.
SKRIPSI
PEMANFAATAN LIMBAH SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU
BIOETANOL
O l e h :
ARMAN NUGRAHA WALEULU
0752010020
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JATIM
SURABAYA
2012
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
BIOETANOL
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik ( S-1)
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
O l e h :
ARMAN NUGRAHA WALEULU
0752010020
FAKULTAS TEKNIK SIPIL & PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JATIM
SURABAYA
.
SKRIPSI
PEMANFAATAN LIMBAH SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Oleh :ARMAN NUGRAHA WALEULU
0752010020
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada hari : Tanggal :
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan Untuk memperoleh gelar sarjana (S1), tanggal :...
Dekan Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
Ir. Naniek Ratni J.A.R., Mkes. NIP : 19590729 198603 2 00 1
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Nama Lengkap : Arman Nugraha Waleulu
No. Kegiatan Tempat/ Judul Selesai Tahun 1 Kuliah Lapangan PT. SI ER, PT. Multi Bintang I ndonesia, PT.
3 Kerja Praktek P.G Tjoekir Jombang, Pengelolaan dan Pengolahan Limbah I ndustri Pabrik Gula Tjoekir, Jombang
2011 4 PBPAB Perencanaan Bangunan Pengolahan Air
Buangan I ndustri Minuman Ringan 2012 5 SKRI PSI Pemanfaatan Limbah Sagu sebagai Bahan
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pemanfaatan Limbah Sagu sebagai Bahan Baku Bioetanol.
Skripsi ini merupakan salah persyaratan bagi setiap mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur untuk mendapatkan gelar sarjana.
Selama menyelesaikan skripsi ini, saya telah banyak memperoleh bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini saya, ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ir. Naniek Ratni J.A.R., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 2. Dr. Ir. Munawar., MT, selaku Ketua Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Ir. Naniek Ratni J.A.R., M.Kes, selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah membantu, mengarahkan dan membimbing sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Dosen Penguji saya, Bapak Ir. Yayok Suryo P., MS, Bapak Dr. Ir. Munawar., MT dan Bapak Okik Hendryanto, ST., MT yang telah memberikan saran-saran sehingga terselesainya skripsi ini dengan baik.
5. Keluarga saya tercinta, Papa Drs. Djamaludin Waleulu, Mama Murniyati Waleulu, Adik Cupra Nugraha Waleulu, Adik Tria Miranda Waleulu, adik Renaldi N.P Waleulu, adik Roy S.Z Waleulu, dan Om tercinta Alm. Najamudin Heluth yang telah memberikan dukungan baik moril maupun material dan segala doa serta pengertiannya.
6. My Brother Andera, Alcidio Luis Martin Dos Reis Amaral yang selama ini telah memberikan semangat, doa, dan Bantuannya hingga terselesainya skripsi ini.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
8. Ferdinan J.L, Yonie Satria, Surya Dwi Retno, Tengku Apriara, M. Kardono Marasaoly, Nove Adi Wirata, Amin Baladewa, Reza Vegenz, Bagus S, Dhama Rakkito dan rekan-rekan di Teknik Lingkungan angkatan 2007, 2008, 2009, 2010 maupun semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah memberikan semangat, doa, dan banyak membantu hingga terselesainya skripsi ini.
9. Jeffry Cornelius Junior Marien, Pongky Ario T.W yang selalu memberikan motivasi dan semangat hingga terselesaikannya skripsi ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, untuk itu saran dan kritik yang membangun akan saya terima dengan senang hati. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila di dalam penyusunan laporan ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan atau kuarang dipahami.
Surabaya, Desember 2012
iii
II.3. Pati Sagu Sebagai Sumber Bioetanol ...……....12
II.4. Kelebihan Limah Sagu Sebagai Penghasil Bioetanol ..…….16
II.5. Pengertian Bioetanol...16
II.6. Kandungan Bioetanol ...19
II.7. Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati Non Pangan...20
II.8. Fermentasi ...21
II.9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Fermentasi...22
II.10. Mekanisme Pembuatan Bioetanol...23
II.10.1. Persiapan Bahan Baku...23
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
II.10.2. Tahap Liquifikasi...24
II.10.3. Tahap Sakarifikasi...24
II.10.4. Tahap Fermentasi...25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Alat Penelitian... ………..26
III.2. Bahan Penelitian...………..26
III.3. Variabel Penelitian...………...26
III.4. Parameter Penelitian...27
III.5. Prosedur Penelitian...27
III.6. Rangkaian Alat Pembuatan Bioetanol...29
III.7. Kerangka Penelitian...30
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. Uji Kadar Gula ………...31
IV.2. Uji Kadar Etanol... ..…...……….33
IV.3. Pengaruh Variasi Berat Limbah Sagu...35
IV.4. Pengaruh Variasi Waktu Fermentasi...35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan……….37
V.2. Saran………...37
INTISARI
Sagu merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian pembuatan etanol berbahan dasar sagu dilaksanakan dengan menggunakan dua jenis enzim yaitu -amilase dan glukoamilase dan bahan baku berupa pati, empulur dan serat pada skala laboratorium. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya kandungan kadar etanol yang dihasilkan dari limbah sagu. Prosedur penelitian ini terdiri dari proses hidrolisa bahan dengan penambahan enzim alpha amilase, proses sakarifikasi dengan penambahan enzim glukoamilase, proses fermentasi dengan penambahan Ragi dan berlangsung selama 5 hari dengan berat limbah sagu yang digunakan adalah 1 kg, 2 kg dan 3 kg yang merupakan variabel Peubah dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada skala laboratorium penggunaan enzim alpha amilase 100 gr, enzim glukoamilase 100 gr dan ragi 100 gr menghasilkan kadar etanol paling tinggi yaitu 1,110 % untuk pati sagu dengan berat 1 kg. Kata kunci : Sagu, Enzim Alfa amilase, Enzim Gluko amilase, dan Bioetanol
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Sago , an endemic plant of Indonesia, is potential for bio-ethanol base material.
Bioethanol can be producted from sago core, Research-based ethanol manufacturing sago
implemented using two types of enzymes, namely-amylase and glucoamylase and raw materials such as starch, pith and fiber at the laboratory scale. The purpose of this study was to determine the amount of content levels of ethanol produced from sago waste. The procedure of this study consists of the hydrolysis of the material with the addition of the enzyme alpha amylase, saccharification process with the addition of glucoamylase enzymes, fermentation by adding yeast and lasted for 5 days with heavy use of sago waste is 1 kg, 2 kg and 3 kg which is a variable Variables in this study. The results showed that on a laboratory scale using 100 gr enzyme alpha amylase, an enzyme glucoamylase 100 gr and 100 gr yeast produces ethanol levels
at least as high as 1.110% for sago starch by weight of 1 kg.Keywords: Sago, Enzyme Alpha
1 BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang
Pemanfaatan limbah sagu di Provinsi Maluku khususnya di Desa Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Barat, belum optimal bahkan belum ada pengolahan limbah sagu, disisi laim limbah sagu sangat bermanfaat sebagai bahan baku dalam pembuatan bioetanol.
Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ ha/tahun. Produktivitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang yang produktivitas 10-15 ton/ha/tahun.
Dan dari hasil produktivitas 25 ton pati kering/ha/tahun hanya sekitar 30-40% yang merupakan area penghasil pati yang produktif dengan produktivitas pati 7-10 ton/ha/tahun atau setara dengan 3.5 kl/ha/tahun, dengan pati produktif yang dihasilkan sekitar 7 ton/ha/tahun maka hasil ikutan dari pengolahan sagu berupa kulit, batang dan ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil pengolahan sagu yang masih sangat kurang pemanfaatannya,dengan jumlah sekitar 5.04 ton/ha/tahun biomassa limbah sagu (Asben, 2009).
Panen sagu relatif mudah, yakni pohon ditebang, batang dipotong-potong kemudian dihanyutkan ke pabrik pengolahan. Hanya saja batang sagu cukup
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
berat, rata-rata 1 ton, selain itu, lokasi tegakan alami (hutan) sagu umumnya terpencil dan terdapat pada lahan basah sehingga sulit dijangkau.
Bioetanol merupakan bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari biomassa yang mengandung pati, gula, dan lignoselulosa. Bahan bakar nabati merupakan alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) konvensional, sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada BBM konvensional. Penggunaan BBM konvensional telah diketahui tidak dapat dipertahankan lagi penggunaannya. Hal ini disebabkan jumlah cadangan minyak bumi semakin
berkurang dan juga kontribusinya terhadap pemanasan global akibat terakumulasinya
karbondioksida (CO
2) di atmosfer hasil pembakaran minyak bumi.
Bioetanol dapat menjadi solusi dalam mengatasi masalah tersebut karena
merupakan BBN sebagai sumber BBM yang dapat diperbarui dan tidak menimbulkan
dampak pencemaran bagi lingkungan, sehingga dapat menciptakan kesehatan
lingkungan maupun keberlanjutan ekonomi. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam
Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah :
1. Meningkatnya limbah pertanian akibat perkembangan industri pertanian menimbulkan pengaruh pencemaran lingkungan.
3
I.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Memanfaatkan potensi yang terkandung pada limbah sagu sebagai penghasil bioetanol.
2. Mengetahui besarnya kadar gula yang dihasilkan oleh limbah sagu setelah proses sakarifikasi
3. Mengetahui besarnya kadar etanol yang dihasilkan oleh limbah sagu setelah proses fermentasi.
I.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat di Maluku. 2. Sebagai sumber informasi dalam pembuatan bioetanol dari limbah sagu. I.5. Ruang Lingkup
Ruang Lingkup penelitian ini meliputi :
1. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Program Studi Teknik Lingkungan UPN Veteran Jawa Timur.
2. Analisa Hasil Penelitian dilakukan di Laboratorium Energi, Gedung Robotika, ITS
3. Pengambilan bahan baku dilakukan di kebun sagu Desa Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Barat.
4. Parameter yang diteliti pada penelitian ini adalah besarnya kandungan kadar etanol dalam limbah sagu setelah proses fermentasi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
5 BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
II.1. Potensi Sagu
Potensi sagu (Metroxylon sagu Rottb) sebagai sumber bahan pangan dan bahan industri telah disadari sejak tahun 1970-an, namun sampai sekarang pengembangantanamansagudiIndonesiamasihjalanditempat. Sagumerupakan tanaman asli Indonesia. Indonesia memiliki tanaman sagu sekitar 1,128 juta ha dan 90% dari jumlah tersebut 1,015 juta ha berkembang di Provinsi Papua dan Maluku. ( Jermia Limbongan, 2007 ). Sementara menurut Sjahrul Bustaman (2006), melaporkan bahwa areal sagu di Maluku mencapai 31.360 ha, yang tersebar di Kabupaten Seram Bagian Timur seluas 9.250 ha, Seram Bagian Barat 8.410 ha, Maluku Tengah 6.425 ha, Buru 5.457 ha, Maluku Tenggara Barat 245 ha, Kepulauan Aru 1.318 ha dan Kota Ambon seluas 225 ha.
Berdasarkan peta Zona Agroekologi skala 1: 250.000, areal sagu berada pada jenis tanah Hidraquent, Tropaquents, dan Fluvaquents. Jika diasumsikan bahwa seluruh luasan tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal sagu, karena memiliki karakteristik biofisik yang sama, maka luas potensi lahan untuk pengembangan sagu di Maluku sampai 649.937,85 ha. Dengan sebaran di Kabupaten Maluku Tenggara Barat 948,54 ha, Kabupaten Maluku Tenggara 5.161,78 ha, Kabupaten Maluku Tengah 104.640,00 ha, Kabupaten Buru 34.887,50 ha, Kabupaten Seram Bagian Barat 36.871,20 ha, Kabupaten Seram Bagian Timur Strategi Pengembangan Bio-etanol Berbasis Sagu di Maluku
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
114.497,19 ha, Kabupaten Kepulauan Aru 351.493,64 ha dan Kota Ambon 1.436,00 ha (Sjahrul Bustaman, 2005).
Tanaman sagu memiliki kurang lebih 30 spesies tumbuhan pohon penghasil tepung (pati). Metroxylon spp adalah penghasil pati yang tinggi dan mutu tepungnya termasuk mutu perdagangan internasional (Louhenapessy, 1994). Umumnya dikenal empat jenis sagu berduri yaitu M. rumphii Mart. (sagu Tuni), M. sylvestre Mart. (sagu Ihur), M. longispinum Mart. (sagu Makanaru), dan M. micracanthum Mart. (sagu Duri Rotan), serta satu jenis sagu tidak berduri yaitu M. sagus Rottb. (sagu Molat). Ciri morfologi merupakan petunjuk praktis untuk mengenal beberapa jenis sagu di lapangan. Ciri morfologi yang dapat diamati antara lain adalah tinggi batang, lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiol, panjang rachis dan jumlah lembar daun (Limbongan, 2007). Berdasarkan potensi genetiknya, semua jenis sagu yang tumbuh di Indonesia, terdapat juga di Maluku.
7
Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang pembentukan primordia bunga atau kuncup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda, (lebih tegak dan ukurannya kecil). Perubahan lain adalah pucuk agak menggelembung, duri semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin. Sampai saat ini petani sagu belum dapat menentukan dengan pasti umur sagu yang tepat untuk dipanen agar mendapat hasil yang optimal. Kandungan pati (karbohidrat) tanaman sagu tersimpan di dalam batang, dan biasanya dipanen setelah berumur 8-10 tahun, namun jika dibudidayakan dengan baik umur panen ini dapat dipersingkat menjadi 6-7 tahun (Flach, 1980). Menurut Bustaman (2005), rata-rata produksi tepung basah dalam satu batang pohon sagu adalah 292 kg/pohon atau setara dengan 172,5 kg tepung kering/pohon dan dalam satu hektar ada 82 pohon masak tebang (siap panen). Sementara Flach (1980), dengan perbaikan kondisi lahan, produksi tepung sagu kering dapat ditingkatkan mencapai 185 kg/pohon dan dalam 1 hektar ada 134 pohon masak tebang. Berdasarkan sudah tersedianya lahan sagu seluas kurang lebih 30.000 ha dan dalam satu hektar ada kurang lebih 100 pohon siap panen, diperkirakan potensi produksi sagu kering di Maluku dapat mencapai 555.000 ton (Alfons dan Bustaman, 2005). Informasi banyaknya sagu yang dipanen persatuan waktu (misalnya tahun, bulan) belum didapat.
Hal ini disebabkan tanaman sagu dipanen disesuaikan dengan kebutuhan pemilik dan permintaan pasar. Selain kandungan tepung kering sagu perpohon dan jumlah pohon masak tebang per hektar, waktu (periode) pohon masak tebang pertama ke pohon masak tebang berikutnya dalam satu lokasi (blok yang sama),
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
merupakan satu hal yang penting yang harus diperhatikan dalam upaya menciptakan sistem produksi berkelanjutan. Periode pohon masak tebang dalam satu blok yang sama, berlangsung antara 2 – 3 tahun. Bahkan jika penebangan pohon sagu hanya didasarkan pada sifat fisik pohon tanpa mempertimbangkan tingkat kandungan tepung dalam batang, dapat menyebabkan periode pohon masak tebang menjadi lebih lama yaitu antara 6 – 7 tahun. Tujuan pengembangan sagu di Maluku adalah mengoptimalkan sumberdaya sagu dan menjaga pengelolaannya secara berkelanjutan dalam upaya membangun ketahanan pangan menurut Louhenapessy (2006),
Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Secara alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Tumbuhan ini merupakan asli Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax (E) atau dalam kondisi tertentu dari mesin dapat digunakan secara penuh (E100). (Gusmailiana, 2009).
9
1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kl/ha/tahun.dengan pati produktif yang dihasilkan sekitar 7 ton/ha/tahun maka hasil ikutan dari pengolahan sagu berupa kulit, batang dan ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil pengolahan sagu yang masih sangat kurang pemanfaatannya,dengan jumlah sekitar 5.04 ton/ha/tahun biomassa limbah sagu (Asben, 2009).
Perkiraan potensi produksi total sagu Indonesia masih sangat kasar, karena hal ini berkaitan dengan luas areal sagu, jumlah pohon yang dapat dipanen per hektar per tahun, dan produksi pati kering per pohon. Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami sehingga produktivitasnya sangat beragam. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4-5% dari potensi produksi.
Apabila tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk bioetanol maka dapat diperoleh bioetanol 3 juta kiloliter per tahun. Kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar 16 juta kiloliter per tahun. Apabila bioetanol dapat menggantikan premium sekitar 10% (campuran premium dan etanol 90:10) maka diperlukan etanol sebanyak 1,6 juta kiloliter. Kebutuhan ini sudah dapat dipenuhi dari pati sagu saja. tentu saja angka tersebut
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
tidak realistis karena sangatlah sulit memanfaatkan seluruh potensi hutan sagu mengingat lokasi tegakan alami sagu yang terpencil dan sulit dijangkau.
Bioetanol sebagai campuran premium tidak mengandung timbal dan tidak menghasilkan emisi hidrokarbon sehingga ramah lingkungan. Karena dihasilkan dari tanaman maka bioetanol dari sagu bersifat terbarukan. Hanya saja produksi etanol dengan teknologi sederhana harus diawasi secara ketat untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaannya sebagai minuman keras. Pengolahan pati sagu menjadi etanol serupa dengan pembuatan tape dari ubi kayu. Pati sagu diubah menjadi gula menggunakan mikroba dan difermentasi lebih lanjut menjadi etanol.
II.2. Pemanfaatan Limbah Sagu
Biomassa secara sempit didefinisikan sebagai bahan (material) yang berasal dari tumbuhan terestrial (darat). Biomassa tumbuhan sebagian besar berupa biomassa lignoselulosa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu pektin, protein, zat ekstraktif, dan abu juga terdapat dalam jumlah kecil. Salah satu biomassa lignoselulosa adalah limbah sagu.
Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balak sagu (Singhal et al, 2008).
11
sebagai makanan hewan. Kulit batang sagu dan ampas sagu juga digunakan sebagai pengisi dalam pembuatan papan partikel (Kiat, 2006).
Kegunaan biomassa untuk memproduksi energi harus ditingkatkan jika kita ingin mengurangi akibat pemanasan global dan dapat menyediakan energi tinggi untuk menggantikan bahan bakar konvensional. Biomassa selalu menjadi sumber energi utama untuk makhluk hidup dan diperkirakan berkontribusi 13% dari pasokan energi dunia dan persentase yang lebih besar lagi bagi negara-negara berkembang (Tsukahara dan Sawayama, 2005).
Pati sagu selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol juga dapat digunakan sebagai bahan pangan dan berbagai keperluan lain. Selain bagian patinya, secara tradisional tanaman sagu juga dapat dimanfaatkan dari seluruh bagian pohonnya, seperti: daun, kulit, batang dan pelepah, tangkai daun dan ampas sagu.
Dalam bidang industri makanan pati sagu dapat dimanfaatkan untuk pembuatan soun, campuran biskuit dan biskuit sagu. Selain itu dapat juga dimanfaatkan dalam industri kosmetik, farmasi, pestisida dan bahan pengisi pada industri plastik setelah pati diolah menjadi bentuk dekstrin (produk turunan pati). Selain itu daun sagu dapat digunakan dalam pembuatan atap, plafon, keranjang, tikar anyaman dan dinding rumah, sebelum adanya seng (rumah-rumah khususnya di daerah penghasil sagu seperti Papua dan Maluku) terbuat dari daun sagu atau nipah sedangkan tangkainya digunakan dalm pembuatan sapu lidi. daun sagu yang dimanfaatkan untuk atap rumah secara ekonomis lebih memberi hasil dari pada
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
patinya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Selain itu daun sagu juga dipergunakan untuk membungkus pati sagu basah.
Kulit paling luar dari batang sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Selain itu juga dapat digunakan untuk wadah pengendapan pati sagu dalam proses pengolahan secara tradisonal. Sedangkan setelah batang sagu dikeringkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan rumah, dinding dan pagar karena dapat tahan selama sekitar sepuluh tahun apabila tidak tersentuh tanah dan batang pati tersebut juga dapat digunakan untuk pengendapan pati secara tradisional (Bintoro, 2008).
