• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Peranan Juru Sita Pengganti (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Bandung Dan Bale Bandung).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penegakan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Peranan Juru Sita Pengganti (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Bandung Dan Bale Bandung)."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI PERANAN JURU SITA PENGGANTI

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Bandung dan Bale Bandung)

Efa Laela Fakhriah1

Abstrak

Asas cepat, sederhana dan biaya ringan dalam proses penyelesaian sengketa perdata sebagaimana diamanatkan oleh peraturan Mahkamah Agung yang menentukan bahwa pengelesaian perkara melalui pengadilan diharapkan dapat diselesaikan paling lama dalam waktu 6 bulan untuk setiap tingkat pengadilan, akan dapat dilaksanakan seandainya kehadiran para pihak terkait di persidangan dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Ketidak hadiran para pihak di persidangan yang akan mengakibatkan bertambah panjangnya waktu penyelesaian sengketa, berkaitan erat dengan acara pemanggilan pihak yang berperkara untuk hadir dipersidangan yang dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti.

Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian normatif dan penelitian empirik, karena selain meneliti tentang peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum dan kaedah/peraturan hukum; juga dilakukan penelitian terhadap praktik pelaksanaan pemanggilan yang dilaksanakan oleh juru. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normative, dengan spesifikasi penelitian deskriftif analitis.

Juru sita sebagai salah satu perangkat pengadilan yang berperan membantu hakim dalam melakukan penegakan hukum melalui pemeriksaan perkara di pengadilan, antara lain mempunyai tugas untuk melakukan pemanggilan para pihak secara patut yaitu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan pemanggilan secara patut yang dilakukan oleh juru sita diharapkan para pihak dapat hadir dipersidangan sesuai waktu yang telah ditentukan, karena tidak ada alasan administratif bagi para pihak untuk tidak hadir dipersidangan, sehingga ketidakhadiran pihak di persidangan tidak menghalangi proses pemeriksaan perkara, pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan dengan acara istimewa sehingga proses penegakan hukum dapat tetap berlangsung.

Kata kunci: pemanggilan patut, juru sita, penegakan hukum

1

(2)

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan hukum tidak hanya menyangkut mengenai pembentukan atau

pembaruan perundang-undangan saja, melainkan juga meliputi penegakan hukum

yang antara lain dilakukan oleh hakim melalui penyelesaian sengketa. Penegakan

hukum di sini dengan melihat hakim sebagai manusia yang akan memahami

nilai-nilai hukum dalam masyarakat ketika memeriksa dan memutus sengketa yang

diajukan kepadanya. Dalam kaitannya dengan penegakkan hukum oleh hakim ini

terdapat dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama

lain, yaitu Hukum dan Keadilan.

Tugas hakim secara konkrit adalah mengadili perkara, yang pada hakikatnya

melakukan penafsiran hukum terhadap realitas, yang dinamakan sebagai penemuan

hukum melalui penyelesaian sengketa yang diajukan kepadanya. Penemuan hukum

merupakan keseluruhan proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, untuk

menetapkan benar atau tidak benar menurut hukum terhadap suatu situasi konkrit

berfikir seorang hakim yang diujikan pada hati nurani (dalam memeriksa dan

memutus suatu perkara - penulis) .2

Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan baik melalui pengadilan (litigasi)

maupun diluar pengadilan (non litigasi). Proses penyelesaian sengketa perdata

melalui pengadilan terdiri dari beberapa tahapan yang dilakukan secara sistematis,

dimulai dari pengajuan gugatan oleh penggugat, pengajuan jawaban oleh tergugat,

replik, duplik, pembuktian dari pihak-pihak yang berperkara, penyampaian

kesimpulan oleh para pihak , dan penjatuhan putusan oleh hakim. Dalam tahap-tahap

proses berperkara tersebut, kehadiran para pihak maupun kuasa hukum dalam setiap

persidangan sangatlah penting demi kelancaran pemeriksaan perkara, sehingga tidak

berlarut-larut dan memerlukan waktu penyelesaian perkara yang panjang.

2

(3)

Kehadiran para pihak di muka persidangan sangat penting, hal ini antara lain

disebabkan kerana terdapat asas yang menyatakan bahwa hakim wajib mendengar

kedua belah pihak (audi et alteram partem), karenanya walaupun para prinsipnya

dalam menyelesaikan sengketa perdata yang dilakukan oleh hakim secara yuridis

formal yang diperiksa adalah berkas perkara, namun kehadiran para pihak atau kuasa

hukumnya di persidangan merupakan suatu keharusan. Ketidakhadiran pihak di

persidangan dapat menyebabkan diundurkannya persidangan, dengan sendirinya hal

ini akan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa tersebut, yang pada gilirannya

dapat mengganggu pada proses penegakan hukum.

Di samping itu, keharusan adanya upaya damai antara para pihak sebagaimana

diamanatkan oleh Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg (het Herziene Indonesische

Reglement/Reglement Buiten Geweisten), yang kemudian diperkuat dengan Perma

No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Mediation in Court),

yang menetapkan bahwa terhadap semua sengketa perdata yang diajukan ke

pengadilan wajib dilakukan mediasi terlebih dahulu; maka kehadiran para pihak

dan/atau kuasa hukumnya menjadi suatu keharusan dalam proses mediasi di

pengadilan. Hal ini karena yang berdamai haruslah para pihak langsung bukan wakil/

kuasa hukumnya, karena para pihaklah yang dapat mengambil keputusan apakah akan

berdamai atau tidak.

