• Tidak ada hasil yang ditemukan

upload paper proceeding snisip 2015 ismi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "upload paper proceeding snisip 2015 ismi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

26 ENGENDERING DEVELOPMENT: CASE STUDY ON ECO-TOURISM

(Menggenderkan Pembangunan: Studi Kasus pada Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan)

Ismi Dwi Astuti Nurhaeni; Rara Sugiarti; Sri Marwanti

Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender-Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: isminurhaeni@gmail.com

Abstrak

Artikel ini menganalisis tentang bagaimana menggenderkan pembangunan (pada kasus pembangunan pariwisata ramah lingkungan). Analisis dimulai dengan mengidentifikasi isu-isu strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan, dilanjutkan dengan merumuskan strategi menggenderkan pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Penelitian dilakukan di kawasan Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar yang ditetapkan secara purposif. Dengan melakukan analisis gender terhadap isi dokumen kebijakan, dan diskusi terfokus terhadap 18 informan kunci, disimpulkan bahwa isu-isu strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan mencakup: (1) Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan makro daerah terkait gender pada RPJMD dengan kebijakan renstra dan renja SKPD yang menangani pembangunan pariwisata ramah lingkungan; (2) Belum ada sensitivitas gender di kalangan stakeholder sehingga jaminan sistem judicial dan hukum yang memberikan perlindungan terhadap status perempuan dan laki-laki pada program pembangunan pariwisata ramah lingkungan tidak terimplementasi secara optimal; (3) Lemahnya peran kelembagaan struktural dan fungsional PUG mengakibatkan strategi percepatan pengarusutamaan gender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam pembangunan pariwisata belum terimplementasi; (4) Representasi perempuan pada kelembagaan yang berperan strategis dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan, yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), tidak ada; (5) Belum ada tindakan affirmative action untuk memberikan layanan pembangunan pariwisata yang responsif terhadap perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-lakI;

Strategi engendering development dilakukan dengan cara: (1) melakukan reformasi kebijakan pembangunan pariwisata melalui dekonstruksi misi pembangunan pariwisata dan lingkungan hidup serta perumusan Indikator Kinerja Utama pembangunan pariwisata responsif gender; (2) melakukan reformasi institusional melalui revitaalisasi pokja PUG bidang pariwisata, pembentukan gender focal point bidang pariwisata, melakukan capacity building serta bimbingan teknis terhadap Lembaga Driver PUG, pengembangan kolaborasi antara lembaga driver dengan PT dan LSM dalam menggenderkan pariwisata ramah lingkungan, serta menetaapkan representasi perempuan minimal 30% sebagai pengurus LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan); (3) reformasi anggaran, berupa integrasi gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan pariwisata ramah lingkungan.

Kata Kunci: affirmative action. Lingkungan, pariwisata, pengarusutamaan gender

Pendahuluan

(2)

27 2012; Jabeen, 2014). Memasukkan isu gender dalam setiap analisis, rancangan dan implementasi kebijakan dikenal dengan istilah engendering development.

Pentingnya engendering development di Indonesia disebabkan karena hasil pembangunan Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, sementara itu Gender Inequality Index Indonesia lebih tinggi. Posisi Indonesia dalam capaian Human Development Index (HDI) berada di bawah negara Singapura, Malaysia, Sri Lanka, dan Thailand. Capaian Gender-related Development Index (GDI) Indonesia di bawah negara Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, dan Philipina, dan capaian Gender Inequality Index (GII) Indonesia lebih tinggi dibandingkan Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, Philipina, Vietnam, dan Myanmar.

