• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI (Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani) HERU PURWANDARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI (Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani) HERU PURWANDARI"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI

(Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani)

HERU PURWANDARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2006

Heru Purwandari NIM: A152030071

(3)

ABSTRAK

HERU PURWANDARI. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Dibawah bimbingan LALA M. KOLOPAKING, sebagai ketua komisi dan FREDIAN TONNY sebagai anggota.

Terbentuknya organisasi petani seringkali merupakan wujud respon petani terhadap kondisi ekonomi, sosial dan politik yang dihadapi. Disadari bahwa pilihan paradigma pembangunan sebuah rezim pemerintah pada faktanya turut menyumbang hambatan struktural pengorganisasian petani di tingkat komunitas. Namun demikian adakalanya muncul organisasi petani yang tetap bertahan dalam tekanan struktural yang ada. Respon atas masalah tersebut dikembangkan melalui pengorganisasian dengan menerapkan karakter organisasi yang unik sesuai dengan konteks sosio -ekonomi dan politik dan karakter pemerintah. Untuk memahami karakter organisasi petani dan strategi yang dikembangkan dalam menghadapi permasalahan sosial, ekonomi dan politik diperlukan rumusan pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian diarahkan pada pertama, bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk; kedua , karakter pengorganisasian petani; dan ketiga, karakter perlawanan petani.

Tujuan studi ini adalah memahami perkembangan gerakan rakyat yang diartikulasikan melalui pembentukan organisasi. Konteks gerakan sosial tampak menonjol dalam penelitian ini. Melalui gambaran tersebut, dapat dipahami proses dinamika petani pada komunitasnya ketika dihadapkan pada kepentingan supra lokal, bahkan kepentingan global. Pemahaman karakter organisasi petani menjadi dasar menganalisis karakter perlawanan petani dalam merespon situasi/permasalahan yang ada.

Gambaran realitas sosial dianalisis dengan menggunakan teori kritis dalam ranah interpretatif-kritis. Dalam paradigma kritis, pilihan ini merupakan pilihan metodologis. Dengan dukungan teoritis, secara kritis realitas sosial ditarik pada satu kesimpulan yang berupaya memahami makna dibalik realitas/fenomena sosial. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data.

Petani sebagai entitas sosial dihadapkan pada tekanan struktural yang menghambat gerakan transformasi sosial. Ketertindasan petani yang dialami dalam bidang sosio -ekonomi dan politik memberikan peluan g terbentuknya organisasi. Kompleksitas masalah yang dihadapi petani dalam fase tertentu sampai pada upaya pengorganisasian petani. Dalam hal ini konteks sosio -ekonomi dan politik bersifat sebagai kendala berorganisasi disatu sisi, dan tampak mendominasi alasan pembentukan organisasi petani disisi lain. Aspek penting pembentukan organisasi terkait erat dengan upaya memperkuat posisi dan kedudukan petani. Menilik permasalahan yang muncul, wajar ketika respon diwujudkan dalam pilihan karakter organisasi. Tidak heran ketika pendekatan yang dikembangkan oleh organisasi petani adalah strategi pengembangan komunitas (CD). Permasalahan petani yang lebih banyak meliputi permasalahan ekonomi menuntut bentuk organisasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Muatan respon atas pola relasi yang eksploitatif harus dikompromikan dengan kebutuhan yang bersifat praktis. Ciri organisasi produksi yang lebih

(4)

Production-center development telah menjadi paradigma pembangunan selama 30 tahun terakhir. Kritik terhadap paradigma di atas lahir dalam bentuk pendekatan CD. Sayangnya CD menciptakan ketergantungan pada struktur elit dan program, adanya dominasi elit serta upaya mengintegrasikan petani menuju kapitalis yang tinggi. Disamping itu, CD bersifat mempertahankan kestabilan komunitas dan menghindari adanya perubahan sosial dan gerakan sosial. Melihat kenyataan demikian, organisasi petani yang dijadikan studi kasus mengembangkan paradigma baru pengembangan komunitas yang lebih berparadigma people-center development. Upaya ini dilakukan dengan cara membangun kemandirian dan kedaulatan pet ani. Dalam prakteknya, pilihan paradigma people -center development dilakukan dengan strategi community development. Perbedaan CD awal dengan CD sebagai strategi yang mengarah pada people-center development terletak pada dampak yang dihasilkan. CD sebagai strategi tidak menciptakan ketergantungan melainkan berupaya memperjuangkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang ada.

Gambaran di atas sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa petani berupaya mencari cara-cara tertentu untuk dapat mencapai tujuan organisasi. Perlawanan terhadap paradigma yang berkembang dilakukan dengan menggunakan taktik tersamar. Perlawanan tersamar ini mengindikasikan strategi terselubung yang digunakan petani untuk mencapai agenda organisasi. Perlawanan tersamar merupakan model gabungan antara mempertahankan kemapanan sosial dan upaya melakukan dekonstruksi sosial. Melawan dilakukan di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil mendefinisikan kembali slogan tersebut kedalam pengertian paradigma yang lebih berorientasi pada people-center oriented

Key words: Perlawanan Tersamar, Gerakan Sosial Petani, Organisasi Petani, People-Center Oriented

(5)

ABSTRACT

HERU PURWANDARI. A Disguised Resistence of Farmer Organization: Understanding Farmer Social Movement. Under the advisory of: LALA M. KOLOPAKING, as the head of commision and FREDIAN TONNY, as a member.

The establishment of farmer organization usually represents farmer’s response to the economic, social and politic al condition they faced. It is known that the government regime’s development paradigm, in fact, contributes to set a structural barrier in organizing the farmers at a community level. However, sometimes there are farmer organizations that still exist amidst the structural pressures. The response to that problem is developed through organizing, by applying a unique organization character that conforms to socio-economic and political context of the state. In order to understand such character as well as the strategy of farmer organization, a research question is needed. The research question is directed to; first how, why and in what condition that the farmer organization is established; second farmer organization character; and third farmer resistance character.

The aim of th is study is to understand the development of people movement that is articulated trough the formation of organization. Social movement context is clearly emphasized in this research. From such description, it can be understood farmer dynamics in their community when they are faced supra local interest or even global interest. An understanding toward farmer organization character serves as a basis in analy zing the character of farmer’s resistance in response to the situation/problems.

The social reality is analyzed using critical theory in the interpretative-critical domain . In the interpretative-critical paradigm, this choice is a methodological choice. With this theoretical support, social reality is concluded within an effort to understand the meaning behind the social reality or social phenomenon itself. Data is analyzed using three-way activity, i.e.: data reduction, presentation, and conclusion or data verification.

Farmer as a social entity is faced to a structural pressure that obstructs the social transformation movement. Farmer oppression in the socio economic and politic al condition gives an opportunity to form an organization. The complex ity of farmers’ problems –at a certain level- is reaching a stage where farmer organizing is needed. In that case, socio economic and politic al context hindered the organizing effort in one side, but on the other side it also dominated the reason of the farmer’s organization formation. The important aspect of the organization formation is the effort to strengthen farmers’ position and status. Referring to the problems, it is only natural that the farmers’ response is manifested in the choice of organization’s character. Therefore, it is no wonder that the farmer is approaching with a community development (CD) strategy. Farmer problem that mostly is economic one, demand a form of organization that is able to accommodate such need. A respond to exploitative relation is loaded with a compromise to practical needs. The character of production organization that is directed to the production center orientation is a response to the real problems.

(6)

for the last 30 years. A critique toward this paradigm is community development (CD) approach. Unfortunately, CD creates dependency to the elite structure and program, elite domination and effort to integrate farmer to high capitalistic condition. Besides that problem, CD maintains community stability and avoid s social change and movement. Looking to this fact, farmer organization that became a case study develops a new paradigm for the community development, which more adhere to the people center development. This effort is manifested by establishing a self govern, farmer authority. In practic e, the choice of people center development paradigm is manifested in community development strategy. The difference between the earlier CD with the CD as the strategy that oriented to the people center development lies on the result. CD as the strategy is not resulting dependency, but achieving an access and control to the resources.

The explanation above intents to show that farmer is achieving certain ways to reach organization goals. A resistance to a dominating paradigm is done through a hidden tactic. This disguised resistance indicates a hidden strategy that is used by the farmers to reach organization agenda. The disguised resistance is a model of alliance between maintaining social existence and the effort to a social deconstruction. Resistance has been done under the government development propaganda while doing the redefinition of the propaganda into a more oriented people center paradigm.

Key words: Disguised Resistance, Farmer Social Movement, Farmer Organization, People-Center Oriented

(7)

PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI

(Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani)

HERU PURWANDARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(8)

NIM : A152030071 Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. Ir. Fredian Tonny, MS.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. MT. Felix Sitorus, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bantul, 24 Mei 1979 sebagai putri pertama dari keluarga Bapak Ngadiman dan Ibu Muji Kartini. Kehidupan penulis semasa kecil dihabiskan di Bogor bersama orang tua dan tiga orang adik. Pendidikan sarjana ditempuh pada program studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Ju rusan Sosial Ekonomi Pertanian - IPB dan tamat pada tahun 2000. Atas dukungan Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB), pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan magister sains pada program studi Sosiologi Pedesaan dan di semester ke-3 memperoleh beasiswa BPPS dari DIKTI.