Ampas sagu berupa serat empulur merupakan sisa dari pemerasan pati sagu dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Serat empulur ini mengandung selulosa yang apabila diberikan enzim selulase dapat dijadikan gula yang selanjutkan dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pembuatan etanol, oleh karena itu serat empulur dari ampas sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku tambahan dalam pembuatan etanol. Ampas serat empulur yang didiamkan dalam beberapa waktu dapat menimbulkan cendawan dalam jumlah yang banyak. Jamur ini oleh masyarakat Maluku, dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan untuk lauk, dan ampas yang telah lapuk karena jamur tersebut dapat digunakan sebagai pupuk.
II.3. Pati Sagu Sebagai Sumber Bioetanol
Konsumsi minyak bumi (BBM) yang terus meningkat dan cadangan
minyak yang semakin menipis telah mendorong pengembangan dan pemanfaatan
bahan bakar nabati (BBN) sebagai bahan bakar alternatif. Salah satu contoh bahan
13
Sagu merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Secara alami sagu tersebar hampir di
setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar di Papua. Sagu
semi budaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.
Keunggulan pati sagu sebagai bahan baku bioetanol ialah bahwa produktivitas
pati sagu lebih tinggi dibanding komoditas penghasil pati lainnya (sagu 25
ton/ha/tahun), padi 6 ton/ha/tahun, jagung 5,5 ton/ha/tahun, kentang 2,5
ton/ha/tahun dan ubi kayu 1,5 ton/ha/tahun. Peneliti Jepang menempatkan sagu di
urutan pertama sebagai sumber bahan baku. Pati sagu dan ubi kayu merupakan
sumber pati paling murni dibanding pati dari jenis lain, sehingga dapat
menghasilkan produksi etanol yang berlebih menyatakan bahwa sagu selain
mengandung karbohidrat yang tinggi (85%), juga memiliki kandungan kalori
sekitar 357 kalori. Diperkirakan dari 6,5 kg tepung sagu dengan kandungan
karbohidrat 85%, maka akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol, (Bustaman, 2008).
Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang dapat dibuat dari bahan
yang mengandung pati seperti sagu. Potensi produksi sagu adalah 5 juta ton pati
kering per tahun. Saat ini baru dikonsumsi sekitar 210 ton/tahun atau kurang lebih
4-5% dari total produksi. Apabila sagu dimanfaatkan secara optimal, maka akan
diperoleh 3 juta kilo liter bioetanol per tahun (faktor konversi 0,6). Bioetanol
dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga, sebagai bahan bakar
alternatif pengganti minyak tanah. Perbandingan penggunaan bioetanol dengan
minyak tanah adalah 1 : 3, dengan 21 perbandingan masa pakai yang berbeda
yaitu 1 liter minyak tanah dapat digunakan selama 2 jam, sedangkan 1 liter
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
bioetanol dengan kadar 90 -95% dapat digunakan selama 15 jam. Bioetanol
sebagai bahan bakar kendaraan dapat digunakan dengan perbandingan 10%
bioetanol absolut: 90% bensin. Campuran ini biasa disebut Gasohol E10. Gasohol
E-10 mampu meningkatkan tenaga menjadi 41,23 kW dibandingkan dengan
premium hanya 30,97 kW dan pertamax 40,09 kW. Etanol yang dihasilkan dari
pati sagu memiliki nilai oktan lebih tinggi 117 dibandingkan dengan premium,
yang hanya mempunyai nilai oktan sebesar 87 dan pertamax 93. Selain itu,
konsumsi bahan bakar lebih irit, hanya sekitar 30,39L/jam, dibandingkan
premium 31,03 L/jam. Molekul etanol yang dihasilkan mengandung oksigen
dengan pembakar mesin lebih sempurna sehingga mengurangi emisi gas buang.
Selain itu, bioetanol merupakan bahan bakar tidak beracun, tidak mengakumulasi
gas karbondioksida dan relatif kompatibel dengan mobil bensin atau diesel
(Mursyidin, 2007).
Kelebihan bioetanol dibandingkan dengan bensin adalah bioetanol aman
digunakan sebagai bahan bakar, titik nyala etanol 3 kali lebih tinggi dibandingkan
bensin dan emisi hidrokarbon lebih sedikit (Chemiawan, 2007). Dari data-data di
atas dapat diketahui bahwa potensi tumbuhan sagu sangat tinggi, akan tetapi
belum dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu peningkatan nilai tambah sagu
yaitu derivasi menjadi gula yang selanjutnya diproses lebih lanjut dijadikan
etanol. Proses dapat dilakukan secara kimia, biologi maupun dengan bantuan
enzim. Pada penelitian ini telah dilaksanakan pembuatan etanol dari sagu dengan
15
jenis enzim dengan dua macam teknik. Tujuan penelitian adalah untuk
mendapatkan jenis enzim yang efektif untuk memperoleh etanol dari pati
(tepung), empulur dan serat sagu dan alternatif pemanfaatan batang sagu sebagai
bahan baku pembuatan etanol sebagai sumber energiterbarukan.
Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi primadona untuk mengggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Sementara bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, selain sagu sumber potensial sagu antara lain singkong, tebu, aren, jambu mete, jagung dan lain-lain. bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat dan gula, dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses Liquefaction (perubahan pati menjadi sellulosa), sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol.
Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya glukosa. Pati sagu lebih murni karena miskin kandungan lemak, protein dan senyawa lain, sehingga pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan turunan pati seperti dekstrin, dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati sagu diekstrak dari empulur batang yang mengandung pati (27-31%), serat (20-24%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air, sehingga
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
air sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. bioetanol dari sagu berasal dari dua bagian yaitu pati sagu dan serat sagu (Gusmailiana, 2009).
II.4. Kelebihan Limbah Sagu Sebagai Penghasil Bioetanol
Pusat perhatian pengembangan sumber energi alternatif pada gula terfermentasi dari lignoselulosa merupakan sumber karbohidrat terbarukan paling besar yang diketahui. Bioetanol dalam cakupan industri produksi energi merujuk pada bahan hayati yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar nabati sehingga lebih ramah lingkungan.
Potensi sagu di Indonesia saat ini seluas 1,2 juta ha atau 55% dari 2,201 juta ha areal sagu dunia dan pemanfaatan tanaman sagu sejauh ini cenderung terfokus pada pati yang dihasilkannya. Pengolahan batang sagu menjadi pati hanya 16-28%. Hasil ikutan pengolahan sagu berupa kulit batang dan ampas sekitar 72% merupakan biomassa limbah sagu hasil industri pengolahan sagu yang masih sangat kurang pemanfaatannya (Asben, 2009).
II.5. Pengertian Bioetanol
17
kadar 95-99% dapat dipakai sebagai bahan substitusi premium (bensin), sedangkan kadar 40% dipakai sebagai bahan substitusi minyak tanah. Kebutuhan bensin nasional saat ini mencapai 17,5 miliar liter/tahun, kurang lebih 30% dari total kebutuhan, masih impor. Hal ini mengakibatkan permintaan bioetanol sangat tinggi.
Dalam kurun waktu 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48 miliar liter bensin dengan bio-etanol sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.5/2006. Diperkirakan kebutuhan bio-etanol akan meningkat 10% pada tahun 20112015, dan 15% pada 2016-2025. Pada kurun pertama 2007-2010 selama 3 tahun pemerintah memerlukan rata-rata 30.833.000 liter bio-etanol/ bulan. Saat ini bio-etanol baru dapat dipasok sebanyak 137.000 liter setiap bulannya (0,4%). Hal ini berarti setiap bulan pemerintah kekurangan pasokan 30.696.000 liter bio-etanol sebagai bahan bakar (Nurianti, 2007).
Propinsi Maluku dikenal dengan Propinsi Seribu Pulau dengan luas wilayah 57.326.817 ha. Wilayah daratan yang hanya sepuluh persen dari total luas wilayah merupakan kepulauan yang didominasi oleh pulau kecil. Jumlah keseluruhan Strategi Pengembangan Bio-etanol Berbasis Sagu Di Maluku, oleh pemerintah daerah pulau – pulau tersebut dikelompokkan dalam 12 gugus pulau. Kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) untuk transportasi dan usaha perikanan masyarakat pada pulau-pulau ini sangat tergantung kepada pasokan BBM dari kota Ambon. Karena sulitnya transportasi, harga BBM di daerah yang jauh dari Ambon meningkat 50 – 100% di atas harga eceran tertingi (HET) dan waktu pasokannya tidak menentu karena sangat tergantung cuaca laut yang tidak
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
menentu. Akibatnya sampai saat ini masih banyak daerah mempunyai biaya transportasi yang tinggi.
Program pemerintah tentang usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Maluku, untuk mengurangi ketergantungan pada BBM. Beberapa faktor pendukung apabila Maluku turut berkontribusi dalam penyediaan bio-etanol adalah sebagai berikut
a. Bahan baku cukup dan telah tersedia,
b. Teknologi pembuatan bio-etanol relatif mudah dan tersedia, c. Pasar dan keuntungan yang menjanjikan.
Pertimbangan lainnya adalah banyak pulau kecil di Maluku, yang dapat dijadikan sebagai pembuatan dan penggunaan BBN (bio-etanol) secara mandiri. Umumnya pulau-pulau kecil di Maluku berpenduduk sedikit, dan mobilitasnya rendah sehingga mempermudah pengembangan, pemanfaatan dan pemantauannya. Di lain pihak Pertamina wilayah Maluku dan Maluku Utara telah bersedia menjadi penampung hasil produksi, bila Maluku ingin mengembangkan bio-etanol. Dengan adanya usaha pembuatan bioetanol di Maluku paling tidak 10 - 20% dari kebutuhan bensin dapat disubstitusi dari bioetanol. Ini berarti memberi peluang kerja pada masyarakat di pulau kecil, dan menghemat pengeluaran untuk pembelian bensin dan minyak tanah bagi rumah tangga, dan transportasi umum. Skala usaha dalam industry bio-etanol dibedakan atas
19
Perbedaan ini didasari atas kapasitas produksi setiap bulannya. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemda Maluku dalam upaya membangun industri bio-etanol dari bahan baku sagu. (Syahrul Bustaman, 2005).
II.6. Kandungan Bioetanol
Bioetanol adalah etanol yang. berasal dari sumber hayati. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti tebu, nira sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung: jerami, bonggol jagung dan kayu. Setelah melalui proses fermentasi, dihasilkan etanol.
Etanol adalah senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai derivat senyawa hidrokarbon yang mempunyai gugus hidroksil dengan rumus C2H5OH.
Etanol merupakan zat cair, tidak berwarna, berbau spesifik, mudah terbakar dan menguap, dapat bercampur dalam air dengan segala perbandingan. Adapun sifat fisik dan kimia dari etanol yaitu :
1. Sifat sifat fisik etanol terdiri dari :
a. Rumus molekul : C2H5OH
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
2. Sifat kimia
a. Dihasilkan dari fermentasi glukosa C6H12O6 → 2 C2H5OH + 2 CO2
Glukosa etanol karbondioksida b. Untuk minuman diperoleh dari peragian karbohidrat, ada dua tipe yaitu
tipe pertama mengubah karbohidratnya menjadi glukosa kemudian menjadi etanol,
c. Pembentukan etanol
C6H12O6 ENZIM 2CH3CH2OH + 2CO2
glukosa etanol karbondioksida d. Pembakaran etanol
CH3CH2OH + 3O2 2CO2 + 3H2O + energi
(Perry, 1984).
II.7. Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati Non-Pangan
Bahan bakar nabati merupakan sumber energi alternatif dalam mengatasi kebergantungan masyarakat pada bahan bakar minyak konvensional. Menurut Wahyuni (2007), keberlanjutan penggunaan bahan bakar minyak konvensional (fosil) sebagai sumber bahan bakar minyak (BBM) telah secara luas diketahui tidak akan berlangsung lama lagi, karena diketahui jumlahnya yang semakin berkurang di bumi ini dan juga kontribusinya dalam menyumbang produksi CO2
21
Bioetanol merupakan etanol yang berasal dari semua jenis biomassa yang mengandung gula, pati, dan lignoselulosa sehingga memiliki potensi sebagai pengganti BBM kovensional (Neves 2006). Akan tetapi, sumber bahan bakar nabati yang berasal dari tanaman dapat berkompetisi dengan pangan dan pakan. Oleh karena itu, pemanfaaatan limbah sebagai sumber BBN non-pangan penghasil bietanol akan mengatasi masalah perdebatan tersebut karena tidak mengganggu ketahanan pangan, tapi justru mendukung program ramah lingkungan.
II.8. Fermentasi
Fermentasi merupakan teknologi menggunakan mikroorganisme sebagai pemeran utama dalam suatu proses. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat pemecaha komponen – komponen bahan tersebut. Jika cara pengawetan lain ditujukan untuk mengurangi jumlah mikroba, maka proses fementasi adalah sebaliknya yaitu memperbanyak jumlah mikroba dan menggiatkan metabolismenya, tetapi jenis mikroba yang digunakan sangat terbatas yaitu disesuaikan dengan hasil akhir yang dikehendaki.
Proses fermentasi juga merupakan proses biokimia dimana terjadi perubahan-perubahan atau reaksi-reaksi kimia dengan pertolongan jasad renik, penyebab fermentasi tersebut bersentuhan dengan zat makanan yang sesuai dengan pertumbuhannya. Akibat terjadinya fermentasi sebagian atau seluruhnya akan berubah menjadi alkohol setelah beberapa waktu lamanya. Pati yang
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
terkandung dalam garut dapat diubah menjadi alkohol, melalui proses biologi dan kimia (biokimia).
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan tanpa oksigen ( anaerobik ), Secara umum fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobic, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi anaerobik dalam lingkungan dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Fermentasi oleh yeast, misalnya dapat menghasilkan etil alkohol Sacharomyces cereviseae(etanol) dan CO melalui reaksi sebagai berikut:
II.9. Faktor – Faktor Yang Mempengar uhi Pr oses Fer mentasi
Adapun faktor – faktor yang berpengaruh dalam proses fermentasi yaitu: 1. Keasaman (pH) pH 4,5 – 5,5 adalah pH optimal yang disukai bakteri
sacharomyces bekerja untuk mengurai glukosa menjadi lebih optimal. 2. Mikroorganisme
23
4. Waktu yakni laju perbanyakan bakteri bervariasi menurut spesies dan kondisi pertumbuhannya. Pada kondisi optimal, sekali setiap 20 menit. 5. Makanan (nutrisi) yakni semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang
menyediakan: Energi biasanya diperoleh dari subtansi yang mengandung karbon. Nitrogen, Salah satu contoh sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah urea. Mineral, mineral yang dipergunakan mikroorganisme salah satunya adalah asam phospat yang dapat diambil dari pupuk TSP.
II.10. Mekanisme Pembuatan Bioetanol
Teknologi produksi bioetanol berikut ini diasumsikan menggunakan Sagu sebagai bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa yang lain, terutama molase. Secara umum, produksi bioethanol ini mencakup 4 (empat) rangkaian proses, yaitu: persiapan bahan baku, tahap liquefaction, Tahap Sakarifikasi, Fermentasi,
II.10.1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi bietanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu:
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
a. Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula.
b. Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.
c. Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks (Liquefaction) dan sakarifikasi (Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta panas (enzim hidrolisis).
II.10.2. Tahap Liquefaction atau
Pada tahap ini memerlukan penanganan sebagai berikut:
a. Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur. b. Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim.
c. Penambahan enzim (alfaamilase) dengan perbandingan yang tepat. d. Pemanasan bubur hingga kisaran 80oC- 90oC , dimana tepung-tepung
yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula kompleks (dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.
25
a. Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja. b. Pengaturan pH optimum enzim.
c. Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat.
d. Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 28oC sd 32oC sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan).
II.10.4. Tahap Fer mentasi
Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim atau ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan menghasilkan etanol dan CO2.
didalam tangki fermentasi bubur akan mengalami pendinginan pada suhu optimum kisaran 28oC - 32oC, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan. Kemudian ragi akan menghasilkan etanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 - 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi. (Soerawidjaja, 2008)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
III.1. Alat Penelitian : 1. Kompor
2. Tangki Liquefaction Berkapasitas 20 liter 3. Tangki Sakarifikasi Berkapasitas 20 liter 4. Bak Fermentasi Berkapasitas 20 liter 5. Alat Pengaduk dengan panjang 75 cm 6. Termometer
7. pH meter 8. Timbangan III.2. Bahan Penelitian :
1. Limbah padat sagu 1 kg, 2 kg dan 3 kg 2. Enzim Alfaamilase 100 gr pada setiap tangki 3. Enzim Glucoamilase 100 gr pada setiap tangki 4. Ragi 100 gr pada masing-masing bak fermentasi 5. Air 10 liter pada setiap tangki
III.3. Var iabel Penelitian :
Berdasarkan beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini 1. Variabel Tetap
27 karbohidrat kompleks sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, perlu bantuan Enzim Alfamilase dan glukoamilase yang berperan mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula, dan difermentasi menjadi etanol.
Adapun berikut langkah - langkah pembuatan bioetanol berbahan Sagu yaitu:
1. Keringkan limbah sagu, tujuannya agar lebih awet sehingga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku.
2. Masukkan 1, 2, 3, kg limbah sagu ke dalam tangki liquefaction berkapasitas 20 liter, lalu tambahkan air sebanyak 10 liter, serta tambahkan Enzim Alfaamilase lalu Panaskan limbah sagu hingga 80oC selama 0,5 jam. kemudian Aduk rebusan limbah sagu sampai menjadi seperti bubur dan mengental, tahap ini merupakan tahap hidrolisa bahan.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
3. Dinginkan limbah sagu yang telah dihaluskan seperti bubur, lalu masukkan ke dalam tangki sakarifikasi dan tambahkan 100 gr enzim glucoamilase pada masing- masing tangki, tahap ini merupakan tahap sakarifikasi bahan.
4. Dua jam kemudian, bubur limbah sagu yang telah halus akan menjadi dua lapisan, air dan endapan gula. Aduk kembali pati yang sudah menjadi gula itu, lalu masukkan ke dalam tangki fermentasi. Namun, sebelum difermentasi tambahkan 100 gr ragi pada masing – masing bak fermentasi yang berisikan 1 kg, 2 kg dan 3 kg limbah sagu tersebut.
5. Tutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan ragi bekerja mengurai glukosa menjadi eanol lebih optimal. Fermentasi berlangsung anaerob atau tidak membutuhkan oksigen. Agar fermentasi optimal, jaga pH pada 4,5 - 5,5, ( asam ).
6. Setelah 1, 2, 3, 4 dan 5 hari, larutan pati menjadi 3 lapisan. Lapisan terbawah berupa endapan protein, air dan etanol.
29
III.6. Rangkaian Alat Pembuatan Bioetanol
Gambar 3.1 : Gambar Alat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
III.7. Kerangka Penelitian
Gambar 3.2 : Bagan kerangka penelitian J udul
PEMANFAATAN LIMBAH SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL
Persiapan Alat dan Bahan
Studi Literatur
Pelaksanaan Penlitian
Persiapan Limbah Sagu
Analisa Hasil
Pembahasan Hasil
Kesimpulan dan Saran
Pembuatan Laporan Uji Kadar Gula dan
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1 Uji Kadar Gula
Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah perubahan pati menjadi Glukosa.
Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis,
kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Dalam penelitian ini menggunakan metode enzimatis,
Enzim yang digunakan dalam proses hidrolisa adalah enzim alfa amilase, sedangkan tahap
sakarifikasi menggunakan enzim glukoamilase. Berdasarkan penelitian sebelumnya,
penggunaan enzim alfa amilase pada tahap likuifikasi menghasilkan kadar etanol tertinggi.
(Setyohadi, 2006).
Untuk mengetahui kadar gula yang terkandung dalam limbah padat sagu, maka
dilakukannya proses hidrolisa dengan menambahkan air dan enzim alfa amilase kemudian
dipanaskan sampai suhu optimum ( 80oC ), yang bertujuan mengubah sruktur limbah padat sagu
tersebut menjadi seperti bubur ( gelatinasi ) dan dilanjutkan dengan proses sakarifikasi dengan
penambahan enzim gluco amilase yang bertujuan agar limbah sagu yang telah mengalami
gelatinasi tersebut menghasilkan glukosa yang optimal, dimana kemudian dilanjutkan dengan
proses fermentasi dengan penambahan ragi bertujuan agar merubah kadar glukosa menjadi
etanol. (Soerawidjaja, 2008).
Sebelum mengetahui besarnya kadar etanol yang terkandung dalam limbah sagu,
diperlukannya uji kadar gula terlebih dahulu. Berikut ini adalah hasil analisa kadar gula yang
terkandung dalam limbah padat sagu seperti yang diuraikan pada tabel 4.1 :
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Tabel 4.1 Hasil kadar gula dalam limbah sagu
Sumber : Hasil penelitian ( 2012 )
Tabel 4.1 menunjukkan pengaruh banyaknya limbah yang digunakan terhadap kadar
gula yang dihasilkan. Dari grafik terlihat bahwa perolehan kadar gula tertinggi adalah dengan
berat 3 kg yakni 0,981 % dan terendah adalah dengan berat 1 kg yakni 0784 %. Hal ini
disebabkan oleh lebih banyaknya karohidrat yang dihasilkan oleh limbah sagu dengan berat 3 kg
dibandingkan dengan berat limbah 1 kg, tetapi dengan pengaruh dari banyaknya lignin yang
terkandung dari limbah sagu dengan berat 2 kg dan 3 kg maka jumlah peningkatan kadar glukosa
yang dihasilkan tidak begitu signifikan. Seperti yang terjadi pada penelitian ( Komarayati, 2011).
Yang mana Pengaruh bobot bahan atau empulur semakin tinggi bobot empelur ternyata
berpengaruh terhadap kadar glukosa yang dihasilkan yaitu, kadar glukosa semakin rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak limbah yang digunakan maka, akan
menghasilkan kadar glukosa yang semakin besar tetapi perbedaan kadar glukosa yang dihasilkan
tidak begitu signifikan terhadap limbah yang lebih sedikit jumlahnya karena kandungan lignin
yang dihasilkan dari limbah sagu dengan berat 3 kg juga banyak. Pada tahap ini didapatkan
No Berat Limbah ( kg) Kadar ( % )
1 1 0.748
2 2 0.927
33
konsentrasi glukosa tertinggi yang dihasilkan dari berat limbah 3 kg, dengan kadar gula yang
dihasilkan sekitar 0.981 persen.
IV.2 Uji Kadar Etanol
Setelah mengetahui besarnya kadar glukosa yang terkandung dalam limbah sagu maka
dilakukan uji kadar etanol, seperti yang terurai pada gambar 4.1
Gambar 4.1. Hubungan kadar etanol ( % ) yang dihasilkan dengan berat limbah ( kg ) terhadap
waktu fermentasi ( hari )
Gambar 4.1 Menyatakan bahwa dengan berat 1 kg limbah padat sagu yang
digunakan pada waktu fermentasi hari ke 1 dan hari ke 2 belum terdapat kadar etanol, hal ini
disebabkan karena kadar glukosa yang dihasilkan oleh limbah padat sagu 1 kg belum maksimal,
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
sacharomyces yang terkandung dalam ragi belum terpenuhi sehingga menyebabkan bakteri
sacharomyces memerlukan penyesuaian terhadap lingkungan sekitar. Namun pada waktu
fermentasi hari ke 3 dan hari ke 4 terjadi perubahan, tetapi tidak begitu signifikan, hal ini
dikarenakan pada waktu fermentasi hari ke 3 dan ke 4 masih terdapat bahan polysakarida ( pati )
belum mengalami perubahan struktur menjadi monosakarida ( glukosa ) sehingga kerja dari
bakteri sacharomyces belum optimal untuk merubah glukosa menjadi etanol. Tetapi pada waktu
fermentasi mencapai hari ke 5 terjadi perubahan yang signifikan karena pada waktu fermentasi
hari sebelumnya tidak terjadi pengurangan kadar glukosa ( reducing sugar ), sehingga subsrat
yang tersedia sebagai nutrisi sebanding dengan jumlah bakteri sacharomyces maka kerja dari
bakteri sacharomyces optimal menyebabkan etanol yang terbentuk pun semakin banyak.
Kemudian dengan penggunaan limbah Padat sagu 2 kg pada waktu fermentasi hari ke 1
sama seperti yang terjadi pada penggunaan berat limbah padat sagu 1 kg, namun pada waktu
fermentasi hari ke 2, ke 3 dan ke 4 terjadi perubahan yang begitu signifikan tetapi cenderung
konstan dimana perolehan kadar etanol mengalami peningkatan dikarenakan kandungan glukosa
yang dihasilkan sesuai dengan jumlah bakteri sacharomyces sehingga nutrisi dari bakteri
sacharomyces terpenuhi maka kerja dari bakteri menjadi optimal hal ini berdampak terhadap
perolehan kadar etanol yang dihasilkan yaitu mengalami peningkatan dibandingkan dengan
fermentasi pada hari ke 1, dan pada waktu fermentasi mencapai hari kelima dimana bahan
polysakarida yang telah mengalami perubahan menjadi monosakarida secara sempurna karena
pengaruh dari lamanya waktu fermentasi maka kandungan kadar etanol yang dihasilkan
35
padat sagu 3 kg pada waktu fermentasi hari ke 1 sangatlah berbeda terhadap kadar etanol oleh
berat limbah padat sagu 1 dan 2 kg, yang mana kandungan kadar glukosa pada berat limbah sagu
3 kg pada awalnya telah memenuhi nutrisi yang diperlukan oleh bakteri sacharomyces sehingga
kerja dari bakteri sacharomyces yang terkandung dalam ragi pun optimal, hal ini berdampak
terhadap kadar etanol yang dihasilkan. Namun pada waktu fermentasi hari ke 5 kandungan kadar
etanol yang dihasilkan cenderung mengalami penurunan dibandingkan dengan berat limbah
padat sagu 1 kg dan 2 kg pada hari yang sama hal ini menunjukan bahwa sebenarnya kandungan
kadar glukosa yang merupakan substrat bagi bakteri sacharomyces yang dihasilkan dari limbah
padat sagu 1 dan 2 kg lebih banyak dibandingkan dengan berat limbah padat sagu 3 kg
dikarenakan pada akhir proses fermentasi kadar etanol yang dihasilkan dari berat limbah padat
sagu 1 dan 2 kg lebih tinggi dibandingkan dengan berat limbah padat sagu 3 kg.
IV.3 Pengar uh Var iasi Ber at Limbah Sagu
Analisa dari beberapa variabel berat limbah sagu menunjukkan bahwa berat empulur
sagu berpengaruh nyata terhadap kadar etanol, tetapi pengaruh volume enzim alfa amilase dan
enzim gluko amilase tidak begitu signifikan, hal ini dikarenakan enzim alfa amilase dan gluko
amilase yang digunakan dalam proses hidrolisa bahan yang bertujuan untuk merubah bahan
polysakarida menjadi monosakarida hanya merupakan katalisator atau bahan pembantu dalam
suatu proses tetapi tidak berpengaruh terhadap bahan tersebut. Seperti yang terjadi pada
penelitian ( Komarayati, 2011 ), yang mana hasil analisa statisktik pembuatan etanol dari pati
sagu menunjukan bahwa pengaruh berat pati dan berat ragi berpengaruh nyata terhadap kadar
etanol, tetapi pengaruh volume enzim alfa amilase dan enzim gluko amilase tidak nyata.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Penelaahan lebih lanjut dengan uji beda waktu fermentasi ( hari ), menunjukkan bahwa
kadar etanol pada hari ke 1 sampai hari ke 4 dengan berat limbah padat sagu 1 kg, lebih kecil
dibandingkan dengan berat limbah padat sagu 2 kg dan 3 kg pada hari yang sama, namun hal ini
berbeda ketika pada proses fermentasi hari ke 5 dimana semakin banyak limbah padat sagu yang
digunakan maka hal ini akan berakibat terhadap proses fermentasi itu sendiri yakni menyebabkan
kandungan kadar etanol cenderung menurun karena berkurangnya kadar glukosa yang
terkandung dalam limbah padat sagu, sehingga menyebabkan kerja dari ragi tidak optimal seperti
yang terjadi pada penelitian ( Hikmiyati dan Yanie, 2010 ) yang mana semakin lama waktu
waktu fermentasi, jumlah pengurangan glukosa ( reducing sugar ) juga semakin besar, hal ini
dikarenakan pada proses fermentasi terjadi pengurangan glukosa yang merupakan makanan bagi
37 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Dari semua ulasan hasil pembahasan dan pengamatan dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Limbah sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol.
2. Hasil kajian yang terbaik diperoleh dari konsentrasi kadar etanol dalam limbah sagu yaitu
dengan berat 1 kg dan lama waktu fermentasi lima hari sebesar 1.110 % dimana konsentrasi
kadar etanol awal yaitu pada hari pertama hanya 0 %.
3. Hasil kajian yang terbaik diperoleh dari konsentrasi kadar gula dalam limbah sagu yaitu
dengan bobot 3 kg sebesar 0.981 %.
4. Semakin lama waktu fermentasi berpengaruh terhadap kandungan kadar glukosa dan kerja
dari ragi dalam mengurai glukosa menjadi etanol, yakni semakin banyak kadar glukosa yang
berkurang akan semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan, namun tetapi dengan semakin
lama waktu fermentasi ( hari ), maka kerja dari ragi dalam mengurai glukosa menjadi
berkurang karena disebakan oleh berkurangnya bahan makanan bagi bakteri yakni glukosa
tersebut.
V.2 Saran
1. Pada proses fermentasi yang perlu diperhatikan adalah banyaknya limbah sagu yang
digunakan, karena hal ini sangat berperngaruh terhadap proses fermentasi.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
vii Daftar Pustaka
Alfons dan Bustaman, 2005 dalam Sjahrul Bustaman, 2005. ” Potensi ulat sagu
dan prospek pemanfaatannya”, Balai pengkajian dan pengembangan
teknologi pertanian, Bogor.
Asben, A., 2009, “Pemanfaatan Limbah Sagu Untuk Pengembangan Enzim Selulase Ternite Dalam Produksi Bioetanol”, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bintoro, H., 2008, “Bercocok Tanam Sagu”, IPB Press, Bogor.
Chemiawan, 2007 dalam Sri Komarayati dkk, 2011, “ Pembuatan Bioetanol dari
Empulur Sagu ( Metroxylon spp ),dengan menggunakan Enzim ”, Bogor
Flach, M, 1980, ”Sago Palm, Metroxylon Sago Rottb”, International Plant Genetic Resources Institute Rome. Italy.
Gusmailiana, 2009, “Prospek Bioetanol Dari Sagu (Metroxylon spp) Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah”, Jurnal, Peneliti Utama Pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.
Haryanto H, dan P. Pangloli, 1992, “Potensi Pemanfaatan Sagu”, Yogyakarta Hikmiyati, 2010, “Pembuatan Bioetanol dari limbah kulit singkong melalu proses
hidrolisa asam dan enzimatis” Teknik Kimia, Universitas Diponegoro Kiat,L.J., 2006, “Preparation and Characteristic of Carboxymethil Sago Waste
and Its Hydrogel”, Tesis, Universitas Putra Malaysia, Malaysia.
Komarayati dkk, 2011, “ Pembuatan Bioetanol dari Empulur Sagu ( Metroxylon
spp ),dengan menggunakan Enzim ”, Bogor
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
prospek pemanfaatannya”, Balai pusat pengkajian teknologi pertanian, Bogor.
Mursyidin, 2007 dalam Sri Komarayati., Ina Winarni., Djarwanto, 2011, “ Pembuatan Bioetanol dari Empulur Sagu ( Metroxylon spp ),dengan
menggunakan Enzim ”, Bogor
Neves, MAD., 2006, “Bioethanol Prodution From Wheat Milling”, Desartasi, Agricultural Science, University of Tsukuba, Jepang.
Nurianti, 2007, dalam Sjahrul Bustaman, 2010 “Strategi pengembangan Bio-etanol berbasis sagu di Maluku”, Balai pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian, Bogor
Perry,R.H., 1984, dalamEndah dkk “Pengaruh kondisi fermentasi terhadap yield etanol pada pembuatan bioetanol dari pati garut”, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sebelas Maret.
Setyohadi, 2006 dalam Simanjuntak, 2009., “ Studi Pebuatan Etanol dari limbah gula ( Molase ), Universitas Sumatera Utara.
Shingal RS., Kennedy JF., Gopalakrishnan SM., Kaczmarek Agnieszka, Knill CJ., Akmar PF., 2008, “Industrial Production, Processing, and Utilization of Sago Palm-Derived Products, Carbohydr Polym”
ix
Soerawidjaja, 2008 “ Proses Pembuatan Bioetanol ”, Teknik Kimia , ITB, Bandung.
Tsukahara, K., and Sawayama, S., 2005, “Liquid Fuel Production Using Microalgae”,
Wahyuni, M., 2007, “Marine Biodiesel Pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) yang Ramah Di Masa Depan”, Jurnal, Departemen THP FPIK, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Winarno, F.G. dan Titisulistyowati Rahayu, 1994, dalamEndah dkk., “Pengaruh kondisi fermentasi terhadap yield etanol pada pembuatan bioetanol dari
pati garut”, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sebelas Maret.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :