

memahami apa saja yang seharusnya mereka lakukan untuk menunjang proses

pembelajaran supaya berjalan dengan lancar. Hal inilah yang menjadikan

peneliti berniat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara

kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri pada siswa kelas XI

(17)

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan Belajar Mandiri

Kesiapan belajar mandiri (Self-directed learning readiness) didefinisikan

sebagai tingkat individu yang memiliki sikap, kemampuan serta kepribadian

yang diperlukan untuk belajar secara mandiri (Wiley, 1983). Sedangkan

Hiemstra (1994) mengemukakan bahwa seseorang yang mampu belajar secara

mandiri adalah mereka yang mampu merencanakan belajarnya sendiri,

melaksanakan proses belajar dan mengevaluasi belajarnya sendiri. Siswa yang

memiliki kemandirian yang tinggi dalam belajarnya digambarkan sebagai orang

yang mampu mengontrol proses belajar, menggunakan bermacam-macam

sumber belajar, memilih dan mempunyai motivasi yang baik dan dapat mengatur

waktu secara pas (Guglielmino, 1991).

Aspek-aspek Kesiapan Belajar Mandiri

Guglielmino (1991) mengemukakan tiga aspek mengenai kesiapan

belajar mandiri, yaitu :

a. Manajemen diri (Self-management)

Seseorang harus mampu mengatur dan mengelola dirinya dengan sebaik

mungkin untuk membawa dirinya ke arah tujuan hidup sebenarnya.

b. Keinginan untuk belajar (Desire for learning)

Seseorang memang mempunyai keinginan untuk belajar dengan apa yang

ada di hadapannya.

c. Kontrol diri (Self-control)

Kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan

(18)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar mandiri

Slameto (2010) mengemukakan ada dua penggolongan faktor mengenai

kesiapan belajar mandiri yang paling penting, yaitu :

a. Faktor internal (inteligensi yang meliputi inteligensi intelektual dan

inteligensi emosional, perhatian, minat, bakat, motivasi dan kematangan)

b. Faktor eksternal (keluarga, peran orang tua, asal sekolah siswa)

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah satu hal yang perlu dimiliki dalam diri seorang individu selain kecerdasan intelektual. Menurut Salovey dan Mayer

(1990) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan

seseorang untuk memonitor emosi diri dan orang lain, mampu membedakan

emosi tersebut serta menggunakannya sebagai informasi untuk menuntun

pikiran dan perilaku individu.

Sedangkan menurut Atkinson (1987), kecerdasan emosional mencakup

pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi

diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kemampuan untuk mengendalikan

dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana

hati dan menjaga agar beban stress tidak mengganggu kemampuan berpikir

untuk berempati terhadap orang lain dan berdoa.

Steiner (1997) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan

suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi sendiri dan orang lain, serta

mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan

(19)

Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Salovey dan Mayer (1990) mengemukakan ada tiga aspek mengenai

kecerdasan emosional, yaitu :

a. Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion)

Proses yang mendasari adanya kecerdasan emosional yang dimulai dengan

adanya informasi kemudian memasuki sistem perseptualnya. Proses ini

akurat karena dapat lebih cepat memahami dan menanggapi emosi mereka

sendiri serta lebih dapat terampil dalam reaksi emosional serta empatik

terhadap diri sendiri maupun orang lain baik secara verbal maupun

nonverbal.

b. Pengaturan emosi (regulation of emotion)

Regulasi emosi sangat diperlukan karena dapat membangun suasana hati dan

memperkuat sikap adaptif dalam diri seseorang. Kemampuan individu dan

pengalaman reflektif yang mereka punya dapat membantu meningkatkan

pengetahuan mengenai suasana hati mereka sendiri maupun orang lain.