Ketertarikan penulis pada dunia riset mengantarkannya pada aktivitas penelitian. Persinggungan dengan kerja riset telah dimulai sejak penulis masih berada di bangku kuliah. Sejak tahun 2002 penulis tercatat sebagai peneliti pada Pusat Kajian Agraria-IPB dan telah melakukan penelitian yang terkait dengan tema-tema agraria. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan diantaranya adalah Analisis Kebijakan Pertanahan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Pengkajian Pemberdayaan Ketahanan Pangan Masyarakat, Negotiating Land Rights and Natural Resource Regulations for Local People:The Role & Effectiveness of Federations, The Importance of Agrarian Issues in Addresing the Climate Change: The Case Study of Peat Land Rehabilitation in Jambi, dan lain-lain.

Keinginan selalu memperbarui ilmu pengetahuan membawa penulis pada kegiatan mengajar dan asisten pada beberapa mata kuliah. Semasa tingkat ke dua kuliah S1 penulis menjadi asisten Sosiologi Umum selama dua semester. Kemudian pada tahun 2002-2005 mengajar mata kuliah Ekologi Pertanian dan Kepemimpinan dalam Bisnis pada program D3 Sosek -Pertanian serta Sosiologi Agraria pada program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM).

Perkenalan dengan dunia gerakan dimulai ketika penulis melakukan penelitian panjang tentang organisasi petani bersama PKA-IPB dan sejak saat itu memfokuskan perhatian pada gerakan sosial masyarakat petani dalam kerangka agenda pembaruan desa dan agraria. Harapan kedepan tentang agen da pembaruan adalah memberikan kerja yang bermakna sebagai sumbangsih bagi tercapainya transformasi sosial. Semoga penulis mampu mengabdikan diri sebagai seorang intelektual organik.

(10)

Hanya karena ijin Allah SWT tesis ini selesai pada waktunya. Alhamdulillahirobbil’alamiin. Tesis ini mengambil tema gerakan petani dengan judul Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Disadari oleh penulis bahwa tesis ini diselesaikan dalam masa-masa paling sulit kehidupan penulis. Hanya kesabaran yang menjadi kunci selesainya tesis ini. Terimakasih disampaikan kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis hingga sampai pada tahap akhir penulisan tesis. Dr Lala M. Kolopaking atas kepercayaan serta arahan bagi perbaikan dan penyempurnaan kerangka analisis dan Ir. Fredian Tonny, MS atas diskusi-diskusi yang selalu baru dan berarti dalam pengembangan tesis.

Terimakasih juga disampaikan kepada Pusat Kajian Agraria (PKA-IPB) yang memberi kesempatan penulis untuk terlibat dalam penelitian organisasi petani sekaligus dukungan ketersediaan dana penelitian lapang. Kerja keras ini tidak akan terwujud tanpa motivasi dan dorongan pihak -pihak yang memiliki ketertarikan terhadap isu gerakan petani dimana masing-masing menyumbang hal yang berbeda bagi tesis ini, diantaranya adalah:

1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc sebagai dosen penguji. Terimakasih atas kesediaan waktu dan masukan yang sangat berharga bagi kesempurnaan tesis 2. Dr. Satyawan Sunito atas diskusi intensif yang selalu membuka wawasan

penulis melihat sisi lain dari gerakan petani di Indonesia

3. Peneliti senior dan yunior di Pusat Kajian Agraria-IPB atas pengalaman yang berharga dalam mengembangkan sebuah penelitian, juga Pak Januar atas dukungan teknisnya

4. Rekan SPD-IPB angkatan 2003 atas kebersamaan sepanjang perkuliahan (Rokhani, Taya Toru, Witrianto, Jean, Purnomo, Jeter, Rita, Agustina, Pardamean, dan Sofyan)

5. Kawan-kawan di Salatiga, petani maupun aktivis organisasi

6. Kawan-kawan LAPERA (Mas Himawan, Kang Tukir, Ilyus, dll) atas dukungannya

Dari sudut hati yang paling dalam, dengan penuh cinta kasih penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua atas dukungan moril, pengorb anan, dan pengertian atas keterlambatan tesis ini serta adik -adikku (Lisa, Alit, Wahyu) yang selalu membuat penulis merasa berarti. Juga Mas Adi dan keluarga, terimakasih untuk pengertiannya.

Semoga tesis ini berguna bagi kerja pembaruan.

Bogor, Januari 2006

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ...xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 5 Tujuan Penelitian ... 5 Kegunaan Penelitian ... 5 TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka ... 7

Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas ... 7

Gerakan Sosial: Sejarah, Perkembangan dan Mekanisme ... 10

Perlawanan Petani ... 16

Organisasi Petani: Respon Petani atas Kondisi Sosio -Ekonomi Politik ... 21

Hipotesis Pengarah ... 32

Kerangka Pemikiran ... 33

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitia n ... 36

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

Unit Analisis dan Teknik Penentuan Subyek Penelitian ... 38

Teknik Pengambilan Data ... 39

Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 41

Sistematika Penulisan ... 42

KENDALA STRUKTURAL PETANI DALAM BERORGANISASI Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Kendala Berorganisasi... 46

Perjalanan Era Politik Soeharto hingga Neoliberalisme ... 48

Kebijakan dalam Konteks Global ... 54

Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Peluang Berorganisasi ... 56

Faktor Religi dan Kemunculan Sikap Progresif ... 58

Era Politik Reformasi Hingga Politik Kerakyatan ... 60

Konteks Ekonomi dan Politik Melahirk an Pilihan Bentuk Organisasi ... 62

SPPQT Sebagai Organisasi Produksi dengan Ciri Production-Center Development ... 66

Apa dan Mengapa Organisasi Produksi ... 67

(12)

xi KARAKTERISTIK ORGANISASI PRODUKSI

SPPQT Sebagai Organisasi Rakyat ... 76

Selayang Pandang Organisasi Petani “SPPQT” ... 77

Kajian Embrio Organisasi ... 81

Pola Pengorganisasian yang Dikembangkan ... 83

Keterkaitan Antar Aras Organisasi ... 88

Kegiatan Organisasi ... 91

Pilihan Kegiatan Sebagai Upaya Mencapai Tujuan ... 92

Penguatan Kapasitas Organisasi: Pertarungan antar Orientasi Kepentingan ... 98

Jaringan Antar Aktor ... 101

Ikhtisar ... 104

PEOPLE-CENTER ORIENTED: PILIHAN GERAKAN Mainstream Umum Paradigma Pembangunan Pertanian ... 108

Production-Center Oriented dan Dampaknya ... 110

Strategi Organisasi Petani ... 112

Adopsi Atas Production-Center Oriented ... 114

Momentum Strategi Community Development ... 116

Community Development untuk Kemandirian ... 118

Dari Production ke People-Center Oriented ... 119

Production dan People-Center Oriented : Sebuah Perbandingan ... 120

Ikhtisar ... 124

PERLAWANAN TERSAMAR ORGANISASI PETANI Gerakan Transformasi Petani... 127

Mempertanyakan Secara Kritis Paradigma Pembangunan Pertanian ... 132

People-Center Oriented Sebagai Agenda Utama Organisasi ... 133

Agenda Besar Organisasi: Gerakan dan Mekanisme Pencapaian ... 136

Organisasi Petani Sebagai Perlawanan Petani ... 138

Tipe Musuh dan Pilihan Model Perlawanan ... 139

Karakter Perlawanan Model People-Center Oriented ... 141

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan ... 146

Implikasi Kebijakan ... 149

DAFTAR PUSTAKA ... 151

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matriks Tipe Gerakan Sosial ... 14

2. Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran Neo-Marxian Perancis ... 16

3. Perbedaan Ciri Organisasi Anggota Serikat Sebelum dan Sesudah Tahun 1998 ... 75

4. Pilihan Penelusuran Paguyuban dan Kelompok Petani ... 77

5. Sebaran Anggota SPPQT Berdasarkan Kawasan ... 86

6. Perbedaan Ciri Organisasi Tiap Aras ... 89

(14)

Halaman

1. Matriks Kebutuhan Data ... 156

2. Panduan Pertanyaan Wawancara Paguyuban ... 157

3. Kuesioner Terbuka ... 159

4. Peta Lokasi SPP QT di Salatiga, Jawa Tengah ... 162

5. Peta Persebaran Anggota Organisasi Petani ... 163

6. Kerangka Kerja SPPQT Sampai Tahun 2004 ... 164

7. Kegiatan SPPQT per Divisi dan Capaian Target Tahun 2004 ... 168

8. Partisipasi dalam Teori dan Praktek Pembangunan ... 176

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah ... 34

2. Tahapan Proses Pembentukan dan Pilihan Strategi Pendekatan ... 65

3. Alur Perkembangan Embrio SPPQT ... 83

4. Perkembangan Sejarah SPPQT ... 105

5. Revolusi Hijau dalam Kerangka Paradigma Developmentalisme ... 111

6. Momentum Community Organizing dan Community Development ... 116

7. Pertarungan Paradigma Pembangunan Pertanian dalam Merespon Permasalahan Petani ... 125

(16)

AD Anggaran Dasar

ADB Asian Development Bank

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ART Anggaran Rumah Tangga

Aswaja Ahlussunah wal Jamaah BPD Badan Perwakilan Desa BTI Barisan Tani Indonesia BUMN Badan Usaha Milik Negara CD Community Development CO Community Organization

Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional DPD Dewan Perwakilan Daerah FGD Focus Group Discussion GDP Gross Development Product GNP Gross National Product

GNRHL Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan HAM Hak Asasi Manusia

HGU Hak Guna Usaha

HKTI Himpunan Kerukunan Tani Indonesia IMF International Monetery Fund

IOF Integrated Organic Farming IPB Institut Pertanian Bogor

JSTS Jaringan Studi Transformasi sosial KCK Koperasi Candak Kulak

KK kepala Keluarga

KPA Konsorsium Pembaruan Agraria KTH Kelompok Tani Hutan

KTNA Kelompok Tani Nelayan Andalan KUB Kelompok Usaha Bersama KUD Koperasi Unit Desa LBH Lembaga Bantuan Hukum LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

NADIKA Nadwah Dirosah Islam Kemasyarakatan NGO Non Government Organization

NU Nahdlatul Ulama Perdes Peraturan Desa

(17)

xvi PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

PKA Pusat Kajian Agraria PKI Partai Komunis Indonesia

PKK Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Poktan Kelompok Tani

PPL Petugas Penyuluh Lapang PRA Participatory Rural Appraisal SDA Sumberdaya Alam

SK Surat Keputusan SP Strategic Planning

SPPQT Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah TKI Tenaga Kerja Indonesia

TKW Tenaga Kerja Wanita TNC’s Trans-national Corporations TNMM Taman Nasional Merapi-Merbabu

UU Undang-Undang

UUPA Undang Undang Pokok Agraria WAD Woman And Development WID Woman In Development WTO World Trade Organization YDM Yayasan Desaku Maju

(18)

Latar Belakang

Posisi tawar petani terhadap pemerintah atau swasta akan lebih kuat ketika kelembagaan dibangun di tingkat komunitas. Berangkat dari pernyataan di atas, pengorganisasian petani menjadi sebuah keharusan untuk mengantarkan petani pada posisi yang lebih setara. Kajian historis tentang petani dan organisasi menunjukkan bahwa keduanya tidak dengan mudah dicari keterkaitan analisis. Penelitian memfokuskan pada keterkaitan diantara dua konsep tersebut. Peluang keterhubungan dapat muncul ketika petani menghadapi kondisi yang memicu proses pengorganisasian petani.

Berbagai tulisan yang melukiskan sejarah gerakan sosial pedesaan, khususnya gerakan petani, telah berupaya mencari penjelasan rasional tentang latar belakang munculnya gerakan petani. Mengapa petani pedesaan yang jauh tinggal di wilayah pedalaman dan hidup bersahaja menjadi kelas sosial yang sangat gigih dan tak henti-hentinya melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem kekuasaan (Bahari, 2002). Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Scott (1993) dan Popkin (1986) di pedesaan Asia mengenai gerakan petani di masa kolonial, menunjukkan tiga faktor utama yang menimbulkan kemarahan kaum petani pedesaan, yaitu perubahan struktur agraria, meningkatnya eksploitasi, dan kemerosotan status sosial.

Sebagai respon atas permasalahan struktural, masing-masing komunitas mengembangkan strategi yang berbeda. Perkembangan terbaru menunjukkan salah satu strategi yang dikembangkan adalah pembentukan organisasi petani. Dalam kajian organisasi petani, perbedaan bentuk dan strategi organisasi terkait dengan konteks struktur masyarakat dan permasalahan yang dihadapi. Sisi lain yang perlu dilihat adalah berbagai kebijakan pemerintah dalam hal ekonomi dan politik yang berakibat pada marjinalisasi petan i. Faktor ini dapat menjadi penyebab terbentuknya organisasi petani sebagai respon atas permasalahan struktural. Britt (2003) menyumbang penjelasan bahwa pergerakan kelompok lokal banyak dilatarbelakangi oleh karakteristik struktur masyarakat dan

(19)

2

permasalahan struktural yang terjadi di tingkat komunitas yang kemudian memicu gerakan petani yang terpola sesuai karakteristik masyarakat yang bersangkutan.

Namun demikian, dari penelusuran leb ih lanjut diperoleh fakta bahwa dibentuknya organisasi petani tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi semata. Terdapat faktor lain yang menjadi sesuatu yang penting bagi petani. Hasil penelitian Kartodirdjo (1984) tentang pemberontakan petani Banten menunjukkan bahwa ekonomi bukan satu-satunya pemicu gerakan sosial di kalangan petani. Tulisan tersebut memperlihatkan bahwa perebutan kekuasaan dan perebutan pengaruh atas masyarakat lebih menjadi penyebab gerakan sosial di Banten.

Dengan demikian aspek ekonomi, sosial, dan politik erat mempengaruhi tumbuhnya organisas i. Bahkan dalam beberapa hal tumbuhnya organisasi petani tidak lepas dari tujuan petani dalam mencapai kemandirian atas tiga aspek tersebut. Keterkaitan upaya mencapai kemandirian ekonomi dengan kemandirian dalam hal pengelolaan sumber-sumber agraria dapat ditunjukkan melalui pembentukan organisasi tani. Kemandirian yang ingin dicapai terutama dalam kaitannya dengan perubahan tata cara produksi. Hal tersebut sekaligus digunakan untuk menghindari peran kapitalisme dalam proses produksi pertanian. Dengan demikian, upaya pencapaian kemandirian petani akan terkait dengan proses devolusi dimana peran petani lokal menjadi penting. Di negara berkembang, pengelolaan sumberdaya alam sedang mengalami perubahan dari pengelolaan oleh pemerintah otoritarian menjadi pengelolaan dan pengambilan keputusan oleh masyarakat lokal. Sayangnya, proses tersebut belum diimbangi oleh konsep yang matang tentang kelembagaan yang mendukung proses devolusi. Penjelasan ini mendukung pernyataan bahwa kelembagaan di tingkat petani memainkan peran penting dalam upaya mendukung kemandirian petani dalam berproduksi.

Penelusuran awal menghasilkan gambaran tentang fenomena pengorganisasian petani yang dilakukan secara spesifik, tergantung permasalahan yang dihadapi. Penelitian Pusat Kajian Agraria (PKA -IPB) menunjukkan dua tipe organisasi yang dilatarbelakangi oleh persoalan konflik agraria dan persoalan produksi. Tipe pertama menunjuk pada organisasi yang dibentuk sebagai respon atas terjadinya konflik lahan. Sedangkan tipe kedua memperlihatkan organisasi dengan dasar keinginan meningkatkan produksi dan gerakan pemberdayaan petani

(20)

untuk mencapai kemandirian. Kajian atas dua tipe organisasi di atas dipandang penting terkait dengan keunikan karakteristik organisasi tersebut dan bagaimana strategi masing-masing organisasi dalam mencapai tujuan organisasi yakni menguatkan posisi tawar terhadap stakeholder lain.

Berdasarkan sudut pandang di atas, menjadi penting untuk menelusuri perjalanan panjang kebijakan pemerintah Indonesia. Analisis politik dan kebijakan menunjukkan bahwa selama 32 tahun terakhir, negara menggunakan topdown approach dalam merespon persoalan-persoalan pembangunan, termasuk bidang pertanian. Program pembangunan pertanian yang dikembangkan menghasilkan strategi besar (grand strategy) yang menjauhkan petani dari persoalan nyata. Revolusi hijau, misalnya hanya merespon sebagian kecil masalah petani sehingga mewujud pada upaya melayani kep entingan elit tertentu tanpa melihat konteks permasalahan petani. Kondisi demikian menyebabkan petani harus dihadapkan pada tekanan permasalahan sebagai efek revolusi hijau diantaranya: persoalan ekologis, akses terhadap sumberdaya, kesenjangan, kesetaraan peran laki-laki dan perempuan, dan lain-lain.