Tabel 1: HDI, GDI dan GII di Negara-Negara ASEAN Tahun 2013

No Negara HDI GDI GII

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Singapura 0.901 0.967 0.090

2 Malaysia 0.773 0.935 0.210

3 Sri Lanka 0.750 0.961 0.383

4 Thailand 0.722 0.990 0.364

5 Indonesia 0.684 0.923 0.500

6 Philipina 0.660 0.989 0.406

7 Vietnam 0.638 - 0.322

8 Timor Leste 0.620 0.875 -

9 Kamboja 0.584 0.909 0.505

10 Bangladesh 0.558 0.908 0.529

11 Myanmar 0.524 - 0.430

Sumber: UNDP 2014

Engendering development sejalan dengan kebijakan-kebijakan di tingkat internasional maupun nasional, diantaranya CEDAW, Beijing Declaration and Platforms for Action yang menegaskan agar para pembuat kebijakan di negara-negara di dunia mengakhiri diskriminasi dan menjamin persamaan hak perempuan serta melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan akses dan kontrol perempuan atas sumber daya ekonomi, politik sosial dan budaya. Di tingkat nasional, telah dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa setiap kementerian, lembaga pemerintah non departemen, Gubernur dan Bupati/Walikota harus mengintegrasikan gender di dalam perencanaan pembangunan nasional. Di tingkat daerah, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 yang menegaskan perlunya integrasi gender di dalam perencanaan pembangunan di daerah dengan tujuan utama memberikan manfaat pembangunan yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki. Selanjutnya, pada tahun 2012 Pemerintah Indonesia melalui Surat Edaran Bersama empat Kementerian, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengeluarkan Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran Repsonsif Gender (PPRG).

(3)

28 Temuan ini sejalan dengan studi-studi terdahulu dimana pembangunan pariwisata didominasi oleh kelompok elit laki-laki dan lebih memberikan keuntungan kepada laki-laki daripada perempuan. Terpinggirkannya perempuan dalam pembangunan pariwisata disebabkan karena norma-norma tentang identitas peran dan relasi gender (Scheyvens, 2000; Tucker, 2007, Hitchcock & Brandenburgh, 1990; Stonich, Sorensen, & Hundt, 1995 dalam Tucker & Brenda Boonabaana, 2012).

Gender, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan saling berhubungan. Kemajuan dalam satu atau lebih bidang ini sangat tergantung pada kemajuan yang dibuat dalam bidang yang lain. Karena itu kita harus meninggalkan pendekatan feminist tradisional dan pendekatan perempuan dan pembangunan kearah pendekatan yang akan membentuk inisiatif untuk mengurangi kesenjangan gender dan sekaligus mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

Artikel ini dimaksudkan untuk mengkaji tentang isu-isu strategis gender dalam pembangunan pariwisata ramah lingkungan dan dilanjutkan dengan merumuskan strategi engendering development dalam parisiwata ramah lingkungan. Pentingnya melakukan kajian tentang gender dan lingkungan tidak hanya menyangkut isu kesetaraan saja, tetapi lebih dari itu merupakan isu efisiensi karena melibatkan perempuan dan laki-laki akan mendorong terjadinya peningkatan hasil, peningkatan biaya recovery, dan peningkatan sustainanblility. (Masika & Baden, 1997 dalam Havet, Franka Braun & Birgit Gocht, 2007).

Kajian Pustaka

Engendering Development

Tantangan terpenting pembangunan saat ini adalah bagaimana memperdalam pemahaman tentang kaitan antara gender, pembangunan dan kebijakan (Rahardjo, ed.: 2005; Scheyvens, 2010; Hay, 2012; Jabeen, 2014). Hal ini perlu dilakukan karena berbagai regulasi yang ada mengharuskan setiap institusi pemerintah mengintegrasikan gender dalam kebijakan-kebijakannya.

Engendering development (memasukkan isu gender) dalam pembangunan merupakan manifestasi dari reformasi kebijakan publik. Reformasi ini dilakukan karena perubahan kebijakan yang mestinya terjadi secara otomatis sebagai akibat berlakunya regulasi yang menjamin kesetaraan dan keadilan gender tidak berjalan.

Holzer & Kathe Callahan (1998) mengemukakan bahwa integrasi manajemen yang berkualitas, pengembangan sumberdaya manusia, adaptasi teknologi, membangun kemitraan dan mengukur kinerja kedalam kapasitas internal organisasi, dengan didukung oleh input sumberdaya berupa uang, tenaga, energi dsb, akan menghasilkan peningkatan produktivitas sektor publik, baik peningkatan dalam hal output maupun outcome. Dengan mengacu kepada strategi percepatan PUG melalui PPRG, maka indikator output dan outcome pembangunan harus dikoreksi dari semula netral gender menjadi responsif gender.

Dengan mengadopsi pada pendapat Holzer and Kathe Callahan (1998), maka produktivitas sektor publik dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dapat meningkat jika:

1. sektor publik mengimplementasikan manajemen yang berkualitas, yaitu: (a) ada dukungan dari manajemen puncak; (b) responsif terhadap customer; (c) memiliki perencanaan strategis jangka panjang; (d) memiliki pegawai yang terlatih dan diakui; (e) pemberdayaan pegawai dan kelompok kerja serta (f) ada jaminan kualitas.

(4)

29 3. melakukan adaptasi teknologi berupa: (a) adanya keterbukaan akses terhadap data; (b) otomatisasi untuk meningkatkan produktivitas; (c) memenuhi permintaan publik; (d) aplikasi hemat biaya; (e) teknik cross-cutting.

4. membangun kemitraan, mencakup: (1) kemitraan dengan masyarakat; (2) kemitraan dengan sektor publik; (3) kemitraan dengan sektor swasta; (4) tidak melakukan kemitraan yang berorientasi kepada keuntungan.

5. melakukan pengukuran kinerja, mencakup (a) menetapkan tujuan dan mengukur hasilnya; (b) mengestimasi dan menjustifikasi kebutuhan sumberdaya; (c) mengalokasikan sumberdaya; (d) mengembangkan strategi peningkatan organisasi; (e) memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya. Model Holzer dan Kathe Callan ini yang akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan reformasi administrasi publik berupa engendering development dengan beberapa penyesuaian.

Pembangunan Pariwisata

Pariwisata merupakan salah satu industri andalan untuk meraih devisa, membuka peluang usaha, dan menciptakan lapangan kerja. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa kepariwisataan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya serta memajukan kebudayaan. Dengan demikian, pembangunan pariwisata memiliki potensi dalam menyumbang perekonomian suatu daerah dan mendukung perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Namun, di sisi lain, pembangunan pariwisata seringkali justru mendukung terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan adanya perencanaan pengembangan pariwisata dengan melibatkan peran masyarakat (civil society), baik laki-laki maupun perempuan, sehingga pembangunan pariwisata tidak cenderung merusak tetapi justru mendukung kelestarian fungsi lingkungan.

Pembangunan pariwisata ramah lingkungan adalah pembangunan pariwisata yang mendasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pariwisata ramah lingkungan sering disebut sebagai pariwisata hijau, pariwisata lestari atau pariwisata berkelanjutan. Ghimire & Upreti (2011) menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat di dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan dan mengeksplorasi strategi penguatan partisipasi masyarakat setempat dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Sedangkan Farsari & Prastacos (tt) di dalam penelitiannya mengembangkan indikator pariwisata ramah lingkungan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sustainable tourism, yang terdiri atas: using resource sustainably, reducing over consumption and waste, maintaining diversity, integrating tourism into planning, supporting local economies, involving local communities, consulting stakeholders and the public, training staff, marketing tourism responsibly; dan undertaking research.

(5)

30 Gambar 1: Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan.

Sumber: Diadaptasikan dari Clements (2007).

Pariwisata ramah lingkungan bertujuan untuk menjaga keserasian antara unsur-unsurnya, seperti kebutuhan pembangunan pariwisata, kelestarian fungsi lingkungan alam, sosial dan budaya, mutu produk pariwisata, profesionalisme sumber daya manusia, serta kepuasan wisatawan. Berbagai unsur tersebut harus dijaga keseimbangannya sehingga tidak akan menimbulkan benturan antara satu unsur dengan lainnya. Pembangunan pariwisata berkelanjutan perlu diaplikasikan secara konsekuen. Usaha untuk mencapai keberhasilan pembangunan pariwisata berkelanjutan memang merupakan jalan yang panjang dan komplek (Clements, 2007). Banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi dalam hal mengimplementasikan konsep-konsep pariwisata berkelanjutan. Kendala tersebut antara lain adalah jenis wisatawan yang beraneka ragam dengan tingkat kesadaran lingkungan yang berbeda-beda, kurangnya penyampaian informasi mengenai pariwisata berkelanjutan dan pentingnya menjaga lingkungan, orientasi kepada keuntungan ekonomis yang berlebihan, serta kurangnya kerjasama antara pihak terkait.

Strategi Engendering Development

(6)

31 diartikan sebagai upaya percepatan peningkatan representasi perempuan di politik. Affirmative action dilakukan sebagai usaha aktif untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender bagi orang-oraang yang kurang beruntung.

Dalam konteks pembangunan pariwisata, gender mainstreaming dilakukan dengan mengintegrasikan isu gender kedalam kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata. Manifestasi integrasi ini mestinya tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, mulai dari RPJMD, renstra dan renja SKPD serta adanya analisis gender yang tertuang dalam dokumen Gender Analysis Pathway (GAP) dan Gender Budget Statement (GBS) sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari dokumen RKA. Dengan demikian ada jaminan bahwa setiap kegiatan pembangunan pariwisata akan memberikan kemanfaatan yang adil dan setara bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, affirmative action dilakukan melalui pengembangan program/ kegiatan khusus yang ditujukan untuk memberdayakan perempuan (jika yang tertinggal adalah perempuan) atau laki-laki (jika yang tertinggal adalah laki-laki) dalam mengejar ketertinggalan mereka, melalui peningkatan kapasitas, kemandirian, serta ketrampilan untuk membuat keputusan, menyuarakan aspirasi dan mentransformasi pilihannya ke dalam suatu tindakan.

World Bank (2002) mengembangkan empat elemen kunci dari pemberdayaan, antara lain: (1) akses terhadap informasi, (2) inklusi/ partisipasi, (3) akuntabilitas dan (4) kapasitas organisasi lokal. Menurut Word Bank, informasi merupakan kekuatan. Masyarakat yang mendapat informasi akan mendapatkan keuntungan berupa akses terhadap pelayanan, mempraktekkan hak-haknya dan membuat aktor pemerintah maupun aktor non pemerintah menjadi akuntabel. Selanjutnya, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan hal yang kritis untuk menjamin adanya penggunaan sumber-sumber publik yang terbatas. Untuk itu, pegawai publik maupun aktor-aktor swasta harus dijaga agar mampu mempertanggungjawabkan kebijakan, tindakan dan penggunaan pendapatannya. Secara administrasi maupun politik, agen-agen pemerintah maupun swasta harus mempunyai mekanisme akuntabilitas horizontal, internal, maupun terhadap rakyat dan pelanggannya. Pada akhirnya, organisasi lokal harus mempunyai kapasitas mengorganisir orang-orang untuk bekerja bersama, dan memobilisasi sumber-sumber yang ada untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi besama. Masyarakat yang terorganisasi harus dapat menyuarakan aspirasi dan keinginannya agar dapat terpenuhi. Pemberdayaan tidak hanya membuka akses ke pengambilan keputusan, tetapi juga harus mencakup proses yang menyebabkan orang mampu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Oxaal & Sally Baden (1997: 3) menyatakan bahwa pemberdayaan digambarkan sebagai kemampuan untuk membuat pilihan, sekaligus melibatkan kemampuan untuk membuat pilihan yang ditawarkan.

Metode Penelitian

(7)

32 mendalam, dan metode simak. Analisis data penelitian ini menggunakan analisis isi terhadap dokumen kebijakan dan hasil focus group discussion terhadap 18 informan kunci. Analisis kualitatif menggunakan analisis interaktif yang menggaribawahi hubungan antar tiga komponen utama, yakni reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.

Berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi yang dibuat oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2012) sebagai lembaga driver Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). Yang dimaksud dengan isu-isu strategis adalah kondisi atau hal yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan daerah karena dampaknya yang signifikan bagi daerah dengan karakteristik bersifat penting, mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah di masa yang akan datang. Yang dimaksud dengan keadilan gender (gender equity) adalah perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan proses kebijakan pembangunan, yaitu dengan mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, kesulitan, hambatan sebagai perempuan dan sebagai laki-laki untuk mendapat akses dan manfaat dari usaha-usaha pembangunan; untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan serta dalam memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap sumberdaya seperti dalam mendapatkan/ penguasaan keterampilan, informasi, pengetahuan, kredit dan lain-lain. Yang dimaksud dengan responsif gender adalah perhatian dan kepedulian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan-hambatan struktural dan kultural dalam mencapai kesetaraan gender. Sensitif gender adalah kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil-hasil pembangunan serta relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan. Yang dimaksud kebijakan/ program responsif gender adalah kebijakan/program yang responsif gender berfokus kepada aspek yang memperhatikan kondisi kesenjangan dan kepada upaya mengangkat isu ketertinggalan dari salah satu jenis kelamin.

Operasionalisasi integrasi gender dalam kebijakan mengadopsi dari African Development Bank Group (2009) tentang prioritas isu kesetaraan gender dalam Good Governance, yang dalam penelitian ini dikaitkan dengan kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata ramah lingkungan, antara lain:

1. Apakah kebijakan pariwisata dan implementasinya sudah menjamin kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki sebagai warga negara dalam melaksanakan tugas, hak dan aksesnya terhadap pelayanan publik?

2. Apakah ada jaminan sistem judicial dan hukum yang ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap status perempuan dan laki-laki dalam pembangunan pariwisata?. 3. Apakah ada anggaran publik yang merefleksikan tujuan untuk mewujudkan kesetaraan

gender dalam pembangunan pariwisata?

4. Apakah struktur dan proses penyelenggaraan pemerintahan serta proses pengambilan keputusan menjamin partisipasi aktif perempuan dengan jumlah kritis pada institusi kunci seperti parlemen dan pemerintah lokal (atau lembaga lokal)?

(8)

33 Pembahasan

Isu Strategis Gender dalam Pembangunan Pariwisata

Hasil riset menemukan bahwa jaminan untuk mewujudkan kesetaraan gender termaktub dalam dokumen kebijakan RPJMD Kabupaten Karanganyar Tahun 2008-2013, khususnya pada Misi ke-  Mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang bertumpu pada kemandiran, peningkatan kualitas

          

Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Karaanganyar dalam merumuskan Visi dan Misinya, namun tidak diacu oleh Badan Lingkungan Hidup maupun Dinas Pariwisata yang tugas pokok dan fungsinya terkait dengan pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Visi Badan Lingkungan Hidup adalah mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan tenteram dalam semangat kemitraan. Sedangkan Visi Dinas Pariwisata adalah mewujudkan Kabupaten Karanganyar sebagai pusat pariwisata dan kebudayaan yang mapan. Dengan demikian, hasil penelitian ini menemukan belum adanya sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan pada RPJMD dengan Renstra dan Renja SKPD.

Ketiadaan sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan RPJMD Kabupaten Karanganyar, Indonesia dengan Renstra dan Renja Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata menunjukkan bahwa persoalan  

Temuan penelitian ini diperkuat dengan hasil FGD sebagaimana disajikan pada tabel 2.

Gambar 1: Sinkronisasi dan Operasionalisasi Visi dan Misi Visi pada RPJMD

Kabupaten Karanganyar

Terwujudnya Karanganyar Yang Tenteram, Demokratis Dan Sejahtera

Misi ke-3 RPJMD Kabupaten

Karanganyar Tahun 2008

2013

Mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan

pembangunan yang bertumpu pada kemandiran, peningkatan kualitas SDM dan penyetaraan gender

Visi pada RENSTRA BP3AKB Mewujudkan penduduk tumbuh seimbang, kesetaraan gender dan

pemenuhan hak

Misi ke-2 RENSTRA BP3AKB Tahun 2008  2013

(9)

34 Tabel 2: Integrasi Gender Pada Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan

TEMUAN YA TIDAK KETERANGAN

kebijakan dan implementasi program

pembangunan pariwisata sudah menjamin kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki sebagai warga negara dalam melaksanakan tugas, hak dan akses nya terhadap

yang ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap status perempuan dan laki-laki pada program pembangunan pariwisata

Ya -

Ada anggaran publik yang merefleksikan

tujuan mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan pariwisata

- tidak Belum ada implementasi perencanaan dan

penganggaran responsif gender

Struktur dan proses penyelenggaraan

pemerintahan serta proses pengambilan keputusan dalam pembangunan pariwsata menjamin partisipasi aktif perempuan dengan jumlah kritis pada institusi kunci seperti parlemen dan pemerintah lokal

Berdasarkan temuan riset dapat diidentifikasi isu-isu strategis sebagai berikut: Pertama, Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi antara kebijakan makro daerah terkait gender pada RPJMD dengan kebijakan renstra dan renja SKPD yang menangani pembangunan pariwisata ramah lingkungan, yaitu Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata. Akibatnya, tidak ada jaminan bahwa misi daerah untuk mewujudkan kesetaraan daan keadilan gender akan terimplementasi dengan baik.

(10)

35 kabupaten (baik berupa surat edaran, surat keputusan Bupati ataupun peraturan daerah sebagai operasionalisasi dari regulasi yang berada di tingkat atasnya (yaitu Permendagri dan Peraturan Gubernur yang mengharuskan setiap SKPD melakukan percepatan pengarusutamaan gender melalui PPRG). Dengan demikian, tidak ada alat pemaksa yang cukup efektif terhadap SKPD untuk melakukan engendering development sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing SKPD. Padahal, dengan mengacu pendapat Holzer & Kathe Callahan (1998), komitmen top manajemen merupakan langkah pertama yang dibutuhkan dalam mendiseminasikan nilai kesetaraan dan keadilan gender. Untuk itu perlu ada perubahan orientasi kualitas kebijakan publik dari netral gender menjadi responsif gender dan hal ini harus dimulai dari perubahan perilaku pada tingkat top manajemen dan perubahan budaya organisasi yang mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.

Ketiga, lemahnya kapasitas kelembagaan struktural maupun fungsional PUG sehingga mengakibatkan strategi percepatan pengarusutamaan gender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam pembangunan pariwisata belum terimplementasi. Secara struktural, lembaga driver pengarusutamaan gender (yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Pendapatan Keuangan Daerah dan Inspektorat) belum menjalankan perannya dalam mendorong dan meningkatkan kapasitas SKPD agar mampu mengintegrasikan gender dalam kebijakan/ program/ kegiatan yang mereka buat. Padahal masing-masing SKPD memiliki keterbatasan kemampuan dalam melakukan analisis gender dan memformulasikan program atau kegiatan untuk mengatasi masalah gender. Secara fungsional, kelompok kerja (Pokja) gender dibentuk sekedar untuk memenuhi syarat administratif saja dan belum bergerak ke tingkat akar rumput dalam mendorong integrasi gender pada pembangunan pariwisata. Tim penggerak gender (gender focal point) pada masing-masing SKPD yang menangani pembangunan pariwisata belum terbentuk. Akibatnya, Kabupaten Karanganyar tidak memiliki data terpilah menurut jenis kelamin yang valid dan up-to-date sebagai dasar untuk membuka wawasan para stakeholder tentang adanya kesenjangan gender. Selain itu, di Kabupaten Karanganyar belum ada indikator pembangunan yang mengintegrasikan gender sehingga kurang memacu SKPD dalam mewujudkan tujuan pembangunannya. Hal ini diperparah dengan belum adanya dukungan keras dari masyarakat yang mendesakkan pentingnya integrasi gender dalam kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata di daerah.

Ke-empat, belum ada representasi perempuan dalam lembaga lokal yang berperan strategis dalam pengembangan pariwisata ramah lingkungan, yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Padahal lembaga ini berperan strategis dalam merancang pengembangan pariwisata ramah lingkungan agar mampu mendukung prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan teknologi. Tidak adanya keterlibatan perempuan dalam lembaga strategis ini bisa berakibat terhadap semakin termarginalnya perempuan dalam pembangunan pariwisata. Akibatnya, kompetensi dan kapasitas perempuan dalam pengembangan pariwisata tidak diperhitungkan, dan perempuan menerima dampak yang lebih besar dan kurang menguntungkan dari kerusakan lingkungan.

Kelima, belum ada tindakan affirmative action untuk memberikan layanan pembangunan pariwisata yang responsif terhadap perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Tindakan affirmative action sangatlah diperlukan agar marginalisasi terhadap perempuan dalam pembangunan pariwisata dapat diatasi secara terencana dan berkelanjutan.

(11)

36 Strategi menggenderkan pembangunan pariwisata ramah lingkungan dilakukan melalui: (1) reformasi kebijakan, (2) reformasi institusional, dan (3) reformasi anggaran. Strategi pertama, melakukan reformasi kebijakan, yaitu mendekonstruksi Visi, Misi, dan Strategi pembangunan pariwisata pro gender. Reformasi kebijakan pembangunan pariwisata perlu dilakukan melalui dekonstruksi misi pembangunan pariwisata dan lingkungan hidup serta perumusan Indikator Kinerja Utama Pembangunan pariwisata responsif gender. Dekonstruksi misi dilakukan pada rumusan misi ke-5 dan ke      Mendorong individu, keluarga dan masyarakat agar memiliki komitmen dan melaksanakan secara nyata pengelolaan lingkungan hidup dan meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia

      -2 Renstra Dinas Pariwisata berbunyi Mewujudkan pariwisata sebagai pendukung peningkatan ekonomi masy

Gambar 2: Hubungan Isu Strategis dengan Reformasi

Strategi kedua, melakukan reformasi institusional melalui revitaalisasi pokja PUG bidang pariwisata, pembentukan gender focal point bidang pariwisata dan melakukan capacity building serta bimbingan teknis terhadap Lembaga Driver PUG. Reformasi institusional dilakukan melalui pemberdayaan lembaga driver pengarusutamaan gender dalam mendorong, memfasilitasi, melaksanakan dan mengevaluasi komitmen lembaga pemerintah di tingkat lokal dalam menggenderkan pembangunan pariwisata serta pengembangan kolaborasi antara lembaga driver dengan PT dan LSM dalam menggenderkan pariwisata ramah lingkungan; Pemberdayaan lembaga driver bisa dilakukan melalui capacity building maupun bimbingan teknis PUG bidang pariwisata. Selain itu, perlu dikembangkan collaborative governance antara

Kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan pariwisata

ISU STRATEGIS

Reformasi Kebijakan: Dekonstruksi Visi, Misi,

Strategi pembangunan Pariwisata Pro gender

IKU Pembangunan Parwisata

Pro Gender

Reformasi Institusional:

Revitalisasi pokja

Pembentukan Gender Focal Point Capacity building dan bintek PUG

Collaborative governance

Affiirmative Action pada kelembagaan local strategis LMDH

Reformasi Anggaran:

Gender budgeting pada program

pembangunan pariwisata

Gender budgeting pada program khusus pemberdayaan perempuan dalam pembangunan pariwisata

Belum ada sinkronisasi dan operasionalisasi kebijakan Belum ada sensitivitas gender

Lemahnya kapasitas kelembagaan struktural dan fungsional

 Tidak adanya representasi perempuan dalam kelembagaan lokal strategis

(12)

37 pemerintah, swasta, LSM dan PT dalam engendering pembangunan pariwisata. Dalam collaborative governance ini, pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif dan bersifat formal, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah serta bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan atau mengelola program kebijakan/ program/ kegiatan pembangunan pariwisata. Kriteria penting dari collaborative governance ini mencakup: (1) forum diprakarsai oleh instansi publik, (2) peserta forum termasuk aktor non-negara, (3) peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya '' berkonsultasi '' dengan lembaga-lembaga publik, (4) forum secara resmi terorganisir dan bertemu secara kolektif, (5) forum bertujuan untuk membuat keputusan berdasarkan konsensus, dan (6) fokus kerjasama adalah kebijakan umum atau manajemen publik terkait pembangunan pariwisata responsif gender. Untuk itu, dengan mengacu kepada pendapat Ansell & Alison Gash (2007), collaborative governance memerlukan para pemimpin yang memiliki sejumlah ketrampilan/ skill tertentu seperti: kemampuan memfasilitasi pertemuan, mengusulkan dan mengontrol diskusi, mengorganisasi ide-ide, menengahi dan mengurangi konflik, mempertahankan agar partisipan tetap terinformasi dan terlibat, menjaga agar diskusi tetap relevan, mendorong kemajuan kolektif menuju ke sebuah resolusi masalah.

Pada akhirnya, reformasi institusional perlu dilakukan dengan memberikan representasi perempuan minimal 30% sebagai pengurus LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) sehingga mereka bisa terlibat dalam pengambilan keputusan pada pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Dengan representasi minimal ini maka (1) perempuan benar-benar terlibat secara aktif di dalam pengambilan keputusan mengenai pembangunan pariwisata ramah lingkungan di semua tingkatan; (2) ada kepedulian untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan pariwisata ramah lingkungan; dan (3) memperkokoh atau membentuk mekanisme pada tingkat daerah dalam menilai dampak pembangunan dan kebijakan-kebijakan pariwisata ramah lingkungan terhadap perempuan.

Strategi ketiga adalah reformasi anggaran, berupa integrasi gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Anggaran pemerintah merupakan instrumen yang cukup efektif dalam menjamin upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Reformasi anggaran dilakukan dengan memasukkan perspektif gender sebagai indikator output dan outcome dari kegiatan dan program pembangunan pariwisata ramah lingkungan. Anggaran pemerintah merupakan mediator penting dari ketidaksetaraan gender. Cara pemerintah menaikkan dan menghabiskan uang memiliki potensi untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi dalam pembangunan pariwisata. Anggaran responsif gender akan menjamin sensitivitas gender dalam pengeluaran anggaran publik.

Kesimpulan

(13)

38 Ucapan terima kasih

Terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Kompetensi Tahun 2014 (tahun ke-1) berdasarkan perjanjian kerjasama Nomor 6560/UN27.16/PN/ 2014 dan Hibah Kompetensi Tahun 2015 (tahun ke-2).

Daftar Pustaka

African Development Bank Group. 2009. Checklist For Gender Mainstreaming In Governance Programmes.

Ansell, Chris dan Alison Gash. 2007. Collaborative Governance in Theory and Practice. Published by Oxford University Press on behalf of the Journal of Public Administration Researchand Theory ( JPART) 18:543571.

Beijing Declaration and Platform for Actiondalam http://www.lbh-apik.or.id/fac-25.htm.

             Gender, Work and Organization Journal. Vol. 20. N0. 4.

Clements, S., 2007, A Resource guide for Sustainable Tourism, Down East Resource Conservation and Development Council: Sea Grant Publication.

           . The Journal of Arts Management, Law, And Society, 43: 98105, Farsari, Yianna & Poulicos Prastacos, tt, Sustainable tourism indicator for mediterranian

established destinations, Greece: Foundation for the research and the Technology Hellas (FORTH).

Ghimire, Safal & Bis-friendly

The Journal for Tourism and Peace Research, 2011: 2 (1), pp 55-69.

     Evaluation:

. Indiana Journal of Gender Studies 19 (2), 321-340. Havet, Ines, Franka Braun and Birgit Gocht. 2007. Gender Mainstreaming: Key Driver of

Development in Environment & Energy, Training Manual UNDP. USA: UNDP.

Holzer, Marc dan Kathe Callahan. 1998. Government at Work: Best Practices and Model Programs. London: sage Publications.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

              International Institute for Environment and Development (IIED) Vol. 26 (1). 147-165.

Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti, Sri Marwanti dan Rara Sugiyarti. 2014. Reformasi Kebijakan Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengembangan Pariwisata Berwawasan Lingkungan Hidup di Kawasan Gunung Lawu. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. (Laporan Penelitian-Un published)

Oxaal, Zoë & Sally Baden. 1997. Gender and empowerment: definitions, approaches and implications for policy: Briefing prepared for the Swedish International Development Cooperation Agency (Sida). Institute of Development Studies, Brighton.

(14)

39 Paynes, 2009. Human Resourcess Management for Public and Non Profit Organizations.

San Francisco: Jossey Bass.

Rahardjo, Yulfita (ed). 2005. Engendering Development: Pembangunan Berperspektif Gender. Jakarta: Dian Rakyat.

Rencana Strategis BLH Tahun 2009-2013.

RPJMD Kabupaten Karanganyar tahun 2008-2013

Rencana Strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar Tahun 2013  2018 Rencana Strategis BP3AKB Tahun 2013-2018

         -Timber

Development in Practice Journal, 8:4, 439-453. Surat Edaran Bersama empat Kementerian, yaitu Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tentang Strategi Nasional Percepatan Pengarusutamaan Gender melalui Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).

Tucker, Hazel and Brenda Boonabaana  A critical analysis of tourism, gender and poverty reductionJournal of Sustainable Tourism Vol. 20, No. 3, 437455.

UNDP, 2014. Human Development Report. Diakses melalui htpp://hdr.undp.org/en/data pada tanggal 12 April 2015

UNFPA, KPPA, BKKBN. 2004. Bunga Rampai Panduan dan Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: UNFPA, KPPA dan BKKBN.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

World Bank. 2002. Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook.

          

Gambar

Tabel 1:  HDI, GDI dan GII di Negara-Negara ASEAN Tahun 2013 Negara (2)
Gambar 1: Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan.
Gambar 1:  Sinkronisasi dan Operasionalisasi Visi dan Misi
Tabel 2:  Integrasi Gender Pada Pembangunan Pariwisata Ramah Lingkungan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu pemanfaatan pelepah pisang adalah dengan menjadikannya sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas karena pele- getahui jumlah konsentrasi larutan pemasak yang

Dapat dilihat pada Tabel 1.3 bahwa proporsi cacat untuk produk Salisil Talk Wangi pada bulan Agustus 2016 sampai bulan Juni 2017 melebihi dari batas standar yang telah

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa masalah conduct anak remaja, khususnya remaja SMAN 2 Rangkasbitung dimasa COVID-19 ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif berupa deskripsi dari hasil survei primer yang dilakukan pada pihak bank dan nasabah yang digunakan

Penelitian (Rofiki, Topowijono, & Nurlaily, 2018); (Dewi, Wahyuni, & D, 2017) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan Abnormal Return dan Trading Volume

Dari data yang dikumpulkan selama masa penelitian disimpulkan bahwa cacat dominan yang sering terjadi dengan nilai RPN tertinggi disebabkan antara lain karena beberapa faktor

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perfeksionisme maladaptif adalah keyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna dengan tuntutan dan standar tinggi

Fasyankes yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk