• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuransi Kesehatan Nasional (dalam SJSN) Penangkal Kebodohan Bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Asuransi Kesehatan Nasional (dalam SJSN) Penangkal Kebodohan Bangsa"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Asuransi Kesehatan Nasional (dalam SJSN)

Penangkal Kebodohan Bangsa

Hasbullah Thabrany1

Untuk BEM Universitas Indonesia

Abstrak:

Indonesia adalah satu dari sedikit negara berkembang yang mengalami masalah sosial-ekonomi besar karena kekeliruan mendasar dalam kebijakan publik. Empat bidang yang seharusnya menjadi pilar pelayanan pemerintah yaitu kesehatan, pendidikan, hukum/pengadilan, dan keamanan dijadikan komoditas pasar/ ‘diperdagangkan’. Kekeliruan ini telah menimbulkan risiko sosial-ekonomi rakyat (insecurity) menjadi tinggi sehingga masing-masing orang mencari jalannya sendiri-sendiri.Di sector kesehatan, Sistem Kesehatan menjadi Sakit dan rakyat menanggung beban besar bahkan mati karena tidak ada uang, ketika ia sakit. Di Negara maju, jika ada rakyat mati karena penyakitnya tidak diobati, pejabat bisa masuk penjara. Disini, sedikit yang peduli dan tidak bisa berbuat banyak. Inilah gejala menonjol dari Sakitnya Sistem Kesehatan kita. Reformasi kebijakan pengembangan /Asuransi Kesehatan Nasional sudah dirumuskan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 5 tahun lalu, belum juga dijalankan. Mahasiswa bisa menjadi “agent of changes” dalam reformasi kesehatan yang dapat menyelematkan jiwa ribuan anak bangsa setiap tahun. BUkan hanya itu, reformasi yang tepat, akan mencegah anak bangsa yang bodoh dan menjamin anak bangsa mampu bersaing di dunia internasional, satu generasi yang akan datang. Reformasi Sistem Kesehatan harus menjamin agar dalam lima tahun ke depan, seluruh rakyat yang sakit dapat sembuh dan produktif kembali. Gerakan mahasiswa untuk menyehatkan Sistem Kesehatan sangat ditunggu rakyat.

Pendahuluan

Mereka yang sering bepergian ke Negara yang lebih maju dari Indonesia sering bertanya “kapan Indonesia jadi begini”?. Sederhana yang dilihatnya, jalan bagus, lingkungan bersih, polusi tidak ada karena sebagian besar orang naik transpor publik (kereta) yang bersih, manusianya disipilin, dan jika sakit mereka tidak pernah khawatir tidak punya uang. Semua pelayanan kesehatan yang memberatkan kantong perorangan, rawat jalan maupun rawat inap, sudah dijamin Negara. Semua layanan dan lingkungan

1

Guru Besar FKMUI dan Ketua Umum PAMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia)

(2)

sehat dan menyenangkan tersebut adalah tugas utama Pemerintah yang mendapat mandate memimpin jalannya Negara. Ya, itu terjadi di Negara yang Pemerintahnya bertanggung jawab, bersih dari korupsi dan KKN, serta konsisten melayani rakyat. Hasilnya, rakyat sehat produktif dan kompetitif. Kemajuan suatu bangsa, HANYA ditentukan oleh sumber daya manusia, BUKAN sumber daya alam. Tetapi, umumnya pejabat publik kita salah faham, maka yang diprioritaskan dalam pembangunan bukan sumber daya manusia. Paling tidak hal itu tercermin dari anggaran dan mudahnya Pemerintah mengeluarkan anggaran. Pembangunan SDM hanya bertumpu pada dua sector, kesehatan dan pendidikan (termasuk pelatihan).