Upaya menjawab permasalahan tersebut dilakukan dengan mengembangkan bentuk pendekatan pembangunan yang melibatkan partisipasi petani. Program yang dikembangkan lebih berbasis lokal dimana penanggung jawab program bersama petani menganalisis kebutuhan -kebutuhan petani di tingkat lokal. Konsep yang kemudian muncul adalah pemberdayaan dan partisipasi yang didisain bagi keterlibatan petani. Paradigma ini lebih dikenal sebagai CD dengan ciri bottom up approach.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan pendekatan model CD yang berkembang tidak betul-betul menyentuh akar permasalahan petani. Kajian CD tidak menganalisis lebih lanjut ketergantungan yang dialami petani terhadap faktor luar. Sejauh ini, CD tidak lebih dari upaya mengukuhkan proses integrasi petani kedalam formasi kapitalis. Pernyataan tersebut didukung oleh Hickey dan Mohan bahwa CD masa kolonial maupun post-kolonial dimaksudkan untuk menjaga kestabilan komunitas pedesaan dan digunakan untuk menghambat gerakan petani, dalam upaya mempertahankan hegemoni negara (Hickey &

(21)

4

Mohan, 2005). Implikasi dari tidak tersentuhnya akar persoalan petani1 adalah persoalan tidak pernah diselesaikan dengan tuntas. Hal ini membutuhkan respon tersendiri dari petani. Upaya merespon permasalahan dapat dimulai dengan membangun kemandirian petani. Penelitian ini memaparkan usaha membangun bentuk-bentuk kemandirian petani dalam hal ekonomi, tata cara produksi dan pengelolaan sumber-sumber agraria . Kemandirian tingkat lokal menduduki peran penting terutama jika dikaitkan dengan keinginan menghindari intervensi kapitalis sekaligus memutus relasi kekuasaan dominan.

Perkembangan terbaru menunjukkan respon mulai diwujudkan dalam bentuk organisasi petani. Kemandirian petani dapat didekati melalui pembentukan organisasi sebagai sebuah kelembagaan. Berangkat dari pernyataan di atas, tampaknya pengorganisasian petani dalam berbagai bentuk menjadi sebuah keharusan untuk mengantarkan petani pada posisi yang lebih setara dalam sebuah struktur sosial. Dengan demikian, dalam upaya memperkuat posisi petani, pembentukan organisasi petani menjadi penting d ikaji.

Tipe organisasi yang dibangun merupakan respon terhadap pendekatan pengorganisasian komunitas desa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah menciptakan bangunan organisasi dengan menerapkan prinsip -prinsip topdown yang tidak berpihak pada petani. Disamping itu, organisasi petani dapat dikatakan merupakan perlawanan atas paradigma pembangunan pertanian yang selama ini dipilih pemerintah. Keterhubungan antara permasalahan petani dan pilihan tipe organisasi didekati dengan cara melihat karakter organisasi yang dibangun pada masa reformasi. Secara sengaja, penelitian ini akan difokuskan pada organisasi yang dibangun atas dasar motivasi ekonomi dan produksi untuk memperoleh gambaran karakter perlawanan organisasi tersebut. Menarik mengkaji tipe organisasi produksi yang menggunakan pendekatan CD yang dipahami dalam kerangka perlawanan petani.

1

Selain permasalahan petani tidak tersentuh, pekerja yang berada di bawah paradigma community

development seringkali tidak menganggap sesuatu sebagai masalah. Implikasinya, banyak dimensi

(22)

Rumusan Masalah

Kemunculan organisasi petani dapat menjadi bagian dari kajian teori gerakan petani. Gerakan petani ini tidak selalu dimanifestasikan sebagai organisasi. Berdasarkan latar belakang yang ditangkap di atas, dipandang perlu untuk melihat persoalan benturan sosial dalam kaitan pengembangan organisasi tani.

Pertanyaan umum penelitian dalam hal ini d iarahkan pada bagaimana respon petani atas permasalahan sosio -ekonomi dan politik yang dihadapi sebagai implikasi paradigma pembangunan pertanian. Sedangkan, secara khusus pertanyaan penelitian yang ada sebagai berikut:

1. Bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk sebagai respon atas permasalahan ekonomi dan politik?

2. Karakter pengorganisasian petani bagaimana yang berpeluang memberikan solusi atas permasalahan yang ada?

3. Bagaimana karakter perlawanan petani apabila dikaitkan dengan watak negara dan aktor global?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan studi tentang bentuk-bentuk respon petani atas permasalahan sosio -ekonomi dan politik yang dihadapi. Analisis sejarah dimaksudkan untuk memahami konteks ekonomi dan politik dibalik pembentukan organisasi yang menjadi kendala petani berorganisasi, disamping sebagai pendorong pembentukan organisasi petani. Melalui gambaran tersebut, dapat dipahami proses dinamika petani pada komunitasnya ketika dihadapkan pada kepentingan supra lokal, bahkan kepentingan global. Pemahaman karakter organisasi petani menjadi dasar menganalisis karakter perlawanan petani dalam merespon situasi/permasalahan yang ada.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk memberikan kesadaran tentang masalah-masalah yang muncul dibalik “kesuksesan” pembangunan pada masa orde baru. Bentuk-bentuk pendekatan pemerintah terhadap komunitas ditinjau secara kritis.

(23)

6

Ditinjau dari sisi praxis, penelitian ini menjadi penting untuk melihat sejauh mana organisasi petani memainkan perannya dalam membangun kesejahteraan anggota dan komunitasnya. Dalam konteks pemberdayaan lokal, studi ini memberi warna lain bagi pemegang kebijakan bahwa inisiatif lokal harus dibangun dan diberikan keleluasaan berkembang, sekaligus memberi kontribusi bagi terbentuknya pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan.

(24)

TINJAUAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Petani: Sebuah Entitas Sosial Khas

Sosiologi pedesaan mencoba memberikan pemahaman mengenai unsur-unsur dalam struktur sosial masyarakat pedesaan dengan ciri-ciri spesifiknya yang meliputi ciri sosial, politik, kultural, dan ekonomis. Secara lugas ini berarti bahwa pedesaan dengan ciri geografis dan kultural yang lebih dekat pada ciri pertanian memberikan perhatian yang khusus terhadap posisi petani sehingga dianggap perlu untuk memahami lebih lanjut tentang petani dalam kajian politik pedesaan. Fokus kajian sosiologi pedesaan mencoba memberikan gambaran tentang bagaimana unsur-unsur dalam sebuah struktur sosial memberi andil terhadap gambaran umum petani pedesaan. Hal tersebut dimaksudkan agar gambaran utuh mengenai kondisi yang dialami petani dapat terbaca sehingga tidak menghasilkan penafsiran yang keliru.

Ketika pemahaman tersebut berusaha dimunculkan, maka perhatian pertama diarahkan pada pendefinisian petani sesuai dengan konteks pedesaan Indonesia yang memiliki ciri-ciri khusus baik dari sisi geografis, kultural, ekonomi, politik, dan sebagainya. Beberapa diangkat dari definisi para ahli sosiologi yang menggambarkan bagaimana petani memandang kehidupan serta bagaimana pola-pola relasi yang dikembangkan agar bertahan dalam kehidupannya.

Petani dalam Dimensi Struktur Sosial

Scott (1994) mengemukakan tesis bahwa petani merupakan golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip ‘safety first’ yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian mempengaruhi pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Dalam menjalankan kehidupan ekonominya, petani subsisten akan merasa lebih dekat dengan pola subsistennya jika memiliki sarana subsisten yaitu sawah meskipun dalam jumlah yang terbatas. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon

(25)

8

perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian dimana petani tidak akan betah bekerja di sektor tersebut.

Kondisi demikian beran gkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika dihadapkan pada pertentangan politik. Sikap nrimo tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan keberadaan mereka. Petani kemudian membentuk kekuatan internal antar sesamanya sebagai perekat menghadapi berbagai tantangan. Sistem ekonomi dikembangkan hanya dalam lingkungan intern, misalnya biaya-biaya sosial yang dikeluarkan dalam bentuk hajatan, bantuan untuk tetangga yang kesulitan, dan lain -lain.

Perdebatan tentang pertautan petani dalam relasi antar subyek membawa kembali pada sudut pandang sosiologi. Kajian sosiologis menempatkan petani sebagai bagian dari struktur masyarakat yang lebih bes ar. Sumbangan Scott (1993) tentang relasi sosial yang dibangun petani dengan aktor lain melahirkan prinsip “safety first” untuk menyelamatkan diri dari kekuatan lain.

Kritik Popkin (1986) terhadap Scott menyatakan bahwa petani memiliki apek-aspek rasionalitas untuk menunjang kelangsungan kehidupan mereka. Selama masih ada tingkat-tingkat ekonomi ganda, keinginan untuk maju dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya, dan keinginan untuk menghindari kejatuhan, para petani akan selalu terlibat baik dalam asuransi maupun dalam perjudian yakni investasi yang aman atau penuh resiko. Meskipun secara teoritis paparan Popkin merupakan kritik atas tesis Scott, namun prakteknya, masih terdapat prinsip ‘mencari aman’ yang muncul dalam investasi yang dijalankan dimana petani cenderung akan memilih investasi pribadi untuk kesejahteraan masa depan melalui anak dan tabungan daripada berinvestasi, dan mengandalkan resiprositas dan asuransi masa depan yang berasal dari desa.

Pemaparan tentang definisi petani membawa diskusi pada bagaimana keterkaitan komunitas kecil tersebut dalam keterhubungannya dengan sistem masyarakat lain dalam hal sosial, ekonomi, dan politik. Dari beberapa definisi serta gambaran kondisi petani, ada beberapa benang merah yang dapat menjadi arahan untuk memahami petani secara lebih lanjut terkait dengan sosial, politik, budaya dan juga ekonomi. Pembedaan antara peisan dan farmer menarik dikaji

(26)

dalam konteks Indonesia tanpa melupakan ciri-ciri petani secara umum. Pembedaan tersebut terletak pada beberapa hal diantaranya adalah orientasi produksi; strategi hidup; nilai-nilai hidup yang dianut; sistem ekonomi; integrasi dengan struktur sosial diatasnya baik dalam ekonomi maupun politik; dan pola adaptasi ekologis menghasilkan struktur pertanian yang tidak seragam.

