• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME DALAM BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS: STUDI NATURALISTIK INKUIRI DALAM PENGGUNAAN BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH DI SMAN 3 CIMAHI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME DALAM BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS: STUDI NATURALISTIK INKUIRI DALAM PENGGUNAAN BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH DI SMAN 3 CIMAHI."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME DALAM BUKU TEKS

PELAJARAN SEJARAH PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS

(Studi Naturalistik Inkuiri dalam Penggunaan Buku Teks

Pelajaran Sejarah di SMAN 3 Cimahi)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

Ane Jeane

1102584

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME DALAM BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS

(Studi Naturalistik Inkuiri dalam Penggunaan Buku Teks Sejarah di SMAN 3 Cimahi)

Oleh Ane Jeane S.Pd UPI, 2001

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Sejarah

© Ane Jeane 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)
(4)

ABSTRAK

Tesis ini mengambil judul “Nilai-nilai multikulturalisme dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah Pada Sekolah Menengah Atas: studi Naturalistik Inkuiri dalam Penggunaan Buku Teks Pelajaran Sejarah di SMAN 3 Cimahi”. Sebagai sumber belajar, peranan buku teks pelajaran sejarah sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan memori kolektif bangsa, terutama berkaitan dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Namun penggunaan buku teks pelajaran sejarah di tingkat sekolah SMA, termasuk di SMA 3 Cimahi, masih dirasakan kurang maksimal, karena kurang memberikan dampak pembentukan pengetahuan, sikap dan nilai-nilai yang bermakna dalam kehidupan peserta didik. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan permasalahan penelitian ke dalam tiga rumusan, yaitu: bagaimana pendekatan pendidikan multikultural yang diterapkan di sekolah SMAN 3 Cimahi, aspek-aspek apa saja dari buku teks pelajaran sejarah yang mengandung unsur-unsur multikulturalisme dan bagaimana implementasi guru sejarah dalam menggunakan buku teks pelajaran sejarah yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode naturalistik inkuiri. Dari penelitian yang dilakukan terlihat bahwa pendidikan multikultural di SMAN 3 Cimahi tidak nampak secara formal dalam kebijakan sekolah, namun wawasan multikultural terlihat dalam rumusan misi sekolah yang ingin mewujudkan kehidupan sekolah tanpa membedakan ras, agama dan suku bangsa serta memberikan palayanan sekolah secara oftimal kepada semua warga sekolah. Aspek-aspek yang terkandung dalam buku teks pelajaran sejarah antara lain meliputi peristiwa, tokoh, tempat peristiwa sejarah, gender dan kebudayaan. Peristiwa sejarah yang diangkat menunjukkan kecenderungan yang lebih besar pada tema-tema politik, sedangkan tema-tema yang lain masih minim. Dalam hal ketokohan, masih bersifat “elitis”, karena menampilkan tokoh-tokoh yang secara sosial ekonomi mapan, sedangkan tokoh-tokoh yang merepresentasikan daerah di Indonesia, masih terbatas pada tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi terhadap sejarah nasional. Sedangkan jika dilihat dari aspek gender, maka tampak peran laki-laki mendominasi dalam hampir setiap peristiwa sejarah. Dalam aspek kebudayaan, keberagaman budaya masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan lain seperti Hindu, Budha, Islam dan kolonial asing. Sementara itu implementasi nilai-nilai multikulturalisme melalui buku teks pelajaran sejarah tersebut sudah dilakukan oleh guru, walaupun belum oftimal. Implementasi dalam proses pembelajaran sejarah, yaitu dengan cara menyisipkan setiap aspek yang mengandung unsur multikultural ke dalam proses kegiatan pembelajaran tersebut. Selain itu, guru berusaha menampilkan nilai-nilai multikultural bukan hanya melalui pengintegrasian ke dalam materi sejarah namun guru menunjukkan performance, perilaku yang berorientasi multikultural sehingga dapat menjadi teladan bagi peserta didik.

(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 11

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 12

E. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II STUDI PUSTAKA A. Pengertian Buku Teks Pelajaran Sejarah ... 14

B. Tujuandan Materi Pendidikan Sejarah ... 19

C. Multikulturalisme dalam Pendidikan Sejarah ... 23

D. Penelitian Terdahulu ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 35

B. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 37

(6)

D. Teknik Pengumpulan Data ... 39

E. Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Letak, Sejarah dan Keadaan Sekolah ... 50

2. Visidan Misi Sekolah ... 52

B. Deskripsi Hasil Temuan

1. Pendekatan Pendidikan Nilai Multikultural di SMAN 3

Cimahi ... 54

2. Aspek-aspek Materi dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah

Yang Mengandung Nilai Multikultural ...

3. Implementasi Nilai-nilai Multikulturalisme dalam

Pembelajaran Sejarah dengan Menggunakan Buku Teks

Pelajaran Sejarah ... 83

C. Pembahasan

1. Pendekatan Pendidikan Nilai Multikultural di SMAN 3

Cimahi ... 93

2. Aspek-aspek Materi dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah

yang Mengandung Nilai Multikultural... 102

3. Implementasi Nilai-nilai Multikulturalisme dalam

Pembelajaran Sejarah dengan Menggunakan Buku Teks

Pelajaran Sejarah Di SMA Negeri 3 Cimahi ... 119

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ... 129

B. Rekomendasi ... 131

(7)

DAFTAR GAMBAR

4.1. Upacara Adat di Bali ... 78

4.2. Bentuk Kebudayaan Berupa Seni Bangunan ... 79

(8)

DAFTAR TABEL

4.1. Tabel Sarana/ fasilitas sekolah ... 50

4.2. Tabel Jumlah seluruh siswa tahun ajaran 2012-2013 ... 51

4.3. Tabel Latar Belakang pekerjaan orang tua siswa kelas XI IPS tahun

ajaran 2012-2013 ... 52

4.4. Tabel Latar Belang agama siswa siswa kelas XI IPS tahun ajaran

2012-2013 ... 52

4.5. Tabel Latar Belang agama siswa siswa kelas XI IPS tahun ajaran

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman wawancara dengan guru sejarah dan siswa ... 137

Lampiran 2. Lembar Hasil Observasi ... 140

Lampiran 3. Lembar Hasil Wawancara dengan Guru ... 151

Lampiran 4. Lembar Hasil Wawancara dengan Siswa ... 156

Lampiran 5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 172

Lampiran 6. Foto wawancara peneliti dengan guru sejarah dan siswa ... 184

Lampiran 7. Foto kegiatan ekstra kurikuler di SMAN 3 Cimahi ... 191

Surat Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan atau Observasi

Surat Pengangkatan Pembimbing Tesis

Surat Keterangan dari Sekolah

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu bagian penting dalam pendidikan sejarah di Indonesia adalah

peranan buku teks pelajaran sejarah. Sebagai sumber belajar, peranan buku teks

pelajaran sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan memori kolektif

bangsa,terutama berkaitan dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Namun

penggunaan buku teks pelajaran sejarah di tingkat sekolah SMA, masih dirasakan

kurang maksimal, terutama karena kurang memberikan dampak pembentukan

pengetahuan yang bermakna.

Sebenarnya penggunaan buku teks pelajaran sejarah di sekolah, terutama

di SMA 3 Cimahi sudah dilakukan oleh guru-guru sejarah, namun keterbatasan

pembelajaran sejarah yang hanya berpusat pada pengetahuan saja, telah membuat

siswa dihadapkan pada lautan fakta tanpa makna. Sedangkan misi pendidikan

nilai, termasuk di dalamnya menghargai nilai-nilai keberagaman

(multikulturalisme, misalnya) luput dari perhatian guru sejarah. Dengan prioritas

pembelajaran sejarah yang selama ini ditekankan pada kemampuan kognitif saja,

telah pula mengaburkan proses pembelajaran sejarah yang semestinya, dimana

peran siswa sebagai pembelajar tidak mendapat kesempatan untuk

mengkonstruksi pengetahuan baru setelah belajar dengan menggunakan buku

teks. Kondisi seperti itu telah membuat peran buku teks pelajaran sejarah sebagai

sumber belajar tidak menarik perhatian siswa. Mengenai hal tersebut, Komalasari

(2010:43) mengemukakan bahwa:

(11)

Menurut Sjamsuddin (2007), buku teks (texbook) adalah buku ajar yang

menjadi pegangan utama dalam proses pembelajaran (learning) dan pengajaran

(teaching) yang digunakan oleh para siswa dan/atau mahasiswa. Sedangkan

menurut Komalasasri (2010), buku teks pelajaran pada hakikatnya merupakan

buku pelajaran dalam bidang studi tertentu yang merupakan buku standar, disusun

oleh para pakar dalam bidang itu dengan maksud dan tujuan instruksional,

dilengkapi dengan sarana-sarana pembelajaran yang serasi dan mudah dipahami

oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan pergruruan tinggi sehingga dapat

menunjang suatu program pembelajaran.