Dalam bidang kesehatan, kinerja system kesehatan kita buruk. Sistem Kesehatan kita sakit. Belanja kesehatan kita hanya 1,9% Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 1996 naik menjadi 2,2% PDB di tahun 20061 dan diperkirakan tahun 2009 naik sedikit menjadi 2,5%. Belanja sebesar itu kok mau sehat produktif? Sementara di Cina belanja kesehatan naik dari 4,9% PDB di tahun 1999 menjadi 5,6% PDB di tahun 2003, dan di India turun sedikit dari 5,1% 1999 menjadi 4,8% PDB di 2003.2 Yang menarik adalah bahwa pada periode tersebut, Pemerintah China membelanjakan antara 9,7% - 12,5% APBNnya untuk kesehatan dan Pemerintah Filipina menghabiskan 4,9% - 7,1% APBN untuk keseahtan, Sementara Pemerintah Indonesia hanya membelanjakan 3,8% - 5,1% anggaran pemerintah (termasuk APBD) untuk kesehatan (WHO, 2006)3. Sedangkan dari APBN, Indonesia mengeluarkan hanya sekitar 2-3% APBN untuk kesehatan dalam hampir 40 tahun terakhir. Rendahnya belanja kesehatan Indonesia merupakan salah satu indikator rendahnya komitmen pemerintah dan lemahnya kebijakan kesehatan.

Di sisi lain, di rumah sakit publik sekalipun, rakyat yang tidak miskin tidak tahu berapa biaya yang harus dibayarnya sampai ia selesai dirawat. Umumnya rakyat terpaksa bayar, pinjam dari teman atau sanak family, menjual harta benda bahkan menuri untuk membiayai pengobatan. Berbeda dengan di Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka yang seluruh rakyatnya sudah dijamin sejak puluhan tahun lalu. Tidaklah mengherankan, jika akhirnya rakyat mencari pengobatan tradisional atau tidak berobat ke tidak rasional seperti ke “Ponari” karena ketiadaan uang, yang berakhir dengan buruknya kualitas SDM, tingginya angka kematian dan rendahnya usia harapan hidup.

Ibu hamil dan anak balita yang sakit dan tidak cukup gizi menimbulkan risiko SDM masa depan karena sekitar 80% otak dibentuk dalam kandungan ibu dan 20% lagi dalam usia balita. Jika pada masa itu, tubuh sakit, apalagi tidak diobati, maka pembentukan otak tertahan. Akibatnya, kita akan menciptakan bangsa yang bodoh di masa depan, yang tidak mampu bersaing dengan bangsa lain. Sebagian bangsa kita sesungguhnya sudah mengalami hal ini akibat sistem pangan dan sistem kesehatan yang sakit. Jika perbaikan jaminan kesehatan dan jaminan pangan yang memadai dilaksanakan sekarang, maka hasilnya baru tampak satu generasi yang akan datang. Jika sekarang kita tidak perbaiki, maka kita akan kalah terus bersaing.

Sadikin: Sakit Sedikit Menjadi Miskin

Laporan WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa kontribusi pemerintah, dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk belanja kesehatan selama tahun 1999-2003 berkisar antara 28,1% - 35,9% dari belanja total kesehatan. Sementara kontribusi pemerintah Muangtai pada kurun waktu yang sama berkisar antara 54,8% - 61,6% dari total belanja kesehatan untuk seluruh rakyat. Di Inggris, Prancis, Australia, dan Taiwan

(3)

porsi sumber dana publik mencapai lebih dari 80% dari belanja kesehatan total. Di Indonesia sebaliknya, sebagian besar belanja kesehatan harus ditanggung sendiri oleh tiap keluarga (out of pocket -OOP) yang sangat memberatkan. Penelitian Thabrany, dkk (2000)4 menunjukkan bahwa 10% rumah tangga termiskin harus membayar 230% penghasilan sebulan untuk sekali dirawat di RS. Penelitian yang dilakukan Thabrany dan Pujiyanto (2000)5 menunjukkan bahwa proporsi penduduk 10% terkaya yang dirawat inap di rumah sakit mencapai 12 kali lebih tinggi dari proporsi penduduk 10% termiskin yang dirawat. Artinya, RS kita jauh lebih banyak dinikmati oleh yang berduit saja. Apakah Pemerintah tidak perduli yang miskin dan setengah miskin?