Lain halnya dengan Pearse (1968) yang melahirkan respon aktif petani untuk mempertahankan keterlibatan dengan dunia luar. Keterhubungan petani dengan struktur ekonomi yang lebih besar berimplikasi pada adaptasi yang bermuara pada perubahan karakter petani. Keterlibatan petani dengan kapitalisme mendorong petani melakukan perubahan orientasi ekonomi yang cenderung mengedepankan aspek rasionalitas. Terkait dengan hal tersebut kemudian muncul konsep depeasantisasi dimana petani terintegrasi kedalam sistem ekonomi kapitalis sehingga ada perubahan pola kultural dan struktural.

Pendekatan dimensi perubahan sosial dalam meninjau perkembangan karakter dan orientasi petani dalam tatanan sosial yang lebih kompleks diungkapkan oleh Migdal (1974). Migdal melakukan pendekatan kajian tersebut dari dimensi perubahan sosial. Perubahan sosial dan ekonomi diintegrasikan kedalam teori tentang partisipasi petani dalam politik dan revolusi. Tulisan Migdal memaparkan dengan gamblang karakter dari keterlibatan petani dalam ruang politik. Inisiatif keterlibatan petani dalam arena politik lebih banyak diinisiasi oleh non-petani. Dengan demikian keterlibatan petani dalam arena yang lebih besar belum berasal dari inisiatif lokal.

Gambaran tersebut didukung oleh tulisan Friedmann (1 992) tentang peasant dalam konteks sistem ekonomi global. Tulisan tersebut memudahkan melihat keterkaitan petani dengan sistem ekonomi dunia. Ketika petani terintegrasi dalam ekonomi, pada saat itu ciri-ciri kehidupan petani dalam berbagai segi akan mengad aptasikan diri sedemikian rupa sehingga perubahan -perubahan yang muncul akan terkait dengan sistem ekonomi dan juga budaya. Keterlibatan petani dengan kapitalisme memberikan pengaruh kepada petani terutama dalam hal perubahan orientasi produksi, penyesuaian strategi hidup yang dilakukan serta berubahnya nilai-nilai hidup yang dianut.

(27)

10

Meski secara gamblang dipaparkan perjalanan petani hingga sampai pada keterkaitan dengan sistem ekonomi global, namun petani tetap menjadi entitas yang termarjinalkan. Fenomena demikian sesungguhnya menunjukkan bahwa petani masih berada dalam kerangka kungkungan struktural. Kondisi demikian didefinisikan oleh Soetomo (1997) sebagai kekalahan petani.2 Kesadaran bahwa kemiskinan petani tercipta akibat tekanan struktural mulai menguat sejak konstelasi politik berubah dari represif menjadi terbuka. Periode ini ditandai sejak turunnya Soeharto pada tahun 1998. Iklim reformasi membuka celah terbentuknya organisasi petani dengan dukungan perubahan orientasi yang lebih mengarah pada political community.

Gerakan Sosial: Sejarah, Perkembangan dan Mekanisme

Harper (1989) memahami gerakan sosial sebagai kolektifitas -kolektifitas yang tidak konvensional dengan berbagai tingkatan organisasi yang berusaha mendorong maupun mencegah perubahan. Asal perubahan dikemukakan oleh Sztompka (1994) berasal dari bawah. Sebagai gerakan manifes dari bawah, gerakan sosial ini dicirikan oleh bersatunya orang-orang untuk mengorganisir diri dalam tujuannya membuat perubahan dalam masyarakat. Dalam perubahan sosia l, gerakan sosial bisa menjadi penyebab, efek maupun mediator yang mempengaruhi jalannya perubahan sosial.

Gerakan sosial mencakup komponen bertindak bersama dengan tujuan perubahan pada masyarakat walau dengan derajat organisasi formal yang rendah sebaliknya unsur spontanitasnya amat tinggi atau cenderung non-institusional (Sztompka,1994)3. Dalam kerangka Hayami dan Kikuchi (1987), tindakan kolektif ini diperlukan untuk merubah pranata atau institusi. Namun perubahan

2

Soetomo (1997) mengungkapkan bahwa kekalahan petani disebabkan oleh dua faktor; pertama, faktor alam (natural resource). Dalam hal ini mengemuka sebuah diskusi tentang perbedaan karakter yang tercipta yang muncul akibat perbedaan konteks ekologis, antara dataran tinggi dan dataran rendah. Jika dikaitkan dengan pengorganisasian, jelas terdapat hubungan antara keduanya.

Kedua, faktor struktural. Terbentuknya kemiskinan struktural dipandang sebagai akibat yang

dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: a) petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya; b) pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak diluar petani; c) petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktua l mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior.

3

Dalam hal ini Sztompka berbeda dengan Harper (1989), dimana menurut Harper istilah social

(28)

pranata menurut mereka tidak harus melalui transformasi mendadak dan menyeluruh, melainkan bisa melalui penyesuaian yang terus-menerus. Definisi gerakan sosial menggambarkan bahwa gerakan massa dalam berbagai variasi bentuk mengisyaratkan adanya keinginan perubahan. Hoffer (1988) mengemukakan pentingnya orang-orang yang termarjinalkan dalam mengungkapkan ide perubahan sosial4.

Potret Gerakan Sosial

Kajian Fauzi (2005) tentang gerakan rakyat di beberapa Negara Dunia Ketiga berhasil memotret bentuk-bentuk karakter perlawanan. Perlawanan dimulai dengan konfrontasi terhadap dominasi pemerintah, pengusaha, atau penguasa. Strategi yang dikembangkan adalah mobilisasi rakyat, bahkan kasus Indonesia menunjukkan gerakan rakyat dilakukan dengan cara mengkonstruksi kembali identitas etnis. Buku tersebut memprofilkan dinamika ringkas masing-masing gerakan, terutama dalam 3 (tiga) pokok utama yang membingkai gerakan masing-masing, yakni (i) tafsir atas situasi yang dimusuhi, (ii) kesempatan politik yang memungkinkan para aktor gerakan menetapkan pilihan -pilihan strategis; dan (iii) pilihan jenis aksi kolektif yang diandalkan para pelaku gerakan (Fauzi, 2005: 7-8).

Selain Fauzi (2005), tulisan Fakih (2000) juga mencoba menggambarkan perlawanan terhadap pemerintah dengan melihat keterkaitan antara arus besar model pembangunan dengan tumbuhnya gerakan sosial. Meski kajian keduanya menyandarkan pada kasus LSM - bukan organisasi petani - sebagai sumbangan pemikiran tentunya patut dipertimbangkan. Hanya, perlu merujuk pada kasus organisasi petani yang berpola gerak an rakyat. Fakih menggambarkan bahwa arus besar paradigma developmentalism turut membentuk karakter gerakan sosial (Fakih, 2000). Developmentalism menjadi landasan gerakan sosial. Hanya saja pada era 1970-an gerakan sosial berangkat dari upaya mencari alternatif/metode mengimplementasikan aspek metodologis dan teknis pembangunan tanpa pertanyaan kritik atas dasar filosofis pembangunan itu sendiri. Diskursus gerakan sosial dalam konteks pembangunan diramaikan oleh tulisan Korten (2001) yang

4

Peranan kaum tersingkir dan kaum yang termarjinalkan dapat ditingkatkan terutama karena pemahaman mereka terhadap kekinian dalam pandangan Hoffer sangat kurang sehingga berani menghancurkan tatanan hidup yang telah mapan. Disamping itu, kenyataan bahwa didapati tidak ada/terbatas peluang untuk maju dengan struktur yang ada menambah derajat motivasi gerakan.

(29)

12

menggarisbawahi masalah pembangunan yang dalam perspektif dialektis menunjukkan saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi, dominasi dan penindasan politik. Masih dalam tulisan Korten, gerakan sosial diposisikan dalam upaya perjuangan transformasi yang menyangkut tiga persoalan dasar yakni masalah keadilan, kesinambungan sumber daya alam, dan partisipasi. Dengan demikian gerakan sosial menjadi prasyarat untuk melakukan transformasi hingga mencapai alternatif pembangunan berorientasi rakyat (people-centered development)

Kontinuum Gerakan Petani: Dari Protes ke Mobilisasi ke Organisasi

Hollnsteiner (1979) mengemukakan bahwa organisasi berangkat dari basic needs dan basic interest. Dalam perkembangannya, pola pendekatan gerakan yang dikembangkan akan menyesuaikan dengan kebutuhan yang dirasakan. Ketika analisis pembentukan organisasi berangkat dari dua hal yakni basic needs dan basic interest di atas dikaitkan dengan tulisan tentang ciri petani, tidak salah ketika Dobrowolski (1958 dalam Shanin, 1971) mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk mempertahankan eksistensinya dapat dikaitkan dengan dua hal yaitu: human relationship dan existence of natural environment.