Selain itu, kemampuan itu dapat membantu untuk memonitor, mengevaluasi

serta mengatur emosi dan mengubah sikap orang lain.

c. Memanfaatkan kecerdasan emosional (utilizing emotional intelligence)

Kemampuan individu untuk memanfaatkan emosi diperlukan untuk dapat

memecahkan masalah dengan baik secara fleksibel, mampu berpikir kreatif,

memiliki fokus jika ada masalah sehingga dapat membangun suasana hati

yang pas serta mempunyai motivasi yang baik. Suasana hati dan emosi yang

halus namun sistematis dapat mempengaruhi beberapa komponen dan

(20)

Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kesiapan Belajar Mandiri Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Tuntang

Berkaitan dengan kesiapan belajar mandiri seorang siswa, Salovey dan

Mayer (1990) mengemukakan bahwa penilaian dan ekspresi emosi dapat

membantu siswa untuk memilah informasi apa saja yang harus dipilih dalam

pembelajarannya. Empati yang mereka punya bisa membedakan perlakuan yang

pantas atau tidak di kelas. Sedangkan untuk pengaturan emosi membantu siswa

membedakan emosi positif atau emosi negatif yang seharusnya diperlihatkan.

Konsentrasi memang sangat dibutuhkan untuk mempunyai kesiapan belajar

mandiri yang baik karena dengan konsentrasi itu siswa dapat tetap melalui

apapun pembelajaran meskipun suasana dalam dirinya sedang tidak mendukung.

Hal itu didukung oleh pernyataan Goleman (2009) tentang pengelolaan emosi

yang dapat membantu siswa untuk bertanggung jawab dengan setiap hasil yang

diperoleh walupun hasil itu tidak sebaik yang diharapkan sekalipun. Ketika

dalam kegagalan diharapkan bisa berpikir kreatif untuk tetap melanjutkan setiap

harapan yang diinginkan. Salovey dan Mayer (1990) juga mengungkapkan

bahwa dalam pemanfaatan kecerdasan emosional dapat memberikan dorongan

yang positif kepada siswa supaya mereka lebih giat belajar dan tetap fokus

terhadap tujuan mereka. Pikiran kreatif akan membantu memecahkan masalah

yang terjadi bahkan ketika masalah itu timbul bukan hanya berasal dari satu

sumber saja. Siswa dapat memilih bagaimana pemecahan masalah yang sesuai

dengan keadaan yang ada dalam proses pembelajaran mereka.

Jadi seorang siswa yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik

(21)

kelas. Mereka mampu menekan segala emosi yang dapat merugikan dan

menimbulkan hal-hal yang menganggu bahkan menghambat sebuah proses

pembelajaran. Siswa juga dapat mengontrol diri sehingga suasana hati tetap

dijaga sehingga motivasipun ada tanpa harus selalu diingatkan guru.

Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif

yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar pada siswa

kelas XI SMA Negeri 1 Tuntang.

METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri

1 Tuntang. Sampel dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI SMA

Negeri 1 Tuntang yang berjumlah 98 siswa. Dalam penelitian ini digunakan

teknik sampling jenuh, yaitu dengan menggunakan semua populasi dalam

penelitian sebagai sampel (Soegiyono, 2009).

Pengukuran

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Variabel kecerdasan emosional diukur menggunakan kuesioner Skala

Kecerdasan Emosional (Schutte dkk, 1998). Aitem dalam skala berjumlah 33

aitem dan dijawab dengan menggunakan skala Likert 5 poin (sangat tidak setuju

(22)

aitem bertahan dan terdapat 8 aitem gugur. Perhitungan reliabilitas menunjukkan

koefisien alpha cronbach sebesar 0,868 yang berarti alat ini tergolong reliabel.

Variabel kesiapan belajar mandiri diukur menggunakan kuesioner

dengan memodifikasi Skala Kesiapan Belajar Mandiri (Guglielmino dkk, 2001).

Aitem pada skala ini juga menggunakan skala Likert 5 poin (sangat tidak setuju

– sangat setuju) dengan jumlah 41 aitem. Berdasarkan perhitungan daya beda

aitem diketahui bahwa 35 aitem bertahan dan terdapat 6 aitem gugur.

Perhitungan reliabilitas menunjukkan koefisien alpha cronbach sebesar 0,888

yang berarti alat ini tergolong reliabel.

Metode Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian kuantitatif menggunakan statistik (Sugiyono, 2012). Analisa data yang digunakan untuk melihat hubungan antara

kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri adalah dengan

menggunakan korelasi pearson product moment.