Puluhan ribu rakyat meninggal di Indonesia tiap tahun, yang mengaku Pancasilais, hanya kerana mereka tidak memiliki uang. Di negeri kapitalis sekalipun, hal itu tidak boleh terjadi. Ruby (2007)6 dalam disertasinya menemukan bahwa 83% rumah tangga mengalami pemismikan ketika mereka membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin), ketika sakit dan perlu berobat di RS, meskipun di rumah sakit public yang sudah sebagian dibiyai dengan uang rakyat. Seharusnya Negara menjamin terwujudnya keadilan social, sesuai Pancasia, yang dalam dunia akademik dikenal dengan equity egalitarian. Pemerintah harus menjamin agar setiap penduduk mendapat pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya, bukan sesuai kemampuan kantongnya, you get what you need (Thabrany, 20057; Wagsatff and Doorslair, 20008). Seluruh penduduk Muangtai sudah dijamin oleh Pemerintah dengan membayar iuran asuransi ke suatu badan public (Tangcharoensathien, dkk, 20059; Thangcharoensathien, 2003)10.

Pola Pikir Jangka Pendek

Kebanyakan pimpinan bangsa ini masih terjebak kepada kepentingan jangka pendek dengan program-program yang tampak dengan mata seperti membangun gedung kantor yang bagus, taman yang indah, pembelian alat canggih dan sebagainya. Manusianya? Belum mendapat cukup pendanaan. Berapa banyak kebijakan Pemerintah yang member insentif pajak untuk pembangunan SDM? Yang ramai dibahas adalah insentif untuk dunia usaha. Pembangunan SDM masih lebih banyak pada taraf proforma debat publik. Masalah terbesar adalah mindset yang kita miliki. Hampir semua pegawai pemerintah terjebak pada proyek-proyek yang sifatnya tahunan dan didominasi kepentingan sendiri.

Memang, membangun SDM butuh investasi jangka panjang, apalagi mulai dari persiapan bahan baku yaitu otak yang tumbuh baik apabila gizi ibu hamil, gizi anak balita, dan tubuh yang selalu sehat. Apabila kita menginginkan pemuda yang cerdas, produktif, berbudi luhur, dan mempunyai komitmen bangsa di usia 24 tahun, ketika mereka selesai kuliah, maka kita harus melakukan investasi selama paling tidak 25 tahun. Memelihara bahan baku SDM tetap bagus, dengan program kesehatan, dan mengasah bahan baku yang bagus berproduksi maksimal, dengan pendidikan dan pelatihan. Apakah politisi mau berfikir selama itu? Target mereka pemilu lima tahunan!

Rendahnya Daya 

Saing Bangsa 

Indonesia, dan 

Tingginya Tingkat 

Korupsi, bisa jadi 

merupakan 

dampak Sistem 

Kesehatan yang 

Sakit 

(4)

Sektor swasta juga tidak akan menanam modalnya untuk pembangunan manusia yang hasilnya dipetik setelah 20-25 tahun.

Dengan tidak adanya jaminan/asuransi kesehatan, Pemerintah telah menciptakan kerugian besar jangka panjang, karena banyak rakyat yang sakit tidak mampu berobat dan tidak produktif. Itulah sebabnya, negara-negara maju, yang melek masa depan, cerdas dan visioner, tidak akan membiarkan rakyat yang sakit tidak bisa berobat. Rakyat sakit tidak dijadikan obyek untuk cari uang. Rumah sakit publik tidak dikomersialkan, tetapi dijadikan tempat melayani dan memulihkan rakyat yang sakit untuk bisa berproduksi kembali. Memang dalam jangka pendek, orang sakit akan membayar berapapun yang ditagih rumah sakit. Tidak ada pilihan! Sebab semua orang takut mati. Amat mengherankan, bahwa banyak Pemda yang terkecoh dan ‘maksa rakyat

membayar’ untuk bisa sembuh. Kejam nian! Pemda DKI pernah melakukan hal itu

dengan mengubah status RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji (yang sesungguhnya harta wakaf) menjadi Perseroan Terbatas untuk ‘jualan layanan” kepada rakyatnya yang sakit. Bukannya meringankan, pemda DKI justeru menambah beban rakyat yang sakit dan memiskinkan rakyatnya.