Ciri umum kontinuum perkembangan aksi kolektif petani yang dimulai dari protes -mobilisasi-organisasi merupakan suatu pola adaptasi atas kebutuhan yang ingin dicapai dan kondisi politik pada masa perlawanan. Penelusuran historis menemukan bahwa protes, mobilisasi dan organisasi identik dengan konstelasi politik dalam kurun waktu tertentu yang dicirikan oleh tipe penguasa. Wolf (1985) bahkan menerangkan gerakan-gerakan protes dalam bentuk yang sederhana dikalangan petani seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan lebih samarata dibandingkan dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Mitos-mitos tentang kelahiran kejayaan suatu peradaban menuju pada pembentukan tatanan baru seringkali dapat memobilisasi kaum tani untuk beberapa waktu menimbulkan sebuah huru hara.

Tinjauan atas berbagai literatur menunjukkan respon permasalahan petani diwujudkan dalam tipe perlawanan yang beragam. Dalam terminologi gerakan sosial, organisasi dipandang sebagai stadium lanjut dari aksi protes dan mobilisasi. Gerakan protes sebagai tahap awal perlawanan lahir atas

(30)

ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada. Teori gerakan sosial melihat fenomena ini sebagai respon psikologis atas kondisi tertentu. Perkembangan lanjut garis kontinuum sampai pada upaya mobilisasi petani. Mobilisasi ini dibangun oleh kalangan menengah pada kurun waktu 1980 -an hingga 1990 -an ketika petani mulai dilibatkan dalam aksi. Keterlibatan tersebut menunjukkan satu ciri mobilisasi dimana petani tidak memiliki inisiatif dalam membangun gerakan.

Pada kontinuum akhir, perkembangan gerakan petani bergulir pada pendekatan baru yang melibatkan petani dalam manajemen langsung. Dalam hal ini petani kemudian ditempatkan dalam suatu bentuk organisasi yang lebih tersistematis dengan inisiatif yang berangkat dari orang luar maupun petani itu sendiri. Organisasi petani dalam konteks ini merujuk pada sebuah kondisi dimana sifat perlawanan yang muncul dimanifestasikan dalam bentuknya yang lebih tersistematisasi. Sistematisasi gerakan diperlukan terkait dengan lawan yang mempunyai karakter sistematis. Muara gerakan dalam bentuk organisasi merupakan wujud adaptasi atas kebutuhan yang ingin dicapai dan situasi politik yang dihadapi.

Pemahaman terhadap upaya mobilisasi petani pada kurun waktu tertentu diilhami oleh sebuah dinamika yang muncul di kalangan menengah. Untuk merespon masalah yang dihadapi, pada era ini petani telah tersadarkan namun belum mengambil peran penting dalam manajemen gerakan. Inisiatif tindakan aksi-demonstrasi lebih banyak muncul dari NGO. Tipe organisasi yang berangkat dari sudut pandang kepentingan pemerintah (organisasi lokal maupun nasional bentukan pemerintah) turut memperkuat aspek mobilisasi massa. Era mobilisasi secara teoritis didefinisikan sebagai gerakan radikal yang didukung oleh orang-orang diluar petani.

Mekanisme Gerakan Sosial

Menurut Harper (1989), paling tid ak terdapat empat dimensi yang dapat dipergunakan untuk membedakan macam gerakan sosial. Dimensi pertama, meliputi gerakan umum yang berkembang dari sentimen luas dalam masyarakat, namun tidak terakumulasi serta memiliki tujuan yang tidak jelas dan gerakan spesifik, memiliki tujuan, ideologi dan organisasi yang terfokus. Dimensi kedua, terkait dengan gerakan sosial radikal yang bertujuan menciptakan perubahan

(31)

14

fundamental pada sistem, d ikonfrontasikan dengan reforma yang bertujuan menghasilkan perubahan ringan dalam sistem. Dimensi ketiga, perbedaan gerakan sosial instrumental bertujuan untuk mengubah struktur sementara dan ekspresif bertujuan untuk mengubah karakter dan perilaku individu. Dimensi keempat, gerakan sosial sayap kanan adalah gerakan yang konservatif bertujuan untuk mengembalikan jaman keemasan di masa lalu dan sebaliknya dengan gerakan sosial sayap kiri.

Dimensi kedua dan ketiga tersebut dapat dibuat tipologi gerakan sosial seperti Tabel 1. di bawah ini.

Tabel 1. Matriks Tipe Gerakan Sosial

Dimensi Instrumental Ekspresif

Reforma, permutasi dari pengaturan

sosial yang ada reformatif alternatif

Radikal , perubahan signifikan dari

pengaturan sosial yang ada transformatif redemtif

Sumber: Harper, 1989:128

Dalam pandangan Harper (1989), terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana dan mengapa muncul gerakan sosial dan kondisi apakah yang dapat merangsang gerakan sosial?. Pendekatan pertama adalah penjelasan psikologis, dengan fokus pada karakteristik agregat dari individu-individu yang terlibat dalam gerakan sosial. Model penjelasan ini dibagi menjadi dua, yaitu penjelasan irasionalitas dan rasionalitas partisipan gerakan sosial. Dalam pandangan penjelasan irasionalitas, partisipan gerakan sosial adalah orang-orang yang mencari kompensasi terhadap rasa frustrasi dalam kehidupan mereka. Sedangkan penjelasan psikologis yang lebih kontemporer menyatakan bahwa, keikutsertaan dalam gerakan sosial dilandasi oleh perhitungan rasional keterlibatan partisipan dalam gerakan sosial.

Selanjutnya dalam penjelasan psikologi sosial, munculnya gerakan sosial terkait dengan kondisi-kondisi sosial serta disposisi psikologis. Dua penjelasan paling populer dalam pandangan Harper adalah penjelasan deprivasi relatif5 atau

5

Penjelasan deprivasi relatif ini menjelaskan mengapa orang-orang yang terlibat dalam gerakan sosial bukan berasal dar i mereka yang paling terdeprivasi secara obyektif. Sedangkan dalam teori ketegangan status, motivasi para partisipan dalam gerakan sosial dilandasi oleh ancaman statusnya dalam masyarakat. Status sekelompok orang mulai terancam manakala kelompok yang semula terpinggirkan mulai memperoleh posisi penting dalam masyarakat.Gerakan sosial yang dilandasi oleh ketegangan status merupakan gerakan yang hendak mencegah dan mengembalikan arah sejarah masa lampau yang lebih menguntungkan partisipan

(32)

teori ketegangan status. Penjelasan struktural mengenai gerakan sosial lebih menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial, dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut berkembang. Terdapat tiga pendekatan dalam penjelasan struktural; pertama, penjelasan kaitan perilaku kolektif dan gerakan sosial, yang melahirkan “Value-Added” Theory yang dikembangkan oleh Smelser. Kedua, The Resource Mobilization Perspective. Ketiga, tradisi Marxian yang melahirkan penjelasan aliran Peranc is tentang gerakan sosial yaitu penjelasan Neo -Marxian oleh penulis seperti Alain Touraine dan Manuel Castells.

Berbeda dengan penjelasan perilaku kolektif (Social Movement and Collective Behavior) yang menyatakan bahwa gerakan sosial berasal dari perilaku massa yang spontan, pendekatan struktural berkeyakinan bahwa gerakan sosial merupakan kelanjutan dari organisasi-organisasi yang berupaya untuk memproduksi reforma sosial dan berupaya untuk memperoleh pengaruh terhadap struktur masyarakat yang telah mapan. Kritik terhadap pemikiran di atas dikemukakan oleh aliran pemikiran neo-Marxian Perancis6.

Merujuk pandangan bahwa organisasi petani merupakan sebuah upaya memperkuat basis sebagai jawaban atas hegemoni pusat, organisasi berbasis lokal kemudian menjadi respon atas pola pendekatan pemerintah dan implikasi yang ditimbulkannya. Organisasi petani juga menjadi wadah aspirasi mensikapi permasalahan struktural yang muncul di tingkat petani. Harper (1989) meninjau gerakan sosial demikian dengan menggunakan pendek atan struktural yang menekankan upaya-upaya untuk menjelaskan perkembangan gerakan sosial dihubungkan dengan struktur yang lebih luas dimana gerakan tersebut berkembang. Pendekatan struktural menyarankan perlunya aspek ekonomi, politik dan ideologi dalam memandang fenomena dalam masyarakat.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Hannigan dalam Harper (1989), terdapat dua dimensi yang membentuk karakter gerakan sosial, yaitu: (1) derajat kesadaran

6

Dalam pemikiran Neo-Marxian Perancis, dengan tokoh Touraine dan Castells, berargumen bahwa konsepsi Marx tentang basis dan superstruktur tidak memadai lagi untuk menjelaskan keadaan masyarakat industri maju. Mereka kemudian mengusulkan bahwa masyarakat harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat, yaitu ekonomi, politik dan

ideologi, dimana kontradiksi berkembang di dalam maupun antar level. Dalam pandangan pemikir

Neo-Marxian, gerakan sosial dapat tumbuh dari protes-protes moral yang spontan sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur-struktur yang telah mapan. Yang membuat pemikiran Neo-Marxian Perancis ini lebih dekat dengan penjelasan perilaku kolektif adalah penekanannya pada asal gerakan sosial yang non institusional.

(33)

16

bahwa diperlukan perubahan anti-institusional, dan (2) derajat tumbuhnya kesadaran akan identitas kelompok diantara partisipan. Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, Hannigan membuat sebuah matriks tentang tipe gerakan sosial seperti terlihat pada Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 2. Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran Neo -Marxian Perancis

Kesadaran Identitas Kelompok

Tinggi Rendah

Tinggi Gerakan Pembebasan

Sosial Gerakan Revolusioner

Kesadaran Anti- Institusional

Rendah Gerakan Kultural Gerakan reforma

profesional Sumber: Harper, 1989:141

Perlawanan Petani

Dalam konteks sosiologi agraria, struktur agraria dipahami sebagai pola hubungan antar subyek agraria dan antara subyek agraria dengan obyek agraria (Sitorus, 2002). Relasi agraria yang muncul melibatkan tiga aktor yakni pemerintah, komunitas, dan swasta yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria (SSA). Salah satu faktor yang menimbulkan “kemarahan” petani yakni perubahan struktur agraria yang lebih disebabkan karena pengelolaan agraria cenderung berubah dari pengelolaan subsisten/primitif menuju sistem pengelolaan yang berorientasi kapitalis. Perubahan tersebut berimplikasi pada pola-pola pengelolaan agraria yang dilakukan oleh para pengguna agraria atau subyek agraria. Dalam hubungan agraria, subyek agraria yang dimaksud dikenakan pada tiga stakeholders yaitu: komunitas, pemerintah dan swasta. Hubungan ketiga subyek dengan sumber agraria memunculkan suatu pola hubungan produksi yang bentuk dan derajat eksploitasinya terhadap komunitas tergantung dari tingkat dominasi dari salah satu stakeholder. Hubungan demikian menghasilkan berbagai model pemanfaatan agraria yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing subyek agraria.

Pada berbagai komunitas, petani selalu dihadapkan pada permasalahan -permasalahan struktural yang menggiring petani pada benturan dengan aktor-aktor eksternal. Komunitas yang akan dikaji adalah komunitas masyarakat lahan kering

(34)

yang tinggal di lahan upland dengan ciri permasalahan struktural yang sama. Petani di kawasan Salatiga menghadapi persoalan struktural terutama ketika petani mengalami masalah dengan pasar atau ketergantungan terhadap input pertanian yang harganya makin tinggi.

Sebagai upaya menghadapi permasalahan struktural, petani mengembangkan pengorganisasian terkait dengan tipe permasalahan yang akan direspon. Mengapa respon atas permasalahan struktural menjadi demikian penting? Fakta empiris menunjukkan bahwa permasalahan struktural akan melahirkan kemiskinan yang berangkat dari hubungan petani dengan kelembagaan supra lokal. Dari banyak kasus juga diperoleh fenomena bahwa hubungan agraria yang terbentuk antara petani dan pemerintah/swasta cenderung menciptakan ketergantungan. Sebagai contoh, mengapa di Salatiga muncul organisasi yang berbasis produksi sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi ketergantungan petani terhadap pasar dan harga input-input pertanian yang relatif tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa dimensi hubungan agraria menyumbang peran yang besar terhadap terbentuknya organisasi petani.

State of the Art Gerakan Perlawanan Petani

Berbagai literatur menjelaskan permasalahan yang dihadapi kaum tani seringkali direspon melalui perlawanan kaum tani dalam konteks gerakan sosial. (Suhartono, 1995; Kartodirdjo, 1984; Scott, 1993; Pelzer, 1991). Kajian tersebut berpijak pada teori gerakan sosial yang menempatkan petani sebagai pihak yang melawan ketidakadilan yang terjadi. Suhartono (1995) menggambarkan bentuk-bentuk protes petani melalui gerakan perkecuan atau bandit yang dari sisi masyarakat yang termarjinalkan dianggap sebagai tindakan heroik yang membantu masyarakat. Karakteristik utama pola perlawanan tipe ini adalah kecu bergerak sendiri dan daerah jangkauannya masih bersifat lokal. Secara spasial, skala operasional perbanditan lebih bersifat terbatas dan lokal, dan tidak tampak adanya jaringan (Suhartono, 1995). Alasan dibalik perlawanan petani dikemukakan melalui tulisan Scott (1993) sebagai respon atas tercerabutnya prinsip subsistensi yang selama ini menjadi sandaran kehidupan petani. Hubungan patron-klien yang memudar turut memicu perlawanan petani dan konflik vertikal.

(35)

18

Rangkaian kajian gerakan petani diramaikan oleh tulisan Kartodirdjo (1984) tentang pemberontakan petani di Banten. Berbagai gerakan petani di hampir semua karesidenan di Jawa memperlihatkan karakteristik yang sama. Pemberontakan -pemberontakan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur pendek7. Pada dasarnya, pemberontakan petani mengantarkan pembahasan pada bangkitnya petani melawan tirani kekuasaan yang membelenggu ruang gerak petani. Pemberontakan juga dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang mulai diintervensi oleh nilai-nilai kapitalisme. Dalam konteks agraria, tulisan Pelzer (1991) tentang sengketa antara petani dan perkebunan melahirkan bentuk perlawanan yan g tidak kalah menarik dan turut menyumbang deretan perlawanan kaum tani di masa kolonialisme.

Memasuki era baru, perlawanan petani banyak dipicu oleh ketimpangan struktur agraria yang dihasilkan oleh perbedaan kepentingan para stakeholders terhadap sumber-sumber agraria yang ada. Tindakan represif pemerintah orde baru menyumbang deretan kasus perlawanan petani. Meski literatur dan fakta menunjukkan perlawanan petani pernah menjadi alat yang ampuh dalam melawan pemerintah, namun dalam banyak hal tidak ditemukan sifat perlawanan petani yang terorganisir dengan baik.

Beberapa literatur menunjukkan bahwa kasus perlawanan petani yang muncul menunjukkan bahwa perlawanan petani tidak serta merta terkait dengan pengorganisasian petani. Perlawanan petani hanya sebagai simbol protes terhadap kondisi yang ada tanpa disertai pembentukan organisasi petani sebagai basis massa. Organisasi petani dalam bentuk yang nyata baru muncul pada periode 1952-1959 ketika muncul Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi dengan partai sejenis yaitu pemuda rakyat, SOBSI, Gerwani, Lekra, dan HSI untuk bersama-sama membangun Partai Komunis Indonesia (PKI) (Mortimer,1974). Barisan Tani Indonesia sebagai organisasi petani, seperti halnya organisasi lain

7

Sebagai gerakan so sial, pemberontakan- pemberontakan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Pemberontakan lebih bersifat lokal dan tak mempunyai hubungan satu sama lain. Implikasi atas hal tersebut adalah tidak disusunnya rencana-rencana yang realistis seandainya pemberontakan berhasil. Ketidakmampuan membangun organisasi juga dipengaruhi oleh tidak terciptanya hubungan antara pemimpin agama yang saat itu menjadi pemimpin gerakan petani.

(36)

merupakan alat kepentingan partai yang saat itu sangat diperlukan. Dalam hal ini kegiatan yang ada dalam BTI diarahkan pada kepentingan partai.

Gambaran organisasi petani dilanjutkan pada kurun waktu 1980 -an. Pada masa orde baru, gerakan dan organisasi petani mengalami tantangan yang keras terkait dengan arah politik pemerintah yang bertujuan mempertahankan status quo. Rezim orde baru melakukan pendiktean terhadap partai politik sekaligus melakukan penggembosan terhadap kekuatan dan kemandirian organisasi massa. Aturan tidak tertulis menyatakan bahwa semua organisasi massa harus berada di bawah pengawasan pemerintah. Khusus untuk petani, semua organisasi dipaksa digabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai upaya pemerintah menghegemoni kekuatan petani (Firmansyah, dkk. 1999).

Pertengahan tahun 1980 mulai bangkit gerakan petani yang ditujukan pada perlawanan. Petani mulai berkenalan dengan organisasi mahasiswa dan mulai melakukan kegiatan aksi dan demonstrasi. Ciri gerakan pada masa ini lebih pada kegiatan memobilisasi petani untuk aksi-aksi tertentu yang bersifat insidental dengan tipe kegiatan demonstrasi. Fenomena tersebut berlanjut pada sekitar tahun 1997-an, kondisi politik dan moneter Indonesia turut menyumbang lahirnya pengorganisasian di tingkat petani yang juga dipicu oleh konstelasi politik dan kondisi moneter di Indonesia. Karakteristik organisasi pada era ini masih spontan dan sporadis tanpa pengorganisasian yang jelas. Aksi dan demonstrasi baru dilakukan ketika muncul permasalahan yang dihadapi petani.