HASIL PENELITIAN

UJI ASUMSI Uji Normalitas

Berdasarkan hasil dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, variabel

kesiapan belajar mandiri memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,680 dengan signifikansi

sebesar p = 0,745 (p>0,05). Variabel kecerdasan emosional menghasilkan nilai

(23)

menunjukkan bahwa data mengenai kesiapan belajar mandiri dan kecerdasan

emosional merupakan sebaran data yang berdistribusi normal.

Uji Linearitas

Pengujian linearitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel

bebas memiliki hubungan yang linear dengan variabel terikat atau tidak.

Berdasarkan hasil analisis hasil uji linearitas yang menggunakan Table

Anova dengan probabilitas yang ditunjukkan sebesar 0,290 (p> 0,05). Angka itu

menyimpulkan bahwa antara variabel kecerdasan emosional dengan variabel

kesiapan belajar mandiri mempunyai hubungan yang linear.

Hasil Deskriptif

Kesiapan Belajar Mandiri

Kategorisasi pada variabel kesiapan belajar mandiri dibuat berdasarkan

dengan nilai tertinggi yang diperoleh yaitu 5 x 35 = 175 dan nilai paling rendah

yaitu 1 x 35 = 35. Pada skala ini dibagi menjadi empat kategorisasi (sangat

tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah) dengan nilai intervalnya sebesar 35.

Tabel 1.

Kategorisasi pengukuran skala kesiapan belajar mandiri

No. Interval Kategori Mean Frekuensi %

1. 140 ≤ x ≤ 175 Sangat Tinggi 131,57 23 23,47

2. 105 ≤ x < 140 Tinggi 74 75,51

3. 70 ≤ x < 105 Rendah 1 1,02

4. 35 ≤ x < 70 Sangat Rendah 0 0

JUMLAH 98 100

(24)

Data di atas menunjukkan tingkat kesiapan belajar mandiri dari 98

subjek yang berbeda-beda yang dikategorisasikan menjadi sangat tinggi hingga

sangat rendah. Pada kategori sangat rendah didapati persentase sebesar 0%,

kategori rendah 1,02%, kategori tinggi 75,51% dan kategori sangat tinggi

23,47%. Mean atau rata-rata yang diperoleh sebesar 131,57 dengan standar

deviasinya adalah 13,63. Maka jika dilihat sesuai dengan tabel, secara umum

tingkat kesiapan belajar mandiri siswa pada SMA Negeri 1 Tuntang berada pada

kategori yang tinggi.

Kecerdasan Emosional

Kategorisasi pada variabel kecerdasan emosional dihitung berdasarkan

nilai tertinggi yang didapat yaitu 5 x 25 = 125 dan nilai terendah 1 x 25 = 25.

Perhitungan kategorisasi skala ini dibagi menjadi empat kategorisasi (sangat

tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah) dengan nilai intervalnya sebesar 25.

Tabel 2.

Kategorisasi pengukuran skala kecerdasan emosional

No. Interval Kategori Mean Frekuensi %

1. 100 ≤ x ≤ 125 Sangat Tinggi 96,13 27 27,55

2. 75 ≤ x < 100 Tinggi 70 71,43

3. 50 ≤ x < 75 Rendah 1 1,02

4. 25 ≤ x < 50 Sangat Rendah 0 0

JUMLAH 98 100

(25)

Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional dari 98

subjek dibagi menjadi empat kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan

sangat rendah. Pada kategori sangat rendah menunjukkan persentase sebesar 0%,

untuk kategori rendah sebesar 1,02%, kategori tinggi 71,43% dan sangat tinggi

sebesar 27,55%. Mean atau rata-rata yang didapatkan adalah sebesar 96,13

dengan standar deviasinya 10,58. Jadi, jika dilihat dengan hasil yang ada di tabel

maka tingkat kecerdasan emosional siswa pada SMA Negerei 1 Tuntang

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi

antara kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar mandiri sebesar 0,693

dengan sig. = 0,000 (p<0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan

antara kedua variabel tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

kecerdasan emosional maka semakin tinggi pula kesiapan belajar mandirinya.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi antara kecerdasan emosional

(26)

signifikan antara kedua variabel tersebut dengan hasil korelasi sebesar 0,693

dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa adanya

hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan kesiapan belajar

mandiri pada siswa kelas XI di SMA Negeri 1 Tuntang. Dengan demikian maka

dinyatakan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima.

Ada beberapa kemungkinan bagaimana kecerdasan emosional dapat

memengaruhi kesiapan belajar mandiri seseorang. Jika dilihat dari ketiga aspek

kecerdasan emosional yang meliputi penilaian dan ekspresi emosi, pengaturan

emosi dan pemanfaatan kecerdasan emosional itu sendiri dapat memberikan

pengaruh yang baik terhadap kesiapan belajar mandiri. Perbedaan kontrol diri

siswa memang bisa memengaruhi perilaku dalam kegiatan belajarnya, namun

karena pemahaman serta pengekspresian emosi yang benar mereka bisa

menekan suasana hati yang saat itu sedang mengganggu dan lebih meningkatkan

semangat agar mereka bisa terus termotivasi untuk mengikuti pembelajaran

dengan baik. Mereka juga cenderung akan tetap berpikir positif ketika mereka

fokus mengikuti pembelajaran tersebut maka impiannya kelak dapat terwujud

dengan baik meski harus gagal terebih dahulu. Sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Hartati (2010) bahwa memang kecerdasan emosional mempunyai

hubungan yang positif terhadap kesiapan belajar mandiri seseorang.

Penilaian dan ekspresi emosi dapat membantu menanggapi dan

memahami emosi dalam diri siswa dengan baik. Siswa dapat memilih

bagaimana reaksi emosional yang tepat untuk mereka tunjukkan di dalam kelas

dalam kondisi apapun entah secara verbal maupun nonverbal sehingga proses

(27)

waktu diingatkan guru (Salovey, 1990). Aleix (2014) juga mengemukakan

bahwa emosi verbal bisa dilihat dengan suara yang dikeluarkan siswa di dalam

kelas. Suara mereka di dalam kelas seharusnya memang tidak sekeras di luar

karena dapat mengganggu teman lain di dalam kelas. Sedangkan emosi

nonverbal diperlihatkan melalui ekspresi wajah yang dapat membantu siswa

meningkatkan hubungan interpersonal terhadap teman sekelasnya. Rasa empati

seperti itu dapat menunjukkan dan mendukung bahwa satu sama lain memang

mempunyai keinginan dan sudah siap untuk belajar.

Selanjutnya, Salovey dan Mayer (1990) mengatakan bahwa pengaturan

emosi atau regulasi emosi dapat membangun suasana hati dan memperkuat sikap

adaptif siswa. Mereka mampu memonitor emosi sehingga dengan mudahnya

dapat mengevaluasi apa saja sikap yang dapat menghambat proses belajarnya di

dalam kelas dan segera mengubahnya menjadi lebih baik. Siswa juga

mempunyai motivasi yang baik untuk tetap berusaha menuju hasil yang sudah

diidamkan selama ini. Siswa yang memiliki pengaturan emosi yang baik mampu

mengendalikan diri dengan cara yang tepat. Ia mampu menahan hasrat untuk

tidak meluapkan emosi secara sembarangan meski sedang dalam keadaan yang

buruk sekalipun. Hal itu juga akan membantu untuk tetap menjaga konsentrasi

yang baik di dalam kelas. Sama halnya yang diungkapkan oleh Goleman (1997)

bahwa seseorang yang mampu belajar mengenali emosi dalam dirinya akan

menjadi pribadi yang sehat secara emosi, terutama untuk remaja dan itu akan

membantu membangun kesuksesannya nanti.

Pemanfaatan kecerdasan emosional itu sendiri dapat membantu untuk

(28)

memahami informasi yang disampaikan guru, maka siswa bisa memilih

bagaimana strategi belajar yang dirasa cocok. Mereka bisa memilih untuk

mendengarkan penjelasan guru saja, menulis hal-hal penting yang disampaikan

guru atau bahkan mereka menulis semua penjelasan guru di dalam kelas. Tentu

saja cara yang mereka ambil itu memang sesuai dengan kemampuannya. Ketika

siswa sudah memilih strategi mana yang dirasa cocok, maka mereka juga harus

bertanggung jawab dengan resiko yang buruk sekalipun. Siswa juga mampu

berpikir kreatif sehingga ketika mereka menemukan banyak kegagalan dalam

proses belajarnya, masih banyak cara lain yang digunakan untuk meraih hasil

yang diinginkan. Siswa yang benar-benar bisa memanfaatkan kecerdasan emosi

dengan baik juga mudah untuk memotivasi dirinya sendiri dan tetap fokus

terhadap impian dan tujuan semula. Patton (2001) juga menyatakan bahwa

kecerdasan emosional dapat membantu seseorang menjadi pribadi yang penuh

dengan tanggung jawab, produktif serta optimis dalam menghadapi maupun

menyelesaikan masalah.

Menurut Goleman (2007) siswa SMA yang masih dalam tahapan remaja

sedang belajar menguasai mana emosi yang positif maupun negatif sehingga

lambat laun mereka akan mampu membedakan bahkan mengendalikan emosi

tersebut. Dengan demikian, mereka cenderung diyakini lebih mampu

menempatkan diri secara benar dalam hal mengontrol emosi maupun perilaku

mereka.

Emosi berkaitan dengan apa saja yang ada dalam diri seseorang. Maka

dari itu bukanlah jenis emosionalitas yang menjadi masalah tetapi bagaimana

(29)

dengan harapan (Aristoteles). Walaupun siswa tidak suka dengan beberapa

pelajaran tetapi mereka harus tetap mampu mengendalikan keinginan untuk

pasrah dan mengubahnya menjadi acuan untuk bisa menaklukan pelajaran

tersebut. Prawitasari (2005) juga mengungkapkan bahwa perilaku yang nantinya

dikeluarkan oleh seseorang akan berdampak dalam kegiatan maupun hubungan

dengan lingkungannya karena emosi adalah salah satu hal penting yang berperan

sebagai motivator dalam kehidupan.

Jika dilihat dari sumbangan efektifnya, kecerdasan emosional

memberikan kontribusi sebesar 48,02%. Sedangkan 51,98% lainnya lebih

dipengaruhi oleh faktor lain di luar kecerdasan emosional yang juga dapat

berpengaruh terhadap kesiapan belajar mandiri. Faktor lain yang dimaksud

adalah keluarga, peran orang tua ataupun darimana asal sekolah siswa.

Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin tinggi

kecerdasan emosional siswa maka semakin tinggi pula kesiapan belajar

mandirinya, sehingga mereka mampu menempatkan perilaku positif untuk

menunjang segala proses pembelajaran dan mendapatkan hasil yang diinginkan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosional

(30)

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diketahui, maka penulis

mengajukan saran kebeberapa pihak, yaitu :

1. Bagi murid

Bagi murid diharapkan dapat tetap menjaga sikap dan konsentrasi di

dalam kelas supaya selalu kondusif dalam proses belajar mengajar. Akan lebih

baik lagi jika murid-murid juga terus meningkatkan dorongan positif di dalam

diri supaya memacu semangat meraih hasil yang indah kelak dengan

meningkatkan kecerdasan emosionalnya.

2. Bagi guru

Bagi guru sendiri diharapkan mampu mengawasi murid-murid supaya

mereka selalu bisa menunjukkan sikap yang baik dan terus meningkatkan

prestasi yang selalu diinginkan. Guru juga diharapkan mampu membantu siswa

untuk meningkatkan kecerdasan emosional mereka.

3. Bagi peneliti selanjutnya

a. Bagi peneliti selanjutkan diharapkan mampu mengambil satu atau

beberapa faktor lain di dalam kesiapan belajar mandiri sehingga

dapat menjawab dan mencari tau fenomena yang sebelumnya

belum dijawab dalam penelitian ini.

b. Mungkin peneliti bisa lebih menambah metode yang digunakan

sebagai sumber informasi lain yang melengkapi untuk menjawab

(31)

c. Peneliti selanjutnya mungkin juga bisa mencari alat ukur yang

lain selain dari alat ukur yang diambil dalam penelitian ini supaya

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2004). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Ed. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baharuddin. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Chaplin, J. P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Engelberg, E., & Sjoberg, L. (2004). Emotional Intelligence, affect intensity and social adjustment. Personality & Individual Diferences, 37, 533-542.