Sampai saat ini, jangankan memikirkan kepentingan bangsa jangka panjang, maih banyak diantara kita yang memihak kepada rakyat yang sedang sakit saja, yang jangka pendek tetapi bukan kepentingan diri sendiri, masih tega memberikan layanan rumah sakit dengan lebih kuat pertimbangan uang. Banyak diantara kita yang tidak merasa prihatin atas banyaknya rakyat yang sakit yang tidak mampu membayar biaya berobat (tidak selalu yang miskin) dan bahkan masih banyak rumah sakit publik (rumah sakit pemerintah atau yang dibiayai dari dana APBN/APBD) yang masih mengutamakan uang muka dari pelayanan. Mentalitas pejabat publik kita masih banyak yang lebih cocok disebut mentalitas “pengusaha” ketimbang “pelayanan” publik yang dalam bahasa Inggrisnya pegawai negeri disebut civil servant untuk menekankan bahwa tugas utamanya adalah ‘pelayanan publik’.

Apa yang harus diubah? Yang paling terpercaya adalah mengembangkan sebuah sistem jaminan sosial yang sudah terbukti ampuh di seluruh dunia. Sistem jaminan sosial mencakup jaminan agar penduduk memenuhi berbagai kebutuhan dasar untuk hidup produktif (lebih dahulu) dan hidup sejahtera (senang dan rendah risiko). Pendanaan sebuah sistem jaminan sosial dapat dilakukan bersamaan dengan pungutan pajak penghasilan, dan karenanya tingkat pajak menjadi cukup tinggi. Indonesia tampaknya tidak menuju cara ini. Alternatif kedua adalah mengembangkan sistem jaminan sosial yang dananya dipisahkan dari dana pajak penghasilan. Sistem ini mirip dengan sistem pajak penghasilan, yaitu pungutan sebagian (persentase) penghasilan untuk program jaminan sosial yang disebut iuran wajib. Hanya saja, uang dari iuran wajib hanya digunakan untuk mendanai penyelenggaraan program jaminan sosial.

Konsep Dasar Sistem Jaminan Sosial di Indonesia.

Amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tap X tahun 2001 dan amandemen UUD45 tahun 2002 telah menugaskan Pemerintah untuk mengembangkan sebuah Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasal 34 ayat 2 UUD45 berbunyi ‘Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan penduduk yang tidak mampu..”. Rumusan lebih lanjut tugas negara ini sudah diatur dalam UU SJSN nomor 40/2004. Mengapa belum dijalankan? Tugas mahasiswa dan para

(5)

pemuda antara lain mendorong agar Pemerintah dan pengusaha menjalankan UU SJSN dengan konsisten. Mengapa, karena generasi mudalah yang akan paling membutuhkan dan menikmasi SJSN.

Konsep dasar SJSN mengambil prinsip-prinsip universal sistem jaminan sosial (social security) yang lazim diperkenalkan oleh Organisasi Buruh Sedunia (ILO) sesuai Konvensi ILO nomor 152. Prinsipnya adalah memberikan jaminan dasar kepada seluruh penduduk, yang dimulai dari penjaminan tenaga kerja di sektor formal dan penduduk miskin kemudian diperluas ke tenaga kerja di sektor informal. Pentahapan model ini merupakan pola umum yang telah dilakukan negara-negara yang lebih maju dari Indonesia. Pendaan SJSN bertumpu pada tiga pilar utama yaitu (1) asuransi sosial dan (2) tabungan wajib (provident fund) bagi peserta yang memiliki penghasilan serta (3) bantuan sosial (bantuan iuran) bagi penduduk miskin dan kurang mampu.

Program jaminan dikelompokan menjadi 5 (lima) program yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Program JHT membayarkan uang tunai menjelang seorang tenaga kerja memasuki masa pensiun untuk beli rumah tinggal ataupun modal usaha. Program jaminan pensiun membayarkan uang pensiun bulanan guna memenuhi kebutuhan dasar hidup (diluar kesehatan yang dijamin oleh program jaminan kesehatan). Dengan skenario ini, nantinya seluruh penduduk, baik petani, nelayan, pedagang, pegawai negeri maupun pegawai swasta akan memiliki asuransi kesehatan dan pensiun yang setara.