Buku teks sejarah, yang merupakan buku pelajaran di sekolah-sekolah

sebetulnya masih merupakan sumber utama yang digunakan oleh guru dan siswa

dalam menunjang proses pembelajaran. Menurut Sjamsuddin (2000:1),

kedudukan, fungsi dan peranan buku teks sejarah amat strategis karena

menyangkut pembentukan aspek-aspek kognitif (intelektual) dan afektif

(apresiasi, nilai-nilai) semua peserta didik dari setiap jenjang pendidikan. Sejarah

nasional, khususnya dianggap mempunyai nilai didaktif-edukatif bagi

pembentukan jati diri bangsa dan pemersatu berdasarkan atas pengalaman kolektif

bernegara dan berbangsa.

Sementara itu ketergantungan siswa terhadap buku teks pelajaran sejarah

sebenarnya sangat besar, namun keberadaannya hanya sebagai media untuk

mencapai “nilai akhir kognitif” saja, belum dapat memaknai isinya. Yang lebih

memprihatinkan, kecenderungan peserta didik hanya menggunakan buku teks

pelajaran sejarah pada saat-saat tertentu saja, yakni pada saat akan ulangan atau

akan mengerjakan tugas dari guru. Dalam hal ini peserta didik belum dapat

memahami buku teks itu sebagai sumber belajar sejarah yang di dalamnya

terdapat nilai-nilai pendidikan dirinya sebagai bagian dari jatidiri bangsa. Sebagai

alat pendidikan jati diri bangsa, maka tentu saja kepentingan peserta didik harus

terwakili dalam buku teks pelajaran sejarah, dimana di dalamnya jangan hanya

didominasi oleh salah satu etnis,budaya, suku dan agama dominan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang

(12)

ratusan etnis,agama, budaya dan adat istiadat, yang tersebar di sekitar 13.000

pulau besar dan kecil serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah

(Koentjaraningrat:1970; Thahari:2000;Supardan,2008:245). Realitas demikian

telah menjadikan pluralisme itu sebagai potensi, sekaligus sebagai tantangan,

karena kalau tidak dikelola dengan baik, maka akan terjadi gejolak sosial yang

bernuansa SARA. Atas dasar itulah, maka pendidikan multikulturalisme

merupakan keniscayaan, tidak terkecuali dalam pendidikan sejarah terutama bagi

peserta didik, yang merupakan pewaris generasi berikutnya.

Pada saat ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bangsa di dunia ini yang

memiliki nilai dan budaya yang homogen. Indonesia adalah salah satu negara di

dunia ini yang memiliki keragaman budaya yang kompleks. Menurut Wolpert

(dalam Hasan,2012:103), India adalah negara di dunia ini yang tiada duanya

dalam tingkat keragaman sosial dan budaya, dan bangsa Indonesia “next to it”.

Dengan demikian, sebenarnya jika dikelola dengan baik, maka keragaman budaya

peserta didik dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan belajar peserta didik.

Pendidikan sejarah harus mampu mengembangkan dan memperkuat jati diri

bangsa berdasarkan keragaman budaya yang ada (Hasan,2012:103).

Oleh karena itu tidak mengherankan jika salah satu prinsip yang

dikemukakan oleh Greene dan Petty (dalam Komalasari,2010:44-45) bahwa buku

teks harus menghargai perbedaan individu. Dalam hal ini, bahwa buku teks

pelajaran sejarah sebagai bagian penting dalam proses pendidikan, harus mampu

mengembangkan potensi (keragaman peserta didik), sehingga dapat mengubah

perbedaan budaya dari potensi sumber konflik menjadi sumber kerjasama yang

produktif dan sumber inspirasi bagi budaya lain (Hasan, 2012:104).

Di sisi lain, walaupun peranannya cukup signifikan, namun dalam

pemanfaatan buku tersebut, masih terbatas pada fungsi sebagai alat bantu siswa

dalam mengerjakan tugas di rumah, menyiapkan ulangan akhir program semester

serta evaluasi belajar tahap akhir (Supriatna, 2007:174). Padahal sesungguhnya

banyak hal yang bisa diperoleh dari buku teks, seperti dikemukakan oleh Garvey

dan Krug (dalam Supriatna,2007:175) yang menawarkan lima jenis keterampilan

(13)

1. Keterampilan merujuk (refference skill)

2. Keterampilan pemahaman (comprehension skill)

3. Keterampilan menganalisis dan mengkritisi (analytical and critical skill)

4. Keterampilan mengembangkan imajinasi (imaginative skill)

5. Keterampilan membuat catatan (note-making skill)

Buku teks pelajaran sejarah yang ditulis selalu merujuk pada kurikulum

yang berlaku. Hal ini membawa dampak pada pasang surut pengajaran sejarah di

Indonesia, dan pada gilirannya penulisan buku-buku teks sejarah untuk

sekolah-sekolah, erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pendidikan dan/atau politik

tentang sekolah dan kurikulum (Sjamsuddin,2000:6). Kurikulum yang

diberlakukan secara nasional tersebut sangat sarat dengan muatan ideologi serta

kepentingan tertentu. Hal ini seperti dikemukakan oleh Hasan (dalam

Supriatna,2007:180) bahwa negara, sebagai institusi yang memiliki kuasa (power)

atas struktur yang ada sangat berkepentingan dengan persekolahan, dan oleh

karena itu pesan-pesan negara dalam kurikulum tidak dapat dihindari. Dengan

demikian, penulis buku teks pelajaran sejarah akan memilih materi secara parsial,

terpisah dan sarat dengan pesan-pesan nilai.

Sebagai bagian dari kurikulum, maka penulisan buku teks pelajaran ini

tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politis pemerintah. Seperti sudah

dikemukakan bahwa landasan kurikulum, baik filosofis maupun landasan politis

turut berperan bagaimana sejarah itu diajarkan dalam lingkungan pendidikan dan

bagaimana pendidikan sejarah itu menciptakan memory collective bangsa.

Sementara itu pembentukkan “memory collective” bangsa terjadi karena pengaruh kurikulum yang merupakan kebijakan publik pemerintah, dimana subjektifitas

adalah suatu keniscayaan. Subjektifitas itu terjadi, baik dalam pemilihan materi

maupun penafsiran tunggal “official history” terhadap peristiwa sejarah yang ada dalam dokumen kurikulum.

Sepanjang sejarahnya, kurikulum pendidikan sejarah, sebagai produk

kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari politik. Karena kurikulum merupakan

(14)

didik, tetapi menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Dalam hal ini Hasan

mengemukakan:

Kebijakan pendidikan dan pemikiran kurikulum ditetapkan melalui berbagai keputusan di bawah undang-undang seperti keputusan presiden, keputusan pemerintah,keputusan menteri, dan produk-produk hukum yang lebih rendah. Kepedulian terhadap politik dan pengaruh kepentingan politik terhadap pendidikan semakin kuat dari masa sebelumnya.

Kurikulum sebagai ”the heart of education” tidak luput dari kebijakan yang sangat ditentukan oleh kepentingan politik. Adalah sesuatu yang tidak keliru jika dikatakan bahwa kebijakan pendidikan yang sangat didasarkan kepada kepentingan politik tersebut sebenarnya diarahkan langsung terhadap kurikulum.Hal ini bukan sesuatu yang aneh dan spesifik Indonesia karena dimana pun di dunia ini kurikulum tidak mungkin melepaskan diri dari pengaruh politik (Apple, 1979; Giroux, 1984; Longstreet dan Shane, 1993; Li, 2004).

( http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/s_hamid_hasan.pdf, 14 april 2012).

Landasan kurikulum yang demikian membawa dampak pada penulisan

buku teks pelajaran sejarah, karena penulisan buku teks pelajaran sejarah

berdasarkan pada kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal ini,

Mulyana (2012) mengatakan bahwa :

Subjektifitas interpretasi sejarah pada buku teks mata pelajaran sejarah merupakan implementasi dari landasan filosofis dan politis pada kurikulum.Penafsiran sejarah pada ranah kurikulum merupakan bentuk dari official history yang diproduksi oleh pemerintah.Sejarah yang demikian telah mampu membangun suatu narasi formal yang berbeda dengan narasi pinggiran (Henk Schulte Nordholt,2008:24-31;Agus Mulyana,2012:vii). Narasi formal dapat menjadi arus utama dalam penafsiran sejarah yang berkembang di masyarakat, karena sosialisasinya sangat luas melalui institusi pendidikan.

Dengan demikian, kepentingan politik pemerintah menentukan faktor pemilihan

peristiwa sejarah yang dijadikan topik pendidikan sejarah beserta dengan

penafsiran resmi pemerintah terhadap peristiwa tersebut. Dengan official history, bukan hanya kebenaran berdasarkan kaedah keilmuan semata yang dijadikan

kriteria, tetapi kebenaran berdasarkan kaedah keilmuan dan kepentingan bangsa

(Hasan,2012:29).

Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber dan media pembelajaran

(15)

pelajaran sejarah disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku. Kurikulum yang

pernah berlaku di Indonesia sejak awal kemerdekaan yaitu Kurikulum 1964, 1968,

1975, 1984, 1994, 2004 atau dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK), dan sekarang berlaku Kurikulum 2006 atau dikenal dengan

nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Dalam perjalanan kurikulum pendidikan sejarah, buku teks menjadi bagian

penting dalam pendidikan secara umum yang diperuntukkan bagi anak bangsa

(peserta didik) sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan sejarah. Diantara

tujuan pendidikan sejarah bagi peserta didik adalah pembentukan nasionalisme,

sehingga seleksi materi yang relevan dengan nasionalisme itulah yang diangkat

menjadi tema-tema peristiwa sejarah dalam penulisan buku teks. Mulyana (2012)

mengatakan:

Sejarah dalam konteks ini lebih ditempatkan sebagai alat politik yaitu menanamkan semangat kebangsaan kepada anak didik.Nasionalisme versus indentitas etnik.Sebagaimana telah dikemukakan bahwa buku sejarah yang ditulis untuk kepentingan pendidikan di Indonesia adalah sejarah nasional. Pemberian nama ini mengindikasikan bahwa misi utama pelajaran sejarah adalah membangun nasionalisme. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu baik diberikan interpretasi sebagai peristiwa

“miliknya” negara Indonesia.Ada semacam legitimasi terhadap fakta-fakta sejarah. Legitimasi sejarah bagi upaya pembangunan kesadaran berbangsa bagi pemerintah dianggap penting. Sebagaimana dikatakan oleh Eric Hobsbawn bahwa negara biasanya melakukan ideologisasi dan mitologisasi historis melalui kreativitas penulisan sejarah dalam rangka menemukan kesamaan warisan kultural, kesamaan pahlawan, kesamaan norma, kesamaan adat istiadat dan lain sebagainya.

(http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/1966080819 91031- AGUS_MULYANA/Artikel_Malaysia.pdf,14 mei 2012)

Interpretasi dalam official history yang diberlakukan pada masa orde baru

cenderung bersifat sentralistis, sehingga pembentukan memory collective bangsa

yang terjadi adalah bentuknya yang seragam atau ”uniformity”. Nasionalisme yang dibentuk pada misi pelajaran sejarah lebih menekankan pada penyatuan dan

keseragaman daerah. Setiap daerah dicari dan ditampilkan dalam periode sejarah

Indonesia, misalnya ditampilkan tokoh-tokoh pahlawan dari masing-masing

(16)

nasional itu, antara lain Cut Nyak Dien dari Aceh, Imam Bonjol dari Sumatera

Barat, Sisingamaraja dari Sumatera Utara, Dipenogeoro dari Jawa, Patimura dari

Maluku, Jelantik dari Bali, Hasanudin dari Makassar dan lain-lain. Dengan

demikian dinamika lokal dalam perlawanan tokoh-tokoh daerah seringkali

menjadi terabaikan, bahkan tidak kelihatan perannya sama sekali.

(http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196608081991031-AGUS_`MULYANA/Artikel_Malaysia.pdf,14 mei 2012).

Atas dasar kenyataan tersebut, sampai saat ini kita menyadari bahwa buku

teks masih dianggap sebagai bagian penting dalam pembelajaran sejarah, namun

belum dapat mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme. Padahal peserta didik

adalah bagian dari masyarakat yang plural, dimana mereka harus terbiasa dengan

keberagaman dan menghormati keberagaman sebagai realitas hidupnya.

Pluralisme budaya bukanlah sesuatu yang “given”, tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas (Tilaar,2005:11). Gagasan

tentang “cultural pluralism” bagi Indonesia sudah mulai menjadi bahan pemikiran sejak periode Kebangkitan Nasional, karena kemajemukan yang dipersatukan

dalam Sumpah Pemuda merupakan pengakuan akan realitas, sekaligus merupakan

cita-cita yang diperjuangkan agar terwujud (Wiriaatmadja,2002:257). Hal tersebut

menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai kesadaran keberagaman sudah

dilakukan sejak lama, bahkan menjadi bagian materi terpilih dalam buku teks

pelajaran sejarah.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural

adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan

mengagungkan perbedaan dalam kesedarajatan baik secara individual maupun

secara kebudayaan (Fay:1996; Jary dan Jary:1991;Watson:2000;Suparlan:2005).

Dalam model multikulturalisme ini, menurut Suparlan (2005:24), sebuah

masyarakat dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam

masyakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Relevansi buku teks

dengan model “mosaik” yang dikemukakan oleh Parsudi Suparlan tersebut,

(17)

Kartodirdjo dalam bukunya “Indonesian Historiography” dengan mengemukakan tentang representasi pemuda daerah dalam peristiwa Sumpah pemuda.

It must be admitted at this stage of development their intellectual horizon was still confined within the cultural realm of ethnicity. The ethical enroachment of their world-view was also quite tangible in their identity. The labels of their ethical identity were manifested by name of their organizations, e.g. Boedi Oetomo (Noble Endeavour), Jong Java (Young Java), Jong Sumatra (Young Sumatra), Pasoendan (The Sunda Realm).They all refer to regions and their culture.(Kartodirdjo,2000:59).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hieronymus Purwanta (2012)

tentang “Wacana identitas Nasional : Analisis Isi Buku Teks Pelajaran Sejarah

SMA 1978-2008”, tampak bahwa eksplanasi historis tentang keberagaman masih

sangat kurang. Sebagai buku teks pelajaran sejarah, kurangnya perhatian terhadap

keragaman etnik dan disertai keberimbangan dalam narasi akan menyampaikan

pesan kepada siswa SMA bahwa kelahiran Indonesia adalah sekedar keputusan

politik yang terjadi di Jawa pada tahun1945 oleh orang Jawa atau orang luar Jawa

yang telah mengalami “penjawaan”. Dengan kata lain, identitas keindonesiaan

yang sekarang mereka miliki adalah status politik selama masih dalam dominasi

etnik Jawa.

Realitas masyarakat Indonesia secara sisiokultural adalah masyarakat yang

plural baik secara etnis, budaya, dan agama. Sebagaimana telah dikemukakan

bahwa nasionalisme Indonesia muncul sebagai gerakan kontra produktif terhadap

kolonialisme. Akan tetapi, dalam perjalanannya kemudian nasionalisme yang

bermakna penyatuan etnis dipertanyakan kembali, muncul berbagai konflik etnis

dan adanya semangat kedaerahan yang kuat. Bagaimanakah pendidikan sejarah di

Indonesia mampu mengakomodir keberagaman yang ada di masyarakat.

Konsep-konsep tentang etnisitas dan nasionalitas dijabarkan kembali, dengan tujuan agar

gambaran keberadaan jati diri etnik seseorang jelas dimana tempatnya di dalam

kebersamaan dan keseluruhan (Wiriaatmadja, 2012: 254).

Dari kecenderungan tersebut, telah menimbulkan keresahan penulis

sehingga memilih tema penelitian tesis ini, karena melihat masih banyak yang

harus dibenahi dan dikaji ulang dalam pemilihan materi buku teks pelajaran

(18)

didik sebagai realitas sosial di lingkungan peserta didik. Dengan pemikiran

demikian, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai

bagaimana mengambil makna nilai-nilai multikulturalisme dari buku teks

pelajaran sejarah di SMA, karena berkaitan dengan kondisi kesadaran global yang

mengalami kecenderungan akan munculnya kesadaran kelokalan (etnik).

Multikultural approach”, adalah suatu pemahaman dalam memandang keragaman budaya dalam kesetaraan para pengikutnya (Wiriaatmadja, 2007:217).

Menurut Hasan (2012), ada lima alasan mengapa pendidikan multikultural

diperlukan, yaitu:

1. Perubahan kehidupan manusia Indonesia yang disebabkan oleh kemajuan

ekonomi dan teknologi.

2. Adanya perpindahan dan mobilitas penduduk yang cukup tinggi.

3. Semakin terbukanya daerah-daerah pedesaan.

4. Berbagai konflik sosial-budaya yang muncul akhir-akhir ini

memperlihatkan adanya kesalahpahaman budaya yang sangat besar antara

kelompok yang bertikai.

5. Menghapuskan mitos dan tafsiran sejarah yang tidak menguntungkan bagi

persatuan bangsa.

Mengenai kecenderungan tersebut, Wiriaatmadja (2002:152)

mengemukakan bahwa :

Pendidikan multikultural (multicultural teaching) menghargai kebhinekaan etnik atau budaya. Upaya-upaya sadar ke arah integrasi bangsa dan budaya, tidak diartikan sebagai peniadaan atau negasi terhadap identitas diri dan budaya. Pembelajaran sejarah dengan pendekatan multikultural ditandai oleh berbagai sikap guru yang menghargai setiap perbedaan etnik atau budaya di kalangan peserta didiknya. Ia akan menghindari ucapan, perilaku atau sikap yang mengarah kepada stereotyping, dengan mengelompokkan “kita”, (ingroup) dan “mereka” (outgroup). Ia juga akan melakukan seleksi bahan pembelajaran yang mewakili secara adil setiap wilayah bahasa, kultur dan etnik.

Dengan pendekatan multikultural dalam pembelajaran sejarah, akan

membawa peserta didik kepada perkembangan dirinya dalam “berbagi

(19)

mempelajari perbedaan dan persamaan dari zaman ke zaman serta

menghormatinya Wiriaatmadja, 2002:152).

Kemajemukan etnis dan budaya sebetulnya baik secara historis maupun

antropologis yang ada di Indonesia itu sudah sangat kondusif bagi penerapan

pendekatan multikultural (Supardan,2008:248). Hal ini pula yang menjadi alasan

mengapa pendekatan multikultural penting dalam dunia pendidikan, karena

peserta didik merepresentasikan keberagaman masyarakat yang pluralis. Kondisi

siswa yang majemuk dapat dilihat sebagai potret kondisi masyarakat

sesungguhnya sehingga kelas merupakan miniatur dari masyarakat Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka di dalam kelas perlu dilakukan proses

pendidikan yang dapat membangun perasaan menghargai berbagai keragaman

(Sumantri, 2008:159). Pendidikan multikultural menurut Banks (dalam

Sumantri,2008:160) ditekankan pada pembentukan lingkungan pendidikan

dimana siswa yang berasal dari berbagai kelompok budaya akan mendapatkan

pengalaman pendidikan yang sama.

Esensi pendidikan multikultural adalah perubahan sosial dalam

pendidikan.Perubahan ini menurut Gorski (dalam Sumantri,2008:161) akan

mengarah pada terjadinya tiga transformasi, yaitu:

1. Transformasi diri. Pendidikan yang multikultural akan selalu melakukan

langkah tarnsformasi dan menilai diri sendiri terhadap proses

pembelajaran yang dilakukan. Apakah prasangka,bias dan asumsi-asumsi

telah membentuk jalannya proses pembelajaran sehingga mempengaruhi

pengalaman para siswa?

2. Transformasi sekolah dan persekolahan. Pendidikan multikultural akan

dapat menilai secara kritis seluruh aspek persekolahan.

3. Transformasi masyarakat. Inti dari tujuan pendidikan multikultural

adalah untuk memberikan kontribusi secara progressif dan proaktif dalam

melakukan tranformasi masyarakat serta mengaplikasikan keadilan sosial

dan persamaan.

Wiriaatmadja (2002:225) mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan

(20)

pengetahuan,sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya

etnik mereka, budaya nasional dan antar etnik lainnya. Akhirnya hasil yang

diinginkan setelah siswa belajar sejarah dengan menggunakan buku teksnya, maka

muncul kesadaran akan peran dirinya sebagai bagian dari masyarakat

lokal,nasional dan global, karena pengenalan akan identitas dirinya diawali dari

pengenalan terhadap etnis budaya dalam bentuknya yang beragam. Keragaman itu

meliputi adat kebiasaan, asal-usul, tempat bersejarah, bahasa dan lain-lain.

Dengan pendekatan multikultural, maka menempatkan peran siswa (peserta didik)

setara dalam keberagaman dan menghargai atas perbedaan itu,sehingga peserta

didik dalam menjalankan perannya di masyarakat akan terhindar dari

kesalahpahaman, prasangka dan konflik-konflik khorizontal. Berdasarkan alasan

itulah, peneliti memfokuskan penelitian ini yang ingin mendapatkan jawaban

dalam mengkaji “Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Buku Teks Pelajaran

Sejarah pada Sekolah Menengah Atas: Studi Naturalistik Inkuiri dalam

Penggunaan Buku Teks Pelajaran Sejarah di SMA 3 Cimahi”.

B. Fokus Penelitian

Adapun yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang

bagaimana menganalisis dan menemukan nilai-nilai multikulturalisme dalam

buku teks pelajaran sejarah yang diperuntukkan bagi siswa sekolah menengah atas

di sekolah SMAN 3 Cimahi .

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pendekatan pendidikan multikulturalisme yang

diterapkan di SMA Negeri 3 Cimahi?

2. Aspek-aspek materi apa saja yang terdapat dalam buku teks pelajaran

(21)

3. Bagaimanakah implementasi yang dilakukan oleh guru dalam

mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme dalam buku teks

pelajaran sejarah di SMA?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan peneltian yang ingin dicapai oleh penulis adalah meliputi :

1. Untuk memperoleh gambaran pendekatan pendidikan

multikulturalisme yang diterapkan di SMA Negeri 3 Cimahi?

2. Untuk memperoleh gambaran aspek-aspek materi dalam buku teks

pelajaran sejarah yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme

3. Untuk memperoleh gambaran bagaimana implementasi yang dilakukan

oleh guru dalam mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme dalam

buku teks pelajaran sejarah di SMA.

E. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat. Manfaat tersebut bisa

bersifat teoritis dan praktis (Sugiyono,2011:291). Adapun yang menjadi manfaat

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis: Untuk memperkaya wawasan dan cakrawala tema

penelitian kualitatif dalam Pendidikan Sejarah serta dapat

memperbaharui penulisan buku teks yang berpihak pada keberagaman

suku, budaya, etnik dan agama.

2. Manfaat Praktis:

a. Bagi peneliti: Sebagai guru sejarah, peneliti akan lebih

memahami bagaimana memberdayakan kemampuan sebagai guru

dan pembelajar untuk mengembangkan materi kurikulum yang

terdapat dalam buku teks sehingga dapat mengambil makna yang

tersirat untuk menanamkan kesadaran akan keberagaman dalam

kesederajatan peserta didik yang merupakan bagian dari

(22)

b. Bagi peserta didik: diharapkan peserta didik memiliki wawasan

nilai-nilai multikulturalisme dalam memaknai buku teks, sehingga

menyadari perannya sebagai generasi muda yang memiliki latar

belakang perbedaan dan menghargai perbedaan tersebut sebagai

realitas social. Sehingga belajar sejarah, tidak terasa kering

makna, tapi justru dapat menggali nilai-nilai kerjasama di

tengah-tengah keberagaman masyarakat global.

c. Bagi sekolah: harapan penulis sebagai bagian dari keluarga besar

SMAN 3 Cimahi dapat menjadikan pendidikan multikulturalisme

itu sebagai pendidikan nilai yang akan menjadi prinsip prilaku

dan tata nilai dalam keseharian seluruh warga sekolah.

d. Bagi Pemrintah Daerah: harapan penulis dapat menjadi rujukan

bagaimana mengimplementasikan kurikulum KTSP di tingkat

daerah yang dapat mangangkat nilai-nilai budaya daerah yang

beragam sebagai bagian dari semangat pendidikan

multikulturalisme yang dapat dituangkan dalam buku teks

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan

Biklen (1990), mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati dan data yang dikumpulkan

melalui penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata daripada angka-angka.

Penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang berupaya untuk

memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan

orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan

pengumpulan berbagai bahan empiris, seperti studi kasus, pengalaman pribadi,

instropeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional

dan visual: yang benggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya

dalam kehidupan individual dan kolektif.

Istilah lain yang sering digunakan dengan makna penelitian kualitatif

adalah penelitian naturalistik. Guba (1985) menggunakan nama Naturalistic

Inquiry (inkuiri naturalistik), oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian kualitatif adalah cara mengamati dan pengumpulan data yang dilakukan dalam

latar/seting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subjek yang diteliti

(sebagaimana adanya, nature). Dilihat dari segi orientasinya, penelitian naturalistik berorientasi pada proses. Karena berorientasi pada proses, maka

penelitian naturalistik dianggap tepat untuk memecahkan permasalahan penelitian

yang berkaitan dengan kegiatan manusia.

(http://nunamuvie.blogspot.com/2011/04/konsep-dasar-penelitian-naturalistik.html, 11 Januari 2013).

Selanjutnya Lincoln dan Guba (1985:187-190), mengemukakan alasan

penggunaan metode naturalistik berdasarkan pertimbangan bahwa ciri utama dari

studi naturalistik adalah : pertama, realitas manusia tidak dapat dipisahkan dari

(24)

knowledge); ketiga, hasil penelitian yang dinegosiasikan dan interpretasi antara peneliti dan subjek penelitian; keempat, penafsiran atas data bersifat ideolografis

atau berlaku khusus, bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi

dan;kelima, temuan penelitian bersifat tentatif.

Penelitian Kualitatif Naturalistik memiliki karakteristik tersendiri sehingga

dapat membedakan dengan jenis penelitian yang lain. Beberapa karakteristik

tersebut menurut Bogdan dan Biklen (1990: 33-36) adalah:

1. Penelitian kualitatif memiliki setting (latar) alamiah sebagai sumber data

langsung dan peneliti merupakan instrumen kunci.

2. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif.

3. Peneliti kualitatif lebih memberikan perhatian pada proses daripada hasil.

4. Peneliti kualitatif cenderung menganalisis datanya secara induktif.

5. “Makna” merupakan perhatian utama bagi pendekatan kualitatif

Secara sederhana inkuiri naturalistik dapat didefinisikan sebagai inkuiri

yang dilakukan dalam latar/setting alamiah dengan menggunakan metode yang

alamiah pula (Aliasar 1998: 4). Sedangkan paradigma definisi sosial (social

defenition) menekankan hakikat kenyataan sosial yang didasarkan pada definisi subyektif dan penilaiannya. Struktur sosial menunjuk pada definisi bersama yang

dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok dan

menghubungkan satu sama lain. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola

interaksinya dibimbing oleh definisi bersama dan dikonstruksikan melalui proses

interaksi.

(http://nunamuvie.blogspot.com/2011/04/konsep-dasar-penelitian-naturalistik.html, 11 januari 2013).

Untuk mendapatkan data yang diiginkan dalam penelitian ini, maka

peneliti harus turun langsung ke lapangan, yakni di SMAN 3 Cimahi, untuk

mengadakan langsung pengamatan terhadap subjek penelitian. Dalam hal ini,

ketika peneliti turun langsung di lokasi penelitian, maka peneliti mengamati

langsung bagaimana siswa menggunakan buku teks, buku teks apa saja yang

digunakan dan mengamati langsung bagaimana guru menarik makna nilai-nilai

multikultural dalam menggunakan buku teks pelajaran sejarah di SMA 3 Cimahi.

(25)

menganalisis secara deskriptif tentang aspek-aspek apa saja dalam buku teks yang

digunakan oleh siswa di sekolah tersebut yang merepresentasikan

multikuluturalisme.

Alasan peneliti menggunakan metode naturalistik inkuri karena yang

diinginkan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran secara

mendalam dengan pengumpulan data pada natural setting (kondisi alamiah) melalui data-data yang diperoleh dari hasil kajian buku teks yang tersedia di

sekolah. Hal ini disebabkan nilai-nilai multikulturalisme tidak tersurat dalam

kurikulum resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga untuk mendapatkan

data penelitian, tentunya peneliti membutuhkan interpretasi terhadap buku teks

yang digunakan berupa kata-kata bukan angka-angka.

B. Subjek dan Lokasi Penelitian

Subjek penelitian menurut Guba (1958:201), Subjek penelitian berupa

peristiwa, manusia dan situasi yang diobservasi atau responden yang dapat

diwawancra. Sumber penelitian merupakan sumber informasi data yang ditarik

dan dikembangkan secara purposive. Subjek penelitian merupakan sumber data yang dapat memberikan informasi atau apa yang dapat membantu perluasan teori

yang dikembangkan.

Subjek penelitian atau sumber data penelitian yang ingin menggali

nilai-nilai multikulturalisme dalam buku teks pelajaran sejarah ini dipilih secara

purposive (teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu). Pencarian data yang diinginkan peneliti menuntut peneliti untuk menentukan

subjek penelitian sebagai sumber data, yakni orang yang memiliki kapasitas dan

relevansi dengan masalah yang ingin diteliti. Subjek penelitian dalam penelitian

ini adalah: 1) Guru sejarah 2)siswa 3) buku teks pelajaran sejarah.

Adapun lokasi penelitian yang dilaksanakan peneliti berkaitan dengan

judul tersebut, yakni Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Cimahi, yang terletak di

Jalan Pasantren No.161, Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota

Cimahi. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena pertama dilihat dari sisi

(26)

kepedulian terhadap fenomena sosial saat ini di mana seringkali keragaman

menjadi isu sensitif yang dapat menimbulkan konflik, padahal keragaman tersebut

dapat menjadi potensi dalam meningkatkan toleransi dan empati. Kedua, secara

objektif kondisi SMA Negeri 3 Cimahi terdiri dari berbagai latar belakang suku,

agama, sosial-ekonomi, dan budaya.

Sedangkan buku teks pelajaran sejarah yang digunakan di SMA Negeri 3

Cimahi adalah:

1. Listiyani, Dwi ari. (2012). Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS.

Jakarta:Pusat Perbukuan nasional.

2. Supritana, Nana. (2011). Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS.

Bandung: Grafindo Media Pratama.

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian

adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai “human instrument”, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,

melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan

data dan membuat kesimpulan serta temuannya (Sugiyono,2011:222). Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key instrument”, jadi peneliti adalah instrumen kunci.

Untuk kepentingan ini, peneliti menggunakan beberapa alat seperti berikut

ini, yaitu:

a. Field note (catatan lapangan): berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data atau informan.

b. Tape recorder: berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber

data.

c. Kamera: berfungsi untuk memotret pada saat wawancara. Dengan

adanya foto, maka akan meningkatkan keabsahan penelitian karena

(27)

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Menurut

Sugiyono (2011:225) dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan

pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participant

observation observation), wawancara mendalam (in dept interview) dan dukumentasi.

1. Observasi

Nasution (1988) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu

pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta

mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Marshall (1995) yang menyatakan bahwa “through observation, the reserarcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti belajar tentang prilaku dan makna dari prilaku tersebut (Sugiyono,2011:226).

Dalam konteks penelitian tentang nilai-nilai multikuralisme dalam buku

teks ini,peneliti melakukan observasi partisipasi pasif, dimana peneliti datang di

tempat kegiatan orang yang diamati (guru dan siswa), tetapi tidak ikut terlibat

dalam kegiatan tersebut. Tujuan peneliti melakukan observasi ini untuk

memperoleh data bagimana guru mengimplementasikan nilai-nilai

multikulturalisme dalam pembelajaran sejarah yang menggunakan buku teks,

karena KTSP memberikan keleluasaan kepada guru untuk mengembangkan

sendiri di dalam perencanaan dan pelaksanaan.

Menurut Patton dalam Nasution (1988), menyatakan bahwa manfaat

observasi adalah sebagai berikut:

a. Peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan

situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistic atau

(28)

b. Dengan observasi, maka akan diperoleh pengalaman langsung,

sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif,

jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya.

c. Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau

tidak diamati orang lain,khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara.

d. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya

tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena

bersifat sensitive atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama

lembaga.

e. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di luar

persepsi responden,sehingga peneliti memperoleh gambaran yang

lebih komprehensif.

f. Melalui pengamatan di lapangan,peneliti tidak hanya mengumpulkan

daya yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi dan

merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

Adapun materi yang menjadi bahan observasi dalam penelitian ini adalah:

pertama, bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai multikultural ke dalam materi sejarah. Kedua, bagaimana guru menyeleksi aspek-aspek materi yang bermuatan nilai-nilai multikultural. Ketiga, mengamati performance dan perilaku guru dalam pembelajaran yang mencerminkan sikap-sikap menghargai keragaman

peserta didik.

Selama kegiatan observasi di kelas, peneliti melakukannya hingga empat

kali. Observasi pertama, hari rabu tanggal 1 mei 1013, peneliti mengamati

bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam materi

sejarah. Pada saat itu materi yang dibahas oleh guru berkaitan dengan

upaya-upaya yang dilakukan Bangsa Indonesia dalam mempersiapkan kemerdekaan

Republik Indonesia. Obsevasi kedua, rabu tanggal 8 mei 2012, peneliti mengamati

kegiatan belajar mengajar di kelas, dimana saat itu sedang belajar dengan materi

(29)

saat ini guru masih meneruskan tema yang sama, namun ditambah dengan

bagaimana pengaruh Revolusi Industri itu pada Indonesia. Observasi keempat,

rabu tanggal 15 Mei 2013, pada saat ini peneliti mengamati kegiatan belajar di

kelas dengan tema Revolusi Amerika dan pengaruhnya bagi Indonesia. Pada

observasi di kelas ini terutama bertujuan untuk melihat bagaimana guru

mengimplementasikan nilai-nilai mutikulturalisme dengan menggunakan buku

teks pelajaran sejarah.

Adapun contoh hasil observasi yang dilakukan peneliti di kelas yang

berkaitan dengan implementasi pembelajaran sejarah dengan menggunakan buku

teks pelajaran sejarah adalah sebagai berikut:

LEMBAR HASIL OBSERVASI

Hari/tanggal Field notes

Rabu,1 mei 2013

 Guru mengucapkan salam, mempersilakan siswa berdo’a dan melantunkan asmaul husna, kemudian mengabsen siswa.

 Pada bagian apersepsi, guru bertanya jawab dengan siswa tentang hal-hal yang menyangkut persiapan proklamasi.

 Kemudian guru bertanya jawab tentang hal

BPUPKI;Guru:kapan berdirinya BPUPKI; Siswa yang bernama Zahrina menjawab tahun 1945; Guru: apa tujuannya?; Siswa yang bernama zahrina : (dengan melihat pada buku teks) untuk menyelidiki dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia sebelum proklamasi tiba;Guru: apa sebenarnya yang harus dipersiapkan menjelang proklamasi kemerdekaan?; Siswa (Nizar): dasar negara (Pancasila), yang rumusannya terdapat dalam pembukaan UUD 1945; Guru: Siapa saja tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam BPUPKI?; Siswa (Asep): Soekarno,

Moch.Hatta,Mr.Supomo dan Moch.Yamin.

 Guru menggambarkan tentang ide-ide awal lahirnya Pancasila, pertama dari Moch.Yamin : (1)peri

kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri ketuhanan (4) peri kerakyatan (5) kesejahteraan rakyat.Guru

menjelaskan satu persatu prinsip tersebut, kemudian pada saat prinsip ketuhanan, guru menggarisbawahi bahwa di Indonesia tidak boleh tidak beragama

(30)

Indonesia negara multi agama yang mengakui adanya Tuhan.

 Kedua, guru juga menggambarkan ide-ide Pancasila dari Mr.Supomo. (1) Guru bertanya tentang paham negara kesatuan, kemudian salah satu siswa bernama Kurnia menjawab bahwa pentingnya negara kesatuan karena Indonesia pulaunya banyak,tetapi tetap satu tujuan; Guru : menyatakan bahwa kita memiliki prinsip “Bhineka Tunggal Ika”.(2) Prinsip perhubungan negara dan agama. Guru: menjelaskan bahwa dalam hal ini negara ikut campur dalam urusan agama. (3)Sistem badan permusyawaratan.Guru: Kita harus mengedepankan musyawarah,sehigga siswa tidak akan terlibat tawuran. (4) Prisip sosialisme Indonesia. Guru: apa maksud dari prinsip tersebut? Siswa (Nindia): (dengan berdasarkan buku teks)segala sesuatu terutama kekayaan harus dikelola bersama dan dinikmati bersama.(5)Hubungan antar bangsa. Guru:apa pentingnya prinsip ini?Siswa (Asep): misalnya peran Indonesia dalam ASEAN. Guru menambahkan misalnya dalam hal pengakuan Indonesia sebagai negaramerdeka, butuh dukungan dan

pengakuan, baik secra de facto maupun de jure.  Ketiga, Guru mengemukakan ide yang dikemukakan

tentang Pancasila yang dikemukakan oleh Soekarno, yang meliputi prinsip: (1) Kebangsaan Indonesia ; (2)Internasionalisme atau perikemanusiaan; (3) Mufakat dan demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial; (5) Ketuhanan yang maha esa. Guru menjelaskan bahwa perinsip yang dikemukakan Soekarno yang dikemukakan tanggal 1 juni 1945 merupakan cikal bakal lahirnya Pancasila.  Ada pertanyaan dari siswa bernama Asep: berapa

anggota BPUPKI dan dari mana saja?; Guru: ada 60 orang, berasal dari berbagai daerah, tetapi mayoritas dari Jawa.

(31)

Islam. Guru: menggambarkan peristiwa ketika Mochammad Hatta (saat itu tahun 1945) kedatangan utusan dari Indonesia bagian timur,jika rumusan sila ke-1 dalam piagam Jakarta, maka negara Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan NKRI. Rumusan itu dihilangkan, agar tidak terjadi perpecahan antara penganut Islam yang mayoritas dan non Islam.

 Guru kemudian menggambarkan perubahan peran dari BPUPKI kepada PPKI.Tugas PPKI antara lain : (1) melanjutkan hasil kerja BPUPKI; (2) menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang; (3) mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan ketatanegaraan. Diantara persiapan itu antara lain

mempersiapkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, mengapa bukan bahasa Jawa yang penduduknya

mayoritas?; Siswa: karena bahasa Melayu lebih mudah dipahami dibanding bahasa daerah; Guru: menjelaskan kalau bahasa Jawa/ Sunda memiliki tingkatan bahasa, sedangkan Bahasa Melayu tidak memiliki tingkatan, jadi sifatnya lebih egaliter.

 Guru memperlihatkan slide tentang kondisi tahun 1944-1945, dimana wilayah Jepang di Pasifik direbut satu persatu oleh sekutu, sampai akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

 Selanjutnya guru memutar film tentang pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh sekutu.Sementara itu siswa setelah pemutaran film tersebut, dipersilakan untuk memberikan komentar. Kurnia: mengatakan bahwa Jepang itujahat; Asep: pemboman itu merupakan pembalasan dendam, karena Jepang telah menyerang Pearl Harbour pada awal PD II. Guru: mengklarifikasi bahwa peristiwa Sekutu menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh sekutu terhadap hukum perang, dimana kedua kota tersebut merupakan tempat rakyat sipil, bukan markas tentara. Begitu pula dengan Jepang, tidak menyerang rakyat sipil, namun ketika menyerang Pearl Harbour yang merupakan pangkalan militer Amerika Serikat, tidak didahului dengan pernyataan terlebih dahulu. Akhir dari PD II, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

(32)

kekalahan Jepang itulah, kemudian terjadi pertentangan antara golongan tua dan muda mengenai waktu

kemerdekaan Indonesia sehingga terjadilah Peristiwa Rengasdengklok yang bertujuan untuk mengamankan Soekarno dan Hatta dari pengaruh Jepang; Guru: siapa sajakah yang termasuk golongan tua dan muda

tersebut?; Siswa (Asep): yang termasuk golongan tua adalah Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo, sedangkan yang termasuk golongan muda antara lain Soekarni, Wikana dan Khairul saleh. Selanjutnya guru memperlihatkan slide profil tentang tokoh-tokoh tersebut.

 Guru memperlhatkan naskah proklamasi yang asli, dengan ditulis tangan dan ditik oleh Sayuti Melik. Guru juga mendeskripsikan kenapa ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, karena dianggap mewakili hadirin yang ada pada saat itu. Kenapa diproklamasikan di kediaman Soekarno, karena di lapangan IKADA banyak tentara Jepang yang berjaga-jaga sehingga dikhawatirkan terjadi bentrokan.

 Guru : mengklarfikasi tentang keotentikan naskah proklamasi dan bersama-sama, tetapi tidak

menyimpulkan materi yang sudah dipelajari. Guru menyampaikan tugas untuk pertemuan berikutnya.

2. Wawancara

Esterberg (dalam Sugiono,2011:231) mendefinisikan interview sebagai berikut:” a meeting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint contruction of meaning about particular topic”. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat

dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Mengenai pentingnya

mengumpulkan data melalui wawancara ini, Esterberg (Sugiono, 2011:231) mengemukakan bahwa “interviewing is at the heart of social research” (wawancara merupakan hatinya penelitian ilmu social).

Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara dengan guru yang selain

(33)

dengan guru E, peneliti ingin mendapatkan data yang berhubungan dengan

rumusan masalah no.1, yakni bagaimana pendekatan pendidikan multikultural di

sekolah SMAN 3 Cimahi. Sedangkan untuk mendapatkan informasi bagaimana

implementasi nilai-nilai multikulturalisme dalam buku teks mata pelajaran yang

mereka gunakan,apakah sudah merepresentasikam keragaman budaya, etnis,suku

dan agama yang ada di seluruh Indonesia, maka peneliti juga melakukan

wawancara. Wawancara dilakukan kepada guru sejarah D dan dan beberapa orang

siswa untuk memperoleh gambaran bagaimana mereka memaknai buku teks

pelajaran sejarah yang secara tersirat mengandung nilai-nilai multikulturalisme.

Adapun hal-hal yang menjadi bahan wawancara terhadap guru sejarah

dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Pandangan guru mengenai perlunya pendidikan multikulturalisme dalam

pendidikan sejarah.

2. Cara guru dalam menanamkan kesadaran multikultural kepada siswa

melalui pembelajaran sejarah.

3. Penggunaan buku teks dalam proses pembelajaran sejarah.

4. Pandangan guru mengenai buku teks pelajaran sejarah yang digunakan di

SMA 3 apakah telah dapat merepresentasikan keberagaman

budaya,etnis,suku dan agama.

5. Aspek-aspek apa saja dalam buku teks pelajaran sejarah yang

mencerminkan multikulturalisme.

6. Cara guru dalam menarik makna multikulturalisme melalui pembelajaran

sejarah dari buku teks yang digunakan oleh siswa.

7. Pandangan guru mengenai keragaman latar belakang siswa sebagai bahan

pendidikan multikultural melalui buku teks pelajaran sejarah.

8. Harapan guru dalam penggunaan buku teks pelajaran sejarah yang

berorientasi pada pendidikan multikultural.

Selain melakukan wawancara dengan guru sejarah, peneliti juga

melakukan dengan siswa. Tujuan mewawancarai siswa ini, untuk mengkonfrontir

(34)

ketika mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam materi sejarah.

Adapun pedoman wawancara peneliti dengan siswa tersebut, meliputi:

1. Pandangan siswa dalam memahami keragaman latar belakang budaya,

etnis, suku dan agama teman

2. Pandangan siswa mengenai cara menanamkan kesadaran akan perbedaan

melalui pendidikan sejarah.

3. Pandangan siswa pada saat menemukan realita di masyarakat bahwa

diantara teman-temannya ada perbedaan.

4. Pandangan siswa mengenai apakah buku teks pelajaran sejarah yang

digunakan sudah mewakili perbedaan latar belakang semua peserta didik,

baik agama, suku bangsa atau bahasa.

5. Pandangan siswa mengenai apakah guru sejarah ketika menggunakan

buku teks pelajaran sejarah dalam KBM melakukan penanaman nilai

tentang multikulturalisme

6. Pandangan siswa mengenai pemahamannya tentang keberagaman yang

disajikan dalam buku teks pelajaran sejarah

7. Harapan siswa mengenai buku teks pelajaran sejarah yang dapat

merepresentasikan keberagaman peserta didik.

3. Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa

berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam

penelitian ini, tentu saja peneliti sangat berkepentingan dengan dokumen,

misalnya:

a. Dokumen kurikulum: silabus guru mata pelajaran sejarah dan RPP

b. Dokumen sekolah: biodata guru dan siswa dan profil sekolah

c. Buku-buku teks pelajaran sekolah SMA yang digunakan di SMA 3

Cimahi

d. Buku-buku sejarah yang memuat “official history”

Studi dokumentasi dilakukan oleh penulis, terutama berkaitan dengan data-data

(35)

pendekatan pendidikan multikultural di sekolah dan aspek-aspek materi dalam

buku teks pelajaran sejarah yang berkaitan dengan nilai-nilai multikultural.

Data-data yang sudah dikumpulkan oleh penulis, kemudian direkam dan disalin

kembali dalam bentuk catatan lapangan, baik hasil wawancara dengan guru dan

siswa maupun hasil observasi, dari obsevasi pertama sampai keempat.

4. Triangulasi

Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat

menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang

telah ada. Tujuan triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang fenomena,

tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah

ditemukan, sebagaimana yang dkemukakan oleh Bogdan:“what the qualitative researcher is interested in is not truth perse, but rather perspectives. Thus, rather than trying to determine the”truth” of people’perceptions, the purpose of corroboration is too help researcher increase their understanding and probability that their finding will be seen as credible or wrthy of consideration by others”.

Nilai dari teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah konvergen,

tidak konsisten atau kontradiksi. Oleh karena itu dengan menggunakan teknik

triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan lebih

konsisten, tuntas dan pasti (Sugiyono,2011:241).

Misalnya untuk mendapatkan data bagaimana performance guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam materi dengan cara

menysisipkan pada materi yang relevan atau momen yang dianggap sesuai, maka

peneliti menggunakan teknik wawancara kepada beberapa orang siswa. Dari hasil

wawancara dengan siswa itulah, maka diperoleh kesesuaian data bahwa apa yang

dikemukakan siswa tentang guru D dalam mengintegrasikan nilai-nilai

multikulturalisme sesuai dengan yang dikemukakan guru dalam wawancara dan

(36)

E. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan, analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil dipahami

dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan

dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan

sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan

dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Menurut Miles dan huberman (dalam Sugiyono,2011:246) aktivitas dalam

analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus

menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Menurut Sugiyono,aktivitas

dalam analisis data yaitu: data reduction, data display dan conclusion drawing/verification.

1. Reduksi data (Data Reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting , dicari tema dan polanya. Dengan demikian

data yang direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan

mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya

dan mencarinya bila diperlukan. Misalnya, dalam reduksi data itu

bagaimana peneliti membuat kategori tentang aspek-aspek dari buku teks

pelajaran sejarah yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme

berdasarkan aspek peristiwa, tempat terjadinya peristiwa, tokoh yang

terlibat dalam peristiwa sejarah, kesetaraan gender maupun kebudayaan.

2. Data display

Dalam langkah selanjutnya, data selanjutnya disajikan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.

Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono:2011), yang paling sering

digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah

dengan teks yang bersifat naratif. Sebagaimana ciri dalam penelitian

kualitatif yang berupa kata-kata, maka penyajian data (data display) dalam

penelitian ini berupa deskripsi hasil temuan yang meliputi tiga rumusan

(37)

SMAN 3 Cimahi, aspek-aspek materi apa saja dari buku teks yang

mengandung nilai-nilai multikulturalisme dan bagaimana guru

mengimplementasikan nilai-nilai multikulturalisme itu dengan

menggunakan buku teks pelajaran sejarah.

3. Conclusing Drawing/verification

Langkah terakhir dalam analisis data ini adalah menarik kesimpulan. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek (“Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Buku Teks Pelajaran”) ,dimana sebelumnya

belum ada kejelasan, namun setelah diteliti menjadi jelas , yang dapat

berupa hubungan kausal, atau interaktif, hipotesis atau teori. Dalam

kesimpulan pun, peneliti merumuskannya sesuai dengan ketiga rumusan

(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan dan analisis, maka peneliti dapat menarik

kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan yaitu, pertama berkenaan dengan

pendekatan multikultural dalam pendidikan di SMA 3 Cimahi, secara formal tidak

nampak kebijakan yang mengarah pada pendidikan multikultural secara spesifik,

namun upaya untuk mewujudkan hal itu sudah tersurat dalam misi sekolah SMA

negeri 3 Cimahi, yakni: mewujudkan rasa saling menghargai dan menghormati

adanya perbedaan suku,agama dan status sosial dan memberikan pelayanan yang

oftimal kepada seluruh warga sekolah dalam berbagai bidang. Dalam prakteknya,

sekolah sudah terlihat dalam berbagai kegiatan sekolah, misalnya pada saat

penerimaan siswa baru yang tidak diskrimantif, kegiatan ekstra kurikuler yang

mencoba menampung penyalurang bakat, minat dan kemampuan siswa yang

beragam dan pembagian kelas secara acak berdasarkan latar belakang sosial

ekonomi dan prestasi yang berbeda-beda.

Kedua, aspek-aspek materi yang mencerminkan nilai multikulturalisme

dalam buku teks pelajaran sejarah, meliputi: peristiwa sejarah, tempat peristiwa

itu terjadi, tokoh sejarah, gender dan kebudayaan. Aspek-aspek tersebut tentunya

merepresentasikan kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia, karena peserta

didik merupakan miniatur realitas kehidupan sosial masyarakat. Dilihat pada

aspek peristiwa sejarah, memang tema-tema tentang peristiwa sejarah politik jauh

lebih banyak daripada tema-tema lain seperti sosial, ekonomi dan pendidikan.

Sementara itu dalam hal tema penyebaran agama, Hindu,Budha ,Islam dan kristen

sebenarnya sudah menunjukan bahwa agama-agama tersebut merepresentasikan

perbedaan agama yang dianut masyarakat Indonesia, walaupun porsinya berbeda.

Jika dilihat dari tempat peristiwa sejarah itu terjadi, nampak bahwa

daerah-daerah yang ditampilkan baik pada masa Hindu,Budha, Islam, maupun

(39)

keunikan masing-masing. Namun demikian, dinamika kelokalan belum nampak,

dimana daerah-daerah di Indonesia memiliki kontribusi besar dalam

kamajemukan masyarakat sebagai jatidiri bangsa.

Ketika berbicara tokoh atau pelaku sejarah, maka ada dua hal penting yang

melekat pada tokoh tersebut, yakni keterlibatan tokoh tersebut dalam peristiwa

sejarah dan tempat peristiwa atau darimana dia berasal. Tokoh-tokoh yang

ditampilkan dalam peristiwa sejarah dalam buku teks pelajaran masih bersifat

elitis, yakni mereka yang berasal dari golongan-golongan yang memiliki status

sosial tinggi seperti raja/sultan, keluarga raja dan bangsawan, golongan priyayi

atau tokoh-tokoh yang secara ekonomi mapan. Sedangkan representasi tokoh yang

didasarkan pada tempat/wilayah/daerah masih sangat terbatas pada tokoh-tokoh

yang dianggap berkontribusi pada sejarah nasional.

Dalam aspek gender, nampak belum berimbang keterwakilan tokoh

sejarah antara laki-laki dan perempuan. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam berbagai

peristiwa sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah dunia, peran perempuan

digambarkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Di dalam buku

teks pelajaran sejarah kelas XI misalnya, peranan perempuan yang dianggap

fenomenal adalah ketika Kartini membawa ide dan gagasan tentang kesetaraan

hak mendapatkan pendidikan dan pembaharuan status dalam masyarakat. Selain

Kartini, Dewi Sartika juga digambarkan sebagai kaum perempuan elite (ningrat)

yang dianggap memiliki jasa besar karena memperjuangkan pendidikan untuk

perempuan. Sedangkan tokoh-tokoh perempuan lain seperti Cut Nyak Dien,

Kristina Martha Tiahahu atau perempuan pelopor organisasi pergerakan cukup

hanya disebutkan dalam lintasan sejarah.

Aspek kebudayaan dalam buku teks pelajaran sejarah kelas XI

IPS,terutama berkaitan dengan kebudayaan Indonesia yang banyak dipengaruhi

oleh unsur-unsur kebudayaan lain, seperti Hindu,Budha, Islam, Portugis, Belanda

dan Jepang. Daerah-daerah di Indonesia yang pernah berinteraksi atau melakukan

kontak dengan pengaruh asing tersebut, mengalami akulturasi budaya sehingga

menghasilkan kebudayan-kebudayaan baru Indonesia yang beragam bentuk dan

Gambar

gambaran pendekatan

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disingkat (RPJM Desa) adalah Rencana Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun yang memuat visi

Kerusakan data dalam sistem yang sudah terkomputerisasi dapat melumpuhkan aktifitas bisnis dari perusahaan, dengan adanya back up system tersebut Shuttle Express memiliki

Berangkat dari data dan permasalahan yang ada tersebut, perencana berfikir perlunya upaya-upaya kongkrit yang mampu menjembatani berbagai kepentingan dalam pemanfaatan kawasan

Dan dari perhitungan-perhitngan yang telah dilakukan dalam perencanaan pintu air intake gate hydroulic yang bekerja pada kedalaman 12 m dibawah permukaan air, dengan tinggi

Gaya (style) yaiku cara ngandharake bab kanthi cara tartamtu, saengga apa.. Saka andharan mau, bisa diarani yen stilistika salah sawijine ilmu kang ngandharake

Indonesia memiliki aset potensial untuk menjadikan wakaf sebagai sumber dana bagi dunia pendidikan, yaitu dengan memiliki tanah wakaf yang luas dan potensi wakaf.. Perlu lembaga

Teori yang digunakan adalah teori Metaphor, ZMET, Consumer Insights, Consumer Behaviour, Consumer Psychology, Consumer Culture, dan Merek.. Metode penelitian yang

Untuk pelaksanaan penyaluran zakat/infaq/sedekah akan saya serahkan langsung tunai sebasar sebagaimana tersebut di atas kepada Petugas Pengelola Administrasi