Untuk berperkara ke pengadilan, para pihak dapat maju sendiri atau mewakilkan

pada kuasa hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 123 HIR/Pasal 147 RBg

yang antara lain menyebutkan bahwa: “jika dikehendaki, maka kedua belah pihak

boleh dibantu atau diwakili oleh kuasa, ……….”. Oleh karena itu menggunakan

kuasa hukum tidaklah merupakan kewajiban bagi para pihak yang berperkara ke

pengadilan, melainkan merupakan pilihan para pihak. Meskipun demikian,

pengadilan dapat memerintahkan pada kedua belah pihak yang berperkara, meskipun

telah diwakili, untuk datang menghadap sendiri di persidangan. (Pasal 123 : 3

(4)

Untuk menghadirkan para pihak maupun kuasa hukumnya dalam persidangan,

pengadilan melakukan pemanggilan sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan yang

berlaku sebagimana termuat dalam Pasal 121 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 122

HIR/ Pasal 145 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 146 RBg. Pemanggilan terhadap para

pihak yang berperkara dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti pada Pengadilan

yang memeriksa perkara tersebut, yang terdiri dari 3 bagian yaitu3:

1. Pemanggilan yang dilakukan sebelum pemeriksaan perkara (persidangan) di

mulai.

2. Pemanggilan yang dilakukan setelah pemeriksaan perkara (pesidangan)

berjalan.

3. Pemanggilan yang di lakukan setelah pemeriksaan perkara selesai dengan

acara putusan Hakim terakhir.

Menurut Pasal 122 HIR/Pasal 146 RBg , jika para pihak dikatakan telah

dipanggil secara patut berarti bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan

pemanggilan menurut undang-undang, dimana pemanggilan dilakukan oleh juru sita

dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak yang dilakukan terhadap yang

bersangkutan atau wakilnya yang sah , dengan memperhatikan tenggang waktu

(kecuali dalam hal yang sangat perlu) tidak boleh kurang dari tiga hari kerja4.

Bila para pihak atau salah satu pihak tidak dipanggil secara patut pada hari

sidang pertama yang telah ditentukan dan para pihak atau salah satu pihak karenanya

tidak hadir di muka persidangan, maka akan berakibat gugatan Penggugat menjadi

gugur (bila Penggugat/para Penggugat dan/atau kuasa hukum tidak hadir), sedangkan

ketidakhadiran Tergugat di persidangan akan menyebabkan gugatan diputus tanpa

3

Subagyo, Peranan Organisasi Dan Managemen Dalam Badan Peradilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Pejabat Kepaniteraan, Jakarta, 7 Agustus 2001, hlm. 7. Lihat juga Jamanat Samosir,Hukum Acara Perdata (Tahap-tahap Penyelesaian Perkara Perdata), Nuansa Aulia, Jakarta, 2011, hlm.147.

4

(5)

kehadiran Tergugat (verstek). Dalam keadaan demikian maka persidangan dilakukan

dengan acara pemeriksaan istimewa (tidak secaracontradictoir).

Pengadilan dalam memeriksa dan memutus setiap perkara yang diajukan

kepadanya, untuk keberhasilan pelaksanaan tugasnya sangat tergantung pada aparat

pendukung antara lain yang disebut jurusita/jurusita pengganti. Di lingkungan

Peradilan Umum, keberadaan jurusita sudah terdapat sejak zaman Belanda saat

pengadilan masih bernama Landraad, sedangkan bagi lingkungan Peradilan Agama

keberadaan jurusita masih relatif baru.

Tugas yang dibebankan pada jurusita/jurusita pengganti merupakan tugas teknis

justisial. Tugas pengadilan yang bersifat teknis justisial pada dasarnya dimulai sejak

pendaftaran perkara, management (pengelolan) biaya perkara, penyelesaian

administrasi perkara, pengelolaan administrasi perkara, pengiriman atau penerimaan

berkas ke Pengadilan Tinggi dan atau Mahkamah Agung (manakala ada upaya hukum

banding dan atau kasasi), serta pelaksanaan putusan perkara perdata. Semua tugas

berat dan kewajiban yang dilakukan oleh jurusita harus dilakukan dengan patut atau

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Suatu perkara tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik dan benar menurut

hukum, tanpa peran dan bantuan tugas di bidang kejurusitaan. Hakim tidak mungkin

dapat menyelesaikan perkara tanpa dukungan jurusita/jurusita pengganti, sebaliknya

jurusita/jurusita pengganti juga tidak mungkin bertugas tanpa perintah Hakim.

Keduanya dalam melaksanakan tugas tidak mungkin lepas sendiri-sendiri, namun

saling memerlukan/melengkapi satu sama lain.

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut, seorang jurusita/jurusita pengganti

harus menguasai tentang permasalahan-permasalahan kejurusitaan sesuai dengan

wewenangnya. Penguasaan terhadap masalah-masalah kejurusitaan menjadi sebuah

keharusan karena di dalam prakteknya jurusita/jurusita pengganti selalu dihadapkan

pada kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan tugas tersebut, karenanya dapat terjadi

(6)

Penelitian tentang pemanggilan para pihak secara patut oleh jurusita pengadilan

merupakan tema dan objek yang menarik untuk diteliti karena menghadirkan para

pihak dalam proses persidangan merupakan tugas dari jurusita sebagai pelaksana

Pengadilan Negeri yang tidak kalah penting dengan pejabat lain di Pengadilan, karena

keberadaannya diperlukan sejak belum dimulainya persidangan hingga pelaksanaan

putusan Pengadilan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat

dirumuskan beberapa permasalahan yang pelu untuk diteliti terkait dengan upaya

penegakan hukum, antara lain:

1. Bagaimana pelaksanaan pemanggilan secara patut pada perkara perdata dalam

praktik di Pengadilan Negeri di Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan

Negeri Bale Bandung?

2. Apa akibat hukumnya jika terjadi pemanggilan secara tidak patut dalam praktik

penyelesaian sengketa perdata dihubungkan dengan upaya penegakan hukum

melalui kinerja hakim dan juru sita/juru sita pengganti?

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian normatif dengan penelitian

empirik, karena selain meneliti tentang peraturan perundang-undangan, asas-asas

hukum dan kaedah/peraturan hukum; juga dilakukan penelitian terhadap praktik

pelaksanaan pemanggilan yang dilaksanakan oleh juru sita/juru sita pengganti dalam

penyelesaian suatu perkara di pengadilan.

Namun demikian, metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif

yaitu penelitian yang mengutamakan untuk meneliti bahan hukum primer untuk

mendapatkan data sekunder dengan meneliti asas-asas, kaedah dan peraturan yang

berlaku, serta buku-buku tentang hukum acara perdata yang terkait dengan

(7)

patut, serta kaitannya dengan upaya penegakan hukum. Untuk melengkapi data

sekunder sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan studi lapangan dengan meneliti

praktik penerapannya melalui wawancara dengan hakim dan juru sita/juru sita

pengganti di Pengadilan Bandung dan Pengadilan Bale Bandung.

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif

analitis yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai

pelaksanaan pemanggilan para pihak secara patut yang dilakukan oleh

jurusita/jurusita pengganti dalam praktik peradian, yang kemudian dianalisis menurut

ketentuan hukum acara perdata positif serta peraturan perundangan terkait lainnya,

untuk menemukan hubungannya dengan upaya penegakan hukum

Tahapan penelitian yang dilakukan adalah terdiri dari penelitian kepustakaan

untuk mendapatkan bahan hukum primer berupa hukum acara perdata positif, yaitu

HIR/RBg serta peraturan perundangan terkait lainnya; bahan hukum sekunder, yaitu

bahan - bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yaitu literatur

bidang hukum acara perdata; dan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain artikel di koran,

majalah, danbrowsinginternet yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

Untuk melengkapi data sekunder sebagaimana disebutkan di atas, maka

dilakukan juga studi lapangan guna memperoleh data primer melalui teknik

wawancara dengan nara sumber yang terdiri dari hakim, juru sita/jurusita pengganti

dan juga para pihak yang berperkara atau kuasa hukumnya, mengenai praktik

pelaksanaan pemanggilan persidangan perdata di pengadilan.

Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan

dengan metode analisis data secara normatif kualitatif. Normatif karena penelitian

bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai hukum positif, asas asas hukum, dan

pengertian hukum. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif kemudian hasil

analisisnya dideskrpsikan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang jawaban

(8)

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Pelaksanaan Pemanggilan Secara Patut dalam Penyelesaian Perkara Perdata dalam Praktik di PN Bandung dan PN Bale Bandung.

Hukum adalah merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang

mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, juga mencakup lembaga-lembaga

(institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya

kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.5 Norma dan kaedah hukum menggambarkan tatanan

hukum materiil sedangkan lembaga dan proses lebih menggambarkan tatanan

hukum perdata formal sebagai cara untuk mempertahankan atau melaksanakan

hukum perdata materiil.

Hukum materiil yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan,

merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya

berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum materiil,

khususnya hukum perdata materiil, dapat berlangsung secara diam-diam diantara

para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi sering terjadi hukum perdata materiil

itu dilanggar sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadi gangguan

keseimbangan kepentingan dalam masyarakat, maka hukum perdata materiil yang

telah dilanggar itu harus ditegakkan kembali. Untuk menegakkan hukum perdata

materiil diperlukan hukum perdata formal yaitu hukum acara perdata. Hukum

acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya

menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.6

Asas-asas hukum bersifat abstrak yang umumnya berada dalam tataran

filosofis, sedangkan kaedah hukum merupakan peraturan-peraturan yang sifatnya

lebih konkrit. Akan tetapi kaedah atau peraturan hukum tersebut tidak dapat

langsung diterapkan pada peristiwa konkrit yang terjadi di masyarakat, untuk

5

Lili Rasjidi - I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem,Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 182.

6

(9)

menerapkannya terhadap peristiwa konkrit diperlukan lembaga (dalam hal ini

pengadilan) dan juga proses yaitu prosedur beracara dalam menyelesaikan

sengketa perdata melalui pengadilan.

Pengadilan sebagai salah satu bentuk lembaga peradilan, merupakan salah

satu bagian dari sistem peradilan terdiri dari sub-sub sistem lainnya seperti aparat

penegak hukum di pengadilan, perangkat hukum acara, managemen penenganan

perkara di penadilan, serta administrasi berperkara. Aparat penegak hukum terkait

di pengadilan meliputi Hakim, Panitera/Panitera Pengganti, Juru Sita/Juru sita

Pengganti, dan tenaga administratif lainnya.

Sebagai salah satu aparat pendukung peradilan, maka Jurusita menjadi ujung

tombak dalam pelaksaan putusan pengadilan yang telah berkekuataan hukum tetap

apabila tidak dilaksanakan secara sukarela. Dengan kedudukan seperti itu, tugas

juru sita bukan sekedar melakukan penyitaan saja, tetapi lebih luas dan lebih

penting seperti pembuatan berita acara persidangan, melakukan pemanggilan

terhadap para pihak, pemberitahuan, pengumuman dan sebagainya yang semuanya

telah diatur dalam undang-undang.7

Jurusita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan yang

bersangkutan. Pasal 8 Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:

KMA/055/SK/X/1996 mengatur bahwa:

a. Dalam hal melakukan eksekusi, Jurusita atau Jurusita Pengganti

bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan.

b. Dalam hal melaksanakan perintah pemanggilan/penyampaian

pengumuman, teguran, protes-protes dan pemberitahuan, Jurusita atau

Jurusita Pengganti bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan/Ketua

Sidang;

c. Dalam hal melakukan sita, Jurusita atau Jurusita Pengganti bertanggung

jawab pada Ketua Pengadilan/Ketua sidang.

7

(10)

Pada intinya bahwa tugas dan wewenang Jurusita/Jurusita pengganti

berkaitan erat dengan pemanggilan para pihak. Para pihak haruslah dipanggil

secara patut. Menurut Pasal 124 HIR/148 RBg dan Pasal 125 HIR/149 RBg maka

yang dimaksud dengan “ telah dipanggil secara patut”, yaitu memenuhi beberapa

unsur:

a. Bahwa yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut

undang-undang, yaitu pemanggilan dilakukan oleh Jurusita dengan membuat

berita acara pemanggilan pihak-pihak. Pemanggilan dikatakan bertemu

langsung apabila Jurusita langsung berhadapan dengan pihak yang

bersangkutan.

b. Pemanggilan dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah.

Apabila pihak yang dipanggil sedang tidak ada di tempat, maka relaas

panggilan hanya dapat ditipkan ke kantor pemerintaha (kantor desa, kelurahan,

dan kecamatan setempat) atau RT, RW.

Menurut peneliti, ketentuan di atas sudah tepat bila dihubungkan dengan asas

peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan dan untuk mencapai tujuan

tercapainya panggilan secara sah dan patut, maka panggilan dapata

disampaikan melalui ketua RT bagi pihak pihak yang tidak ditemui di tempat.

Hal ini merupakan pengembangan dari Pasal 390 HIR/Pasal 718 Rbg. Bila

ditinjau dari aspek sosiologis perkembangan penduduk, saat HIR disusun tahun

1848, jumlah penduduk Indonesia masih memungkinkan harus kepala desa,

sedang saat ini demi tercapainya asas cepat maka dengan mengingat sistem

yurisprudensi tetap ternyata melalui RT, RW lebih mendekati kenyataan

apalagi bila pihak-pihak menerima dengan penyampaian cara tersebut.

c. Pemanggilan tersebut dilakukan dengan memperhatikan tenggang waktu

(kecuali dalam hal yang sangat perlu tidak boleh kurang dari 3 hari kerja.

Pasal 391 HIR/718 RBg merupakan dasar penentuan jangka waktu panggilan

(11)

Sementara Pasal 122 HIR/146 RBg merupakan dasar hukum jangka waktu

yang harus ada diantara pemanggilan pihak-pihak dan hari sidang (ditentukan

tidak boleh kurang dari 3 hari kerja)

Cara pemanggilan pihak-pihak yang berperkara diatur dalam Pasal 388

sampai dengan 390 HIR. Dalam Pasal 388 HIR dikatakan bahwa melakukan

pemanggilan pihak, pemberitahuan dan penyampaian surat-surat lainnya, juga

untuk melakukan perintah hakim dan putusan hakim, merupakan tugas juru sita

atau juru sita pengganti.

Lebih lanjut Pasal 390 HIR menentukan bahwa surat-surat yang disampaikan

juru sita/juru sita pengganti haruslah disampaikan kepada orang yang bersangkutan

sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya. Jika tidak dapat bertemu dengan

orang yang bersangkutan, maka surat harus disampaikan pada kepala desa setempat

dengan maksud agar surat dimaksud sampai ke tangan yang bersangkutan.8 Akan

tetapi jika kepala desa tersebut lalai maka tidak terdapat sanksi atas kelalaian

tersebut, jika seandainya sungguh tidak disampaikan surat panggilan tersebut maka

kepala desa tidak dapat dituntut karenanya. Disampaikan atau tidaknya surat, yang

bersangkutan dianggap telah dipanggil secara patut.

Apabila pihak yang akan dipanggil untuk hadir dalam persidangan yang

bersangkutan ternyata telah meninggal dunia, maka surat panggilan disampaikan

kepada ahli warisnya, sedangkan apabila yang bersangkutan tidak diketahui tempat

tinggalnya maka panggilan tersebut diumumkan dengan cara menempelkannya

pada pintu utama dari ruang sidang hakim pada pengadilan negeri yang memeriksa

perkara tersebut.9

Dalam praktik, pemanggilan para pihak yang berperkara menurut ketentuan

undang-undang ini dikenal dengan pemanggilan “secara sah dan patut”, atau ada

8

Taufik Makarao,Pokok-pokok Hukum Acara Perdata,Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm.45. Lihat juga Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,Mandar Madju, Bandung, 2008, hlm. 94

9

(12)

pula menggunakan istilah dipanggil “secara resmi dan patut”. Istilah kata “sah”

mengandung pengertian formil dan resmi. Formil artinya panggilan dilakukan

dengan surat panggilan dan dilakukan di tempat kediaman yang dipanggil dengan

cara langsung kepada yang bersangkutan, sedangkan kata “resmi” panggilan

disampaikan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti dan ditandatangani oleh Jurusita

tersebut. Kata “patut” pengertiannya tenggang waktu antara pemanggilan dengan

hari sidang sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja. Oleh karena itu kata “sah dan

patut” tidak dapat dipisahkan.

Pemanggilan para pihak dalam wilayah yurisdiksi dilaksanakan secara resmi

dan patut. Secara resmi kemudian dikenal istilah tempat tinggal dan tempat

kediaman. Pemanggilan secara patut selayaknya dilakukan di tempat tinggal

Tergugat dan atau Penggugat berdasarkan Kartu Tanda Penduduk, sedangkan untuk

pemanggilan pihak yang berada di luar yurisdiksi dilakukan dengan yurisdiksi yaitu

melalui Departemen Luar Negeri Cq. Dirjen Protokol tembusan Duta Besar dimana

pihak-pihak berada10.

Surat panggilan para pihak/relaas merupakan akta otentik karena dibuat oleh

pejabat yang berwenang, sehingga para pihak terikat pada surat panggilan tersebut

termasuk jurusita, sehingga Jurusita harus betul-betul menyampaikan relaas tersebut

kepada pihak yang berkepentingan. Apabila Jurusita tidak bertemu langsung dengan

pihak yang bersangkutan, maka panggilan tersebut menjadi tidak sah, bahkan dapat

disebut sebagai sebuah tindak penipuan (pemalsuan akta otentik) apabila Jurusita

melakukan pemanggilan dengan meminta orang lain untuk menggantikan/mewakili

dalam melakukan panggilan.11

10

Wildan Suyuthi Musthofa, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2001.

11

(13)

Berdasarkan wawancara dengan wakil panitera Pengadilan Negeri

Bandung12, dalam praktik di PN Bandung pemanggilan para pihak yang dilakukan

secara sah dan patut dengan menggunakan rumus 2P3T, artinya panggilan terhadap

Penggugat dilakukan 2 kali dan kepada Tergugat 3 kali. Sarana yang digunakan

dalam pemanggilan yaitu menggunakan surat/berita acara pemanggilan (disebut

juga relaas). Panggilan secara sah dan patut hanya dilakukan pada saat persidangan

yang pertama dan selanjutnya panggilan dilakukan setelah persidangan ditutup oleh

hakim.

Data yang peneliti dapatkan dengan metode wawancara di Pengadilan

Negeri Bale Bandung13 juga menunjukkan bagaimana prosedur dan media yang

digunakan serta pemahaman yang dimaksud dengan panggilan secara sah dan patut

adalah sama dengan data yang didapatkan dari Pengadilan Negeri Bandung. Hal ini

menunjukkan bahwa hakim pada umumnya dan jurusita/jurusita pengganti pada

khususnya telah memahami perintah undang-undang dengan baik.

Jangka waktu yang digunakan oleh Pengadilan Bale Bandung sehubungan

dengan pemanggilan para pihak adalah bila berada dalam wilayah hukum maka

dilakukan paling sedikit 3 hari, dan di luar wilayah hukum dengan bantuan

(delegasi) yaitu paling sedikit 2 minggu dari penetapan hari persidangan dan 1

bulan apabila di luar wilayah hukum tersebut terlalu jauh sehingga memerlukan

waktu yang relatif lebih lama.

Sesungguhnya tugas Jurusita/Jurusita Pengganti melakukan pemanggilan

secara patut kepada para pihak untuk bersidang, merupakan upaya pelaksanaan

tugas dalam rangka penegakan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya

penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu

untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum tertentu berjalan

12

Wawancara dilakukan juga dengan Panitera Muda Hukum, Panitera Muda Perdata, serta Panitera Muda Pidana pada tanggal 18 Nopember 2011 Pukul 10.00 WIB

13

(14)

sebagaimana seharusnya 14. Bila diterjemahkan lebih lanjut, dalam proses

penyelesaian suatu perkara, kehadiran para pihak untuk menghadap pada hari

sidang yang telah ditentukan haruslah dilakukan secara patut atau sesuai dengan

peraturan perundang-undangan oleh aparat pengadilan.

2. Akibat Hukum Jika Terjadi Pemanggilan Secara Tidak Patut Dalam Praktik Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan dihubungkan dengan Penegakan Hukum

Ketentuan Pasal 126 HIR memberikan kebebasan kepada hakim, apabila

menganggap perlu bila pada sidang pertama baik Penggugat atau Tergugat

kesemuanya atau salah seorang dari mereka tidak datang, untuk mengundurkan

sidang dan memerintahkan memanggil kembali pihak atau pihak-pihak yang tidak

datang sekali lagi.

Perintah untuk memanggil yang bersangkutan sekali lagi biasanya dilakukan

apabila pihak yang tidak datang itu bertempat tinggal jauh dari gedung tempat

pengadilan negeri bersidang. Panggilan untuk kedua kalinya dapat dilakukan

apabila panggilan yang pertama dikhawatirkan tidak sampai kepada yang

bersangkutan pribadi misalnya dalam hal panggilan telah dilakukan melalui Kantor

Desa, Kantor Kecamatan, Kotamadya, dan sebagainya.15

Kebebasan yang diberikan kepada hakim untuk mengundurkan sidang yang

termuat dalam Pasal 126 HIR berarti tidak ada keharusaan untuk menjatuhkan suatu

putusan perstek atau putusan gugur, meskipun pihak Tergugat tidak datang.

Menurut Pasal 127 HIR menegaskan bahwa apabila pada sidang yang pertama,

salah seorang Tergugat tidak datang, pula tidak menyuruh orang lain untuk

menghadap sebagai wakilnya, dan telah dipanggil secara patut, maka pemeriksaan

perkara ditangguhkan pada hari persidangan yang lain.

14

(15)

Ketentuan dalam HIR di atas menunjukkan bahwa hakim tidak serta merta

menjatuhkan putusan perstek ataupun gugur ketika pihak Penggugat ataupun

Tergugat tidak hadir, melainkan mengecek apakah telah dipanggil para pihak

secara patut dan sah sehingga dapat dilakukan panggilan berikutnya. Putusan

perstek dan gugur hanya dapat dijatuhkan bila terbukti para pihak memang tidak

hadir walaupun telah dipanggil secara patut. Menurut Soepomo, ketentuan ini agak

aneh, oleh karena tidak dapat dimengerti, apa sebabnya pengadilan tidak diberi

kesempatan untuk mulai dengan menayakan kepada Tergugat atau para Tergugat

yang telah hadir, bagaimana jawaban mereka terhadap gugat, sedang pada hari

sidang kemudian pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan dengan dihadiri oleh para

Tergugat yang pada sidang pertama tidak datang.16

Menyampaikan surat panggilan sidang dan surat-surat lainnya merupakan

tugas dari juru sita/juru sita pengganti. Juru sita/juru sita pengganti dalam sidang

pengadilan melaksanakan perintah yang diberikan oleh ketua sidang. Di samping

itu, tugasnya meliputi juga penyampaian pengumuman-pengumuman,

teguran-teguran, protes-protes dan pemberitahuan putusan pengadilan menurut cara-cara

berdasarkan ketentuan undang-undang, melakukan penyitaan atas perintah Ketua

Pengadilan dan juga membuat berita acara penyitaan.17

Dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan panggilan kepada para pihak,

seringkali Jurusita menghadapi beberapa hambatan karena antara teori dan praktik

kadang berbeda. Hambatan-hambatan tersebut dapat berupa kondisi geografis yang

dapat berakibat terlambatnya surat pemberitahuan atau panggilan terhadap pihak –

pihak yang berperkara. Bahkan tidak jarang ketika Jurusita melakukan tugas

eksekusi atau penyitaan mendapat halangan dari pihak-pihak yang berperkara,

terutama pihak yang kalah di pengadilan, meskipun putusan itu telah sesuai dengan

hukum dan keadilan, sebagai contoh apabila lebih dari 3 hari, maka pemanggilan

16

R Soepomo,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT. Pranadya Paramita, Jakarta, 2007, hlm 38

17

(16)

tetap sah namun tidak patut, berdasarkan pertimbangan hakim menentukan jangka

waktu hari pemanggilan dengan memperhitungkan tempat persidangan dan tempat

pihak yang dipanggil (jarak), meskipun harus melanggar ketentuan yang telah

ditetapkan misalnya di wilayah Tual Maluku yang sangat terisolir maka jangka

waktu pemanggilan para pihak sebelum persidangan sekitar 2 sampai 3 minggu,

paling lama 1 bulan.

Apabila ada para pihak (Penggugat dan Tergugat) bertempat tinggal yang

sulit dijangkau oleh transportasi seperti adanya hambatan ombak dalam perjalanan

laut atau faktor kesulitan alam lainnya maka bila kesulitan itu sifatnya sementara,

maka Jurusita membuat berita acara bahwa panggilan tidak bisa dilaksanakan,

kemudian panggilan selanjutnya menunggu bila hambatan itu sudah tidak ada.

Apabila kesulitan itu tetap dan tidak dapat dihindari, maka panggilan

bagaimanapun tetap dilaksanakan dengan sarana komunikasi yang ada dengan

biaya dari pihak yang berperkara. Wakil Pengadilan Negeri Bandung memberikan

contoh lainnya yaitu ketika surat panggilan disampaikan kepada para pihak bukan

di tempat tinggalnya tapi bertemu disuatu tempat yang telah dijanjikan sebelumnya,

di relaas pihak akan menandatangani bukti penerimaan panggilan maka panggilan

tersebut tetap dianggap patut dan layak, kecuali jika para pihak tidak keberatan

secara formil maka panggilan tersebut dianggap resmi dan patut.

Peneliti tidak sepaham dengan pendapat di atas. Dengan mengacu pada

pengertian sah yaitu formil maka selayaknya panggilan secara patut ditujukan

dimana pihak bertempat tinggal, sehingga peneliti berargumentasi bahwa ada

panggilan yang dilakukan secara patut ( minimal 3 hari sebelum sidang), dilakukan

secara resmi dengan relaas namun tidak formil.

Pemanggilan secara patut merupakan ketentuan yang sifatnya memaksa

bukan mengatur sehingga harus dilaksanakan, dan ketentuan mengenai hukum

acara secara formil harus diatur dalam undang-undang, sehingga apabila terbukti

Jurusita melakukan pemanggilan yang tidak patut dan mengakibatkan

(17)

tersebut seharusnya menjadi tanggungan dari Jurusita yang telah melakukan

pemanggilan secara tidak sah itu, setidak-tidaknya terhadap Jurusita yang lalai dan

tersebut haru diberi teguran dan sanksi secara administratif.

Pentingnya pemanggilan secara patut adalah berkaitan dengan tujuan hukum.

Sudikno Mertokususmo mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan

kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi maka hukum harus

dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi

dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum. Hukum yang telah dilanggar harus

ditegakan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam

menegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian

hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan

(gerechtigkeit).18

Dalam menegakkan hukum, pada dasarnya tidak boleh menyimpang dari

aturan yang sudah ditetapkan. Itulah yang dituntut oleh kapastian hukum,

masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya

kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Dengan adanya kepastian hukum

maka penegakan hukum dalam proses peradilan, terkait dengan cara pemanggilan

para pihak untuk bersidang akan berjalan dengan semestinya sehingga

implementasi asas cepat, sederhana, dan biaya murah dalam penyelesaian sengketa

perdata melalui pengadilan dapat terwujud. Hal ini tidak lain disebabkan karena

ketidakhadiran para pihak dapat menyebabkan pengunduran sidang sebab hakim

tidak boleh memutuskan secara serta merta perkara menjadi gugur/perstek. Menurut

Wakil Pengadilan Negeri Bandung, proses penyelesaian perkara yang berlarut-larut

karena faktor utamanya disebabkan karena ketidakhadiran para pihak.

Berdasarkan penelitian dokumen (relaas) di Pengadilan Negeri Bandung

dalam perkara yang Inkracht selama tahun 2010-2011 terlihat bahwa

18

(18)

Jurusita/Jurusita Pengganti telah menerapkan ketentuan undang-undang dalam hal

pemanggilan para pihak secara patut, bahkan ada panggilan yang dilakukan 13 hari

sebelum pelaksanaan sidang digelar. Sementara penelitian dokumen di Pengadilan

Negeri Bale Bandung terhadap perkara yang sudah Inkracht selama waktu

2010-2011, terlihat banyak yang menerima berkas pemanggilan hanya ditandatangani

oleh pihak kelurahan saja, bahkan Pengadilan pernah melakukan pemanggilan

secara patut sebanyak 4X (no perkara 75/pdt.G/2011/PN BB), sedangkan untuk

perkara dengan nomor 125/Pdt.G/2011/PN BB dilakukan panggilan sejak 23 hari

sebelum sidang dilaksanakan.

Sesungguhnya dengan melihat kenyataan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat perbedaan antara teori dan praktik yang berkembang dan dijalankan

di pengadilan dimana pemanggilan disesuaikan dengan tingkat kesulitan yang

berkaitan dengan demografi dan wilayah tempat tinggal, banyaknya jumlah pihak,

dan sebagainya.

Jumlah perkara perstek dan gugur, baik di Pengadilan Negeri Bale Bandung

maupun Pengadilan Negeri Bandung sangat sedikit jumlahnya hanya sekitar 3-5

setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa memang ketidakhadiran salah satu

pihak berasal dari hambatan individu yang bersangkutan bukan karena panggilan

tidak patut, karena seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa hakim tidak

serta merta melakukan acara istimewa tetap harus memastikan apakah para pihak

telah dipanggil secara patut atau tidak. Namun jika telah ada bukti bahwa

pemanggilan dilakukan secara patut berulang-ulang, demi keadilan dan kepastian

hukum, hakim akan menjatuhkan putusan perstek bila Tergugat yang tidak hadir

dan putusan gugur bila Penggugat yang tidak hadir.

Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan

proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat.

Tugas-tugasnya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat

(19)

dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa

serta menegakkan keadilan19.

Sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparat

pendukungnya untuk dapat menegakkan supremasi hukum, maka jurusita dituntut

untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme. Permasalahan kejurusitaan

sebagai ujung tombak pengadilan sejak awal perkara digelar hingga saat putusan

dibacakan merupakan permasalahan hukum karena diperlukan kepastian setiap fase,

karena bila tidak berlandaskan hukum akan mempunyai akibat hukum pula yaitu

kerugian bagi para pihak.

Adanya kesadaran masyarakat dibidang hukum yang semakin tinggi harus

diimbangi oleh kemampuan dan profesionalisme aparat pendukung peradilan

sehingga jaminan tegakknya hukum yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian

hukum bagi masyarakat dapat terwujud.

E. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan serta uraian pada bab-bab sebelumnya maka peneliti

menyimpulkan beberapa hal yaitu:

1. Pelaksanaan Pemanggilan Secara Patut dalam Penyelesaian Perkara Perdata

dalam Praktik di Pengadilan Negeri Bandung dan Bale Bandung telah sesuai

dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa yaitu mendasarkan

pada ketentuan Pasal 122 HIR bahwa panggilan secara patut dilaksanakan 3

(tiga) hari sebelum pelaksanaan sidang yang pertama dan untuk persidangan

selanjutnya Jurusita tidak melakukan panggilan secara patut tetapi diumumkan

ketika pelaksanaan sidang ditutup. Akan tetapip dalam beberapa hal yang

disebabkan karena faktor-faktor tertentu menyebabkan panggilan para pihak

dilaksanakan secara patut, resmi tetapi tidak formil.

19

(20)

2. Ketidakhadiran para pihak pada hari sidang yang pertama tidak serta merta

menyebabkan pemeriksaan tidak dilaksanakan secara contradictoir

(pemeriksaan dengan acara biasa), artinya hakim tidak seharusnya melakukan

pemeriksaan perkara dengan acara istimewa dan menjatuhkan putusan perstek

bila tergugat tidak hadir dipersidangan, atau putusan gugur bila penggugat

tidak hadir dipersidangan. Hakim memiliki kewajiban untuk mengecek alat

bukti surat pemanggilan para pihak yang berupa akta otentik (relaas) sehingga

memperoleh keyakinan apakah jurusita telah melaksanakan panggilan secara

patut dan sesuai dengan profesionalitasnya. Berdasarkan penelitian dokumen

dan wawancara di Pengadilan Negeri Bandung dan Pengadilan Negeri Bale

Bandung, kuantitas perkara yang diputus secara gugur dan perstek hanya sekitar

3-5 perkara setiap tahunnya, hal ini membuktikan bahwa Jurusita telah

menerapkan hukum (terkait dengan cara pemanggilan pihak untuk bersidang)

dengan benar. Dengan kata lain penegakan hukum dalam hal pemanggilan para

pihak untuk bersidang di Pengadian Nageri Bandung dan Bale Bandung pada

umumnya telah dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti.

F. Daftar Pustaka

Jamanat Samosir, Hukum Acara Perdata (Tahap-tahap Penyelesaian Perkara Perdata),Nuansa Aulia, Jakarta, 2011.

Lili Rasjidi - I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003

Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2009.

R Soepomo,Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, PT. Pranadya Paramita, Jakarta, 2008

Retnowulan Sutantio & Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,Mandar Madju, Bandung, 2008.

(21)

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012

---, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2008.

---,Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 2008.

Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009

Wahyu Muljono, Teori & Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012

Wildan Suyuthi Musthofa, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 2001

Subagyo, Peranan Organisasi Dan Managemen Dalam Badan Peradilan, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisme bagi Pejabat Kepaniteraan, Jakarta, 7 Agustus 2001

Jimly Asshiddiqie,Penegakan Hukum, http:www.docudesk.com.

Referensi

Dokumen terkait

Tergabung dalam peta adalah pemahaman bahwa itu adalah "gambaran" dari sebuah ide, gambar tunggal, pilihan konsep dari sebuah basis data yang terus berubah serta

In typical imperative Python programs—including those that make use of classes and methods to hold their imperative code—a block of code generally consists of some outside loops (for

Status Kabupaten Ketapang sebagai daerah yang berswasembada beras bisa dicapai lebih awal yaitu tahun 2016 sampai tahun akhir proyeksi dibandingkan dengan skenario

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa, pemberian GA 3 meningkatkan persen bunga jadi polong, yaitu perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C,D,E,F tapi tidak

Penilaian harus memberi informasi tingkat pencapaian kemampuan dasar mahasiswa baik dalam hal pengembangan rencana pembelajaran maupun praktik mengajar dalam pengajaran

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian ini, dengan

Kepentingan pemegang saham (publik) sebagai pemilik perusahaan dan kreditur sebagai penyandang dana ekstern adalah merupakan salah satu alasan diterapkannya perbaikan tata kelola

Dengan penelitian-penelitian yang sudah ada di atas maka penulis tertarik melihat konflik di Ambon dari perspektif yang berbeda dengan menggunakan analisis teori identitas,