Petani mengembangkan perlawanan dalam berbagai bentuk dan sesuai dengan karakternya sebagai petani. Scott (1993) menyatakan bahwa petani dapat melakukan perlawanan sehari-hari atas kekuasaan yang lebih besar. Dilatarbelakangi adanya suatu konsep dasar tentang peningkatan bargaining position ketika dihadapkan pada relasi sosial yang lebih kompleks yang menekan petani, maka perlu ada suatu perlawanan. Definisi Scott tentang perlawanan merujuk pada “perlawanan (resistence) penduduk desa dari kelas yang lebih rendah adalah tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak, penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas -kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang) atau untuk

(37)

20

mengajukan tuntutan -tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan” (Scott, 1993).

Penjelasan definisi tersebut sampai pada pemahaman bahwa 1) tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi bersama. 2) tujuan -tujuan dibentuk kedalam definisi itu. 3) definisi tentang perlawanan yang relatif longgar yang dikemukakan Scott membawa pada pengakuan terhadap bentuk perlawanan simbolis atau ideologis (misalnya gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas.

Berbagai literatur tentang bentuk perlawanan yang dilancarkan petani tentang perlawanan dalam definisi Scott misalnya dikemukakan oleh (Heryanto, 2000) tentang perlawanan dalam kepatuhan sebagai protes petani dalam merespon doktrin ideologi stabilitas kesatuan negara jaman Soeharto, atau tulisan Samandawai (2001) tentang Mikung, sebuah komunitas yang menarik diri dari program-program pembangunan dengan cara mendorong kemandirian di tingkat komunitasnya.

Perdebatan tentang definisi perlawanan ini sampai pada upaya membuat satu garis batas yang jelas antara perlawanan yang bersifat politis dengan perlawanan sehari-hari. Apabila kedua perspektif ini digabungkan, akan tampak sebuah dikotomi antara perlawanan sesungguhnya di satu pihak dan “tanda-tanda kegiatan” yang bersifat insidental, bahkan epifenomenal. Perlawanan yang sesungguhnya, bersifat 1) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif. 2) berprinsip atau tanpa pamrih, 3) mempunyai akibat -akibat revolusioner, dan/atau 4) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Dengan penjelasan di atas, ada kecenderungan untuk menegaskan bahwa perlawanan yang bersifat politis harus diwujudkan dalam bentuk yang lebih sistematis.

Masih dalam buku yang sama, Scott (1993) kemudian memaparkan tanda-tanda sebuah organisasi yang bersifat insidental yaitu: 1) tidak terorganisasi, tidak sistematis dan individual, 2) bersifat untung -untungan dan ‘berpamrih’ (nafsu akan kemudahan), 3) tidak mempunyai akibat -akibat revolusioner, dan/atau 4) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem

(38)

dominasi yang ada. Ciri perlawanan tipe ini ketika dikonfrontasikan dengan tipe perlawanan yang bersifat politis seolah -olah memperlihatkan kenyataan bahwa tipe perlawanan yang bersifat epifenomenal - tipe perlawanan kedua - tidak mempunyai arti apa-apa dalam kerangka gerakan.

Satu alternatif pemikiran kemudian dikemukakan tentang bagaimana memandang bentuk perlawanan yang muncul dari sebuah organisasi yang relatif lebih baik namun tidak dilakukan secara radikal. Organisasi sebagai ciri perlawanan yang bersifat politis (m enurut Scott) masih memerlukan sudut pandang lain ketika secara kontekstual petani yang terlibat dalam persoalan struktural perlu menerapkan strategi lain agar perlawanan yang dikembangkan oleh komunitas yang bersangkutan menjadi tidak tampak. Perlawanan tersembunyi dalam konteks Indonesia menjadi penting terkait dengan doktrin pembangunan yang masih mengedepankan ideologi pembangunan dengan segala doktrin modernis/developmentalis -nya. Dengan kata lain, perlawanan insidental bahkan bersifat epifenomenal dalam terminologi yang dikemukakan Scott, menemukan bentuknya yang lain dalam konteks gerakan di Indonesia.

Organisasi Petani: Respon Petani atas Kondisi Sosio -Ekonomi Politik Organisasi Petani: Konflik dan Produksi sebagai Basis

Dewasa ini konflik pertanahan menjadi isu yang marak menyangkut persoalan akses sumberdaya agraria antar subyek agraria. Konflik tersebut tidak saja dipicu oleh ketimpangan akses tetapi juga karena terusiknya masyarakat petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apa yang dikemukakan Scott tentang perlawanan petani tampaknya menjadi signifikan dalam menerangkan kasus perlawanan petani. Thesis yang diungkapkan oleh Scott menyatakan bahwa ketika batas subsistensi petani dilanggar maka diperkirakan muncul gerakan perlawanan untuk merebut kembali apa yang diambil.

Peningkatan konflik pertanahan dari waktu ke waktu menunjukkan perkembangan data yang cukup signifikan. Data KPA menunjukkan angka 1.920 kasus sengketa tanah yang melibatkan 1.284.557 KK dengan luas tanah yang disengketakan sekitar 10.512.938,41 ha. Berdasarkan fakta dan pertimbangan urgensi masalah tersebut di atas, penyelesaian konflik agraria memungkinkan dibentuknya kelembagaan yang menyangkut perjuangan masyarakat sekitar

(39)

22

perkebunan. Berbagai literatur menunjukkan bahwa petani melakukan pengorganisasian dilatarbelakangi oleh berbagai sebab diantaranya adalah sosial, ekonomi, politik, dan kekuasaan yang cenderung memarjinalkan keberadaan dirinya.

Sebuah fenomena menarik ketika petani yang biasanya sulit diorganisir, pada tahun-tahun 1990-an ‘mendadak’ melakukan upaya-upaya menata diri dalam bentuk organisasi. Selain alasan konstelasi politik yang menguat kearah reformasi - untuk organisasi petani yang berangkat dari kasus tanah - tampaknya transformasi agraria menjadi motivasi utama melakukan pengorganisasian. Transformasi agraria selalu menyangkut perubahan organisasi sosial produksi, yaitu perubahan hubungan sosial didalam proses produksi, misalnya dari hubungan klien-patron menjadi hubungan buruh-majikan. Perubahan demikian menyangkut perubahan didalam sistem dan struktur penguasaan faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Transformasi agraria dapat mengakibatkan petani menjadi termarjinalkan, terdesak ke kawasan yang tidak subur atau miskin sumberdaya. Sebagian besar sumberdayanya jatuh ketangan subyek agraria lain, negara atau melalui negara ke tangan swasta.

Dari tiga tipe struktur agraria (Wiradi, 2000) konteks Indonesia seharusnya mengarah pada tipe populis/neo -populis dimana sumber -sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tangga pengguna. Perjuangan gerakan rakyat untuk sampai pada struktur agraria yang populis mengarahkan pada tindakan pengorganisasian. Kesadaran tumbuhnya organisasi itu disadari maupun tidak merupakan suatu proses panjang menuju terwujudnya reforma agraria dimana konsep tanah untuk penggarap (land to the tiller) benar-benar diperjuangkan dan penghapusan ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan akses petani terhadap lahan. Seperti yang diungkapkan oleh Suhendar (2002) bahwa upaya perwujudan land reform by leverage memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. adanya organisasi petani yang kuat. Land reform by leverage dilakukan atas dorongan dan tekanan organisasi petani. Untuk melakukan tekanan dibutuhkan organisasi petani yang kuat, baik ditingkat lokal tempat kebijakan operasional diputuskan maupun ditingkat nasional.

Gambar

Tabel 2.  Matriks Tipe Gerakan Sosial Menurut Aliran  Neo -Marxian  Perancis
Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah  EKONOMI Pola pertanian konvensio nal menuju pertanian alternatif
Gambar 2. Tahapan Proses Pembentukan dan Pilihan Strategi Pendekatan
Gambar 3. Alur Perkembangan Embrio SPPQT
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini lah yang membuat kami, Yayasan Inspirasi Anak Bangsa melalui Divisi Pendidikan yaitu Diwangkara Insan Nusantara, antusias untuk membuat program kegiatan yang

Saran yang diberikan kepada Perumda BPR X di Sukabumi dalam mengatasi kredit macet yang terjadi dapat dilakukan dengan jalan menerapkan asas manajemen kredit

Pada pengamatan warna diperoleh data yaitu untuk semua bahan mengalami penurunan warna baik yang dibungkus plastik maupun yang tidak dibungkus plastik

Guru meminta siswa secara berkelompok merancang percobaan sesuai dengan LKS dengan alat dan bahan yang sudah disediakan diantaranya adalah: magnet permanen, kawat lurus

Pilar pertama yang tebawah adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk

Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur Negara, perlu dilakukan overhaul besar-besaran pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan sistem penggajian dan jaminan

bahwa Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 04 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah, sebagaimana telah diubah dengan

Jumlah manfaat terutang dan tertanggung yang sebenarnya tidak dijamin dan tergantung pada tingkat imbal hasil yang sebenarnya (tunduk pada tingkat imbal hasil terjamin minimum) pada