NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME DALAM BUKU TEKS
PELAJARAN SEJARAH PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS
(Studi Naturalistik Inkuiri dalam Penggunaan Buku Teks
Pelajaran Sejarah di SMAN 3 Cimahi)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
Ane Jeane
1102584
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
NILAI-NILAI MULTIKULTURALISME DALAM BUKU TEKS PELAJARAN SEJARAH PADA SEKOLAH MENENGAH ATAS
(Studi Naturalistik Inkuiri dalam Penggunaan Buku Teks Sejarah di SMAN 3 Cimahi)
Oleh Ane Jeane S.Pd UPI, 2001
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Sejarah
© Ane Jeane 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
ABSTRAK
Tesis ini mengambil judul “Nilai-nilai multikulturalisme dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah Pada Sekolah Menengah Atas: studi Naturalistik Inkuiri dalam Penggunaan Buku Teks Pelajaran Sejarah di SMAN 3 Cimahi”. Sebagai sumber belajar, peranan buku teks pelajaran sejarah sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan memori kolektif bangsa, terutama berkaitan dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Namun penggunaan buku teks pelajaran sejarah di tingkat sekolah SMA, termasuk di SMA 3 Cimahi, masih dirasakan kurang maksimal, karena kurang memberikan dampak pembentukan pengetahuan, sikap dan nilai-nilai yang bermakna dalam kehidupan peserta didik. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan permasalahan penelitian ke dalam tiga rumusan, yaitu: bagaimana pendekatan pendidikan multikultural yang diterapkan di sekolah SMAN 3 Cimahi, aspek-aspek apa saja dari buku teks pelajaran sejarah yang mengandung unsur-unsur multikulturalisme dan bagaimana implementasi guru sejarah dalam menggunakan buku teks pelajaran sejarah yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode naturalistik inkuiri. Dari penelitian yang dilakukan terlihat bahwa pendidikan multikultural di SMAN 3 Cimahi tidak nampak secara formal dalam kebijakan sekolah, namun wawasan multikultural terlihat dalam rumusan misi sekolah yang ingin mewujudkan kehidupan sekolah tanpa membedakan ras, agama dan suku bangsa serta memberikan palayanan sekolah secara oftimal kepada semua warga sekolah. Aspek-aspek yang terkandung dalam buku teks pelajaran sejarah antara lain meliputi peristiwa, tokoh, tempat peristiwa sejarah, gender dan kebudayaan. Peristiwa sejarah yang diangkat menunjukkan kecenderungan yang lebih besar pada tema-tema politik, sedangkan tema-tema yang lain masih minim. Dalam hal ketokohan, masih bersifat “elitis”, karena menampilkan tokoh-tokoh yang secara sosial ekonomi mapan, sedangkan tokoh-tokoh yang merepresentasikan daerah di Indonesia, masih terbatas pada tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi terhadap sejarah nasional. Sedangkan jika dilihat dari aspek gender, maka tampak peran laki-laki mendominasi dalam hampir setiap peristiwa sejarah. Dalam aspek kebudayaan, keberagaman budaya masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan lain seperti Hindu, Budha, Islam dan kolonial asing. Sementara itu implementasi nilai-nilai multikulturalisme melalui buku teks pelajaran sejarah tersebut sudah dilakukan oleh guru, walaupun belum oftimal. Implementasi dalam proses pembelajaran sejarah, yaitu dengan cara menyisipkan setiap aspek yang mengandung unsur multikultural ke dalam proses kegiatan pembelajaran tersebut. Selain itu, guru berusaha menampilkan nilai-nilai multikultural bukan hanya melalui pengintegrasian ke dalam materi sejarah namun guru menunjukkan performance, perilaku yang berorientasi multikultural sehingga dapat menjadi teladan bagi peserta didik.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Penelitian ... 11
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Tujuan Penelitian ... 12
E. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II STUDI PUSTAKA A. Pengertian Buku Teks Pelajaran Sejarah ... 14
B. Tujuandan Materi Pendidikan Sejarah ... 19
C. Multikulturalisme dalam Pendidikan Sejarah ... 23
D. Penelitian Terdahulu ... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 35
B. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 37
D. Teknik Pengumpulan Data ... 39
E. Teknik Analisis Data ... 48
BAB IV HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Letak, Sejarah dan Keadaan Sekolah ... 50
2. Visidan Misi Sekolah ... 52
B. Deskripsi Hasil Temuan
1. Pendekatan Pendidikan Nilai Multikultural di SMAN 3
Cimahi ... 54
2. Aspek-aspek Materi dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah
Yang Mengandung Nilai Multikultural ...
3. Implementasi Nilai-nilai Multikulturalisme dalam
Pembelajaran Sejarah dengan Menggunakan Buku Teks
Pelajaran Sejarah ... 83
C. Pembahasan
1. Pendekatan Pendidikan Nilai Multikultural di SMAN 3
Cimahi ... 93
2. Aspek-aspek Materi dalam Buku Teks Pelajaran Sejarah
yang Mengandung Nilai Multikultural... 102
3. Implementasi Nilai-nilai Multikulturalisme dalam
Pembelajaran Sejarah dengan Menggunakan Buku Teks
Pelajaran Sejarah Di SMA Negeri 3 Cimahi ... 119
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan ... 129
B. Rekomendasi ... 131
DAFTAR GAMBAR
4.1. Upacara Adat di Bali ... 78
4.2. Bentuk Kebudayaan Berupa Seni Bangunan ... 79
DAFTAR TABEL
4.1. Tabel Sarana/ fasilitas sekolah ... 50
4.2. Tabel Jumlah seluruh siswa tahun ajaran 2012-2013 ... 51
4.3. Tabel Latar Belakang pekerjaan orang tua siswa kelas XI IPS tahun
ajaran 2012-2013 ... 52
4.4. Tabel Latar Belang agama siswa siswa kelas XI IPS tahun ajaran
2012-2013 ... 52
4.5. Tabel Latar Belang agama siswa siswa kelas XI IPS tahun ajaran
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman wawancara dengan guru sejarah dan siswa ... 137
Lampiran 2. Lembar Hasil Observasi ... 140
Lampiran 3. Lembar Hasil Wawancara dengan Guru ... 151
Lampiran 4. Lembar Hasil Wawancara dengan Siswa ... 156
Lampiran 5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 172
Lampiran 6. Foto wawancara peneliti dengan guru sejarah dan siswa ... 184
Lampiran 7. Foto kegiatan ekstra kurikuler di SMAN 3 Cimahi ... 191
Surat Permohonan Izin Melakukan Studi Lapangan atau Observasi
Surat Pengangkatan Pembimbing Tesis
Surat Keterangan dari Sekolah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu bagian penting dalam pendidikan sejarah di Indonesia adalah
peranan buku teks pelajaran sejarah. Sebagai sumber belajar, peranan buku teks
pelajaran sangat besar pengaruhnya dalam menciptakan memori kolektif
bangsa,terutama berkaitan dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Namun
penggunaan buku teks pelajaran sejarah di tingkat sekolah SMA, masih dirasakan
kurang maksimal, terutama karena kurang memberikan dampak pembentukan
pengetahuan yang bermakna.
