• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memiliki hak prerogatif. Menurut Mahfud MD hak prerogatif merupakan kekuasaan istimewa yang dimiliki oleh seorang Presiden tanpa dapat dicampuri oleh lembaga lainnya.1 Salah satu hak prerogatif tersebut ada pada kewenangan dalam pemberian grasi.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi pada pasal 1 Ayat (1) menyebutkan bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.2

Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa,

“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.”3 Pengaturan mengenai kewenangan Presiden dalam memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung juga tertera dalam Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang

1Pegi Hasmalina, “Tinjaun Fikih Siyasah Tentang Hak Prerogatif Presiden (Studi atas Pemberian Grasi Kepada Narapidana Korupsi” Skripsi Sarjana Hukum Program Studi Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Hal.20.

http://repository.radenintan.ac.id/2933/1/SKRIPSI_PEGI.pdf Diakses Pada Tanggal 7 November 2022 Pukul 21.15

2Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

3Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(2)

menyebutkan bahwa “Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”4

Kewenangan Presiden dalam memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas. Dengan adanya peran serta pertimbangan Mahkamah Agung dalam pemberian grasi, dapat memberikan batasan kepada Presiden dalam menggunakan kekuasaannya sehingga dapat menghindari pemberian grasi yang berlebihan kepada pelaku kejahatan berat.

Kepala negara dalam melaksanakan haknya untuk memberikan grasi hanya perlu memperhatikan ketetapan dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan yang terdapat di dalam masyarakat, tanpa terikat pada suatu acara tertentu, kecuali pada pertanggungjawaban secara politis kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam melaksanakan haknya untuk memberikan grasi itu kepala negara juga perlu memperhatikan ketentuan- ketentuan yang telah diatur di dalam Undang-Undang yang mengatur masalah grasi.5

Alasan pemberian grasi pada dasarnya ialah karena faktor keadilan dan faktor kemanusiaan. Faktor keadilan yaitu jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada Lembaga Peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap

“kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penorobosan untuk mewujudkan

4Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nmomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

5Satochid, Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Dua, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta Tanpa Tahun, Hal.267.

(3)

keadilan. Faktor kemanusiaan dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Prosedur pemberian grasi diatur dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor:B-18/Ep.1/I/1999 Tertanggal 7 Januari 1999 mengenai perihal Penyusunan, Pengiriman dan Distribusi Risalah Pertimbangan Grasi menyebutkan bahwa untuk menyusun risalah pertimbangan grasi yang argumentatif harus memuat substansi yang meliputi:6

a. Pertimbangan obyektif yang menyetujui atau tidak menyetujui permohonan grasi terpidana yang didukung dengan analisis dan argumentasii yang mantap;

b. Analisis dan argumentasi tersebut berkenaan dengan: berat ringannya kesalahan terpidana, tinjauan viktimologis terhadap akibat-akibat yang timbul baik terhadap pidana maupun masyarakat, pandangan dan penilaian terhadap berat ringannya pidana yang dijatuhkan;

c. Berbagai aspek positif/negatif baik terhadap terpidana maupun masyarakat bila permohonan grasi dikabulkan atau ditolak;

d. Status terpidana dan pelaksanaan pidana

1) Pidana yang dijatuhkan telah dijalani atau belum

6Leally Marlina Padmawati, “Tinjauan Yuridis Pemberian Grasi Dalam Kajian Pidana Terkait Efek Jera Pemidanaan” Jurnal Recidive Volume 2 Nomor 3, 2019, Hal.303.

https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/download/32718/21648 Diakses pada tanggal 27 Oktober 2022 pukul 20.15.

(4)

2) Ada tidaknya penundaan pelaksanaan pidana sehubungan dengan permohonan grasi tersebut

3) Sementara menunggu keputusan grasi, apakah terdakwa ditahan atau dikeluarkan dari tahanan atau sejak semula terpidana tidak ditahan

4) Lain-lain penjelasan yang dipandang relevan dengan permohonan grasi tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 jo. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, pemberian grasi tidak terkait dengan persoalan teknis yuridis dan tidak berhubungan dengan putusan hakim. Ketika Presiden memberikan grasi terhadap calon teridana itu bukan merupakan campur tangan seorang kepala negara dalam bidang yudikatif, tetapi itu adalah hak prerogatif seorang Presiden untuk memberikan pengampunan. Meskipun pemberian grasi dapat merubah, mengurangi, meringankan, atau bahkan dapat menghapuskan kewajiban pidana yang harus dijalani, bukan berarti menghilangkan kesalahan dan bukan juga rehabilitasi terhadap pidana.7

Pemberian grasi dapat diberikan kepada semua narapidana apapun tanpa terkecuali, termasuk tindak pidana korupsi. Grasi tidak hanya dapat diajukan oleh terpidana mati saja, tetapi juga bagi terpidana yang telah memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang

7Ramlan Subakti, Reformasi Kekuasaan Presiden, Grasindo, Jakarta,1998, Hal.23.

(5)

Nomor 5 Tahun 2010 bahwa mereka: “… yang telah diputus dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.”8

Pada Undang-Undang tersebut hanya disebutkan jenis hukuman atau pidana yang dapat diajukan untuk memohon pemberian grasi. Undang-Undang tersebut tidak menyertakan kualifikasi tindak pidana apa saja yang dapat memperoleh grasi, sehingga semua terpidana dalam hal ini bisa mengajukan grasi kepada Presiden termasuk pelaku tindak pidana korupsi.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi ialah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara….”9

Kemudian dalam Pasal 3 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi ialah “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”10

Salah satu permohonan grasi terpidana kasus tindak pidana korupsi yang dikabulkan oleh Presiden yaitu pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ialah Annas Maamun yang merupakan mantan Gubernur Riau. Pada tanggal 25

8Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

9Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

10Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(6)

Oktober 2019, Presiden Jokowi mengabulkan permohonan grasi Annas Maamun dengan pertimbangannya adalah dengan alasan kemanusiaan. Annas Maamun terjerat korupsi terkait dengan pembebasan lahan hutan menjadi perkebunan sawit di tiga Kabupaten berbeda sepanjang 2014 di Provinsi Riau. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan dalam dakwaan bahwa pembebasan lahan tersebut seluas 2.522 hektare. Atas pembebasan lahan tersebut, Annas Maamun menerima uang suap dalam tiga kali pemberian. Pertama, senilai 166 ribu dollar AS. Kemudian yang kedua senilai Rp 500 juta dan yang terakhir senilai Rp 3 miliar dari total Rp 8 miliar yang dijanjikan. Atas perbuatannya itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2015 menyatakan Annas Maamun bersalah, dan menghukumnya dengan enam tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Jawa Barat serta denda Rp 200 juta.11

Annas Maamun dihukum 7 tahun penjara pada tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Hukuman tersebut bertambah 1 tahun dari vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung pada 24 Juni 2015. Akan tetapi, dengan adanya grasi dari Presiden Jokowi, hukuman Annas Maamun kembali menjadi 6 tahun penjara.12

Contoh kasus lainnya terhadap pemberian grasi terhadap pelaku tindak pidana korupsi juga pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

11Ditya Karefna “Tinjauan Yuridis Pemberian Grasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Teori Pemidanaan” Jurnal JOM Fakultas Hukum Universitas Riau Volume VII Nomor 2, 2020, Hal.2.

12Ibnu Hariyanto, “Ini Alasan Annas Maamun Dapat Grasi Dari Jokowi”

https://News.Detik.com/Berita/D-499328/Ini-Alasan-Annas-Maamun-Dapat-Grasi-Dari-Jokowi Diakses pada tanggal 26 Oktober 2022 pukul 14.15.

(7)

(SBY) pada tahun 2010 lalu. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keputusan Presiden tertanggal 15 Agustus 2010 tentang pemberian pengampunan atau grasi kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hassan Rais. Alhasil, terpidana empat kasus korupsi senilai Rp.

113 miliar itu bisa langsung bebas karena vonis enam tahunnya dipotong menjadi tiga tahun dan yang bersangkutan telah menjalani hukuman lebih dari tiga tahun.

Syaukani merupakan terpidana atas empat kasus korupsi yang divonis 6 tahun penjara. Empat kasus korupsi tersebut adalah pembagian dana bagi hasil minyak dan gas untuk muspida, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di pembangunan Bandara Loa Kulu di Tenggarong, penggunaan dana bantuan sosial dan penunjukan langsung proyek studi kekayaan Bandara Loa Kulu. Akibat perbuatannya itu, negara dirugikan hingga Rp.113 miliar.

Pertimbangan yang diberikan Presiden dalam memberikan grasi kepada Syaukani adalah faktor kemanusiaan.13

Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan suatu upaya pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh negara melalui aparat penegak hukum.14 Dengan adanya pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi tersebut akan memberikan dampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.

Seharusnya koruptor tidak diberikan grasi. Karena dengan adanya pemberian grasi terhadap koruptor maka akan mencoreng rasa keadilan bagi masyarakat dan dapat

13Ditya Karefna, Op.Cit, Hal.3.

14Vani Kurnia, Sahuri Lasmadi dan Elizabeth Siregar, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tugas dan Kewenangan Jaksa Sebagai Penyidik dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi” PAMPAS:

Jurnal Of Criminal Law Volume 1 Nomor 3, 2020, Hal. 2.

https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/11084/10230 Diakses Pada Tanggal 31 Oktober 2022 Pukul 19.00 .

(8)

melemahkan proses pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Pemberian grasi juga harus diperketat agar ada efek jera kedepannya terhadap koruptor.

Karena pihak paling terdampak atas kejahatan korupsi yang dilakukan oleh terpidana adalah masyarakat.

Presiden Joko Widodo menyebutkan, grasi untuk terpidana kasus korupsi Annas Maamun diberikan atas pertimbangan Mahkamah Agung dan juga Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud M.D. “Kenapa (grasi) itu diberikan, karena memang dari pertimbangan MA seperti itu, pertimbangan yang kedua dari Menko Polhukam juga seperti itu”, kata Presiden Joko Widodo. Beliau juga mengatakan bahwa grasi itu diberikan atas pertimbangan kemanusiaan dan mempertimbangkan bahwa usia Annas Maamun yang sudah tua dan kondisi kesehatannya yang sudah menurun.15

Didalam Undang-Undang ini mensyaratkan pertimbangan Mahkamah Agung untuk menjadi bahan pertimbangan Presiden dalam memberikan grasi.

Akan tetapi, Undang-undang ini tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai barometer atau kriteria yang menjadi pertimbangan Presiden, hanya berlandaskan nilai kemanusiaan dan keadilan sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dalam suatu pertimbangan yang diberikan oleh Presiden terkhusus bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan-permasalahan tersebut.

15Rai Iqsandri dan Andrew Shandy Utama “Analisa Hukum Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Kasus Korupsi Gubernur Riau Annas Maamun” Jurnal Ensiklopedia Social Review Volume 3 Nomor 2, 2021, Hal. 185 https://jurnal.ensiklopedia.org Diakses Pada Tanggal 29 Oktober 2022 Pukul 14.52.

(9)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pemberian Grasi Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana pertimbangan Presiden dalam memberikan grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas maka tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Presiden dalam memberikan grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini ialah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis Penelitian

(10)

Adapun manfaat teoritis penelitian ini ialah dapat dijadikan masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah perbendaharaan kepustakaan terutama bidang hukum tentang grasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahun dan pembentukan pola pikir kritis bagi penulis serta untuk memenuhi persyaratan formalitas dalam mendapatkan gelar akademik Sarjana Hukum Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Jambi.

b. Manfaat Praktis Penelitian

Adapun manfaat praktis penelitian ini ialah hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa terdakwa dapat melakukan upaya apabila tidak menerima putusan hakim yaitu upaya luar biasa yakni permohonan grasi. Manfaat lainnya yaitu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadkan sebagai bahan dan pedoman yang berkenaan dengan permasalahan pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual menurut Soerjono Soekamto ialah “Kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan di teliti atau di inginkan.”16

Agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami maksud yang terkandung dalam judul skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa landasan sebagai

16Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3,UI Pres,Jakarta, 1984, Hal.124.

(11)

konsep untuk lebih memahami apa yang diteliti dan ditulis. Adapun kerangka konseptual yang digunakan ialah sebagai berikut:

1. Grasi

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, disebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”.17

Didalam penjelasan Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa pemberian grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan.18 Hal ini tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi tehadap pidana.

2. Pelaku Tindak Pidana

Definisi pelaku tindak pidana menurut Pasal 5 Ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu: “Dipidana sebagai tindak pidana:

mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”19

Pelaku tindak pidana adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu

17Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

18Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

19Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(12)

tidak kesengajaan seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau karena gerakan oleh pihak ketiga.

3. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:

“Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.20

Berdasarkan pemaparan kerangka konseptual diatas maka penulis menyimpulkan bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Pemberian grasi dapat diberikan kepada semua tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang- Undang yang mengatur tentang grasi. Dalam Undang-Undang Grasi tidak mengatur larangan mengenai pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi,

20Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi.

(13)

tetapi Presiden seharusnya mendukung upaya pemberantasan korupsi yang telah digaung-gaungkan. Karena korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara atau penyelewengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadinya.21

F. Landasan Teori

Dalam melaksanakan suatu penelitian khususnya penelitian yang berkenaan dengan hukum, diperlukan beberapa teori yang dimaksudkan untuk mendukung argumentasi juga data agar penelitian dapat semakin bernilai ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Berkenaan dengan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori-teori yang sering digunakan dalam mengkaji mengenai pemberian grasi. Adapun beberapa teori yang penulis paparkan ialah sebagai berikut:

1. Teori Pemidanaan

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana, pada dasarnya pidana dijatuhkan supaya seseorang yang telah terbukti berbuat kejahatan tidak lagi mengulanginya serta orang lain takut melakukan kejahatan serupa.22 Dalam teori pemidanaan terdapat berbagai macam teori dan pendapat, dari berbagai macam teori tersebut dapat diklasifikasikan kedalam 3 kelompok besar sebagai berikut:

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)

21Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta,2016, Hal.15.

22M. Alvi Rizki Ilahi, Elly Sudarty, dan Nys. Arfa, “Pelaksanaan Pidana Pelatihan Kerja Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana”, Jurnal PAMPAS: Journal Of Criminal , Volume 1 Nomor 2, 2020 Hal.126. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9572/6400 Diakses Pada Tanggal 22 November 2022 Pukul 12.55 .

(14)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana.23

Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat.

Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi.

Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai 2 (dua) arah yaitu:24

1) Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan) 2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di

kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

Apabila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, teori pembalasan ini berbicara tentang sanksi apa yang akan dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.25

23E.Y. Kanter,S.H.,S.R.Sinaturi,S.H., “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” Storia Grafika, Jakarta,2012, Hal.59.

24Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung:

1998, Hal.11.

25 Elvara Yolanda, Usman dan Elly Sudarti, “Pemidanaan Pelaki Tindak Pidana Korupsi”, PAMPAS: Journal Of Criminal Volume 3 Nomor 2, 2002, Hal.138.

https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/download/18153/14148/57923 Diakses Pada Tanggal 1 November 2022 Pukul 09.15.

(15)

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)

Jika teori absolut menyatakan bahwa tujuan pidana sebagai pembalasan, maka teori relatif tujuan pemidanaan sebagai bentuk penegakan ketertiban masyarakatdan untuk mencegah kejahatan. Teori ini juga disebut sebagai teori relasi atau teori tujuan. Hal ini karena antara ketidakadilan dan pidana bukanlah hubungan secara apriori. Hubungan antara keduanya ialah dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai pidana, yaitu perlindungan kebendaan hukum dan penangkal ketidakadilan.26

c. Teori Gabungan

Teori ini adalah perpaduan antara dua teori sebelumnya yang intinya adalah bahwa hukuman pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan kehidupan masyarakat dengan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang diterapkan secara kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsur namun tidak berarti menghilangkan unsur lainnya.

Menurut H.B.Vos, selain teori absolut dan teori relatif juga terdapat kelompok ketiga yang disebut teori gabungan. Pada teori ini terdapat suatu kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat. Vos juga menyatakan bahwa titik berat yang sama pada pidana adalah pembalasan dan perlindungan hukum.27

26Eddy O.S. Hiariej Prinsip-Prinsip Hukum Pidana ,Cahaya Utama Pustaka, Jakarta, 2015, Hal.39.

27Ibid, Hal.41.

(16)

2. Teori Kepastian Hukum

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum bahwa dalam hal ini untuk mewujudkan suatu keadilan hukum harus dijalankan dengan cara yang baik kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. Bahwa adanya kepastian hukum maka tidak adanya kekosongan hukum.28

Menurut Jan M. Otto bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan:29

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accessible) yang diterbitkan oleh kekuasaan Negara;

b. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan- aturan hukum secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan tersebut;

28Chintya Devi “Kajian Hukum Pencabutan Hak Politik Pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi Suap Berdasarkan Teori Kepastian Hukum” Jurnal Yustisia Tirtayasa: Jurnal Tugas Akhir, Volume 1 Nomor 1, 2021, Hal. 20.

https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/ystitia/article/downoad/11204/7641 Diakses Pada 28 Oktober 2022 Pukul 19.35.

29Leo Arwansyah, Andi Najemi dan Aga Anum Prayudi, “Batas Waktu Pelaksanaan Pidana Mati dalam Perspektif Kepastian Hukum dan Keadilan di Indonesia”, PAMPAS: Journal Of Criminal Law Volume 1 Nomor 3, 2020, Hal. 24.

https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/11073/10257 Diakses Pada Tanggal 1 November 2022 Pukul 08.22.

(17)

d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan

e. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

3. Teori Keadilan Hukum

Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum.

Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknua jika menitik beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan keadilan dikesampingkan, maka huukum itu tidak jalan.

Idealnya dalam menegakkan hukum itu, nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu kesatuan yang berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum. 30

G. Metode Penelitian

Dalam mengungkapkan setiap permasalahan dan pembahasan yang berkaitan dengan materi penulisan, maka data-data atau informasi yang akurat sangat dibutuhkan. Untuk itu perlu digunakan sarana penelitian beberapa kegiatan

30Hasaziduhu Moho “Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan” Jurnal Warta Edisi 59, Volume 13 Nomor 1, 2019, Hal.9.

https://jurnal.dharmawangsa.ac.id/index.php/juwarta/article/view/349 Diakses Pada 25 Oktober 2022 Pukul 09.05.

(18)

ilmiah yang mendasar kepada metode penelitian. Agar dapat mempelajari setiap gejala atau fakta yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Dalam membantu penelitian, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif (penelitian hukum normatif). Tipe penelitian ini telah lama digunakan oleh para sarjana hukum untuk menganalisis dan menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang terjadi.31

Selain itu, hal yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi dan Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pengaturan grasi di Indonesia.

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Normative/Statute Approach)

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang melihat produk-produk hukum sebagai pusat penelitian.32 Pendekatan ini selain menjadi keharusan dalam setiap penelitian hukum normatif, juga mempresentasikan jenis hukum positif yang menjadi batasan bagi para meneliti untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum.

31Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.

32Ibid, Hal.87.

(19)

b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

Pendekatan konseptual adalah penelitian yang melihat permasalahan hukum dengan meneliti konsep-konsep hukum sebagai rujukan utama, seperti sumber hukum, lembaga-lembaga hukum, maupun fungsi hukum dan lainnya.33

c. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. 34 Pendekatan ini oleh penulis dijadikan sebagai metode untuk meneliti pemberian grasi kepada pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.

3. Pengumpulan Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer ialah bahan-bahan hukum yang mengikat yang memiliki otoritas hukum. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yaitu: Undang- Undang Dasar Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang

33Ibid, Hal. 87-88.

34Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2005, Hal.134.

(20)

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ialah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti, buku-buku, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, jurnal-jurnal, artikel-artikel, internet dan seterusnya.

4. Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum adalah proses mengidentifikasi dan mengklasifikasikan semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dikaji, menginterpretasikan semua bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan dengan masalah yang dibahas dan dikaji dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah memahami setiap materi yang ditulis dalam skripsi ini, maka akan diklasifikasikan sistematika penulisan yang akan dimuat dengan memperhatikan kaedah penulisan skripsi sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang timbulnya masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini. Selain itu juga, pada bab ini akan diuraikan mengenai bagaimana cara menganalisis permasalahan tersebut. Untuk itu, pada Bab ini akan terbagi kedalam sub bab yang secara berturut-turut menguraikan

(21)

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan teori, metode penelitian dan sitematika penulisan.

BAB II Tinjauan Tentang Grasi dan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bab ini penulis akan membahas tinjauan tentang grasi dan tinjauan tentang tindak pidana korupsi.

BAB III Pemberian Grasi Bagi Pelaku Tindak Pidan Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi. Dalam bab ini penulis akan membahas berkenaan dengan pengaturan hukum mengenai pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi dan pertimbangan Presiden dalam memberikan grasi bagi pelaku tindak pidana korupsi.

BAB IV Penutup. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari penelitian ini. Kesimpulan ialah jawaban dari pembahasan yang diuraikan penulis pada Bab III dan saran ialah upaya yang bisa dilakukan untuk memberikan masukan terhadap kesimpulan yang didapatkan nantinya.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai acuan dan pemahaman bahwa pentingnya pengelolaan likuiditas bank yang baik terutama pada perbankan syariah dan umum konvensional yang akan dapat menghindarkan bank tersebut

Proses pada kolom distilasi jenis SHOF digunakan untuk mengkaji kemampuan dari strategi MPC dalam pengontrolan proses multivariabel untuk meregulasi variabel proses,

Dalam melakukan analisis tidak hanya untuk keperluan pemeriksaan pola sebaran data, tetapi juga untuk pendugaan parameter dan Return Level.Dalam menganalisis Return

Rogers (Crites, 1982) mengatakan bahwa individu (remaja) akan mertgalami masalah dalam karirnya apabila individu berada dalam salah satu kondisi berikut: 1) luas pengetahuan

2014 Berdasarkan pada tabel tersebut, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya karyawan yang ada pada perusahaan ini adalah yang memiliki pendidikan SD dan

HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman Tinggi tanaman pada umur 21, 42 dan 63 hari setelah tanam hst perlakuan jarak tanam dan jumlah biji perlubang sudah menunjukkan perbedaan,

Oleh karena itu, perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam pengembangan bahan ajar yang kreatif dan inovatif, menarik, kontekstual dan sesuai

yang tepat. Buku esai foto menampilkan empat keluarga keturunan Tionghoa yang telah berbaur dengan kaum pribumi karena faktor ekonomi yang kurang memadai. Identitas etnis