Secara piramidal, jaminan sosial di Indonesia dibangun diatas tiga pilar yaitu dua pilar jaminan dasar dalam SJSN dan satu pilar jaminan tambahan di luar SJSN:

Pilar pertama yang tebawah adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. UU SJSN menggariskan agar dana bantuan sosial dibayarkan Pemerintah dengan membayar iuran bagi yang miskin dan tidak mampu untuk menjadi peserta SJSN. Nanti, ketika ia sudah bekerja, maka bantuan iuran dihentikan dan penduduk ini tetap menjadi peserta SJSN melalui pilar kedua. Jadi bukan model Jamkesmas yang dikelola sendiri oleh Depkes sebagai organ Pemerintah.

Pilar kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan asuransi yang wajib diikuti oleh semua penduduk yang mempunyai penghasilan (diatas garis kemiskinan). Yang tidak memenuhi syarat mendapat bantuan iuran, harus mengiur sendiri. Dengan membayar iuran yang proporsional/persentase penghasilan/upah, setiap orang yang memiliki upah akan mampu bayar.

Pilar satu dan pilar kedua ini merupakan fondasi SJSN untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak yang WAJIB diikuti dan diterima oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik). Terlepas dari kemampuan ekonomi, seluruh rakyat harus mendapatkannya.

Pilar ketiga adalah pilar tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari kebutuhan dasar. Mereka yang mampu dan menginkan yang lebih akan membeli atau memperoleh jaminan dari pihak swasta yang berbasis sukarela/dagang. Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersial (baik asuransi kesehatan, pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, membeli saham atau reksadana atau program-program lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok seperti investasi saham atau membeli properti sebagai tabungan bagi dirinya atau keluarganya.

(6)

Setelah melalui proses panjang, UU SJSN (Nomor 40/2004) diundangkan Presiden Megawati pada hari terakhir beliau berada di Istana, untuk pengatur penyelenggaraan SJSN memenuhi Pilar I dan Pilar II.

Esensi AKN dalam SJSN

Apa sebenarnya esensi RUU SJSN? Orang-orang yang mau berfikir jernih dan mempelajari dengan seksama UU SJSN dapat menarik kesimpulan bahwa UU SJSN BUKAN sistem baru, tetapi perbaikan dan perluasan sistem jaminan sosial di Indonesia. Esensi pertama UUSJSN adalah upaya membuat kesamaan jaminan sosial (platform yang sama) bagi pegawai negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal (istilah yang digunakan UU SJSN adalah pekerja yang tidak menerima upah).

Esensi kedua kedua UUSJSN adalah mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara yang sekarang berbentuk PT Persero (PT Taspen, PT ASABRI, PT Askes dan PT Jamsostek) yang mencari laba untuk Pemerintah menjadi Badan-badan Hukum Khusus Penyelenggara Jaminan Sosial yang tidak mencari laba (not for profit). Bukan berarti badan baru harus merugi atau tidak boleh punya laba/surplus. Surplus harus dicari, tetapi seluruh surplus harus dikembalikan kepada peserta, bukan ke pemegang saham (Pemerintah). Dalam hal ini, yang diatur UU SJSN sama dengan usulan revisi RUU Jamsostek yang dituntut Forum Bipartit. Jadi, seharusnya orang-orang Jamsostek segera mengimplementasi UU SJSN. Hakikatnya UU SJSN meluruskan kekeliruan pengelolaan jaminan sosial, yang menurut UU No 2/1992 tentang Asuransi harus dikelola oleh BUMN. Mengapa tidak swasta? Pengalaman di seluruh dunia membuktikan bahwa swasta gagal menyelenggarakan jaminan sosial yang adil dan merata (equity/ekuitas) karena terjadi market failure.