Fatchurrohman, R. (2011). Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kesiapan Belajar, Pelaksanaan Prakerin dan Pencapaian Kompetensi Mata Pelajaran Produktif Teknik Kendaraan Ringan Kelas XI. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Fisher, M. J. & King, J. (2009). The Self-Directed Learning Readiness Scale For Nursing Education Revisited: A Confirmatory Factor Analysis. Nurse Education

Today 30 (44-48). Diambil dari www.elsevier.com/nedt

Fisher, M., King, K. & Tague, G. (2001). Development Of A Self-Directed Learning Readiness Scale For Nursing Education. Diambil dari http://www.idealibrary.com.

Goleman, D. (2003). Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional Mengapa EI Lebih

Penting dari IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence. Jakarta: PT SUN.

Hidayanti, R. (2008). Kecerdasan Emosi, Stress Kerja dan Kinerja Karyawan. Journal of Psychology (2).

Jonker, C. & Vosloo, C. (1998). The Psychometric Properties Of The Schutte Emotional Intelligence. Diambil dari http://www.sajip.co.za

Kafetsios, K. & Zampetakis, L. (2007). Emotional Intelligence and Job Satisfaction: Testing The Mediatory Role Of Positive and Negative Affect At Work. Personality

and Individual Differences 44 (2008) 712-722. Diambil dari

www.sciencedirect.com

Mayer, J. D. & Salovey, P. (1990). Emotional Intelligence. Diambil dari

http://scholar.google.co.id/scholar?hl=en&q=emotional+intelligence&btnG=

Mayer, J. D., Salovey, P. & Caruso, D. R. (2004). Emotional Intelligence: Theory, Findings and Implications. Psychological Inquiry 2004, 3,197-215.

(33)

Puluhulawa, C. W. (2013). Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Meningkatkan Kompetensi Sosial Guru Makara Seri Sosial Humaniora, 17, 139-147. Diambil dari DOI:10.7545/mssh.vl7i2.2957

Putri, N. (2011). Hubungan Kecerdasan Emosi dan Kesiapan Belajar Dengan Prestasi Belajar Pada Mata Kuliah Askeb Ibu I Mahasiswa Semester II Di Akbid Mitra Husada Karanganayar. Diambil dari digilib.uns.ac.id

Schutte, N. S., Malouff, J. M., Hall, L. E., Haggerty, D. J., Cooper, J. T., Golden, C. J. & Dornheim, L. (1998). Development and validation of a measure of emotional intelligence. Personality and Individual Differences, 25, 167-177.

Shaikh, R. B. (2013). Comparison Of Rediness For Self-Directed Learning In Students Experiencing Two Different Curricula In One Medical School. Gulf Medical Jurnal 2013:2 (1): 27-31.

Tipani, R. (2006). Relations Between Emotional Intelligence with Perception of Virginity at Diponegoro University Student. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Gambar

Tabel 1. Kategorisasi pengukuran skala kesiapan belajar mandiri
Tabel 2. Kategorisasi pengukuran skala kecerdasan emosional

Referensi

Dokumen terkait

data harus sesuai dengan semua rumus untuk menjalankan pernyataan benar.. data tidak harus sesuai rumus untuk menjalankan

[r]

Skripsi dengan judul “REAKSI PASAR MODAL TERHADAP PENGUMUMAN PEMECAHAN SAHAM (Studi pada Perusahaan Go Public yang Melakukan Pemecahan Saham Tahun 2011-2015 di Bursa

Kesadaran taktik merupakan hal yang krusial pada permainan, merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah taktik yang muncul selama permainan dan memilih respon yang

Mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/ Jasa untuk pelaksanaan kegiatan Tahun Angaran 2013 seperti tersebut di bawah ini :.

[r]

Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan bahwa: (1) Peranan pembimbing skripsi dalam proses penulisan skripsi mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan

Pedoman Observasi Kegiatan Guru Dalam Pelaksanaan Proses Pembelajaran Kemampuan Menyimak Dengan Menggunakan Media Gambar Di TK