Sebenarnya penggunaan buku teks pelajaran sejarah di sekolah, terutama
di SMA 3 Cimahi sudah dilakukan oleh guru-guru sejarah, namun keterbatasan
pembelajaran sejarah yang hanya berpusat pada pengetahuan saja, telah membuat
siswa dihadapkan pada lautan fakta tanpa makna. Sedangkan misi pendidikan
nilai, termasuk di dalamnya menghargai nilai-nilai keberagaman
(multikulturalisme, misalnya) luput dari perhatian guru sejarah. Dengan prioritas
pembelajaran sejarah yang selama ini ditekankan pada kemampuan kognitif saja,
telah pula mengaburkan proses pembelajaran sejarah yang semestinya, dimana
peran siswa sebagai pembelajar tidak mendapat kesempatan untuk
mengkonstruksi pengetahuan baru setelah belajar dengan menggunakan buku
teks. Kondisi seperti itu telah membuat peran buku teks pelajaran sejarah sebagai
sumber belajar tidak menarik perhatian siswa. Mengenai hal tersebut, Komalasari
(2010:43) mengemukakan bahwa:
Menurut Sjamsuddin (2007), buku teks (texbook) adalah buku ajar yang
menjadi pegangan utama dalam proses pembelajaran (learning) dan pengajaran
(teaching) yang digunakan oleh para siswa dan/atau mahasiswa. Sedangkan
menurut Komalasasri (2010), buku teks pelajaran pada hakikatnya merupakan
buku pelajaran dalam bidang studi tertentu yang merupakan buku standar, disusun
oleh para pakar dalam bidang itu dengan maksud dan tujuan instruksional,
dilengkapi dengan sarana-sarana pembelajaran yang serasi dan mudah dipahami
oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan pergruruan tinggi sehingga dapat
menunjang suatu program pembelajaran.
Buku teks sejarah, yang merupakan buku pelajaran di sekolah-sekolah
sebetulnya masih merupakan sumber utama yang digunakan oleh guru dan siswa
dalam menunjang proses pembelajaran. Menurut Sjamsuddin (2000:1),
kedudukan, fungsi dan peranan buku teks sejarah amat strategis karena
menyangkut pembentukan aspek-aspek kognitif (intelektual) dan afektif
(apresiasi, nilai-nilai) semua peserta didik dari setiap jenjang pendidikan. Sejarah
nasional, khususnya dianggap mempunyai nilai didaktif-edukatif bagi
pembentukan jati diri bangsa dan pemersatu berdasarkan atas pengalaman kolektif
bernegara dan berbangsa.
Sementara itu ketergantungan siswa terhadap buku teks pelajaran sejarah
sebenarnya sangat besar, namun keberadaannya hanya sebagai media untuk
mencapai “nilai akhir kognitif” saja, belum dapat memaknai isinya. Yang lebih
memprihatinkan, kecenderungan peserta didik hanya menggunakan buku teks
pelajaran sejarah pada saat-saat tertentu saja, yakni pada saat akan ulangan atau
akan mengerjakan tugas dari guru. Dalam hal ini peserta didik belum dapat
memahami buku teks itu sebagai sumber belajar sejarah yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai pendidikan dirinya sebagai bagian dari jatidiri bangsa. Sebagai
alat pendidikan jati diri bangsa, maka tentu saja kepentingan peserta didik harus
terwakili dalam buku teks pelajaran sejarah, dimana di dalamnya jangan hanya
didominasi oleh salah satu etnis,budaya, suku dan agama dominan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
ratusan etnis,agama, budaya dan adat istiadat, yang tersebar di sekitar 13.000
pulau besar dan kecil serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah
(Koentjaraningrat:1970; Thahari:2000;Supardan,2008:245). Realitas demikian
telah menjadikan pluralisme itu sebagai potensi, sekaligus sebagai tantangan,
karena kalau tidak dikelola dengan baik, maka akan terjadi gejolak sosial yang
bernuansa SARA. Atas dasar itulah, maka pendidikan multikulturalisme
merupakan keniscayaan, tidak terkecuali dalam pendidikan sejarah terutama bagi
peserta didik, yang merupakan pewaris generasi berikutnya.
Pada saat ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bangsa di dunia ini yang
memiliki nilai dan budaya yang homogen. Indonesia adalah salah satu negara di
dunia ini yang memiliki keragaman budaya yang kompleks. Menurut Wolpert
(dalam Hasan,2012:103), India adalah negara di dunia ini yang tiada duanya
dalam tingkat keragaman sosial dan budaya, dan bangsa Indonesia “next to it”.
Dengan demikian, sebenarnya jika dikelola dengan baik, maka keragaman budaya
peserta didik dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan belajar peserta didik.
Pendidikan sejarah harus mampu mengembangkan dan memperkuat jati diri
bangsa berdasarkan keragaman budaya yang ada (Hasan,2012:103).
Oleh karena itu tidak mengherankan jika salah satu prinsip yang
dikemukakan oleh Greene dan Petty (dalam Komalasari,2010:44-45) bahwa buku
teks harus menghargai perbedaan individu. Dalam hal ini, bahwa buku teks
pelajaran sejarah sebagai bagian penting dalam proses pendidikan, harus mampu
mengembangkan potensi (keragaman peserta didik), sehingga dapat mengubah
perbedaan budaya dari potensi sumber konflik menjadi sumber kerjasama yang
produktif dan sumber inspirasi bagi budaya lain (Hasan, 2012:104).
Di sisi lain, walaupun peranannya cukup signifikan, namun dalam
pemanfaatan buku tersebut, masih terbatas pada fungsi sebagai alat bantu siswa
dalam mengerjakan tugas di rumah, menyiapkan ulangan akhir program semester
serta evaluasi belajar tahap akhir (Supriatna, 2007:174). Padahal sesungguhnya
banyak hal yang bisa diperoleh dari buku teks, seperti dikemukakan oleh Garvey
dan Krug (dalam Supriatna,2007:175) yang menawarkan lima jenis keterampilan
1. Keterampilan merujuk (refference skill)
2. Keterampilan pemahaman (comprehension skill)
3. Keterampilan menganalisis dan mengkritisi (analytical and critical skill)
4. Keterampilan mengembangkan imajinasi (imaginative skill)
5. Keterampilan membuat catatan (note-making skill)
Buku teks pelajaran sejarah yang ditulis selalu merujuk pada kurikulum
yang berlaku. Hal ini membawa dampak pada pasang surut pengajaran sejarah di
Indonesia, dan pada gilirannya penulisan buku-buku teks sejarah untuk
sekolah-sekolah, erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pendidikan dan/atau politik
tentang sekolah dan kurikulum (Sjamsuddin,2000:6). Kurikulum yang
diberlakukan secara nasional tersebut sangat sarat dengan muatan ideologi serta
kepentingan tertentu. Hal ini seperti dikemukakan oleh Hasan (dalam
Supriatna,2007:180) bahwa negara, sebagai institusi yang memiliki kuasa (power)
atas struktur yang ada sangat berkepentingan dengan persekolahan, dan oleh
karena itu pesan-pesan negara dalam kurikulum tidak dapat dihindari. Dengan
demikian, penulis buku teks pelajaran sejarah akan memilih materi secara parsial,
terpisah dan sarat dengan pesan-pesan nilai.
Sebagai bagian dari kurikulum, maka penulisan buku teks pelajaran ini
tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politis pemerintah. Seperti sudah
dikemukakan bahwa landasan kurikulum, baik filosofis maupun landasan politis
turut berperan bagaimana sejarah itu diajarkan dalam lingkungan pendidikan dan
bagaimana pendidikan sejarah itu menciptakan memory collective bangsa.
Sementara itu pembentukkan “memory collective” bangsa terjadi karena pengaruh kurikulum yang merupakan kebijakan publik pemerintah, dimana subjektifitas
adalah suatu keniscayaan. Subjektifitas itu terjadi, baik dalam pemilihan materi
maupun penafsiran tunggal “official history” terhadap peristiwa sejarah yang ada dalam dokumen kurikulum.
Sepanjang sejarahnya, kurikulum pendidikan sejarah, sebagai produk
kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari politik. Karena kurikulum merupakan
didik, tetapi menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Dalam hal ini Hasan
mengemukakan:
Kebijakan pendidikan dan pemikiran kurikulum ditetapkan melalui berbagai keputusan di bawah undang-undang seperti keputusan presiden, keputusan pemerintah,keputusan menteri, dan produk-produk hukum yang lebih rendah. Kepedulian terhadap politik dan pengaruh kepentingan politik terhadap pendidikan semakin kuat dari masa sebelumnya.
Kurikulum sebagai ”the heart of education” tidak luput dari kebijakan yang sangat ditentukan oleh kepentingan politik. Adalah sesuatu yang tidak keliru jika dikatakan bahwa kebijakan pendidikan yang sangat didasarkan kepada kepentingan politik tersebut sebenarnya diarahkan langsung terhadap kurikulum.Hal ini bukan sesuatu yang aneh dan spesifik Indonesia karena dimana pun di dunia ini kurikulum tidak mungkin melepaskan diri dari pengaruh politik (Apple, 1979; Giroux, 1984; Longstreet dan Shane, 1993; Li, 2004).
( http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/s_hamid_hasan.pdf, 14 april 2012).
Landasan kurikulum yang demikian membawa dampak pada penulisan
buku teks pelajaran sejarah, karena penulisan buku teks pelajaran sejarah
berdasarkan pada kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal ini,
Mulyana (2012) mengatakan bahwa :
Subjektifitas interpretasi sejarah pada buku teks mata pelajaran sejarah merupakan implementasi dari landasan filosofis dan politis pada kurikulum.Penafsiran sejarah pada ranah kurikulum merupakan bentuk dari official history yang diproduksi oleh pemerintah.Sejarah yang demikian telah mampu membangun suatu narasi formal yang berbeda dengan narasi pinggiran (Henk Schulte Nordholt,2008:24-31;Agus Mulyana,2012:vii). Narasi formal dapat menjadi arus utama dalam penafsiran sejarah yang berkembang di masyarakat, karena sosialisasinya sangat luas melalui institusi pendidikan.
Dengan demikian, kepentingan politik pemerintah menentukan faktor pemilihan
peristiwa sejarah yang dijadikan topik pendidikan sejarah beserta dengan
penafsiran resmi pemerintah terhadap peristiwa tersebut. Dengan official history, bukan hanya kebenaran berdasarkan kaedah keilmuan semata yang dijadikan
kriteria, tetapi kebenaran berdasarkan kaedah keilmuan dan kepentingan bangsa
(Hasan,2012:29).
Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber dan media pembelajaran
pelajaran sejarah disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku. Kurikulum yang
pernah berlaku di Indonesia sejak awal kemerdekaan yaitu Kurikulum 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004 atau dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), dan sekarang berlaku Kurikulum 2006 atau dikenal dengan
nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Dalam perjalanan kurikulum pendidikan sejarah, buku teks menjadi bagian
penting dalam pendidikan secara umum yang diperuntukkan bagi anak bangsa
(peserta didik) sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan sejarah. Diantara
tujuan pendidikan sejarah bagi peserta didik adalah pembentukan nasionalisme,
sehingga seleksi materi yang relevan dengan nasionalisme itulah yang diangkat
menjadi tema-tema peristiwa sejarah dalam penulisan buku teks. Mulyana (2012)
mengatakan:
Sejarah dalam konteks ini lebih ditempatkan sebagai alat politik yaitu menanamkan semangat kebangsaan kepada anak didik.Nasionalisme versus indentitas etnik.Sebagaimana telah dikemukakan bahwa buku sejarah yang ditulis untuk kepentingan pendidikan di Indonesia adalah sejarah nasional. Pemberian nama ini mengindikasikan bahwa misi utama pelajaran sejarah adalah membangun nasionalisme. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu baik diberikan interpretasi sebagai peristiwa
“miliknya” negara Indonesia.Ada semacam legitimasi terhadap fakta-fakta sejarah. Legitimasi sejarah bagi upaya pembangunan kesadaran berbangsa bagi pemerintah dianggap penting. Sebagaimana dikatakan oleh Eric Hobsbawn bahwa negara biasanya melakukan ideologisasi dan mitologisasi historis melalui kreativitas penulisan sejarah dalam rangka menemukan kesamaan warisan kultural, kesamaan pahlawan, kesamaan norma, kesamaan adat istiadat dan lain sebagainya.
(http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/1966080819 91031- AGUS_MULYANA/Artikel_Malaysia.pdf,14 mei 2012)
Interpretasi dalam official history yang diberlakukan pada masa orde baru
cenderung bersifat sentralistis, sehingga pembentukan memory collective bangsa
yang terjadi adalah bentuknya yang seragam atau ”uniformity”. Nasionalisme yang dibentuk pada misi pelajaran sejarah lebih menekankan pada penyatuan dan
keseragaman daerah. Setiap daerah dicari dan ditampilkan dalam periode sejarah
Indonesia, misalnya ditampilkan tokoh-tokoh pahlawan dari masing-masing
nasional itu, antara lain Cut Nyak Dien dari Aceh, Imam Bonjol dari Sumatera
Barat, Sisingamaraja dari Sumatera Utara, Dipenogeoro dari Jawa, Patimura dari
Maluku, Jelantik dari Bali, Hasanudin dari Makassar dan lain-lain. Dengan
demikian dinamika lokal dalam perlawanan tokoh-tokoh daerah seringkali
menjadi terabaikan, bahkan tidak kelihatan perannya sama sekali.
(http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/196608081991031-AGUS_`MULYANA/Artikel_Malaysia.pdf,14 mei 2012).
Atas dasar kenyataan tersebut, sampai saat ini kita menyadari bahwa buku
teks masih dianggap sebagai bagian penting dalam pembelajaran sejarah, namun
belum dapat mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme. Padahal peserta didik
adalah bagian dari masyarakat yang plural, dimana mereka harus terbiasa dengan
keberagaman dan menghormati keberagaman sebagai realitas hidupnya.
Pluralisme budaya bukanlah sesuatu yang “given”, tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas (Tilaar,2005:11). Gagasan
tentang “cultural pluralism” bagi Indonesia sudah mulai menjadi bahan pemikiran sejak periode Kebangkitan Nasional, karena kemajemukan yang dipersatukan
dalam Sumpah Pemuda merupakan pengakuan akan realitas, sekaligus merupakan
cita-cita yang diperjuangkan agar terwujud (Wiriaatmadja,2002:257). Hal tersebut
menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai kesadaran keberagaman sudah
dilakukan sejak lama, bahkan menjadi bagian materi terpilih dalam buku teks
pelajaran sejarah.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural
adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesedarajatan baik secara individual maupun
secara kebudayaan (Fay:1996; Jary dan Jary:1991;Watson:2000;Suparlan:2005).
Dalam model multikulturalisme ini, menurut Suparlan (2005:24), sebuah
masyarakat dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Relevansi buku teks
dengan model “mosaik” yang dikemukakan oleh Parsudi Suparlan tersebut,
Kartodirdjo dalam bukunya “Indonesian Historiography” dengan mengemukakan tentang representasi pemuda daerah dalam peristiwa Sumpah pemuda.
It must be admitted at this stage of development their intellectual horizon was still confined within the cultural realm of ethnicity. The ethical enroachment of their world-view was also quite tangible in their identity. The labels of their ethical identity were manifested by name of their organizations, e.g. Boedi Oetomo (Noble Endeavour), Jong Java (Young Java), Jong Sumatra (Young Sumatra), Pasoendan (The Sunda Realm).They all refer to regions and their culture.(Kartodirdjo,2000:59).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hieronymus Purwanta (2012)
tentang “Wacana identitas Nasional : Analisis Isi Buku Teks Pelajaran Sejarah
SMA 1978-2008”, tampak bahwa eksplanasi historis tentang keberagaman masih
sangat kurang. Sebagai buku teks pelajaran sejarah, kurangnya perhatian terhadap
keragaman etnik dan disertai keberimbangan dalam narasi akan menyampaikan
pesan kepada siswa SMA bahwa kelahiran Indonesia adalah sekedar keputusan
politik yang terjadi di Jawa pada tahun1945 oleh orang Jawa atau orang luar Jawa
yang telah mengalami “penjawaan”. Dengan kata lain, identitas keindonesiaan
yang sekarang mereka miliki adalah status politik selama masih dalam dominasi
etnik Jawa.
Realitas masyarakat Indonesia secara sisiokultural adalah masyarakat yang
plural baik secara etnis, budaya, dan agama. Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa nasionalisme Indonesia muncul sebagai gerakan kontra produktif terhadap
kolonialisme. Akan tetapi, dalam perjalanannya kemudian nasionalisme yang
bermakna penyatuan etnis dipertanyakan kembali, muncul berbagai konflik etnis
dan adanya semangat kedaerahan yang kuat. Bagaimanakah pendidikan sejarah di
Indonesia mampu mengakomodir keberagaman yang ada di masyarakat.
Konsep-konsep tentang etnisitas dan nasionalitas dijabarkan kembali, dengan tujuan agar
gambaran keberadaan jati diri etnik seseorang jelas dimana tempatnya di dalam
kebersamaan dan keseluruhan (Wiriaatmadja, 2012: 254).
Dari kecenderungan tersebut, telah menimbulkan keresahan penulis
sehingga memilih tema penelitian tesis ini, karena melihat masih banyak yang
harus dibenahi dan dikaji ulang dalam pemilihan materi buku teks pelajaran
didik sebagai realitas sosial di lingkungan peserta didik. Dengan pemikiran
demikian, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan mengenai
bagaimana mengambil makna nilai-nilai multikulturalisme dari buku teks
pelajaran sejarah di SMA, karena berkaitan dengan kondisi kesadaran global yang
mengalami kecenderungan akan munculnya kesadaran kelokalan (etnik).
“Multikultural approach”, adalah suatu pemahaman dalam memandang keragaman budaya dalam kesetaraan para pengikutnya (Wiriaatmadja, 2007:217).
Menurut Hasan (2012), ada lima alasan mengapa pendidikan multikultural
diperlukan, yaitu:
1. Perubahan kehidupan manusia Indonesia yang disebabkan oleh kemajuan
ekonomi dan teknologi.
2. Adanya perpindahan dan mobilitas penduduk yang cukup tinggi.
3. Semakin terbukanya daerah-daerah pedesaan.
4. Berbagai konflik sosial-budaya yang muncul akhir-akhir ini
memperlihatkan adanya kesalahpahaman budaya yang sangat besar antara
kelompok yang bertikai.
5. Menghapuskan mitos dan tafsiran sejarah yang tidak menguntungkan bagi
persatuan bangsa.
Mengenai kecenderungan tersebut, Wiriaatmadja (2002:152)
mengemukakan bahwa :
Pendidikan multikultural (multicultural teaching) menghargai kebhinekaan etnik atau budaya. Upaya-upaya sadar ke arah integrasi bangsa dan budaya, tidak diartikan sebagai peniadaan atau negasi terhadap identitas diri dan budaya. Pembelajaran sejarah dengan pendekatan multikultural ditandai oleh berbagai sikap guru yang menghargai setiap perbedaan etnik atau budaya di kalangan peserta didiknya. Ia akan menghindari ucapan, perilaku atau sikap yang mengarah kepada stereotyping, dengan mengelompokkan “kita”, (ingroup) dan “mereka” (outgroup). Ia juga akan melakukan seleksi bahan pembelajaran yang mewakili secara adil setiap wilayah bahasa, kultur dan etnik.
Dengan pendekatan multikultural dalam pembelajaran sejarah, akan
membawa peserta didik kepada perkembangan dirinya dalam “berbagi
mempelajari perbedaan dan persamaan dari zaman ke zaman serta
menghormatinya Wiriaatmadja, 2002:152).
Kemajemukan etnis dan budaya sebetulnya baik secara historis maupun
antropologis yang ada di Indonesia itu sudah sangat kondusif bagi penerapan
pendekatan multikultural (Supardan,2008:248). Hal ini pula yang menjadi alasan
mengapa pendekatan multikultural penting dalam dunia pendidikan, karena
peserta didik merepresentasikan keberagaman masyarakat yang pluralis. Kondisi
siswa yang majemuk dapat dilihat sebagai potret kondisi masyarakat
sesungguhnya sehingga kelas merupakan miniatur dari masyarakat Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka di dalam kelas perlu dilakukan proses
pendidikan yang dapat membangun perasaan menghargai berbagai keragaman
(Sumantri, 2008:159). Pendidikan multikultural menurut Banks (dalam
Sumantri,2008:160) ditekankan pada pembentukan lingkungan pendidikan
dimana siswa yang berasal dari berbagai kelompok budaya akan mendapatkan
pengalaman pendidikan yang sama.
Esensi pendidikan multikultural adalah perubahan sosial dalam
pendidikan.Perubahan ini menurut Gorski (dalam Sumantri,2008:161) akan
mengarah pada terjadinya tiga transformasi, yaitu:
1. Transformasi diri. Pendidikan yang multikultural akan selalu melakukan
langkah tarnsformasi dan menilai diri sendiri terhadap proses
pembelajaran yang dilakukan. Apakah prasangka,bias dan asumsi-asumsi
telah membentuk jalannya proses pembelajaran sehingga mempengaruhi
pengalaman para siswa?
2. Transformasi sekolah dan persekolahan. Pendidikan multikultural akan
dapat menilai secara kritis seluruh aspek persekolahan.
3. Transformasi masyarakat. Inti dari tujuan pendidikan multikultural
adalah untuk memberikan kontribusi secara progressif dan proaktif dalam
melakukan tranformasi masyarakat serta mengaplikasikan keadilan sosial
dan persamaan.
Wiriaatmadja (2002:225) mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan
pengetahuan,sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya
etnik mereka, budaya nasional dan antar etnik lainnya. Akhirnya hasil yang
diinginkan setelah siswa belajar sejarah dengan menggunakan buku teksnya, maka
muncul kesadaran akan peran dirinya sebagai bagian dari masyarakat
lokal,nasional dan global, karena pengenalan akan identitas dirinya diawali dari
pengenalan terhadap etnis budaya dalam bentuknya yang beragam. Keragaman itu
meliputi adat kebiasaan, asal-usul, tempat bersejarah, bahasa dan lain-lain.
Dengan pendekatan multikultural, maka menempatkan peran siswa (peserta didik)
setara dalam keberagaman dan menghargai atas perbedaan itu,sehingga peserta
didik dalam menjalankan perannya di masyarakat akan terhindar dari
kesalahpahaman, prasangka dan konflik-konflik khorizontal. Berdasarkan alasan
itulah, peneliti memfokuskan penelitian ini yang ingin mendapatkan jawaban
dalam mengkaji “Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Buku Teks Pelajaran
Sejarah pada Sekolah Menengah Atas: Studi Naturalistik Inkuiri dalam
Penggunaan Buku Teks Pelajaran Sejarah di SMA 3 Cimahi”.
B. Fokus Penelitian
Adapun yang menjadi fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang
bagaimana menganalisis dan menemukan nilai-nilai multikulturalisme dalam
buku teks pelajaran sejarah yang diperuntukkan bagi siswa sekolah menengah atas
di sekolah SMAN 3 Cimahi .
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pendekatan pendidikan multikulturalisme yang
diterapkan di SMA Negeri 3 Cimahi?
2. Aspek-aspek materi apa saja yang terdapat dalam buku teks pelajaran
3. Bagaimanakah implementasi yang dilakukan oleh guru dalam
mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme dalam buku teks
pelajaran sejarah di SMA?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan peneltian yang ingin dicapai oleh penulis adalah meliputi :
1. Untuk memperoleh gambaran pendekatan pendidikan
multikulturalisme yang diterapkan di SMA Negeri 3 Cimahi?
2. Untuk memperoleh gambaran aspek-aspek materi dalam buku teks
pelajaran sejarah yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme
3. Untuk memperoleh gambaran bagaimana implementasi yang dilakukan
oleh guru dalam mengembangkan nilai-nilai multikulturalisme dalam
buku teks pelajaran sejarah di SMA.
E. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat. Manfaat tersebut bisa
bersifat teoritis dan praktis (Sugiyono,2011:291). Adapun yang menjadi manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis: Untuk memperkaya wawasan dan cakrawala tema
penelitian kualitatif dalam Pendidikan Sejarah serta dapat
memperbaharui penulisan buku teks yang berpihak pada keberagaman
suku, budaya, etnik dan agama.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi peneliti: Sebagai guru sejarah, peneliti akan lebih
memahami bagaimana memberdayakan kemampuan sebagai guru
dan pembelajar untuk mengembangkan materi kurikulum yang
terdapat dalam buku teks sehingga dapat mengambil makna yang
tersirat untuk menanamkan kesadaran akan keberagaman dalam
kesederajatan peserta didik yang merupakan bagian dari
b. Bagi peserta didik: diharapkan peserta didik memiliki wawasan
nilai-nilai multikulturalisme dalam memaknai buku teks, sehingga
menyadari perannya sebagai generasi muda yang memiliki latar
belakang perbedaan dan menghargai perbedaan tersebut sebagai
realitas social. Sehingga belajar sejarah, tidak terasa kering
makna, tapi justru dapat menggali nilai-nilai kerjasama di
tengah-tengah keberagaman masyarakat global.
c. Bagi sekolah: harapan penulis sebagai bagian dari keluarga besar
SMAN 3 Cimahi dapat menjadikan pendidikan multikulturalisme
itu sebagai pendidikan nilai yang akan menjadi prinsip prilaku
dan tata nilai dalam keseharian seluruh warga sekolah.
d. Bagi Pemrintah Daerah: harapan penulis dapat menjadi rujukan
bagaimana mengimplementasikan kurikulum KTSP di tingkat
daerah yang dapat mangangkat nilai-nilai budaya daerah yang
beragam sebagai bagian dari semangat pendidikan
multikulturalisme yang dapat dituangkan dalam buku teks
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan
Biklen (1990), mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati dan data yang dikumpulkan
melalui penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata daripada angka-angka.
Penelitian kualitatif bekerja dalam setting yang alami, yang berupaya untuk
memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan
orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan
pengumpulan berbagai bahan empiris, seperti studi kasus, pengalaman pribadi,
instropeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional
dan visual: yang benggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya
dalam kehidupan individual dan kolektif.
Istilah lain yang sering digunakan dengan makna penelitian kualitatif
adalah penelitian naturalistik. Guba (1985) menggunakan nama Naturalistic
Inquiry (inkuiri naturalistik), oleh karena ciri yang menonjol dari penelitian kualitatif adalah cara mengamati dan pengumpulan data yang dilakukan dalam
latar/seting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subjek yang diteliti
(sebagaimana adanya, nature). Dilihat dari segi orientasinya, penelitian naturalistik berorientasi pada proses. Karena berorientasi pada proses, maka
penelitian naturalistik dianggap tepat untuk memecahkan permasalahan penelitian
yang berkaitan dengan kegiatan manusia.
(http://nunamuvie.blogspot.com/2011/04/konsep-dasar-penelitian-naturalistik.html, 11 Januari 2013).
Selanjutnya Lincoln dan Guba (1985:187-190), mengemukakan alasan
penggunaan metode naturalistik berdasarkan pertimbangan bahwa ciri utama dari
studi naturalistik adalah : pertama, realitas manusia tidak dapat dipisahkan dari
knowledge); ketiga, hasil penelitian yang dinegosiasikan dan interpretasi antara peneliti dan subjek penelitian; keempat, penafsiran atas data bersifat ideolografis
atau berlaku khusus, bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi
dan;kelima, temuan penelitian bersifat tentatif.
Penelitian Kualitatif Naturalistik memiliki karakteristik tersendiri sehingga
dapat membedakan dengan jenis penelitian yang lain. Beberapa karakteristik
tersebut menurut Bogdan dan Biklen (1990: 33-36) adalah:
1. Penelitian kualitatif memiliki setting (latar) alamiah sebagai sumber data
langsung dan peneliti merupakan instrumen kunci.
2. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif.
3. Peneliti kualitatif lebih memberikan perhatian pada proses daripada hasil.
4. Peneliti kualitatif cenderung menganalisis datanya secara induktif.
5. “Makna” merupakan perhatian utama bagi pendekatan kualitatif
Secara sederhana inkuiri naturalistik dapat didefinisikan sebagai inkuiri
yang dilakukan dalam latar/setting alamiah dengan menggunakan metode yang
alamiah pula (Aliasar 1998: 4). Sedangkan paradigma definisi sosial (social
defenition) menekankan hakikat kenyataan sosial yang didasarkan pada definisi subyektif dan penilaiannya. Struktur sosial menunjuk pada definisi bersama yang
dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok dan
menghubungkan satu sama lain. Tindakan-tindakan individu serta pola-pola
interaksinya dibimbing oleh definisi bersama dan dikonstruksikan melalui proses
interaksi.
(http://nunamuvie.blogspot.com/2011/04/konsep-dasar-penelitian-naturalistik.html, 11 januari 2013).
Untuk mendapatkan data yang diiginkan dalam penelitian ini, maka
peneliti harus turun langsung ke lapangan, yakni di SMAN 3 Cimahi, untuk
mengadakan langsung pengamatan terhadap subjek penelitian. Dalam hal ini,
ketika peneliti turun langsung di lokasi penelitian, maka peneliti mengamati
langsung bagaimana siswa menggunakan buku teks, buku teks apa saja yang
digunakan dan mengamati langsung bagaimana guru menarik makna nilai-nilai
multikultural dalam menggunakan buku teks pelajaran sejarah di SMA 3 Cimahi.
menganalisis secara deskriptif tentang aspek-aspek apa saja dalam buku teks yang
digunakan oleh siswa di sekolah tersebut yang merepresentasikan
multikuluturalisme.
Alasan peneliti menggunakan metode naturalistik inkuri karena yang
diinginkan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran secara
mendalam dengan pengumpulan data pada natural setting (kondisi alamiah) melalui data-data yang diperoleh dari hasil kajian buku teks yang tersedia di
sekolah. Hal ini disebabkan nilai-nilai multikulturalisme tidak tersurat dalam
kurikulum resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga untuk mendapatkan
data penelitian, tentunya peneliti membutuhkan interpretasi terhadap buku teks
yang digunakan berupa kata-kata bukan angka-angka.
B. Subjek dan Lokasi Penelitian
Subjek penelitian menurut Guba (1958:201), Subjek penelitian berupa
peristiwa, manusia dan situasi yang diobservasi atau responden yang dapat
diwawancra. Sumber penelitian merupakan sumber informasi data yang ditarik
dan dikembangkan secara purposive. Subjek penelitian merupakan sumber data yang dapat memberikan informasi atau apa yang dapat membantu perluasan teori
yang dikembangkan.
Subjek penelitian atau sumber data penelitian yang ingin menggali
nilai-nilai multikulturalisme dalam buku teks pelajaran sejarah ini dipilih secara
purposive (teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu). Pencarian data yang diinginkan peneliti menuntut peneliti untuk menentukan
subjek penelitian sebagai sumber data, yakni orang yang memiliki kapasitas dan
relevansi dengan masalah yang ingin diteliti. Subjek penelitian dalam penelitian
ini adalah: 1) Guru sejarah 2)siswa 3) buku teks pelajaran sejarah.
Adapun lokasi penelitian yang dilaksanakan peneliti berkaitan dengan
judul tersebut, yakni Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Cimahi, yang terletak di
Jalan Pasantren No.161, Kelurahan Cibabat, Kecamatan Cimahi Utara, Kota
Cimahi. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena pertama dilihat dari sisi
kepedulian terhadap fenomena sosial saat ini di mana seringkali keragaman
menjadi isu sensitif yang dapat menimbulkan konflik, padahal keragaman tersebut
dapat menjadi potensi dalam meningkatkan toleransi dan empati. Kedua, secara
objektif kondisi SMA Negeri 3 Cimahi terdiri dari berbagai latar belakang suku,
agama, sosial-ekonomi, dan budaya.
Sedangkan buku teks pelajaran sejarah yang digunakan di SMA Negeri 3
Cimahi adalah:
1. Listiyani, Dwi ari. (2012). Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS.
Jakarta:Pusat Perbukuan nasional.
2. Supritana, Nana. (2011). Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS.
Bandung: Grafindo Media Pratama.
C. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian
adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai “human instrument”, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,
melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan
data dan membuat kesimpulan serta temuannya (Sugiyono,2011:222). Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif “the researcher is the key instrument”, jadi peneliti adalah instrumen kunci.
Untuk kepentingan ini, peneliti menggunakan beberapa alat seperti berikut
ini, yaitu:
a. Field note (catatan lapangan): berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data atau informan.
b. Tape recorder: berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber
data.
c. Kamera: berfungsi untuk memotret pada saat wawancara. Dengan
adanya foto, maka akan meningkatkan keabsahan penelitian karena
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Menurut
Sugiyono (2011:225) dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan
pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participant
observation observation), wawancara mendalam (in dept interview) dan dukumentasi.
1. Observasi
Nasution (1988) menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu
pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta
mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Marshall (1995) yang menyatakan bahwa “through observation, the reserarcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti belajar tentang prilaku dan makna dari prilaku tersebut (Sugiyono,2011:226).
Dalam konteks penelitian tentang nilai-nilai multikuralisme dalam buku
teks ini,peneliti melakukan observasi partisipasi pasif, dimana peneliti datang di
tempat kegiatan orang yang diamati (guru dan siswa), tetapi tidak ikut terlibat
dalam kegiatan tersebut. Tujuan peneliti melakukan observasi ini untuk
memperoleh data bagimana guru mengimplementasikan nilai-nilai
multikulturalisme dalam pembelajaran sejarah yang menggunakan buku teks,
karena KTSP memberikan keleluasaan kepada guru untuk mengembangkan
sendiri di dalam perencanaan dan pelaksanaan.
Menurut Patton dalam Nasution (1988), menyatakan bahwa manfaat
observasi adalah sebagai berikut:
a. Peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan
situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistic atau
b. Dengan observasi, maka akan diperoleh pengalaman langsung,
sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif,
jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya.
c. Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau
tidak diamati orang lain,khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara.
d. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya
tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena
bersifat sensitive atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama
lembaga.
e. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di luar
persepsi responden,sehingga peneliti memperoleh gambaran yang
lebih komprehensif.
f. Melalui pengamatan di lapangan,peneliti tidak hanya mengumpulkan
daya yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi dan
merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.
Adapun materi yang menjadi bahan observasi dalam penelitian ini adalah:
pertama, bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai multikultural ke dalam materi sejarah. Kedua, bagaimana guru menyeleksi aspek-aspek materi yang bermuatan nilai-nilai multikultural. Ketiga, mengamati performance dan perilaku guru dalam pembelajaran yang mencerminkan sikap-sikap menghargai keragaman
peserta didik.
Selama kegiatan observasi di kelas, peneliti melakukannya hingga empat
kali. Observasi pertama, hari rabu tanggal 1 mei 1013, peneliti mengamati
bagaimana guru mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam materi
sejarah. Pada saat itu materi yang dibahas oleh guru berkaitan dengan
upaya-upaya yang dilakukan Bangsa Indonesia dalam mempersiapkan kemerdekaan
Republik Indonesia. Obsevasi kedua, rabu tanggal 8 mei 2012, peneliti mengamati
kegiatan belajar mengajar di kelas, dimana saat itu sedang belajar dengan materi
saat ini guru masih meneruskan tema yang sama, namun ditambah dengan
bagaimana pengaruh Revolusi Industri itu pada Indonesia. Observasi keempat,
rabu tanggal 15 Mei 2013, pada saat ini peneliti mengamati kegiatan belajar di
kelas dengan tema Revolusi Amerika dan pengaruhnya bagi Indonesia. Pada
observasi di kelas ini terutama bertujuan untuk melihat bagaimana guru
mengimplementasikan nilai-nilai mutikulturalisme dengan menggunakan buku
teks pelajaran sejarah.
Adapun contoh hasil observasi yang dilakukan peneliti di kelas yang
berkaitan dengan implementasi pembelajaran sejarah dengan menggunakan buku
teks pelajaran sejarah adalah sebagai berikut:
LEMBAR HASIL OBSERVASI
Hari/tanggal Field notes
Rabu,1 mei 2013
Guru mengucapkan salam, mempersilakan siswa berdo’a dan melantunkan asmaul husna, kemudian mengabsen siswa.
Pada bagian apersepsi, guru bertanya jawab dengan siswa tentang hal-hal yang menyangkut persiapan proklamasi.
Kemudian guru bertanya jawab tentang hal
BPUPKI;Guru:kapan berdirinya BPUPKI; Siswa yang bernama Zahrina menjawab tahun 1945; Guru: apa tujuannya?; Siswa yang bernama zahrina : (dengan melihat pada buku teks) untuk menyelidiki dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia sebelum proklamasi tiba;Guru: apa sebenarnya yang harus dipersiapkan menjelang proklamasi kemerdekaan?; Siswa (Nizar): dasar negara (Pancasila), yang rumusannya terdapat dalam pembukaan UUD 1945; Guru: Siapa saja tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam BPUPKI?; Siswa (Asep): Soekarno,
Moch.Hatta,Mr.Supomo dan Moch.Yamin.
Guru menggambarkan tentang ide-ide awal lahirnya Pancasila, pertama dari Moch.Yamin : (1)peri
kebangsaan (2) peri kemanusiaan (3) peri ketuhanan (4) peri kerakyatan (5) kesejahteraan rakyat.Guru
menjelaskan satu persatu prinsip tersebut, kemudian pada saat prinsip ketuhanan, guru menggarisbawahi bahwa di Indonesia tidak boleh tidak beragama
Indonesia negara multi agama yang mengakui adanya Tuhan.
Kedua, guru juga menggambarkan ide-ide Pancasila dari Mr.Supomo. (1) Guru bertanya tentang paham negara kesatuan, kemudian salah satu siswa bernama Kurnia menjawab bahwa pentingnya negara kesatuan karena Indonesia pulaunya banyak,tetapi tetap satu tujuan; Guru : menyatakan bahwa kita memiliki prinsip “Bhineka Tunggal Ika”.(2) Prinsip perhubungan negara dan agama. Guru: menjelaskan bahwa dalam hal ini negara ikut campur dalam urusan agama. (3)Sistem badan permusyawaratan.Guru: Kita harus mengedepankan musyawarah,sehigga siswa tidak akan terlibat tawuran. (4) Prisip sosialisme Indonesia. Guru: apa maksud dari prinsip tersebut? Siswa (Nindia): (dengan berdasarkan buku teks)segala sesuatu terutama kekayaan harus dikelola bersama dan dinikmati bersama.(5)Hubungan antar bangsa. Guru:apa pentingnya prinsip ini?Siswa (Asep): misalnya peran Indonesia dalam ASEAN. Guru menambahkan misalnya dalam hal pengakuan Indonesia sebagai negaramerdeka, butuh dukungan dan
pengakuan, baik secra de facto maupun de jure. Ketiga, Guru mengemukakan ide yang dikemukakan
tentang Pancasila yang dikemukakan oleh Soekarno, yang meliputi prinsip: (1) Kebangsaan Indonesia ; (2)Internasionalisme atau perikemanusiaan; (3) Mufakat dan demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial; (5) Ketuhanan yang maha esa. Guru menjelaskan bahwa perinsip yang dikemukakan Soekarno yang dikemukakan tanggal 1 juni 1945 merupakan cikal bakal lahirnya Pancasila. Ada pertanyaan dari siswa bernama Asep: berapa
anggota BPUPKI dan dari mana saja?; Guru: ada 60 orang, berasal dari berbagai daerah, tetapi mayoritas dari Jawa.
Islam. Guru: menggambarkan peristiwa ketika Mochammad Hatta (saat itu tahun 1945) kedatangan utusan dari Indonesia bagian timur,jika rumusan sila ke-1 dalam piagam Jakarta, maka negara Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan NKRI. Rumusan itu dihilangkan, agar tidak terjadi perpecahan antara penganut Islam yang mayoritas dan non Islam.
Guru kemudian menggambarkan perubahan peran dari BPUPKI kepada PPKI.Tugas PPKI antara lain : (1) melanjutkan hasil kerja BPUPKI; (2) menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang; (3) mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan ketatanegaraan. Diantara persiapan itu antara lain
mempersiapkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, mengapa bukan bahasa Jawa yang penduduknya
mayoritas?; Siswa: karena bahasa Melayu lebih mudah dipahami dibanding bahasa daerah; Guru: menjelaskan kalau bahasa Jawa/ Sunda memiliki tingkatan bahasa, sedangkan Bahasa Melayu tidak memiliki tingkatan, jadi sifatnya lebih egaliter.
Guru memperlihatkan slide tentang kondisi tahun 1944-1945, dimana wilayah Jepang di Pasifik direbut satu persatu oleh sekutu, sampai akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Selanjutnya guru memutar film tentang pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki oleh sekutu.Sementara itu siswa setelah pemutaran film tersebut, dipersilakan untuk memberikan komentar. Kurnia: mengatakan bahwa Jepang itujahat; Asep: pemboman itu merupakan pembalasan dendam, karena Jepang telah menyerang Pearl Harbour pada awal PD II. Guru: mengklarifikasi bahwa peristiwa Sekutu menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan pelanggaran yang dilakukan oleh sekutu terhadap hukum perang, dimana kedua kota tersebut merupakan tempat rakyat sipil, bukan markas tentara. Begitu pula dengan Jepang, tidak menyerang rakyat sipil, namun ketika menyerang Pearl Harbour yang merupakan pangkalan militer Amerika Serikat, tidak didahului dengan pernyataan terlebih dahulu. Akhir dari PD II, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
kekalahan Jepang itulah, kemudian terjadi pertentangan antara golongan tua dan muda mengenai waktu
kemerdekaan Indonesia sehingga terjadilah Peristiwa Rengasdengklok yang bertujuan untuk mengamankan Soekarno dan Hatta dari pengaruh Jepang; Guru: siapa sajakah yang termasuk golongan tua dan muda
tersebut?; Siswa (Asep): yang termasuk golongan tua adalah Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo, sedangkan yang termasuk golongan muda antara lain Soekarni, Wikana dan Khairul saleh. Selanjutnya guru memperlihatkan slide profil tentang tokoh-tokoh tersebut.
Guru memperlhatkan naskah proklamasi yang asli, dengan ditulis tangan dan ditik oleh Sayuti Melik. Guru juga mendeskripsikan kenapa ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, karena dianggap mewakili hadirin yang ada pada saat itu. Kenapa diproklamasikan di kediaman Soekarno, karena di lapangan IKADA banyak tentara Jepang yang berjaga-jaga sehingga dikhawatirkan terjadi bentrokan.
Guru : mengklarfikasi tentang keotentikan naskah proklamasi dan bersama-sama, tetapi tidak
menyimpulkan materi yang sudah dipelajari. Guru menyampaikan tugas untuk pertemuan berikutnya.
2. Wawancara
Esterberg (dalam Sugiono,2011:231) mendefinisikan interview sebagai berikut:” a meeting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint contruction of meaning about particular topic”. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Mengenai pentingnya
mengumpulkan data melalui wawancara ini, Esterberg (Sugiono, 2011:231) mengemukakan bahwa “interviewing is at the heart of social research” (wawancara merupakan hatinya penelitian ilmu social).
Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara dengan guru yang selain
dengan guru E, peneliti ingin mendapatkan data yang berhubungan dengan
rumusan masalah no.1, yakni bagaimana pendekatan pendidikan multikultural di
sekolah SMAN 3 Cimahi. Sedangkan untuk mendapatkan informasi bagaimana
implementasi nilai-nilai multikulturalisme dalam buku teks mata pelajaran yang
mereka gunakan,apakah sudah merepresentasikam keragaman budaya, etnis,suku
dan agama yang ada di seluruh Indonesia, maka peneliti juga melakukan
wawancara. Wawancara dilakukan kepada guru sejarah D dan dan beberapa orang
siswa untuk memperoleh gambaran bagaimana mereka memaknai buku teks
pelajaran sejarah yang secara tersirat mengandung nilai-nilai multikulturalisme.
Adapun hal-hal yang menjadi bahan wawancara terhadap guru sejarah
dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Pandangan guru mengenai perlunya pendidikan multikulturalisme dalam
pendidikan sejarah.
2. Cara guru dalam menanamkan kesadaran multikultural kepada siswa
melalui pembelajaran sejarah.
3. Penggunaan buku teks dalam proses pembelajaran sejarah.
4. Pandangan guru mengenai buku teks pelajaran sejarah yang digunakan di
SMA 3 apakah telah dapat merepresentasikan keberagaman
budaya,etnis,suku dan agama.
5. Aspek-aspek apa saja dalam buku teks pelajaran sejarah yang
mencerminkan multikulturalisme.
6. Cara guru dalam menarik makna multikulturalisme melalui pembelajaran
sejarah dari buku teks yang digunakan oleh siswa.
7. Pandangan guru mengenai keragaman latar belakang siswa sebagai bahan
pendidikan multikultural melalui buku teks pelajaran sejarah.
8. Harapan guru dalam penggunaan buku teks pelajaran sejarah yang
berorientasi pada pendidikan multikultural.
Selain melakukan wawancara dengan guru sejarah, peneliti juga
melakukan dengan siswa. Tujuan mewawancarai siswa ini, untuk mengkonfrontir
ketika mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam materi sejarah.
Adapun pedoman wawancara peneliti dengan siswa tersebut, meliputi:
1. Pandangan siswa dalam memahami keragaman latar belakang budaya,
etnis, suku dan agama teman
2. Pandangan siswa mengenai cara menanamkan kesadaran akan perbedaan
melalui pendidikan sejarah.
3. Pandangan siswa pada saat menemukan realita di masyarakat bahwa
diantara teman-temannya ada perbedaan.
4. Pandangan siswa mengenai apakah buku teks pelajaran sejarah yang
digunakan sudah mewakili perbedaan latar belakang semua peserta didik,
baik agama, suku bangsa atau bahasa.
5. Pandangan siswa mengenai apakah guru sejarah ketika menggunakan
buku teks pelajaran sejarah dalam KBM melakukan penanaman nilai
tentang multikulturalisme
6. Pandangan siswa mengenai pemahamannya tentang keberagaman yang
disajikan dalam buku teks pelajaran sejarah
7. Harapan siswa mengenai buku teks pelajaran sejarah yang dapat
merepresentasikan keberagaman peserta didik.
3. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam
penelitian ini, tentu saja peneliti sangat berkepentingan dengan dokumen,
misalnya:
a. Dokumen kurikulum: silabus guru mata pelajaran sejarah dan RPP
b. Dokumen sekolah: biodata guru dan siswa dan profil sekolah
c. Buku-buku teks pelajaran sekolah SMA yang digunakan di SMA 3
Cimahi
d. Buku-buku sejarah yang memuat “official history”
Studi dokumentasi dilakukan oleh penulis, terutama berkaitan dengan data-data
pendekatan pendidikan multikultural di sekolah dan aspek-aspek materi dalam
buku teks pelajaran sejarah yang berkaitan dengan nilai-nilai multikultural.
Data-data yang sudah dikumpulkan oleh penulis, kemudian direkam dan disalin
kembali dalam bentuk catatan lapangan, baik hasil wawancara dengan guru dan
siswa maupun hasil observasi, dari obsevasi pertama sampai keempat.
4. Triangulasi
Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang
telah ada. Tujuan triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang fenomena,
tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah
ditemukan, sebagaimana yang dkemukakan oleh Bogdan:“what the qualitative researcher is interested in is not truth perse, but rather perspectives. Thus, rather than trying to determine the”truth” of people’perceptions, the purpose of corroboration is too help researcher increase their understanding and probability that their finding will be seen as credible or wrthy of consideration by others”.
Nilai dari teknik pengumpulan data dengan triangulasi adalah konvergen,
tidak konsisten atau kontradiksi. Oleh karena itu dengan menggunakan teknik
triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan lebih
konsisten, tuntas dan pasti (Sugiyono,2011:241).
Misalnya untuk mendapatkan data bagaimana performance guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme ke dalam materi dengan cara
menysisipkan pada materi yang relevan atau momen yang dianggap sesuai, maka
peneliti menggunakan teknik wawancara kepada beberapa orang siswa. Dari hasil
wawancara dengan siswa itulah, maka diperoleh kesesuaian data bahwa apa yang
dikemukakan siswa tentang guru D dalam mengintegrasikan nilai-nilai
multikulturalisme sesuai dengan yang dikemukakan guru dalam wawancara dan
E. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan, analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil dipahami
dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan
dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan
sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Menurut Miles dan huberman (dalam Sugiyono,2011:246) aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus
menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Menurut Sugiyono,aktivitas
dalam analisis data yaitu: data reduction, data display dan conclusion drawing/verification.
1. Reduksi data (Data Reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan
pada hal-hal yang penting , dicari tema dan polanya. Dengan demikian
data yang direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya
dan mencarinya bila diperlukan. Misalnya, dalam reduksi data itu
bagaimana peneliti membuat kategori tentang aspek-aspek dari buku teks
pelajaran sejarah yang mengandung nilai-nilai multikulturalisme
berdasarkan aspek peristiwa, tempat terjadinya peristiwa, tokoh yang
terlibat dalam peristiwa sejarah, kesetaraan gender maupun kebudayaan.
2. Data display
Dalam langkah selanjutnya, data selanjutnya disajikan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.
Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono:2011), yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif. Sebagaimana ciri dalam penelitian
kualitatif yang berupa kata-kata, maka penyajian data (data display) dalam
penelitian ini berupa deskripsi hasil temuan yang meliputi tiga rumusan
SMAN 3 Cimahi, aspek-aspek materi apa saja dari buku teks yang
mengandung nilai-nilai multikulturalisme dan bagaimana guru
mengimplementasikan nilai-nilai multikulturalisme itu dengan
menggunakan buku teks pelajaran sejarah.
3. Conclusing Drawing/verification
Langkah terakhir dalam analisis data ini adalah menarik kesimpulan. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek (“Nilai-nilai Multikulturalisme dalam Buku Teks Pelajaran”) ,dimana sebelumnya
belum ada kejelasan, namun setelah diteliti menjadi jelas , yang dapat
berupa hubungan kausal, atau interaktif, hipotesis atau teori. Dalam
kesimpulan pun, peneliti merumuskannya sesuai dengan ketiga rumusan
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan dan analisis, maka peneliti dapat menarik
kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan yaitu, pertama berkenaan dengan
pendekatan multikultural dalam pendidikan di SMA 3 Cimahi, secara formal tidak
nampak kebijakan yang mengarah pada pendidikan multikultural secara spesifik,
namun upaya untuk mewujudkan hal itu sudah tersurat dalam misi sekolah SMA
negeri 3 Cimahi, yakni: mewujudkan rasa saling menghargai dan menghormati
adanya perbedaan suku,agama dan status sosial dan memberikan pelayanan yang
oftimal kepada seluruh warga sekolah dalam berbagai bidang. Dalam prakteknya,
sekolah sudah terlihat dalam berbagai kegiatan sekolah, misalnya pada saat
penerimaan siswa baru yang tidak diskrimantif, kegiatan ekstra kurikuler yang
mencoba menampung penyalurang bakat, minat dan kemampuan siswa yang
beragam dan pembagian kelas secara acak berdasarkan latar belakang sosial
ekonomi dan prestasi yang berbeda-beda.
Kedua, aspek-aspek materi yang mencerminkan nilai multikulturalisme
dalam buku teks pelajaran sejarah, meliputi: peristiwa sejarah, tempat peristiwa
itu terjadi, tokoh sejarah, gender dan kebudayaan. Aspek-aspek tersebut tentunya
merepresentasikan kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia, karena peserta
didik merupakan miniatur realitas kehidupan sosial masyarakat. Dilihat pada
aspek peristiwa sejarah, memang tema-tema tentang peristiwa sejarah politik jauh
lebih banyak daripada tema-tema lain seperti sosial, ekonomi dan pendidikan.
Sementara itu dalam hal tema penyebaran agama, Hindu,Budha ,Islam dan kristen
sebenarnya sudah menunjukan bahwa agama-agama tersebut merepresentasikan
perbedaan agama yang dianut masyarakat Indonesia, walaupun porsinya berbeda.
Jika dilihat dari tempat peristiwa sejarah itu terjadi, nampak bahwa
daerah-daerah yang ditampilkan baik pada masa Hindu,Budha, Islam, maupun
keunikan masing-masing. Namun demikian, dinamika kelokalan belum nampak,
dimana daerah-daerah di Indonesia memiliki kontribusi besar dalam
kamajemukan masyarakat sebagai jatidiri bangsa.
Ketika berbicara tokoh atau pelaku sejarah, maka ada dua hal penting yang
melekat pada tokoh tersebut, yakni keterlibatan tokoh tersebut dalam peristiwa
sejarah dan tempat peristiwa atau darimana dia berasal. Tokoh-tokoh yang
ditampilkan dalam peristiwa sejarah dalam buku teks pelajaran masih bersifat
elitis, yakni mereka yang berasal dari golongan-golongan yang memiliki status
sosial tinggi seperti raja/sultan, keluarga raja dan bangsawan, golongan priyayi
atau tokoh-tokoh yang secara ekonomi mapan. Sedangkan representasi tokoh yang
didasarkan pada tempat/wilayah/daerah masih sangat terbatas pada tokoh-tokoh
yang dianggap berkontribusi pada sejarah nasional.
Dalam aspek gender, nampak belum berimbang keterwakilan tokoh
sejarah antara laki-laki dan perempuan. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam berbagai
peristiwa sejarah, baik sejarah nasional maupun sejarah dunia, peran perempuan
digambarkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Di dalam buku
teks pelajaran sejarah kelas XI misalnya, peranan perempuan yang dianggap
fenomenal adalah ketika Kartini membawa ide dan gagasan tentang kesetaraan
hak mendapatkan pendidikan dan pembaharuan status dalam masyarakat. Selain
Kartini, Dewi Sartika juga digambarkan sebagai kaum perempuan elite (ningrat)
yang dianggap memiliki jasa besar karena memperjuangkan pendidikan untuk
perempuan. Sedangkan tokoh-tokoh perempuan lain seperti Cut Nyak Dien,
Kristina Martha Tiahahu atau perempuan pelopor organisasi pergerakan cukup
hanya disebutkan dalam lintasan sejarah.
Aspek kebudayaan dalam buku teks pelajaran sejarah kelas XI
IPS,terutama berkaitan dengan kebudayaan Indonesia yang banyak dipengaruhi
oleh unsur-unsur kebudayaan lain, seperti Hindu,Budha, Islam, Portugis, Belanda
dan Jepang. Daerah-daerah di Indonesia yang pernah berinteraksi atau melakukan
kontak dengan pengaruh asing tersebut, mengalami akulturasi budaya sehingga
menghasilkan kebudayan-kebudayaan baru Indonesia yang beragam bentuk dan