Esensi ketiga UU SJSN adalah memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran wajib dan hasil surplusnya dikelola HANYA untuk kepentingan peserta. Iuran, akumulasi iuran, dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta dan bukan penerimaan (revenue) atau aset badan penyelenggara. Ini adalah prinsip Dana Amanat (Trust Fund) yang dituntut forum dalam usual Revisi UU Jamsostek.

Esensi keempat adalah memastikan agar pihak kontributor atau pengiur atau tripartit (yaitu tenaga kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi/kenijakan umum yang diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (yang merupakan sebuah Majelis Wali Amanat) yang diwakili wakil pekerja, wakil pemberi kerja, wakil masyarakat/ahli, dan wakil pemerintah.

Dalam hal Jaminan/Asuransi Kesehatan, RUU SJSN menggariskan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi semua penduduk, dan karenanya disebut Asuransi Kesehatan Nasional (AKN). Rancangan SJSN mempersiapkan jaminan kesehatan yang sama antara pegawai swasta, pegawai negeri maupun yang bekerja mandiri beserta anggota keluarganya. Jaminan kesehatan tidak lagi dibatasi sampai anak kedua atau ketiga, karena pada hakikatnya setiap penduduk Indonesia mempunyai hak yang sama. Guna mempercepat cakupan kepada seluruh penuduk, RUU memungkinkan seorang tenaga kerja menjamin orang tuanya dengan menambah iuran sebesar 1% dari upah/gaji kotornya sebulan. Dengan paket jaminan yang sama (pelayanan medis) untuk semua orang, RUU SJSN akan sangat memudahkan dokter dan fasilitas kesehatan memahami berbagai aspek administrasi dan jaminan kesehatan. Hal ini akan menghemat tenaga dan waktu bagi para dokter dan fasilitas kesehatan lain.

(7)

Yang Dapat Dilakukan Segera

Kabinet SBY II harus menjalankan UU SJSN. Jika tidak, maka para pejabatnya melanggar dan lalai menjalankan UU SJSN yang sudah lima tahun tidak dijalankan. Dalam UU SJSN sudah diatur sebuah sistem yang egaliter dan bisa menghasilkan kepuasan yang memadai. Tergantung pelaksanaannya oleh aparat, UU tersebut sudah meletakan fondasi agar kecukupan dana mengacu pada harga keekonomian yang sepadan dengan sektor lain dan yang menjamin kepuasan paling sedikit 75% penduduk. Dengan mobilisasi dana melalui iuran wajib peserta bagi yang berpenghasilan tetap sebesar 5% sduah memadai. Majikan mengiur 3% upah dan karyawan mengiur 2% upah yang dipotong tiap bulan, sudah mampu mendorong kompetisi yang sehat. Pekerja menambah iuran dengan tambahan potongan 1% dari upahnya untuk anak ke empat dan seterusnya untuk tambahan tiap orang dan atau orang tua atau mertua mereka. Selain itu, Pemerintah dan Pemda wajib bersama-sama mengiur senilai 80% nominal rata-rata iuran pekerja dan majikan untuk menjamin penduduk miskin dan tidak mampu. Jadi sebagian pendanaan dari APBN dan APBD untuk bantuan sosial (dalam bentuk bantuan iuran) dan program kesehatan masyarakat, seperti promosi kesehatan dan pencegahan berbagai penyakit menular dan kronis yang harus terus ditingkatkan sebanyak 30% setahun. Dengan pola itu, target total belanja kesehatan sebesar 5% PDB pada tahun 2014 dapat dicapai.

Program kesehatan masyarakat yang manfaatnya tidak bersifat perorangan tetapi dinikmati oleh komunitas harus dibiayai cukup dari APBN/APBD. Program seperti promosi kesehatan untuk mengubah prilaku hidup sehat, tidak merokok, makan gizi seimbang, penyehatan lingkungan dan sebagainya sudah cukup jika didanai dari 1% APBN/APBD. Dana publik harus digali dari pajak langsung dan pajak tidak langsung. Harus ada kelompok yang mampu mengubah kebijakan Pemerintah agar dana paling sedikit 50% dana cukai rokok yang diatur UU Cukai tahun 2007 digunakan untuk promosi kesehatan dan bantuan iuran AKN.

Badan penyelengara jaminan sosial harus mengelola dana iuran wajib secara transparan dan akuntabel. Harus dibentuk Dewan Pengawas di Pusat dan di Daerah agar BPJS bekerja benar dan pemilihan piminan BPJS dilakukan secara transparan. Yang paling efektif adalah BPJS memberlakukan otonomi bertanggung jawab pada tiap provinsi. Pemda jangan berebut mengurus BPJS, karena pejabat Pemda harus mengurus pemerintahan dan membantu bayar iuran bagi yang miskin dan tidak mampu. Pengelolaan AKN harus diserahkan kepada orang yang ahli dan berpengalaman. Pengelolaan BPJS adalah transformasi PT Persero yang ada dengan pengelolaan korporat, bermanajemen swasta tetapi bertujuan pemerataan. Oleh karenaya BPJS tidak boleh dikelola oleh PNS. Tetapi PNS pusat maupun daerah yang kompeten boleh saja berhenti jadi PNS dan pindah menjadi pimpinan atau pegawai BPJS. Begitu juga dengan anggota TNI/Polri. Kompetensi dan profesional, itu kuncinya. Oleh karenanya BPJS harus berorientasi melayani peserta. Dalam UU SJSN, dua BPJS telah ditetapkan yaitu Askes dan Jamsostek yang telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan telah memiliki kantor cabang/layanan di hampir semua kota/kabupaten. Tetapi keduanya masih butuh tambahan tenaga untuk bisa melayani seluruh rakyat.

Dengan cara profesional BPJS harus membayar fasilitas kesehatan (provider) publik dan swasta dengan cara prospektif per paket layanan, per dianosis, per hari rawat,

(8)

atau kapitasi yang besarnya sama untuk suatu wilayah. Untuk layanan primer di puskesmas, klinik, atau praktik dokter keluarga, pembayaran kapitasi menjadi pilihan terbaik. Peserta bebas memilih puskesmas, klinik, atau dokter praktik untuk dijadikan “dokter keluarga” yang akan dibayar secara kapitasi. Dengan demikian akan terjadi kompetisi dalam pelayanan kepada peserta sehingga fasilitas kesehatan yang tidak mampu melayani peserta dengan baik akan bangkrut dengan sendirinya. Hanya saja, untuk keadilan, karena fasilitas kesehatan swasta tidak mendapat dana investasi dan gaji pegawai dari APBN/APBD, maka jika peserta memilih berobat ke fasilitas kesehatan swasta, maka ia wajib membayar urun biaya 20% tambahan untuk rawat inap dengan maksimum urun biaya Rp 1 juta dan membayar urun biaya 30% untuk rawat jalan dengan maksium biaya Rp 100.000 per kali berobat. Dana urun biaya tersebut sudah mencakup segala biaya pemeriksaan, tindakan medik, dan obat. Fasilitas kesehatan diberi kebebasan menetapkan sendiri formularium obat yang akan disediakan untuk peserta. Pemerintah tidak perlu mengatur harga obat karena fasilitas kesehatan akan bernegosiasi langsung dengan pedagang farmasi dan atau bekerja sama dengan apoteker untuk penyediaan obat dan alat kesehatan habis pakai. Dengan demikian, mekanisme pasar pada sisi delivery bekerja kompetitif dengan kendali pembayaran prospektif. Dengan sendirinya fasilitas kesehatan akan dituntut efisien dan bermutu, jika tidak, maka fasilitas kesehatan tersebut tidak mendapat peserta dan tidak mendapat uang. Dengan model, money follows patients, maka terjadi pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan. Karena dana sudah dijamin untuk semua penduduk, di daerahpun fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan akan dibayar sesuai harga keekonomian. Dokter dan atau fasilitas kesehatan di daerah kecil harus dibayar 20-25% lebih tinggi dari harga dan kualitas yang setara yang diberikan di kota.

Kesimpulan

Pemerintah sudah mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mencakup jaminan kesehatan yang akan berlaku secara nasional dan untuk menjamin portabilitas, maka penyelenggaraanya haruslah oleh suatu BPJS Nasional. Sistem ini, merupakan solusi Rasional dan Nasional untuk menjamin agar seluruh penduduk memiliki asuransi kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan, terlepas dari perbedaan ras, agama, kemampuan ekonomi, dan faktor-faktor lain. Pada hakikatnya UU SJSN meluruskan kekeliruan penyelenggaraan sistem asuransi kesehatan sosial yang lama dengan menyusun platform jaminan sosial yang sama/setara untuk semua penduduk. Inilah hakikat dari rumusan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat”. Sayangnya sudah lima tahun ini UU SJSN tidak dijalankan karena masih belum difahaminya esensi UU SJSN dan masih kuatnya tarik-menarik kepentingan kelompok kecil. Yang rugi adalah bangsa Indonesia yang terancam tidak kompetitif karena tidak ada jaminan kecukupan gizi dan kesehatan. Meskipun demikian, Kabinet SBY II punya kesempatan untuk menjalankan dengan benar perintah UU SJSN. Sebagaimana pernyataan SBY dalam urusan KPK dan Polisi, SBY harus taat hukum, taat undang-undang, termasuk harus menjalankan UU SJSN. Mahasiswa dan generasi muda harus mampu menjadi pengawal penyelenggaraan AKN sesuai UU SJSN yang konsisten, untuk masa depan bangsa dan SDM yang akan datang.

(9)

Referensi

1

Rokx C. dkk. Health Financing in Indonesia: A Reform Road Map. World Bank, Jakarta, 2009

2 WHO, The World Health Report 2009. www.who.int. 3

WHO, The World Health Report 2006. Working Together for Health. www.who.int. 4

Thabrany, dkk. Telaah Komprehensif Jaminan Pemeliharaan Kesehatan di Indonesia. YPKMI, Jakarta, 2000

5

Thabrany, H dan Pujianto. MKI, YANI, tolong lengkapi ini, lihat makalah saya di MKI yang lalu 6

Rubi, Mahlil. Hubungan Belanja Kesehatan Katastropik Dengan Belanja Protein, Pendidikan, Dan Pemiskinan Di Indonesia, Tahun 2004. Disertasi. FKMUI, Januri, 2007

7

Thabrany, H. Dalam Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Masyarakat. Rajagrafindo, Jakarta, 2005

8

Wagsaff A and Doorslair, V.D. Equity in Health Care Financing and Delivery. In Culyer AJ and Newhouse JP (Ed) Handbook of Health Economics, Vol IB. Elsevier Science, BP. Amsterdam, the Netherland, 2000

9

Tangcharoensathien,dkk. Thailand. Dalam Than Sein in Social Health Insurance in Selected Asian Countries. New Delhi, 2005.

10

Thangcharoensathien, V. Social Health Insurance in South-East Asia. Makalah disajikan pada Regional Expert Group Meeting on Social Health Insurance, New Delhi, Maret 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini responden yang diambil adalah Bidan Praktek Swasta yang telah memiliki tempat praktek, dimana latar belakang pendidikannya adalah Program

sehingga informasi secara tahunan perusahaan dapat diketahui, tidak mengalami delisting selama periode penelitian, menyajikan lapor- an keuangannya dalam satuan mata uang

Formasi Oyo, dan Formasi Wonosari batulempung, napal tufan, batugamping terumbu, dan kalkarenit pegunungan struktural terbiku kuat S 4 andesit tua Formasi Bemmelen,

Selain itu, terdapat perbedaan variabel independen untuk menilai penyebab stres kerja, penelitian terdahulu menilai penyebab stres kerja berdasarkan kebisingan,

patofisiologi antara lain: 1) Penurunan aliran darah serebral akut, seperti pada sinkop vasovagal, gangguan jantung, penyumbatan pembuluh darah paru dan obstruksi

[r]

Pada proses pengolahan laporan, sistem mendapat masukan dari apoteker dan pegawai berupa data periode dengan keluaran berupa informasi laporan.. Proses 5

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi